Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Peliknya Menjalin Komunikasi dengan Tapol
SEMENJAK ditahan pada November 1965, Pelukis Lekra Mia Bustam lepas kontak dengan anak-anaknya. Di awal masa penahanan tersebut, anak-anak Mia hidup dalam bayang-bayang teror. Mereka tak berani mengunjungi atau menghubungi ibunya yang ditahan di Vredeburg kemudian dipindah ke Wirogunan pada April 1966. “Tahun 1965-67 itu orang masih takut mau mengunjungi keluarganya. Maka saya sangat berterima kasih kepada orang-orang yang berani mengirimi ibu makanan karena waktu itu butuh keberanian besar,” kata Sri Nasti Rukmawati, anak kedua Mia Bustam, pada Historia. Selain kondisi politik masih mencekam, anak-anak Mia Bustam tak bisa menjenguk ibunya karena dipusingkan oleh urusan memenuhi kebutuhan hidup. Jangankan mengirimi ibunya makanan, untuk bertahan hidup enam anak Mia pun sudah amat sulit. Tedja Bayu, anak tertua, sudah tertangkap sebelum ibunya. Nasti, anak kedua yang berumur 18 tahun, mengungsi ke rumah kerabat karena ketakutan. Yang bertahan di rumah hanya 6 anak yang masih usia sekolah, yakni Watu Gunung, Sekar Tunggal, Sri Shima, Daya, Gawe, dan Rino. Kiriman makanan untuk Mia justru datang dari istri-istri guru di Seniman Indonesia Muda. Mbakyu Pardal dan Jeng Salam, begitu Mia menyebut keduanya dalam bukunya Dari Kamp ke Kamp. Kedua rekan Mia itumengunjunginya Wirogunan pada H-1 Lebaran 1967. Kala itu, para tapol diperbolehkan menerima kunjungan. Namun sayang, keduanya tak bisa menemui Mia karena pintu los koper keburu ditutup. Mia pun hanya bisa menerima bingkisan mereka saja. Kunjungan pertama Mia selama menjadi tapol kemudian datang dari saudara sepupunya sekeluarga. Nasti mulai berani mengunjungi ibunya di Wirogunan pada 1969, ketika kondisi Yogyakarta sudah sedikit lebih aman. Kala itu, kenang Mia, Nasti datang membawa calon suaminya, Atik Rubino, berserta Sekar Tunggal dan eyang. Pada kesempatan berikutnya, Nasti, eyang, dan Tunggal datang ke Wirogunan untuk memberitahu bahwa Tedja Bayu akan diberangkatkan ke Pulau Buru. Ketika Mia ditahan di LP Bulu dan hendak dipindahkan ke Plantungan, Nasti dan saudara lainnya kembali mengunjungi Mia untuk memberi perbekalan. “Ketika ibu ditahan di Wirogunan, kami bukan orang berlebih dan kondisi politiknya pun mencekam. Kalau di Plantungan sudah agak mendingan, kami baru berani kirim makanan dan bisa melakukan kunjungan,” kata Nasti. Ketika di Plantungan, biasanya sebulan sekali Mia menerima kiriman dari keluarga. Seringkali berupa makanan dan surat dari Nasti. Pernah pula ia menerima kiriman buku tuntunan merangkai janur dari Mimies, adik Mia. Sayangnya, Mia tak pernah menerima buku itu. Menurut kawan Mia, buku tersebut mulanya dipinjam oleh komandan kamp untuk diberikan pada keponakannya yang eks-tapol dan masih menganggur. Mendengar alasan itu, Mia pun mengikhlaskannya dan tak merisaukan benar-tidaknya keponakan komandan itu. Selain kiriman, kunjungan keluarga juga diperbolehkan dengan durasi satu jam. Ketika hari besar, seperti Natal, kunjungan keluarga dibuka selama dua hari berturut-turut. Eyang dan anak-anak pun selalu datang, kecuali Sekar Tunggal yang menikah dengan Arifin Wardiman, seorang dosen ITB. Mereka khawatir akan membahayakan mata pencaharian Arifin kalau ketahuan bahwa mertuanya seorang tapol. Pada natal berikutnya, Watu Gunung datang bersama Tania istrinya dan membawa anak pertama mereka yang masih bayi. Nasti dan Atik pun tiap kali membawa kedua anaknya, Arnas dan Mia. Adanya larangan berambut gondrong bagi keluarga tapol saat berkunjung membuat Atik, Watu Gunung, Daya, dan Rino memangkas rambut. Bambang, adik ipar Watu Gunung, yang ikut ke Plantungan memilih tak ikut masuk karena enggan kehilangan rambut ikal berombak sebahunya. “Hampir setiap natal kami selalu datang mengunjungi ibu di Plantungan, sampai dibebaskan,” kata Nasti.
- Perjalanan Mencari Ayah yang Sah
Anastasia Nikoleavna, putri termuda raja terakhir Rusia, Tsar Nicholas II, diyakini selamat dari eksekusi yang menghabisi seluruh keluarganya. Tragedi itu terjadi pada 1918, hampir setahun setelah kaum Bolshevik merebut kekuasaan. Setelahnya banyak perempuan yang mengaku sebagai Putri Anastasia. Salah satu yang terkenal adalah Anna Anderson. Selama 70 tahun kontroversi menyelubunginya. Banyak pendukung yang menganggapnya sebagai putri Kaisar Romanov yang berhasil lolos. Ia pun kerap diundang dalam acara sosialita. Ada juga yang tak percaya klaim itu, tetapi tak punya bukti. Suatu ketika, penggalian di pemakaman massal Ekaterinburg, Rusia, ditemukan sisa-sisa rangka dari sembilan individu manusia. Sampel DNA diambil dari tulang belulang yang ada untuk kemudian dicocokkan dengan sampel darah dari keluarga Tsar yang masih hidup. Menariknya, DNA putra bungsu Tsar, Pangeran Alexei, dan Putri Anastasia tak teridentifikasi ada di antara rangka-rangka itu. Ini pun mendukung anggapan mereka yang percaya kalau sang putri berhasil selamat dari tragedi berdarah itu. Anna meninggal pada 1984.Tes DNA yang lebih berkembang akhirnya digunakan.Antropolog Terry Melton dari Pennsylvania State University dalam artikel “Establishing the Identity of Anna Anderson Manahan”yang terbit di laman Nature Genetics menjelaskan contoh jaringan milik Anna dari bekas operasinya di suatu rumah sakit digunakan sebagai bahan tes. Akhirnya diketahui kalau Anna tak punya hubungan darah dengan keluarga bangsawan Romanov. Alih-alih Putri Anastasia, ia dinyatakan sebagai buruh asal Polandia yang punya riwayat gangguan mental, Franziska Schanzkowska. Siapa ayahku? Pertanyaan ini mungkin sangat sulit dijawab seabad yang lalu. Waktu itu tes DNA belum populer. Uji DNA untuk menentukan asal usul seseorang berawal dari ilmuwan abad ke-19 dan ke-20 yang terobsesi dengan misteri pewarisan sifat melalui keturunan. Nara Milanich, sejarawan Barnard College dan penulis Paternity: The Elusive Quest for the Father mengatakan surat kabar pada masa itu ikut memicu kegilaan akan tes paternitas. Itu dengan meliput kisah-kisah tentang suami yang dikhianati, juga keturunan selebritas yang diragukan. Misalnya, pada 1920-an ada banyak kecemasan di wilayah Amerika Serikat kalau-kalau bayi mereka ditukar saat berada di bangsal bersalin di rumah sakit. Para hakim pun dibuat kebingungan karena harus memutuskan siapa orang tua yang sah dari bayi-bayi itu. Getaran Elektronik Laman How Stuff Works menjelaskan, beberapa orang lalu mulai membuat daftar ciri fisik berbasis ras, seperti ukuran hidung, bentuk telinga, dan tekstur rambut yang selalu diturunkan dari generasi ke generasi. Namun, ada yang lebih menggunakan imajinasi ilmiahnya pada 1920-an, yaitu Albert Abrams, dokter dari San Fransisco. Ia mengembangkan teori tentang sistem kelistrikan tubuh manusia yang disebut Reaksi Elektronik Abrams (ERA). Seperti banyak orang lain, Abrams meyakini kalau kunci untuk membuka misteri pewarisan sifat ada di dalam darah. Abrams pun menemukan alat yang disebut osilofor. Alat ini mengukur getaran elektronik dalam darah manusia. Misalnya, darah orang Irlandia bergetar pada 15 ohm. Darah orang Yahudi di 7 ohm. Metode ini kemudian disewa oleh Hakim Thomas Graham dari Pengadilan Tinggi San Fransisco. Ia menggunakan alat Abrams untuk menentukan hasil dari gugatan paternitas yang melibatkan seorang pria bernama Paul Vittori. Waktu itu Vittori menolak membayar tunjangan anak bagi seorang bayi perempuan yang tak diakui olehnya. Namun, mesin ajaib milik Abrams menemukan sebaliknya. Vittori rupanya adalah ayah si bayi. Kasus ini langsung menjadikan Abrams sebagai salah satu ahli per-ayah-an yang paling laris di dunia. “Jika kita berpendapat kalau tes darah elektronik ini gila dan menggelikan, mengapa hakim California menganggap ini adalah teknologi yang berguna?" tanya Milanich. Milanich meyakini penemuan Abrams mendapat banyak daya tarik, karena sistem hukum pada masa itu begitu menginginkan metode ilmiah untuk menyelesaikan misteri paternitas. Namun, tes ini menurutnya tidak akurat dan hanya menawarkan suasana tenang. Golongan Darah Pada 1930-an, para ilmuwan menemukan bahwa darah manusia benar-benar mengandung beberapa petunjuk tentang asal-usul seseorang. Ini bukan dari getaran elektronik, tetapi pengelompokan darah, atau yang dikenal sebagai golongan darah: A, B, AB, dan O. Golongan darah ini lebih pasti karena misalnya, bayi yang memiliki golongan darah AB dan ibunya punya golongan darah A, pasti darah ayahnya bergolongan B atau AB. “Akhirnya, para hakim dapat menggunakan sains yang sebenarnya untuk menentukan apakah seorang pria dapat secara realistis menjadi ayah seorang anak,” jelas Milanich. Tetapi , bahkan sains pun ternyata memiliki keterbatasan. Kendati bisa menentukan seseorang bukanlah ayah seorang anak, tes ini tak bisa digunakan untuk mengonfirmasi apakah seorang pria memang ayah seorang anak. Karena hal ini dan beberapa faktor lainnya , kata Jill Adams dalam “Paternity Testing: Blood Types and DNA” yang terbit di laman Nature , butuh waktu beberapa lama bagi sistem hukum untuk memercayai sistem golongan darah. Seiring waktu, penggunaan antigen darah tambahan, seperti sistem MN dan Rh, mempertajam penggunaan golongan darah untuk masalah paternitas dan forensik. Namun, sistem ini pun hanya 40 persen efektif untuk membuang kemungkinan seseorang pria sebagai ayah seorang anak. Pada 1970-an, munculah pengujian human leukocyte antigen (HLA). HLA adalah suatu protein yang ditemukan pada sebagian besar sel di tubuh manusia. Ia bertanggung jawab pada pengaturan sistem imun tubuh. Biasanya digunakan untuk proses pencocokan antara donor dan penerima donor pada proses transplantasi sel punca. HLA tidak sama dengan golongan darah meski sama-sama bersifat genetik. HLAmampu menyingkirkan kemungkinanlaki-laki sebagai ayah dengan efektivitas 80 persen. DNA Orang yang membuat terobosan adalah Oswald Avery, seorang ahli imunokimia asal Kanada di Rumah Sakit Institut Rockefeller untuk Penelitian Medis. Pada 1944, dia mengidentifikasi DNA sebagai prinsip transformasi atau sistem pewarisan sifat. Sebelumnya, Avery telah bekerja selama bertahun-tahun dengan bakteri yang bertanggung jawab atas pneumonia, pneumococcus . Ia pun menemukan bahwa jika pneumococcus yang hidup tapi tak berbahaya dikawinkan dengan bakteri yang lemah tetapi mematikan, bakteri yang tidak berbahaya akan segera menjadi mematikan. Avery pun bertekad mencari tahu zat mana yang bertanggung jawab untuk transformasi. Untuk itu, ia berkerja sama dengan ilmuwan lainnya, Colin MacLeod dan Maclyn McCarty. Mereka mulai memurnikan dua puluh galon bakteri. Avery lalu mencatat bahwa zat itu tampaknya bukan protein atau karbohidrat. Namun lebih merupakan asam nukleat, dan dengan analisis lebih lanjut, ia dinyatakan sebagai DNA. Pada 1944, setelah banyak pertimbangan, Avery dan rekan-rekannya menerbitkan sebuah makalah di Journal of Experimental Medicine , di mana mereka menguraikan sifat DNA sebagai “prinsip transformasi”. Meskipun makalah itu tidak banyak dibaca oleh ahli genetika. Seiring berjalannya waktu, DNA telah berkembang pesat. Laman Easy DNA menjelaskan di Amerika Serikat, kelima puluh negara bagian memiliki undang-undang yang memungkinkan pengujian DNA. Mereka pun memiliki lebih dari 150 laboratorium pengujian DNA. Di sana, mereka melakukan ribuan pengujian pribadi tentang siapa ayah mereka.
- Secuil Kisah Persahabatan Sukarno-Hatta
BAGI dwitunggal Sukarno dan Moh. Hatta, politik adalah jalan untuk mewujudkan idealisme. Karena itu, keduanya kerap berdebat bahkan hingga ketika sudah sama-sama tak muda. Namun bagi keduanya, politik tak boleh memasuki ranah kehidupan pribadi. Maka kendati perdebatan kerap mewarnai perjalanan keduanya dalam kehidupan bernegara, hubungan pribadi dan keluarga Bung Karno dan Bung Hatta selalu baik dan hangat. Persahabatan keduanya merupakan kisah manis dalam perjalanan sejarah bangsa. Banyak orang menjadi saksinya. Pengusaha Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang kemudian menjadi sahabat Bung Karno, merupakan salah seorang yang paling sering menyaksikan persahabatan kedua proklamator itu. Persahabatan Bung Karno dan Bung Hatta bahkan sudah lebih dulu ada sebelum Hasjim mengenal Bung Karno. Kisah itu terjadi pada 1938, ketika Hasjim mengerjakan tugas dari ayahnya yang menjadi pemegang proyek rehabilitasi jalan raya Bengkulu-Manna. Suatu hari, Hasjim mendapat telepon dari sang ayah yang mengatakan dirinya mendapat surat dari Bung Hatta di Banda Neira. Surat yang dibawa oleh orang Tionghoa rekan Bung Hatta dan ayah Hasjim itu memuat pesan Bung Hatta agar ayah Hasjim membantu keperluan Bung Karno selama di Bengkulu. Bung Hatta mendengar kabar Bung Karno dipindahkan tempat pengasingannya dari Ende ke Bengkulu. Mendapat tugas untuk menemui tahanan politik di masa itu merupakan masalah tersendiri. Hasjim lalu mengutarakannya kepada Raden Mas Rasjid, orang yang ditunjuk ayah Hasjim mengepalai proyek tersebut. Rasjid, yang ternyata kenal Bung Karno sejak di Bandung, lalu mempertemukan Hasjim dengan Bung Karno dua hari kemudian. Di rumah Bung Karno, Hasjim langsung disambut hangat sang tuan rumah. Dia langsung menjelaskan maksud kedatangannya. Namun alih-alih merespon maksud kedatangan Hasjim, Bung Karno justru menyatakan yang lain. “Wah, Hatta masih memikirkan aku. Tapi bagaimana dengan dia sendiri?” kata Bung Karno, dikutip Hasjim dalam memoarnya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Mereka pun terlibat obrolan panjang, mulai dari penjelasan hubungan saudara antara Hasjim dan Bung Hatta hingga hal-hal lain. Upaya pemberian bantuan Hasjim baru