Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Silat Lidah Kotelawala yang Bikin Zhou Enlai Emosi
Dalam sidang tertutup bidang politik, 21 April 1955, Perdana Menteri Sri Lanka Sir John Kotelawala, memberikan pernyataan soal kolonialisme yang menyentak peserta sidang. Dia mengajak untuk terang-terangan menentang kolonialisme Uni Soviet, seperti halnya melawan kolonialisme Barat. “Pikirkan, tuan-tuan, umpama saja negara-negara satelit di bawah dominasi komunis di Eropa Tengah dan Eropa Timur: Hongaria, Romania, Bulgaria, Albania, Cekoslowakia, Latvia, Lithuania dan Polandia. Apakah mereka bukan tanah jajahan sama dengan setiap tanah jajahan di Asia dan Afrika,” kata Sir John. Hadirin peserta sidang terdiam karena tegang. “Semua seakan-akan merasa ini ‘bom’! Semua nglirik ke arah PM Zhou Enlai,” kata Roeslan Abdulgani, Sekretaris Jenderal KAA, dalam The Bandung Connection . Setelah Sir John selesai bicara, Zhou Enlai berkata singkat; meminta agar naskah pidato Sir John dibagikan ke peserta lain. Dia juga meminta hak berbicara untuk merespons Sir John, pada rapat keesokan harinya. Usai rapat di Gedung Dwi Warna itu, rupanya urusan Zhou Enlai belum selesai; dia menghampiri Sir John. Ali Sastroamidjojo, ketua rapat dan ketua KAA, mendekati mereka, disusul Roeslan Abdulgani. Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dan Kreshna Menon, ikut bergabung. Seraya menudingkan jarinya ke Sir John, Zhou Enlai mengatakan, “Apa maunya Sir John mengusulkan pembicaraan tentang kolonialisme Soviet itu? Apakah untuk mem-provosir RRC? Untuk memecah-belah dan menggagalkan Konperensi?” “Kita semua agak terperanjat dengan pertanyaan-pertanyaan PM Zhou Enlai yang tajam itu. Yang dikeluarkan secara tegas, serius dan sopan,” kata Roeslan. Ali Sastroamidjojo mencoba melerai, namun Sir John tak mau kalah, sambil menunjuk Zhou Enlai, balik bertanya, “Kenapa tuan menjadi gusar berhubung dengan kritik saya terhadap Soviet ini? Saya toh sama sekali tidak menyinggung hubungan Soviet dengan RRC dalam masalah kolonialisme bentuk baru itu? Saya hanya menyebut hubungan Soviet dengan negara-negara Eropa Timur. Kenapa tuan terburu memberi reaksi dengan minta bicara besok pagi? Kalau tuan tadi diam saja, tidak akan ada apa-apa.” Pada rapat esok hari, Zhou Enlai menyatakan tidak dapat menerima hubungan Uni Soviet dengan negara-negara Eropa Timur disebut kolonialisme bentuk baru. Ketika suasana mulai mereda, bola kolonialisme bentuk baru ala Uni Soviet itu, terus dioper oleh Pakistan, Turki, Irak, dan Filipina. Sehingga, Ali Sastroamidjojo mengusulkan pembentukan Panitia Perumus, terdiri dari wakil Burma, Sri Lanka, India, Indonesia, Lebanon, Pakistan, Filipina, RRT, Syiria, dan Turki. Panitia ini diketuai LN Palar dari Indonesia. Sementara itu, waktu menunjukan hampir jam 12.00 siang, rapat diskors karena delegasi muslim harus salat Jumat. Menurut Roeslan, Panitia Perumus kemudian membuat rumusan kompromis mengenai kolonialisme, yang berbunyi: “Kolonialisme dalam segala manifestasinya adalah suatu kejahatan yang harus diberantas secepat mungkin.” “Rumusan kompromis ini diterima baik oleh PM Zhou Enlai,” kata Roeslan. Alasan Zhou Enlai menerima rumusan tersebut dengan mengibaratkan “seluruh tangan dan lima jarinya itu adalah kolonialisme. Lima jari tangan itu adalah ibarat manifestasinya. Ada manifestasi kolonialisme di bidang politik, militer, ekonomi, sosial, kebudayaan. Dan bukan dalam bentuk kolonialismenya Uni Soviet.”
- Sunan Kuning dan Geger Pacinan
MENYEBUT Sunan Kuning, pikiran sebagian besar orang tertuju pada lokalisasi di bagian barat Kota Semarang. Sebelumnya, lokalisasi yang berdiri pada 1966 ini dinamakan lokalisasi Argorejo. “Lokalisasi ini kelak dikenal sebagai lokalisasi Sunan Kuning karena terdapat petilasan Sun-Kun-Ing yang dipercaya sebagai tokoh Tionghoa penyebar agama Islam di kawasan lokalisasi Argorejo tersebut. Petilasannya pada waktu-waktu tertentu diramaikan oleh para peziarah,” tandas Akhriyadi Sofian, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Dian Nuswantoro Semarang, yang meneliti sejarah perkembangan Sunan Kuning dari tahun 1966 hingga 1984. Menurut Remy Silado dalam 9 Oktober 1740: Drama Sejarah , dalam catatan seorang Tionghoa di Semarang, Liem Thian Joe, dikatakan bahwa Sunan Kuning adalah sebutan populer bagi Raden Mas Garendi. Sunan Kuning berasal dari kata cun ling (bangsawan tertinggi) merupakan salahsatu tokoh yang berperan penting dalam peristiwa Geger Pacinan (1740-1743). Dalam Geger Pacinan 1740-1743, Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC , R.M. Daradjadi menyebut Raden Mas Garendi bersama Kapitan Sepanjang (Khe Panjang) dan Raden Mas Said (Pangeran Sambernyawa) mengobarkan perlawan sengit terhadap VOC di wilayah kekuasaan Mataram. Perlawanan ini disebut sebagai pemberontakan terbesar yang dihadapi VOC selama berkuasa di Nusantara. Para pemberontak Jawa-Tionghoa menobatkan Raden Mas Garendi sebagai raja Mataram bergelar “Sunan Amangkurat V Senopati Ing Alaga Abdurahman Sayidin Panatagama” pada 6 April 1742 di Kabupaten Pati Jawa Tengah. Ketika itu, cucu Amangkurat III yang dibuang VOC ini baru berumur 16 tahun –sumber lain menyebut 12 tahun. Dia pun dianggap sebagai “Raja orang Jawa dan Tionghoa.” Pengangkatan Sunan Kuning