Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Ngeri-Ngeri Sedap di Long Bawang
INGATANNYA masih sangat kuat ketika mengenang pengalamannya di pedalaman Kalimantan. Di teras rumahnya, Komplek Perumahan Lanud Atang Senjaya, Semplak, Bogor, Kolonel (Purn) Pramono Adam masih menggebu kala berbagi segudang kisah penugasannya bolak-balik mengantar Pangdam IX/Mulawarman Brigjen Soemitro dari markasnya di Balikpapan hingga Long Bawang di perbatasan RI-Malaysia era konfrontasi (1963-1965). Ia kala itu masih berpangkat letnan penerbang dari Wing Operasi 004 Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang di-BKO-kan di Kodam IX/Mulawarman. Sejak 1963, AURI menempatkan beberapa helikopter angkut dari Wing Operasi 004 yang berbasis di Lanud Atang Sendjaja (ATS), termasuk heli angkut berat Mil Mi-6 dan heli angkut medium Mil Mi-4, untuk menyokong mobile udara. Dengan heli Mi-4 itulah Pram, sapaan karib Pramono, kerap mengantar Soemitro untuk menginspeksi perbatasan medio Maret-April 1965. “Kalau lewat jalur darat (Soemitro) enggak sampai-sampai. Pernah beliau ngomong, ‘kita bersyukur (ada heli). Saya sudah dua bulan enggak sampai-sampai, akhirnya pulang lagi.’ Kalau ada banjir dia harus menunggu, pernah menunggunya sampai sebulan sampai airnya asat ,” kata Pram kepada Historia . Suatu ketika, Soemitro memaksa Pram mengantarnya untuk inspeksi. Karena saat itu Long Bawang masih “zona merah” untuk mobile udara, mereka nyaris ditelan petaka. “Karena setiap kali kita ke sana untuk mengantar logistik, saya pulangnya 6-7 kali di-howitzer (ditembak meriam Inggris). Tapi Pak Mitro bersikeras. ‘Kita jangan takut, saya yang tanggung jawab,’ katanya. Lalu ia telefon sana-sini sampai akhirnya diizinkan masuk ke sana,” ujar Pram menirukan perintah Soemitro. Mengutip T. Djohan Basyar dalam Home of the Chopper: Perjalanan Sejarah Pangkalan TNI AU Atang Sendjaja, 1950-2003 , Soemitro mengontak Koti (Komando Operasi Tertinggi) di Jakarta untuk bisa masuk Long Bawang. “Setelah diizinkan, digunakanlah dua helikopter dari Balikpapan untuk lebih dulu bermalam di Tarakan, keesoka n nya melanjutkan ke Long Bawang,” sebut Djohan. Mulanya Soemitro meminta Pram mengantarkan sampai Tarakan saja. “Awalnya diminta boleh mengantar sampai Tarakan untuk mampir sebentar, habis itu balik. Tapi malah kemudian disuruh menginap. Haduh , menginap lagi. Untuk hari itu Howitzer-nya (Inggris) enggak meledak-ledak. Cuaca sedang tidak bagus, sore baru bisa take-off ,” sambung Pram. Kolonel (Purn) Pramono Adam turut berkisah kiprahnya sebagai Komandan Skadron 8 AURI yang membawahi belasan heli raksasa Mi-6. (Fernando Randy/Historia) Inspeksi selesai keesokan paginya dan Pram langsung mengantar Soemitro kembali menuju Tarakan. “Tapi kira-kira lima menit meninggalkan Long Bawang, peluru meriam dari arah perbatasan (Malaysia) menghujani seluruh Kecamatan Long Bawang,” tutur Djohan. Pram tak ingat pukul berapa ia berangkat dan muntahan Howitzer Inggris itu terjadi. Sepersekian menit terlambat lepas landas, mungkin ia dan Soemitro takkan selamat. “Puji syukur selamat sampai Tarakan lagi,” ucap Pram sambil menghela nafas. Setelah pemulihan hubungan RI-Malaysia dilakukan tahun 1967, Pram kembali ke basisnya di