top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Jam Malam dalam Bahaya dan Perang

    Pengumuman jam malam ( avondklok ) pada masa bahaya dan perang. (KITLV). JAM malam (avondklok) , larangan berada dan berkegiatan di luar rumah di malam hari pada jam tertentu, biasanya diberlakukan dalam keadaan bahaya –seperti menghadapi pemberontakan atau pengambil-alihan kekuasaan– dan perang. Dalam sejarah Indonesia, beberapa peristiwa mendorong pemberlakuan jam malam. Pada Oktober 1740, penguasa VOC membantai ribuan etnis Tionghoa di Batavia karena khawatir akan kemampuan mereka dalam berdagang maupun berbaur dengan warga pribumi. Kaum Tionghoa melakukan perlawanan, tapi dipukul mundur. Melihat situasi semakin genting, sejak 8 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Valckenier memberlakukan jam malam bagi warga Tionghoa. Akibatnya, persiapan perayaan Tionghoa secara besar-besaran dibatalkan.  “Mereka harus tinggal di dalam rumah dalam keadaan gelap gulita karena tidak diperkenankan untuk menyalakan api untuk penerangan sekalipun,” tulis Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik. Pemberlakuan jam malam disertai dengan larangan menyalakan penerangan. Jam malam intens diberlakukan di masa perang. Penguasa Belanda memberlakukan jam malam pada awal Perang Pasifik dan semakin diperketat sejak Singapura bertekuk lutut kepada Jepang. Di pengujung kekuasaannya pada Maret 1942, Belanda mengumumkan keadaan dalam bahaya dan perang. Malam pun menjadi kelabu dan rawan. Jalanan sepi dan lengang. Rumah-rumah penduduk gelap tanpa lampu. “Berlakulah jam malam, dan aksi pemadaman lampu penerangan,” kata Saifuddin Zuhri dalam Guruku, Orang-orang dari Pesantren. Istilahnya LDB (Lucht Beschermen Dienst) atau dinas penjagaan dari bahaya serangan udara. Tetapi, rakyat mengartikannya: Lampu pejah Bom Dawah (lampu mati dan bom pun jatuh). Rapat-rapat dan pertemuan harus meminta izin penguasa. Segera setelah Jepang mendarat di Jawa, Jepang mengumumkan jam malam masih tetap berlaku. Baru pada 5 Juni 1942 ketentuan jam malam dihapuskan. Menjelang kekalahannya, Jepang memberlakukan jam malam karena berperang dengan Sekutu. “Begitu matahari tak terlihat di ufuk barat, semua lampu di seluruh kota dimatikan. Kompleks-kompleks yang dipandang strategis seperti tempat tinggal dan perkantoran tidak boleh membiaskan cahaya ke langit. Oleh Jepang, ini bahkan diwajibkan,” kata Kris Biantoro dalam otobiografinya, Manisnya Ditolak. Larangan menyalakan lampu itu karena akan menjadi sinyal bagi pesawat pengebom Sekutu. Menurut Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika? karena aturan jam malam dan pemadaman lampu selama perang tidak dicabut sampai 23 Agustus 1945, seminggu sesudah 17 Agustus 1945, Proklamasi tidak langsung memicu gelora semangat rakyat di kota Surabaya. “Baru setelah beberapa lama pasar malam buka kembali dan orang-orang mulai melakukan kegiatan sosial dan jual-beli yang secara tradisional dilakukan pada malam hari,” tulis Gouda dan Zaalberg. Tidak lama kemudian Sekutu datang. Sejak 11 November 1945, Sekutu memberlakukan jam malam dari pukul 18.00 sampai  06.00. Ketika mengambil-alih pendudukan Indonesia dari Sekutu, Belanda memberlakukan jam malam terutama ketika melancarkan agresi militer. Mereka yang terpaksa melakukan perjalanan malam harus memiliki pas khusus dari pihak berwajib. Pergolakan di beberapa daerah, seperti gerakan RMS (Republik Maluku Selatan), PRRI/Permesta, dan DI/TII SM Kartosuwiryo, mendorong pemerintah daerah memberlakukan jam malam. Begitu pula pascaperistiwa Gerakan 30 september 1965, di berbagai daerah diberlakukan jam malam, dan pada saat itulah tentara melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang terkait PKI –dituduh sebagai dalang G30S. Jam malam juga diberlakukan di Jakarta pascaperistiwa Malari (15 Januari 1974). Pergolakan daerah terakhir yang diberlakukan jam malam adalah Darurat Militer di Aceh pada 2003-2004. Setelah reformasi, beberapa daerah memberlakukan jam malam, bahkan dalam bentuk peraturan daerah, dengan alasan lain –bukan karena bahaya apalagi perang. Masyarakat keberatan karena dianggap mendiskreditkan, terutama perempuan, seperti aturan jam malam di Kota Tangerang dan Kabupaten Bulukumba. Aturan jam malam bagi tempat hiburan malam di Jawa Barat malah menimbulkan masalah baru. Tampaknya, jam malam harus ditinjau kembali.*