direspon Bung Karno setelah itu. “Aku perlu sepeda dan topi helm. Topi helm berwarna gading tua. Bukan cokelat,” kata Bung Karno. “Tak ada yang lain, Bung?” tanya Hasjim. “Tiga helai kemeja. Mereknya Van Huizen.” Tak berapa lama kemudian, Hasjim pun mewujudkan permintaan itu. Kebaikan itu tak pernah dilupakan Bung Karno. Saat keduanya kembali bertemu, pada masa pendudukan Jepang di rumah Bung Hatta di Oranje Boulevard 57, Bung Karno menceritakan itu semua di depan Hatta. Bung Hatta hanya berkomentar singkat dan datar. “Ya, kebetulan sekali ada seorang kenalanku, pedagang Cina yang waktu itu mau ke Palembang menemui kakeknya yang sedang sakit,” kata Bung Hatta. Jauh setelah itu, saat Indonesia sudah merdeka, Sukarno dan Hatta bahu-membahu menghadapi lawan-lawan politik baik dari luar maupun dalam. Toh, keduanya akhirnya berpisah jalan setelah Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden. Bung Hatta tidak setuju konsep Demokrasi Terpimpin yang diperjuangkan Bung Karno. Namun, hubungan pribadi keduanya tetap berjalan baik. PM Ali Sastroamidjojo, kawan kedua bung sejak muda, menuliskan kesaksiannya tentang itu dalam otobiografi berjudul Tonggak-Tonggak di Perjalananku . “Oleh karena saya mengenal baik Bung Karno maupun Bung Hatta sudah begitu lama, saya menghubungi mereka tidak sebagai Perdana Menteri, melainkan secara pribadi dan sebagai kawan lama. Lebih dahulu saya datang kepada Bung Karno,” kata Ali. Di rumah presiden, Ali menanyakan apakah keretakan Bung Karno dan Bung Hatta disebabkan sentimen pribadi. “’Saya anggap Hatta sebagai saudara kandung saya sendiri,’ kata Bung Karno, ‘yang saya tidak dapat menyetujui hanya pemandangan politiknya.’ Dari Bung Karno saya mengunjungi Bung Hatta, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sama seperti yang saya tanyakan kepada Bung Karno. Jawaban Bung Hatta pun hampir sama dengan jawaban Bung Karno,” sambung Ali. Hatta akhirnya tetap mengundurkan diri. Namun, fasilitas pengawalan dan penjagaan rumah tetap didapatkannya dari negara. “Bung Karno memerintahkan kepada saya agar Bung Hatta tetap dikawal seperti biasa,” kata AKBP Mangil Martowidjojo, komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden dan Wakil Presiden, dalam memoarnya Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 . “’Bung Hatta adalah seorang proklamator negara Indonesia,’ kata Bung Karno. Bung Karno juga berkata, ‘Presiden dan Wakil Presiden RI, dapat diganti setiap saat menurut kehendak rakyat, tetapi proklamator negara RI tidak dapat diganti oleh siapapun. Maka dari itu, jagalah Bung Hatta baik-baik, sebagai penghormatan bangsa Indonesia kepada Bung Hatta’,” kata presiden, dikutip Mangil. Namun, fasilitas itu ternyata hanya berjalan sampai pengujung 1959. Menteri Keamanan Nasional/KSAD Jenderal AH Nasution selaku pelaksana tertinggi UU Kedaan Darurat Perang memerintahkan penarikan pasukan penjagaan untuk Bung Hatta. Perintah itu dijalankan Mangil dan anak buahnya, mereka berpamitan kepada Bung Hatta pada 27 November. “Dalam acara pamitan ini maka Bung Hatta pesan kepada saya, agar Bung Karno dijaga baik-baik. Menurut Bung Hatta, Bung Karno adalah pemersatu bangsa Indonesia. ‘Tetapi kamu harus hati-hati kepada orang-orang yang mengelilingi Bung Karno’,” tulis Mangil. Mendengar hal itu dari Mangil, Sukarno pun amat kecewa. “Bung Hatta kan proklamator negara RI, Bung Hatta kan berhak mendapat kehormatan pengawalan,” kata Bung Karno.
- Tahi Gajah Pangeran Kamboja
BILA ada Duta Besar (Dubes) Indonesia yang paling bahagia menjalankan tugasnya pada masa 1960-an, barangkali orang itu ialah Boediardjo. Perwira AURI ini ditunjuk menjadi Dubes RI pertama berkuasa penuh untuk Kamboja pada 1965. Saat itu, Kamboja dipimpin oleh Pangeran Norodom Sihanouk. Sebelum berangkat, Presiden Sukarno berpesan kepada Boediardjo: “Kamu saya tugaskan untuk jadi duta besar di negara yang kepala negaranya adalah saudara saya,” demikian kata Sukarno kepada Boediardjo yang terkisah dalam otobiografi Boediardjo: Siapa Sudi Saya Dongengi. Menurut Boediardjo Pangeran Sihanouk adalah pengagum berat Sukarno yang ingin menerapkan ajaran Nasakom di Kamboja. Ketika bertugas di Kamboja, Boediardjo mendapati bahwa Pangeran Sihanouk merupakan sosok yang royal dan flamboyan. Sang pangeran suka mengajak para dubes pergi ke pegunungan, mandi ramai-ramai di alam bebas. Malam hari, Sihanouk main saksofon sementara para dubes disuruh berdansa sampai pagi. Menjelang pukul 4 pagi, para dubes disuguhi makan bakmi. Begitulah cara Sihanouk “memomong” para dubes di negerinya. “Gaya Sihanouk memerintah mirip raja-raja Jawa di masa lalu. Penduduk harus berjongkok dihadapannya. Sering melakukan kirab, raja naik mobil, melempar-lemparkan bingkisan, biasanya potongan kain untuk rakyatnya,” tutur Boediardjo. Sekali waktu, Boediardjo menyirami bunga di halaman KBRI hanya mengenakan kaos dan celana pendek. Tiba-tiba Pangeran Sihanouk melintas. Mobilnya diperlambat seraya memberi salam dengan menangkupkan tangan di dada. Boediardjo yang terkaget-kaget dan buru-buru melemparkan selang air lalu membalas salam sembahnya. Tidak lama kemudian, datang utusan Istana membagi-bagikan kain kepada pegawai-pegawai KBRI. Saban kali berkunjung ke Istana Kerajaan Kamboja (Royal Palace), Boediardjo membawa karangan bunga anggrek sebagai buah tangan. “Itulah tanda terimakasih padanya sebab saya telah memanfaatkan tahi gajahnya,” kata Boediardjo. Secara rutin, Boediarjo mengangkut kotoran gajah dari kandang istana. Tinja gajah itu dimanfaatkan menjadi pupuk anggrek di kebun KBRI. Boediardjo menjalani pekerjaannya sebagai dubes dengan menyenangkan. Selain bercocok tanam anggrek, dia juga doyan berburu wayang Kamboja yang bernilai tinggi karena langka. Gajinya sebesar US $1.100, cukup untuk membuka rekening bank di Swiss. Kehidupan di Kamboja murah meriah. Relasinya dengan Pangeran Sihanouk dan pejabat di Kamboja cukup baik. Pun demikian dengan kinerjanya dalam menjembatani hubungan diplomatik Indonesia-Kamboja, bisa dikatakan tidak bermasalah. Hanya saja Boediardjo hampir mendapat celaka ketika kurang teliti mempersiapkan kedatangan Presiden Soeharto ke Kamboja. Pada 1 April 1968, Soeharto mengadakan kunjungan diplomatik ke Kamboja. Ketika mendarat di Pnom Penh, rombongan Soeharto di sambut dengan lagu genjer-genjer, tembang rakyat yang identik dengan PKI. Boediardjo beruntung karena Soeharto tidak mengambil hati perihal keteledorannya. Malahan setelah menyelesaikan tugasnya sebagai dubes Kamboja, Boediardjo diangkat menjadi menteri penerangan dalam Kabinet Pembangunan I. Sewaktu akan pulang menuju Jakarta, Boediardjo memboyong serta wayang-wayang Kamboja dan mobil Volkswagen kesayangannya. “Kamboja memberi hikmah tersendiri bagi saya, sebagai bekal memasuki hari tua,” kenang Boediardjo.
