Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Si Pitung dari Ciamis
TERSEBUTLAH di Tasikmalaya dan Ciamis, Jawa Barat pada tahun 1920. Kondisi ekonomi tak menentu. Harga-harga kebutuhan pokok tak terjangkau oleh rakyat kecil hingga menyebabkan kelaparan dan penindasan oleh para rentenir. “Dalam situasi seperti itu, salah seorang anggota Sjarikat Islam (SI) afdeeling B bernama S.Gunawan membentuk Sjarikat Rakjat (SR),” ujar Muhajir Salam, sejarawan Tasikmalaya kepada Historia . SR banyak mendapat dukungan dari rakyat. Bukan hanya rakyat kebanyakan tapi juga sejumlah jawara (pendekar). Salah satunya bernama Djoeminta. Dengan kondisi masyarakat di sekitarnya, Djoeminta merasa prihatin dan iba hati. Karena uang tak punya, ia lantas menggunakan keahliannya berkelahi untuk menolong rakyat miskin, laiknya Si Pitung yang pernah menjalankan aksi-aksi serupa di Batavia puluhan tahun sebelumnya. “ Ia kerap mengambil secara paksa bahan-bahan makanan yang berada di tangsi-tangsi milik tentara Belanda,” tulis Dharyanto Tito Wardani dalam “Menabuh Genderang Perang: Pemberontakan Sarekat Rakyat di Priangan Timur” ( Jurnal Historia Soekapoera Vol.4 No.1, 2016) Menurut Dharyanto, selain dari tangsi-tangsi militer Belanda, Joeminta pun merampok kantor-kantor pemerintahan kolonial. Hasil dari rampokan tersebut lantas didistribusikan oleh Djoeminta kepada rakyat miskin di seluruh Ciamis. Tak jarang, saat membagikan hasil rampokan itu, Djoeminta lakukan sendiri dengan memanggul beras-beras langsung ke rumah-rumah rakyat miskin. Pihak pemerintah Hindia Belanda tentu saja marah dengan aksi-aksi Djoeminta. Mereka lantas mengerahkan para centeng dan jawara untuk menangkap Si Pitung dari Ciamis itu. Namun keahlian bela diri Djoeminta tak jua tertandingi. Alih-alih berhasil menangkap sang perampok budiman tersebut, para centeng malah banyak yang keok saat bertarung melawannya. Polisi pun lantas dikerahkan untuk meringkusnya. Tetapi Djoeminta selalu dapat meloloskan diri. Rupanya kebaikan dan kejujuran pribadinya membuat rakyat selalu berupaya menyelamatkan Djoeminta dari kejaran aparat kolonial dan para centeng. Tidak hanya merampok, Djoeminta pun aktif dalam kegiatan-kegiatan politik yang digarap oleh SR. Bahkan, menurut Dharyanto, SR mempercayainya sebagai tenaga agitasi dan propaganda sekaligus sebagai ahli mobilisasi massa dalam berbagai vergadering (rapat massa). Justru saat vergadering di Desa Maleber, Djoeminta diringkus oleh polisi Hindia Belanda pada sekitar 1924. Ia kemudian dibuang ke Boven Digul. Setelah beberapa tahun, Djoeminta dipulangkan ke Jawa Barat dan menetap di wilayah Banjar Patroman. Merasa hidupnya terus diawasi, ia memutuskan untuk pensiun dari dunia politik serta menyibukan diri dalam keseharian sebagai petani dan pengajar Al Qur’an hingga akhir hayatnya.
- Jebakan Hoax dari Rezim Soeharto hingga Kini
ORDE Baru Soeharto dibangun dari hoax. Hari-hari awal pasca-G30S adalah periode krusial hoax sejarah diciptakan. Pada periode krusial itulah narasi tentang para jenderal yang dimutilasi oleh Gerwani berkembang. Hasil visum dokter yang mengotopsi jenazah para jenderal yang dibuka kemudian membuktikan bahwa itu hoax.