  • Seratus Menit yang Menegangkan

    Orestes Lorenzo Perez, pilot AU Kuba, di pesawat Mig-23 Flogger. Dia dan keluarganya membelot ke Amerika Serikat karena tak tahan hidup di Kuba. PETUGAS menara Pangkalan Udara Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) Boca Chica, Florida, dibuat bingung. Sebuah pesawat tempur Mig-23 Flogger buatan Uni Soviet tiba-tiba muncul pada petang hari 20 Maret 1991. “Kami terus mencari tahu untuk melihat apa yang mesti kami lakukan, tapi sejauh ini saya tak memiliki data tentang pesawat itu,” kenang Tom Bowers, juru bicara bagian radar dan intelijen Customs Service pusat di Dade County, Florida, dimuat The New York Times , 21 Desember 1992. Pilot itu mengayun-ayunkan sayap pesawatnya (rocking wing) sebagai isyarat pertemanan dalam dunia penerbangan. Dia meminta izin mendarat. Rupanya dia, Orestes Lorenzo Perez, adalah pilot AU Kuba yang hendak membelot ke AS. Dia tak tahan hidup di Kuba. Menurutnya, pemerintahan Fidel Castro hanya memperhatikan masalah politik dan Perang Dingin. Ekonomi dan lain-lainnya terabaikan. Setelah Fidel Castro menggulingkan diktator Fulgencio Batista, kaki tangan AS, hubungan Kuba dengan AS menjadi tegang. Selain mengubah hubungan politik-ekonomi dari AS ke Uni Soviet, Castro juga menasionalisasi banyak industri milik AS dan menaikkan pajak impor barang dari AS. AS membalas dengan memotong kuota impor gula, melarang hampir semua ekspor, dan puncaknya embargo ekonomi. Pada masa pemerintahan John F. Kennedy, CIA juga melatih para pelarian Kuba ke AS untuk menggulingkan rezim Castro. Dengan dukungan Uni Soviet, rival utama AS dalam Perang Dingin, Kuba-Soviet hampir terjerembab ke dalam perang nuklir melawan AS. “Pembelotan militer meningkat secara substansial pada 1992 dan 1993, bersamaan dengan bertambahnya penduduk Kuba yang melarikan diri,” tulis Andres Oppenheimer dalam Castro’s Final Hour . Perez mendapat suaka politik dari Paman Sam. Namun istrinya, Victoria, dan kedua anaknya tak mendapat izin dari pemerintah Kuba sehingga terpaksa hidup terpisah darinya. Dia kemudian meminta bantuan berbagai pihak guna menekan pemerintahan Castro. Dia berbicara di radio, media lainnya, serta Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Dia juga menemui tokoh-tokoh penting dari Presiden George Bush hingga Mikhail Gorbachev. Bahkan dia menggelar aksi mogok makan di Madrid, Spanyol. Pembelotan Perez menjadi berita utama. Di Kuba, Castro mengirim pejabatnya untuk memaksa Victoria melupakan suaminya. Mereka juga mengatakan Perez bukan sekadar pengkhianat tapi juga homoseks yang berencana menikah di luar negeri. Perez memutuskan menjemput istri dan kedua anaknya. Atas bantuan Valladeres Foundation, organisasi pegiat hak asasi manusia yang didirikan eksil Kuba di AS, Perez mendapatkan pesawat bekas, Cessna 310. “Seorang janda kaya kelahiran Kuba yang tinggal di Columbus, Georgia, mendonasikan $30 ribu kepada yayasan untuk membeli pesawat yang bakal digunakan dalam penerbangan itu,” ujar Kristina Arriaga, direktur eksekutif Valladeres Foundation, dikutip New York Times. Dia mengikuti kursus selama enam pekan guna mendapatkan lisensi terbang sipil. Rencananya, dia terbang pada pengujung senja dan mendaratkan pesawat di jalan raya. Tempat yang dipilihnya berada di Matanzas, kota kecil dekat Havana, yang sering dipakainya mendaratkan Mig-21 semasa aktif di AU Kuba. Dia hanya punya sekitar 15 menit untuk menaikkan istri dan anak-anaknya ke dalam pesawat. Pada 19 Desember 1992, Perez melakukan penerbangan. Dia singgah di Marathon Key, Florida, untuk mengabari istrinya dan mempelajari keadaan Kuba lalu terbang lagi. Agar tak terdeteksi radar Kuba, dia mematikan peralatan elektronik, termasuk radio komunikasi. Dia juga menurunkan pesawat sampai sekira 10 kaki di atas permukaan air laut. Pada waktu yang sudah ditentukan, Perez akhirnya melihat Matanzas. Jembatan di atas sungai Canimar mulai tampak. Dia menuju ke timur. Bukit di dekat sungai menghalangi pandangannya. Dalam keterbatasan pandangan, dia memutuskan menurunkan ketinggian. Sebuah sedan berkecepatan tinggi yang melintas di bawah pesawat mengagetkannya. Sebuah truk dan bus yang akan menyalip tampak mengarah ke pesawat. Dalam keterbatasan waktu, dia mendarat di tengah sedan, truk dan bus. Setelah berhasil melewati sedan, Perez akhirnya menjejakkan roda pesawat di jalan raya. Supir truk mengerem mendadak dan terbengong-bengong karena hampir menabrak pesawat. Perez tak peduli dan langsung memutarkan pesawat, turun, serta menjemput istri dan anaknya. Karena gugup, dia dua kali gagal menutup pintu pesawat. Perez kembali menerbangkan pesawatnya. Ketegangan masih menghinggapinya, takut kepergok Mig AU Kuba. Namun akhirnya dia menyelesaikan misi “penerbangan 100 menit” itu. Dan segera dia menjadi “pahlawan” bagi komunitas Kuba. “Saya senang keluarga saya kembali mendapat kebebasan bersama saya sekarang,” ujarnya dikutip New York Times . Perez dan keluarganya menetap di Springfield, Virginia. Dia menjadi pilot di maskapai swasta sementara istrinya melanjutkan studi kedokteran gigi.*

  • Perhimpunan Indonesia, Wahana Perjuangan di Negeri Belanda

    Anggota Perhimpunan Indonesia, sekira tahun 1924-1927. (KITLV). PERHIMPUNAN Indonesia menempati posisi unik dalam sejarah. Ia adalah perkumpulan anak bangsa yang pertama kali menyandang nama Indonesia untuk menunjukkan aspirasi kemerdekaan. Perhimpunan Indonesia (1924), semula bernama Indische Vereeniging dan didirikan pada 1908, mulanya perkumpulan mahasiswa biasa. Namun ia berubah jadi radikal sejak Nazi-Hitler berkuasa di Jerman pada 1933, kemudian menggetarkan Eropa, dan menduduki Belanda pada 1940. Perhimpunan Indonesia berkembang menjadi organ politik yang gigih dan efektif. Ia menggalang mahasiswa-mahasiswa Indonesia agar bersatu melawan fasisme.   Sepanjang kurun menuju 1940, mereka bersekutu dengan kelompok-kelompok perlawanan Belanda di sekitar media Vrij Nederland , De Waarheid , Het Parool , dan De Vrije Katheder , membantu mencetak koran-koran tersebut secara ilegal, karena mereka bertekad menempatkan perjuangan melawan fasisme sebagai agenda utama. Pada akhir 1930-an hingga 1940-an, Perhimpunan Indonesia aktif dalam kegiatan politik kaum perlawanan anti-Nazi: mengerahkan, merekrut, dan mengorganisasi sesama mahasiswa, menyebarkan pamflet, serta melindungi dan menyembunyikan orang-orang yang menjadi sasaran Nazi –kaum Yahudi dan lain-lain. Dalam edisi khusus Jubileum (HUT ke-30) majalah Indonesia Merdeka , pimpinan Perhimpunan Indonesia menyatakan: “Agresi fasis tahun-tahun belakangan ini mengancam Belanda maupun Indonesia. (Dalam kondisi itu) kerjasama antara rakyat Indonesia dengan gerakan nasionalnya dan Belanda yang demokratis, atas dasar kesetaraan dan saling-menghargai, merupakan satu-satunya jalan untuk membebaskan kedua rakyat negeri tersebut dari bahaya yang mengancam mereka. (Karena) rakyat tidak dapat memenuhi kewajibannya tanpa adanya hak-hak demokratis mereka, maka Perhimpunan Indonesia bercita-cita menuju perombakan yang demokratis berdasarkan kesetaraan di bidang ekonomi, politik dan militer.” Jadi, Perhimpunan Indonesia memandang kerjasama kedua bangsa dan rakyat (Belanda dan Indonesia) sebagai kerjasama “menyelamatkan kemanusiaan” dari kekejaman Nazi. Dengan demikian, Perhimpunan Indonesia menunjuk bahwa tujuan “Indonesia merdeka” hanya dapat dicapai dengan memerangi fasisme. Namun seruan Perhimpunan Indonesia mengenai kerjasama itu ditampik begitu saja oleh pemerintah Belanda. Maka, bagi Perhimpunan Indonesia, masalah yang utama adalah menyadarkan sesama Indonesia di Belanda maupun di Indonesia agar terlibat dalam perjuangan melawan fasisme. Seruan ini bukan hanya ditujukan kepada para mahasiswa Indonesia yang kebanyakan berada di Leiden, kota yang menjadi markas Perhimpunan Indonesia, tetapi juga pelaut-pelaut Indonesia yang bekerja pada perusahaan-perusahaan kapal Belanda di Rotterdam. Akibat pendudukan Jerman, pekerja Indonesia di perusahaan Rotterdamse Lloyd menganggur dan mereka inilah yang mendapat penyuluhan politik oleh para mahasiswa dari Perhimpunan Indonesia cabang Rotterdam. Paling kurang lima anggota Perhimpunan Indonesia menjadi korban Nazi: Djajeng Pratomo dan adiknya, Gondho, jadi pekerja-paksa di kamp Dachau meski akhirnya selamat; tiga orang tewas di kamp; dan Irawan Surjono tewas ditembak polisi Nazi (SS) ketika mengangkut pamflet di Leiden. Sementara itu, Perhimpunan Indonesia juga cemas akan simpati yang berkembang di Indonesia terhadap peran Jepang. Menurut pimpinan Perhimpunan Indonesia, rakyat Indonesia harus menyadari bahwa industrialisasi yang dijalankan Jepang berarti pula ekspansi kekuatan fasis ke selatan, termasuk Indonesia. Karena itu, isu tentang hubungan Sukarno dengan tentara pendudukan Jepang menimbulkan dilema. Djajeng dalam hal ini masih mempercayai Sukarno, karena dia menyadari bahwa Belanda berkepentingan untuk mendiskreditkan pemimpin Indonesia sebagai “boneka Jepang”. Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan, Perhimpunan Indonesia memutuskan bahwa sebagian besar anggotanya kembali ke tanah air; belakangan sebagian dari mereka tewas menyusul Peristiwa Madiun (1948). Sebagian lainnya, termasuk Djajeng, tetap berada di Belanda untuk memimpin majalah Perhimpunan Indonesia, yang berganti nama menjadi Indonesie , dan melanjutkan kegiatan politik. Djajeng sempat bertugas mewakili Kementerian Penerangan Republik Indonesia di Belanda. Dengan riwayatnya yang heroik sekaligus bersetiakawan internasional, perjalanan Perhimpunan Indonesia selaku wahana politik Indonesia mencerminkan sebuah era yang sarat perubahan dan tantangan fundamental –bagi Eropa maupun bagi Indonesia sebagai suatu bangsa baru.*

