top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Penyergapan Tentara Belanda di Tanah Karo

    KOTA Binjai pada 13 Juli 1949 tampak lengang. Prajurit I.J.C Hermans masih ingat hari itu cuaca cerah dan kelihatannya begitu aman, damai dan tenteram. Namun, menjelang petang, keadaan di markas militer Belanda mendadak berubah penuh hiruk-pikuk. “Seorang prajurit dalam keadaan terengah-terengah melapor pada komandan setempat di Binjai. Sang komandan melihat dengan keheranan seorang asing yang tiba-tiba muncul di hadapannya, berpakaian hanya bercelana dalam saja,” kenang Hermans dalam “Ups and Downs in Kompani Doea” termuat dalam kumpulan tulisan,  Gedenkboek 5 – 11 RI . Prajurit yang cuma mengenakan sempak itu bernama Jan van Thoor, anggota kolone perbekalan Belanda yang hendak menuju Desa Telagah di Langkat Hulu. Dia salah satu korban pengadangan di Bukit Gelugur, Rumah Galuh dekat kampung Keriahen, Tanah Karo. Menurut pengakuan Thoor, saat dalam perjalanan ke Telagah tiba-tiba diserbu dan dilumpuhkan tanpa perlawanan. Yang masih hidup ditawan dan dilucuti. Perbekalan dirampas oleh pasukan penyergap. Tak hanya senjata, pakaian yang dikenakan turut dilucuti hingga menyisakan celana dalam. Beberapa serdadu yang tertangkap adalah Dr. van Bommel, Sersan Donken, Sjengske Vaes, Jan Wolfs, Van Galen, Gerrit Stoffelen, dan Thoor yang berhasil menyelamatkan diri. Mereka dari Kompi 2 Batalion 5-11 yang pernah menghadapi Jerman dalam Perang Dunia II. Menurut veteran tentara pelajar Amran Zamzami dalam memoarnya,  Jihad Akbar di Medan Area , Batalion 5-11 beroperasi di jalur Binjai–Tanjung Pura dan sekitarnya. Pasukan infanteri ini dibantu Barisan Pengawal Negara Sumatera Timur, pasukan lokal yang berpihak pada Belanda. Saat terjadi penyergapan di Langkat, nasib mereka tidak dapat dipastikan. Namun, berdasarkan kesaksian Thoor, banyak tentara Belanda yang terluka berat. “Kami berhari-hari melakukan patroli yang melelahkan untuk mencari mereka. Tiap kali kami berangkat dengan penuh pengharapan, pada waktu pulang kami selalu merasa terpukul karena tidak berhasil,” catat Hermans mengenai situasi pasca penyergapan. Terjebak di Basis Gerilya Penyergapan terjadi karena tentara Belanda berada di wilayah berbahaya. Mereka memasuki sarang lawan. Dalam buku Kadet Berastagi  suntingan Arifin Pulungan, Desa Telagah adalah pintu keluar–masuk orang-orang gunung dan gerilyawan Indonesia yang ingin melintas ke dataran tinggi Tanah Karo melalui jalan-jalan tikus (jalan setapak).  “Sebenarnya apa yang terjadi pada tanggal 13 Juli 1949 dalam peristiwa penelanjangan serdadu Belanda di Desa Telagah adalah hasil penyergapan pasukan TNI Kompi Mohammad Yusuf Husein dari Batalion Nip Xarim yang berlokasi di daerah kantong ini. Dan pasukan yang menyergap itu adalah peletonnya Lukman Husin,” tulis Arifin. Setelah pertempuran selama satu jam, tentara Belanda kewalahan dan menyerah. Pasukan TNI melucuti senjata mereka. Dalam catatan A.R Surbakti, veteran perang kemerdekaan di Tanah Karo, sebanyak tiga tentara Belanda tewas dan tiga orang ditawan. Beberapa orang dari Barisan Pengawal Negara Sumatera Timur juga jadi korban. Sementara di pihak TNI, Kopral Dahlan dan Prajurit Azis gugur. Keduanya dikebumikan di kampung Gurubenua, Tanah Karo. “Dua pucuk senjata otomatis dan enam pucuk karaben dirampas dan sebuah truk dibakar,” tulis Surbakti dalam Perang Kemerdekaan II: Di Tanah Karo-Karo dan Dairi Area. S ejak Januari 1949, lanjut Surbakti, memang telah digencarkan operasi penyerangan untuk merebut pos pertahanan Belanda di sepanjang garis status quo . Pada April 1949 setiap batalion menggilir kompi-kompinya untuk menyusup ke daerah pendudukan Belanda. Tawanan dan Korban Tentara Belanda melakukan pencarian dengan intensif. Pesawat-pesawat capung ( pipercub ) Belanda mengedrop obat-obatan dan bahan-bahan pembalut luka untuk pertolongan pertama di sekitar Desa Telaga. Namun, beberapa hari kemudian tak diperoleh berita perihal tentara Belanda yang tertawan. Setelah gencatan senjata pada 15 Agustus 1949, semua tawanan dipulangkan secara bertahap. Pada Oktober, Van Galen dan Stoffelen dilepaskan disusul Dr. van Bommel dan Sersan Donken. Prajurit Wolfs dan Vaes dipastikan tewas akibat luka-luka. Jenazah Wolfs diketemukan dan kemudian dimakamkan di pekuburan Belanda di Padang Bulan, Medan. Sedangkan jenazah Vaes, secara resmi dinyatakan hilang.