sebagai simbol perlawanan rakyat Mataram yang dikhianati Pakubuwono II, raja Mataram yang bersekongkol dengan VOC. Padahal, sebelumnya dia mendukung perlawanan Tionghoa-Jawa terhadap VOC. Dia meminta pengampunan VOC, karena orang-orang Tionghoa kalah perang, banyak pembesar Jawa tidak tertarik pada kebijakannya, dan bagian timur kerajaannya jatuh ke tangan Cakraningrat IV, raja Madura yang bersekutu dengan VOC. Balatentara Sunan Kuning memasuki Kartasura pada Juni 1742 setelah sebelumnya bertempur dari Salatiga hingga Boyolali. Kapitan Sepanjang yang bertugas di garis belakang sebagai pengawal Sunan Kuning, kini bertindak sebagai komandan tentara pendudukan. Pakubuwana II melarikan diri dari Kartasura, dievakuasi oleh Kapten Van Hohendorf ke arah timur Kartasura, menyeberangi Bengawan Solo ke Magetan. Peristiwa itu oleh orang Jawa ditandai dengan c andrasengkala (penanda waktu) yang berbunyi “Pandito Enem Angoyog Jagad” (seorang raja Mataram telah kehilangan keratonnya). Sunan Kuning bertahta di Kartasura, ibukota kerajaan Mataram, terhitung 1 Juli 1742. Dia mengangkat komandan perlawanan, seperti Mangunoneng sebagai patih dan Raden Suryokusumo sebagai panglima perang –kelak dikenal sebagai Pangeran Prangwedana. Segera setelah itu, Sunan Kuning merencanakan menggempur pasukan VOC di Semarang. 1200 prajurit gabungan Jawa-Tionghoa dipimpin Raden Mas Said dan Singseh (Tan Sin Ko) menuju Welahan. Di Welahan mereka bertempur dengan pasukan VOC yang dipimpin oleh Kapten Gerrit Mom. VOC yang menyerang dari berbagai sudut berhasil memukul mundur pasukan gabungan itu. Setelahnya berbagai kekalahan dialami pasukan gabungan Tionghoa-Jawa. Beberapa pimpinan terbunuh seperti Tan We Kie di Pulau Mandalika, lepas pantai Jepara dan Singseh tertangkap di Lasem dan dieksekusi mati di sana. Pada November 1742, keadaan semakin tidak berpihak kepada Sunan Kuning. Kartasura diserang dari tiga penjuru: Cakraningrat IV dari arah Bengawan Solo, Pakubuwono II dari Ngawi, dan pasukan VOC dari Ungaran Salatiga. Sunan Kuning meninggalkan Kartasura dan mengungsi ke arah selatan bersama pasukan Tionghoa. Walaupun Kartasura telah jatuh, perlawanan terus berlangsung di berbagai tempat di wilayah Mataram. Akhir dari perjalanan Sunan Kuning terjadi pada September 1743 saat tedesak di sekitar Surabaya bagian selatan. Terpisah dari kawalan Kapitan Sepanjang, Sunan Kuning menyerahkan diri ke loji VOC di Surabaya di bawah pimpinan Reinier De Klerk, disusul oleh banyak pemberontak lain. Setelah beberapa hari ditawan di Surabaya, dia bersama beberapa pengikutnya dibawa ke Semarang lalu ke Batavia, hingga akhirnya diasingkan ke Ceylon (Sri Lanka). Menurut Remy, sumber riwayat Semarang menyebutkan bahwa Sunan Kuning dimakamkan di bagian barat kota, di atas sebuah bukit. Sekitar makam Sunan Kuning itu, sejak paruh kedua dasawarsa 1960-an dijadikan lokalisasi pelacuran, dan ini terus dikecam oleh banyak kalangan yang mengira bahwa sebutah ‘sunan’ niscaya berhubungan dengan Walisanga.
- Dwarapala Berwajah Ramah
EKSPRESI wajahnya ramah, jauh dari kesan menyeramkan. Bibirnya tersenyum lebar. Tak tampak taring yang menyeringai keluar. Ia lebih menyerupai manusia dibanding wujud raksasa yang kerap dijumpai pada kebanyakan arca dwarapala. Dwarapala ini, arca penjaga pintu yang dalam mitologi Hindu-Buddha berfungsi sebagai penolak pengaruh buruk, berasal dari Situs Muarajambi I. Dwarapala ini ditemukan dalam penggalian di muka gapura Candi Gedong I pada 2002. Keseluruhan arca nyaris utuh, terbuat dari bahan batu pasir, dan berwarna kecoklatan. Umumnya dwarapala berpasangan dan letaknya di bagian muka pintu masuk bangunan suci. Ia lumrah berpenampilan seram dengan mata melotot menyalak, berambut ikal panjang terurai, bertaring, mengenakan hiasan tengkorak pada tubuhnya, dan dalam posisi duduk memegang gada. Penggambaran dwarapala seperti ini kerap dijumpai di percandian di Jawa. Agus Aris Munandar dalam Catuspatha Arkeologi Majapahit , menjelaskan bahwa dwarapala mula-mula –dalam mitologi India– dikenal sebagai personifikasi makhluk halus penguasa tanah yang disebut Yaksha. Yaksha dipuja sebagai sumber kehidupan yang melindungi kesuburan tanah. Saat agama Buddha dan Hindu mulai berkembang di India, kedudukan Yaksha disejajarkan dengan kelompok demi-god (setingkat di bawah dewata). Dalam perkembangannya Yaksha dimuliakan sebagai pendamping Buddha. Bersama makhluk segolongannya ia dipahatkan pada bangunan suci Buddha, seperti terdapat di stupa Bharut (abad 1 SM) dan di puncak torana (pintu gerbang) stupa Sanchi abad ke-6 M. Letaknya yang berada di bagian depan kemudian dipercaya melindungi dan menjaga bangunan suci. Di masa kemudian sosok Yaksha dibuat terpisah, tidak lagi sebagai relief atau pelengkap bangunan suci, melainkan sebagai arca mandiri. Mulai saat itu Yaksha dikenal dengan dwarapala, diwujudkan sebagai arca raksasa penjaga kuil dan lingkungannya. Berdasarkan hasil temuan terdahulu, diketahui bahwa candi-candi Muarajambi mempunyai latar belakang agama Buddha Mahayana dengan pengaruh aliran Tantrayana yang kuat. Hal itu terbukti dari temuan wajra (berarti petir; sebuah alat upacara khas agama Buddha aliran Tantrayana) dan tulisan-tulisan pendek pada lempeng emas di Candi Gumpung. “Aliran Tantrayana sudah