  • Memata-matai Istana dan PKI

    Jusuf Wanandi bersama Presiden Soeharto dan Liem Sioe Liong pada acara pertemuan dengan tokoh-tokoh pengusaha nasional di Tapos, Bogor, 1986. (Sekretariat Negara). JUSUF Wanandi membuka rahasia. Menjelang keruntuhan Sukarno, dia mengumpulkan informasi dari dalam Istana untuk mencari tahu siapa orang yang punya pengaruh kuat terhadap Sukarno. Dia dan kawan-kawan aktivis Katolik juga punya mata-mata di dalam lingkaran kelompok komunis. Pengakuan Jusuf Wanandi tersebut tertuang dalam memoarnya, Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 , yang diluncurkan di Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, 20 Februari lalu. Edisi bahasa Inggrisnya, Shades of Grey , sudah terbit pada 2012 di Singapura. “Banyak kisah dalam buku ini yang orang lain belum tentu mau mengisahkannya,” ujar sejarawan Anhar Gonggong, pembedah buku itu. Sementara Salim Said, mantan wartawan suratkabar Angkatan Bersenjata , mengatakan, “Buku ini menjadi menarik karena penulisnya, Jusuf Wanandi, terlibat langsung dalam bagian-bagian penting perpolitikan masa itu. Jarang ada buku serupa ini.” Jusuf Wanandi kala itu aktivis Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Bersama Partai Katolik, PMKRI mengambil sikap antikomunis dan menganggap muslim sebagai sekutu alamiah melawan komunis. Jusuf masuk Istana sejak 1964 sebagai sekretaris Soejono, wakil ketua II Dewan Pertimbangan Agung (DPA). DPA dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno. Dengan pekerjaan itu, dia mengetahui siapa yang punya pengaruh kuat terhadap Sukarno. Menurutnya, orang tersebut adalah Njoto, orang nomor tiga di jajaran pimpinan PKI. “Menyaksikan pertemuan-pertemuan sarapan pagi, Njoto memang mempunyai hubungan yang khusus dengan Presiden. Njoto adalah sosok paling intelektual di antara pemimpin PKI. Itulah alasan mengapa dia menjadi salah satu penulis pidato Bung Karno yang paling berpengaruh,” ungkap Jusuf. Jika Jusuf mengumpulkan informasi di Istana, informan penting lainnya berada di lingkaran pejabat teras PKI. Dia lulusan Universitas Gadjah Mada, menjadi Katolik setelah menikah dengan seorang gadis Katolik. Sebelumnya, dia anggota Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), perkumpulan mahasiswa komunis. Karena pandai, pada 1960 dia dipromosikan menjadi asisten Soedisman, sekretaris jenderal PKI. “Orang muda yang berani ini –namanya tidak bisa disebut karena sensitif– memberikan informasi kepada kami mengenai apa yang sedang terjadi di dalam tubuh PKI,” kata Jusuf. “Dari informasi-informasi dia, kami tahu bahwa kesimpulan kami tidak terlalu meleset: PKI akan mengambil-alih kekuasaan, bukan dalam waktu lima tahun lagi, melainkan segera. Segera.” Menurut informan itu, kata Jusuf, sebuah pertemuan sedang direncanakan untuk mengadili kapitalisme birokrat dan spion badan intelijen Amerika Serikat (CIA) di tubuh Angkatan Darat. Untuk itu, Pemuda Rakyat dan Gerwani dilatih kemiliteran di Lanud Halim Perdanakusuma. Mereka ingin mengesankan ada pergolakan di tubuh Angkatan Darat dan peristiwa itu bebas dari jejak PKI. PMKRI pun melatih dua kelompok kader dari pemimpin mahasiswa dan akademisi di Gunung Sahari untuk melakukan konsolidasi. HMI melakukan hal yang sama di Megamendung, Bogor, di kediaman Wakil Ketua NU Subchan Zaenuri Erfan. “Hanya kami-lah –di antara kelompok nonkomunis– yang melakukan pelatihan seperti ini,” kata Jusuf. Harry Tjan Silalahi dan IJ Kasimo dari Partai Katolik menghadap dan mengatakan kepada Jenderal AH Nasution bahwa kalangan Katolik sudah mengetahui rencana PKI dan meminta pendapatnya apa yang harus mereka lakukan. Jawaban Nasution mengecewakan. Peristiwa 30 September 1965 pecah. Di luar dugaan Jusuf dan kelompoknya, tak ada pengadilan rakyat terhadap kapitalisme birokrat dan agen-agen CIA. Yang terjadi adalah pembunuhan terhadap para jenderal. Dalam memoar ini, Jusuf menyajikan beberapa tafsiran di balik Peristiwa 30 September 1965. Tentu saja dia menempatkan PKI berada di balik peristiwa itu dan membela Soeharto. Jusuf mengatakan kontak pertama dengan Soeharto terjadi pada 4 Oktober 1965. Harry Tjan dan Subchan bertemu dengan Soeharto di Mabes Kostrad. “Dari sanalah kami menjalin hubungan erat, yang bertahan hingga dua dekade,” kata Jusuf. Setelah Soeharto berkuasa, Jusuf Wanandi menjadi salah satu pendiri CSIS, lembaga pemikir (think tank) Orde Baru.*