  • Kisah Nasional Majapahit

    KALAU India punya kisah Mahabharata , Jawa punya Kisah Panji. Cerita tentang Raden Panji Inu Kertapati dan Galuh Candra Kirana ini begitu populer hingga menyeberang keluar Nusantara. Awalnya, tradisi Panji dimulai dari cerita lisan paling tidak sejak 1400 M. Pada era Majapahit, kisah ini mewujud dalam bentuk relief di candi-candi Jawa Timur. Arkeolog Universitas Indonesia Agus Aris Munandar menyebut, salah satu candi yang punya relief candi adalah Panataran di Blitar, Jawa Timur. Candi Panataran bisa diibaratkan sebagai candi nasionalnya Majapahit. “Apabila Kisah Panji dipahatkan di percandian nasional Majapahit, Kisah Panji pun jadi kisah nasional Majapahit. Tak heran akhirnya dikenal di berbagai kawasan Nusantara dan Asia Tenggara,” ucap Agus dalam Seminar Internasional Panji/Inao 2018, di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Selasa (10/7). Kisah Panji populer karena digemari di wilayah Majapahit. Menurut Agus, hubungan daganglah yang menyebarluaskan kisah ini ke luar Jawa. “Panji itu adalah simbol ideal ksatria Nusantara,” ujarnya. Sementara itu, peneliti Kisah Panji dari Jerman, Lydia Kieven berpendapat selain soal kepahlawanan, kepopuleran Kisah Panji didukung beberapa aspek. Kisah Panji adalah teladan bagi rakyat, tapi menyajikan kisah yang tak rumit. Jalan ceritanya mudah dipahami. Ia banyak menyajikan nilai-nilai religius, tapi tak terlalu banyak menyebut persoalan kedewataan yang jelimet. Kisah Panji juga merupakan karakter yang kreatif. Ia seringkali digambarkan sedang bermain musik dan seni lainnya. Menurut Lydia, hal ini bisa jadi inspirasi bagi masyarakat. “Panji berkarakter spiritual, ini bisa jadi sumber inspirasi kesenian yang dihargai,” jelasnya. Adapun Kisah Panji adalah petunjuk bagi kehidupan yang baik. Kisahnya tentang mengatasi segala halangan demi mencapai satu tujuan. Meski begitu, Panji tetap digambarkan sebagai manusia biasa seperti gemar bermain-main dengan perempuan di samping cinta sejatinya, Galuh Candra Kirana (Dewi Sekartaji). Ini membuatnya menjadi sosok yang tak muluk-muluk. “Kisah ini romantis, erotis, tapi bukannya menjadi jorok,” kata Karsono H. Saputra, dosen Sastra Jawa Universitas Indonesia. Kisah Panji, menurut Karsono, mendapatkan bentuk tulisnya baru pada abad 16-17 dalam bentuk naskah yang ditulis di skriptorium-skriptorium pesisiran. “Terlihat dialek pesisiran abad ke-17, sayangnya (naskah, .) yang paling awal yang kita tahu dari abad ke-18,” ujarnya. Peneliti sekaligus Direktur KITLV Jakarta, Roger Tol menunjukkan kalau Kisah Panji sejak dulu pastilah dianggap penting. Pada perkembangan berikutnya, kisah ini banyak ditulis ulang ke dalam berbagai bahasa dan versi. “Suatu karya sastra yang banyak disalin dari masa ke masa biasanya adalah karya yang penting,” katanya. Kisah Panji, selain tersebar di Nusantara, juga tersebar di wilayah Asia Tenggara. Ia telah digunakan dalam 13 bahasa. Bentuknya pun beragam. Ada wayang, teater, tarian, lukisan, sastra lisan, tulis, variasi bahasa, bahan dan variasi ceritanya. Dalam pendaftaran naskah Kisah Panji sebagai Memory of the World UNESCO tahun lalu pun, didasarkan atas variasi naskah yang begitu banyak. Itu berdasarkan empat koleksi di Perpustakaan Nasional Kamboja (1 naskah), Perpustakaan Negara Malaysia (5 naskah), Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (76 naskah) dan Perpustakaan Universitas Leiden (260 naskah). Jumlah ini belum semua karena masih banyak naskah yang tersimpan di perpustakaan lain yang belum sempat terinventaris. “Variasi besar lainnya dalam segi bahan dan bahasa. Ada lontar, daluang, kebanyakan kertas Eropa,” kata Roger. Meski dipakai dalam 13 bahasa, naskah yang didaftarkan di UNESCO terdiri dari 10 bahasa: Jawa-Bali, Jawa, Bali, Melayu, Sasak, Sunda, Aceh, Bugis, Thai, Khmer. Sementara tiga lainnya adalah Myanmar, Vietnam, dan Laos. Roger menyebutkan variasi naskah Panji misalnya,  dari Bali. Naskah tertuanya dari tahun 1725, berbahasa Jawa-Bali dan beraksara Bali. Lalu ada variasi naskah dari Gresik (1823). Ada dari perpustakaan Susuhunan, Surakarta (1830). Ada juga dari Surakarta (1808). Kemudian koleksi Perpustakaan Nasional yang disalin tahun 1801. “Ini langka karena indah dengan ilustrasi. Kalau di Leiden yang seperti ini tidak ada,” kata Roger. Lalu ada versi Sasak, yang disebut Versi ini berbahan lontar dan diperkirakan berasal dari abad ke-19. Dari Aceh ada koleksi C. Snouck Hurgronje dari tahun 1873.  Ada lagi naskah yang sering digunakan sebagai bahan studi oleh pakar-pakar Panji, seperti Poerbatjaraka, yaitu naskah Panji Melayu berjudul dari tahun 1821. Dari Bugis ada  Versi ini beraksara Bugis. Ditulis pada 1870 dan diadaptasi dari  Adapun  adalah versi Khmer dari kisah Panji. Koleksi Perpustakaan Nasional Kamboja ini beraksara dan bahasa Khmer.  “Dari semua itu, variasi ceritanya sangat banyak namun cerita pokoknya sama,” kata Roger. Kisah Panji di mana pun selalu tentang Raden Inu Kertapati dan kekasihnya Candra Kirana. Mereka dipisahkan dan harus mengatasi banyak rintangan luar biasa sampai akhirnya bersatu lagi. Terdapat banyak versi dari kisah pokok ini. Baik soal lokasi, tokoh, maupun nama. “Kita bisa menemukan metamorfosis, penyamaran, bahkan perubahan gender, di samping segala kejadian ajaib,” kata Roger.*

  • Mengenalkan Indonesia di Piala Dunia

    PERHELATAN Piala Dunia 2018 akan dimeriahkan dengan penampilan drummer Indonesia. Kunto Hartono, drummer kelahiran Banyuwangi, unjuk kebolehan dengan menggebuk drum selama 24 jam di Moskow, Rusia. Rencananya, aksi Kunto dimulai 14 Juli pukul 16.00 waktu Moskow dan berakhir pukul 16.00 keesokan harinya pada hari final Piala Dunia 2018. Ada sekira sepuluh lagu nasional dan tradisional Indonesia yang dibawakan, seperti lagu “Bendera” dari band Cokelat , “Bubuy Bulan ”, dan “Rek Ayo Rek”. Untuk mempersiapkan pertunjukan itu, Kunto bersama rombongannya berangkat ke Moskow pada Kamis (12/07) ini pukul 09.00 WIB. Menggebuk drum berjam-jam bukan pertama kali dilakukan Kunto. Pada Oktober 2002, dia memecahkan rekor MURI dengan menabuh drum 24 jam nonstop di Plaza Balaikota Bogor. Pada Agustus 2003, Kunto kembali memecahkan rekor MURI dengan menabuh drum selama 61 jam 15 menit di GOR Padjajaran, Bogor. Namun, catatan itu belum memuaskannya lantaran masih sebatas rekor nasional. Pada 30 Desember 2016 Kunto kembali unjuk kemampuan. Di pelataran Benteng Kuto Besak, Palembang, Kunto menggebuk drum nonstop selama 145 jam dan mencatatkan namanya dalam Guinness World Record. Aksi Kunto di Moskow merupakan bagian dari acara “The Beats of Indonesia, From Indonesia with Drum”. Acara ini bertujuan mengangkat nama Indonesia sekaligus mempromosikan program “Wonderful Indonesia” dari Kementerian Pariwisata dan penyelenggaraan Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. “Dengan rekor unik dan kemampuan hebat yang dimilikinya, pertunjukan ini diharapkan ikut mengangkat nama Indonesia di dunia internasional,” kata Indra Bigwanto, co-founder GVM Networks. Kunto akan bermain drum dengan mata tertutup. Di sekitar area pertunjukan, GVM Networks yang memprakarsai acara itu meletakkan layar LED berukuran besar yang menampilkan pariwisata Indonesia. “Saya berterimakasih kepada GVM Networks yang telah memfasilitasi keberangkatan saya ke Rusia. Saya berharap nama Indonesia bergaung saat final Piala Dunia 2018,” kata Kunto. Awalnya, Kunto berencana menabuh drum non-stop sebelum laga Belgia versus Inggris hingga menjelang pertandingan Prancis versus Kroasia. Namun, mempertimbangkan aspek keamanan, rencana tersebut disesuaikan dengan kebijakan pihak keamanan Rusia. Kunto tampil di Rusia untuk mempromosikan Wonderful Indonesia dan Asian Games 2018. Acara ini didukung oleh GVM Networks, yang menaungi Bolalob.com, Opini.id, Womantalk.com, Historia.id, dan Bobotoh.id. Atraksi Kunto bermain drum non-stop selama 145 jam di FIFA Fan Fest, Moskwa, Minggu (15/7/2018), pukul 19.00-22.00 WIB dapat disaksikan secara live streaming melalui fanspage  Bolalob  ( https://web.facebook.com/Bolalob ).

