Hasil pencarian
9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Sepucuk Surat PM Malaysia untuk PSSI
Huru-hara antar etnis melanda Malaysia pada Mei 1969. Korban jiwa berjatuhan hingga ratusan. Otomatis situasi tersebut menjadikan hampir segala kegiatan di berbagai bidang berantakan dan terancam batal. Termasuk rencana menggelar kembali Merdeka Games, salah satu pentas sepakbola terakbar di Asia Tenggara kala itu. Karena dinilai penting untuk memulihkan nama baik Malaysia di mata internasional, pemerintah negeri jiran itu bertekad untuk tetap menyelenggarakan perhelatan tersebut. Mereka lantas merencanakan akhir Oktober 1969 sebagai waktu yang baik untuk mengadakan pentas sepakbola Merdeka Games. Salah satu undangan yang mereka harapkan hadir adalah tim nasional Indonesia, yang saat itu masih dianggap “macan” sepakbola Asia. Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) menyanggupi untuk ikut Merdeka Games dengan mengirimkan timnas B. Namun pengiriman itu ditolak Malaysia karena mereka menginginkan justru timnas A yang harus tampil di Kualalumpur. “Alasannya amat politis: keikutsertaan tim utama Indonesia yang waktu itu cukup disegani di Asia, Malaysia bisa mengklaim pada dunia bahwa Kuala Lumpur telah aman dari keributan,” ungkap Arief Natakusumah dalam Drama Itu Bernama Sepakbola: Gambaran Silang Sengkarut Olahraga, Politik dan Budaya . Awalnya Indonesia enggan mengabulkan. Pasalnya, timnas A sudah dipersiapkan untuk mempertahankan King’s Cup di Thailand, yang pada 1968 berhasil mereka rebut. Tetapi Malaysia bersikeras, bahkan sampai mengirimkan surat khusus berlogo Perdana Menteri Malaysia ditujukan kepada Ketua Umum PSSI. Kosasih Purwanegara SH (Ketua Umum PSSI periode 1967-1975) dalam buku 80 Tahun Bapak , mengisahkan bagaimana Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman memohon kepada PSSI. “Jika dari saudara-saudara serumpun bantuan itu tidak dapat diperoleh, dari mana lagi kami mengharapkan?,” demikian menurut Tunku Abdul Rahman seperti dikutip oleh Kosasih. Merasa tersentuh dengan isi surat itu maka akhirnya PSSI mengirim tim utama. Pelatih Endang Witarsa membawa dua kiper: Judo Hadianto, Ronny Paslah. Bek: Budi Santoso, Sunarto, Surya Lesmana, Mulyadi, Yuswardi. Gelandang: Iswadi Idris, Anwar Ujang, Zulham Yahya, Ipong Silalahi, Syamsuddin Hadade, Max Timisela, Sinyo Aliandu, Mohammad Basri. Striker : Sucipto Suntoro, Abdul Kadir, Jacob Sihasale. Rec Sport Soccer Statistics Foundation (RSSSF) mencatat, Indonesia sukses jadi kampiun di Merdeka Games 1969. Babak awal pada Grup 1, Indonesia jadi juara grup setelah menang 3-0 dari Korea Selatan (Korsel), menundukkan Thailand 4-1 dan mengalahkan Malaysia 3-1. Di semifinal, Indonesia bersua Singapura yang jadi runner-up Grup 2. Seperti yang diramalkan di atas kertas, Indonesia menang telak 9-2. Di final pada 9 November 1969, Indonesia menang lagi dari tuan rumah Malaysia 3-2. Gelar juara ini jadi yang ketiga setelah sebelumnya membawa pulang trofi juara di 1961 dan 1962. Tapi sayangnya di gelaran King’s Cup, tim Garuda gagal mempertahankan gelar juara. Mereka kelelahan, kendati sebelumnya juga sukses menembus babak awal di Grup B sebagai juara grup. Di final pada 28 November 1969, Indonesia kalah tipis 0-1 dari Korsel.
- Kontingen SEA Games Indonesia Tanpa Sambutan di Malaysia
Indonesia kali pertama mengikuti SEA Games ke-9 pada 19-26 Desember 1977 di Kuala Lumpur, Malaysia. Sebelumnya, ajang ini bernama SEAP Games yang hanya diikuti negara-negara semenanjung di Asia Tenggara. Keikutsertaan Indonesia berkat Malaysia yang bersedia menjadi tuan rumah dengan syarat Indonesia dan Filipina diterima menjadi anggota SEAP Federation yang kemudian berubah menjadi SEA Federation. Sehingga, SEAP Games berubah menjadi SEA Games. Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat mengirim 313 wakil: 193 atlet putra, 75 putri, 35 ofisial, dan 13 petinggi KONI yang dipimpin Sekjen KONI M.F. Siregar. KONI Pusat melepas secara resmi kontingen Indonesia pada 15 November 1977. Sesampainya di Malaysia, kontingen Indonesia tidak disambut panitia penyelenggara. Sebagai peserta debutan, Indonesia dipandang sebelah mata. “Tidak ada sambutan di bandara sama sekali. Kami jalan sendiri ke tempat penginapan. Bahkan, di suratkabar pun, tak ada berita kedatangan kontingen Indonesia,” kata M.F. Siregar dalam biografinya, Matahari Olahraga Indonesia. Tak adanya sambutan bagi kontingen Indonesia tidak mematahkan semangat tanding para atlet. Sebaliknya, kata Siregar , SEA Games 1977 bagi mereka adalah memenuhi veni, vidi vici (kami datang, kami melihat, kami menang) jadi inspirasi tersendiri. “Pemberangkatan kontingen Indonesia mempunyai dasar falsafah, yakni falsafah prestasi,” kata Siregar yang juga merangkap direktur olahraga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta ketua I Pengurus Besar Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PB PRSI). Atlet Indonesia membuat gebrakan sejak di hari pertama SEA Games. Atlet renang memborong enam medali emas. Sejak hari pertama itu, kolam renang menjadi ajang pesta atlet renang Indonesia. Tim renang putra menyapu bersih 19 medali emas di semua nomor. Total di cabang renang putra dan putri, Indonesia mengoleksi 21 emas, 9 perak dan 5 perunggu. “Saat itulah, semua mata memandang kagum pada Indonesia,” kenang Siregar . Keberhasilan di cabang renang diikuti cabang-cabang lain. Sehingga, Indonesia yang baru pertama kali ikut SEA Games langsung menjadi juara umum dengan mendulang 62 emas, 41 perak dan 34 perunggu. Kisah kesuksesan kontingen Indonesia menghiasi berbagai suratkabar, baik di dalam negeri maupun di negara-negara tetangga. “Surat kabar terkemuka di Malaysia, Berita Harian , di halaman satu memuat berita bertajuk ‘Vini Vidi Vici Indonesia’,” kata Siregar. Setelah SEA Games 1977, Indonesia kembali menjadi juara umum di ajang pesta olahraga dua tahunan negara-negara Asia Tenggara itu, pada 1979, 1981, 1983, 1987, 1989, 1991, 1993, 1997, dan terakhir 2011.