dianut pada abad 9 M ketika candi dibangun dan terus berkembang mencapai puncaknya pada abad 15 M di seluruh Sumatera,” tulis Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti . Berbeda dari penggarapan dwarapala pada umumnya yang berwujud raksasa dan menunjukkan sifat ugra (bengis atau menakutkan), dwarapala Muarajambi terkesan jenaka. Wujudnya selaik pria kecil yang berdiri dengan kedua kaki agak ditekuk. Tingginya tak lebih dari 1,5 meter. Tangan kanannya menggenggam tameng kecil, sedang tangan kirinya mengepal sebuah gada yang kondisinya telah rumpang. Tatanan rambutnya tertata rapi hingga ke belakang, dan ditutup hiasan berupa mangkuk. Hiasan pada telinganya berbentuk bunga, bukan tengkorak manusia. Menurut Junus Satrio Atmodjo dalam “Dwarapala yang Santun dari Muarajambi” pada Prosidings Seminar Internasional Sabdapalon Nayagenggong dalam Naskah Nusantara , kehadiran arca temuan Candi Gedong I ini setidaknya mencerminkan salah satu gaya seni abad ke-10-13 M yang pernah hidup di Jambi. Pengaruh India hampir tak terlihat. Penggarapan figur arca yang berbeda dan tidak lazim, justru terkesan jenaka, secara konseptual merupakan cara menampilkan identitas kelompok yang melakukan pemujaan di Candi Gedong I. Kesan jenaka ditampilkan untuk menanggalkan model standar tokoh dwarapala yang berpenampilan menyeramkan. Penggarapannya, tulis Junus Satrio, “merupakan kesengajaan untuk menolak secara halus pengaruh asing dalam kehidupan masyarakat Muarajambi.”
- Peristiwa Belangguan 1993
PETANI di desa Belangguan, Situbondo, Jawa Timur tak berdaya ketika ladang jagung mereka beralih fungsi menjadi area latihan tempur tentara. Asa mulai meronta ketika puluhan mahasiswa datang ke kampung mereka. Berdasarkan hasil rembukan, mahasiswa dan petani sepakat melakukan aksi tanam jagung bersama di ladang yang sudah dikuasai tentara. Para petani menyiapkan bibit jagung yang akan ditanam. Mahasiswa membekali diri dengan poster berukuran sepuluh meter. Tulisannya: HIDUP MATI KAMI DARI TANAH INI. Rencananya aksi tanam jagung dilakukan pagi hari tanggal 23 Januari 1993. Sehari menjelang hari H, sebanyak 26 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi asal Jakarta, Semarang, Yogyakarta dan Surakarta menginap di rumah-rumah penduduk. Mereka aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi di Indonesia (SMDI) –kemudian hari menjadi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Jelang pukul 11 malam, kampung yang tadinya tenang berubah mencekam. Mobil patroli berputar-putar mengelilingi jalan desa. Tentara berkeliaran memburu mahasiswa. “Rumah-rumah di pinggir hutan itu digeledah. Aksi militer itu membuat kaum perempuan serta anak-anak ketakutan,” tulis dokumen kronologis Komite Solidaritas Rakyat Belangguan (KIRAB) sebagaimana dicuplik buku Menyulut Lahan Kering Perlawanan . Meski daerah itu sudah diblokade oleh militer dengan menempatkan tiga sampai lima tentara di tiap jalan strategis, para petani setempat berhasil menyembunyikan mahasiswa di tempat aman. Petani-petani itu memang hafal tiap jengkal kampung halamannya. Hingga pukul 03:00 dini hari tentara masih mengintimidasi. Di tengah guyuran hujan malam itu, Webby Warouw dan Budiman Sudjatmiko dari UGM memimpin rapat darurat. Setelah menimbang segala sesuatunya, aksi tanam jagung di Belangguan dibatalkan. Aksi dipindahkan ke kantor DPRD Tingkat I Surabaya. Siang itu, usai aksi di kantor DPRD, para mahasiswa berkumpul di terminal Bungurasih menanti bus untuk kembali ke Yogyakarta sebelum pulang ke kota masing-masing. Tanpa disadari, terminal sudah dikuasai aparat berpakaian preman. Tigabelas orang berhasil ditangkap. “Kami dibawa ke sebuah kantor. Tempatnya tersembunyi. Terpencil. Tidak ada papan nama. Di temboknya terukir gambar telinga besar dan di tengahnya ada mata,” ujar Wilson, 47 tahun, saat bertandang ke redaksi Historia , pekan lalu. “Belakangan,” kata Wilson melanjutkan, “baru diketahui bahwa itu kantor Bakorstanasda. Dan gambar mata di tengah telinga besar itu simbol intelijen.” Para mahasiswa diinterogasi bergantian. “Ketika dinterogasi, tiap jemari dililit kabel setrum. Terlihat voltase dari angka 0 sampai 100. Kalau mereka tidak puas dengan jawaban yang kita berikan, voltasenya dinaikkan. Kita juga disuruh menyaksikan kawan yang sedang disiksa,” lulusan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI itu mengenang pengalaman buruk semasa rezim militeristik Orde Baru berkuasa. Budiman Sudjatmiko dalam memoarnya, Anak-Anak Revolusi , juga mengenang penangkapan itu. “Mulai saat itu terjadi ritual interogasi dan penyiksaan. Tidak ada manusia di tempat itu, yang ada hanya segerombolan hewan pemburu dan segerombolan hewan buruan mereka. Kami disiksa seperti binatang ... ada yang disetrum, dipukul, dikencingi dan wajahnya dimasukkan ke dalam toilet.” Setelah kenyang menyiksa dan menakut-nakuti, aparat tentara itu memperbolehkan mahasiswa pulang. Mereka meminta agar para mahasiswa itu tak lagi mengulangi aksi “sok pahlawan”. Para aktivis mahasiswa itu pun dipaksa bungkam untuk tidak menceritakan apa saja yang dialami selama dalam tahanan. Tapi tentu, mereka tak tunduk begitu saja. “Walaupun sebagian anggota kami mengalami trauma, sebagian besar tetap berdiri tegar,” kata Budiman dalam memoarnya.
