Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Katakan Cinta dengan Kelopak Bunga
SUATU malam sebelum Rukmini dinikahkan dengan Raja Cedi, Kresna membujuk seorang dayang untuk menyerahkan surat kepada Rukmini. Ketika surat itu sampai, sang putri masuk ke kamarnya dan membaca surat cinta yang panjang dan penuh emosi itu. Rukmini terharu. Hatinya gelisah. Kresna memang sudah berniat melarikan Rukmini. Putri itu pun keluar lagi menuju taman. Seorang pelayan menyarankan dia menuliskan perasaannya di atas pudak supaya tersembunyi dari para putri yang akan menemaninya malam nanti di taman. Demikianlah Mpu Triguna melukiskan kisah cinta Kresna dan Rukmini dalam Kakawin Krsnayana sekira abad 12 M . Dalam banyak karya sastra klasik, khususnya di Jawa, surat menyurat telah menjadi hal biasa bagi sepasang kekasih untuk mengungkapkan perasaannya. Misalnya, dalam salah satu panil relief di Candi Panataran, Blitar, tergambar bagaimana cara sepasang perempuan dan laki-laki bertukar pesan. Seorang laki-laki yang mengenakan tutup kepala tekes menggenggam gulungan surat. Di depannya ada burung kakak tua. Di panil selanjutnya, burung itu terbang membawa gulungan surat itu. Ia menyebrangi ladang dan pepohonan. Di panil berikutnya, burung itu menyerahkan surat pada seorang panakawan yang berada di bawah seorang putri, kemungkinan majikannya. Ia mengambilkan surat itu dan menyerahkannya kepada sang putri. Di belakang putri, dua dayang menyaksikan. Meski tak jelas terbuat dari apa surat itu, banyak kakawin sering menyebut selembar pudak sebagai media untuk menyampaikan pesan sepasang kekasih. “Karena dalam hampir setiap kakawin terdapat sebuah kisah asmara dan dalam kisah-kisah asmara itu hampir selalu surat cinta macam itu terbang kian kemari,” tulis Petrus Josephus Zoetmulder, pakar Jawa, dalam Kalangwan. Menurut Zoetmulder pudak dinamakan juga ketaka atau ketaki dan cindaga. Pudak adalah bunga dari pohon yang mirip pohon nanas. Dia menyamakannya dengan pohon pandan. Pohon pandan memang sering masuk dalam deskripsi tentang alam di berbagai kakawin. Tanaman ini banyak tumbuh di sepanjang pantai atau sungai, di atas batu-batu karang yang muncul ke atas, hampir menyentuh permukaan air. Bentuk bunga pandan ( pudak ) tersusun dalam beberapa lapisan. Bunganya berwarna kuning, terbungkus semacam bungkus lonjong, yang pada satu ujung meruncing. Bunganya akan terlihat jika pelepah itu mekar. Daun bunga pudak yang panjang dan putih inilah yang dipakai sebagai media tulis. Pudak dipakai sebagai media tulis karena tak sulit mendapatkannya. Begitu pula dengan alat untuk menulisnya. Setiap benda tajam bisa digunakan untuk menulis. Misalnya, sebatang tusuk gading atau biasa disebut sadak. Alat ini sering menjadi hiasan rambut para perempuan. Selain sadak, duri pohon pandan juga bisa dipakai untuk menulis. Namun, pudak tidak awet karena daun bunganya cepat layu dan latarbelakangnya yang putih atau kuning mudah menjadi hitam, sama seperti tulisan di atas kulitnya. Setiap goresan tulisan seketika menjadi hitam sehingga pemakaiannya hanya sekali. “Khususnya surat cinta dalam bentuk kakawin singkat dan yang panjangnya tak lebih banyak dari beberapa bait saja atau menggambarkan wajah sang kekasih yang sedang dirindukan,” tulis Zoetmulder. Dengan begitu, pudak bukan media tulis bagi para penyair profesional melainkan bagi para amatir. “Pudak membuka kesempatan bagi para kekasih untuk mengungkapkan isi hatinya yang terpendam, tanpa meninggalkan tulisan yang tahan lama dan yang kemudian hari mungkin merepotkan mereka,” lanjut Zoetmulder. Dalam kebudayaan masa itu, pudak nampaknya lekat dengan urusan percintaan. Pudak, dalam berbagai karya sastra Jawa Kuno, sering diumpamakan betis seorang wanita bila kainnya terbuka sedikit. Pudak juga menjadi sebuah ungkapan, seperti dalam kakawin Sumanasantaka abad 13 karya Mpu Monaguna, tertulis: “Bila kau menjelma menjadi bunga pudak , aku akan merupakan tulisan di atas daunnya.”
- Pasukan Penggusur Lelembut
PAKUBUWONO II (1711-1749), raja Kartasura, dilanda kegusaran. Keratonnya luluh-lantak akibat Geger Pecinan (1740-1743) . Dia pun membuat keraton baru dengan lokasi yang baru pula karena dia percaya keraton lama sudah kehilangan pamor karena peristiwa tersebut. Para penasihat raja berunding. Mereka pun sepakat memilih wilayah Kedunglumbu di Desa Sala sebagai calon keraton baru. Proyek keraton baru itu banyak rintangan. Kedunglumbu merupakan daerah rawa dan ditumbuhi tanaman talas. Selain itu, wilayah ini pusat lelembut yang dipimpin Uling Putih dan Nyi Blorong. “Banyak kesukaran dalam melaksanakan pembangunan keraton baru. Air rawa harus dikeringkan. Penghuninya yang misterius juga harus digusur terlebih dahulu,” demikian tertulis dalam “Bagaimana Dulu Raja Solo Menggusur Daerah Setan dan Jin,” majalah Cinta , 1973. Para penasihat raja bertekad mensukseskan proyek pembangunan kraton baru itu. “Waktu yang dibutuhkan untuk membuka hutan, meratakan tanah dan membangun keraton, cukup lama. Berbagai gangguan sering terjadi, seperti kejang-kejang yang menimpa pekerja. Peristiwa demikian dianggap sebagai gangguan makhluk halus. Oleh para penasihat raja, dianjurkan untuk mengadakan upacara guna mengatasinya,” tulis Bakdi Soemanto dalam Cerita Rakyat dari Surakarta 2 Volume 3 . Uling Putih dan Nyi Blorong yang mengepalai barisan lelembut di Kedunglumbu sudah diperingatkan oleh Nyi Roro Kidul untuk berpindah tempat, daripada mendapat murka raja. Belum sempat para lelembut itu pindah tempat, Pakubuwono II sudah mengirimkan sepasukan berpakaian aneh dan menabuh beragam alat gamelan. Suasana gaduh membuat para lelembut kocar-kacir. Pakubuwono II mengirim pasukan cantang balung di barisan terdepan. Pasukan ini berpakaian aneh: memakai topi berkerucut tinggi, berkain merah, berkalung bunga melati, berikat pinggang sindur, jenggot terurai putih, dan mengacungkan tombak Kyai Slamet. “ Cantang balung merupakan media untuk menjaga agar upacara dapat berjalan sebagaimana mestinya, sesuai yang diharapkan,” ujar Dhanang Respati Puguh, sejarawan dari Universitas Diponegoro, kepada Historia . Di belakang cantang balung , berbaris pasukan Panyutro. Pasukan ini, tubuhnya diberi bedak kuning, bercelana dan berbaju kuning pula dengan model lengan terpotong, berikat kepala batik motif bango tolak , serta bersenjatakan panah dan keris. Di belakang regu Panyutro, berbaris prajurit Prawirotomo yang berkostum hitam-hitam mulai dari topi hingga celana. Artikel tersebut menyebut lelembut tidak berani kepada ketiga regu pasukan itu karena mereka prajurit penghibur Nyi Roro Kidul. Akhirnya, para lelembut itu berhasil digusur. Keraton baru pun dapat berdiri dengan nama Keraton Surakarta Hadiningrat.
