top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Peristiwa Belangguan 1993

Bermaksud membela petani, berakhir di ruang interogasi. Disiksa tentara Orba sampai trauma.

30 Jun 2014

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Wilson, 47 tahun, lulusan jurusan sejarah Fakultas Sastra Universitas Indonesia yang mengalami pengalaman buruk semasa rezim militeristik Orde Baru. Foto: Micha Rainer Pali/Historia.

PETANI di desa Belangguan, Situbondo, Jawa Timur tak berdaya ketika ladang jagung mereka beralih fungsi menjadi area latihan tempur tentara. Asa mulai meronta ketika puluhan mahasiswa datang ke kampung mereka.


Berdasarkan hasil rembukan, mahasiswa dan petani sepakat melakukan aksi tanam jagung bersama di ladang yang sudah dikuasai tentara. Para petani menyiapkan bibit jagung yang akan ditanam. Mahasiswa membekali diri dengan poster berukuran sepuluh meter. Tulisannya: HIDUP MATI KAMI DARI TANAH INI.


Rencananya aksi tanam jagung dilakukan pagi hari tanggal 23 Januari 1993. Sehari menjelang hari H, sebanyak 26 mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi asal Jakarta, Semarang, Yogyakarta dan Surakarta menginap di rumah-rumah penduduk. Mereka aktivis Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi di Indonesia (SMDI) –kemudian hari menjadi Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID).


Jelang pukul 11 malam, kampung yang tadinya tenang berubah mencekam. Mobil patroli berputar-putar mengelilingi jalan desa. Tentara berkeliaran memburu mahasiswa. “Rumah-rumah di pinggir hutan itu digeledah. Aksi militer itu membuat kaum perempuan serta anak-anak ketakutan,” tulis dokumen kronologis Komite Solidaritas Rakyat Belangguan (KIRAB) sebagaimana dicuplik buku Menyulut Lahan Kering Perlawanan.


Meski daerah itu sudah diblokade oleh militer dengan menempatkan tiga sampai lima tentara di tiap jalan strategis, para petani setempat berhasil menyembunyikan mahasiswa di tempat aman. Petani-petani itu memang hafal tiap jengkal kampung halamannya. Hingga pukul 03:00 dini hari tentara masih mengintimidasi.


Di tengah guyuran hujan malam itu, Webby Warouw dan Budiman Sudjatmiko dari UGM memimpin rapat darurat. Setelah menimbang segala sesuatunya, aksi tanam jagung di Belangguan dibatalkan. Aksi dipindahkan ke kantor DPRD Tingkat I Surabaya.


Siang itu, usai aksi di kantor DPRD, para mahasiswa berkumpul di terminal Bungurasih menanti bus untuk kembali ke Yogyakarta sebelum pulang ke kota masing-masing. Tanpa disadari, terminal sudah dikuasai aparat berpakaian preman. Tigabelas orang berhasil ditangkap.


“Kami dibawa ke sebuah kantor. Tempatnya tersembunyi. Terpencil. Tidak ada papan nama. Di temboknya terukir gambar telinga besar dan di tengahnya ada mata,” ujar Wilson, 47 tahun, saat bertandang ke redaksi Historia, pekan lalu. “Belakangan,” kata Wilson melanjutkan, “baru diketahui bahwa itu kantor Bakorstanasda. Dan gambar mata di tengah telinga besar itu simbol intelijen.”


Para mahasiswa diinterogasi bergantian. “Ketika dinterogasi, tiap jemari dililit kabel setrum. Terlihat voltase dari angka 0 sampai 100. Kalau mereka tidak puas dengan jawaban yang kita berikan, voltasenya dinaikkan. Kita juga disuruh menyaksikan kawan yang sedang disiksa,” lulusan Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI itu mengenang pengalaman buruk semasa rezim militeristik Orde Baru berkuasa.


Budiman Sudjatmiko dalam memoarnya, Anak-Anak Revolusi, juga mengenang penangkapan itu. “Mulai saat itu terjadi ritual interogasi dan penyiksaan. Tidak ada manusia di tempat itu, yang ada hanya segerombolan hewan pemburu dan segerombolan hewan buruan mereka. Kami disiksa seperti binatang ... ada yang disetrum, dipukul, dikencingi dan wajahnya dimasukkan ke dalam toilet.”


Setelah kenyang menyiksa dan menakut-nakuti, aparat tentara itu memperbolehkan mahasiswa pulang. Mereka meminta agar para mahasiswa itu tak lagi mengulangi aksi “sok pahlawan”. Para aktivis mahasiswa itu pun dipaksa bungkam untuk tidak menceritakan apa saja yang dialami selama dalam tahanan. Tapi tentu, mereka tak tunduk begitu saja. “Walaupun sebagian anggota kami mengalami trauma, sebagian besar tetap berdiri tegar,” kata Budiman dalam memoarnya.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page