- Aparat Keamanan dalam Pemilihan Umum
PENGAMANAN pemilihan presiden 9 Juli 2014 sangat ketat. Sekira 1,2 juta personel TNI/Polri bersenjata lengkap, ditambah panser, telah siaga di seluruh Indonesia. Unjuk kekuatan ini dianggap terlalu berlebihan. Namun aparat keamanan tak ingin kecolongan. Pada pemilu pertama tahun 1955, aparat keamanan juga disiagakan karena saat itu keamanan negara tidak kondusif. Beberapa daerah, seperti Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, dirundung kekacauan oleh gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo. Menurut Andi Tjatjo, kepala kantor pemilihan daerah XII Sulawesi Selatan, dengan koordinasi aparat dan penyelenggara pemilu, “Sulawesi Selatan siap menyelenggarakan pemilu,” tulis Harian Rakjat , 3 September 1955. Demikian pula di Jawa Tengah. Tentara bersenjata lengkap disiagakan di setiap tempat pemungutan suara (TPS). “Di setiap TPS akan dijaga beberapa tentara bersenjata lengkap, ditambah aparat keamanan dari kalangan sipil yang telah ditetapkan dengan besluit (keputusan) dari residen,” ujar Soemarsono, residen yang diperbantukan pada gubernur Jawa Tengah. Jumlah pemilih di Jawa Tengah berjumlah 10.120.963 orang, tersebar di 16.897 TPS. Guna memaksimalkan pengamanan, wilayah Jawa Tengah dibagai beberapa bagian. Menurut Yoga Sugama, asisten I bidang intelejen di Tentara Teritorium IV Diponegoro, Jawa Tengah, “Soeharto yang menjabat komandan resort militer di Solo diserahi tanggung jawab pengamanan pemilu di Jawa Tengah bagian timur meliputi daerah Demak ke selatan sampai Solo,” ujarnya dalam Memoar Jenderal Yoga karya B. Wiwoho dan Banjar Chaerudin. Bukan hanya gangguan keamanan secara fisik, Harian Rakjat , 16 September 1955, menurunkan berita mengenai upaya beberapa perwira Angkatan Darat (AD) yang menginginkan pemilu diundur. Suara-suara dari perwira AD ini muncul tak lama setelah Kabinet Burhanuddin Harahap dilantik. Mereka diperkirakan tidak berjumlah banyak, dan diindikasikan sebagai orang-orang politik yang berseragam militer. Pihak AD pun buru-buru menangkal berita itu. Juru bicara AD mengeluarkan pernyataan resmi bahwa tugas AD adalah menghadapi gerombolan keamanan dan menjamin terselenggaranya pemilu pada 29 September 1955. Panglima TT-IV Diponegoro Kolonel Bachrum juga mengeluarkan enam maklumat yang ditujukan kepada anggotanya agar bersikap sopan santun; tidak menyalahgunakan kekuasaaan untuk kepentingan pribadi; jangan merugikan orang lain melalui ucapan dan tindakan; bersikap netral dan adil; jujur dan bijaksana; serta menggunakan hak pilih tidak lebih dengan warga negara lainnya –saat itu, tentara dan kepolisian memiliki hak suara. Sekira seminggu sebelum pemungutan suara, Dewan Keamanan Nasional yang bersidang pada 21 September 1955 mengeluarkan peraturan batas kampanye untuk menghindari gangguan dari DI/TII. Di Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Cilacap tidak boleh ada kampanye terbuka pada 22-29 September 1955; wilayah Jawa Barat dan ibukota Jakarta pada 25-29 September 1955; dan seluruh wilayah Indonesia pada 28 September 1955. Pemungutan suara dimulai pada 29 September 1955. Meski pasukan keamanan sudah disiagakan jauh-jauh hari, mereka masih kecolongan. Empat tentara dan seorang anggota panitia pemungutan suara di Enrekang, Sulawesi Selatan, meregang nyawa ditembak gerombolan DI/TII saat akan mengambil kotak suara di daerah Kalosi.
