top of page

Sejarah Indonesia

Aparat Keamanan Dalam Pemilihan Umum

Aparat Keamanan dalam Pemilihan Umum

Aparat keamanan disiagakan untuk menjaga keamanan penyelenggaraan pemilihan umum.

Oleh :
7 Juli 2014

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Seorang perwira memasukkan surat suaranya di TPS Khusus untuk anggota Angkatan Perang di Balai Prajurit Nusantara, Jakarta, 15 Oktober 1955. Foto: ANRI.

  • Aryono
  • 8 Jul 2014
  • 2 menit membaca

PENGAMANAN pemilihan presiden 9 Juli 2014 sangat ketat. Sekira 1,2 juta personel TNI/Polri bersenjata lengkap, ditambah panser, telah siaga di seluruh Indonesia. Unjuk kekuatan ini dianggap terlalu berlebihan. Namun aparat keamanan tak ingin kecolongan.


Pada pemilu pertama tahun 1955, aparat keamanan juga disiagakan karena saat itu keamanan negara tidak kondusif. Beberapa daerah, seperti Jawa Barat dan Sulawesi Selatan, dirundung kekacauan oleh gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah pimpinan Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo.


Menurut Andi Tjatjo, kepala kantor pemilihan daerah XII Sulawesi Selatan, dengan koordinasi aparat dan penyelenggara pemilu, “Sulawesi Selatan siap menyelenggarakan pemilu,” tulis Harian Rakjat, 3 September 1955.  


Demikian pula di Jawa Tengah. Tentara bersenjata lengkap disiagakan di setiap tempat pemungutan suara (TPS). “Di setiap TPS akan dijaga beberapa tentara bersenjata lengkap, ditambah aparat keamanan dari kalangan sipil yang telah ditetapkan dengan besluit (keputusan) dari residen,” ujar Soemarsono, residen yang diperbantukan pada gubernur Jawa Tengah. Jumlah pemilih di Jawa Tengah berjumlah 10.120.963 orang, tersebar di 16.897 TPS.


Guna memaksimalkan pengamanan, wilayah Jawa Tengah dibagai beberapa bagian. Menurut Yoga Sugama, asisten I bidang intelejen di Tentara Teritorium IV Diponegoro, Jawa Tengah, “Soeharto yang menjabat komandan resort militer di Solo diserahi tanggung jawab pengamanan pemilu di Jawa Tengah bagian timur meliputi daerah Demak ke selatan sampai Solo,” ujarnya dalam Memoar Jenderal Yoga karya B. Wiwoho dan Banjar Chaerudin.


Bukan hanya gangguan keamanan secara fisik, Harian Rakjat, 16 September 1955, menurunkan berita mengenai upaya beberapa perwira Angkatan Darat (AD) yang menginginkan pemilu diundur. Suara-suara dari perwira AD ini muncul tak lama setelah Kabinet Burhanuddin Harahap dilantik. Mereka diperkirakan tidak berjumlah banyak, dan diindikasikan sebagai orang-orang politik yang berseragam militer.


Pihak AD pun buru-buru menangkal berita itu. Juru bicara AD mengeluarkan pernyataan resmi bahwa tugas AD adalah menghadapi gerombolan keamanan dan menjamin terselenggaranya pemilu pada 29 September 1955.


Panglima TT-IV Diponegoro Kolonel Bachrum juga mengeluarkan enam maklumat yang ditujukan kepada anggotanya agar bersikap sopan santun; tidak menyalahgunakan kekuasaaan untuk kepentingan pribadi; jangan merugikan orang lain melalui ucapan dan tindakan; bersikap netral dan adil; jujur dan bijaksana; serta menggunakan hak pilih tidak lebih dengan warga negara lainnya –saat itu, tentara dan kepolisian memiliki hak suara.


Sekira seminggu sebelum pemungutan suara, Dewan Keamanan Nasional yang bersidang pada 21 September 1955 mengeluarkan peraturan batas kampanye untuk menghindari gangguan dari DI/TII. Di Ciamis, Tasikmalaya, Garut, dan Cilacap tidak boleh ada kampanye terbuka pada 22-29 September 1955; wilayah Jawa Barat dan ibukota Jakarta pada 25-29 September 1955; dan seluruh wilayah Indonesia pada 28 September 1955.


Pemungutan suara dimulai pada 29 September 1955. Meski pasukan keamanan sudah disiagakan jauh-jauh hari, mereka masih kecolongan. Empat tentara dan seorang anggota panitia pemungutan suara di Enrekang, Sulawesi Selatan, meregang nyawa ditembak gerombolan DI/TII saat akan mengambil kotak suara di daerah Kalosi.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page