  • Enam Pelari Terbaik Indonesia

    RABU (11/7/2018) petang itu di trek lari Retina Stadium, Kota Tampere di selatan Finlandia angin semilir mengiringi delapan pelari yang tengah bersiap di start block masing-masing. Di sisi paling kanan, lajur kedelapan, pelari Indonesia Lalu Muhammad Zohri berkonsentrasi penuh. Begitu tanda start , Zohri sekuat tenaga mengayunkan kakinya menuju garis finis yang terletak 100 meter dari garis start . Detik-detik akhir amat menegangkan. Dua pelari Amerika Serikat, Anthony Schwartz dan Eric Harrison, sama-sama terdepan sebagaimana Zohri. Sepersekian detik kemudian, kedelapan pelari menembus garis finis. Dalam tayangan ulang, kaki kanan Zohri menyentuh garis lebih dulu. Zohri jadi yang tercepat dengan waktu 10, 18 detik. Dia memecahkan rekor junior nasional. Zohri girang bukan main, lalu ber- standing ovation sambil diiringi aplaus riuh rendah dari beberapa penonton di tribun. Sujud syukur tak lupa dilakukan Zohri di tengah trek. Namun sedihnya, dia celingak-celinguk bingung lantaran tak seorang pun memberinya bendera untuk dibanggakan. Maka ketika menuruti permintaan fotografer untuk difoto, Zohri berpose diapit dua pelari peraih urutan dua dan tiga dengan bendera Amerika mereka. Baru beberapa menit kemudian Zohri mendapatkan bendera merah-putih. Prestasi dari nomor 100 meter putra Kejuaraan Dunia U-20 IAAF itu awalnya tak banyak diketahui publik tanah-air. Perhatian masyarakat Indonesia hampir tersedot seluruhnya ke Piala Dunia dan Piala AFF U-19. Padahal, prestasi dari cabang atletik, khususnya lari, di panggung dunia bukan barang baru buat Indonesia. Berikut ini para pendahulu Zohri yang berprestasi: Mohammad Sarengat Bicara cabang atletik nomor lari, haram hukumnya jika tak menyebut nama sprinter legendaris Mohammad Sarengat. “Bertahun-tahun nama Sarengat melegendaris di dunia atletik, dan selalu dikenang oleh bangsa Indonesia,” tulis buku  Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah 1945-1965. Atlet kelahiran Banyumas, 28 Oktober 1940 itu jadi “pemecah kebuntuan” prestasi Indonesia di cabang atletik. Sebelum Sarengat, tak pernah ada pelari Indonesia yang bergelar juara atau bermedali emas. Sarengat mengguncang Asia di perhelatan Asian Games 1962 dengan dua emas di nomor 100 meter dan 110 meter lari gawang, serta tambahan perunggu di nomor lari 200 meter. Rekor lari 100 meternya dengan catatan waktu 10,40 detik itu baru terpecahkan dua dekade berselang oleh Purnomo M. Yudhi di Olimpiade Los Angeles 1984. Gurnam Singh Selain Sarengat, Indonesia patut berbangga memiliki pelari yang tak kalah legendaris bernama Gurnam Singh. Pelari berdarah Punjab, India yang berjuluk pelari tercepat Asia ini merebut tiga emas Asian Games 1962 di nomor 5000, 10.000, dan maraton putra. “Di masa jayanya, pemegang rekor lari 5 ribu meter dengan kecepatan 14 menit 24 detik dan 10 ribu meter dengan kecepatan 30 menit 47,2 detik. Sedangkan jarak maraton 42 kilometer ditempuhnya dalam tempo 2 jam 27 menit 21 detik,” tulis buku  Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1981-1982 . Purnomo Yudhi Dari lahan tani ke lintasan lari, Purnomo mengharumkan nama Indonesia di beragam ajang dunia dan Asia. Pada 1984 di Olimpiade Los Angeles, Purnomo jadi wakil Asia pertama di semifinal 100 meter putra. Kendati tak meraih medali, pria asal Purwokerto kelahiran 12 Juli 1962 ini mematahkan rekor idolanya, Sarengat, dengan catatan waktu 10,30 detik. Setahun sebelumnya, di Kejuaraan Dunia IAAF di Helsinki 1983, Purnomo juga jadi satu-satunya wakil Asia di final 100 meter putra. Purnomo finis di urutan keempat. Prestasi tertingginya diraih di Kejuaraan Atletik Asia 1985 di Jakarta: dua emas di nomor 100 dan 200 meter putra. Afdiharto Mardi Lestari Mardi Lestari jadi sprinter top nasional pada 1980-1990-an. Acap merajai Pekan Olahraga Nasional (emas 1989, 1993), pelari kelahiran Binjai 1 Juli 1968 itu, sebagaimana ditulis laman IAAF, mampu menaklukkan negeri jiran dengan dua emas dari nomor 100 (10,41 detik) dan 200 meter putra (21 detik) di SEA Games Kuala Lumpur 1989. Torehan prestasi itu dia tambah di SEA Games Manila 1991 dan SEA Games Singapura 1993 dengan masing-masing satu emas di nomor 100 meter. Mardi yang dijuluki manusia tercepat di Asia itu menjadi satu-satunya wakil Asia di semifinal Olimpiade Seoul 1988. Sayang dia gagal merebut medali. Suryo Agung Wibowo Ngadiman, begitu kadang pria ini dipanggil. Dia dijuluki sebagai manusia tercepat di Asia Tenggara berkat prestasi di dua ajang SEA Games. Situs IAAF mencatat, Suryo  merebut sepasang emas di SEA Games Vientiane 2007 dan SEA Games Nakhon Ratchasima 2009 dari dua nomor: 100 meter dan 200 meter putra. Di dua ajang itu, dia juga meraih masing-masing sekeping perak dan perunggu di nomor 4x100 meter putra SEA Games 2007 dan 2009. Khusus di SEA Games 2007, Suryo dengan modal waktu 10,20 detik, memecahkan rekor nasional nomor 100 meter putra yang sebelumnya dipegang Mardi Lestari. Selepas pensiun di atletik, sejak 2014 Suryo beralih cabang ke sepakbola dengan memperkuat Persikab Bandung.

  • Mati Mendadak karena Penis Menyusut

    SEORANG laki-laki mengeluh kelaminnya menyusut. Panik bukan kepalang, dia buru-buru ke dokter diantar rekan-rekannya. Menurut dokter, kondisinya baik-baik saja, dia tak menderita apa pun sehingga dia disuruh pulang oleh dokter itu. Tapi beberapa waktu kemudian, lelaki itu meninggal. Teman-temannya yang penasaran lantas menengok jenazah lelaki itu. “Karena saking penasarannya, mereka memeriksa alat kelamin temannya yang sudah meninggal. Mereka pikir kelaminnya benar-benar menyusut karena tidak sebesar harapan mereka,” kata David Mitchell, dokter ahli jiwa sekaligus peneliti antropologi medis, pada Historia sambil terkekeh. Mitchell mendapatkan cerita itu kala berkunjung ke Sulawesi Selatan. Mitchell tertarik meneliti koro sejak tahun 2000-an. Koro merupakan penyakit psiko-sosio-kultural yang tersebar di Malaysia, Singapura, Tiongkok Selatan, India, dan Indonesia. Pasien yang menderita koro akan menerima serangan panik karena takut terhadap penyusutan penis. Mereka percaya bila penis sudah menyusut sampai masuk ke dalam perut, mereka bisa mati mendadak. Dari penelusuran Mitchell dalam artikelnya “Curing Koro, The Shrinking Penis Disease”, koro pertama tercatat di pedesaan dekat Pelabuhan Makasar pada 1859. Dalam catatan JC Blonk, Geneeskundige Tijdschifte voor Nederlandsch Indie, koro adalah kondisi akut yang menyerang pasien dengan tiga ciri khas sindrom: serangan panik, keyakinan bahwa penis menyusut, dan takut penisnya akan hilang di dalam perut lalu menyebabkan kematian. Kata koro sendiri berasal dari Bugis dan Makasar meski ada beragam versi tentang asalnya. Fisikawan Belanda PM van Wulfften Palthe, seperti dikutip Ronald C Simons dalam The Culture-Bound Syndromes, menulis koro berasal dari kuro atau kura-kura. Orang Malaysia dan Tiongkok menyebut kura-kura sebagai padanan penis menyusut karena kepala kura-kura yang bersembunyi ke dalam cangkangnya mirip dengan penis mengerut yang seolah masuk ke perut. Namun pada dasarnya, koro dalam bahasa Bugis berarti menyusut atau mengecil. Orang-orang menyebut laso koro yang berarti “penis mengecil” supaya maksudnya jelas. Sementara, di Tiongkok Selatan penyakit ini dikenal dengan suo-yang , di Thailand disebut rook-joo , di Mindanao lannuk e laso , dan di India sebagai jhinjhini . Keributan tentang penyakit koro segera menarik perhatian orang Eropa. Pada 1935, JA Slot meneliti penyakit ini dengan mewawancara pasien dan dukun bernama Daeng Rahing. Para mantan pasien mengaku kalau penis mereka mengecil secara mendadak dan Daeng Rahing berhasil menyembuhkannya. Dari Daeng Rahing, Slot mendapat ciri penderita koro: ketakutan, keringat dingin, kram, loyo, dan tidak sadar. Namun, Slot tidak yakin penyusutan penis benar-benar terjadi mengingat ciri penyakit lebih mirip gejala gangguan mental, pun obat yang diberikan dukun sebatas ramuan dari tanaman obat biasa. Hina Panjarra, dukun di Sumba yang ditemui Mitchell, mengatakan dirinya menyaksikan penis mengecil dan mengembalikannya ke ukuran normal. Selain itu, penduduk desa juga percaya penis laki-laki yang pingsan dan mati mendadak memang tampak menyusut. “Jelas lebih kecil dari biasanya,” kata Mitchell menirukan ucapan penduduk desa. Mitchell melanjutkan, di Sumba penyakit ini dianggap keadaan alamiah, kondisi tubuh saja. Namun, di Flores, yang menyebut koro dengan ru’u pota , orang percaya bahwa koro adalah tulah sebagai akibat dari ilmu magis yang sengaja dipasang untuk melindungi tanaman atau kebun. Orang yang terkena koro bisa jadi habis mencuri tanaman. “Tapi biasanya mereka mengaku hanya lewat saja,” kata Mitchell. Di Sulawesi Selatan, koro merupakan cara istri menghukum suami yang selingkuh. Bila seorang istri menganggap suaminya selingkuh, dia akan menambah beberapa ramuan penyusut penis, semisal kencur yang ditakuti lelaki Sulawesi Selatan, ke dalam makanannya. “Si istri akan menaruh sedikit kencur di makanan suaminya untuk mencegah suaminya melakukan kegiatan ‘itu’ dengan selingkuhanya. Karena penisnya menyusut, si lelaki jadi batal untuk selingkuh, ha-ha-ha,” sambung Mitchell. Para suami yang takut kalau istri mereka mengetahui perselingkuhan itu biasanya pergi ke dukun untuk mencegah penyakit koro. Sementara para dukun menerima semua keluhan koro pada pasien mereka, para dokter di layanan medis kolonial tidak memercayai adanya penyusutan penis. Para dokter memasukkan koro ke dalam ganggguan kejiwaan. Mereka mendiagnosis pasien terkena serangan panik ditambah delusi bahwa penis mereka menyusut padahal sebenarnya penis mereka tidak menyusut samasekali. Ketakutan itu didasari oleh pandangan masyarakat yang menjunjung tinggi maskulinitas. Tak ada simbol maskulinitas yang lebih kuat dari phallus atau penis. Jadi menurut para dokter, koro disebabkan oleh ketakutan mendalam akan lunturnya maskulinitas dalam diri seorang lelaki. Pengagungan maskulinitas dalam diri lelaki dipahami betul oleh para pasien. Akibatnya, yang muncul ke permukaan adalah delusi akan penyusutan penis. Karena itu lah orang-orang di Sulawesi menjadikan koro sebagai ejekan kepada lelaki. “Tapi mereka tidak peduli mau itu penyakit mental atau santet, sebab mereka sudah ketakutan kalau penisnya mengecil dan terus mengomel soal itu. Ha-ha-ha,” kata Mitchell tertawa jahil. Mitchell sendiri tidak yakin penis benar-benar mengecil karena belum menelitinya lebih dalam. Penelitian sebelumnya yang dilakukan sarjana Eropa menduga para pasien merasa sembuh setelah berobat ke dukun karena kecemasannya berkurang. Dukun tidak benar-benar mengembalikan penis ke ukuran semula, melainkan hanya mengatasi kecemasan pasien. “Saya belum pernah lihat dan punya bukti. Tapi mungkin saja benar-benar mengecil atau bisa jadi hanya imajinasi. Sejauh ini, koro masih dikategorikan sebagai gangguan mental,” kata Mitchell.