- Kudeta AURI
Menteri/Panglima Angkatan Udara (Menpangau) Laksamana Madya Omar Dani tak pernah menyangka pertemuannya di Jakarta dengan Duta Besar RI di Kamboja Budiardjo akan berujung pada berita buruk: “Menpangau Sri Muljono Herlambang telah ‘dikudeta’ oleh Komodor Udara Suyitno Sukirno, Komodor Udara Rusmin Nurjadin, dan Komodor Udara Leo Wattimena dengan bantuan panser dari Kostrad,” kata Budiardjo sebagaimana ditulis JMV Soeparno dan Benedicta Surodjo dalam Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku: Pledoi Omar Dani . Perebutan kekuasaan di tubuh AURI itu berawal dari kondisi buruk yang dialami matra tersebut pasca-G30S. Angkatan Darat (AD) yang diamini masyarakat menganggap bahwa AURI terlibat dalam peristiwa berdarah itu. Meski AURI sudah menjelaskan bahwa yang terlibat adalah oknum, bukan institusi, toh pandangan miring terhadap AURI justru kian kuat. Langkah yang diambil presiden dengan menugaskan Omar Dani keluar negeri dan memberikan posisinya kepada Laksmana Muda Udara Sri Mulyono tetap tak menyelesaikan masalah. Penunjukan itu malah menimbulkan masalah di dalam tubuh AURI. Beberapa anggota Dewan AURI –organ yang berisi perwira tinggi– dan banyak perwira pertama hingga menengah tak senang kepada figur pilihan Sukarno itu. Melihat keadaan yang hampir membelah AURI jadi dua itu Panglima Komando Pertahanan Udara (Kohanud) sekaligus Kepala Staf Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) Komodor Udara Suyitno Sukirno berinisiatif meredakan gejolak. “Sering saya adakan briefing mengenai keadaan negara pada umumnya dan AURI pada khususnya dan diteruskan dengan diskusi secara panjang lebar,” ujar Suyitno dalam kesaksiannya yang dimuat di Konsistensi TNI dalam Pasang Surut Republik . Pada 4 Oktober 1965, dia membuka kontak dengan AD dengan mengunjungi kantor Corps Polisi Militer (CPM) di dekat kantor Perusahaan Listrik Negara (PLN) Pusat, Jakarta. Kembalinya Rusmin Nurjadin, yang ditugaskan Omar Dani ke Moscow pada 1965, dimanfaatkan Suyitno, Leo, dan pihak-pihak yang kontra Sri Mulyono untuk menjelaskan situasi politik tanah air. Rusmin “masuk” kubu mereka. Rusmin dan Suyitno, sebagaimana dimuat buku merupakan dua perwira tinggi yang sejak lama tak cocok dengan kepemimpinan Omar Dani dan Sri Mulyono. Ketidaksukaan itu ditunjukkan di depan umum. Sewaktu Dani berpidato dalam rangka pembukaan seminar AURI di Cibulan,Puncak, Januari 1963, ada dua perwira tinggi yang tak menanggalkan kacamata hitamnya sebagai bentuk ketidakhormatan. “Kedua perwira itu adalah Kol. Ud. Rusmin dan Kol. Ud. Sujitno Sukirno,” demikian menurut buku Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku: Pledoi Omar Dani . Akibatnya, suasana rapat-rapat Dewan AURI yang makin sering digelar menjadi panas. Dalam sebuah rapat Dewan di bulan Maret 1966, terjadi ketegangan antara dua kubu dengan hasil akhir keputusan Dewan agar Sri Mulyono menyerahkan jabatannya kepada Rusmin. Keputusan itu berbuntut besar. “Pada tanggal 27 Maret 1966 malam dengan tiba-tiba Letnan Dua Sugianto dan pasukan datang ke rumah saya, dengan perintah Panglima Korud V Kolonel Kardono, untuk melucuti senjata dan menangkap saya,” ujar Suyitno. Hal serupa, kata Suyitno, juga terjadi pada Leo. Suyitno kontan menolak, yang keesokannya membuahkan permintaan maaf dari Kardono. Namun, karena menganggap rumahnya sudah tak aman, Suyitno kemudian “mengungsi” ke markas POMAD (Polisi Militer Angkatan Darat). Di sana dia menceritakan semuanya kepada Kolonel Suhardjono, yang lalu meneruskannya kepada Jenderal Sumitro. Setelah Sumitro tiba, mereka berembuk guna mendapatkan solusi. “Salah satu dari hasil rapat adalah bila perlu bantuan AD cq Kostrad, maka hanya kepada tiga orang AURI permohonan bantuan akan diberikan, yaitu Leo, Rusmin, dan saya,” ujar Suyitno. Setelah menceritakan keadaan-keadaan dan memberi instruksi kepada komandan Wing 300 agar siap siaga, Suyitno menghubungi Leo dan Rusmin. Triumvirat AURI itu lalu sepakat agar Dewan segera menggelar rapat dengan dipimpin Rusmin di Halim, bukan Mabes AU. Namun, rapat itu batal lantaran satu jam sebelum dimulai datang telepon dari Mabes yang menginformasikan rapat dipindah ke Mabes dengan dipimpin Sri Mulyono. Triumvirat lalu berunding. Keputusannya, Rusmin dan Leo membawa pengawal datang ke Tanah Abang (Mabes AU); Suyitno ke Kostrad di Gambir untuk meminta bantuan. “Keputusan minta bantuan ke Kostrad adalah bahwa bila saya membawa anggota Kohanud yang sudah saya siapkan di Kemayoran, kemungkinan besar akan terjadi clash ,” kata Suyitno. Di Gambir, Suyitno diterima Letkol Wahono. Setelah mendengar penjelasan Suyitno, dia langsung menawarkan bantuan. Suyitno bersama Letkol Wing Wiryawan dan Mayjen Kemal Idris –yang ikut untuk menjadi penonton– langsung mengendarai sebuah jip ke Tanah Abang dengan dikawal panser bantuan Kostrad. Setelah instruksi kepada komandan panser langkah-langkah yang harus diambil bila keadaan menjadi di luar dugaan sekalipun, Suyitno menjelaskan kedatangannya kepada petugas jaga pos Mabes AURI lalu masuk. Waktu itu rapat sudah berjalan. Sri Mulyono, yang tengah memimpin rapat, agak terganggu dengan kedatangan Suyitno. Keduanya lalu terlibat cekcok. Tepat ketika omongan Suyitno selesai, pengawal Rusmin dan Leo –yang sudah diberi instruksi tentang skenario yang akan terjadi– masuk ruang rapat dengan posisi siap tembak. Sejurus kemudian, deru suara panser terdengar dari ruang rapat. Suara itu membuat Sri Mulyono marah karena ada kendaraan tempur masuk ke areal steril. Kemarahan Sri membuat Suyitno naik pitam. Sambil berusaha mengambil pistolnya, dia menantang Sri Mulyono duel. Melihat itu, Komodor Handoko (Deputi Logistik) buru-buru merangkul Suyitno dan menanyakan apa maunya. “Saya hanya minta ‘ caretaker’ supaya diserahkan kembali kepada Rusmin sesuai keputusan kita bersama di Dewan AURI, lain tidak,” jawab Suyitno. Entah siapa yang memulai, para perwira di ruang sidang lalu ramai-ramai menyerukan agar caretaker diserahkan kepada Rusmin. Keributan pun berakhir. Pergantian kepemimpinan AURI membuat Sri Mulyono dan juga Omar Dani, plus anggota-anggota AURI lain yang patuh kepada Sukarno, menjadi pesakitan. Dia dan Dani sempat satu tempat tahanan di Nirbaya.