Lanud ATS. Berpangkat mayor, ia lantas jadi Komandan Skadron 8 yang menaungi sekira 13 unit Mi-6. Heli terbesar di dunia itu mengundang rasa penasaran banyak pihak militer barat. “Orang Barat banyak heran. Pesawat (heli) Mi-6 itu tahan banting meski tidak sophisticated . Untuk kenyamanan nomor dua. Tapi pernah suatu ketika ada Marsekal Wheeler dari Flying School Inggris ingin lihat Mi-6. Kagum dia Rusia bisa bikin yang begini,” Pram mengenang. Helikopter Mil Mi-6, heli angkut terbesar di dunia pernah dimiliki AURI hingga 1971 Saat berbincang, barulah diketahui bahwa Pram dan Wheeler pernah bersinggungan di Tarakan semasa konfrontasi. Pram sebagai pilot heli Mi-6, sementara Wheeler pilot jet tempur Gloster Javelin yang acap terbang untuk menggertak basis-basis TNI di perbatasan. “Dia terus ngomong, Ternyata itu dia (yang menerbangkan). Kata dia, justru dia enggak berani ganggu karena enggak tahu senjata apa yang kita punya. Syukurlah, saya membatin. Wong kita senjatanya cuma (senapan mesin kaliber) 12,7. Hampir enggak pernah dipakai. Lha saya juga takut, biasanya lari ke bawah kendaraan, ngumpet . Ternyata sama-sama enggak berani mengusik,” kata Pram sambil tertawa lepas.
- Naik Heli Cukup Bayar Pakai Kambing
SAAT pertamakali mendapat tugas terbang mengangkut logistik ke perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Timur dalam rangka Dwikora, Lettu Pnb. AURI Pramono Adam mengingat pulau itu masih rimba raya. “Dari tengah Kalimantan mau ke timur, ke Balikpapan atau ke Tarakan, warna laut sama warna hutan sama: biru. Bukan hijau. Masih padat sekali (hutannya, red .),” ujarnya kepada Historia . Celakanya, dalam mengemban tiap tugas memiloti helikopter angkut Mi-4 di pulau yang masih “perawan” itu, dia tak diberi panduan (SOP) dan diberi minim peralatan navigasi. “Jadi blind navigation . Nggak ada yang menunjukkan pada kita,” sambung lelaki yang akrab disapa Pram itu. “Kalau diberi tugas, ini SP, one way trip . Kamu pulang ya syukur, nggak pulang ya nggak masalah. Karena yang harus accomplish itu misi yang pertama. Itu yang harus diselesaikan.” Kendati berat, Pram pantang menolak tugas. “Kita senang aja,” kata Pram. Hal itu yang agaknya menjadi alasan Pangdam Mulawarman Mayjen Soemitro mengandalkan Pram untuk meninjau lapangan. “Pada saat-saat terakhir setelah pengalaman gagal jalan kaki, kami mendapat bantuan helikopter buatan Rusia (M-4). Mobilitas saya menjadi lebih tinggi. Inspeksi ke perbatasan lebih sering,” kata Soemitro dalam otobiografi yang ditulis Ramadhan KH, Dari Pangdam Mulawarman Sampai Pangkopkamtib . Pada suatu hari di Pulau Bunyu, Pram diminta Soemitro menerbangkannya ke Tarakan. Setelah observasi singkat, Pram memberitahu bahwa mereka mesti terbang pukul 4 sore dan sang komandan menuruti. Sesaat sebelum helikopter yang dipiloti Pram terbang, seorang penduduk datang tergopoh-gopoh ke helikopter itu. Orang itu menitipkan seorang keluarganya yang sudah beberapa bulan sakit untuk dibawa ke Tarakan. “Pak, saya nitip kambing untuk Bapak ya. Nanti di Tarakan sana disatelah,” kata penduduk tadi sebagaimana ditirukan Pram. “Saya dikasih kambing. Wah, naik pesawat dikasih (dibayar pakai) kambing,” ujarnya sambil tertawa dan menggelengkan kepala.