  • Di Balik Sepakbola di Lapangan Merah

    TERIK mentari Kota Moskva siang 28 Juni 2018 tak mampu menghentikan Presiden Vladimir Putin menikmati permainan si kulit bundar. Ditemani Presiden FIFA Gianni Infantino, Putin justru acap tersenyum. Permainan eksebisi yang digelar di lapangan buatan di Lapangan Merah itu dihelat sebagai salah satu agenda perayaan Piala Dunia 2018. Eksebisi menghadirkan laga antara tim cilik FC Totem melawan tim berisi para legenda macam Iker Casillas, Lothar Matthäus, Ronaldo, Carles Puyol, dan para legenda Rusia seperti Alexey Smertin dan Dmitry Bulykin. “Ini (Lapangan Merah, red. ) adalah jantung Rusia dan untuk dua bulan ini menjadi jantung dunia dan dunia sepakbola,” sebut Infantino, dikutip laman FIFA, 28 Juni 2018. Presiden Rusia Vladimir Vladimirovich Putin (tengah) sedang menggiring bola di arena buatan di Lapangan Merah (Foto: kremlin.ru) Lapangan Merah atau Krásnaya Plóshchad dalam bahasa Rusia merupakan alun-alun besar di timur (Istana) Kremlin dan dibangun pada akhir 1400-an di masa Tsar Ivan III. Lapangan Merah hingga kini acap dijadikan tempat untuk berbagai parade budaya dan militer. Namun, ia hampir tak pernah dijadikan tempat bermain sepakbola. Eksebisi untuk Stalin Semasa Uni Soviet, Lapangan Merah punya cerita lain. Ia tak hanya jadi tempat parade militer dan budaya, namun juga olahraga. Di sanalah Physical Culture Day atau Parade Hari Budaya Olahraga yang eksis sejak 1931 berlangsung. Di masa itu, “Pembersihan Besar-besaran” (1936-1938) masih berlangsung. Semua tokoh berlomba untuk bisa dekat dengan Stalin dengan harapan nyawa mereka aman. Nikolai Starostin, pendiri Spartak Moskva dan Aleksandr Kosarev, pemimpin Komsomol (Liga Pemuda Komunis Soviet), juga ikut dalam “perlombaan” itu. Berbeda dari tokoh lain, Starostin dan Kosarev memilih sepakbola sebagai wahana untuk memenangkan hati Stalin. Maka, pada 1936 laga eksebisi tim Spartak Moskva dihelat di Lapangan Merah. Robert Edelman dalam Spartak Moscow: A History of the People’s Team in the Workers’ State menguraikan, parade pada 1936 itu ingin dijadikan “panggung” tersendiri oleh Kosarev dan Starostin. Makanya dengan beragam intrik, mereka berupaya mengundang semua pejabat Soviet, tentu termasuk Stalin untuk bisa menyaksikan laga bola Spartak. Untuk persiapannya, sekira 300 atlet Spartak (dari berbagai cabang di bawah organisasi Spartak Moskva) dikerahkan untuk membuat karpet hijau berukuran lapangan bola guna menutupi Lapangan Merah sebagai arena sepakbola buatan. Para pejabat Soviet dan Stalin diberikan tempat khusus di Mavzoléy Lenina atau Mausoleum Lenin. Starostin dan Kosarev mati-matian meyakinkan seorang jenderal yang, identitasnya hingga kini tetap tak diketahui, khawatir hajatan itu bisa menimbulkan kesan negatif di mata Stalin. “Orang yang harus diyakinkan Starostin adalah seorang jenderal dari kepolisian rahasia yang awalnya sangat skeptis. Dia tak ingin ada pemain cedera di hadapan Stalin pada hari besar itu,” tulis Edelman. Setelah berhasil meyakinkan Kosarev, Starostin menginstruksikan kepada para pemainnya agar tak boleh melancarkan banyak tekel dan mesti sigap menghindari tekel. Bila ada yang kena tekel, mereka tak boleh memperlihatkan rasa sakit di hadapan Stalin. Satu lagi, bola jangan sampai terlontar liar mengenai tribun Stalin. Pertandingan akhirnya digelar pada 6 Juli 1936, mempertemukan dua tim asal Spartak: tim utama melawan tim cadangan. Dinamo tak mereka undang dalam eksebisi itu. Selain rivalitas, mereka tak ingin menyediakan panggung buat anak-anak asuh Lavrentiy Beria, sekretaris Partai Komunis Uni Soviet yang menjadi pengasuh Dinamo Moskva. Laga eksebisi tim utama vs tim cadangan Spartak Moskva di Lapangan Merah dalam rangka Physical Culture Day 1936 (Foto: Moscow House of Photography) Untuk menjaga mood Stalin, yang bukan penggemar sepakbola dan sangat jarang nonton bola, Kosarev duduk di sebelah Stalin dan selalu siap dengan sapu tangan putihnya. Kosarev akan melambaikannya jika melihat Stalin nampak bosan. Itu merupakan kode untuk Starostin yang ada di pinggir lapangan. Dengan kode itu, Starostin akan memerintahkan timnya untuk tampil lebih atraktif. Laga eksebisi yang resminya dua kali 15 menit itu berjalan 13 menit lebih lama di babak kedua. Tim utama Spartak menang 4-3. Kosarev dan Starostin beserta “anak-anak” mereka girang. Beberapakali Stalin tampak sumringah dan selalu memberi tepuk tangan setiap kali gol tercipta. Lebih lega lagi buat Kosarev dan Starostin, tak ada bola yang melayang liar ke arah tribun kehormatan tempat Stalin berada. Reaksi girang Stalin jadi kemenangan politis buat Kosarev.

