top of page

Sejarah Indonesia

Peliknya Menjalin Komunikasi Dengan Tapol

Peliknya Menjalin Komunikasi dengan Tapol

Ketika suasana pasca-G30S masih mencekam penangkapan masih berjalan, banyak keluarga memilih lepas kontak dengan anggota keluarga yang jadi tapol. Berubah setelah situasi membaik.

Oleh :
8 Oktober 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Mia Bustam (berkebaya duduk sebelah kanan di antara dua anak lelakinya) dalam kunjungan Natal di Wirogunan. Sumber: Koleksi pribadi Sri Nasti Rukmawati.

SEMENJAK ditahan pada November 1965, Pelukis Lekra Mia Bustam  lepas kontak dengan anak-anaknya. Di awal masa penahanan tersebut, anak-anak Mia hidup dalam bayang-bayang teror. Mereka tak berani mengunjungi atau menghubungi ibunya yang ditahan di Vredeburg kemudian dipindah ke Wirogunan pada April 1966.


“Tahun 1965-67 itu orang masih takut mau mengunjungi keluarganya. Maka saya sangat berterima kasih kepada orang-orang yang berani mengirimi ibu makanan karena waktu itu butuh keberanian besar,” kata Sri Nasti Rukmawati, anak kedua Mia Bustam, pada Historia.


Selain kondisi politik masih mencekam, anak-anak Mia Bustam tak bisa menjenguk ibunya karena dipusingkan oleh urusan memenuhi kebutuhan hidup. Jangankan mengirimi ibunya makanan, untuk bertahan hidup enam anak Mia pun sudah amat sulit. Tedja Bayu, anak tertua, sudah tertangkap sebelum ibunya. Nasti, anak kedua yang berumur 18 tahun, mengungsi ke rumah kerabat karena ketakutan. Yang bertahan di rumah hanya 6 anak yang masih usia sekolah, yakni Watu Gunung, Sekar Tunggal, Sri Shima, Daya, Gawe, dan Rino.


Kiriman makanan untuk Mia justru datang dari istri-istri guru di Seniman Indonesia Muda. Mbakyu Pardal dan Jeng Salam, begitu Mia menyebut keduanya dalam bukunya Dari Kamp ke Kamp. Kedua rekan Mia itumengunjunginya Wirogunan pada H-1 Lebaran 1967. Kala itu, para tapol diperbolehkan menerima kunjungan. Namun sayang, keduanya tak bisa menemui Mia karena pintu los koper keburu ditutup. Mia pun hanya bisa menerima bingkisan mereka saja. Kunjungan pertama Mia selama menjadi tapol kemudian datang dari saudara sepupunya sekeluarga.


Nasti mulai berani mengunjungi ibunya di Wirogunan pada 1969, ketika kondisi Yogyakarta sudah sedikit lebih aman. Kala itu, kenang Mia, Nasti datang membawa calon suaminya, Atik Rubino, berserta Sekar Tunggal dan eyang. Pada kesempatan berikutnya, Nasti, eyang, dan Tunggal datang ke Wirogunan untuk memberitahu bahwa Tedja Bayu akan diberangkatkan ke Pulau Buru. Ketika Mia ditahan di LP Bulu dan hendak dipindahkan ke Plantungan, Nasti dan saudara lainnya kembali mengunjungi Mia untuk memberi perbekalan.


“Ketika ibu ditahan di Wirogunan, kami bukan orang berlebih dan kondisi politiknya pun mencekam. Kalau di Plantungan sudah agak mendingan, kami baru berani kirim makanan dan bisa melakukan kunjungan,” kata Nasti.


Ketika di Plantungan, biasanya sebulan sekali Mia menerima kiriman dari keluarga. Seringkali berupa makanan dan surat dari Nasti. Pernah pula ia menerima kiriman buku tuntunan merangkai janur dari Mimies, adik Mia. Sayangnya, Mia tak pernah menerima buku itu. Menurut kawan Mia, buku tersebut mulanya dipinjam oleh komandan kamp untuk diberikan pada keponakannya yang eks-tapol dan masih menganggur. Mendengar alasan itu, Mia pun mengikhlaskannya dan tak merisaukan benar-tidaknya keponakan komandan itu.


Selain kiriman, kunjungan keluarga juga diperbolehkan dengan durasi satu jam. Ketika hari besar, seperti Natal, kunjungan keluarga dibuka selama dua hari berturut-turut.


Eyang dan anak-anak pun selalu datang, kecuali Sekar Tunggal yang menikah dengan Arifin Wardiman, seorang dosen ITB. Mereka khawatir akan membahayakan mata pencaharian Arifin kalau ketahuan bahwa mertuanya seorang tapol.


Pada natal berikutnya, Watu Gunung datang bersama Tania istrinya dan membawa anak pertama mereka yang masih bayi. Nasti dan Atik pun tiap kali membawa kedua anaknya, Arnas dan Mia.


Adanya larangan berambut gondrong bagi keluarga tapol saat berkunjung membuat Atik, Watu Gunung, Daya, dan Rino memangkas rambut. Bambang, adik ipar Watu Gunung, yang ikut ke Plantungan memilih tak ikut masuk karena enggan kehilangan rambut ikal berombak sebahunya.


“Hampir setiap natal kami selalu datang mengunjungi ibu di Plantungan, sampai dibebaskan,” kata Nasti.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim Pahlawan Nasional dari Simalungun

Tuan Rondahaim dikenal dengan julukan Napoleon dari Batak. Menyalakan perlawanan terhadap penjajahan Belanda di tanah Simalungun.
Antara Raja Gowa dengan Portugis

Antara Raja Gowa dengan Portugis

Sebagai musuh Belanda, Gowa bersekutu dengan Portugis menghadapi Belanda.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Dewi Sukarno Setelah G30S

Dewi Sukarno Setelah G30S

Dua pekan pasca-G30S, Dewi Sukarno sempat menjamu istri Jenderal Ahmad Yani. Istri Jepang Sukarno itu kagum pada keteguhan hati janda Pahlawan Revolusi itu.
bottom of page