- Kala Prabowo Mempersunting Putri Soeharto
SUATU hari, Prabowo Subianto membuat ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, terkejut. Tanpa pemberitahuan sebelumnya, dia minta izin hendak memperkenalkan pacarnya. Bowo, sapaan akrab Prabowo, akhirnya mendapat lampu hijau.
- Hoesin Bafagieh, Guru Menulis AR Baswedan
SAMBIL membawa tulisannya supaya dimuat, A.R. Baswedan menemui Hoesin Bafagieh di kantor Majalah Zaman Baroe . Di hadapan Maskati, Bafagieh langsung menolak keinginan Baswedan. “Saya telah mengejeknya dengan kata-kata yang menghina, nyatakan bahwa karangannya belum bisa mendapat tempat di halaman Zaman Baroe dan ia perlu belajar kembali,” ujar Bafagieh dalam Aliran Baroe Tahun II No. 6 Januari 1939. Menurut Nabiel Karim Hayaze, penyusun buku Kumpulan Tulisan dan Pemikiran Hoesin Bafagieh , Hoesin jauh lebih senior dari Baswedan. “Ketika Baswedan mulai semangat menulis, Hoesinlah yang mengajarkan Baswedan menulis,” kata Nabiel dalam diskusi buku yang diselenggarakan di Universitas Indonesia, Selasa, 7 November 2017. Nabiel melanjutkan, keturunan Arab yang aktif dalam pergerakan bukan hanya Baswedan meski dia yang paling dikenal. Lahir dan tumbuh di Kampung Ampel, perkampungan Arab di Surabaya, Bafagieh tak mengungkung diri dalam bergaul. Dia berkawan baik dengan banyak pemuda pergerakan dengan beragam latar belakang etnis. Selain hobi menulis, Bafagieh gemar berorganisasi. Bafagieh merupakan pendukung utama berdirinya Jam’iyyah at-Tahdhibiyah, organisasi pemuda keturunan Arab yang berupaya mengatasi perpecahan di kalangan mereka yang terus diwariskan golongan tua, yang berdiri di Surabaya pada 1 Agustus 1924. “Saat itu muncullah di antara pemuda al-Irshad dan al-Rabitah yang bersemangat menentang generasi lebih tua, yang terus-menerus menjadi penghalang mereka untuk mencapai kemajuan. Beberapa pemuda dari al-Irshad dan al-Rabitah membuat semacam ‘persatuan’ yang telah melahirkan sebuah organisasi bernama ‘Bibliotheek Attahdibijah’ di Surabaya,” tulisnya sebagaimana disitir Natalie Mobini-Kesheh dalam The Hadrami Awakening: Community and Identity in the Netherlands East Indies, 1900-1942 . Bersama Salim Maskati, di Bibliotheeq At-Tahdibiyyah Bafagieh lalu mendirikan Zaman Baroe . Keduanya memimpin majalah berbahasa Melayu yang terbit rutin mulai Oktober 1926 hingga Maret 1928. Di sana, Bafagieh menuangkan pemikirannya tentang penyebab perpecahan keturunan Arab di Hindia, solusi mengatasinya, dan ideologi nasionalismenya. Setelah Zaman Baroe berhenti terbit, pada 1938 Bafagieh bersama Maskati mendirikan Aliran Baroe. Pendirian AliranBaroe terinspirasi dari pemuda Tionghoa yang berjuang melalui dunia jurnalistik. Di Aliran Baroe , Bafagieh duduk dalam beragam posisi sekaligus, mulai penulis hingga penyandang dana. Hoesin Bafagieh. Bafagieh merupakan pengkritik tajam pandangan para keturunan Arab di Hindia yang selalu menganggap diri superior serta tetap menjadikan Hadramaut sebagai tanah airnya, bukan Indonesia. Dalam tulisan berjudul “Masyarakat Tionghoa dan Islam”, Aliran Baroe, Tahun I No. 4, November 1938, Bafagieh mengkritik golongan Islam fanatik dengan sorotan tajam terhadap praktik penggantian nama dan penghapusan tradisi Tionghoa pada orang Tionghoa yang menjadi muslim. Bafagieh juga mengkritik kefanatikan umat Islam yang mempertanyakan kualitas ibadah dan keislaman muslim Tionghoa. “Seolah-olah Islam itu hak monopoli mereka, tidak boleh bangsa lain mengaku Islam, apabila belum diperiksa akan lahir-batinnya dan surat keterangannya,” tulis Bafagieh. Kritik lain Bafagieh kepada keturunan Arab yakni terlalu gengsinya mereka untuk bekerja kasar. “Menganggap bahwa derajat kita tidak mengizinkan buat lakukan segala pekerjaan yang disangkanya merendahkan… anggapan merendahkan tidak semestinya diletakkan pada orang yang mempunyai pekerjaan pantas untuk penghidupannya.” Menurut Bafagieh dalam “Arab Indonesia yang Melarat Harus Buka Matanya,” Insaf No. 5 Tahun ke-I, Mei 1937, orang-orang keturunan Arab menaruh rasa malunya di tempat yang tidak seharusnya. Mereka malu untuk bekerja sebagai tukang potong rambut atau tukang sol sepatu, tetapi tidak malu untuk tidak bekerja. Bafagieh kemudian menjadi anggota Partai Arab Indonesia (PAI), partai nasionalis keturunan Arab yang didirikan antara lain oleh A.R. Baswedan, cabang Surabaya. Nasionalisme mereka dibuktikan dengan deklarasi Sumpah Pemuda Keturunan Arab pada 4 Oktober 1934. Meski sering memuat tulisan-tulisan anggota PAI, ujar Hoesin Al-Attas, “ Aliran Baroe bukan organ dari PAI, semata-mata hanya usaha dari Saudara Hoesin Bafagieh sendiri.” Bafagieh menjadikan Aliran Baroe medium penyiaran ide-ide berbangsa dan bertanah air PAI. “Hoesin Bafagieh adalah tokoh pers. Sejarah gerakan tidak lepas dari sejarah pers. Karena di zaman itu banyak orang yang ingin pemikirannya dibaca orang, untuk memengaruhi orang,” kata Didik Pradjoko, dosen sejarah UI. Selain aktif dalam jurnalistik, Bafagieh produktif menulis naskah tonil. Korban Adat , tonil pertama Bafagieh yang dipentaskan di Kongres kedua PAI, memuat pesan terselubung tentang Indonesia sebagai tanah air. Sementara Fatimah, kata Zeffry Al-Katiri, yang menulis pengantar dan moderator dalam diskusi buku Hosein Bafagieh, berisi kritikan Bafagieh terhadap dirinya sendiri dan budayanya tentang posisi perempuan dalam lingkungan keturunan Arab. Fatimah lalu dilarang pemerintah kolonial. Menurut Zeffry, apa yang dikritik Bafagieh beberapa puluh tahun lalu masih relevan hingga kini. “Lima puluh tahun ayah saya mendobrak ini, tapi hari ini orang Arab masih gitu-gitu saja,” kata Raihan Kamil, anak Bafagieh yang hadir dalam diskusi.*