- SI School, Sekolah Alternatif
BERDIRINYA SI School merupakan cara untuk mengimbangi keberadaaan Hollandsch-Indische School (HIS), sekolah menengah yang hanya ditujukan bagi segelintir kalangan pribumi. “Sekolah ini menjadi pesaing HIS, sekolah sekunder, terbuka dan terbatas untuk orang Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan dasar mereka di Sekolah Kelas II (Tweede Klasse) ,” kata sejarawan Harry Poeze, penulis biografi Tan Malaka, dalam pengantar brosur Sarekat Islam Semarang dan Onderwijs . Kualitas sekolah pada masa kolonial dikategorikan berdasarkan strata sosial dan ras. Seorang anak pribumi priayi tinggi diperbolehkan masuk ke sekolah-sekolah khusus warga kulit putih, sementara anak-anak dari rakyat biasa hanya diperbolehkan masuk di sekolah rendahan. Untuk ukuran zaman itu, sekolah Tan Malaka terbilang sangat maju dan menjadi alternatif bagi anak-anak buruh untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Tak ayal, SI School mendapatkan cercaan dan kritik dari banyak media massa pro kolonial. Tan Malaka menulis salah satu koran yang mengeritiknya adalah Soerabajaasch Handelsblad . “Hai, pemerintah awasi S.I itu,” kata Tan Malaka menirukan berita di koran terbitan Surabaya itu. Bahkan pemerintah kolonial di Semarang, melalui asisten residennya melarang siswa-siswa SI School untuk menyelenggarakan “pasar derma” untuk mengumpulkan sumbangan masyarakat demi pembiayaan sekolah mereka. Pemerintah kolonial memberlakukan larangan berdasarkan undang-undang pidana sehingga usia sekolah Tan Malaka itu tak berlangsung lama. Masa hidup SI School berakhir seiring pengusiran Tan Malaka oleh pemerintah kolonial pada 1922. Tan Malaka memilih untuk diasingkan ke Belanda. Maka berakhirlah riwayat sekolah yang bercita-cita memerdekakan jiwa dan pikiran anak-anak buruh itu. Upaya pelestarian bangunan SI School Sejak dua tahun lalu, bangunan SI School yang reyot dan hampir rubuh tersebut menjadi bahan pemberitaan berbagai media massa. Musababnya adalah rencana pemugaran bangunan oleh Yayasan Balai Muslimin Indonesia (Yabami), pengelola tanah wakaf di mana bangunan sekolah itu berdiri. Atas desakan kelompok masyarakat yang peduli sejarah Semarang, upaya pemugaran itu pun urung dilakukan. Kini Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jawa Tengah telah menetapkan bangunan SI tersebut sebagai bangunan bersejarah yang dilindungi UU Cagar Budaya No. 11/2010. Menurut Yunantyo Adi, aktivis dari Kelompok Pegiat Sejarah Semarang (KPS Semarang), pemerintah daerah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Tengah telah menghibahkan dana sebesar Rp600 juta untuk merenovasi bangunan tersebut. “Menurut rencana, bangunan mau dipugar dan direnovasi seperti gambar Gedung SI tahun 1978 seperti sebuah foto yang sudah kami temukan,” katanya kepada Historia , Rabu (16/07). Adi menuturkan, Tim BPCP Jawa Tengah akan mengupayakan pembangunan kembali gedung itu semirip mungkin dengan aslinya. Dia bersama KPS Semarang juga giat melobi Pemerintah Kota Semarang untuk mengatasi persoalan hukum atas status lahan yang dimiliki oleh Yabami tersebut. “Besok (hari ini (17/07), Red .) kami akan menemui Walikota Semarang untuk mendorong dia memanggil pihak Yabami agar menyetujui pemugaran sehingga tak ada lagi kendala yang menghalangi upaya pelestarian bangunan bersejarah itu,” demikian pungkasnya.
- Hatta Keliru Kalpataru
DALAM debat putaran terakhir di Hotel Bidakara, Jakarta, 5 Juli 2014, calon wakil presiden Hatta Rajasa menyerang calon presiden Joko Widodo mengenai kegagalan DKI Jakarta meraih penghargaan Kalpataru tahun ini. Padahal, Jakarta langganan penghargaan itu. Hatta juga menegaskan bahwa Solo juga belum pernah mendapatkannya. Calon wakil presiden Jusuf Kalla menyanggah pernyataan Hatta itu. “Pertanyaan bapak bagus, tapi keliru. Harusnya Adipura,” kata Kalla. Kalpataru dan Adipura merupakan penghargaan lingkungan hidup yang diberikan pemerintah setiap tahun kepada dua pihak yang berbeda. Sesuai namanya dari bahasa sanskerta yang artinya “kota yang indah dan agung,”Adipura adalah penghargaan untuk kebersihan kota yang kali pertama diberikan pada 1986. Penghargaan Adipura sangat prestisius karena diberikan langsung oleh Presiden Soeharto di Istana Merdeka, Jakarta. Belakangan, piala Adipura memiliki “kesakralan” lain karena dijadikan tolok ukur keberhasilan seorang pejabat daerah dalam memelihara lingkungan hidupnya. “Adipura merupakan kebanggaan luar biasa untuk kota-kota yang mendapatkannya. Bila Presiden Soeharto memberikan Adipura, dapat dipastikan bahwa bupati atau walikota yang menerimanya akan terpilih kembali pada periode berikutnya,” kata wakil presiden Jusuf Kalla dalam sambutan penganugerahan lingkungan hidup pada 2005, sebagaimana dimuat dalam Berbekal Seribu Akal Pemerintahan Dengan Logika karya Tomi Lebang. Kendati sejak reformasi kepala daerah dipilih secara langsung, penghargaan Adipura tetap menggiurkan. Demi penghargaan itu, walikota Bekasi, Mochtar Mohamad, menyuap panitia penilai dari Kementerian Lingkungan Hidup sehingga Bekasi meraih Adipura tahun 2010. Komisi Pemberantasan Korupsi kemudian menetapkan Mochtar Mohamad sebagai tersangka. Sedangkan Kalpataru adalah penghargaan yang diserahkan kepada perseorangan atau kelompok masyarakat yang dinilai berjasa dalam menjaga dan menyelamatkan lingkungan hidup. Penghargaan ini guna mendorong kepedulian masyarakat untuk memelihara, menyelamatkan, dan meningkatkan kualitas hidup. Kalpataru diambil dari nama pohon yang dikenal oleh masyarakat Jawa Kuna, selain pohon boddhi waringin . Pohon Kalpataru atau kalpawreksa ( kalpa , dari kata sansekerta klp yang berarti ingin, dan taru = wreksa = pohon). Jadi, Kalpataru berarti pohon Keinginan. Kalpataru juga sering disebut pohon surgawi yang tumbuh di surga Dewa Indra. Ada juga yang menghubungkan dengan pohon keinginan dan sebagai lambang “keabadian.” Dan belakangan Kalpataru lebih diartikan sebagai pohon kehidupan. Pohon Kalpataru terpahat dalam relief candi-candi, seperti candi Borobudur yang memiliki 1460 relief. Selain banyak relief kapal layar yang menjadi bukti kejayaan bahari nenek moyang bangsa Indonesia, yang menarik hampir setiap pigura relief-relief itu dihiasi pohon Kalpataru. Menurut Rajasa Mu’tasim dalam “Borobudur: Kearifan Lokal dan Keberagaman yang Damai,” meskipun pohon Kalpataru telah dijadikan lambang penghargaan nasional bagi para aktivis lingkungan hidup sejak menteri lingkungan hidup dipegang oleh Emil Salim dan grup Bimbo telah mendendangkan lewat lagunya Kalpataru, tetapi terasa betul bahwa perilaku bangsa kita terhadap lingkungan sungguh masih menyedihkan. “Budaya mengarungi lautan dan menjaga kelestarian lingkungan hidup yang telah dikembangkan oleh nenek moyang kini semakin tidak populer,” tulis Rajasa, termuat dalam Reinventing Indonesia .