- Ketika Sukarno Buang Muka
Ada kejadian menarik dalam acara pelantikan anggota DPR pekan yang lalu. Puan Maharani terpilih sebagai Ketua DPR. Sang ibu, Megawati Sukarnaputri yang juga mantan Presiden RI ke-5 datang menghadiri. Saat akan memasuki podium tempat undangan VVIP, Megawati terlihat melengos ketika beberapa orang tokoh hendak menyalaminya. Mereka yang dilewatkan Megawati adalah Surya Paloh, Ketua Partai Nasdem dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dari petinggi Partai Demokrat. Sikap buang muka Megawati bisa jadi soal perkara politik. Di masa kepresidenannya (2001—2004), Megawati pernah bersitegang dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tidak lain ayah AHY. SBY adalah salah satu menteri Megawati yang kemudian saling berlawan dalam pemihan presiden 2004. Sementara Paloh sebagai ketua umum Nasdem adalah sekutu PDIP dalam pemilu 2019 namun belakangan mulai bermanuver politik sendiri. Megawati saat Menolak Salaman dengan AHY dan Surya Paloh. dok: Kompas TV. Ibarat pepatah, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ayah Megawati, Sukarno, Bapak Proklamator yang juga Presiden RI pertama pun pernah berlaku demikian. Perlakuan Sukarno itu berbekas dalam memori dan kalbu seorang perwira bernama Ahmad Kemal Idris. Kemal Idris adalah perwira yang mengarahkan moncong meriam ke arah Istana Negara dalam peristiwa 17 Oktober 1952. Saat itu Kemal berpangkat mayor dan menjabat sebagai Komandan Resimen ke-7 Divisi Siliwangi. Menurut Kemal, aksi “koboy” nya itu dilakukannya atas perintah KSAD Kolonel Abdul Haris Nasution. “Yang dipersalahkan, sudah tentu, Nasution dan pasukan-pasukannya seperti saya dan beberapa perwira lain. Kami lalu diperiksa Kejaksaan Agung sampai beberapa hari,” ujar Kemal Idris dalam Memoar Senarai Kiprah Sejarah Jilid 3 . Peristiwa itu selesai dengan diberhentikannya Nasution sebagai KSAD. Beberapa perwira yang terlibat dalam peristiwa itu dikenai disiplin dan sanksi. Meski demikian, Bung Karno tampaknya masih memendam geram kepada Kemal Idris. Pada bulan November 1952, Sukarno mengumpulkan semua komandan resimen, komandan divisi, dan panglima teritorium ke Istana. Bung Karno berkeliling istana menghampiri para perwira. Sebagai tuan ramah, Sukarno beramah tamah dengan menyalami satu demi satu perwira yang hadir. “Tetapi tiba pada giliran saya, ia seakan-akan tidak melihat saya, sehingga tidak mengulurkan tangan untuk berjabatan. Saya dilewatkannya begitu saja.” Kenang Kemal Idris dalam otobiografinya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi . Perlakuan cuek Sukarno membuat Kemal Idris merasa terhina. Nelangsa bagi Kemal Idris belum cukup sampai disitu. Karier militer Kemal dikemudian hari ikut dibikin macet. Jabatannya sebagai komandan resimen dicopot. Jatahnya untuk sekolah komando ke luar negeri malah dialihkan ke perwira lain. Kemal hanya diberi tempat untuk dikaryakan di Departemen Pertahanan dan Keamanan. Ruang kerjanya ditempatkan jauh di belakang gedung, dekat dengan toilet. Karena frustrasi dan kecewa, Kemal sempat mengisi waktunya dengan berjudi. Pakar politik militer Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto mencatatKemal memang tidak kehilangan jabatan sebagai aksi pasang meriam itu. Tapi sejak itu, Kemal “dicatat” Sukarno sebagai musuh. Akibatnya, karier militer Kemal terhambat lama. Nasib baik menghampiri Kemal ketika dirinya dipindahkan ke Kostrad. Pada 1965, Kemal mendampingi Panglima Kostrad Mayjen Soeharto sebagai kepala staf. Sementara itu, kekuasaan Sukarno mulai goyah akibat gonjang-ganjing politik pasca meletusnya G30S. Ketika gerakan anti Sukarno kian menguat, Kemal Idris ikut ambil bagian. Kemal-lah yang melindungi para mahasiswa demonstran yang gencar menyerukan Sukarno turun. Puncaknya, Kemal mengirimkan pasukan liar tanpa identitas saat sidang kabinet digelar pada Jumat pagi, 11 Maret 1966. Pukulan balik dari Kemal Idris bikin Sukarno panik. “Pada 11 Maret 1966 Kemal berhasil memaksa Sukarno lari terbirit-birit meninggalkan sidang kabinet di Istana Negara Jakarta untuk pada malam harinya di Istana Bogor menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto,” tulis Salim Said. Inilah ihwal rontoknya kekuasan Sukarno. Lewat mandat Surat Perintah 11 Maret (Supersemar), Sukarno lengser dari tahta kepresidenan. Kemal Idris mengklaim perannya dalam peralihan kekuasaan itu. “Bayangkan, kalau saya menarik kembali pasukan itu, apakah Surat Perintah 11 Maret terjadi?” katanya penuh jemawa.
- Para Tapol dan Anjingnya
“Leo ini besok kita sembelih,” kata seorang tahanan politik (tapol) Pulau Buru kepada kawan-kawannya. “Oh jangan! Leo ini kalau masuk hutan, di depan ada ular dia cepet . Jangan, jangan Leo!” sergah majikan Leo. “Hercules kita potong,” usul yang lainnya. “Jangan Hercules!” seru majikan Hercules. Keributan pun terjadi. Setiap sebuah nama diajukan, selalu ada yang menolaknya. Leo, Hercules, dan nama-nama itu adalah nama anjing peliharaan para tapol Pulau Buru. Anjing mana yang akan disembelih besok, bisa menjadi topik perdebatan yang panas. “Jadi setiap kita mau potong anjing, perang!” kata Lukas Tumiso, seorang bekas tapol Pulau Buru yang kini tinggal di Panti Jompo Waluya Sejati Abadi, Jalan Kramat V, Jakarta Pusat. Lukas Tumiso ditahan di Pulau Buru sejak Agustus 1969 hingga Desember 1979. Laki-laki berusia 79 tahun ini masih bisa bercerita panjang lebar tentang kondisi Pulau Buru saat ia ditahan, tentang kisahnya menyelamatkan karya-karya Pramoedya Ananta Toer , hingga yang tak kalah menarik, tentang bagaimana para tahanan mendapat asupan daging. Salah satu sumber daging di kamp adalah dari anjing-anjing yang dipelihara di sana. Sayangnya, setiap anjing tentu saja punya cerita tersendiri bagi pemiliknya. Ada anjing yang ditemukan dalam keadaan pincang dan dirawat hingga sehat. Ada anjing diberi makan seperti anak sendiri, bahkan mendapat makanan lebih enak dari pemiliknya. Sehingga untuk menyembelih satu ekor anjing saja, mereka harus "perang". “Akhirnya kita buat arisan. Semua harus setuju arisan. Siapa yang enggak setuju? Kalau enggak , perang!” ujar Tumiso. Menurut Tumiso, kecintaan mereka terhadap anjing-anjing peliharaannya memang luar biasa. Urusan makanan misalnya, pemilik anjing seringkali mendahulukan anjingnya. Ketika mendapat ikan yang kecil-kecil, para tapol biasanya masih mencari-cari daging ikannya barang cuma secuil. Sedangkan mereka yang punya anjing langsung memberikannya kepada anjing peliharaannya. Bahkan beberapa pemilik mengunyahkan makanan untuk anjingnya agar si anjing menurut. “Nurutnya setengah mati, pinter, gemuk. Dia lebih cinta anjingnya, dia makan kuahnya aja. Daun singkong yang dihabisin, ikannya buat anjing,” ujar Tumiso. Sumber daging biasa didapat pula setiap peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Setiap tapol mendapat jatah daging dan bisa memilih daging yang mereka inginkan. Sapi, kambing, atau anjing. Satu ekor sapi, jelas Tumiso, cukup untuk 32 orang, satu orang biasanya mendapat satu rantang daging. Untuk satu ekor kambing, cukup untuk 12 hingga 16 orang, sama halnya dengan anjing. Tumiso seringkali memilih antrean paling sedikit agar mendapat daging lebih banyak. Sementara itu, barangkali karena banyak tapol yang menyayangi anjing, antrean daging anjing biasanya paling pendek. “Kambing ada 17, ah pindah sapi. Sapi, sapi berapa? Anjing? Anjing hanya 11 orang,” kata Tumiso, maka ia pun sering memilih antrean daging anjing.