- Sukarno Menikahkan dalam Status Tahanan
PRESIDEN Joko Widodo dan keluarga tengah berbahagia atas pernikahan putrinya, Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution pada Rabu, 8 November 2017. Acara yang digelar di Graha Saba Buana, Solo, Jawa Tengah itu, dihadiri sekira empat ribu undangan, mulai dari mantan presiden sampai rakyat biasa. Salah satu tamu kehormatan yang hadir adalah mantan presiden dan putri Proklamator, Megawati Soekarnoputri. Sungguh berbeda bila melihat pernikahan salah satu adiknya: Rachmawati Soekarnoputri. Rachmawati dipersunting dr. Martomo Pariatman Marzuki (Tommy) pada 1969. Rachma dan Tommy sama-sama siswa di Perguruan Cikini. Tommy juga teman dekat Guntur dan Megawati. Setelah kenal dekat sejak 1968, mereka memutuskan untuk menikah. Rachma meminta restu kepada Sukarno yang tengah menjalani tahanan rumah di Wisma Yaso. Rachma menunggu keputusan ayahnya selama sepekan. “Tujuh hari lamanya Bapak berpikir dan berdoa, memohon petunjuk Tuhan Yang Maha Esa. Setelah seminggu itu Bapak mengatakan aku diizinkan menikah dengan Tommy. Sudah tentu Bapak menjadi waliku. Ada ketegangan dalam kegembiraan karena status Bapak saat itu,” kata Rachma dalam Bapakku, Ibuku . Pernikahan Rachma-Tommy dihelat di kediaman ibunya, Fatmawati, di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Agar Sukarno bisa menjadi wali nikah, Rachma harus minta izin kepada penguasa Orde Baru, Soeharto. “Rachma menulis surat ke Soeharto untuk memintakan izin Bung Karno,” kata Roso Daras, Sukarnois dan penulis buku-buku tentang Sukarno, kepada Historia . Soeharto mengizinkan Sukarno menjadi wali nikah Rachma, namun dengan pengawalan ketat tentara. Dia hadir dalam keadaan sakit ginjal. “Hanya sekadar memberi restu nikahan anak saja diperlakukan tidak hormat. Tidak boleh melambaikan tangan ke massa. Pengawalan dengan senjata otomatis. Memangnya mau kabur ke mana? Bung Karno orang sakit yang sedang menjemput ajal,” ujar Roso Daras. Meskipun begitu, Sukarno tetap bahagia karena bisa bertemu lagi dengan Fatmawati. Pertemuan itu mengharu-biru. Fatma, anak-anak, dan sahabatnya, Mohammad Hatta, berlinang air mata bahagia. “Ibu kembali berjumpa dengan Bapak yang lemah karena sakit ginjalnya yang parah itu kambuh lagi. Aku mencucurkan air mata melihat Bapakku disambut dan dibimbing oleh Ibuku,” lanjut Rachma. Suasana haru-biru mengelilingi pesta pernikahan sederhana itu. Betapa tidak, sejak Sukarno menikah lagi dengan Hartini pada 1953, Fatma memilih keluar dari Istana Negara dan pindah ke Kebayoran Baru. Akhirnya, di pernikahan Rachma, Fatma mau berdamai dengan perasaannya. Terlebih melihat kondisi Sukarno yang lemah karena sakit, bahkan wajahnya bengkak. Sayangnya, momen bahagia itu tak berlangsung lama. Tentara merenggut kebahagiaan mereka. Sukarno dibawa kembali ke Wisma Yaso. Dikawal ke mobil sampai kembali ke rumah tahanan dengan tiada rasa hormat sama sekali. “Tentara mendorong kepala Bung Karno agar lekas masuk mobil. Menganggap seolah yang dikawal adalah residivis,” kata Roso Daras. Terlepas dari itu, biduk rumah tangga Rachma dengan Tommy tidak berlangsung lama. Mereka bercerai dan Rachma menikah lagi dengan Dicky Suprapto. Dalam pernikahan sederhana itu, Guntur menjadi walinya. Rachma kembali bercerai dan menikah lagi dengan Benny Sumarno.*
- Edan-edanan, Pembuka Jalan Bobby-Kahiyang ke Pelaminan
BEBERAPA saat setelah prosesi panggih temanten , Presiden Joko Widodo dengan busana khas Jawa berada di depan kedua mempelai, Kahiyang Ayu dan Bobby Nasution, menuju pelaminan. Ada yang menarik saat prosesi menuju pelaminan itu. Di depan iringan pengantin terdapat sepasang penari dengan busana basahan yang mukanya bercat putih dan badan dibaluri warna kuning. “Itulah cantang balung atau edan-edanan . Tugasnya ya membuka jalan bagi pengantin,” ujar Herman Sinung Janutama, penulis buku Pisowanan Alit , kepada Historia . Keberadaan cantang balung memiliki akar sejarah yang panjang. Mereka tidak serta merta muncul hanya untuk mengiringi pengantin menuju pelaminan. Menurut arkeolog W.F. Stutterheim pasukan cantang balung merupakan bentuk baru dari pendeta yang berada di barisan terdepan dalam suatu acara keagamaan. “Dalam penelitian relief Candi Brorobudur di tahun 1935, arkeolog W.F. Stutterheim meneliti tokoh brahmana yang digambarkan berjenggot dan berkumis sedang menari. Adegan di relief tersebut diyakini sebagai pendahulu dari pasukan cantang balung ,” tulis J. Ras dalam “De Clownfiguren in de Wajang,” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde , tahun 1978. Kedudukan cantang balung sebagai “brahmana” diperkuat oleh catatan Darsiti Suratman dalam Kehidupan Dunia Kraton yang menerangkan bahwa cantang balung merupakan pimpinan pengiring sajian suci ke tempat ibadah. Seperti saat berlangsung Garebeg Maulud, pasukan cantang balung harus mengiringi gunungan Garebeg Maulud sampai ke halaman masjid. Sementara menurut J.L. Moens dalam Budhisme di Jawa dan Sumatra posisi cantang balung merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa. Tugasnya adalah minum arak di depan umum hingga mabuk lalu menari. Kedudukan cantang balung dalam sejarah pun mengalami pasang surut. Setelah berjasa mengusir para