- Jebakan Warisan Inggris di Indonesia
Tak lama Inggris bercokol di tanah Jawa. Hanya lima tahun, sejak 1811-1816. Tak banyak pula sumber tertulis mengenai pandangan Jawa terhadap pendudukan kolonialisme Inggris. Sebaliknya, dari perspektif Inggris lebih banyak ditemukan. Namun, wawasan menarik dari perpektif Jawa terungkap dengan baik lewat Babad Bedhah ing Ngayogyakarta (1816). Babad ini adalah buku harian milik seorang pangeran senior di Keraton Yogyakarta, Pakde Pangeran Diponegoro, Pangeran Aryo Panular (1771-1826). Pangeran Panular mengawali babadnya di tengah-tengah serangan Inggris ke Yogyakarta pada pagi buta 20 Juni 1812 dan mengakhirinya pada Agustus 1816. Sejarawan Peter carey mengungkapkan, babad ini memberikan sudut pandang baru mengenai pendudukan Inggris di Jawa. Babad ini berisi keprihatinan, ketakutan, dan aspirasi dari seorang Pangeran Jawa pada masa itu. Panular juga melukiskan kondisi cerminan kepribadian kebudayaan dan masyarakat dari keraton yang dihancurkan oleh trauma Perang Jawa. Satu masyarakat yang tidak hanya penuh kesangsian akan masa depan, tetapi juga memelihara kemegahan masa lalu. “Babad ini memetakan nasib masyarakat di ambang era baru, membantu memperbaiki posisi tak imbang antara sejarah penjajah dengan yang dijajah,” ungkap Peter Carey dalam peluncuran buku terbarunya, Inggris di Jawa, dalam diskusi berjudul The Meaning and Legacy of Raes for Present-Day Indonesia, di Kedutaan Besar Inggris, Jakarta, Kamis (25/5). Sementara dari pihak Inggris, pandangan terhadap Jawa banyak diungkapkan, misalnya Sir Stamford Raffles lewat History of Java. Dalam hal ini, Farish Ahmad Noor, sejarawan dari Nanyang University, Singapura, berpendapat, karya ini harus dimaknai dengan kekinian. “Ini bukan soal sejarah Jawa, tapi sejarah Raffles sendiri,” ujarnya. Menurutnya, membaca buku ini haruslah seperti membaca sebuah teks. Kuasa yang dihasilkan karya itu luar biasa besar. Buku ini menentukan perspektif penjajah mengenai Jawa. “Buku ini semacam power , kuasa, lebih everlasting . Jadi bukan hanya dalam bentuk meriam, bom, dan lain-lain,” ujar Farish. Karya ini, kata Farish, merupakan laporan kepada pemerintah kolonialis apa yang dia lakukan di daerah jajahannya. “Saya berjaya,” lanjutnya. History of Java juga akhirnya mampu mentransformasikan sosok Raffles dari seorang kolonialis menjadi ilmuwan. Apa efeknya hingga kini? Farish menekankan, salah satunya soal budaya komodifikasi saat ini tak bisa lari dari abad 19. Lewat karya itu, Raffles sedang merekayasa Jawa. “Suatu idea yang bisa memberikan justifikasi terhadap kebijakan politik dan propaganda,” ungkapnya. Berkatnyalah rekonstruksi mengenai stereotip Asia, khususnya Jawa, terbentuk dan terus diwariskan hingga sekarang. “Isinya bahwa Jawa is not good enough, tidak terlalu beradab, primitif, dan lain-lain. Efeknya sampai sekarang,” tutur dia. Memasuki era komodifikasi seperti sekarang, Farish melihat masyarakat kekinian seperti kembali dalam kebekuan tulisan History of Java . Orang Jawa yang berblangkon, berkain batik, seakan menjadi sesuatu yang esensial bagi budaya Jawa. “ It’s a trap! (Ini jebakan),” serunya. “Bukan Rafflesnya yang penting tapi kompeninya. Ini bicara soal negara yang paling berkuasa saat itu.”
- Cara Orba Kuasai Berita
Reformasi telah bergulir 19 tahun. Keran demokratisasi terbuka lebar, kebebasan pers mengalir deras. Media bermunculan bak cendawan di musim hujan. Kebebasan mengemukakan pendapat kini dijamin oleh pemerintah. Tetapi, masih ada sebagian kalangan yang merindukan masa-masa rezim Soeharto berkuasa. Slogan “enak jamanku, tho ?” belakangan menyeruak.
- Harga Mahal di Balik Patung Gajah Museum Nasional
Pada 1896, Raja Chulalongkorn dari Siam (Thailand) berkunjung ke Jawa. Dia kemudian meminta izin kepada pemerintah kolonial Belanda untuk membawa pulang sembilan gerobak penuh dengan arca dan karya seni dari masa klasik Jawa. Dalam Borobudur: Golden Tales of the Buddhas , John Miksic mengungkapkan oleh-oleh yang diminta sang raja itu termasuk 30 relief, lima arca Buddha, dua arca singa, beberapa langgam Kala yang biasanya ada di bagian atas pintu masuk candi dan arca Dvarapala yang merupakan temuan dari Bukit Dagi, yaitu bukit yang berada sekira beberapa ratus meter di barat laut Candi Borobudur. Mengenai arca-arca itu, arkeolog Utami Ferdinandus memaparkannya dengan rinci dalam tulisannya “Arca-Arca dan Relief pada Masa Hindu-Jawa di Museum Bangkok: Sebuah Dokumentasi Ikonografi”, yang terbit dalam Monumen: Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R.Soekmono . Arca yang diinginkan sang raja tadi dapat dibedakan dalam sembilan kelompok. Mengutip penjelasan Utami, P. Swantoro dalam Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu menyebutkan, kelompok pertama adalah lima arca Dhyani-Buddha dari Borobudur. Tadinya arca ini terletak di tembok timur, selatan, barat, utara, dan di bagian tembok yang tertinggi. Satu arca mengalami kerusakan dalam perjalanan ke Semarang. Keempat arca lainnya kini dapat dilihat di Kuil Wat Phra Keo, Thailand. Kedua, arca singa dari Borobudur. Tadinya arca ini berdiri di pintu masuk sebelah utara. Arca singa ini juga ditempatkan di halaman Wat Phra Keo. Ketiga, dua arca pancuran berupa Makara dari salah satu dinding sudut Borobudur. Keempat, dua kepala kala, yang diduga berasal dari tangga masuk Borobudur. Keduanya berasal dari hiasan relung arca-arca Dhyani Buddha dari serambi kedua dan ketiga. Keenam , dua buah dagoba berasal dari relung-relung dekat pintu masuk tingkat keempat. Ketujuh , relief yang melukiskan cerita Jataka, berasal dari bagian barat daya tangga. Kedelapan, arca penjaga atau Dvarapala dari halaman Borobudur. Kesembilan, lima fragmen relief yang diduga berasal dari Candi Prambanan. Adapun di Jawa Room, Museum Bangkok juga masih terdapat arca dan artefak lain dari masa Hindu-Budha Jawa yang tidak ada dalam laporan Van Erp, pemimpin pemugaran pertama Borobudur. Utami menyebutkan arca dan artefak lain itu adalah Durga, Tara dan perwujudan raja dan permaisuri, Kala, Mahakala, dan dua buah Ganesha berukuran kecil. Van Erp pun menjelaskan, arca dan arefak yang dibawa ke Thailand tidak hanya berasal dari Borobudur. Raja Chulalongkorn mengangkut semua arca dan relief yang sangat berharga itu ke negerinya, Thailand. Sebagai gantinya, dia hanya memberikan patung gajah yang sekarang terpajang di halaman depan Museum Nasional, Jakarta. Paling tidak berkatnyalah museum itu akhirnya dikenal dengan Museum Gajah. “Pemberian ini boleh disebut dibayar terlalu mahal,” kata Swantoro.