  • Tipuan Asmara Romeo Merah

    Heinz Suetterlin (kiri) sang Romeo Merah. Leonore Heinz dan empat sekretaris di Kementerian Luar Negeri Jerman Barat menjadi korban agen KGB. SELAMA Perang Dingin, banyak agen rahasia Uni Soviet (KGB) dikirim ke beberapa negara Sekutu. Para agen tersebut, terutama laki-laki, disebar untuk mencuri dokumen dengan cara merayu perempuan-perempuan yang bekerja di beberapa departemen strategis milik Sekutu. Operasi ini dinamai Operasi Hati Sunyi ( Operation Lonely Hearts ). Menurut Harry August Rositzke dalam The KGB: The Eyes of Russia , salah satu korban yang terjerat rayuan adalah Leonore Heinz, seorang sekretaris di Kementerian Luar Negeri Jerman Barat. Dia berumur 35 tahun dan belum menikah ketika operasi itu dimulai pada musim panas 1960. Leonore kesepian. Suatu malam, bel pintu rumahnya berbunyi. Seorang pria berusia 40-an berdiri di muka pintu sambil menggenggam rangkaian bunga mawar. “Di manakah flat tempat tinggal Nyonya Schmitz?” tanya pria itu dengan logat asing. Leonore tak dapat menunjukkan lokasi yang ditanyakan pria itu. “Wah, saya mendapat alamat yang keliru. Sungguh sayang jika bunga ini terbuang. Nah, biarlah saya mempersembahkannya untuk Anda saja,” ujar pria tersebut, yang memperkenalkan diri bernama Heinz Suetterlin. Perkenalan itu berlanjut dengan makan malam, kencan, dan berakhir di pelaminan. Setelah menikah, Leonore tetap bekerja sebagai sekretaris di Kementerian Luar Negeri Jerman Barat. Sebagai sekretaris, tugasnya berat. Dia harus mengelola data pribadi dan catatan para diplomat Jerman Barat. Ketika tak selesai dikerjakan di kantor, Leonore membawa berkas-berkas, dengan tingkat kerahasiaan tinggi, ke rumah –satu hal yang seharusnya terlarang. Di rumah, Leonore rajin memasak untuk suaminya. Saat Leonore sibuk di dapur, Suetterlin sibuk memotret berkas-berkas rahasia yang dibawa Leonore. Hal tersebut berlangsung selama lima tahun. Dan hasilnya, seperti dikutip majalah Flambojan , 16 Oktober 1972, Suetterlin berhasil memotret empat ribu berkas berkode top secret dan mengirimkannya ke Moskow. Dinas Kontra Intelejen Jerman Barat mengendus ketidakberesan ini. Mereka pun menangkap Leonore dengan tuduhan membawa berkas rahasia ke rumah. Dia digelandang ke tahanan di kota Cologne, Jerman. Dari hasil penyelidikan, aksi Suetterlin terkuak. Begitu pula identitasnya sebagai agen KGB. Suettterlin dijatuhi hukuman tujuh tahun penjara. Dari sini, kemudian terungkap sasaran Operasi Hati Sunyi yang dilancarkan agen KGB di beberapa lembaga strategis milik Sekutu. Di antaranya, kantor pemerintah di Bonn (ibukota Jerman Barat), Brussels (ibukota Belgia), lalu di markas NATO. Sasarannya jelas: sekretaris perempuan yang kesepian. Sejak itu, sekretaris-sekretaris perempuan, terutama di markas NATO, mendapat instruksi untuk menjauhi rayuan dari para “Romeo Merah”, sebutan bagi agen KGB seperti Suetterlin. Ketika Leonore dikonfirmasi mengenai identitas suaminya yang ternyata agen KGB, dia depresi dan mengakhiri hidupnya dengan gantung diri. Sementara Suetterlin, yang mendekam di penjara, mengajukan banding. Dia mendapatkan seorang pengacara perempuan yang juga dipacarinya. Bandingnya diterima. Tak genap tujuh tahun mendekam di penjara, Suetterlin bebas, lalu menghilang dari Jerman Barat.*

  • Meteor di Tengah Pertempuran

    Patung Mithridates VI (kiri) dan Lucius Licinius Lucullus (kanan). KERAJAAN Roma berkembang pesat dan terus meluaskan kekuasaan politiknya ke wilayah Timur melalui Asia Kecil. Beberapa kerajaan merdeka di wilayah tersebut melawan. Salah satunya Kerajaan Pontus. Berpusat di Sinope, dekat Laut Hitam, Pontus adalah kerajaan hellenistik (bercorak budaya campuran Persia-Yunani) yang berdiri tahun 281 SM. Pontus mencapai puncak keemasaannya pada masa kekuasaan Raja Mithridates VI. Dia mempunyai agenda politik yang anti terhadap segala hal berbau Romawi. Peperangan pun terjadi. Sejarah mencatat, terjadi tiga kali perang Pontus-Roma: Perang Mithridatic I (88-84 SM), Mithridatic II (83-81 SM), dan Mithridatic III (75-63 SM). Perang Mithridatic III dipicu oleh kegagalan Mithridates VI menjatuhkan Raja Nicomedes IV dari Bithynia, kerajaan hellenistik di pesisir Laut Hitam yang dikendalikan Roma. Kegagalan ini membuat Roma ikut campur, bahkan berupaya menjatuhkan Mithridates VI sekaligus menjadikan Pontus yang kaya sebagai provinsinya. Lucius Licinius Lucullus, seorang politisi, memimpin pasukan Roma dalam Perang Mithridatic III. Pada suatu waktu antara tahun 74-70 SM, Lucullus bermaksud melakukan serangan mendadak ke Pontus ketika Mithridates VI sedang pergi dengan pasukannya. Namun dia justru dikejutkan oleh kemunculan pasukan Pontus yang dipimpin Mithridates VI. Kedua pasukan pun bersiap perang di Otroea, dekat Danau Iznik di Turki modern. “Ketika kedua pasukan sedang bersiap-siap untuk bertempur, tiba-tiba langit terbelah dan di antara kedua pasukan tampaknya telah jatuh sebuah meteor besar yang terbakar, bentuknya menyerupai sebuah tong berwarna perak yang panas,” ujar Plutarch, sejarawan Yunani, seperti dikutip James Ussher dkk. dalam The Annals of the World, Volume 1 . Kedua pasukan terkejut dan memilih lari meninggalkan medan perang. Mereka menafsirkan fenomena alam ini sebagai pertanda buruk dari dewa mereka masing-masing. “Adalah benar jika orang-orang Roma pada masa itu takut dengan komet, bintang jatuh, dan meteor,” tulis Adrienne Mayor dalam The Poison King: The Life and Legend of Mithradates, Rome’s Deadliest Enemy . Sejarawan modern kerap melupakan peristiwa itu. Namun Richard Stothers, seorang peneliti NASA yang ahli dalam mengobservasi peristiwa-peristiwa astronomi di masa kuno, memiliki sedikit penjelasan mengenai jenis meteor yang jatuh tersebut. “Karena ada ribuan saksi yang melihat dari jarak dekat, Stothers meyakini laporan dari Plutarch otentik. Munculnya cahaya yang amat menyilaukan di siang hari itu mengindikasikan besarnya dampak getaran yang dihasilkan meteor ini. Stothers mengestimasi ukuran lingkar objek tersebut lebih dari 4 kaki (121 cm),” tulis Adrienne. Perang antara Lucullus dan Mithridates VI batal karena peristiwa ini. Dan nasib buruk pun menimpa mereka setelahnya. Karena dianggap tak kompeten, Lucullus dicopot dari jabatannya sebagai pemimpin pasukan. Dia digantikan Pompey, jenderal Roma yang kemudian menaklukkan Pontus dan mengakhiri Perang Mithridiatic III. Mithridates VI memilih bunuh diri daripada tertangkap pasukan Roma.*