lelembut di Kedunglumbu pada pertengahan abad 18, pasukan ini lalu ditempatkan di bagian abdi dalem niyaga yang tugasnya mengiringi permainan watangan setiap Sabtu sore. Setelah watangan dihapuskan pada abad 19, cantang balung menempati posisi baru sebagai jajar yang bertugas menari tarian Gajah Ngombe di depan bangsal Angun-angun pada waktu raja berjalan meninggalkan Sitihinggil menuju kedaton. Saat menari, tangan kirinya selalu membunyikan kepyak dari tulang, sedang tangan kanannya memegang gelas berisi minuman. Dan setiap gong berbunyi, dia meminum gelas itu. Kemudian pada era Pakubuwono X (1866-1939), cantang balung dikelompokkan dalam abdi dalem golongan kridhastama . Sebagai penggembira, cantang balung mempunyai kebebasan untuk mengatakan segala sesuatu yang mereka inginkan, dan dilaksanakan lewat kedudukannya sebagai badut. Pada lelucon itu sering dilontarkan kritik sosial. “Sebagai abdi dalem kridhastama , cantang balung memang ditugasi untuk membuat lelucon. Sifatnya menghibur, supaya orang yang menyaksikan bisa bergembira,” ujar Dhanang Respati Puguh, sejarawan dari Universitas Diponegoro, kepada Historia . Pasukan cantang balung sempat tidak dipakai sejak Kasunanan Surakarta dihapuskan sifat swaprajanya setelah tahun 1945. Namun, pada 1973 pasukan cantang balung kembali tampil dalam perayaan Sekaten Kraton Surakarta, hingga hari ini.
- Maung Bandung Tersandung
KLUB bertabur bintang Persib Bandung terancam degradasi dari kasta tertinggi kompetisi sepakbola dalam negeri saat ini, Liga 1. Keputusan walk out (WO) “maung Bandung” dalam matchday ke-33 kontra Persija Jakarta pada Jumat (3/11/2017) lalu membuat tim itu bisa-bisa hanya tampil di Liga 2 musim mendatang. Para pemain Persib memprotes keras keputusan wasit asal Australia Shaun Evans menganulir gol Ezechiel N’Douassel, memberi hadiah penalti untuk Persija, dan mengkartu merah Vladimir Vujovic. Namun, Evans malah menghentikan laga di Stadion Manahan, Solo itu pada menit ke-83 dan menyatakan Persib WO. Meski masih simpang siur apakah Persib yang menginginkan WO atau wasit yang menggunakan hak diskresinya untuk menghentikan laga, Persib terancam hukuman degradasi. Menilik regulasi Liga 1 Pasal 13 ayat 1 b dan c yang intinya, “Setiap klub dianggap dan dinyatakan mengundurkan diri dari Liga 1, apabila menolak melanjutkan laga atau meninggalkan lapangan/stadion sebelum laga usai”, keputusan Persib memenuhi kriteria regulasi di atas. Saat ini, kasus itu masih di tangan Komisi Disiplin PSSI. Bila benar Persib terlempar dari kasta kompetisi terelit di Indonesia, itu seakan mengulang nasib buruk tim kebanggaan masyarakat Kota Kembang pada Kompetisi Perserikatan 1978-1979. Kala itu Persib terpaksa masuk ke Divisi I, yang merupakan kasta kedua. Kompetisi Perserikatan 1978-1979 memiliki aturan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. PSSI mengubah format kompetisi menjadi: yang berhak tampil di Divisi Utama atau Kejuaraan Nasional Utama PSSI hanya lima tim dengan sistem klasemen. Lima tempat yang mesti diperebutkan tim-tim 18 besar dari Kompetisi Perserikatan 1975, termasuk Persib. Prestasi Persib terbilang moncer. Keluar sebagai juara Pool B, diikuti PSM Makassar sebagai runner up , Persib lolos ke Babak 8 besar atau perempatfinal di Stadion Utama Senayan (kini Gelora Bung Karno) . Di Babak 8 besar, Persib berada di Pool G bersama Persipura Jayapura, Persija Jakarta, dan Persebaya Surabaya. “Kami tidak pernah berpikir untuk memilih pool mana. Tekad kami bagaimana bertanding sebaik-baiknya,” cetus Ketua Umum Persib Solihin GP, dilansir harian Kompas , 17 Januari 1978. Para pemain Persib berhasil memberi jawaban memuaskan. Di laga perdana, mereka menyungkurkan Persipura 2-0. Tapi jalan berat Persib –dan juga tim-tim lain– kemudian datang bukan semata dari ketatnya persaingan. Insiden keracunan makanan gulai kepiting yang disediakan panitia di Perumahan Atlet Senayan membuat para pemain dan ofisial menjadi korban. “Pertandingan Kejuaraan PSSI yang tengah berlangsung di Jakarta ditunda mulai Minggu malam dan akan dilanjutkan kembali Selasa besok gara-gara sejumlah pemain dari beberapa kesebelasan peserta harus dirawat karena tiba-tiba menderita akibat kesalahan makanan,” tulis Pikiran Rakyat , 23 Januari 1978. Persib menderita kerugian dua ofisial tim dan 14 pemain yang keracunan makanan. Akibatnya, Persib tersungkur oleh Macan Kemayoran (julukan Persija), digilas tiga gol tanpa balas. Para pemain Persija, yang tak tinggal di Perumahan atlet, lebih siap fisik lantaran tak ikut keracunan makanan. Persib kembali mengalami kekalahan saat menghadapi Persebaya mereka digunduli 2-0. Akibatnya, Persib gagal lolos otomatis. Harapan satu-satunya Persib, memenangkan pertandingan kontra Persiraja Banda Aceh, menempati posisi tiga Pool F, di playoff memperebutkan peringkat 5. Dalam laga yang digelar di Stadion Senayan pada 27 Januari 1978, Persib unggul lebih dulu di menit ke-10 lewat gol Max Timisela. Sialnya, Persiraja membalikkan kedudukan jadi 2-1 lewat gol Bustaman di menit ke-15 dan Tarmizi di menit ke-39. Skor itu bertahan sampai wasit meniup peluit akhir. “Dengan kemenangannya ini, Persiraja berhak maju ke Kejuaraan Nasional Utama PSSI bersama-sama dengan Persija, Persebaya, PSM dan PSMS Medan. Sedangkan Persib harus mulai lagi dari tingkat bawah (Divisi I – red. ),” tulis Pikiran Rakyat , 28 Januari 1978. Pelatih Persib Rusli beralasan, kondisi para pemainnya belum