- Pengusaha Tionghoa Penyelundup Senjata
PADA 17 Maret 2014, Pemerintah Provinsi Lampung memberikan penghargaan kepada delapan tokoh Lampung, salah satunya Ang Tiauw Bie sebagai tokoh pelayaran. Sebenarnya, Ang lahir di Pandeglang, Banten pada 1892 –sumber lain menyebut dia berasal dari Tangerang, Banten. Kemiskinan membuat Ang tak bisa sekolah. Sulung dari lima bersaudara pasangan Ang Sioe Hok dan Tan Djin Nio ini kemudian bekerja sebagai penjaga kebun kelapa. Pak Ubi, demikian sapaannya semasa muda, kemudian belajar berdagang kopra dari pamannya, Ang Sioe Tjwan. Dia mondar-mandir Merak-Lampung. Pada 1930-an, dia menetap di Teluk Betung, Lampung, untuk berdagang hasil bumi dan mendirikan usahanya sendiri, pabrik minyak kelapa dan pabrik sabun. Menurut Twang Peck Yang dalam Elite Bisnis Cina di Indonesia dan Masa Transisi Kemerdekaan 1940-1950 , di antara pengusaha-pengusaha baru di berbagai bidang usaha di Sumatra dan Jawa, Ang adalah satu-satunya peranakan yang menguasai bahasa Indonesia dan berhasil sukses. Di rumah, dia menggunakan bahasa Indonesia dan sedikit menguasai bahasa Hokkien. Sebelum perang, Ang telah menjadi pengusaha berpenghasilan besar. Selain memiliki pabrik kelapa sawit kecil bernama Swan Liong, dia juga bermitra dengan seorang warga negara Jerman dalam kepemilikan sebuah kapal kayu berbobot mati 25 ton yang digunakan untuk mengekspor hasil-hasil bumi. “Dia seorang big brother di sebuah organisasi Cina peranakan tradisional: Ho Hap yang fungsi utamanya di abad ke-20 berkaitan dengan kesejahteraan sosial kalangan peranakan, termasuk dalam hal pemakaman orang meninggal dan perlindungan terhadap anggota-anggotanya,” tulis Twang. Namun, menurut Twang, terdapat indikasi bahwa Ho Hap berprinsip anti-Belanda. Ia organisasi masyarakat Tionghoa yang tidak dianggap bermusuhan oleh pihak Jepang. Menurut Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia , ketika Jepang datang pada 1942, pabriknya dibumihanguskan, namun setahun kemudian dia berhasil membangunnya kembali. Setelah pabriknya beroperasi kembali, dia membuka kebun kopi di Waylima, Simpang Kiri, dan Bernung, Lampung Selatan. Dia juga membuka kebun kelapa Sibalong di Kalianda, Lampung. Namun, menurut Twang, Ang berhubungan dekat dengan Gunseikanbu (pemerintah militer Jepang). Pabrik minyak kelapanya di Tanjung Karang bahkan berganti nama menjadi Yamato. Dia sukses menjalankan usahanya. Pada masa revolusi kemerdekaan, perdagangan Ang semakin maju sehingga dia dapat membeli dua kapal layar yang dinamai Sri Menanti dan Sri Nona untuk mengangkut hasil bumi ke Jawa dan Singapura. “Kapal-kapal itu sekembalinya dari Singapura diisinya senjata untuk keperluan TNI (Tentara Nasional Indonesia),” tulis Sam. Twang menambahkan bahwa selama masa revolusi, Ang digambarkan sebagai “tokoh pemimpin Cina di Teluk Betung, seorang penyelundup senjata.” “Seperti sejumlah totok penyelundup lainnya, keluarga Ang ikut ambil bagian dalam operasi penyelundupan yang berpusat di Palembang, Jakarta, dan Lampung,” tulis Twang. Tentu saja, penyelundup senjata legendaris adalah Laksamana John Lie (Jahja Daniel Dharma) yang telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pertama dari Tionghoa. Namanya juga dijadikan nama KRI John Lie. Pada 1948, Ang mendirikan firma NV Handel Mij Swan Liong di Jakarta yang mengurusi perdagangan hasil bumi, bertindak selaku agen komisi, dan mengelola gudang-gudang penyimpanan. Awal era 1950-an, dia melanjutkan operasi pabrik minyak kelapanya yang telah dimekanisasi dan dipindahkan dari Tanjung Karang ke Teluk Betung. Pada saat yang sama, Ang menjalankan usaha pelayaran (Swan Liong NVHM Bagian Pelayaran). Sebelum tahun 1950, firma ini hanya memiliki dua perahu kecil bernama Teluk No. 1 dan Teluk No. 2 –mungkinkah nama itu perubahan dari Sri Menanti dan Sri Nona ? Memasuki tahun 1951, dia menambah lima kapalnya sehingga kapalnya sampai Teluk No. 7 –sumber