  • Wartawan Indonesia di Piala Dunia

    KERETA api itu berhenti di dekat Stadion Santo Yakobus, Basel, Swiss. Sebagian besar penumpangnya orang Jerman Barat. Dari jendela kereta, penumpang bisa melihat pertandingan Jerman Barat melawan Hungaria pada 20 Juni 1954. Sebab letak rel kereta berada lebih tinggi daripada stadion. “Dengan demikian orang-orang Jerman masih juga dapat mengikuti pertandingan itu dari jendela kereta api,” tulis Suharso dalam “Kesan-Kesan Semasa Merebut Kedjuaraan Sepakbola Sedunia 1954”, termuat di Aneka, No 15, 20 Juli 1954. Suharso bekerja sebagai kontributor majalah Aneka dalam Piala Dunia 1954. Dia mungkin menjadi salah satu wartawan asal Indonesia yang paling awal meliput Piala Dunia setelah kemerdekaan. Latar belakang Suharso tak banyak tersua dalam literatur sejarah pers Indonesia. Namanya muncul sepintas lalu dalam buku 20 Tahun Indonesia Merdeka terbitan Departemen Penerangan. Di situ tertulis bahwa Suharso menjadi pelopor pembentukan Seksi Wartawan Olahraga Indonesia Persatuan Wartawan Indonesia (SIWO PWI) Jakarta pada 1966. Laporan Suharso tentang Piala Dunia 1954 berkali-kali muncul di Aneka edisi Juni-Juli 1954. Aneka merupakan salah satu majalah olahraga dan film ternama di Indonesia pada dekade 1950-an. Artikel olahraga Aneka mempunyai kekhasan daripada artikel majalah olahraga sezaman seperti Panorama, Tjakram , Arena Sport , dan Olah Raga . Aneka kerap menghadirkan artikel olahraga karya penulis-penulis Indonesia dari sudut pandang yang tak terduga, sedangkan majalah olahraga lainnya banyak menyadur atau menerjemahkan artikel wartawan olahraga luar negeri. Kekhasan lain Aneka ialah mampu bertahan beberapa lama, dari terbit perdana pada pertengahan 1950 hingga tutup cerita pada dekade 1960-an. Menurut Kurniawan Djunaedi dalam Rahasia Dapur Majalah Indonesia, majalah olahraga ketika itu lazimnya berumur pendek. Salah satu kekhasan Aneka tampak dalam artikel-artikel Suharso tentang Piala Dunia. Dia menyajikan pernak-pernik unik Piala Dunia kepada pembaca Indonesia. Misalnya tentang sebuah kereta sengaja berhenti untuk memberi orang Jerman Barat kesempatan menonton sepakbola. Suharso bercerita pula cara tuan rumah Swiss mempersiapkan Piala Dunia. “Pada waktu itu juga kepada semua penduduk-penduduk di tempat-tempat pertandingan, Bern, Basel, dan lain-lain, diedarkan formulir-formulir dengan pertanyaan apakah sudi menyediakan satu atau dua tempat buat menginap, yang akan diganti ongkos kerugiannya,” tulis Suharso. Suharso juga kasih tahu pembaca Indonesia bagaimana cara orang menonton pertandingan di Piala Dunia. Panitia telah menjual tiket pertandingan kepada penonton sejak tiga bulan sebelum hajatan digelar. “Tetapi bukan karcis yang diterima oleh si pemesan, akan tetapi sebuah surat yang mengatakan bahwa si pemesan sudah mendapat karcis, yang akan dikirim beberapa hari sebelum pertandingan,” kenang Suharso. Tapi sebagai wartawan, Suharso tak perlu memesan tiket jika ingin menonton pertandingan. Dia cuma perlu memiliki kartu identitas resmi dari panitia untuk akses masuk ke stadion. Masalahnya jalan untuk memperoleh kartu identitas itu berliku. “Ini lebih-lebih sulit,” ungkap Suharso dalam Aneka , No. 1, Februari 1956. Panitia Piala Dunia 1954 membentuk Bureau l’Association de la Presse Sportive untuk melayani keperluan peliputan wartawan dari antero dunia. Kantornya berupa gubuk rongsok di pinggir kali. “Orang tidak akan percaya kalau tempat rongsok itu telah berjasa sekali dalam pertandingan sepakbola sejagat di tahun 1954,” lanjut Suharso. Suharso mengisi formulir izin peliputan di gubuk rongsok itu. Daftar isiannya antara lain data diri dan foto Suharso. Syarat lainnya ialah contoh terbitan media tempat bekerja Suharso, kartu pers, dan sejumlah foto hasil jepretannya. Ketika telah memperoleh kartu identitas peliputan, Suharso tak bisa sembarang duduk di stadion. Tempatnya sudah ditentukan panitia. Juru foto boleh berada di tepi lapangan. Tapi mereka dilarang memotret suasana pertandingan dengan blitz kamera. Posisi wartawan penulis berada di tribun. Kalau masih ada kursi, mereka boleh duduk. Namun jika penuh, terpaksa berdiri. Selama meliput Piala Dunia, Suharso bersama seorang wakil PSSI. Namanya Moerdono. Suharso menyarankan Moerdono agar mendatangkan tim Hungaria ke Indonesia. Menurut Suharso, Hungaria memiliki permainan rapi dan cepat. Siasat ini sukses membawa mereka menembus final untuk melawan Jerman Barat. Meskipun Hungaria kalah oleh Jerman Barat, Suharso yakin Hungaria bisa kasih timnas Indonesia banyak pelajaran jika PSSI mau mendatangkan mereka. “Kalau PSSI ingin maju dalam Olimpiade di Melbourne nanti pada tahun 1956, rasanya tidak ada buruknya untuk mengundang juga Ungarn (Hungaria,  red. ) ke Indonesia,” kata Suharso kepada Moerdono. Mendengar usulan Soeharso, Moerdono hanya menggelengkan kepala. Timnas Hungaria tidak pernah datang ke Indonesia. Prestasi timnas Indonesia di Olimpiade Melbourne pun sebatas menahan imbang Uni Soviet dengan skor 0-0. Di pertandingan ulangan, timnas Indonesia menyerah 0-4 kepada Uni Soviet. Mungkinkah hasilnya berbeda jika pengurus PSSI mendengar saran Suharso?

  • Misteri Piala Dunia di Patagonia

    EUFORIA dan pengaruh sepakbola tak mengenal situasi dan kondisi. Bahkan saat sebagian besar wilayah di bumi terbakar Perang Dunia II, pesta permainan si kulit bundar tetap bergulir lewat perhelatan Piala Dunia 1942 di Amerika Latin. Sebagaimana “Piala Dunia” tak resmi di Jerman, Piala Dunia ini juga tak diakui. Organisasi sepakbola manapun, terlebih FIFA, tak pernah mengakuinya. “Memang Piala Dunia 1942 tak pernah disebutkan di buku sejarah manapun, namun pernah dimainkan di Patagonia, Argentina,” ungkap Osvaldo Soriano dalam Pensare con i Piedi . “Piala Dunia” Patagonia, wilayah yang –kini terbagi antara Argentina dan Cile– pada 1942 masih masuk ke dalam kekuasaan Raja Antoine III dari Kerajaan Araucanía dan Patagonia, berlangsung pada medio November 1942. Turnamen ini digagas Menteri Olahraga Kerajaan Patagonia asal Balkan, Count Vladimir von Otz. Pesertanya diikuti 12 tim. Tim-tim yang berlaga tak hanya tim nasional Italia, Polandia, Jerman, Brasil, Skotlandia, Inggris, Uni Soviet, Uruguay, Spanyol, dan Prancis, tapi juga tim-tim lokal Real Patagonia dan Mapuche. Mereka umumnya diisi pemain yang merupakan imigran, pekerja tambang, buruh, dan orang-orang Indian Mapuche. Laga pembuka digelar 8 November 1942 dengan menghadirkan tim Italia kontra Real Patagonia. David Wood dalam Football and Literature in South America menguraikan, Piala Dunia 1942 Patagonia memunculkan tim Indian Mapuche sebagai juara setelah di final mengalahkan Jerman 2-1. Meski banyak orang hingga kini masih mempertanyakan kebenaran turnamen tersebut, selubung misteri Piala Dunia mulai tersibak tahun 2011 kala sineas Italia Lorenzo Garzella dan Filippo Macelloni merilis dokumenter bertajuk “Il Mundial Dimenticato” atau “Piala Dunia yang Hilang”. Dokumenter 95 menit itu menampilkan riset jurnalis senior Argentina Sergio Levinsky, beberapa temuan Garzella-Macelloni, dan wawancara sejumlah tokoh mulai Jorge Valdano (mantan striker Argentina) hingga João Havelange (presiden FIFA 1974-1998). Dokumenter itu juga menyajikan seorang Indian Mapuche bernama Sarkento yang mengaku turut menjadi bagian tim Mapuche. “Di antara para pemain di tim (Mapuche), saya yang paling muda. Itulah kenapa saya sekarang (2011) masih hidup,” ujar Sarkento dalam dokumenter itu. Dari sejumlah temuan Garzella-Macelloni yang ditampilkan dokumenter, ada foto upacara pembukaan yang memampang Van Otz sedang berdiri di antara kedua tim dengan memegang trofi Jules Rimet. Van Otz merupakan orang yang menugaskan Guillermo Sandrini, kameramen Argentina berdarah Italia, mendokumentasikan “Piala Dunia” Patagonia. Trofi Jules Rimet yang ada di foto hingga kini masih jadi misteri apakah asli atau hanya replika. Penelusuran Levinsky belum sampai ke situ. Pun dengan temuan arsip rekaman Guillermo Sandrini. Mayoritas orang mengganggap Piala Dunia itu misteri berselubung mitos atau sekadar legenda. Ketidakpercayaan publik diperkuat oleh beberapa keganjilan dalam dokumenter. Salah satunya, ada wasit di turnamen itu yang merupakan putra Butch Cassidy, bandit pelarian dari Amerika Serikat. Dia dikatakan mewasiti laga bukan dengan peluit, tapi dengan pistol. Alhasil, banyak orang menganggap dokumenter itu cenderung sebuah Mockumentary  alias dokumenter palsu. Pendapat lain, termasuk dari tokoh-tokoh yang diwawancara dokumenter itu, menganggap “Piala Dunia” Patagonia sekadar legenda. “Meski jika (Piala Dunia Patagonia 1942) itu hanya sebuah legenda, tetap penting bagi sepakbola,” kata Havelange di dokumenter itu sebelum tutup usia pada 2016.