sepenuhnya dalam kondisi terbaik. Fisik para pilar Persib masih terpengaruh keracunan makanan sebelumnya. “Sebab buat memulihkan kondisi kembali, sedikitnya dibutuhkan waktu 3 minggu,” ungkap Rusli, dikutip Tempo , 28 Januari 1978. Kompetisi Divisi Utama Perserikatan 1978-1979 itu akhirnya dimenangkan Persija. Tim ibukota keluar sebagai juara setelah unggul selisih gol dari PSMS Medan, yang juga memiliki nilai 11 dari delapan partai tandang-kandang yang dimainkan lima tim terelit. Kendati demikian, Persib justru mendapat kepercayaan dari PSSI untuk mewakili Indonesia di King’s Cup di Bangkok, Thailand, penghujung April 1978. Persib tak dibebani target juara dalam perhelatan itu, melainkan lebih kepada misi persahabatan. “Juara dan bukan, itu soal kedua,” tutur Kabid. Keuangan dan Administrasi PSSI R Sumantri, lansir Pikiran Rakyat , 24 April 1978. Sayangnya, Persib kembali gagal di King’s Cup 1978. Tergabung di Grup 1 bersama timnas Thailand A dan Korea Selatan Selection XI (Korsel), Persib digebuk Thailand 0-3. Persib pulang dengan hanya sebutir poin hasil imbang 0-0 melawan Korsel.
- Empat Tipe Perempuan Jawa Kuno
KEN Angrok terperangah ketika tanpa sengaja melihat betis Ken Dedes. Terlihatlah bagian rahasianya yang bersinar. “Jika ada perempuan yang demikian anakku, perempuan itu namanya nariswari. Dia adalah perempuan yang paling utama, anakku,” jawab Dang Hyang Lohgawe ketika ditanya Ken Angrok dalam naskah Pararaton. Perempuan Jawa Kuno memiliki tipe-tipe tertentu, dari paling utama sampai paling buruk. Setidaknya ada empat tipe perempuan yang dibagi bukan hanya dari segi fisik, tapi juga perangainya. Menurut Sejarawan Suwardono kriteria menempatkan perempuan dalam tipe tertentu awalnya bersumber dari India. “Naskah mengenai kriteria perempuan itu tidak ditemukan, namun pada masa itu ketentuan untuk menempatkan sosok perempuan pada tipe tertentu secara umum telah dikenal,” tulis Suwardono dalam Tafsir Baru Ken Angrok. Empat tipe perempuan antara lain padmini, citrini, sankini, dan hastini. Tipe pertama, padmini memiliki ciri fisik: matanya seperti mata kijang dengan ujung-ujung kemerahan; hidungnya kecil dan bentuknya bagus; wajahnya bagaikan bulan purnama yang keemasan seperti bunga cempaka; lehernya halus dan luwes; buah dada yang penuh dan tinggi; pusarnya dikelilingi tiga garis lipatan; kulitnya halus seperti kelopak bunga sirsa ; suaranya manis mengalun; kalau jalan seperti angsa; wataknya pemalu, menyenangkan, pemurah, setia, memiliki rasa keagamaan, dan bertingkah terhormat. Tipe kedua, citrini memiliki tinggi badan sedang, ramping, dengan pinggul besar; rambutnya hitam lebat; matanya lincah dengan bibir yang penuh seperti buah bimba ; lehernya membulat seperti siput dan luwes; dadanya besar dan berat dengan badan yang lentur; suaranya seperti suara merak; jalannya seperti gajah. Tipe ini tidak begitu tinggi sifat spiritualnya. Namun, ia mahir dan bercita rasa tinggi dalam kesenian. Ia suka mengenakan pakaian dan perhiasan yang bagus. Ia pandai bicara dan bebas mengutarakan pendapat. Pandai mengatur urusan rumah tangga. Pun senang dikagumi laki-laki. Tipe ketiga, sankini, memiliki ciri-ciri berbadan kurus, tinggi, kekar, berdarah hangat, dengan lengan dan tungkai yang panjang; pinggangnya besar dengan buah dada yang kecil; di bawah kulitnya yang sawo matang terlihat urat-urat nadi; wajahnya berbentuk lonjong dan mendongak; suaranya serak; kalau berjalan cepat seperti terburu-buru; ia cerdik juga sopan. Meski begitu, perempuan tipe ini selalu mencari kesempatan untuk menguntungkan dirinya sendiri; ia egois namun tetap pandai bersikap seolah pemurah; ia punya sifat keras kepala dan buruk hatinya, namun mampu menyembunyikannya. Ia banyak bicara dan banyak makan. Tipe terakhir, hastini, bertubuh pendek, gemuk, buruk rupa; mulutnya besar dengan bibir yang tebal; matanya kecil dan merah; wajahnya pucat, tidak bersinar; lehernya pendek atau kalau panjang bentuknya bengkok; kalau berjalan pelan dan tidak enak dilihat; sifatnya kejam dan tak punya malu. Menurut Titi Surti Nastiti, arkeolog Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, keempat tipe perempuan mungkin saja mewakili empat kasta dalam Hindu: Brahmana, Ksatrya, Waisya, dan Sudra. Putri yang digambarkan dalam teks sastra dan relief candi masuk ke dalam tipe citrini. Sementara para pengiring putri dan putra raja atau para emban dimasukkan dalam kriteria hastini. Hal itu dicontohkan dengan perkawinan antara Semar dan Nini Towok dalam teks Sudamala. Keduanya digambarkan sangat bernafsu dalam seks. Nini Towok digambarkan jalannya pelan dan perutnya gombyor. Dalam relief kisah Arjunawiwaha diGua Selomangleng, Tulungagung misalnya, tokoh Panakawan, baik perempuan maupun laki-laki digambarkan berbadan serba gemuk dengan mulut lebar dan bibir tebal. Contoh perempuan tipe padmini terdapat dalam teks Sri Tanjung . Ia merupakan perempuan yang tinggal di sebuah wanasrama. Ini mengacu pada kasta Brahmana. Ia digambarkan pula sebagai perempuan berkulit halus, cantik, tenang, dan jalannya seperti angsa. Meski begitu, ada perbedaan penggambaran putri raja dalam teks tadi dengan prasasti. Jika dalam teks sastra yang sesuai dengan teks India mereka masuk ke dalam tipe citrini, sedangkan dalam prasasti mereka dimasukkan dalam tipe padmini. Itu seperti deskripsi dalam Prasasti Kayumwunan (824 M) yang menyebut Pramodyawarddhani, permaisuri Rakai Pikatan, raja keenam Kerajaan Medang (Mataram Kuno) cara berjalannya seperti angsa, suaranya bagaikan tekukur, matanya bagaikan menjangan. Ciri ini lebih mirip dengan tipe padmini . Hal yang sama juga diungkapkan dalam Prasasti Pucanan (1037 M). Prasasti ini melukiskan Sri Isanatunggawijaya bagaikan seekor angsa yang mempesona karena tinggal di telaga Manasa yang suci. “Mungkin karena Pramodhawarddhani maupun Isanatunggawijaya adalah putri raja yang sangat taat pada agama sehingga lebih pantas dimasukkan ke dalam tipe padmini atau mereka tipe perempuan paling baik yang di dalam bahasa Jawa disebut dengan padmanagara,” tulis Titi dalam Perempuan Jawa .*