lain menyebut dia memiliki kapal Teluk 1-9 dan 11. Masing-masing kapal berbobot mati sekitar 100 ton, melayani pelayaran antarpulau, terutama antara Jakarta, Lampung, Palembang, dan Pontianak. Dengan perusahaan pelayarannya itu, menurut Siauw Giok Tjhan dalam Lima Jaman Perwujudan Integrasi Wajar , Ang menjadi salah seorang pelopor dalam usaha perhubungan antarpulau. Dia usahawan besar dan perusahaannya berkembang dengan baik. Perusahaan pelayarannya kemudian berganti nama menjadi PT Naga Berlian. Sedangkan perusahaan dagangnya menjadi PT Naga Intan. “Anak cucunya yang memperoleh didikan sekolah yang cukup tinggi ternyata tidak dapat mempertahankan dan mengembangkan usaha yang telah dimulainya itu,” kata Siauw Giok Tjhan. Menurut Sam, Ang bergaul dengan para petinggi negara antara lain Sukarno, Mohammad Hatta, Sultan Hamengkubuwono IX, dan Residen Lampung Basyid. Atas jasanya menyelundupkan senjata untuk perjuangan kemerdekaan, pada 1958 Menteri Pertahanan Djuanda menganugerahkan penghargaan Satyalencana Persiapan Kemerdekaan Kesatu dan Kedua. Pada 1959, dia mendapat penghargaan Satyalencana Gerakan Operasi Militer III dan IV. Yang menarik, pada 15 Januari 1960, Sukarno memberinya nama: Anggakusuma. Dan pada 20 Februari 1963 dia diakui sebagai veteran Republik Indonesia dengan Keputusan No. 35/H/Kpts/MUV/63. Ang pernah menjadi direktur Thong Bie Kongsi sewaktu perusahaan itu berubah menjadi PT Dayasakti di Teluk Betung. Usahanya melebar ke bidang farmasi, apotek, dan pabrik obat. Dia banyak membantu perkumpulan sosial seperti Ho Hap (Tolong Menolong) dan Hok Kian Hwee Koan (Perkumpulan Sosial Dharma Bakti). Dia juga banyak menyumbang pada klenteng Thai Hien Bio di Teluk Betung dan klenteng di Banten. Dia meninggal pada 10 September 1971 dan dimakamkan di Kebon Nanas, Jatinegara, Jakarta Timur.*
- Dari Matulessia Menjadi Matulessy
Pada 15 Mei 1817, Kapitan Pattimura memimpin penyerangan ke benteng Belanda, Duurstede. Tanggal itu diperingati sebagai Hari Pattimura. Pattimura merupakan gelar yang disandang oleh Thomas Matulessia yang lahir pada 1783 di negeri Haria. Thomas adalah anak kedua dari pasangan Frans Matulessia dan Fransina Silahoi. Kakak Thomas adalah Johannis. Leluhur keluarga Matulessia berasal dari Seram. Turun-temurun mereka berpindah ke Haturessi (sekarang negeri Hulaliu). Moyang Thomas berpindah ke Titawaka (sekarang negeri Itawaka). Di antara turunannya ada yang menetap di Itawaka, ada yang berpindah ke Ulat, ada yang kembali menetap di Hulaliu, dan ada yang berpindah ke Haria. Yang di Haria menurunkan ayah dari Johannis dan Thomas. Ibu mereka berasal dari Siri Sori Serani. Thomas tidak menikah. Sedangkan Johannis menurunkan keluarga Matulessy yang berdiam di Haria. Zeth Matullesy, seorang pegawai pekerjaan umum Provinsi Maluku, menjadi ahli waris Thomas dan Johannis, yang memegang surat pengangkatan Kapitan Pattimura sebagai Pahlawan Nasional. Dia juga menyimpan pakaian, parang dan salawaku milik Pattimura. “Keluarga Matulessia beragama Kristen Protestan. Nama Johannis dan Thomas diambil dari Alkitab,” tulis I.O. Nanulaitta dalam Kapitan Pattimura . Nanulaitta terlibat dalam penyusunan naskah Perjuangan Pattimura dalam Pengembangan Ampera dari Masa ke Masa pada 1966 yang disusun oleh Panitia Penggalian Sejarah Pahlawan Nasional Pattimura. Belakangan, ada pendapat bahwa Pattimura adalah muslim. Menurut Nanulaitta, pengangkatan Thomas sebagai panglima perang dan bergelar Pattimura ditetapkan dalam Proklamasi Haria pada 29 Mei 1817. Proklamasi ini berisi 14 keberatan atas kekejaman Belanda sehingga rakyat mengangkat senjata. Proklamasi yang ditandatangani oleh 21 raja ini, juga menjadi dasar hukum bagi perang melawan Belanda yang pecah pada 15 Mei 1817. Perlawanan Pattimura berakhir pada 16 Desember 1817. Dia bersama Kapitan Anthone Rhebok, Letnan Philip Latumahina, dan Said Perintah (Raja Siri Sori Islam), digantung di