- Pembersih Gigi Zaman Kuno
RUMPUT kadang menjadi masalah jika dibiarkan tumbuh liar, terutama jenis rumput yang dikenal sebagai rumput teki (Cyperus rotundus). Tanaman khas daerah tropis ini, yang juga mudah ditemui di berbagai wilayah Indonesia, merupakan salah satu rumput liar paling buruk untuk dikontrol karena persebarannya yang invasif. Namun, penelitian terbaru menunjukkan bahwa rumput teki berperan penting dalam kehidupan manusia di zaman kuno. Bak pasta gigi di zaman modern, rumput teki merupakan pembersih gigi yang ampuh. Sebuah penelitian terhadap sisa-sisa tengkorak yang terkubur di situs arkeologi Al-Khiday, dekat Sungai Nil di Sudan, dan usianya dapat ditarik sampai tahun 6700 SM menunjukkan bahwa rumput teki sudah dikonsumsi orang-orang prasejarah. Tengkorak-tengkorak tersebut, yang merupakan sisa-sisa jasad petani kuno, secara mengejutkan memiliki gigi yang sehat. Zat-zat antibakteria yang berasal dari rumput teki dianggap sebagai penyebabnya. “Kebersihan mulut orang-orang di zaman dahulu masih lebih bagus daripada sekarang,” ujar Karen Hardy, ketua peneliti yang juga seorang profesor arkeologi prasejarah, seperti dikutip dari livescience.com (16/7/2014). Manusia pada zaman berburu dan meramu cenderung memiliki kebersihan mulut yang lebih baik karena makanan masih terbatas pada daging. Ketika manusia mulai beralih ke masa bercocok tanam, jenis bakteri yang masuk ke mulut pun makin variatif. Karena itu, peneliti kerap menyimpulkan kebersihan mulut manusia di zaman bercocok tanam cenderung lebih buruk. Namun penelitian di Al-Khiday mementahkannya. Rumput teki yang tumbuh liar ternyata dikonsumsi untuk menjaga agar gigi tetap kuat dan bersih. “Mereka mungkin menggunakannya untuk tujuan medis,” ujar Hardy. “Rasa obat memang selalu pahit, tapi ia kerap manjur.” Rumput teki kerap menjadi pakan penting dalam masyarakat zaman kuno. Di Mesir kuno, rumput teki kerap dipakai untuk menjernihkan air, wangi-wangian, dan obat-obatan. Terlebih tanaman liar ini memiliki zat antimikroba, antimalaria, antioksidan, dan senyawa diabetes. “Dari Mesir kuno, pengolahan rumput teki masuk ke Timur Tengah. Pada abad pertengahan, orang-orang Moor (Muslim) memperkenalkan rumput teki ke Spanyol, dan dari sana mulai menyebar ke Afrika Barat, India dan Brazil. Di berbagai wilayah, rumput teki kini menjadi tanaman agrikultural,” tulis Leda Meredith, “Foraging Wild Tubers,” dalam Buried Treasures: Tasty Tubers of the World suntingan Beth Hanson. Sayangnya, meski memiliki tingkat nutrisi yang tinggi dan statusnya sebagai pakan alternatif, petani-petani modern kini kerap menganggap rumput teki sebagai tanaman hama. Rumput teki memiliki akar yang sulit dicabut dan kerap mengganggu pertumbuhan tanaman di kebun atau ladang-ladang mereka. Meski rumput teki tidak lagi menjadi sumber karbohidrat, namun toh ia masih cukup populer sebagai tanaman obat (herbal) di wilayah Timur Tengah, Asia Timur, dan juga India.
- Pesepakbola Kulit Hitam Profesional Pertama di Dunia
DUNIA telah mengenal Arthur Wharton sebagai pesepakbola kulit hitam profesional pertama di dunia. Nama pria yang lahir pada 28 Oktober 1865 di Jamestown, Pantai Emas (sekarang Ghana) itu telah ditahbiskan dalam English Football Hall of Fame pada 2003 atas jasanya dalam sepakbola Inggris. Kini, jejaknya dalam sejarah olahraga terpopuler di dunia itu, semakin dikuatkan dengan temuan foto dan dokumen yang rencananya akan dipublikasikan pihak keluarga dalam Antiques Roadshow , acara televisi seputar penelitian benda-benda antik di Inggris. Wharton awalnya datang ke Inggris bukan untuk bermain sepakbola. Ayahnya, seorang misionaris, mengirim Wharton ke Inggris untuk mendalami agama sebagai misionari Metodis. Dia tiba di Cannock, Staffordshire pada 1882. Setibanya di sana, dia mendalami atletik, bahkan memenangkan kejuaraan nasional Asosiasi Atletik Amatir selama dua tahun berturut-turut. Setelahnya, Wharton beralih ke sepakbola. Dia bergabung dengan kub Darlington pada 1885 sebagai pemain amatir. Posisinya sebagai penjaga gawang. Tak lama, Preston North End kepincut dengan talenta Wharton dan merekrutnya. Pada 1889, Wharton meneken kontrak profesional dengan klub Rotherham Town. Ini yang pertama untuk seorang pemain berkulit hitam di dunia. Dia kemudian bergabung dengan Sheffield United pada 1894 dan bermain di First Division, divisi teratas Liga Inggris kala itu. “Ibu saya dan saya menemukan foto-foto Arthur dan kami menelusurinya,” ujar Dorothy Rooney, cicit dari Arthur Wharton dikutip dailymail.co.uk (4/7). “Dia adalah seorang pahlawan olahraga di era Victoria.” Selama karirnya sebagai