  • Upaya Berarti di Saumlaki

    BULAN ini, Juli, 76 tahun silam. Sersan KNIL Julius Tahija mendapat tugas memimpin pasukan berlayar ke Maluku dari markas pengasingan mereka di Australia. Dia belum tahu tujuan pasti dan misi yang diembannya karena surat perintah yang diterimanya baru boleh dibuka di tengah perjalanan. Dia hanya tahu, tugasnya merupakan bagian dari upaya ABDACOM/Sekutu menahan gerak-maju pasukan Jepang yang menggunakan strategi lompat katak, yakni menduduki satu pulau untuk pijakan menduduki pulau berikutnya. Meski tak siap menghadapi invasi Jepang, KNIL tak ingin kedatangan Jepang ke Hindia Belanda berjalan mulus. Sejak mengebom Pearl Harbor pada akhir 1941, Jepang dengan cepat menduduki daerah-daerah di selatan. Di Maluku, kabar akan datangnya Jepang sudah tersiar sejak akhir 1941. “Berita radio mengabarkan tidak lama lagi musuh akan datang. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di kemudian hari,” tulis Roger Maynard dalam Ambon: The Truth About One of the Most Brutal POW Camps in World War II and the Triumph of the Aussie Spirit . Penduduk berbondong-bondong mengungsi. Sebuah serangan terhadap bandara dan Pelabuhan Darwin pada 19 Februari, menewaskan 240 orang, merisaukan ABDACOM (American-British-Dutch-Australia Command) akan datangnya serangan Jepang ke Australia. Untuk mengantisipasinya, mereka menyusun rencana perlawanan guna menggagalkan taktik lompat katak Jepang. ABDACOM lalu mengirim tim-tim kecil berisi 10-1000 personil ke berbagai pulau di tiga jalur utama menuju Australia dari utara. Namun, upaya itu justru menjadi blunder karena banyak personil Sekutu itu ditawan dan dibunuh Jepang. Seruan dari lapangan agar langkah tersebut dihentikan, tak mendapat perhatian. Pengiriman tim-tim kecil tetap berjalan. Tahija dan pasukannya berangkat pada awal Juli 1942. “Saya memimpin salah satu kelompok yang terdiri atas 13 tentara Hindia Belanda,” kata Tahija dalam otobiografinya, Julius Tahija Melintas Cakrawala . Mereka berlayar menggunakan kapal tua Griffioen yang hanya punya senapan dek ringan tapi tak dilengkapi radio komunikasi. “Begitu sampai di laut, saya membuka surat perintah. Kami harus pergi ke Desa Saumlaki di Pulau Jamdena di Kepulauan Tanimbar, 350 mil utara Darwin.” Mereka tiba di pulau berpenduduk 5000-an jiwa itu pada sebuah malam setelah melewati laut yang tak bersahabat. Kala itu, satu-satunya akses untuk memasuki pulau hanya dermaga kecil yang menjorok ke laut, tempat Griffioen bersandar. Dengan bantuan seorang inspektur polisi beserta 26 bawahannya plus penduduk setempat, Tahija dan pasukannya membuat parit perlindungan di sekitar dermaga untuk menyambut kedatangan musuh. “Jadi parit pertahanan kami tempatkan di pantai. Ini taruhan. Kalau saya salah, atau kalau Jepang mendarat di siang hari, kapal perangnya akan menghancurkan kami dalam waktu beberapa detik saja,” ujarnya. Pada pukul 11 malam 29 Juli, Tahija pamit tidur kepada seorang pendeta yang mengajaknya ngobrol. Setelah tidur dan memimpikan sang pendeta, Jean istrinya, dan perang, Tahija terkaget-kaget karena dibangunkan prajurit jaga. Prajurit itu memberitahu dua kapal Jepang baru saja masuk Teluk Jamdena. Tahija langsung ke ujung dermaga untuk memastikannya. Dia lalu mendapati dua kapal perang Jepang itu sedang menurunkan para prajurit bersenjata lengkap ke sekoci-sekoci yang akan membawa ke dermaga. Setelah kembali ke markas, Tahija dan pasukannya langsung bersiap di posisi masing-masing untuk menyambut kedatangan para serdadu Jepang. Tahija amat khawatir keputusannya salah. Sementara, keyakinan bahwa Saumlaki tak dijaga membuat pasukan Jepang maju tanpa curiga sehingga tak sedikitpun melakukan pengecekan. “Dari parit persembunyian kami kini tinggal kira-kira 45 meter; berarti sudah masuk dalam jangkauan tembakan kami. Pada saat itulah saya menerikkan aba-aba dalam bahasa Belanda: ‘ vuren !’,” kenang Tahija. Puluhan serdadu Jepang langsung tumbang. Mereka kocar-kacir, suasana dermaga gaduh. Semangat tempur Sekutu melonjak. Para serdadu Jepang yang masih hidup langsung memberi tembakan balasan. Meriam-meriam kapal perang Jepang memberi tembakan bantuan tak lama kemudian. Rombongan kedua pasukan Jepang, yang menjadikan jasad teman-teman mereka yang tewas sebagai tameng, datang membantu. Tembakan-tembakan Jepang mulai banyak memakan korban. Tahija sendiri kena pecahan peluru kaki kirinya. “Tindakan yang paling realistis adalah mundur ke hutan,” kata Tahija. Setelah mempersiapkan segalanya, termasuk membakar dokumen dan memilih penduduk yang akan diajak, Tahija memerintahkan pasukannya mundur. Sayang, mereka tak berbarengan. Akibatnya, Tahija mesti menunggu anak buahnya sampai dua hari di hutan. Begitu lengkap, mereka menyusuri jalan setapak hutan ke arah barat. Mereka akhirnya tiba di bagian paling ujung pulau. Penduduk setempat menyambut hangat mereka dengan mencukupi kebutuhan hidup selama di sana. Penduduk juga memberi perahu yang digunakan pasukan Tahija untuk menyisir pantai hingga akhirnya mendapatkan bantuan sebuah kapal Bugis dari penduduk desa lain. Dengan kapal itulah mereka kembali berlayar menuju Darwin. Pelayaran pulang tak kalah membahayakan dari pertempuran di darat. Mereka mesti ke utara untuk mengelabui Jepang, lalu berbalik ke selatan menuju Darwin. Mereka terus bersiaga karena khawatir bertemu kapal perang Jepang. Ketika daratan Australia muncul di pelupuk mata, kapal terdampar di karang. Beruntung, pasang air laut datang beberapa jam kemudian sehingga kapal bisa kembali berlayar. Mereka akhirnya mencapai Kepulauan Bathurst. Tahija langsung mendapat laporan bahwa radio Tokyo telah menyiarkan keberhasilan pasukan Jepang yang tinggal selangkah lagi dan gerak maju mereka hanya tertahan sebentar di Saumlaki. Tahija dan sisa beberapa anakbuahnya akhirnya selamat mencapai tanah Australia. “Atasan militer Belanda, yang tahu bahwa sayalah yang melakukan perlawanan tersebut dengan 13 anak buah, mengajukan usul agar saya dianugerahi bintang kehormatan militer tertinggi –secara anumerta karena mengira saya gugur– Militaire Willmes-Orde,” ujar Tahija.