luar benteng Victoria, Ambon. Menurut Nanulaitta, berdasarkan keterangan beberapa orang yang bermaga Matulessy, setelah perang Pattimura, Belanda tidak menerima raja, patih, murid, pegawai, serdadu atau agen polisi, yang bermarga Matulessia. Matulessia merupakan perubahan dari Matatulalessi (mata: mati, tula: dengan, lessi: lebih). “Fam itu harus diganti, lalu ada keluarga yang berganti fam menjadi Matulessy atau Matualessy,” tulis Nanulaitta. Namun, ada yang tetap memakai Matulessia. Di Hulaliu, keluarga itu mengganti namanya menjadi Lesiputih artinya putih lebih yang mengandung makna orang putih yang menang. Pada 1920, atas rekes (surat permohonan) dari keluarga tersebut, Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum, memutuskan mengizinkan keluarga Lesiputih memakai nama Matulessy lagi.
- Misteri Kematian Gajah Mada
“Tersebut pada tahun saka angin delapan utama (1285). Baginda menuju Simping demi pemindahan candi makam... Sekembalinya dari Simping segera masuk ke pura. Terpaku mendengar Adimenteri Gajah Mada gering. Pernah mencurahkan tenaga untuk keluhuran Jawa. Di Pulau Bali serta Kota Sadeng memusnahkan musuh.” Begitulah bunyi pemberitaan dalam Nagarakretagama pupuh 70/1-3 dikutip Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama . Raja Majapahit Rajasanegara atau Hayam Wuruk yang sedang melakukan perjalanan ke wilayah Blitar pada 1364 dikejutkan dengan berita Gajah Mada sakit. Dia segera kembali ke ibukota Majapahit. Kitab yang ditulis oleh Mpu Prapanca itu mengisahkan akhir hidup sang patih digdaya dengan kematian yang wajar. Meski perannya di Kerajaan Majapahit begitu melegenda, akhir riwayat Gajah Mada hingga kini masih belum jelas. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada Biografi Politik menulis, ada berbagai sumber yang mencoba menjelaskan akhir hidup Gajah Mada. Dari cerita-cerita rakyat Jawa Timur, Gajah Mada dikisahkan menarik diri setelah Peristiwa Bubat. Dia kemudian memilih hidup sebagai pertapa di Madakaripura di pedalaman Probolinggo selatan, wilayah kaki pegunungan Bromo-Semeru. Sekarang, di wilayah Probolinggo terdapat air terjun bernama Madakaripura. Air terjun ini jatuh dari tebing yang tinggi. Di balik air terjun yang mengguyur bak tirai itu terdapat deretan ceruk dan satu goa yang cukup menjorok dalam. “Di dalam goa itulah dipercaya dulu Gajah Mada bertapa hingga akhir hayatnya,” lanjut Agus. Untuk bertapa di dalam gua itu harus melewati kolam dan menembus tirai air terjun yang menutupinya. Adapun Kidung Sunda menyebutkan bahwa Gajah Mada tidak meninggal. Kidung ini tidak mengisahkan sang patih menyingkir untuk menjadi pertapa. Kidung ini membeberkan bahwa Gajah Mada moksa dalam pakaian kebesaran bak Dewa Visnu. Dia moksa di halaman kepatihan kembali ke khayangan. Terlepeas dari itu, Agus berpendapat, mungkin saja sang patih sebelum akhir hidupnya memang telah menjadi pertapa di tengah para rsi di suatu wilayah yang tak jauh dari Majapahit. Apabila Kota Majapahit itu adalah situs Trowulan di Mojokerto, wilayah di selatannya terdapat daerah berbukit yang ditutupi hutan jati dan tanaman lainnya. Di area perbukitan itu banyak dijumpai ceruk dan goa alam yang dapat dimasuki manusia. Sayangnya, penelitian arkeologi menyangkut hal ini memang belum pernah dilakukan. Namun, Agus menduga goa di wilayah perbukitan selatan Trowulan itu mungkin pernah memiliki peranan di masa silam. Di masa silam, mungkin goa itu banyak digunakan oleh penduduk Majapahit yang menarik diri dari dunia ramai sebagai wanaprastha (menyepi tinggal di hutan), atau sebagai pertapa sebelum ajal menjemput. “Mungkin Gajah Mada juga pernah hidup di salah satu goa di selatan Trowulan sebelum kematiannya,” jelas Agus. Gajah Mada begitu dikagumi. Kejayaannya di masa muda masih terus diingat. Namun, kata Agus, akhir kehidupannya lenyap dalam uraian ketidakpastian karena dia malu dengan pecahnya tragedi Bubat. Dengan