pesepakbola dari 1885 sampai 1904, Wharton tidak pernah memenangkan satupun trofi. Namun karakternya yang unik dikenang oleh kawan-kawannya, terutama kebiasaannya menangkap bola dengan kaki sambil bergelantungan di tiang gawang. Wharton tak hanya lihai bermain bola, dia atlet serba bisa. Selain atletik, dia juga pemain kriket profesional dan atlet sepeda yang disegani. Pada 1914, dia memutuskan mundur dari dunia olahraga untuk bekerja sebagai penambang di Yorkshire Selatan. Wharton meninggal dalam keadaan miskin pada 13 Desember 1930. Makamnya direnovasi pada 1997 sebagai bagian kampanye antirasisme dalam sepakbola yang dikelola Football Unites, Racism Divides. “Kisah Arthur menjadi penting karena menunjukkan bahwa orang kulit hitam pun sudah terlibat sejak sistem profesionalisme diterapkan di Liga Inggris,” ucap Howard Holmes, ketua kampanye. Setahun setelahnya, Phil Vasili menerbitkan biografi untuk mengenangnya, The First Black Footballer: Arthur Wharton 1865-1930 .*
- Kemerdekaan, Kado Ulang Tahun Hatta
JENDERAL Terauchi, panglima angkatan perang Jepang di Asia Tenggara, bertemu dengan Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat di Dalat, Vietnam, pada 12 Agustus 1945. Dia menyampaikan keputusan pemerintah Jepang untuk menyerahkan soal kemerdekaan Indonesia kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). “Tuan-tuanlah melaksanakannya dan terserah kepada tuan-tuan sepenuhnya menentukan pelaksanaannya,” kata Terauchi. “Kalau seminggu lagi kami laksanakan apa bisa?” tanya Sukarno. “Terserah kepada tuan-tuan,” jawab Terauchi. Hatta gembira luar biasa. Sebab, tanggal 12 Agustus hari ulangtahunnya. “Dalam hati kecilku aku menganggap kemerdekaan Indonesia itu sebagai hadiah jasaku sekian tahun lamanya untuk kemerdekaan Indonesia,” kata Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku Jilid 3 . Sekembalinya ke Indonesia, mereka mendapatkan ucapan selamat dari Gunseikan (kepala pemerintah militer) Jenderal Yamamoto dan pejabat tinggi Jepang lainnya. Setelah itu, Sutan Sjahrir, yang telah mengetahui kekalahan Jepang, meminta Sukarno mengumumkan kemerdekaan tanpa melalui badan bentukan Jepang, PPKI. Sukarno menolak karena dia tak mau mengambil kesempatan sendiri tanpa bersama-sama anggota PPKI. Begitu pula ketika Wikana mendesak agar proklamasi dinyatakan malam tanggal 15 Agustus dan menyatakan tidak mau proklamasi dilaksanakan PPKI karena bentukan Jepang. Hatta menegaskan, kalau PPKI dianggap buatan Jepang serta Sukarno-Hatta dan pemimpin lain bekerjasama dengan Jepang, carilah orang lain yang belum pernah bekerjasama dengan Jepang untuk memproklamasikan kemerdekaan. “Dan kami akan berdiri di belakang mereka,” kata Hatta. “Tetapi pemuda-pemuda itu maunya Bung Karno juga.” Sukarno sebagai ketua PPKI dan Hatta sebagai wakilnya memerintahkan Ahmad Soebardjo untuk memanggil semua anggota PPKI yang menginap di Hotel Des Indes untuk rapat pada 16 Agustus 1945 pagi di Gedung Pejambon (sekarang Gedung Pancasila). Semua anggota PPKI pun hadir Gedung Pejambon, sementara Sukarno-Hatta tidak. “Jadi tidak benar, bahwa rapat itu dilarang oleh Jepang. Hanya waktu itu rapat tidak bisa berjalan karena kami berdua tidak hadir, karena pagi-pagi subuh hari itu kami dibawa ke Rengasdengklok. Dan kalaulah pagi itu kami tidak dibawa dan rapat terus berlangsung tentunya proklamasi itu telah terjadi hari itu (16 Agustus 1945),” kata Hatta dalam Bung Hatta Menjawab. Somubuco (kepala departemen urusan umum) Mayor Jenderal Nishimura melarang rapat PPKI karena mulai pukul 13.00 tanggal 16 Agustus 1945, Jepang diperintahkan Sekutu untuk menjaga status quo . Sukarno-Hatta menyatakan dengan agak keras: “Tuan ‘kan orang samurai. Jenderal Terauchi di Dalat telah menyerahkan. Bagaimana dengan sumpah dan janji samurai tuan kepada kami.” “Ya,” kata Nishimura, “kita berada dalam keadaan yang lain sekarang.” Sukarno-Hatta bersikeras akan melaksanakan rapat PPKI. Hotel Des Indes tak memberi izin karena sesuai peraturan Jepang sejak awal pendudukan, rapat tidak boleh dilaksanakan lewat pukul 22.00. Akhirnya, Laksamana Maeda, kepala penghubung Angkatan Laut Jepang yang bersimpati pada perjuangan Indonesia, meminjamkan rumahnya di Jalan Myakodori (dulu Jalan Orange Nassau Boulevard). 21 anggota PPKI dan beberapa pemuda hadir di rumah tersebut. Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo merumuskan proklamasi di rumah yang kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No. 1 Menteng Jakarta. Keesokan harinya, tanggal 17 Agustus pukul 10.00, Sukarno membacakan proklamasi di halaman rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.