- Antara Jawa dan Bali
Negara ini terletak di timur Ka-ling (Jawa), sebelah barat Mi-li-ju. Sebelah utaranya berbatasan dengan lautan. Di sana padi berbuah setiap bulan. Budayanya hampir sama dengan Ka-ling. Mereka memiliki huruf yang mereka tulis di atas daun lontar. Ketika seorang warganya meninggal dunia, mereka mengisi mulutnya dengan emas. Kaki dan tangannya dipakaikan gelang emas. Jenazahnya diberikan minyak kamper, kapur barus, dan minyak wangi lainnya. Setelahnya mereka menumpuk kayu, dan membakar jenazahnya. Pada 647 raja mereka mengirimkan utusan ke Tiongkok untuk membawa upeti yang berupa kain katun, gading gajah, dan cendana putih. Kaisar memberikan surat kekaisaran dan menghadiahkan berbagai barang. Begitulah Bali diberitakan dalam catatan Tiongkok masa Dinasti Tang (618-906). Dalam Sejarah Lama Dinasti Tang, ia disebut dengan nama Dva-ba-dan. Letaknya di selatan Kamboja dan berjarak dua bulan perjalanan laut. Dalam catatan Sejarah Dinasti Song (960-1279) utusan dari Jawa menyebut negara bernama Brahman. Negara ini disebut mereka sebagai negara tetangga. Menurut W.P. Groeneveldt, negara yang disebut Brahman itu telah diidentifikasi sebagai Bali. “Menarik untuk diingat bahwa pada 992 ketika utusan Jawa mengunjungi Tiongkok, orang-orang Jawa menyebut pulau itu negara Brahman,” jelasnya. Nama Brahman terus digunakan oleh orang-orang Tiongkok pada masa selanjutnya. Di sana mereka masih menemukan penganut Hindu, bahkan ketika orang Jawa sudah memeluk Islam. Jika menurut catatan Tiongkok Bali sudah dipimpin raja, sistem birokrasi kerajaan baru terbukti dalam prasasti pertama kali pada abad ke-10. Sejarah politik dan kebudayaan Bali kemudian didominasi oleh dinasti yang terkenal dengan sebutan Warmadewa. Keluarga raja-raja Warmadewa pertama kali muncul dalam sejarah pada 835 saka (913) dengan ditemukannya Prasasti Blanjong yang menyebutkan nama raja Cri Kesari Warmadewa. Ia diduga cakal bakal keluarga Warmadewa. Prasasti itu berkisah, pada 835 Saka (913) bulan Phalguna, seorang raja yang mempunyai kekuasaan di seluruh penjuru dunia b eristana di Keraton Singhadwala. Ia bernama Cri Kesari . Sang raja telah mengalahkan musuh-musuhnya di Gurun dan di Swal. Arkeolog Roedolf Goris dalam Prasasti Bali I berpendapat, yang dimaksud Gurun tak lain adalah Pulau Lombok. Sementara Swal harus dicari di luar Pulau Bali. Pada sisi lainnya (sisi B), prasasti itu meyebut gelar raja yang lebih lengkap yaitu Adhipatih Cri Kesari Warmadewa. Menurut berita di sana, prasasti itu didirikan untuk memperingati kemenangan sang prabu atas seluruh Walidwipa (Pulau Bali). Supratikno Raharjodalam Sejarah Kebudayaan Bali: Kajian Perkembangan dan Dampak Pariwisata menulis, sejak itu raja-raja Bali pun nampaknya mulai menjalin hubungan dengan raja-raja Jawa, mulai dari kemiteraan sampai kekerabatan melalui perkawinan, terutama sejak awal abad ke-11. Menurut arkeolog Universitas Udayana, Ida Bagus Sapta Jaya, dalam “Pemerintahan Keluarga Warmadewa di Bali Serta Hubungannya dengan Jawa Timur” yang terbit di Pusaka Budaya dan Nilai-nilai Religiusitas, hubungan antara keluarga Warmadewa dengan Jawa Timur telah dimulai sejak pemerintahan Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi pada 905 Saka (983). Sapta Jaya menyebut sang ratu yang tak menyandang gelar Warmadewa menimbulkan banyak interpretasi. Salah satunya pendapat epigraf asal Prancis Louis Charles Damais yang mengatakan kalau sang ratu adalah putri Mpu Sindok, penguasa Medang pada periode Jawa Timur, yang bernama Sri Isanatunggawijaya. Hubungan keluarga Warmadewa dengan Jawa Timur bertambah erat dengan adanya perkawinan antara Raja Udayana dan Mahendradatta. Ia adalah putri Raja Sri Makutawangsawarddhana, penerus kedua takhta Mpu Sindok. “Setelah kawin keduanya memerintah di Bali,” tulis Sapta Jaya. Kemudian, pada zaman pemerintahan Marakata (1022-1026), putra kedua Udayana, saudara kandungnya, Airlangga tengah berkuasa di Jawa Timur. Airlangga menikah dengan putri Dharmawangsa Thguh pada 1019. Ia dinobatkan menjadi raja Kahuripan menggantikan mertuanya. “Ini lebih memperjelas lagi bahwa hubungan antara keluarga Warmadewa dengan Jawa Timur sangat erat,” jelas Sapta Jaya. Namun, dalam perkembangan selanjutnya hubungan keduanya berubah menjadi dominasi raja-raja Jawa atas raja-raja Bali. Bentuk paling nyata dari dominasi itu adalah ketika pada abad ke-14 Kerajaan Bali di Bedahulu ditaklukkan Majapahit. Gajah Mada dan Adityawarman yang memimpin tentara Majapahit menyerang Pulau Bali. Sebagai pulau yang paling dekat dengan Jawa, menurut Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama , Bali merupakan wilayah pertama di luar Jawa yang ditaklukkan Majapahit setelah Gajah Mada mengumandangkan sumpahnya yang terkenal itu. “Raja Bali yang hina dan jahat diperangi bala tentara Majapahit dan semua binasa. Takutlah semua pendurhaka dan pergi menjauh,” catat Mpu Prapanca dalam Nagarakrtagama .
- CIA Menyadap Angkatan Darat
HOWARD Jones, duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, ingin pensiun pada 1964. Namun, Presiden Sukarno mencegahnya. Ini membuktikan eratnya hubungan mereka. Saking dekatnya, sampai disebut tak ada seorang asing pun yang lebih erat hubungannya dengan Sukarno daripada Howard Jones.