ini, menurut Agus, bisa ditafsirkan bahwa Gajah Mada memang sakit dan meninggal di Kota Majapahit atau di area Karsyan yang tak jauh dari sana. Itu sebagaimana dengan keterangan kembalinya Rajasanagara ke ibukota Majapahit dalam Nagarakretagama , segera setelah mendengar sang patih sakit. Absennya Gajah Mada dalam politik Majapahit meninggalkan luka bagi sang raja. Hayam Wuruk sangat bersedih. Bahkan dikisahkan raja itu begitu putus asa. Dia langsung menemui ibunya, kedua adik, dan kedua iparnya untuk membicarakan pengganti kedudukan sang Patih Amangkubhumi. Namun, tak ada yang bisa menggantikannya. “Baginda berpegang teguh, Adimenteri Gadjah Mada tak akan diganti,” tulis Nagarakretagama pupuh 71/3.*
- Kejaksaan Agung Membakar Buku-buku Komunisme
SETELAH menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), Letjen TNI Soeharto membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan organisasi-organisasi di bawahnya berdasarkan Keputusan Presiden No. 1/3/1966. PKI ditumpas hingga ke akar-akarnya. Korbannya ditaksir mencapai ratusan ribu bahkan jutaan. Namun, PKI tetap ditakuti hingga kini. Pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran komunisme ditetapkan dalam TAP MPRS No. XXV/1966 tanggal 5 Juli 1966 yang masih berlaku hingga kini. Berdasarkan ketetapan tersebut dan UU No. 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap Barang-barang Cetakan, Kejaksaan Agung memiliki wewenang untuk menyita dan memusnahkan karya-karya tentang komunisme. “Dengan pemusnahan inilah wewenang Kejaksaan Agung dilaksanakan,” kata Susanto Kartoatmodjo, jaksa dari Kejaksaan Agung, kepada Ekspres , 1 September 1972. Hasil razia Kejaksaan Agung selama empat bulan (April-Juli 1972) fantastis. “Hari Kamis minggu yang lalu (Oktober 1972), ratusan karung berisi buku, majalah, buletin, pamflet, komunisme dengan bobot 10 ton dimusnahkan menjadi abu,” lanjut Ekspres . “Untuk setiap karung yang hendak dilemparkan ke dalam tungku raksasa, kepada wartawan yang jadi saksinya dibukakan dahulu (buku-buku itu).” Sebelumnya, Kejaksaan Agung telah membakar delapan ton buku, brosur, majalah, pamflet tentang komunisme. Selain dibakar, Kejaksaan Agung pernah mendaur ulang menjadi kertas baru di pabrik kertas Padalarang. Karya-karya yang disita dan dibakar antara lain Socialist Thought and Practice, Discovering Soviet Union, Socialist Realism, Peace Freedom and Socialism, Selected Works of Mao Tse Tung, Revolutionary Activities of Comrade Kim Il Sung, majalah Tekad Rakjat yang diterbitkan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Moskow, brosur Marhaen Menang, dan puluhan judul lainnya dalam berbagai bahasa, dari Rusia, Cina, Inggris, Jerman, sampai Arab. “Yang Arab ini ditulis dengan lazim. Dimulai dengan bismillahirochmanirrochim… dilanjutkan dengan ajaran komunisme, sekalipun kalau diamati keseluruhannya sang pembuka saling membantah dengan kelanjutan isi,” tulis Ekspres . Kejaksaan Agung melaksanakan wewenang menyita dan melarang buku-buku yang dianggap akan mengganggu keamanan negara, seperti komunisme, bertahan hingga tahun 2010. Mahkamah Konstitusi membatalkan UU No. 4/PNPS/1963 yang memberikan kewenangan Kejaksaan Agung untuk melarang peredaran buku. MK memutuskan UU tersebut bertentangan dengan konstitusi karena pelarangan buku harus melalui proses peradilan. Kejaksaan Agung hanya memiliki wewenang untuk meneliti apakah sebuah buku dikategorikan buku terlarang atau tidak. Kendati demikian, penyitaan buku dan pembubaran kegiatan literasi masih saja terjadi. Aksi itu dilakukan oleh institusi negara lain, organisasi atau sekelompok masyarakat yang anti ilmu pengetahuan.*
- Buku Kartini dalam Beragam Bahasa