  • Bukan Sembarang Usman

    Usman Debot (kiri), pimpinan laskar Bambu Runcing Cibinong. (Wenri Wanhar/Historia.ID). BIASANYA nama bapak melekat pada anaknya. Ini justru sebaliknya. Haji Usman, seorang jawara kharismatik, lebih dikenal dengan sebutan Usman Debot. Pangkalnya karena anak perempuannya yang cantik jelita. “Nama aslinya Usman. Anak pertamanya perempuan, namanya Debot. Anaknya cakep . Bahenol dah . Makanya dia dipanggil Usman Debot. Umurnya dua tahun lebih tua dari saya,” ujar Adung Sakam, 85 tahun, kawan seperjuangan Usman Debot kepada Historia. Usman Debot memimpin laskar Bambu Runcing di Cibinong, yang kesohor dan disegani. Bambu Runcing merupakan pasukan rahasia, dibentuk Tan Malaka dan Jenderal Sudirman awal 1948 untuk mengisi kekosongan pasukan di Jawa Barat setelah Divisi Siliwangi hijrah ke Yogyakarta sesuai kesepakatan dalam Perjanjian Renville. Bahar Rezak, pemimpin Laskar Rakyat Jakarta Raya, menjadi komandan tertingginya . Aksi-aksi Bambu Runcing cukup merepotkan Belanda. Sejumlah pentolannya bahkan disebut-sebut tidak mempan peluru. “Si Usman punya kelebihan. Ini benar. Bukan hanya katanya… katanya. Saya tahu betul. Banyak yang bilang dia itu nggak mempan peluru. Yang benar itu bukannya nggak mempan, tapi itu peluru nggak sampe di badannya,” kata Adung. Wilayah kekuasaan Usman Debot, sebagaimana dikisahkan Adung Sakam, mulai dari Citeureup, Cibinong, Cileungsi, Kampung Daiyeh, Jonggol, hingga terus ke arah selatan. Robert Cribb dalam Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945-1949 , menyebut pasukan Usman Debot bermarkas di bukit-bukit kapur sekitar Cibinong. “Gua-gua di bukit kapur tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat berlindung pasukan Debot, melainkan juga sumber pemasukan besar dari penjualan sarang burung walet yang mahal,” tulisnya. Bambu Runcing mendesak kemerdekaan 100% sebagaimana tuntutan Tan Malaka. Mereka menyoal langkah-langkah berunding yang diambil pemerintah. Ketika Kabinet Hatta menggulirkan kebijakan Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) tentara, Bambu Runcing membangkang. Muncullah konflik. Selain baku-tembak, kedua kelompok bersenjata itu menggelar razia di wilayah kekuasaan masing-masing. Akibatnya, rakyat menjadi ketakutan dan terteror. Nap Kotong, 75 tahun, pernah kena razia. Semasa muda, dia memasok ikan kepada para pedagang di pasar Cisalak, Sindang Karsa, Cikumpa, Pedurenan, hingga Cibinong. Suatu hari, sekitar 1951, sepulang berjualan dia terjaring operasi Bambu Runcing di Kampung Cironyok, Sugutamu, Sukmajaya. Dia digeledah. Karena anggota Bambu Runcing menemukan sejumlah uang di kantong, dia dituduh mata-mata. “Saking ketakutannya, saya sampai terkencing-kencing,” kenangnya. Dia dilepas setelah mengatakan kampungnya di Tanah Baru. Tanah Baru merupakan basis Bambu Runcing. Pemerintah kemudian menangkap dan menahan Chaerul Saleh, komandan tertinggi Bambu Runcing setelah Bahar Razak menghilang –kemungkinan mati. Menteri Kehakiman Muhammad Yamin kemudian membebaskannya. Pemerintah mengeluarkan kebijakan akan mengampuni anggota Bambu Runcing yang menyerah, bahkan memberikan pekerjaan. Sementara Chaerul Saleh menginstruksikan kepada seluruh anggota Bambu Runcing agar turun gunung dan bergabung dengan Republik. Ada yang patuh ada yang terus melawan. Camat Nata pimpinan Bambu Runcing Bekasi menyerah bersama pasukannya. Sementara Usman Debot pantang menyerah dan terus bergerilya. Menurut Cribb, wilayah kekuasaan Debot tampaknya telah diterima sebagai bagian dari lanskap politik lokal. Bahkan pada pemilihan umum 1955 anggota Bambu Runcing di wilayah Usman Debot turut berkampanye atas nama Partai Nasional Indonesia serta partai sayap kiri, Murba dan Akoma (Angkatan Komunis Muda). “Sebagai imbalannya, partai-partai itu meyakinkan pemerintah untuk tidak melancarkan pembasmian terhadap para pemberontak tersebut,” tulis Cribb. Pada 1959, setelah Sukarno memberlakukan kembali UUD 1945, Debot akhirnya turun gunung. Dia menyerahkan diri ke Batalion 313 Divisi Siliwangi pimpinan Mayor Marwoto. Setelah meninggalkan hiruk-pikuk dunia kelaskaran, Usman Debot berbisnis. Dia menjalankan pabrik kapur di Jonggol, Bogor. Usman meninggal tahun 1990. Setelah itu, pabrik kapur diteruskan anaknya.

