top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Peranakan Tionghoa di Bangka-Belitung

Sama-sama berasal dari Guangdong dan datang karena timah, peranakan Tionghoa di Bangka berbeda dengan Belitung.

Oleh :
Historia
28 Nov 2013

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Penambang timah Tionghoa di Manggar, Belitung, 1903. (KITLV).

Penambang timah Tionghoa di Manggar, Belitung, 1903. (KITLV).


KEBERADAAN orang Tionghoa di Bangka-Belitung karena timah; Bangka sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, vanka yang artinya timah. Penambangan timah di Bangka dimulai pada abad ke-18 oleh keluarga Tionghoa dari Guangdong, Lim Tiau Kian. Sementara di Belitung, penambangan dimulai perusahaan Belanda Gemeenschappelijke Mijnbouw Maatschappij Billiton (GMB) pada 1852.


Menurut sejarawan Myra Sidharta dalam diskusi bertajuk “Jejak Langkah Kaum Peranakan Indonesia, Silang Budaya Negeri China dan Nusantara,” di Kunstkring Paleis, Jakarta Pusat, (28/11/2013), meski sama-sama berasal dari daerah Guangdong (Kanton) Tiongkok Selatan, peranakan Tionghoa di Bangka dan Belitung memiliki perbedaan.



Orang Tionghoa di Bangka didatangkan pada awal abad ke-18 ketika pertambangan resmi dibuka. Mereka umumnya tidak membawa istri sehingga menikahi penduduk bumiputera, baik Bangka, Jawa maupun Bali. Maka, menurut Myra, Tionghoa di Bangka adalah “masyarakat peranakan sebenarnya, yaitu darah campuran Tionghoa dan pribumi.” Jumlah Tionghoa muslim cukup besar, bahkan ada kuburan khusus untuk mereka di dekat kota Mentok.


Sedangkan Tionghoa di Belitung datang pada pertengahan abad ke-19 beserta istri-istri mereka. Mereka menjadi “peranakan berdasarkan orientasi hidup.” Contohnya, ada perempuan yang menggantikan pakaian Tionghoanya dengan pakaian bumiputera. Mereka mengganti baju kurung dengan kebaya, celana dengan sarung. “Di zaman dahulu wanita mengunyah sirih. Dewasa ini mereka makan durian dan petai,” kata Myra.



Perbedaan terbesar dalam bahasa. Di Bangka, peranakan Tionghoa berbahasa Melayu-Bangka yang khas bercampur kata-kata dialek Hakka. Di Belitung, peranakan Tionghoa berbahasa Hakka murni yang dibagi dalam “bahasa ibu” dan “bahasa ayah.” Kaum perempuan berbahasa ibu dengan nada khas dan bercampur bahasa Melayu. Lelaki berbahasa ayah atau Hakka murni; jika berbicara dengan bahasa ibu dianggap aneh. Dewasa ini bahasa Hakka terancam punah. Anak-anak kecil di Belitung bisa bahasa Hakka namun ketika pindah ke Jakarta jarang mau menggunakannya karena malu atau pergaulan.


Di luar perbedaan itu, dalam hal kuliner, Tionghoa di Bangka dan Belitung umumnya sama. Keduanya membedakan masakan totok dan peranakan. Makanan juga disesuaikan untuk kebutuhan sehari-hari, ritual, perayaan, perkawinan, dan kematian.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Persekutuan Tuan Rondahaim dan Sisingamangaraja

Persekutuan Tuan Rondahaim dan Sisingamangaraja

Tuan Rondahaim dan Sisingamangaraja bersekutu melawan Belanda. Keduanya telah ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.
Pengusaha Hiburan Malam Naik Haji

Pengusaha Hiburan Malam Naik Haji

Pengusaha hiburan malam yang mengorbitkan banyak penyanyi beken ini mengalami kejadian aneh saat menunaikan ibadah haji.
Biarkan Batin Melayang

Biarkan Batin Melayang

Zaman berubah. Kekuasaan berganti. Namun, S.K. Trimurti mampu melewatinya tanpa membuatnya tersingkir dari sejarah.
Banjir Besar di Jakarta

Banjir Besar di Jakarta

Banjir besar yang melanda Jakarta merendam kawasan Monas. Rencana Presiden Soeharto dan Ibu Tien meninjau diorama Supersemar di museum Monas terpaksa dibatalkan.
Kisah Prajurit Doyan Kawin

Kisah Prajurit Doyan Kawin

Poligami dipraktikkan oknum tentara sejak dulu. Ada yang dapat hukuman karenanya.
bottom of page