R.A. Kartini mengirimkan puluhan surat kepada J.H. Abendanon, direktur Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, sejak 1899 hingga 1904. Isi surat-surat itu meliputi tata cara kehidupan keluarga bupati di Jepara; sikap saudara-saudara Kartini; keinginannya meneruskan pendidikan seperti temannya bangsa Eropa; keadaan masyarakat sekeliling; dan imbauan kepada yang berwajib untuk mengangkat bangsa Jawa. Sepeninggal Kartini pada September 1904, Abendanon menerbitkan surat-surat Kartini dengan judul Door Duistrnis tot Licht . Namun, tak semua surat diterbitkan. Buku itu dicetak pertama kali oleh N.V. Electrische Drukkerij “Luctor et Emergo” di ‘s-Gravenhage pada 1911. Setahun kemudian muncul cetakan kedua dan ketiga. Sementara cetakan keempat atau cetakan terakhir dari penerbit itu baru muncul pada 1923. Di bawah pengawasan Comissie voor Volk Bestuur, Door Duistrnis tot Licht diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Bagindo Dahlan Abdoellah, asisten bahasa Melayu di Universitas Leiden, dengan dibantu oleh tiga tenaga ahli. “Terjemahan ini diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang . Kemudian di bawah pengawasan komisi tersebut diterjemahkan ke bahasa Sunda,” tulis Soekesi Soemoatmaja dalam artikel “Sekolah Kartini Suatu Usaha untuk Menyebarkan dan Meningkatkan Kecerdasan Wanita pada Permulaan abad XX,” termuat dalam buku Seminar Sejarah Nasional III . Cetakan kelima Door Duistrnis tot Licht muncul pada 1976 oleh Penerbit Ge Nabrink & ZN. “Pada cetakan kelima ini, buku Kartini dilengkapi dengan surat-surat Kartini yang belum pernah diterbitkan, dengan kata pengantar oleh Elizabeth Allard,” tulis Haryati Soebadio-Noto Soebagio dan Saparinah Sadli dalam Kartini: Pribadi Mandiri. Penerjemahan Door Duistrnis tot Licht kedalam bahasa Inggris di Amerika Serikat dirintis oleh Agnes Louis Symmers. Mulanya berupa artikel dalam Atlantic Mountly pada 1919. Kemudian, diterbitkan secara terpisah berjudul Letters of a Javanese Princess pada 1920, dengan kata pengantar dari Louis Couperus. Buku tersebut diterbitkan kembali oleh Oxford University Press, Kuala Lumpur pada 1976, dengan introduksi begawan ilmu sejarah Indonesia, Sartono Kartodirdjo. Berbekal hak cipta tahun 1920, Symmers mencetak ulang dengan perubahan pada 1948. Lalu diterbitkan kembali untuk pertama kali oleh The Norton Library New York pada 1964, yang disunting oleh Hildred Geertz, dengan pengantar oleh Eleanor Roosevelt, isteri presiden Amerika. Selain terbit dalam bahasa Belanda dan Inggris, buku Kartini juga diterjemahan kedalam bahasa Prancis tahun 1960 oleh Louis-Charles Damais. Di Indonesia, Door Duistrnis tot Licht diterjemahkan Armijn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang dan diterbitkan Balai Pustaka sejak 1938 hingga 1978. “Terbitan ini tidak memuat surat-surat Kartini selengkapnya dengan maksud supaya buku tersebut tidak terlalu mahal untuk dibeli masyarakat luas sehingga ide atau cita-cita Kartini dapat menyebar luas di kalangan rakyat banyak,” catat Soekesi. Edisi bahasa Belanda cetakan keempat (1923) diterjemahkan secara lengkap ke bahasa Indonesia oleh Sulastin Sutrisno dan diterbitkan oleh Djambatan di Jakarta tahun 1979. Pada 1935, Imam Supardi, kelak pemimpin redaksi majalah berbahasa Jawa, Penjebar Semangat , memprakarsai komite penterjemah buku Kartini ke bahasa Jawa di Surabaya. Penerjemahnya Raden Sosrosugondo, bekas guru bahasa Melayu pada Kweekschool (sekolah guru) di Yogyakarta. Terjemahannya berjudul mBoekak Pepeteng terbit pada 1938 di Surabaya dengan kata pengantar dari Soetomo, pemimpin Budi Utomo.
- Ketika Genderang Buruh Ditabuh
19 Mei 1948. Ribuan buruh dan petani kapas di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, mendatangi kantor Badan Textil Negara (BTN) di Solo. Mereka menuntut pembayaran upah yang tertunda sejak 1947. Aksi itu memicu munculnya aksi mogok di berbagai tempat. Sejak 26 Mei, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) mengambil-alih aksi tersebut. Konflik kian memanas ketika mereka bentrok dengan Serikat Tani Islam Indonesia yang berafiliasi dengan Masyumi.
- Siapa Sebenarnya Kakek Gajah Mada?