- Atlet Tenis Meja Indonesia WO dari SEA Games Malaysia
Tim sepak takraw putri Indonesia memilih walk out (WO) di babak kedua kontra tuan rumah di SEA Games ke-29 di Kuala Lumpur, Malaysia. Dalam pertandingan babak round robin pada Minggu, 20 Agustus 2017 itu, wasit Muhammad Radi asal Singapura mengeluarkan keputusan yang merugikan tim Indonesia. Wasit beberapa kali membatalkan dan menilai foul servis tim Indonesia. Setelah protes tak digubris, tim Indonesia memutuskan WO padahal tengah memimpin 16-10 di babak kedua. Atlet takraw putri Indonesia pun berurai air mata karena kecewa. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi yang menyaksikan laga di Titiwangsa Indoor Stadium, Kuala Lumpur itu, berusaha menenangkan para pemain. Sejarah seolah mengulang kejadian pada SEA Games ke-15 di Kuala Lumpur, Malaysia tahun 1989. Atlet tenis meja Indonesia dari nomor tunggal putri, Rossy Pratiwi Dipoyanti Syechabubakar, memilih WO di final melawan atlet Malaysia Leong Mee Wan pada 25 Agustus 1989. Padahal, Rossy sudah merebut set pertama dengan skor tipis 17-16. Tapi di set kedua, Rossy dirugikan oleh keputusan wasit Goh Kun Tee asal Malaysia. “Saat bola pengembalian Mee Wan jatuh di sisi kanannya, Rossy melancarkan forehand drive . Bola berkelebat menyentuh tepi meja sebelum jatuh. Wasit mengangkat tangan kanan memberi angka kepada Mee Wan,” tulis Kompas, 26 Agustus 1989. Ofisial tim Indonesia protes keras. Namun, wasit tetap pada keputusannya. Rossy yang terpukul dan menangis didekap pelatihnya, Diana Wuisan. “Sudahlah kita pulang saja kalau begitu. Sebagai manajer tim, saya katakan kita dirampok,” kata RM Nuryanto. Ketua Olympic Council of Malaysia (Dewan Olimpiade Malaysia) Hamzah Abu Samah justru mengecam aksi WO tim tenis meja Indonesia. Dia menilai tindakan itu merusak tujuan SEA Games yang bersemangat persahabatan antarnegara di Asia Tenggara. Wasit kehormatan Yap Yong Yih melaporkan kejadian itu kepada panitia penyelenggara SEA Games. Goh mengubah keputusannya setelah berdiskusi dengan asisten wasit Cyril Sen. Namun, Rossy dan ofisial tim sudah keburu meninggalkan pertandingan . Alhasil, Leong Mee Wan tetap diputuskan mendapat emas, sedangkan Rossy mendapat medali perak. Kendati demikian, dia menyabet dua emas untuk beregu dan double , serta satu perunggu untuk mic double . Rossy bisa dibilang ratunya tenis meja Asia Tenggara. Dia tampil di SEA Games sejak 1987 sampai 2001 dengan merebut 13 emas, kecuali SEA Games 1999 dan 2001. Selain SEA Games, dia juga berlaga di Asian Games, kejuaraan dunia, dan Olimpiade. Di tingkat nasional, dia tampil di Pekan Olahraga Nasional. Setelah pensiun, Rossy menjadi pelatih tim nasional tenis meja putri SEA Games 2011 dan tim nasional tenis meja prakualifikasi Olimpiade di Bangkok, Thailand, tahun 2012.