- Dari Riset Sampai Kebijakan Pangan
PADA 1899, Koloniaal Museum, Haarlem menginisiasi sebuah riset bahan makanan di Hindia Belanda. Sama seperti riset-riset pangan abad ke-19, riset yang digawangi Asisten laboratorium Koloniaal Museum Dr. J Sack dan farmasis JJ van Eck itu berupaya mengelompokkan bahan makanan dalam beberapa kategori. Namun, riset kali ini lebih dalam karena meneliti persentase nutrisi yang terkandung dalam tiap bahan. Sack dan Van Eck meneliti nilai nutrisi sekira 200 bahan makanan yang lazim dikonsumsi di Hindia. Sebelum menentukan nilai nutrisinya, yang diukur melalui kemerataan komposisi tujuh unsur dalam masing-masing bahan, terlebih dulu mereka meneliti kandungan protein, karbohidrat, lemak, nitrogen, serat, hidrat arang, dan air pada tiap bahan makanan. Hasil riset itu antara lain menunjukkan bahwa jagung memiliki nilai nutrisi lebih baik dibanding makanan pokok lain seperti beras, sagu, atau mie. Selain itu, riset itu juga menginformasikan kandungan protein berbagai hewan air dapat mencukupi kebutuhan nutrisi harian penduduk Hindia. Riset Sack dan Van Eck berperan penting melepaskan masyarakat dari jebakan persepsi dalam memilih bahan makanan. Riset itu hanyalah satu dari riset-riset soal pangan dan nutrisi di Hindia Belanda yang kian intens memasuki abad 20. Tumbuh-subur dan meluasnya fokus riset itu berangkat dari kemajuan sains dan teknologi di tanah jajahan. Meski upaya inventarisasi bahan makanan dan kandungan gizinya masih tetap berjalan, mengingat luas dan kayanya tanah Hindia, uji kandungan nutrisi dan kimiawi bahan makanan dikerjakan lebih terperinci lagi. “Penyelidikan secara ilmiah memang lebih eksak menilai bahan makanan mana yang memiliki kandungan nutrisi lebih baik dibandingkan dengan penilaian lawas yang cenderung menilai kualitas berdasarkan gengsi semata –seperti bagaimana sebelumnya daging sapi dinilai lebih baik daripada kerbau,” tulis sejarawan Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia . Hasil riset Sack dan Van Eck mendorong dokter Cornelis Leendert van der Burg untuk mendalami. Dokter yang sejak akhir abad ke-19 menekuni persoalan kesehatan dan higienitas di Hindia Belanda ini menerbitkan dua buku berkepala De Voedings in Nederlandsch-Indie dan Atlas met Graphische Voorstellingen van de Chemiche Samenstelling van 267 Voedingsmiddelen in Nederlansch-Indie pada 1904. Van der Burg berupaya memberikan penjelasan kualitatif terhadap hasil uji kimiawi Sack dan Van Eck. Salah satu poin terpentingnya, upaya untuk memanfaatkan pengetahuan pangan bumiputra dan memadukannya dengan pengetahuan modern. Dia melambari perspektif kimiawi yang eksak dengan penjelasan antropologis dan memperhatikan bagaimana aturan-aturan agama yang dianut penduduk Hindia Belanda dalam memilih dan mengolah bahan makanan. Menurut Fadly, praktik riil dari pendapat tersebut dapat dilihat jejaknya dalam pemaduan bahan makanan. “Contohnya bisa kita lihat pada selat Solo. Itu semacam salad ala Eropa yang di sini bahannya mengalami penyesuaian. Kalau orang Eropa menggunakan daging untuk asupan protein hewaninya, di Jawa diganti dengan telur. Ciri Eropa juga masuk lewat bahan kentang dan wortel dan buncis,” kata Fadly kepada Historia. Van der Burg juga menyajikan perbandingan kebutuhan protein, lemak, dan karbohidrat antara orang Eropa dan bumiputra. Dari kalkulasinya diketahui bahwa orang Eropa nisbi berimbang asupan protein, lemak, dan karbohidratnya, sementara bumiputra cenderung dominan asupan karbohidratnya dibanding lemak dan protein. Riset yang lebih masif lagi dilakukan oleh JE Quintus Bosz dan Karel Heyne, kepala Konservatorium Museum voor Technische en Handelsbotanie (Museum Teknik dan Urusan Botani) Buitenzorg. Pada 1911, Bosz menerbitkan laporan risetnya yang menghasilkan analisis kandungan nutrisi 550 bahan makanan. Riset Bosz lebih detil, dengan memisahkan antara nilai kandungan nutrisi bahan makanan mentah dengan bahan-bahan yang telah diolah atau dimasak. Tapi riset Karel Heyne mungkin merupakan riset dengan skala terbesar. Secara bertahap, antara 1913 hingga 1917, dia menerbitkan serial ensiklopedia bertajuk De nuttige planten van Nederlandsch-Indie (Tanaman Bermanfaat dari Hindia Belanda). Dalam empat jilid ensiklopedianya, Heyne menghimpun sekira 3.000 jenis tanaman berikut data terperinci dari segi etnobotani, sifat-sifat, pembudidayaan, hingga sisi ekonomis dan historisnya. Ensiklopedia Heyne segera menjadi rujukan penting di kalangan botanis. Kebijakan Riset-riset pangan itu menyediakan keberlimpahan data untuk perbaikan kualitas hidup dan kesehatan fisik penduduk Hindia meski belum ada manfaat nyata bagi bumiputra. Keterbacaannya nisbi hanya di kalangan orang Eropa yang tinggal di Hindia. Namun, mengemukanya Politik Etis pada awal abad 20 yang membawa