  • Jenderal yang Disalahkan

    Bandung, 9 Februari 1978. Pagi baru saja menyeruak ketika Maria mendengar suara letusan senjata memecah keheningan. Beberapa saat kemudian dari arah kampus ITB, puluhan mahasiswa terlihat berlarian dalam wajah panik. Sementara di belakang, para serdadu berbaret hijau dengan senjata lengkap mengejar mereka bak binatang buruan. “Di Jalan Trunojoyo pas dekat rumah saya, dua mahasiswa berhasil ditangkap dan langsung dipukuli dengan popor senjata,” tutur perempuan asli Bandung berusia 71 tahun itu. Tak ada yang menolong mereka. Masyarakat yang saat itu ada di jalanan pun tak bisa berbuat apa-apa. Alih-alih menolong, mereka hanya bisa menonton saja pemandangan brutal di depan mata tersebut. Dari halaman rumahnya, Maria masih sempat melihat seorang serdadu berteriak garang. “Ngapain kalian menonton kami! ABRI bukan ketoprak!” Pada waktu yang sama serentetan tembakan menghantam bagian depan rumah Profesor Iskandar Alisyahbana di kawasan Tamansari. Hamburan pelurunya tidak saja berhasil memecah kaca jendela namun juga membuat seluruh penghuninya ketakutan. Keesokan harinya, Iskandar mendatangi rumah Pangdam Siliwangi Mayor Jenderal Himawan Soetanto. Dalam wajah masam, dia meminta penjelasan dan tanggungjawab terkait peristiwa tersebut. “Hoe kunnen jullie zo laf zijn?” tanya Iskandar, kurang lebih artinya mengapa pihak tentara bisa bersikap begitu pengecut kepada dirinya. Awalnya Himawan hanya bisa bengong saja. Namun dengan tegas dia menolak tuduhan Iskandar bahwa prajuritnya yang melakukan tindakan tersebut. Kepada Rektor ITB itu, Himawan menjamin bahwa para prajurit Siliwangi sudah dia perintahkan untuk bertindak persuasif terhadap para mahasiswa. “Saya pastinya menolak jika pelaku penyerbuan dan penembakan itu adalah prajurit Siliwangi, tapi saya tak bisa membantah jika pelakunya adalah tentara. Serakan selongsong peluru kaliber 45 di sekitar rumah Pak Iskandar membuktikan itu,”ujar Himawan dalam suatu wawancara di tahun 2009. Dianggap Lamban Pasca Pemilu 1977, kampus-kampus di Bandung mulai memanas. Aksi menolak pencalonan kembali Jenderal Soeharto sebagai presiden nyaris setiap hari dilakukan oleh para mahasiswa. Seruan untuk mogok kuliah pun mulai menggema. Secara resmi, Rektor ITB pun menganggap aksi-aksi mahasiswanya masih dalam batas kewajaran. Iskandar menyebut demonstrasi mahasiswa sebagai gerakan moral yang sebenarnya bagus untuk mengingatkan pemerintah untuk terus berpihak kepada rakyat. “Yang mencolok di kampus ITB ya cuma banner sepanjang lima meter itu yang isinya menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai presiden,” ujar Iskandar seperti dikutip Daud Sinjal dan Atmadji Sumarkidjo dalam Himawan Soetanto Menjadi TNI. Pihak Kodam VI Siliwangi sendiri seperti sependapat dengan Iskandar. Itu dibuktikan dengan seruan Pangdam VI Siliwangi Mayjen Himawan Soetanto yang memerintahkan anak buahnya untuk menangani aksi mahasiswa lewat cara yang persuasif. “Saya ketika itu memang menyikapi gerakan mahasiswa dengan wajar-wajar saja...Sikap mereka merupakan bagian dari dinamika dan kontrol sosial,” ungkap Himawan. Sikap Himawan tersebut dalam kenyataannya ditentang keras oleh para petinggi ABRI di Jakarta. Kepada jurnalis senior Jopie Lasut, Himawan sempat curhat bahwa saat dipanggil ke Jakarta pada awal Januari 1978, dirinya sempat dimarahi oleh Kaskopkamtib Laksamana Sudomo. “Dia dianggap lamban dalam soal menyelesaikan masalah demonstrasi mahasiswa di Bandung,” ungkap Jopie Lasut dalam Kesaksian Jurnalis Anti ORBA; MALARI Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA. Bahkan kepada Pangkowilhan II Jawa-Madura Letnan Jenderal Widjojo Sujono, Sudomo secara khusus memerintahkan untuk mengawasi Himawan. Digunting dalam Lipatan Kendati sudah dipanggil dan diingatkan beberapa kali, Himawan seolah “enggan” menjalankan perintah Jakarta untuk bersikap tegas terhadap mahasiswa. Dia beranggapan selama aksi-aksi mahasiswa terjadi di dalam kampus dan tidak mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat Bandung maka tak ada alasan baginya untuk bertindak represif. Tentu saja sikap “mbalelo” Himawan ini menjadikan Sudomo murka. Tanpa melibatkan Himawan, dia kemudian membuat sebuah gerakan yang diberi sandi: Operasi Kilat. Untuk Bandung, hari H-nya adalah 25 Januari 1978. Operasi Kilat berhasil membungkam untuk sementara gerakan mahasiswa Bandung. Disebutkan Himawan 164 aktivis mahasiswa berhasil diciduk dan kampus-kampus diduduki oleh tentara. Namun beberapa hari kemudian, aksi-aksi mahasiswa seolah bangkit kembali. Beberapa dari mereka bahkan berani menyebarkan selebaran gelap dan memasang spanduk “gantung Soeharto” di beberapa sudut kampus. Limabelas hari kemudian, tentara kembali menyerbu kampus-kampus di Bandung. Lagi-lagi Himawan sebagai panglima daerah digunting peranannya melalui Asintel-nya yakni Kolonel Samalo, yang sesuai perintah Sudomo langsung memimpin penyerbuan. “Jadi ini out of control karena saat bergerak ke kampus-kampus yang diberlakukan adalah komando intelijen...Jadi gerakan pasukan itu memang tidak dalam kontrol Pangdam,” kata Himawan saat diwawancarai oleh Jopie Lasut. Himawan juga menyangkal jika pasukan yang terlibat dalam operasi-operasi penyerbuan kampus merupakan anak-anak Siliwangi. Dia menyebut bahwa ada pasukan tak jelas yang secara sengaja berpura-pura sebagai pasukan Siliwangi dari unit Kudjang lengkap dengan baret hijaunya. Ketika dikonfirmasi oleh Jopie kepada seorang yang dekat dengan As Intel Hankam Mayor Jenderal L.B.Moerdhani, soal ini dibenarkan. Menurutnya pasukan yang terlibat dalam penyerbuan kampus ITB adalah dari Kopasandha (sekarang Kopassus). Bahkan beberapa di antaranya ada yang baru saja pulang dari palagan Timor-Timur (kini Timor Leste). Tidak Menyesal Pada saat tengah gencar-gencarnya para serdadu menyerbu kampus-kampus di Bandung, terbetik berita dari Radio Australia bahwa Himawan Soetanto sudah dinon-aktifkan sebagai Pangdam VI Siliwangi. Kendati berita tersebut ternyata tidak benar, namun diakui oleh Himawan sendiri bahwa penolakannya terhadap perintah Laksamana Sudomo itu memang telah menjadikan citranya sangat buruk di hadapan Jakarta. “Dalam suatu kesempatan, saya pernah menjelaskan semuanya langsung kepada Pak Harto, beliau cuma mantuk-mantuk tapi tidak berkomentar,” kenang Himawan. Lantas menyesalkah dia? Tentu saja tidak. Dalam biografinya, Himawan menyebut bahwa tidak ada niat sedikit pun dalam dirinya untuk tidak mematuhi perintah Jakarta kala itu. Namun sebagai pemimpin teritorial dia merasa akan terjadi kerusakan yang berkepanjangan jika dirinya menjalankan tindakan militer terhadap para mahasiswa tersebut. Himawan tak mau rakyat memendam kebencian terhadap tentara sesudahnya. “Jika itu dilakukan, Siliwangi akan sulit dimaafkan oleh rakyat Jawa Barat. Sebagai Panglima Siliwangi, kepada saya dipertaruhkan keselamatan rakyat Jawa Barat sekaligus keselamatan citra TNI,” ungkapnya. Secara karir, Himawan pun akhirnya harus puas hanya sebatas menyandang pangkat Letnan Jenderal dan jabatan Kepala Staf Umum ABRI. Laiknya jenderal-jenderal lurus yang pernah “berdosa” kepada pemerintah Orde Baru, dia kemudian harus menerima ganjaran sebagai tentara yang diasingkan. Pada 1984, Presiden Soeharto menjadikannya duta besar di Malaysia.