- Teror di Negeri Matador
Pada 17 Agustus 2017, para teroris kembali melancarkan aksi terror di Spanyol. Kali ini, para pejalan kaki di kawasan Las Ramblas, Barcelona yang menjadi sasaran. Russia Today melaporkan, Sebanyak 13 orang tewas dan lebih dari 100 orang terluka, ketika sebuah mobil van melaju kencang dan menabrak orang-orang yang tengah berjalan santai di trotoar. Diduga kuat, pelakunya adalah kelompok teroris ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah). Sejatinya, itu bukan kali pertama negara matador didera serangan teroris. Tercatat, sejumlah wilayah di sana sudah jadi sasaran teroris secara struktural sejak 1961: Serangan Kereta Api di San Sebastian RP Clarke dalam The Basque Insurgents: ETA 1952-1980 menyebutkan, ETA (Euskadi Ta Askatasuna), kelompok separatis Basque, sudah mencoba aksi terror mereka sejak 18 Juli 1961. Saat itu, mereka coba menggulingkan satu rangkaian kereta berisi para simpatisan pendukung Franco dan veteran Perang Sipil Spanyol di San Sebastian. Euskadi Ta Askatasuna (Tanah Air dan Kemerdekaan Basque) sendiri dibentuk pada 1959, menyusul berbagai kebijakan rezim Franco yang banyak menindas hak-hak orang-orang Basque. Pada Perang Sipil (1936-1939), orang-orang Basque secara terbuka menyatakan keberpihakannya kepada kaum Republik yang menentang kaum fasis kala itu. Akibatnya, setelah perang orang-orang Basque mendapat “hukuman” dari rezim Franco. Salah satunya dengan melarang mereka menggunakan bahasa Basque. Pelarangan yang ditentang PNV (Partido Nacionalista Vasco) dan kelompok mahasiswa Ekin. Mereka lantas mendirikan ETA. “Mereka mengadopsi terorisme sebagai cara menegakkan kedaulatan Basque di Spanyol. Tapi upaya pertama mereka pada Juli 1961 gagal. Ratusan aktivis ETA ditangkapi pemerintahan Franco,” kata Stephen E Atkins dalam Encyclopedia of Modern Worldwide and Extremist Groups. Perampokan Bank Guipuzcoano April 1967, ETA beraksi kembali. Kali ini, mereka menyerang sekaligus merampok Bank Guipuzcoano di Villabona. Dalam serangan tersebut, kaum militan ETA sukses menggondol 1 juta peseta tanpa menimbulkan korban. Korban Pertama Serangan ETA Pada 7 Juni 1968, terjadi baku tembak antara aparat keamanan Spanyol dengan kaum militan ETA di Aduna. Korban pertama dari rezim pemerintahan fasis jatuh kala itu. Ia adalah Jose Pardines, salah satu anggota Guardia Civil. Usai kejadian tersebut, beberapa tokoh sipil dan milier pendukung rezim Franco lainnya acap kali mendapat ancaman teror dari ETA. Pembunuhan PM Blanco ETA juga menyasar para pejabat tinggi Spanyol untuk dijadikan tujuan teror mereka. Pada 20 Desember 1973, rombongan Perdana Menteri Spanyol Laksamana Luis Carrero Blanco melewati sebuah terowongan. Di tengah jalan dalam terowongan tersebut, tiba-tiba mobil yang mereka tumpangi meledak. Blanco bersama sopir dan pengawalnya, langsung tewas di tempat akibat bom yang dipasang militan ETA. Bom di Bandara dan Stasiun Kereta Serangan teror dengan jumlah korban yang tidak sedikit untuk kali pertama, dilancarkan ETA pada 28 Juli 1979. Tiga bom meledak di Bandara Barajas, Atocha dan Stasiun Kereta Api Chamartin. Surat kabar La Vanguardia edisi 31 Juli 1979 menyebutkan: 7 orang tewas dan 100 lainnya luka-luka. Pemboman Supermarket di Barcelona Ledakan di dua bandara dan satu stasiun itu bukan kali terakhir serangan ETA memakan korban masyarakat sipil. Sebanyak 21 orang sipil dan 45 lainnya terluka dalam serangan bom oleh ETA di Supermarket Hipercor di Barcelona, pada 19 Juni 1987. Serangan ini disebutkan sebagai serangan paling mematikan yang dilakukan ETA sejak 1961. Surat kabar Los Angeles Times edisi 19 Juni 1987 melaporkan, ledakan berasal dari sebuah bom yang dipasang dalam sebuah mobil di area parkir. Bom itu meledak pukul 4.12 petang yang menyebabkan adanya sebuah lubang berdiameter 5 meter di lantai dasar supermarket tersebut. Serangan ini menjadi bumerang secara politis terhadap gerakan ETA, lantaran mayoritas masyarakat Basque sendiri justru ikut mengutuk serangan yang turut menewaskan 2 anak tersebut. “Serangan itu dinilai banyak orang sebagai titik balik simpati terhadap ETA. Serangan berdarah dingin terhadap wanita dan anak-anak itu membuat muak banyak masyarakat Basque yang sebelumya mendukung tujuan ETA,” tulis The Independent. Bom Mobil di Markas Guarda Civil Sebuah bom mobil berbobot 70 kilogram meledak di Markas Guardia Civil di Vic, Barcelona pada 29 Mei 1991. Media Spanyol El Economista melaporkan, ledakan bom yang terjadi dekat sebuah sekolah itu menewaskan sepuluh orang (termasuk empat anak) dan 44 lainnya luka-luka Sehari setelah kejadian itu, Guarda Civil bergerak cepat dan melakukan penggerebekan terhadap sebuah rumah di Llica d’Amunt, dekat Kota Barcelona. Dalam penggerebekan itu, dua militan ETAtewas dalam baku tembak dengan aparat keamanan. Bom di Madrid ETA yang awalnya ingin membidik seorang perwira polisi di pusat Kota Madrid, justru menewaskan 12 orang sipil dalam serangan bom pada 12 Juli 2000. Surat kabar El Pais edisi 13 Juli 2000 menuliskan, bom itu justru meledakan pusat perbelanjaan yang dipenuhi turis di El Corte Ingles dan FNAC. Bom itu meledak sepuluh menit lebih awal dari rencana awal ETA yang hendak menargetkan polisi yang memang rencananya akan melewati jalur itu. Bom Kereta Serangan teror yang dasyat juga terjadi lagi pada 11 Maret 2004 di ibu kota Madrid. Insiden yang dikenal publik Spanyol sebagai Insiden Pengeboman 11-M atau pemboman kereta Madrid. Berbeda dengan serangan-serangan sebelumnya, pelakunya dalam tragedi ini bukan ETA, melainkan sel teroris Al-Qaeda. Surat kabar El Mundo mencatat, 192 orang meninggal dan dua ribu lainnya luka-luka. Insiden bom yang terjadi tiga hari jelang pemilihan umum Spanyol 2004 itu, disebutkan sebagai tragedi terorisme paling mengerikan dalam sejarah Spanyol. Ancaman Bom di Stadion Real Madrid Dunia sepakbola Spanyol juga tidak lepas dari ancaman teror. Pada 12 Desember 2004, stadion ternama milik klub raksasa La Liga Real Madrid, Estadio Santiago Bernabeu diisukan akan diledakan juga oleh kaum teroris. BBC Sport menuliskan, ancaman itu terjadi ketika Los Merengues (julukan Real Madrid) tengah menjamu Real Sociedad. Ancaman lewat telepon dari orang tak dikenal itu mengatakan, akan terjadi ledakan bom pada pukul 9 malam waktu setempat. Tak mau kecolongan, pihak keamanan mengevakuasi sekira 70 ribu orang, termasuk penonton dan perangkat pertandingan dari stadion. Ketika itu, pertandingan tinggal menyisakan tiga menit sebelum peluit panjang berbunyi dengan skor 1-1 dan lantas. Namun ancaman ledakan bom itu tidak terbukti sama sekali.