pergeseran motif pemerintahan kolonial, perlahan ikut mengubah nasib pribumi. “Mereka terbelah dalam kubu humanis dan kubu pragmatis. Kaum humanis menganggap ini memang tugas mereka untuk menyejahterakan masyarakat. Sementara kubu pragmatis melihat bahwa pemulihan kondisi kesehatan dan peningkatan kualitas kesejahteraan itu untuk mendukung program-program ekonomi dan politik kolonial,” kata Fadli. Seiring dengan riset-riset itu, pemerintah menginisiasi beberapa program dan upaya sosialisasi terkait pengetahuan gizi kepada masyarakat bumiputra. Salah satunya, dengan membentuk Voedingsmiddelen Commissie (Komisi Bahan Makanan). Komisi yang dibentuk pada 1914 itu bertugas meneliti kesehatan, ambang batas kandungan kimia dalam makanan dan obat, kelayakan konsumsi, serta memberi penerangan kepada industri makanan dan masyarakat umum. Upaya itu juga merupakan respon pemerintah terhadap berkembangnya fabrikasi makanan pada awal abad 20. Komisi makanan antara lain mengeluarkan beberapa peraturan soal makanan fabrikasi yang diedarkan, seperti aturan kadar asam asetat dan pengasinan makanan, aturan pengemasan margarin, terigu, dan mentega. “Kehadiran komisi ini turut memengaruhi kebiasaan makan di Hindia yang cukup gemar menggunakan bahan-bahan makanan dalam kemasan seperti mentega, margarin, dan terigu,” ujar Fadli. Sementara, upaya sosialisasi pola hidup dan makanan sehat dilakukan melalui terbitan-terbitan Balai Pustaka . Botanis JJ Ochse, yang punya perhatian khusus pada persoalan pangan rakyat, merupakan salah satu ilmuwan yang gencar menerbitkan penelitiannya untuk masyarakat umum dan terus berupaya mengedukasi bumiputra tentang tanaman bermanfaat sebagai makanan dan cara pembudidayaannya. Ochse menilai rakyat bumiputra umumnya tak acuh dan rendah pengetahuannya soal pengolahan bahan makanan. Realitas itu mendorongnya menyusun dan menerbitkan Tropische Groenten (1925) dan Indische Vructen (1927). Buku-buku itu menyajikan pengetahuan tentang sayuran dan buah yang kaya nutrisi disertai gambar untuk tiap lemanya. “Ochse dibantu Kepala Kantoor voor de Volkslectuur ( Balai Pustaka ), Mr. T. Lekkerkerker dalam hal penerbitan sekaligus penjualan bukunya. Buku itu dijual murah sehingga terjangkau harganya oleh banyak kalangan dan terdistribusikan secara luas ke seluruh wilayah Hindia, sesuai keinginan Ochse,” tulis Fadly. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga membuka sekolah-sekolah pertanian di desa-desa, tempat pengetahuan budidaya tanaman dan pengembangan varietas tanaman baru disebarkan. Buku-buku Ochse juga didistribusikan melalui sekolah-sekolah ini. Usaha-usaha tersebut perlahan memperbaiki kesejahteraan penduduk. “Sampai tahun 1930-an ada penurunan statistik kelaparan massal. Pengetahuan gizi masyarakat juga meningkat. Dari pernyataan dokter-dokter di lingkungan masyarakat Jawa terlihat bagaimana masyarakat pribumi mulai sadar akan pengetahuan seputar gizi,” ujar Fadly.
- Melacak Maestro Lukis Indonesia
MUSEUM Basoeki Abdullah menggelar pameran dokumentasi sang maestro dari 7 November hingga 22 November 2017. Sejumlah arsip yang dipamerkan antara lain surat pribadi, surat tagihan, undangan/katalog pameran, laporan kekaryaan lukisan, informasi pribadi, pesan tertulis pelukis, catatan harian, fotografi, sampul majalah, kartu pos, poster, materi iklan produk, buku-buku dan kliping berita surat kabar. Menurut Mikke Susanto, kurator pameran, dibutuhkan tenaga, waktu yang memakan waktu beberapa tahun, dan kesabaran tinggi dalam melacak dokumentasi Basoeki Abdullah. Hal terindah dari proses pelacakan justru karena kepopulerannya. Selama hidupnya Basoeki Abdullah kerap menjadi berita media massa. Dari sejumlah mitra kerja pameran ini terkumpul lebih dari 200 judul kliping media massa. “Nah, itu yang mendorong saya selaku kurator untuk bisa memperlihatkan kepada publik bahwa ini ada seniman yang sadar masa depan. Dia melek media karena pergaulan internasional. Beliau mampu menjadikan media jadi bagian dari bisnisnya,” ujar Mikke. Menurut Hilmar Farid, direktur jenderal kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tindak tanduk Basoeki Abdullah sering menjadi konsumsi media dan ditunggu-tunggu masyarakat. Tak terhitung berapa judul berita dari dalam dan luar negeri yang menceritakan sosok Basoeki Abdullah, mulai dari prestasinya hingga berita-berita miring mengenai dirinya. Bahkan hingga akhir hidupnya, Basoeki Abdullah pun tak lepas dari kontroversi. “Seolah-olah sepanjang hidupnya Basoeki Abdullah ditakdirkan tak akan pernah lepas dari perhatian media,” kata Hilmar Farid dalam sambutannya. Mikke melacak dokumentasi Basoeki Abdullah dalam berbagai media majalah: Djawa Baroe, Varia , Selecta , Tempo, Popular , Jakarta-Jakarta, Tiara, Prospek, Tata Rias, dan harian Kompas. Sayangnya, dokumentasi pribadi kebanyakan sudah hilang atau berkualitas buruk. Semua dokumen yang berhasil dikumpulkan dibagi ke dalam empat bagian: Aku, Daya, Rupa, dan Masyhur. “Berbagai kisah tentang kehidupannya, baik kisah cinta, kedekatan dengan banyak wanita, isu negatif dan kesuksesannya tentunya membuat penasaran,” ujar Maeva Salmah, kepala Museum Basoeki Abdullah di Jalan Keuangan Raya Nomor 19, Cipete, Jakarta Selatan. Keempat bagian pameran tersebut memiliki hal-hal menarik yang ditampilkan. Seperti bagian “Aku” terdapat arsip berupa surat dari Gunseikanbu atau staf pemerintahan militer Jepang di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 