- Tuntutlah Kiprah sampai ke Negeri Cina
MATANYA masih awas. Gerakan para anak didiknya yang tak sesuai instruksinya akan langsung tertangkap olehnya. Kalau sudah begitu, dia buru-buru ke tengah lapangan untuk mengoreksi dan menyampaikan ulang instruksi. Begitulah kesibukan Liang Tjiu Sia saat menerima Historia di lapangan Pola Bugar Sport Club, Kedoya, 25 September 2019. Di masa senjanya, Liang Tjiu Sia kini sekadar melatih privat. Kendati matanya masih awas, kondisi kesehatannya menurun terutama sejak menjalani operasi kanker payudara pada 2015. Usia juga mempengaruhi daya ingatnya. Terlebih jika mengingat hal yang berkaitan dengan angka. Soal kapan dia mendapatkan kewarganegaraan, misalnya. “Aduh, kapan ya. Sudah lama banget soalnya. Nanti saya cek dokumen di rumah,” katanya kepada Historia . Tak berapa lama usai pertemuan itu, ia mengirim dokumen Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI)-nya, bertahun 1989. Butuh empat tahun baginya untuk memperjuangkan dokumen status kewarganegaraan itu. Ia memulainya sejak pulang ke Tanah Air pada 1985. Terpaksa Hengkang ke Cina Lahir di Cirebon, 9 September 1950, Cik Sia merupakan anak keempat dari lima bersaudara. Ayahnya, Liang Tjiok Lin, merupakan pedagang kecil. Ibunya, Tjwa Pek Nio, ibu rumah tangga yang sekali-sekali membantu suami berdagang. Kakak pebulutangkis legendaris ganda putra Tjun Tjun (Liang Tjun Sen) itu berkenalan dengan bulutangkis lantaran profesi ayahnya di luar berdagang. “Papa saya jadi pengurus sebuah perkumpulan. Jadi ada gedung gede yang biasa dipakai untuk olahraga oleh perkumpulan itu. Ada tenis meja, ada bulutangkis, kadang juga dipakai untuk pernikahan. Saya sering lihat orang-orang gede main. Dari situ saya ikut-ikutan main,” kenang Tjiu Sia. Kendati Sia (kadang dituliskan Liang Qiuxia/Liang Chiu Hsia) tak ingat apa nama perkumpulan itu, dari situ ia belajar bulutangkis secara mandiri. Tiada yang melatih. Lawan tanding pun lazimnya yang lebih tua darinya. Raket kayu yang pada 1950-an masih jadi barang mahal, hanya punya satu untuk dipakai ramai-ramai oleh saudara-saudaranya, termasuk Tjun Tjun. “Sampai 1963 baru sering terjun di kejuaraan-kejuaraan lokal. Saya enggak ikut klub, ikut sendiri. Enggak ada klub-kluban saat itu. Sampai jadi juaranya Cirebon dan Jawa Barat saat itu lah. Saat ada tim dari Cina main ke Indonesia, di Jakarta sama Bandung, untuk pertandingan persahabatan. Kan waktu itu hubungan (RI) dengan Cina kan masih bagus ya. Saya ikut diundang main di Bandung mewakili Jawa Barat,” tambahnya. Liang Tjiu Sia memberi arahan pada anak didiknya. (Fernando Randy/Historia). Usianya saat itu baru menginjak 13 tahun. Namun skill -nya di atas rata-rata orang seusia. Hal itu membuat ofisial tim Cina, menurut Sia, kesemsem padanya saat meladeni para pemain Cina. Cara mainnya dianggap beda dari pemain putri Indonesia lainnya. Sontak, ia ditawarkan untuk berlatih di Cina. Tawaran itu menggoda hatinya kendati di sisi lain dia juga gusar karena bakal jauh dari keluarga bila menerimanya. Tawaran itupun ia diskusikan dengan kedua orangtuanya. “Orangtua sih sedih ya. Mikirin pergi ke sana, enggak tahu kapan bisa baliknya (ke Indonesia). Memang dari dulu orangtua kasih bebas ya. Enggak diatur harus pilih (jalan hidup) apa. Hanya diajarin mandiri sama orangtua,” ujar Sia. Tiga tahun setelah datangnya tawaran itu, Sia memutuskan ke Cina. Ada faktor keterpaksaan. Sekolah Tionghoa yang ia ikuti ditutup menyusul maraknya sentimen rasial pasca-Peristiwa 1965. Etnis Tionghoa disudutkan secara politis. Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia mencatat, Tjiu Sia hengkang ke Cina pada 1966 untuk meneruskan sekolah khusus olahraga hingga lulus pada 1972 sampai masuk pelatnas tim Cina. Namun dari ingatan Tjiu Sia, usahanya tak sesingkat itu. Turun ke Sawah dan Terjebak Revolusi Kebudayaan Setelah mendapat paspor Cina dan digratiskan semua fasilitas (sandang, pangan dan papan), dimulailah masa “jungkir balik” Sia. Didikan keras mewarnai hari-harinya sejak dari sekolah olahraga di Hunan hingga masuk seleksi pelatnas Cina di Beijing. “Di sana latihannya benar-benar serius dan berat. Tapi ya saya ke sana untuk banggakan orangtua,” ujarnya. Semasa di Hunan, ia sebagaimana para siswa lain tak hanya digembleng bulutangkis tapi juga diwajibkan keluar dari sekolah untuk turun ke sawah guna membantu sektor pertanian. Utamanya saat musim tanam dan musim panen. “Benar-benar jadi petani di pedesaan. Tidurnya di kandang kebo (kerbau, red .). Di Cina itu semua mesti turun ke bawah bantu petani. Ya menanam, ngarit , giling padi. Mikul padi,” lanjutnya. Beratnya hari-hari yang harus dilalui Sia bertambah ketika Revolusi Kebudayaan digerakkan Deng Xiaoping pada 1966-1976. “Di Cina kan itu ada Revolusi Kebudayaan. Di mana-mana sudah tembak-tembakan. Saya juga pernah dikasih senjata panjang (senapan), dilatih menembak, melempar granat yang masih ada sumbunya; tinggal ditarik terus dilempar. Agak kacau sih, tapi latihan tetap jalan terus,” kata Sia mengenang. Beruntung hingga revolusi selesai, Sia tak sempat terlibat baku tembak. Setelah masuk ke pelatnas di Beijing, Sia menerima porsi latihan yang lebih intens. Namun itu belum cukup untuk memenuhi ambisinya jadi andalan tim putri Cina. Ia pun sering menambah latihan sendiri. “Saya selalu cari latihan yang tersusah, tercapek. Maunya latihan semua kekuatan dihabisin. Mau gimana lagi? Di sana saingannya banyak. Kalau latihan fisik lari, saya enggak mau sampai dikejar teman. Saya harus selalu lebih cepat. Kalau lagi jenuh, kadang ya ikut main basket atau tenis meja dengan teman-teman lain,” tambahnya. Sempat bolak-balik melatih pelatnas PBSI, kini Liang Tjiu Sia menghabiskan masa senja mengajar privat. (Fernando Randy/Historia). Selain untuk menunjang performa, latihan lebih yang dilakukannya di sisi lain juga memberinya kesempatan bisa lebih sering berlaga di luar Cina sehingga lebih terbuka kesempatan untuk melepas rindu dengan sang adik, Tjun Tjun, yang jadi andalan ganda putra Indonesia. Bukan rahasia bila Sia memendam kerinduan besar pada keluarganya di Cirebon. “Kalau kangen setengah mati. Kalau saya bisa lari tiga hari tiga malam enggak makan untuk pulang, mau deh saya pulang. Bersurat jarang. Hubungan Cina dengan Indonesia lagi susah. Tapi saya punya tekad untuk jadi nomor satu di sana. Kalau enggak begitu, saya enggak bisa keluar (Cina) dan ketemu keluarga,” kata Tjiu Sia. Pada 1974, latihan keras Sia berbuah dengan dijadikannya dia sebagai andalan di nomor tunggal maupun ganda putri tim Cina. Medali emas ganda putri Asian Games 1974, Kejuaraan Asia 1976, dan Asian Games 1978 merupakan sedikit bukti dari prestasinya. Di kejuaraan-kejuaraan itu pula Sia sering dibujuk Tjun Tjun untuk pulang ke tanah air. “Kalau pas saya wakilin Cina dan adik saya wakilin Indonesia, sering ketemu. Ya di Teheran (Iran, Asian Games 1974) di Bangkok (Thailand, Asian Games 1978). Kalau ketemu, (saya) titip surat atau titip barang,” kata Sia. Setelah dipersunting seorang Zhang Dayong, pebalet Hong Kong, Sia keluar dari pelatnas Cina dan pindah ke Hong Kong pada 1979. “Dulu dia teman dari teman saya. Sering dia nonton pertandingan bulutangkis. Lalu ada teman saya yang kenalin. Akhirnya kita menikah tahun 1979 itu juga,” kenang Tjiu Sia. Sia menghabiskan waktunya di Hong Kong dengan melatih privat dan tim bulutangkis Hong Kong. Rutinitas itu berjalan sampai tahun 1985 ketika Sia ditemui Menpora Abdul Gafur. “Tahun 1985 ada permintaan dari Pak Gafur. Awalnya dia nanya adik saya (Tjun Tjun) soal apakah saya mau jadi pelatih di Indonesia. Lalu adik saya tanya langsung ke saya. Ya sudah, saya mau, terus Pak Gafur ke Hong Kong nemuin saya. Lalu surat-surat diberesin di Kedutaan (Indonesia) di Hong Kong. Saya masuk (Indonesia) dengan paspor waiting list . Masuk Indonesia kan enggak gampang. Menterinya minta sama Pak Harto, sama Bakin, baru dapat surat izin,” kata pelatih putri PBSI yang akhirnya melahirkan srikandi-srikandi bulutangkis macam Susy Susanti itu.