- Malaysia dan Keikutsertaan Indonesia di SEA Games
Southeast Asian (SEA) Games atau pesta olahraga se-Asia Tenggara pertama kali digelar pada 1959 dengan nama South East Asia Peninsula (SEAP) Games. Ajang ini berawal dari pertemuan empat negara, yaitu Thailand, Myanmar, Laos, dan Malaya, pada 22 Mei 1958 saat mengikuti Asian Games III di Tokyo, Jepang. Pembicaraan itu menghasilkan keputusan untuk menyelenggarakan pekan olahraga negara-negara semenanjung Asia Tenggara. SEAP Games pertama di Bangkok, Thailand, 12-17 Desember 1959, diikuti enam negara yaitu Myanmar, Laos, Malaya, Singapura, Thailand, dan Vietnam Selatan. Kamboja, salah satu dari enam anggota pendiri SEAP Games Federation, tidak bertanding pada edisi perdananya. Upaya Indonesia ikut dalam SEAP Games ditentang Thailand. “Upaya Indonesia dan Filipina untuk bergabung dalam SEAP Games di akhir 1960-an dan awal 1970-an ditolak karena Thailand bersikeras bahwa SEAP Games adalah 'urusan keluarga kecil' negara-negara semenanjung,” tulis Simon Creak, “The New Golden Peninsula Games,” dimuat dalam newmandala.org.' M.F. Siregar, tokoh olahraga Indonesia, mengungkapkan bahwa sejak awal penyelenggaraannya, SEAP Games menghadapi banyak hambatan, terutama soal tuan rumah. Bahkan, pada 1977, tidak ada satu pun negara yang bersedia menjadi tuan rumah. Dalam situasi tidak menentu itu, Malaysia mengajukan diri sebagai tuan rumah, namun dengan syarat Indonesia dan Filipina diterima sebagai anggota SEAP Federation. “Syarat tersebut ternyata disetujui dengan suara bulat oleh negara anggota lain yang mengikuti sidang SEAP Federation Council di Bangkok pada 12 Desember 1975,” kata Siregar dalam biografinya, Matahari Olahraga Indonesia. Siregar mendampingi atlet Indonesia di SEA Games 1977 selaku Sekjen KONI Pusat dan Ketua I PB PRSI (Pengurus Besar Persatuan Renang Seluruh Indonesia). Dua tahun kemudian para anggota SEAP Federation sepakat untuk mengubah nama menjadi Southeast Asian Games Federation. Dan SEAP Games berubah menjadi SEA Games yang diikuti seluruh negara ASEAN. Indonesia untuk pertama kalinya ikut SEA Games di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 19-26 Desember 1977. Hebatnya, walau berstatus debutan, Indonesia keluar sebagai juara umum. Dari 18 cabang yang diikuti 265 atlet, Indonesia jadi yang terbaik di antara 7 negara peserta dengan meraih 62 medali emas, 41 perak dan 34 perunggu.*
- Air Mata Sukarno Berpisah dengan Bendera Pusaka
PEJABAT Presiden Soeharto akan menjadi inspektur upacara HUT RI untuk pertama kalinya pada 17 Agustus 1967. Dalam rapat SUAD (Staf Umum Angkatan Darat), Men/Pangad Letjen TNI Maraden Panggabean menekankan agar diadakan persiapan sebaik-baiknya untuk menyukseskan upacara tersebut. Perhatikan segala detail dari pelaksanaan upacara itu, terutama mengenai Bendera Pusaka Merah Putih yang dikibarkan setiap HUT RI di depan Istana. Panggabean meminta stafnya memeriksa Bendera Pusaka di Istana Negara dan Istana Merdeka. Namun, setelah dicari di setiap laci dan lemari, Bendera Pusaka tidak ditemukan. Begitu pula di Sekretariat Kepresidenan. “Masalah ini tiba-tiba tersebar luas dan menimbulkan beberapa macam pendapat aneh dan menghebohkan,” kata Panggabean dalam memoarnya, Berjuang dan Mengabdi. Panggabean kemudian meminta izin kepada Soeharto untuk menemui Sukarno di Istana Bogor. Saat itu, Sukarno menjadi tahanan kota. Ketika bertemu, Panggabean menyinggung Bendera Pusaka yang tidak ditemukan. Wajah Sukarno berubah, pandangannya tajam dan menerawang. Dia menarik napas panjang dan bertanya, “selama ini saya sendiri yang menyimpannya. Apa TNI AD sanggup menyelamatkannya?” Panggabean merasa bahwa Sukarno masih menaruh curiga terhadap TNI AD. “Atas nama TNI AD saya memberikan jaminan bahwa Bendera Merah Putih dan khususnya Bendera Pusaka Merah Putih akan dijaga, diamankan dan dipertahankan oleh TNI AD,” kata Panggabean. Sukarno mengatakan bahwa Bendera Pusaka akan disimpan di suatu tempat yang sudah disediakan. Dia bersedia menyerahkannya dengan syarat bendera itu harus disimpan di tempat yang sudah disediakan itu. Dia juga meminta agar dapat pindah ke Jakarta karena di Bogor terlalu lembab sehingga dia sering terkena flu. Panggabean meneruskan permohonan Sukarno itu melalui telepon kepada Soeharto. Soeharto menyetujuinya dan menunjuk rumah Sukarno di Slipi, yaitu Wisma Yaso yang ditempati istrinya, Ratna Sari Dewi. Sukarno dan Panggabean pun berangkat ke Slipi. Esok harinya, Panggabean mengunjungi Sukarno di Wisma Yaso. Mereka berangkat menuju Monumen Nasional. Sesampainya di sana, mereka memasuki ruangan bawah tanah dan berhenti di salah satu bagian. Sukarno menunjuk pada suatu tempat dan mengatakan bahwa ruangan itu dipersiapkan untuk Bendera Pusaka. “Setelah tiba kembali di Slipi, Bendera Pusaka yang ada di dalam kotaknya diserahkan beliau kepada saya. Kemudian Bendera Pusaka beserta kotaknya saya serahkan kepada Pejabat Presiden Jenderal Soeharto,” kata Panggabean. Rachmawati Sukarnoputri menjadi saksi penyerahan Bendera Pusaka. “Sore itu ada suatu peristiwa yang sangat penting dan mempunyai nilai sejarah. Tanpa kusadari aku menjadi saksi ketika bapakku menyerahkan Bendera Pusaka yang dijahit ibuku Fatmawati kepada tamu-tamunya,” kata Rachmawati dalam Bapakku Ibuku Dua Manusia yang Kucintai dan Kukagumi . Tamu-tamu jenderal itu tak hanya Panggabean. Rachmawati melihat Brigjen TNI M. Jusuf, Brigjen TNI Amirmahmud dan Mayjen TNI Basuki Rahmat. Mereka duduk di bagian tengah ruang depan Wisma Yaso. “Sekilas kutangkap garis-garis kesedihan luar biasa