“Pada saka 1213/1291 M, Bulan Jyesta, pada waktu itu saat wafatnya Paduka Bhatara yang dimakamkan di Siwabudha…Rakryan Mapatih Mpu Mada, yang seolah-olah sebagai yoni bagi Bhatara Sapta Prabhu, dengan yang terutama di antaranya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwarddhani, cucu-cucu putra dan putri paduka Bhatara Sri Krtanagarajnaneuwarabraja Namabhiseka pada waktu itu saat Rakryan Mapatih Jirnnodhara membuat caitya bagi para brahmana tertinggi Siwa dan Buddha yang mengikuti wafatnya paduka Bhatara dan sang Mahawrddhamantri (Mpu Raganatha) yang gugur di kaki Bhatara.” Demikian bunyi Prasasti Gajah Mada yang bertarikh 1273 saka atau tahun 1351. Sebagai mahamantri terkemuka, Gajah Mada dapat mengeluarkan prasastinya sendiri dan berhak memberi titah membangun bangunan suci ( caitya ) untuk tokoh yang sudah meninggal. Prasasti itu memberitakan pembangunan caitya bagi Kertanagara. Raja terakhir Singhasari itu gugur di istananya bersama patihnya, Mpu Raganatha dan para brahmana Siva dan Buddha, akibat serangan tentara Jayakatwang dari Kadiri. Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, agaknya Gajah Mada memiliki alasan khusus mengapa memilih membangunkan caitya bagi Kertanagara daripada tokoh-tokoh pendahulu lainnya. Padahal, selama era Majapahit yang dipandang penting tentunya Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. Dalam Gajah Mada, Biografi Politik, Agus menulis bahwa kemungkinan besar bangunan suci yang didirikan atas perintah Gajah Mada adalah Candi Singhasari di Malang. Pasalnya, Prasasti Gajah Mada ditemukan di halaman Candi Singhasari. Bangunan candi lain yang dihubungkan dengan Kertanagara, yaitu Candi Jawi di Pasuruan. Candi ini sangat mungkin didirikan tidak lama setelah tewasnya Kertanagara di Kedaton Singhasari. Menurut Agus, berdasarkan data prasasti, karya sastra, dan tinggalan arkeologis, ada dua alasan mengapa Gajah Mada memuliakan Kertanagara hingga mendirikan candi baginya. Pertama, Gajah Mada mencari legitimasi untuk membuktikan Sumpah Palapa. Dia berupaya keras agar wilayah Nusantara mengakui kejayaan Majapahit. Kertanagara adalah raja yang memiliki wawasan politik luas. Dengan wawasan Dwipantara Mandala, dia memperhatikan daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa. “Dengan demikian Gajah Mada seakan ngalap berkah (minta restu), kepada Raja Kertanagara yang telah menjadi bhattara ( hyang ) bersatu dengan dewa. Gajah Mada meneruskan politik pengembangan mandala hingga seluruh Dwipantara (Nusantara) yang awalnya telah dirintis oleh Kertanagara,” papar Agus. Kedua , dalam masa Jawa Kuno, candi atau caitya pen- dharma -an tokoh selalu dibangun oleh kerabat atau keturunan langsung tokoh itu, seperti Candi Sumberjati bagi Raden Wijaya dibangun tahun 1321 pada masa pemerintahan Jayanegara; dan Candi Bhayalango bagi Rajapatmi Gayatri dibangun oleh cucunya, Hayam Wuruk sekira tahun 1362. Atas alasan itulah, Agus menafsirkan bahwa Gajah Mada masih keturunan dari Raja Kertanagara. Setidaknya Gajah Mada masih mempunyai hubungan darah dengan Kertanagara. Tidak mengherankan bila Gajah Mada mempunyai perhatian khusus kepada raja itu, yang memang leluhurnya. Gajah Mada bukan orang asing dalam lingkungan istana; dia masih kerabat dan akrab dengan lingkungan istana. Ayah Gajah Mada mungkin sekali bernama Gajah Pagon yang mengiringi Raden Wijaya ketika berperang melawan pengikut Jayakatwang dari Kediri. “Intepretasi selanjutnya, Gajah Pagon sangat mungkin anak dari salah satu selir Kertanagara,” lanjut Agus. Pasalnya, menurut Agus, Gajah Pagon tidak mungkin orang biasa. Dalam kitab Pararaton , nama Gajah Pagon disebut secara khusus. Ketika itu, Raden Wijaya begitu mengkhawatirkan Gajah Pagon yang terluka dan dititipkan kepada seorang kepala desa. “Kepala desa Pandakan saya titip seseorang, Gajah Pagon tidak dapat berjalan, lindungilah olehmu,” kata Raden Wijaya dalam Pararaton . Artinya, penulis Pararton begitu mengistimewakan tokoh Gajah Pagon. “Jika bukan siapa-siapa tidak mungkin Raden Wijaya menitipkan dengan sungguh-sungguh Gajah Pagon yang terluka kepada kepala desa Pandakan,” tegas Agus. Menurut Agus, sangat mungkin Gajah Pagon selamat kemudian menikah dengan putri kepala desa Pandakan dan akhirnya memiliki anak, yaitu Gajah Mada yang mengabdi pada Majapahit. “Jadi, Gajah Mada mungkin memiliki eyang yang sama dengan Tribhuwana Tungga Dewi. Bedanya Gajah Mada cucu dari istri selir, sedangkan Tribhuwana adalah cucu dari istri resmi Kertanagara,” jelas Agus. Dengan demikian, dapat dipahami mengapa Gajah Mada sangat menghormati Kertanagara. Raja itu adalah eyangnya sendiri. Hanya keturunannya saja yang dengan senang hati membangun caitya bagi sang raja. Konsepsi Dwipantra Mandala Kertanagara mungkin menginspirasi dan mendorong Gajah Mada dalam mencetuskan Sumpah Palapa. “Demi untuk mengenang kebesaran leluhurnya itu, lalu didirikanlah caitya atau Candi Singhasari,” ungkap Agus.*






