- Jejak Perjuangan Bangsa di Stadion VIJ
Tahun 2018 menjadi momen yang cukup indah bagi Persija. Dua Gelar juara berhasil diraih : Piala Presiden dan Liga Indonesia. Pesta pun digelar di jalanan utama Ibukota. Bahkan mereka hampir meraih gelar ketiga. Tapi mereka takluk oleh PSM Makassar di final Piala Indonesia. Pesta pun urung digelar. Para pemain dari tim Rantau FC bersiap sebelum berlatih di stadion VIJ. (Fernando Randy/Historia). Berdiri sejak 1928, Persija mempunyai sejarah panjang. Sebuah stadion menjadi saksi bisu lahirnya tim kebanggaan kota Jakarta ini. Letak stadion tersebut berada di Petojo, Jakarta Pusat. Kawasan ini sekarang padat penduduk dan banyak bangunan berhimpit. Nama stadionnya merujuk pada nama lama Persija, Stadion Voetbalbond Indonesia Jacatra (VIJ). Karat yang terdapat pada setiap besi di stadion VIJ. (Fernando Randy/Historia). Dibangun pada 1928, tadinya nama stadion VIJ adalah Lapangan Petojo. Di balik sejarah stadion VIJ, tergurat nama tokoh Pergerakan Nasional, Mohammad Hoesni (M.H.) Thamrin. Dia figur penting dalam sejarah VIJ dan sepakbola kota Jakarta. Para pemain tim Rantau FC saat beraksi di stadion VIJ. (Fernando Randy/Historia). Thamrin menggunakan sepakbola sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial. Tidak tanggung-tanggung, dia keluarkan uang sebesar 2000 gulden (sekarang senilai Rp 170 juta) untuk memperbaiki Lapangan Petojo. Tujuannya agar pemuda anak negeri mempunyai stadion layak pakai untuk menggelar kompetisi. Sepinya penonton seakan menjadi saksi VIJ mulai tak lagi dilirik oleh berbagai tim sepakbola. (Fernando Randy/Historia). Thamrin berharap, tumbuhnya kompetisi sepakbola anak negeri akan membuat klub VIJ mampu bersaing dengan klub milik orang Belanda, Nederlandsch Indie Voetbal Bond, yang melarang anak negeri bergabung ke klubnya. Dan pada gilirannya, ide-ide kebangsaan juga akan ikut tumbuh dari lapangan sepakbola. Persites tim asal Kalimantan menjadi salah satu tim yang rutin berlatih di VIJ. (Fernando Randy/Historia). Namun sayang, Stadion VIJ sekarang sangat tidak terawat. Papan skor rusak dan patah, kontur lapangan tidak ideal, tanahnya bergelombang, dan rumputnya mulai botak. Seakan menutupi keanggunan Stadion VIJ pada masa lampau. Kerusakan di sana-sini memaksa pengelola mengalihkan stadion VIJ untuk berbagai fungsi. Tidak lagi hanya digunakan untuk bermain sepakbola, tetapi juga disewakan untuk acara musik dan pesta pernikahan. Ada sedikit keuntungan, tapi tidak mampu menutup biaya perbaikan sehingga mengurangi minat orang bermain bola di sini. Kondisi papan skor di stadion VIJ yang sudah rusak dan tidak terawat. (Fernando Randy/Historia) Di tengah pemukiman padat penduduk, hingga sisa mural tentang pemain sepakbola menjadi hiasan dan cerita bagi stadion VIJ. (Fernando Randy/Historia). “Ya, sekarang sudah tidak sebanyak dulu yang bermain sepakbola disini. Dulu saat saya kecil, hampir tiap hari ada yang main sepakbola di sini. Timnya macam-macam. Sekarang paling hanya Sekolah Sepak Bola Atamora, Tim Rantau FC, dan Persites,” ujar Roby (60) yang bekerja sebagai tukang parkir VIJ. Kualitas rumput yang tidak begitu bagus, menjadi salah satu alasan VIJ mulai sepi peminat. (Fernando Randy/Historia). Ironis. Tempat yang menjadi cikal bakal Persija Jakarta, kini telah kehilangan pesona. Tempat yang dulu melahirkan banyak bintang sepakbola Indonesia, kini sudah ditinggalkan. Tempat yang dulu menarik Bung Karno untuk datang menyaksikan pertandingan antara VIJ vs PSIM pada 1932, kini mulai dilupakan. Bagian stadion yang tampak tak terawat di stadion VIJ. (Fernando Randy/Historia). Apapun kondisinya saat ini, VIJ akan tetap dicatat sebagai salah satu tempat bersejarah. Perjuangan bangsa Indonesia menggapai kemerdekaan ternyata bukan hanya dengan senjata, tetapi juga melalui sepakbola. Banyak anak-anak memakai kostum sepakbola di lingkungan VIJ, salah satu bukti sepakbola masih begitu dicintai di Petojo. (Fernando Randy/Historia).
- Kesaksian di Teuku Umar 40
JAKARTA, 1 Oktober 1965. Rumah kediaman Menteri Kepala Staf Angkatan Bersenjata Jenderal A.H. Nasution di Jalan Teuku Umar No.40 dibekap sepi pagi buta itu. Beberapa prajurit nampak masih terkantuk-kantuk di pos jaga, ketika satu regu pasukan berseragam Resimen Tjakrabirawa (Pasukan Pengawal Khusus Presiden Sukarno) menyergap mereka secara tiba-tiba. “Kami lucuti senjata-senjata mereka dan secara baik-baik komandan kami Pembantu Letnan Satu Djahurup mengatakan agar mereka tidak melawan, karena kami datang terkait dengan perintah langsung dari Presiden Sukarno selaku Panglima Tertinggi ABRI,”kenang Soelemi, eks anggota Tjakra (sebutan untuk Resimen Tjakrabirawa). Usai mengamankan para penjaga, Sersan Satu Soelemi memimpin dua rekannya (Prajurit Kepala Hargijono dan Kopral Kepala Soemardjo) merangsek ke ruangan depan rumah Jenderal Nasution. Dia lantas memutar tangkai pintu. Klik, ternyata pintu tak terkunci sama sekali. Aksi dilanjutkan oleh Soelemi dengan mengetuk pintu kamar Jenderal Nasution secara pelan. “Saya berusaha berlaku secara baik-baik memperlakukan seorang panglima, kami jelas bukan sekelompok garong yang harus mendobrak langsung pintu kamar Pak Nasution,” ungkap Soelemi. Beberapa detik kemudian, terdengar seseorang membuka pintu kamar. Namun entah kenapa, tetiba pintu tersebut dibanting secara keras dan langsung dikunci kembali. Soelemi panik. Insting tentara-nya mengatakan bahwa target akan melakukan perlawanan. Maka diperintahkannya Hargijono untuk membuka paksa pintu dengan cara menembak bagian tangkai pintu. Tretetetetett! Stengun milik Hargijono pun menyalak. Begitu tembakan berhenti, Soelemi langsung menendang pintu dan langsung merangsek masuk kamar. Mereka mendapatkan Johanna Sunarti, istri Nasution, tengah berdiri dalam jarak sekitar 6 meter sambil memangku putri bungsunya, Ade Irma Suryani Nasution. Tubuh Sunarti terlihat gemetar. “Pak Nasution di mana?!” tanya Soelemi “Ada urusan apa dengan Pak Nasution?!” Sunarti malah balik bertanya. “Urusannya Bu, Pak Nasution harus menghadap Presiden pagi ini juga karena ada masalah penting!” “Pak Nasution tidak ada di rumah!” Ketiga prajurit Tjakra itu tertegun. Beberapa menit sebelumnya, mereka mendengar suara rentetan senjata Brengun dari arah depan rumah. Solemi sempat berpikir, apakah tembakan itu berasal dari Brengun rekannya (Kopral Sardjo) yang ditujukan kepada Nasution? Tanpa banyak bicara mereka kemudian bergegas keluar dan memberitahu Djahurup bahwa Nasution sudah tak berada di kamarnya lagi. Karena keterbatasan waktu, Djahurup memutuskan untuk menyudahi operasi. “Priiittt!!!” bunyi peluit tanda berakhirnya operasi pun ditiup oleh Djahurup. Suaranya terdengar nyaring memecah kesunyian Jakarta di pagi buta itu. Puluhan orang bersenjata kemudian muncul dari setiap sudut rumah Nasution. Mereka lantas kembali menaiki kendaraan masing-masing: 3 truk dan dua jip, dengan