pada wajah bapakku tatkala dia masuk untuk mengambil bendera itu. Kulihat sekali bapak mengusap matanya. Bapakku menangis,” kata Rachmawati. “Aku terhenyak melihat peristiwa itu. Agaknya, Bendera Pusaka itu adalah satu-satunya harta yang sangat dihargai, dimuliakan dan diagungkan bapakku. Bapak sangat menghormati nilai sejarah Bendera Pusaka itu.” AKBP Sidarto Danusubroto, ajudan Sukarno, mengungkapkan bahwa Sukarno mengajukan syarat agar keempat Panglima Angkatan menghadap untuk menerima Bendera Pusaka. Kesempatan tersebut akan digunakan Sukarno untuk menyampaikan hal-hal penting berkenaan dengan langkah-langkah pemerintah Soeharto yang sangat memojokkan Sukarno, membatasi kebebasan pribadi dan keluarganya, dan meniadakan segala hal yang berkaitan dengan Sukarno. Berbeda dengan keterangan Rachmawati, Sidarto mengingat bahwa tidak semua panglima hadir, hanya Men/Pangal Laksamana Mulyadi dan Men/Pangak Inspektur Jenderal Polisi Sutjipto Yudodiharjo, sedang lainnya diwakilkan. Sukarno mengajak mereka ke Monas, tempat Bendera Pusaka akan disimpan. “Sesudah pertemuan tersebut tetap tidak ada perubahan perlakuan terhadap Bung Karno. Beliau tetap dibatasi pergerakannya dan harus selalu minta izin setiap kali ada kegiatan keluar,” kata Sidarto dalam biografinya, Dari Ajudan sampai Wakil Rakyat . Harian Kompas , 18 Agustus 1967, melaporkan bahwa “Mulanya tampak keengganan pada diri Bung Karno untuk menyerahkan Bendera Pusaka itu. Tapi akhirnya setelah melalui proses yang berbelit-belit Bendera Pusaka itu berhasil diambil dari tangan Bung Karno karena desakan keempat Panglima Angkatan.” Bendera Pusaka diserahkan kepada Soeharto untuk dikibarkan terakhir kalinya pada upacara kemerdekaan 17 Agustus 1967. Bendera Pusaka kemudian disemayamkan di Monas. Mulai tahun 1968, yang dikibarkan adalah duplikatnya. Pada 5 Agustus 1969, Soeharto menyerahkan duplikatnya dan reproduksi naskah Proklamasi kepada gubernur seluruh Indonesia untuk dikibarkan pada setiap upacara peringatan kemerdekaan.*
- Ki Bagus Hadikusumo dalam Toedjoeh Kata
Pagi itu, 18 Agustus 1945, sehari selepas Proklamasi, Gedung Chuo Sangi In masih lengang. Ki Bagus Hadikusumo yang baru saja hadir tiba-tiba didatangi seorang pembantu yang memberi tahu bahwa Bung Hatta hendak bicara. Dengan diantar pelayan itu Ki Bagus Hadikusumo menemui Hatta, yang ternyata bersama Kasman Singodimedjo dan Tengku Mohammad Hasan. Dengan air muka yang rikuh, Hatta menyampaikan sesuatu yang membuat Ki Bagus Hadikusumo terkejut: penghapusan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” atau risiko wilayah Indonesia timur yang dominan Kristen berpisah jika tujuh kata itu tetap tercantum dalam pembukaan undang-undang dasar. Ki Bagus jelas menampakkan kekecewaannya kepada Hatta. Pasalnya, poin itu sudah disetujui dan disahkan dalam sidang BPUPKI sebelumnya, mengapa kini tiba-tiba harus dirombak. “Bukankah sudah disepakati juga bahwa kalimat itu hanya berlaku untuk umat Islam,” sergah Ki Bagus. Hatta menyampaikan bahwa malam sebelumnya seorang opsir Jepang mendatanginya dan memberi tahu bahwa pemuka-pemuka agama di wilayah timur merasa terdiskriminasi oleh kalimat itu. “Siapa opsir itu?” tanya Ki Bagus. Hatta hanya menjawab, “Maaf, saya lupa menanyakan namanya.” Tengku Mohammad Hasan dan Kasman Singodimedjo pun akhirnya ikut membujuk Ki Bagus yang tampak emosi. Namun, pembicaraan tetap buntu. Tanpa bicara lebih jauh Ki Bagus beranjak pergi, meninggalkan ketiga orang itu dalam diam. Lakuan itu adalah bagian dari dokudrama Toedjoeh Kata karya sutradara muda Bayu Seto. Melalui film ini, Bayu dan tim Muhammadiyah Multimedia Kine Klub (MMKK) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ingin merekonstruksi kembali fragmen sejarah penting pascaproklamasi menyangkut umat Islam yang saat ini seakan dilupakan. Idenya membuat dokudrama ini berawal dari kegelisahannya mengamati aksi damai kalangan umat Islam pada 2 Desember 2016. Peristiwa itu memunculkan pertanyaan besar di benaknya tentang mengapa masyarakat bisa terpecah sedemikian rupa. Ia mencoba mencari jawabannya melalui sejarah. “Saya terus mencari dan ketemulah dengan sosok Ki Bagus dan peristiwa penghapusan tujuh kata itu. Saya juga mengingat di buku-buku sekolah peristiwa ini hanya disebut sepintas lalu saja,” tutur Bayu usai pemutaran filmnya di Masjid Abu Bakar As-Sidiq, 17 Agustus 2017. Lebih jauh dokudrama ini dimaksudkan sineasnya untuk mengangkat peran tokoh Islam Indonesia terkait usaha penerapan syariat Islam di masa lalu. Tidak banyak adegan di film ini. Fokusnya sengaja diarahkan pada perundingan di antara Ki Bagus, Hatta, Kasman Singodimedjo, dan Tengku Mohammad Hasan serta usaha Kasman membujuk Ki Bagus untuk menyetujui usulan Hatta. Toedjoeh Kata mencoba menangkap dilema yang dialami Ki Bagus Hadikusumo yang berusaha meneguhkan keberpihakannya pada Islam. Yang Tidak Tertangkap Kamera Film ini menjadi menarik karena membuka diskusi atas beberapa detil sejarah yang, seperti dikatakan sutradaranya, luput dari perhatian. Sayangnya, itu juga dilakukan secara sepintas lalu oleh sineasnya. Agaknya persoalan riset menjadi kendalanya. Itu diakuinya dalam diskusi usai pemutaran film. “Buat filmaker sendiri tema sejarah dan politik adalah tema yang sulit. Bagi sineas yang sudah senior saja sulit. Salah satunya soal riset, karena untuk seorang tokoh seperti Ki Bagus ini datanya terbatas sekali,” katanya. Keterbatasan itu membuat beberapa hal menarik tidak tertangkap dalam narasi maupun gambar film. Toedjoeh Kata hanya merekam peristiwa pada pagi hari 18 Agustus 1945 sebelum sidang pertama PPKI, ketika Ki Bagus baru saja tiba di Gedung Chuo Sangi In. Padahal, titik mula munculnya opsi penggantian redaksi pembukaan UUD justru terjadi pada malam sebelumnya. Hatta dalam memoarnya Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi menyebut, “Pada sore harinya (17 Agustus, red ) aku menerima telepon dari Tuan Nishiyama, pembantu Admiral Maeda, yang menanyakan, dapatkah aku menemui seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishiyama sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku persilakan mereka datang. Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan Kaigun dan menginformasikan bahwa wakil-wakil umat Protestan dan Katolik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, keberatan sangat terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar ...” Namun, dalam Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Hatta menyebut opsir itu adalah Nishijima, seorang pembantu Laksamana Maeda. Melalui suara Ki Bagus, Bayu menyodorkan sanggahan atas informasi dari Hatta yang mengatakan bahwa masyarakat wilayah timur merasa didiskriminasi. Ki Bagus dalam film mengatakan bahwa poin-poin dalam pembukaan UUD itu telah disetujui oleh seluruh anggota BPUPKI pada 22 Juni 1945. Mr. A.A. Maramis, yang dianggap sebagai salah satu perwakilan masyarakat Indonesia timur dan Kristen, ikut menandatangani rancangan pembukaan UUD tanpa berkeberatan atas isinya. Dalam film, Ki Bagus pun mempertanyakan mengapa sesuatu yang sebelumnya telah disepakati kini harus dimentahkan. Argumentasi Ki Bagus itu tidak sepenuhnya benar, karena pencantuman frasa itu dibahas kembali oleh BPUPKI dalam Rapat Perancang Undang-undang Dasar pada 11 Juli 1945. Rapat itu digelar atas keberatan dari Mr. Johanes Latuharhary yang mewakili masyarakat Kepulauan Maluku. Tetapi, hasil keputusan rapat itu tidak berbeda dengan putusan BPUPKI pada 22 Juni, yakni menyetujui isi Piagam Jakarta sebagai pembukaan UUD. Hatta sendiri sebenarnya berembug dengan wakil-wakil umat Islam itu dengan posisi yang tidak netral. Ia datang dengan opsi untuk merombak frasa krusial itu dengan frasa yang lebih universal, alih-alih untuk menyelidiki kemungkinan keluhan sebagian kalangan minoritas. Terkait sikap Hatta itu, Deliar Noer mengajukan beberapa kemungkinan alasannya. Hatta sebagai seorang nasionalis tidak ingin Indonesia terpecah dan hal-hal yang menjurus pada perpecahan itu sebaiknya dihilangkan. Yang lebih penting, Hatta tidak merasa perlu mencantumkannya hanya karena umat Islam adalah mayoritas di Indonesia seperti argumen Ki Bagus. “Justru karena sifat mayoritas ini yang dijumpai pada ummat Islam di Indonesia, Hatta kurang merasa perlu untuk menekankan pada tingkat undang-undang dasar hal-hal yang Islami seperti ketujuh kata tadi. Ini tidak berarti bahwa ajaran Islam tidak perlu disebarkan, tetapi hal ini merupakan tanggung jawab masyarakat, bukan tanggung jawab negara, pendapatnya,” tulis Deliar Noer dalam Muhammad Hatta: Biografi Politik. Untuk detil latar belakang ini Bayu tidak menampakkannya sama sekali, lewat narator atau mulut para pemerannya. Ia hanya memfokuskan diri pada perdebatan Hatta dan Ki Bagus. Dalam dialog-dialog itu, Ki Bagus ditampilkan dengan argumentasi soal “hak mayoritas” dan “kesepakatan BPUPKI”. Sementara Hatta kukuh dengan “usaha menjaga persatuan”. Ia tidak berusaha mengulik lebih jauh motif Hatta maupun Ki Bagus, sehingga membuat perdebatan itu klise. Di Mana Wahid Hasyim? Menggambarkan hal semacam itu dalam film memang pelik. Lain itu, Bayu juga masih harus berhadapan dengan detil simpang siur lainnya. Tilik pilihan Bayu untuk tidak menampilkan sosok KH Wahid Hasyim, wakil NU, dalam dokudramanya. Pendapat pribadinya saat perundingan sebelum sidang pertama PPKI pasca Proklamasi, memang sumir. Hatta dalam Untuk Negeriku menyebut bahwa sebelum sidang PPKI dimulai ia mengajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Mr. Tengku Hasan untuk berunding. “Kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan ‘Ke Tuhanan Yang Maha Esa’,” kata Hatta. Dalam buku Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun juga disebutkan kehadiran Wahid Hasyim. Namun, saat itu Kasman menyebut bahwa ia juga diminta Hatta untuk membujuk tidak hanya Ki Bagus, tetapi juga Wahid Hasyim yang keberatan. Keterangan ini jelas berbeda dari keterangan Hatta. Deliar Noer mengemukakan keterangan berbeda . Ia menengarai bahwa Wahid Hasyim tidak ikut dalam perundingan itu maupun sidang PPKI hari itu karena memang ia tidak sedang berada di Jakarta. Ia mendasarkan pendapatnya pada buku Pertumbuhan Historis Rumusan Dasar Negara dan Sebuah Projeksi karya Prawoto Mangkusasmito. Tetapi, merujuk pada Naskah Undang-Undang Dasar 1945 jilid I susunan Muhammad Yamin nama Wahid Hasyim tertera dalam daftar anggota PPKI pada 18 Agustus. Atas keterangan ini Deliar Noer mempertanyakannya, “Apakah ini sekadar daftar anggota, bukan daftar hadir?” Di buku yang sama juga terdapat keterangan soal kehadiran Wahid Hasyim pada sidang PPKI pada 19 Agustus. Deliar Noer kembali mempertanyakannya, “Apakah benar bahwa ia baru tanggal 19 Agustus dapat hadir?” Jika Bayu mau lebih bersusah payah, film ini bisa berdurasi lebih panjang dan tentunya lebih menukik dalam. Sayangnya ia keburu terantuk oleh “data yang terbatas” dan minim konteks. Pilihan ini bukan tanpa risiko. Tanpa adanya latar belakang segera tampak dalam film itu siapa protagonis dan antagonisnya. Akhirnya, dokudrama ini menjadi hanya sekadar penokohan terhadap Ki Bagus Hadikusumo.