  • Martir Dunia Kedokteran

    Eijkman, lembaga penelitian medis dan biologi di Batavia, 1939. Foto: KITLV. DOKTER-dokter di Indonesia mogok dan berunjukrasa sebagai bentuk solidaritas terhadap koleganya di Manado, Sulawesi Utara, yang ditahan dengan tuduhan malpraktik sampai menghilangkan nyawa pasiennya. Kasus ini masih bergulir, dan begitu mengguncang dunia kedokteran di dalam negeri. Pada masa pendudukan Jepang, ada satu kasus yang menggemparkan dunia kedokteran. Pada Juli 1944, ratusan romusha  (pekerja paksa) di Klender Jakarta dicurigai terkena wabah penyakit. Dokter-dokter Jepang setempat menyuntikkan vaksin tipes, kolera, dan disentri kepada mereka. Alih-alih sembuh, sekira 900 romusha  malah tewas. Pemerintah pendudukan Jepang langsung mencurigai dokter-dokter di Lembaga Eijkman, lembaga penelitian medis dan biologi di Jakarta. Polisi militer ( Kenpetai ) memeriksa mereka dengan tuduhan telah meracuni vaksin yang diberikan kepada para romusha . Lembaga Eijkman dirintis tahun 1888. Namanya diambil dari nama penelitinya yang terkenal dan penerima Nobel: Christian Eijkman. Sejak itu, Lembaga Eijkman menjadi pusat riset medis dan biologi tersohor di Hindia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, Lembaga Eijkman diberitakan sedang meneliti vaksin lain di bawah pimpinan dr Achmad Mochtar, bumiputera pertama yang menjadi direktur lembaga itu pada 1937. Pemeriksaan Kenpetai berubah menjadi tragedi, ketika dokter-dokter ini kemudian ditangkap dan disiksa pada Oktober 1944. Ada yang dipukuli, disetrum, sampai dibakar hidup-hidup. Karena tak mendapatkan bukti, pada Januari 1945 Jepang membebaskan staf-staf Eijkman dalam keadaan yang menyedihkan. Dua dokter, Marah Achmad Arif dan Soeleiman Siregar, meninggal dunia dalam tahanan akibat siksaan. Sedangkan Achmad Mochtar dijatuhi hukuman mati. Menurut Moh. Ali Hanafiah, asisten dr Mochtar, dalam Drama Kedokteran Terbesar , dr Mochtar dipaksa mengaku mengotori vaksin yang menyebabkan kematian banyak orang itu. Dia dituduh memasukkan bakteri tetanus ke dalam vaksin tifus, kolera, dan disentri. Pada Juli 1945, dr Mochtar dieksekusi tanpa pengadilan dengan cara dipancung. Jenazahnya dikebumikan di pemakaman massal Ancol. Peristiwa ini menimbulkan tanda tanya besar dan merupakan tragedi yang memilukan dalam dunia kedokteran Indonesia dan bagi Lembaga Eijkman. “Peristiwa ini, dan perang berdarah untuk mempertahankan kemerdekaan dari Belanda yang mengikutinya, secara efektif menghancurkan institut ini sampai akhirnya ditutup pada tahun 1965,” tulis JK Baird, “Tropical Health and Sustainability,” termuat dalam Infectious Disease karya Phyllis Kanki dan Darrell Jay Grimes. JK Baird, direktur Clinical Research Unit Oxford University, menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk menyelidiki pembunuhan dr Mochtar. Dia mengungkapkan, kematian romusha  disebabkan eksperimen dokter Jepang yang membuat vaksin tetanus untuk kebutuhan tentara dan penerbang Jepang. Dan para romusha  menjadi kelinci percobaannya. Untuk menutupi hal ini, Lembaga Eijkman difitnah. Dan Mochtar menjadi kambing hitam untuk menyelamatkan staf Eijkman dan koleganya. “Achmad Mochtar bukan hanya pahlawan bagi Indonesia, tapi juga seorang pahlawan bagi sains dan kemanusiaan,” kata Baird, dikutip theguardian.com , 25 Juli 2010. “Kita biasanya menemukan heroisme seperti ini dalam diri seorang militer, bukan seorang intelektual. Tapi itu semua tidak benar, jika kita melihat kisah dari seorang Achmad Mochtar.” Achmad Mochtar lahir dan besar di Sumatra Barat pada 1892. Dia kemudian merantau ke Jawa untuk melanjutkan studinya di sekolah dokter bumiputera (Stovia) sampai lulus pada 1916. Dia kemudian meraih gelar doktor dari Universitas Amsterdam. Kini namanya diabadikan sebagai nama rumah sakit di Bukittinggi, Sumatra Barat. Lembaga Eijkman yang pernah dipimpinnya aktif kembali sejak 1992.

  • Peranakan Tionghoa di Bangka-Belitung

    Penambang timah Tionghoa di Manggar, Belitung, 1903. (KITLV). KEBERADAAN orang Tionghoa di Bangka-Belitung karena timah; Bangka sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, vanka yang   artinya timah. Penambangan timah di Bangka dimulai pada abad ke-18 oleh keluarga Tionghoa dari Guangdong, Lim Tiau Kian. Sementara di Belitung, penambangan dimulai perusahaan Belanda Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Billiton (GMB) pada 1852. Menurut sejarawan Myra Sidharta dalam diskusi bertajuk   “Jejak Langkah Kaum Peranakan Indonesia, Silang Budaya Negeri China dan Nusantara,” di Kunstkring Paleis, Jakarta Pusat, (28/11/2013), meski sama-sama berasal dari daerah Guangdong (Kanton) Tiongkok Selatan, peranakan Tionghoa di Bangka dan Belitung memiliki perbedaan. Baca juga:  Timah dan Tuan Besar Orang Tionghoa di Bangka didatangkan pada awal abad ke-18 ketika pertambangan resmi dibuka. Mereka umumnya tidak membawa istri sehingga menikahi penduduk bumiputera, baik Bangka, Jawa maupun Bali. Maka, menurut Myra, Tionghoa di Bangka adalah “masyarakat peranakan sebenarnya, yaitu darah campuran Tionghoa dan pribumi.” Jumlah Tionghoa muslim cukup besar, bahkan ada kuburan khusus untuk mereka di dekat kota Mentok. Sedangkan Tionghoa di Belitung datang pada pertengahan abad ke-19 beserta istri-istri mereka. Mereka menjadi “peranakan berdasarkan orientasi hidup.” Contohnya, ada perempuan yang menggantikan pakaian Tionghoanya dengan pakaian bumiputera. Mereka mengganti baju kurung dengan kebaya, celana dengan sarung. “Di zaman dahulu wanita mengunyah sirih. Dewasa ini mereka makan durian dan petai,” kata Myra. Baca juga:  Perebutan yang Menghancurkan Perbedaan terbesar dalam bahasa. Di Bangka, peranakan Tionghoa berbahasa Melayu-Bangka yang khas bercampur kata-kata dialek Hakka. Di Belitung, peranakan Tionghoa berbahasa Hakka murni yang dibagi dalam “bahasa ibu” dan “bahasa ayah.” Kaum perempuan berbahasa ibu dengan nada khas dan bercampur bahasa Melayu. Lelaki berbahasa ayah atau Hakka murni; jika berbicara dengan bahasa ibu dianggap aneh. Dewasa ini bahasa Hakka terancam punah. Anak-anak kecil di Belitung bisa bahasa Hakka namun ketika pindah ke Jakarta jarang mau menggunakannya karena malu atau pergaulan. Di luar perbedaan itu, dalam hal kuliner, Tionghoa di Bangka dan Belitung umumnya sama. Keduanya membedakan masakan totok dan peranakan. Makanan juga disesuaikan untuk kebutuhan sehari-hari, ritual, perayaan, perkawinan, dan kematian.*