membawa serta ajudan Nasution, Letnan Satu Piere Tandean. Cepat sekali mobil-mobil militer itu meluncur ke arah timur Jakarta, meninggalkan asap dan debu yang berterbangan, mengotori kesejukan kawasan Menteng. Kemudian sunyi kembali membekap. * BEBERAPA jam sebelumnya. Hawa panas mendera, nyamuk-nyamuk mengganas. Sunarti lantas bangkit dari ranjang, lalu duduk di sebuah dipan. Dia memandangi suaminya yang sedang sibuk mengusir nyamuk-nyamuk yang tengah berpesta di atas tubuh Ade Irma. Saat itulah dari arah depan rumah, mereka mendengar suara gaduh dan beberapa kali letusan tembakan. Sunarti bergegas keluar kamar dan langsung membuka kunci pintu depan. Begitu melihat rombongan tentara berseragam Tjakra di depan rumahnya, hatinya langsung tercekat. Pikiran buruk pun muncul. Tanpa mengunci kembali pintu utama, dia kembali ke kamarnya, memberitahu sang suami tentang keadaan di luar. “Saya menjadi heran, mengapa Cakrabirawa yang datang?” pikir Sunarti seperti dikutip oleh koran Berita Yudha , 6 Oktober 1965. Sunarti memohon agar Nasution tidak keluar kamar. Dia menyatakan bahwa dirinya memiliki perasaan jelek dengan kedatangan Tjakra. Ade Irma yang terbangun karena suara pembicaraan kedua orangtua-nya, lantas menghampiri Sunarti dan berdiri di dekatnya. Merasa kurang percaya dengan keterangan istrinya, Nasution memutuskan untuk keluar kamar. “Saya akan bicara sendiri dengan orang-orang itu,” ujar Nasution dalam otobiografinya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid VI: Masa Kebangkitan Orde Baru. Kendati dihalang-halangi oleh Sunarti, Nasution tetap memaksa untuk keluar. Begitu membuka pintu kamar, alangkah terkejutnya Nasution ketika didapatkannya para prajurit Tjakra sudah berada di depan pintu kamarnya. Refleks, dia membanting pintu kamar. Beberapa detik kemudian terdengar rentetan tembakan menyalak. Nasution spontan bertiarap, sementara dengan susah payah, Sunarti menguci pintu. “Beberapa Cakrabirawa menggasak pintu dengan senjata, sampai retak-retak,” ungkap Nasution. Mendengar kegaduhan di kamar anaknya, Zahara Lubis dan Mardiyah (saudara perempuan Nasution) ikut terbangun. Lewat kamar sebelah yang ada pintu penghubungnya, Mardiyah lantas mengambil Ade Irma dengan maksud menyelamatkan bocah itu ke tempat lain. Tetapi karena gugup, Mardiyah salah jalan. Dia justru menuju ruangan di mana terdapat beberapa prajurit Tjakra. Begitu pintu dibuka oleh Mardiyah, langsung disambut rentetan tembakan yang mengenai punggung Ade Irma. Dengan agak nekad, Sunarti lantas menutup pintu itu kembali dan langsung menguncinya. Berondongan peluru kembali menghujam pintu. Dua butir peluru menyerempet tubuh Sunarti: satu mengenai kulit kepalanya, satu lagi mengenai permukaan dadanya. Tanpa mengindahkan maut yang menyasar dirinya, Sunarti menarik Nasution untuk lari keluar kamar. Melalui kamar sebelah dan lorong di depan toilet, Nasution lari menuju ke samping rumah. “Saya naik ke tembok. Dari atas tembok saya menoleh, dan baru jelas betul bahwa anak perempuan saya Ade terkena tembakan di bagian punggungnya,” kenang Nasution. * NASUTION sudah berada di atas tembok pembatas rumahnya dengan gedung Kedutaan Besar Irak, ketika menyaksikan buah hatinya berlumuran darah. Hatinya tercekat sekaligus pilu. Hampir saja dia turun kembali untuk menghadapi para prajurit Tjakra itu. Namun Sunarti mencegahnya. “Selamatkan diri! Selamatkan diri!” ujar Sunarti. Seiring ucapan Sunarti, tetiba terdengar serentetan tembakan. Nasution cepat tersadar dan langsung meloncat ke halaman Kedubes Irak. Terdengar kemudian prajurit yang menembaknya setengah berteriak berbicara kepada kawan-kawannya. “Ada orang lari ke sebelah, saya tembak tidak kena, pelurunya kurang ke bawah!” Nasution memilih tumpukan drum di pekarangan Kedubes Irak untuk tempat persembunyiannya. Orang-orang bersenjata itu seperti tak memiliki nafsu untuk masuk ke pekarangan gedung tersebut. Bisa jadi mereka tahu jika terus merangsek ke gedung itu maka akan menimbulkan masalah diplomatik antara Indonesia dengan Irak. Menjelang jam 5, Nasution mendengar lengkingan peluit berbunyi. Para penyerbu itu pun pergi dalam hitungan menit. * Sejarah kemudian mencatat, Jenderal A.H. Nasution lolos dari dari incaran grup Pasopati, nama kelompok yang ditugaskan untuk ”menjemput”nya. Dia bahkan bersama Letnan Jenderal Soeharto, masih sempat memukul balik Gerakan 30 September-nya Letnan Kolonel Oentoeng Sjamsoeri, bahkan memberangus kekuatan PKI dan menurunkan Sukarno sekaligus menyapu para loyalis-nya dari pemerintahan . Nasution memang menjadi satu-satunya target yang selamat dari “kegilaan” di Lubang Buaya. Namun untuk itu, dia harus rela kehilangan putri bungsunya, Ade Irma Suryani Nasution. Mengenai tertembaknya Ade ini, Soelemi memiliki versi lain. Menurutnya, Ade terluka parah karena pantulan peluru Stengun yang dimuntahkan dari senjata Hargijono, saat berusaha membongkar pintu kamar Nasution yang terkunci. “Saya bersumpah Demi Allah, kami tidak secara sengaja menembak putri-nya Pak Nas. Kami fokus kepada Pak Nas saja. Setelah tahu dia lolos, ya kami langsung pergi,” papar Soelemi kepada saya dua tahun yang lalu. Soelemi sendiri harus menebus secara setimpal akibat menjalankan “tugas” yang diembannya itu. 13 tahun lamanya (1965-1978), dia harus menjadi penghuni Rutan Salemba, termasuk beberapa bulan mendiami “neraka” bernama Kapal Selam. Itu julukan dari para penghuni Rutan Salemba untuk tempat isolasi yang berada di Blok N. Di Kapal Selam dia harus melupakan dirinya adalah manusia. Di ruangan yang hanya cukup untuk tidur dan membuang hajat itu, dirinya pernah selama berbulan-bulan hanya bisa duduk dan berbaring karena tinggi ruangan yang gelap itu sama sekali tidak memungkinkan seorang manusia untuk berdiri. Selama berbulan-bulan juga dirinya harus puas menahan rasa lapar dengan nasi basi bercampur bangsal (beras yang dimasak dengan kulit-kulitnya) tanpa air minum sama sekali. “Terpaksa saya minum air comberan atau malah air kencing sendiri,” kenangnya dalam nada pahit. Eks prajurit Tjakra itu menghabiskan waktunya di Blok N dengan berteman tikus-tikus got, kecoa, cicak dan kelabang yang kadang harus dia santap. Tumpukan kotoran dan genangan air seni sendiri sudah tak digubrisnya. Penyakit kulit dan pencernaan jadi langganan dia sehari-hari. Namun semua dijalaninya secara tabah. Dia sadar, semua itu sudah menjadi resiko hidupnya. "Saya sudah menyerahkan semuanya: harga diri, rasa sakit,dan masa depan saya kepada mereka, demi menebus apa yang pernah saya lakukan sebagai seorang tentara yang harus melaksanakan perintah atasan. Saya ikhlaskan semua. Tapi memaksa saya untuk mengakui sebagai komunis, sampai mereka membuat saya mati tak akan saya lakukan.Bukan apa-apa, karena memang saya tak pernah merasa menjadi seorang komunis..." ungkap Soelemi. Matanya menerawang seolah sedang menyaksikan masa lalunya.






