- Pengibar Merah Putih di Makau
Jarang orang tahu, Indonesia pernah memiliki sejumlah pembalap motor yang ikut menorehkan namanya dalam sejumlah ajang kelas dunia. Salah satunya adalah Benny Hidayat, yang memulai kariernya sejak tahun 1961. Di tahun itu juga, Benny berhasil menyabet juara Grand Prix (GP) Indonesia dalam kelas 125 cc. “Saya ingat waktu itu masih umur 16 tahun dan mengendarai motor Honda CB 72 yang dibelikan ayah saya,” kenang lelaki berusia 72 tahun itu kepada Historia . Setelah malang melintang di level nasional, pada 1969 Benny bergabung dengan tim Yamaha. Sejak itulah, dia banyak tampil di pentas Asia dan dunia. Mulai ajang GP di Singapura dan Malaysia hingga GP di Makau. Di Makau, Benny berhasil mengibarkan Sang Saka Merah Putih di urutan puncak. Berdasarkan situs resmi GP Makau, macau.grandprix.gov.mo , nama Benny tertera sebagai salah satu kampiun musim 1970. Benny turun dengan kuda besi Yamaha YSI 125 cc yang disediakan tim berlambang garpu tala tersebut. “Boleh dibilang prestasi tertinggi yang saya capai selama ini, ya juara di Macau GP itu. Padahal saya ingat di ajang itu kelasnya bebas. Malah ada yang peserta yang memakai motor 750 cc,” kata Benny. Di ajang GP Makau, Benny tidak datang sendiri dari Indonesia. Tim Yamaha dan POSIDJA (Persatuan Olahraga Sepeda Motor Djakarta) juga mengirimkan sejumlah pembalap lainnya. Sebut saja Beng Suswanto, Hendra "Abaw" Tirtasaputra dan Tjetjep Heriyana. “Sebelumnya (tahun 1969) saya sudah turun di Makau. Tapi baru dapat juaranya pada 1970. Juara dua diraih oleh pembalap dari Makau, sedang juara ketiga teman saya satu tim: Tjetjep (Heriyana),” kenang Benny. Usai juara di Makau, Benny malang melintang dari satu ajang ke ajang lain. Terakhir, dia tampil di GP Malaysia 1974. Tepatnya di Sirkuit Batu Tiga, sekitar 15 kilometer dari Kuala Lumpur. Di ajang itu, rekan setimnya, Tjetjep Heriyana, mengalami kecelakaan hebat. “Tangan dan kakinya patah. Begitu parahnya sampai sekarang sudah sulit jalan. Kecelakaan itu karena memang dia jatuh sendiri, tidak ada insiden dengan pembalap lain. Bisa jadi karena kelelahan juga, karena kan pada waktu itu dia masih cedera bahunya akibat terjatuh dalam suatu ajang sebelumnya,” ujar Benny. “Ya, jatuh aja gitu . Tidak ada kontak sama dengan pembalap lain,” ujar Tjetjep kepada Historia . Sekitar sebulan Tjetjep dirawat di Malaysia. Sebagai sahabat baik, Benny pun ikut menemani Tjetjep saat mengalami perawatan. “Duta Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Jenderal Supardjo Rustam juga sempat jenguk,” kenang Tjetjep. Benny sendiri memutuskan untuk pensiun dari dunia balap motor pada 1978. Yamaha kemudian merekrutnya sebagai pelatih balap motor hingga 1981. Lepas dari Yamaha, Benny sempat buka bengkel hingga masuk ke dunia bisnis otomotif. Kini, di masa senjanya, Benny selain masih hobi mengotak-atik motor, dia juga aktif dalam kegiatan pemugaran lukisan. “Ya, banyak lukisan yang saya pugar, seperti karya-karya Affandi dan Sudjojono,” katanya.
- Perempuan yang Hadir di Proklamasi Kemerdekaan
Setelah Sukarno membaca sambutan dan Proklamasi, dilanjutkan dengan pengibaran Bendera Pusaka Merah Putih. Terdengar suara seseorang meminta SK Trimurti, aktivis pergerakan, untuk mengerek bendera. “Yus Tri, kerek bendera itu.” “Tidak,” Trimurti menolak mungkin karena dia mengenakan kebaya dan jarik. Dia menganggap bendera lebih baik dikerek oleh orang yang berseragam. “Lebih baik saudara Latief (Hendraningrat) saja. Dia dari Peta.” Latief yang berseragam Peta (Pembela Tanah Air) maju sampai dekat tiang bendera. Suhud, didampingi seorang perempuan membawa baki tempat bendera Merah Putih. Bendera Merah Putih dikibarkan diiringi lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dinyanyikan tanpa dirijen. Selain Trimurti dan Fatmawati, istri Sukarno, ada beberapa perempuan yang menghadiri kelahiran Republik Indonesia itu, seperti Nona Mudjasih Yusman yang berdiri dekat Trimurti. Dalam Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi, Trimurti menyebut perempuan lain yang berasal dari Walikukun, Ngawi. Setelah upacara selesai, perempuan yang tidak diketahui namanya itu mendaftarkan diri sebagai Barisan Berani Mati pada Radjiman Wedyodiningrat di ruang belakang rumah Sukarno . Selain itu, perempuan lain yang hadir berasal dari mahasiswa Ika Daigaku atau sekolah tinggi kedokteran zaman Jepang di Jalan Prapatan 10, Jakarta. Buku Mahasiswa ‘45 Prapatan-10: Pengabdiannya 1 karya Soejono Martosewojo, dkk., menyebut mereka antara lain dr. Oetari Soetarti, Yuliari Markoem, Retnosedjati, Zulaika Jasin, juga Gonowati Djaka Sutadiwiria. “Di samping itu juga hadir para mahasiswa putri (Ika Daigaku) di bawah pimpinan Zulaika Jasin dan beberapa orang ibu tokoh perjuangan lainnya,” tulis Soejono. Yuliari Markoem bertugas sebagai anggota kelompok mahasiswa penaikan bendera pusaka. Sesudah Proklamasi kemerdekaan dia betugas sebagai penghubung dalam pengiriman kebutuhan medis ke daerah gerilya. Dr. Oetari Soetarti merupakan istri dr. Suwardjono Surjaningrat, menteri kesehatan (1978-1988) era Orde Baru. Setelah Proklamasi kemerdekaan, Retnosedjati menjadi anggota PMI di bawah Prof. Soetojo. Pada Perang Kemerdekaan I dan II, sebagai anggota PMI dia mengurus pengobatan pejuang di Solo, Klaten, dan Yogyakarta. Gonowati Djaka Sutadiwiria sebagai anggota pengamaman. Mahasiswa membantu Barisan Pelopor, Barisan Pemuda, dan satu pleton polisi untuk mengamankan Proklamasi kemerdekaan dari pembubaran tentara Jepang. Mereka membawa beragam senjata, seperti senjata api, golok, pedang, bambu runcing, dan lain-lain. Gonowati kemudian bertugas sebagai anggota PMI Yogyakarta yang mengumpulkan obat-obatan pada Perang Kemerdekaan I dan II.






