  • Film Porno Mirip Sukarno

    Sukarno di Uni Soviet. Foto: "Indonesia Through Russian Lens" karya Kedutaan Besar RI untuk Rusia (2011)/teguhtimur.com. MELALUI akun twitter -nya, politisi Partai Liberal, Mark Textor, menyebut Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa mirip bintang porno Filipina tahun 1970-an. Kicauan Textor, menyusul ketegangan Indonesia-Australia ihwal penyadapan, dikecam berbagai pihak. Bahkan Malcolm Fraser, mantan perdana menteri dari Partai Liberal, meminta partainya memecat Textor. Textor akhirnya minta maaf. Presiden Sukarno pernah mengalami hal serupa, bahkan lebih parah. Dalam upaya menjatuhkan Sukarno, Dinas Intelijen Amerika Serikat (CIA) membikin film porno. Rekayasa CIA ini didasarkan anggapan umum bahwa Sukarno suka main perempuan. Dalam Potrait of a Cold Warrior , mantan agen CIA Joseph B. Smith mengungkapkan bahwa CIA berusaha menemukan pemeran film porno yang mirip dengan Sukarno. “Los Angeles sebagai pemasok film-film porno cocok dengan tujuan kami, kami pikir, karena mereka memiliki pemeran berkulit gelap ... yang mungkin dapat dibuat agar terlihat seperti Sukarno dengan sedikit sentuhan,” tulis Smith. Ketika tak menemukannya, CIA memutuskan membuat masker wajah Sukarno. “Kami berencana mengirimkannya ke Los Angeles dan meminta polisi setempat membayar bintang film porno untuk memakainya selama beradegan dewasa,” kata Smith. Menurut Kenneth J. Conboy dan James Morrison dalam Feet to the Fire: CIA Covert Operations in Indonesia, 1957-1958 , film porno itu dikerjakan di studio Hollywood yang dioperasikan Bing Crosby dan saudaranya. Film ini dimaksudkan sebagai bahan bakar tuduhan bahwa Sukarno (diperankan pria Chicano) mempermalukan diri dengan meniduri agen Soviet (diperankan perempuan pirang Kaukasia) yang menyamar sebagai pramugari maskapai penerbangan. “Proyek ini menghasilkan setidaknya beberapa foto, meski tampaknya tak pernah digunakan,” tulis William Blum dalam Killing Hope: US Military and CIA Interventions Since World War II . Hal senada dikemukakan Oliver Stone dan P. Kuznick dalam The Untold History of United States : “... film ini, jika dibuat, tidak pernah benar-benar dirilis.” Selain film itu, menurut Blum, film porno lain yang diproduksi untuk CIA dibuat Robert Maheu, mantan agen FBI. “Film ini dibintangi seorang aktor yang mirip Sukarno,” tulis Blum. “Nasib akhir dari film, yang berjudul Happy Days , tak pernah dilaporkan.” Menurut Michael Drosnin dalam Citizen Hughes , Maheu mendapatkan $500 per bulan dari CIA untuk pekerjaan-pekerjaan kotor. Salah satunya memproduksi film porno yang dibintangi mirip Sukarno. Namun, menurut Samuel Halpern, perwira senior di Divisi Timur Jauh, film itu justru menjadi bumerang karena di beberapa negara Dunia Ketiga, “mereka menyukai gagasan seorang pria berwarna berhubungan seks dengan perempuan kulit putih,” tulis Conboy dan Morrison.

  • Politisi Australia Sahabat Indonesia

    Ki-ka: Thomas Kingston Critchley, HV Evatt, Joseph Benedict Chifley, dan Sir Richard C. Kirby. PERDANA Menteri Australia, Tony Abbott, sempat menyatakan tidak akan meminta maaf dan memberikan penjelasan apapun terkait terbongkarnya aksi penyadapan terhadap Indonesia. Dia kemudian menyatakan penyesalannya setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan penghentian sementara kerjasama dengan Australia. Jika Tony Abbot menunjukkan citra Australia yang bermusuhan dengan Indonesia, sebaliknya Perdana Menteri Joseph Benedict Chifley dari Partai Buruh, cenderung mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ini ditunjukkan dengan mendukung aksi boikot serikat buruh pelabuhan Australia terhadap kapal-kapal Belanda yang membawa senjata ke Indonesia. Dukungan serupa juga datang dari Menteri Luar Negeri Australia, HV Evatt. Menurut Rupert Lockwood dalam Armada Hitam , sesudah terjadinya Aksi Polisionil Belanda terhadap Indonesia pada 1947, Evatt diam-diam membiarkan pemboikotan itu walaupun melanggar undang-undang yang pernah dilaksanakannya selama menjadi Jaksa Agung. “Karena terkejut oleh usaha Belanda untuk menegakkan kembali kekuasaannya di Batavia dengan serangan militer,” tulis Lockwood, “maka Dr Evatt pun mengajukan persoalan Indonesia kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan pada tahun 1948 dengan berani dia mengecam Washington, karena Washington telah mendukung serangan-serangan Belanda terhadap Republik.”  PBB kemudian membentuk Komite Jasa Baik yang bertugas menengahi konflik Indonesia-Belanda. Indonesia memilih Australia (Sir Richard C. Kirby) sebagai wakilnya, Belanda memilih Belgia (Paul van Zeeland), dan Amerika Serikat (Dr. Frank Graham) sebagai pihak netral. Menurut Margaret J. Kartomi dalam Gamelan Digul, Di Balik Sosok Seorang Pejuang: Hubungan Antara Australia dan Revolusi Indonesia, di Indonesia sendiri politik pemerintah Australia jelas terasa bergeser ke arah yang lebih aktif mendukung Republik. Pada Juli 1946, misalnya, ketika Sir Richard Kirby mengunjungi Yogyakarta bersama Perdana Menteri Sutan Sjahrir, disambut massa dengan teriakan-teriakan gembira “Australia! Australia!” dan ditaburi dengan lemparan bunga-bunga. Richard Kirby kemudian digantikan diplomat muda Thomas Kingston Critchley. Critchley memiliki opini tersendiri, dan sedikit banyak tersanjung, atas penunjukkan Australia oleh Indonesia. “Orang-orang Indonesia ini begitu berani. Melihat fakta bahwa beberapa tahun lalu mereka dan kami nyaris tak saling kenal, mereka justru memilih Australia sebagai wakilnya. Mereka terpengaruh atas simpati yang ditunjukkan di Australia, dan dengan rasa hormat yang tinggi, pengaruh andil besar blokade buruh Australia terhadap kapal-kapal Belanda yang memberikan dampak emosional besar bagi mereka,” tulis Critchley, seperti dikutip Bilveer Singh dalam Defense Relations Between Australia and Indonesia in the Post-Cold War Era . Pandangan antikolonial Critchley membuatnya dekat dengan tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia, terutama dengan Mohammad Hatta dan Sjahrir. Ketika agresi militer Belanda kedua pada Desember 1948 membuat pemimpin-pemimpin Indonesia diasingkan ke Bangka, Critchley secara pribadi mengunjungi dan menyemangati mereka. “Aku menceritakan kepada Critchley bahwa aku dan Sukarno tidak punya kekuasaan lagi sebab kekuasaan pimpinan negara pada tanggal 19 Desember 1948 sudah kami serahkan kepada Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera Barat,” kata Hatta dalam otobiografinya, Untuk Negeriku . “Namun Critchley mengatakan bahwa dunia internasional, demikian juga United Nations, hanya kenal pada Sukarno-Hatta sebagai pimpinan negara Republik Indonesia. Tuan Critchley mengatakan bahwa dia akan mengusahakan sesuatu di Jakarta.” Seakan ingin menepati janjinya kepada Hatta, Critchley memanfaatkan agresi militer Belanda itu untuk menekan Belanda di dunia internasional. Dalam laporannya kepada PBB, dia membuktikan bahwa Republik Indonesia masih eksis dan sanggup melawan. Hasilnya, Belanda luluh, tawanan politik dibebaskan dan kekuasaan Republik dipulihkan. Selanjutnya, dengan kekuasaan yang lebih besar sebagai ketua delegasi Australia dalam Komisi PBB untuk Indonesia, pengganti Komisi Jasa Baik sejak 28 Januari 1949, Critchley berandil besar mempersiapkan Konferensi Meja Bundar yang berlangsung 23 Agustus-2 November 1949 di The Hague, Belanda. Hasilnya, penyerahan kedaulatan Belanda kepada Indonesia. Critchley kemudian menjadi duta besar Australia untuk Indonesia periode 1978-1981. Pada 1992, dia dianugrahi Bintang Dharma Putra oleh pemerintah Indonesia melalui kedutaan besar Indonesia atas jasa-jasanya di masa lalu untuk Indonesia. “Para pemimpin nasionalis akan selalu mengingat saat Republik nyaris tiada dan diisolasi oleh Belanda, Critchley-lah yang berjuang secara efektif menangkis propaganda Belanda dan akhirnya menuntun perjuangan Indonesia mendapatkan kedaulatannya,” kenang Sabam P. Siagian, mantan duta besar Indonesia untuk Australia (1991-1995), dalam obituari Critchley sebulan setelah kematiannya pada Juli 2009 di Sydney, Australia.