- Tiket Satu Arah ke Mars
ROBOT penjelajah milik NASA, Curiosity, merayakan satu tahun pertamanya di planet Mars pada 24 Juni 2014. Setahun di Mars setara 687 hari menurut hitungan hari di Bumi. Curiosity merayakannya dengan bernarsis ria mengambil potret diri: selfie . Curiosity tiba di Mars pada Agustus 2012 untuk mendapatkan bukti apakah kondisi lingkungan Mars cocok untuk menunjang kehidupan mikroba. Dari penggalian dan pengambilan sampel tanah oleh Curiosity, para peneliti menyimpulkan bahwa air pernah ada di Mars, begitu pula sebuah bentuk kehidupan. “Kami menemukan tanda-tanda jejak interaksi yang kompleks antara air dan batuan di sana,” ujar David Blake, salah seorang peneliti seperti dilansir www.jpl.nasa.gov. Planet Mars mendapatkan namanya dari salah satu tokoh dewa Romawi. Ia kerap juga dikenal dengan nama planet merah, merujuk pada penampakan permukaannya yang kemerah-merahan. Di masa modern ini, ia kian menjadi primadona di antara para peneliti, ditandai dengan dikirimkannya berbagai robot penjelajah untuk mengungkap misteri kehidupan di Mars. Misi-misi penjelajahan Mars ini sempat meredakan ketegangan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat pada masa Perang Dingin. Sepanjang akhir 1980-an, The Planetary Society, lembaga nonprofit terdepan dalam eksplorasi luar angkasa untuk tujuan sains, mulai mempromosikan wacana agar Amerika dan Uni Soviet mau bekerja sama dalam mengeksplorasi Mars. “The Planetary Societ mengaitkan wacana Mars dengan internasionalisme. Mereka juga mensponsori pertemuan di Washington pada pertengahan 1985. NASA melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang mungkin. Visi ‘Ke Mars… Bersama-sama’ mendapatkan momentumnya sebagai dasar pemikiran politis,” tulis W. Henry Lambright dalam Why Mars: NASA and the Politics of Space Exploration . Sayangnya, musibah meledaknya roket Challenger pada 1986 memaksa NASA mengevaluasi total rencana misi-misi eksplorasinya di masa depan. Tidak semua robot yang dikirm berhasil mendarat selamat. Amerika Serikat melalui NASA kali pertama mengirimkan dua robotnya, Viking 1 dan Viking 2, pada 1975. Robot penjelajah lainnya, Spirit dan Opportunity, diberangkatkan pada 2003. Dan yang terbaru adalah Curiosity pada 2011. Selain itu, setidaknya ada serangkaian misi lainnya yang gagal, seperti misi-misi Uni Soviet dari 1971-1973, misi NASA ke Mars pada 1999, dan misi Beagle milik Inggris pada 2003. Tidak seperti misi ulang-alik, robot-robot Mars tidak bisa kembali ke Bumi karena ongkosnya terlalu besar. Perjalanan ke Mars sejauh ini masih satu arah karena keterbatasan dana dan teknologi. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa pengiriman manusia ke Mars masih sulit dilakukan. Viking 1 dan 2 berhenti beroperasi pada 1982 dan 1980. Spirit sudah berhenti mengontak Bumi pada 2010. Kini tinggal Opportunity dan Curiosity yang masih beroperasi dan terus mengirimkan data-data ilmiah seperti foto dan cek sampel. Belajar dari data-data yang dikirimkan robot-robot penjelajahnya itulah, Doug McCuistion, direktur NASA untuk misi Curiosity, memproyeksikan manusia sudah bisa dikirim dan menetap di Mars pada 2030 atau 2040 sebagai langkah awal pembangunan koloni manusia pertama di luar Bumi. “Lalu mereka bisa menemukan Curiosity dan membawanya pulang. Saya yakin akan ada museum di sini yang berminat untuk menyimpannya,” ujarnya seperti dikutip dailymail.co.uk (24/8/2012).
- Dari Wiragunan Ke Ragunan
TAMAN margasatwa Ragunan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dipadati pengunjung yang mengisi liburan Lebaran. Kebun binatang itu, yang berdiri pada 19 September 1864, semula berlokasi di Cikini sebelum dipindahkan ke Ragunan pada 1966. Ragunan, menurut sejarawan Belanda F. de Haan, berasal dari kata wiragunan , merujuk pada gelar wiraguna, yang dianugerahkan kepada Henrik Lucaszoon Cardeel oleh Sultan Banten Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Namun, menurut Windoro Adi dalam Batavia 1740, gelar Pangeran Wiraguna diberikan oleh Sultan Abunasar Abdul Qahar atau Sultan Haji atas jasanya meminta bantuan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) untuk melawan dan menyingkirkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan, gelar Pangeran Wiraguna diberikan karena jasa Cardeel memugar berbagai bangunan dan mendirikan bangunan kecil yang sampai sekarang masih berdiri di samping Masjid Agung Banten. Bangunan kecil tersebut berupa “rumah meliputi sebuah lantai dasar dan lantai satu yang indah, berjendela besar; sebuah museum kecil terdapat di dalamnya,” tulis Lombard. Laporan wakil VOC di Banten, Caeff, menyebut Cardeel untuk kali pertama pada Maret 1675. Sebagai tukang batu, dia menawarkan jasanya ketika kebakaran menimpa Keraton Surosowan atau istana Sultan Banten. Setelah diislamkan, dia mengabdi kepada Sultan. Cardeel, tulis Windoro Adi, bukan hanya membangun kembali keraton, namun juga membangun bendungan dan istana peristirahatan di hulu Ci Banten yang kemudian dikenal dengan sebutan Bendungan dan Istana Tirtayasa. Kendati mendapat bujukan dan tawaran yang baik dari VOC, Cardeel memilih tetap hidup di Banten dan mengabdi kepada raja yang baru, Sultan Haji. Dia bahkan mengawini salah satu mantan istri Sultan Ageng Tirtayasa dan tetap bertugas sebagai “penilik pekerjaan besar”. Setelah Sultan Haji wafat pada 1687, dia meninggalkan Banten dan berencana pulang ke Negeri Belanda. “Tidak diketahui apakah dia pernah kembali ke negerinya,” tulis Lombard, “tetapi pada 1695, dia diketahui menetap di Batavia sebagai penduduk biasa ( burger ) dan kembali menjadi Nasrani. Dia menjadi kepala wilayah ( wijkmeester Blok M ) dan mengusahakan sebuah hutan kecil (Ragunan, red ) miliknya di pinggiran kota.” Cardeel berkongsi dengan seorang juru bedah, Philip Gijger, untuk membangun kincir air dan penggergajian di dekat sungai besar, serta membuat peti untuk keperluan ekspor gula tebu. Pada 1699, pemerintah kotapraja menugasinya memperbaiki beberapa saluran air yang rusak karena gempa bumi dengan upah 150 ringgit. Sejak 1706, dia berhenti membuat peti dan beralih memproduksi arang untuk dijual ke pabrik senjata milik VOC untuk membuat mesiu. Karena istrinya tinggal di Banten, Cardeel menikah lagi dengan Anna Stratingh tanpa dikaruniai anak. Merasa ajalnya semakin dekat, dia mengangkat anak seorang pemuda Indo bernama Lucas, anak temannya, Hodenpijl, dan membebaskan ibunya, Magdalena, dari status budak. Menurut Lombard, dalam surat wasiatnya, Cardeel mewariskan kepada Lucas tiga perempat kekayaannya dan seperempatnya untuk saudara-saudara perempuannya di tempat kelahirannya di Steenwijk, Belanda. Cardeel meninggal dunia pada 1711.





