  • Pemberontakan Terhadap Majapahit

    PARA pengikut Kertarajasa yang setia dan berjasa dalam perjuangan mendirikan Kerajaan Majapahit diberi kesempatan untuk menikmati hasil pengabdiannya. Sebagai balas jasa, mereka diangkat menjadi pejabat tinggi dalam pemerintahan. Namun, satu per satu memberontak. Sebagian nama pengikut Kertarajasa itu dijumpai dalam beberapa prasasti. Prasasti Kudadu (1294 M) menyebutk Wiraraja sebagai mantri mahawiradikara . Prasasti Sukamrta (1296 M) menyebut Mpu Tambi (Nambi) sebagai rakryan mapatih dan Mpu Sora sebagai rakryan apatih di Daha. Dalam hierarki Majapahit, Nambi memperoleh kedudukan yang tinggi sedangkan Sora mendapat tempat kedua. Sumber lain, Kidung Ranggalawe, menyebut Wenang atau Lawe sebagai amanca nagara di Tuban dan adhipati di Datara. Adapun tokoh yang pernah memimpin pasukan Singhasari ke Malayu dijadikan panglima perang dan mendapat nama Kebo Anabrang. Kendati masing-masing sudah diberi kedudukan, namun tetap ada yang tak puas. Inilah salah satu pemicu pemberontakan dalam dua dasawarsa pertama sejarah Majapahit yang baru berdiri. Pemberontakan Ranggalawe Pemberontakan pertama ini terjadi ketika Wijaya masih berkuasa pada 1217 Saka (1295 M). Pemberontakan bupati daerah Datara yang beribukota di Tuban ini dipicu ketidakpuasannya atas kebijakan yang diambil oleh Wijaya. Peristiwa ini dikisahkan dalam Pararaton, Kidung Ranggalawe , dan Kidung Panji Wijayakrama, tapi tidak sebut dalam Nagarakrtagama . Pararaton dan Kidung Ranggalawe mengisahkan Ranggalawe tak terima Nambi dipilih sebagai patih di Majapahit. Dia merasa lebih berjasa dan gagah berani dibanding Nambi. Pemberontakan dapat dipadamkan dan Ranggalawe tewas. Namun, Majapahit kehilangan perwira setianya yang ikut membangun kerajaan, yaitu Kebo Anabrang. Pemberontakan Lembu Sora Serat Pararaton mencatat pemberontakan Lembu Sora terjadi pada 1300 M. Kekisruhan ini tak disebut dalam Nagarakrtagama, namun dipaparkan rinci dalam Kidung Sorandaka. Kidung Sorandaka  dan Serat Pararaton menyebut tokoh bernama Mahapati, dalang peristiwa Lembu Sora. Dia membisiki Wijaya untuk menghukum Lembu Sora karena telah menikam Kebo Anabrang yang tengah memiting leher Ranggalawe. Dia lolos dari hukuman mati karena berjasa kepada kerajaan. Mahapati kemudian memfitnah Lembu Sora akan berkhianat kepada Majapahit. Tentara Majapahit pun menyerangnya . Dia dan sahabatnya,Juru Demung dan Gajah Biru, terbunuh. Pemberontakan Nambi Jayanagara, putra Wijaya, mewarisi Majapahit dalam keadaan belum ajeg. Dia mencurigai para pengikut ayahnya tak setia. Ditambah lagi fitnah Mahapati menjadi-jadi. Setelah Lembu Sora, Mahapati kemudian memfitnah Nambi. Serat Pararaton menerangkan Mahapati berujar kepada Nambi kalau sang prabu tak senang kepadanya. Agar tak salah paham, dia menyarankan supaya Nambi menyingkir dari ibukota untuk sementara waktu. Kebetulan ayahnya sedang sakit. Jayanagara mengizinkan Nambi menengoknya, tapi tak boleh terlalu lama. Ketika ayahnya meninggal, Nambi ingin memperpanjang cutinya. Namun, Mahapati berkata lain kepada raja bahwa Nambi tak akan kembali dan justru membangun benteng dan pasukan untuk memberontak. Nambi pun membuat benteng di Pajarakan untuk mengantisipasi serangan Majapahit. Pada 1316 M tentara Majapahit menyerang Pajarakan dan menduduki kotanya. Nambi dan keluarganya dihabisi. Meski begitu, di antara menteri Majapahit banyak pula yang memihak Nambi. Setelah pemberontakan itu, ungkap Kidung Sorandaka , Mahapati diangkat menjadi patih menggantikan Nambi. Ambisinya tercapai. Pemberontakan Semi Usai menumpas Nambi, Majapahit belum sepenuhnya tenang. Dua tahun kemudian, pada 1318 M, Semi memberontak pada Jayanagara. Semi bersama Kuti, Pangsa, Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca, dan Ra Banyak merupakan dharmmaputra yang mendapat anugerah dari raja. Pemberontakan Semi dapat diatasi dengan mudah. Pemberontakan Kuti Setahun kemudian, pemberontakan Kuti cukup mencemaskan kerajaan. Sang prabu sampai mengungsi ke Desa Badander. Dalam pemberontakan ini nama Gajah Mada muncul untuk pertama kali. Berkat siasatnya, huru hara berhasil dipadamkan. Majapahit tenang kembali. Meski begitu, Jayanagara akhirnya tewas di tangan Ra Tanca, pejabat yang berperan sebagai tabib istana. Ra Tanca tewas di tangan Gajah Mada.*

  • Piala Dunia yang Tak Diakui

    ENAM dekade silam, Swedia menggoreskan tinta prestasi tertinggi, sebagai finalis Piala Dunia (1958). Kini jalan untuk menyamainya atau bahkan melewatinya (baca: juara) cukup terbuka mengingat di Piala Dunia 2018 ini Andreas Granqvist dkk. sudah memijak babak perempatfinal. Inggris jadi lawan Swedia dalam laga yang akan dimainkan Sabtu (7/6/2018). Bukan mustahil Swedia bisa merebut tiket semifinal. Terlebih, di Rusia keunggulan di atas kertas bukan segalanya. Tengok saja nasib Spanyol, Portugal, Argentina, atau Jerman. Swedia bahkan bisa “juara” seperti ketika tahun 1942. Tapi, adakah Piala Dunia 1942? Perang Dunia II masih panas-panasnya tahun itu. FIFA memang sudah mengagendakan Piala Dunia 1942 dan 1946. Untuk Piala Dunia 1942, Brasil dan Jerman bahkan sudah mengajukan diri sebagai tuan rumah. Namun, invasi Jerman ke Polandia pada 1 September 1939, yang menandai dimulainya Perang Dunia II, membuat agenda itu buyar. FIFA terpaksa tiarap dan batal menggelar Piala Dunia. Meski begitu, Jerman tak menyetop seluruh aktivitas sepakbolanya. Negeri yang dipimpin Adolf Hitler itu justru menyempatkan diri bikin pertandingan yang diklaim sebagai final Piala Dunia. Paul Brown dalam Unofficial Football World Champions menyebutkan, otoritas propaganda Jerman pernah mengatur sebuah laga yang diklaim sebagai final Piala Dunia pada 20 September 1942 di Olympiastadion, Berlin. Namun, laga “final” tanpa turnamen itu mungkin lebih tepat disebut pertandingan persahabatan. Jerman, lanjut Brown, mengatur laga-laga (persahabatan) itu dengan mengundang sejumlah tim dari negara-negara netral dan sekutu Jerman-Nazi. Tim Jerman besutan Sepp Herberger sempat kalah 1-2 pada laga yang dimainkan di hari ulang tahun Hitler, 20 April 1942. Kekalahan itu membuat para pemainnya diancam bakal dikirim ke front Timur (Uni Soviet) nan brutal agar tak kalah di laga-laga berikutnya. Ancaman itu berhasil jadi suntikan semangat lantaran Jerman menang 5-3 lawan Hungaria, 3-0 lawan Bulgaria, dan 7-0 lawan Rumania. Namun saat meladeni Swedia, mereka keok 2-3. Swedia juara, tapi tak diakui FIFA sebagai juara dunia. “100 ribu orang meninggalkan stadion dengan depresi. Dan karena kemenangan sepakbola ini lebih dekat di hati rakyat ketimbang direbutnya sebuah kota di Eropa Timur, harusnya kekalahan seperti ini jadi hal terlarang demi suasana hati masyarakat,” kata Martin Luther, sekretaris Departemen Luar Negeri Jerman, sebagaimana dikutip Brown. Usai “Piala Dunia”, tim Jerman dibubarkan. Sejumlah pemainnya dikirim ke front timur. Kapten tim, Fritz Walter, jadi satu dari sedikit awak tim Jerman yang selamat hingga perang usai. Walter pula yang kemudian jadi kapten kala Jerman memenangi Piala Dunia 1954.

bottom of page