36. Surat tersebut meminta Basoeki Abdullah untuk mengisi daftar riwayat hidup guna penyusunan Daftar Orang Indonesia yang Terkemoeka di Djawa pada 1943. “Basoeki Abdullah ini memang sudah terkenal. Di masa Jepang, yang mengunjungi pameran tunggalnya bisa lima ribu orang. Hari ini, mengumpulkan lima ribu orang itu gak gampang, padahal sudah ada media sosial,” ujar Mikke. Pada bagian “Daya” tergelar beberapa foto proses kreatif Basoeki Abdullah saat sedang melukis. Seperti saat dia melukis Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 1950-an serta melukis Presiden Soeharto dan istrinya di Jalan Cendana tahun 1968. Yang menarik adalah saat dia, S. Sudjojono dan Affandi, melukis dalam satu kanvas pada Oktober 1985. Menurut Mikke, foto ini menandakan bahwa Basoeki Abdullah sudah diterima oleh Sudjojono dan Affandi. “Saat di Indonesia terjadi agresi militer, dia malah ke negeri Belanda. Dia pun dituduh anasionalis. Lalu ketika dia melukis Ratu Juliana, di sini justru sedang berkobar perang melawan Belanda. Problem hidupnya memang besar. Lalu dituduh gak ada orientasi idealisme terhadap seni rupa Indonesia, apalagi lukisan mooi indie -nya amat sangat membuat dia menjadi sendirian,” ujar Mikke. Selanjutnya bagian “Rupa” berisi dokumentasi karya-karya lukisan Basoeki Abdullah dalam beragam tema. Mulai dari sketsa potret Sukarno yang menjadi ilustrasi perangko tahun 1960, lukisan Jenderal Hitoshi Imamura, panglima Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang, yang menjadi sampul majalah Pandji Pustaka edisi September 1943. Pada bagian terakhir, “Masyhur,” berisi dokumentasi sepak terjangnya dalam beragam pameran dan keluasan hubungannya dengan orang-orang ternama seperti pameran di Hotel Des Indes tahun 1956, pameran tunggal di Thailand yang dihadiri Raja Bhumibol Adulyadej, hingga wajah Basoeki di iklan mobil Mitshubishi Lancer 1400 SL di harian Sinar Harapan, Oktober 1981. “Sekali waktu kami jalan-jalan nah melihat iklan mobil ini. Bapak bilang kok foto wajahnya lebih besar dari foto mobil yang diiklankan,” ujar Cicilia Sidhawati, putri Basoeki Abdullah dengan istri keempatnya asal Thailand, Nataya Narerat.
- Sriwijaya Genjot Pajak
TANGGAL 5 paro terang bulan Asadha, 16 Juni 682, di sebuah tempat, Dapunta Hiyang mendirikan perkampungan, dan Sriwijaya menang. Begitulah akhir gemilang dari ekspedisi militer Dapunta Hiyang, saat mulai mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Sejak itu, Sriwijaya mulai bergerak, membangun diri menjadi sebuah imperium di wilayah Sumatra. “Sriwijaya menjadi imperium yang kuat tepatnya tidak diketahui. Boleh jadi sejak abad ke-8 karena pada abad ke-7 mulai membangun kekuasaan,” ujar arkeolog Bambang Budi Utomo, kepada Historia . Satu per satu bandar-bandar di sepanjang selat Malaka mulai jatuh ke pelukan Sriwijaya. Mulai dari bandar Lamuri –ujung pintu masuk Selat Malaka (sekarang Banda Aceh)–, Pulau Kampe (Kampai), Kota Cina di Sumatra Utara, hingga bandar Jambi di sisi tenggara selat Malaka. Sriwijaya pun masyhur sebagai kampiun di lautan sejak abad ke-8. “Pada abad ke-8 Sriwijaya dan saudaranya, Mataram, sudah berhubungan dengan Thailand dan India. Itu artinya sudah mempunyai kekuatan laut,” kata Bambang, penulis buku Pengaruh Kebudayaan India dalam Bentuk Arca di Sumatra . Dari penguasaan bandar-bandar ini, pundi-pundi keuangan Sriwijaya pun bertambah. Sumber pendapatan itu berasal dari kapal-kapal yang lewat dan bersandar. “Penguasa Sriwijaya meminta 20.000 dinar sebelum memberikan izin kepada kapal dagang Persia atau Arab untuk melanjutkan pelayaran ke Tiongkok. Demikian pula sebaliknya yang datang dari Tiongkok menuju India atau Persia,” demikian dikutip dalam Program Book Kedatuan Sriwijaya , menyitir pernyataan Buzurg bin Shahriyan al-Ramhurmuzi dalam jurnal pelayarannya, Aja’ib al-Hind . Selat Malaka merupakan jalur pelayaran utama yang menghubungkan Arab, Persia, dan India yang berada di sisi barat, dengan Tiongkok yang berada di sebelah timur. Kerajaan Sriwijaya akhirnya menjadi pusat penyaluran semua hasil bumi Nusantara. Situasi demikian, tentu saja menguntungkan bagi Sriwijaya. Pemasukan pajak perdagangan terus mengalir ke kas kerajaan. Selain itu, penghasilan Sriwijaya juga diperoleh dari barang-barang ekspor. Menurut Elizabeth T. Gurning dan Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Bumi Sriwijaya , tujuan ekspor Sriwijaya adalah Arab dan Cina. Ke Arab, Sriwijaya mengekspor kayu gaharu, kapur barus, cendana gading, timah, kayu ebony, kayu sapan, rempah-rempah dan kemenyan. Sementara ke Cina, komoditas ekspornya adalah gading, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, cula badak, kapur barus, bumbu masak dan obat-obatan. “Pendapatan kerajaan antara ekspor dan pajak relatif sama. Tapi presentasenya lebih ke pajak karen para saudagar asing yang datang ke bandar-bandar Sriwijaya untuk mengambil komoditas dari Nusantara. Sriwijaya berfungsi sebagai bandar pengepul ( entreport ),” kata Bambang. Namun, persoalan pajak pernah menimbulkan masalah. Penguasa Sriwijaya menerapkan pajak yang cukup tinggi kepada saudagar-saudagar dari Tamil. Padahal pedagang Tamil juga sudah membayar pajak kepada Kerajaan Chola di India selatan. Penguasa Chola tak terima atas perlakukan Sriwijaya terhadap pedagang Tamil. Mereka pun menyerang Sriwijaya pada 1017 dan 1025. Pada serangan kedua, raja Sriwijaya berhasil ditawan.*






