  • Aceh-Ottoman dalam Koin Emas

    RATUSAN keping koin emas kuno peninggalan Kesultanan Aceh ditemukan penduduk di Gampong Pande, Aceh, pada 11 November 2013. Beberapa koin bertuliskan nama Alaudin Riayat Syah Al-Kahar, sultan Aceh, berdampingan dengan Sulaiman I, sultan Ottoman Turki. Penemuan ini bukti penting yang menegaskan hubungan diplomatik antara Aceh dan Ottoman sejak abad ke-16. Sultan Al-Kahar adalah Sultan Aceh ketiga yang berasal dari Dinasti Meukuta Alam, dinasti pendiri Kerajaan Aceh. Dia berkuasa antara tahun 1537 sampai 1571. Pada masanya, Aceh menjadi kekuatan politik dan ekonomi yang dominan di Sumatra dan Semenanjung Malaka. Portugis, yang menguasai Malaka sejak tahun 1511, menjadi rival Aceh dalam meluaskan pengaruhnya di Selat Malaka, baik dalam konteks politik maupun ekonomi. Karena itu, Aceh menjalin kontak dengan Kesultanan Ottoman untuk menjajaki kerjasama menghadapi Portugis. “Setelah tumbuh menjadi lebih besar dari sebelumnya, Kesultanan Ottoman menjelma menjadi tempat bagi kerajaan-kerajaan Islam di Timur (India dan Kepulauan Nusantara) yang baru berkembang menaruh harapan dalam menghadapi Portugis,” tulis Giancarlo Casale dalam The Ottoman: Age of Exploration . Baca juga:  Sejarah berakhirnya Kesultanan Ottoman Utusan Aceh kali pertama datang ke Istanbul pada 1562. Mereka meminta bantuan senjata berupa meriam. Terkesan dengan utusan Aceh ini, sultan yang berkuasa saat itu, Sulaiman I, mengirimkan meriam beserta teknisinya serta seorang diplomat bernama Lutfi Bey. Kedatangan Lutfi Bey ke Aceh menjadi penting karena berdasarkan laporannya, orang-orang Turki menjadi paham posisi strategis Aceh sebagai pusat perdagangan dan garis terdepan umat Islam dalam menghadapi Kristen Portugis di Nusantara. Aceh sendiri antusias menjadi bawahan Kesultanan Ottoman. “Surat diplomatik yang Lutfi Bey bawa ketika dia kembali ke Istanbul pada 1566, menyatakan bahwa Sultan Al-Kahar tidak lagi ingin sekadar meminta senjata kepada Sultan Sulaiman I. Tidak pula ingin menjalin hubungan politik antar dua kerajaan yang berdiri sama sejajar. Melainkan dia ingin agar dirinya dan negerinya, Aceh, diperintah secara langsung oleh Sultan Sulaiman I sebagai ganti bantuan Ottoman dalam menghadapi Portugis,” lanjut Casale. Baca juga:  Sejarah hubungan kesultanan Islam dengan Kerajaan Inggris Antusiasme Aceh ditanggapi positif oleh Sultan Sulaiman I sebelum akhirnya dia mangkat dan digantikan Sultan Selim II. Dia memerintahkan angkatan lautnya untuk mengirim armada sebanyak 15 kapal layar ke Aceh yang bermuatan prajurit, penasehat militer, teknisi meriam, juga tukang-tukang seperti penambang, pandai besi, dan pandai emas. Sayangnya, armada yang dijadwalkan tiba di Aceh pada 1568 terpaksa mengalihkan perjalanan ke Yaman, Arab Selatan, untuk memadamkan sebuah pemberontakan. Hanya dua buah kapal yang tiba di Aceh tanpa membawa senjata. Kedua kapal itu membawa sekelompok pedagang dan teknisi meriam, yang tidak cukup untuk memuluskan rencana Sultan Al-Kahar menyerang Portugis di Malaka pada 1570. Penambangan dan penempaan bijih besi bukan barang baru di Aceh. Sejak zaman Samudra Pasai pada abad ke-14, timah dan emas telah ditemukan, bahkan dijadikan satuan mata uang dengan ukiran nama raja yang berkuasa di kedua sisinya. Mereka menempa mata uang timah yang bernama cash  dan mata uang dari emas yang bernama mas.  Sistem ini kemudian diadopsi raja-raja Aceh. Baca juga:  Sepuluh fakta di balik pengepungan Konstantinopel Menurut Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) , Sultan Al-Kahar-lah yang memperkenalkan mata uang Aceh pertama, yakni dirham . “1 pardew  (mata uang Portugis yang ditempa di Goa, India) sama dengan 4 dirham Aceh,” tulis Lombard. “Namun nilai mata uang itu sendiri sering mengalami perubahan yang besar sekali. Para penjelajah selalu memberi nilai yang berbeda-beda, kadang-kadang bahkan dalam jarak waktu yang hanya beberapa bulan.” Nama Sultan Sulaiman I yang terukir bersanding dengan Sultan Al-Kahar dalam beberapa koin emas Aceh merupakan bukti pengakuan Kesultanan Aceh atas kekuasaan Kesultanan Ottoman sebagai pemegang inti dunia Islam saat itu. Nama Sultan Ottoman juga selalu disebutkan dalam tiap khotbah Jumat.

bottom of page