- Istri Jenderal Minta Panser
HATI Likas Tarigan ketar-ketir begitu mendengar sejumlah jenderal teras TNI AD di jajaran Staf Umum AD (SUAD) menghilang pada 1 Oktober 1965. Pasalnya, suami Likas yakni Mayor Jenderal TNI Djamin Gintings yang termasuk perwira tinggi SUAD (menjabat Asisten II/Operasi dan Latihan Menpangad) juga saat itu tak jelas keberadaannya . Berita dari radio dan televisi memberikan kabar simpang siur, salah satunya adalah bahwa para jenderal itu diculik oleh pasukan yang menamakan dirinya Gerakan 30 Septebmer. “Aku bertanya dalam hati, di mana suamiku kini berada? Hubungan telepon terputus di mana-mana,” kenang Likas dalam Perempuan Tegar dari Sibolangit: Biografi Likas Tarigan Jamin Gintings karya Hilda Unu Senduk. Djamin Gintings ketika itu sedang kunjungan kerja mendampingi rombongan Menteri Luar Negeri Soebandrio di Medan. Untuk memastikan suaminya aman, Likas bergegas ke lapangan terbang Kemayoran. Tujuannya adalah menitipkan sepucuk surat kepada pilot pesawat terbang yang menuju Medan. Isi surat itu singkat saja: “Apa kabar Abang di sana? Kami sehat dan selamat di sini. Selamatkanlah dirimu.” Di Bandara Kemayoran ada satu pesawat yang siap lepas landas. Tanpa pikir panjang, Likas nekat mengejar pesawat ke landasan pacu. Seorang tentara yang mengenalinya turun dari pesawat. Kepada prajurit itulah Likas menitipkan suratnya. Kendati demikian, batin Likas belum cukup tenang. Selanjutnya dia menghubungi Mayor Jenderal TNI Pranoto Reksosamudra, Asisten III/Personalia Menpangad. Pranoto coba menenangkan istri koleganya itu. Kata Pranoto, “Sepanjang pengetahuan saya, Jamin tidak mendapat bahaya. Tapi saya tidak tahu di mana dia berada. Sudahlah, Ibu tenang saja di rumah.” Likas masih belum puas sebelum mendengar kabar suaminya selamat. Kali ini dia menelepon Brigadir Jenderal TNI Josep Muskita yang menjabat wakil Asisten II, wakilnya Djamin Gintings. Dalam sambungan telepon itu terjadilah percakapan antara keduanya. “Pak, saya minta panser,” kata Likas tegas. “Untuk apa, Bu,” tanya Muskita heran. “Saya mau ke rumah Bapak Soebandrio,” jawab Likas. “Ibu tahu, Soebandrio itu siapa?” ujar Muskita. “Dia kan Menteri Luar Negeri.” Likas mulai tidak sabar dengan tanya jawab yang sedang berlangsung. “Ibu mau apa ke sana?” sanggah Muskita penuh khawatir. “Saya mau menanyakan suami saya. Ke mana ditaruhnya suami saya. Siapkan panser,” perintah Likas. Muskita coba membujuk. “Belum pulang saja Bapak itu, Bu,” katanya. Likas tetap kekeh. Pantang menyerah dia menghadapi anak buah suaminya yang satu itu. “Justru itulah yang akan saya tanyakan. Saya mau ke rumah Bapak Soebandrio menanyakan suami saya. Siapkan panser, Pak,” ujar Likas mengulangi permintaannya. Muskita bingung. Tapi supaya menentramkan suasana, dia janji mengupayakan panser yang diminta. Likas sendiri tdak tahu persis mau diapakan nanti panser tersebut. Namun yang pasti, dengan kendaraan lapis baja itu, dia ingin menyelamatkan suaminya. Sembari menanti, Likas makin tidak sabar. “Tiba-tiba telepon berdering. Dari suamiku! Puji Tuhan, suamiku selamat,” seru Likas. Secara singkat, Djamin mengabarkan bahwa dirinya berhasil pulang kembali ke Jakarta. Djamin telah lebih dahulu menelepon Muskita. Dari Muskita, Djamin kemudian mengetahui istrinya meminta panser. Tentu saja panser yang diminta tidak akan dikirim. Karena sekalipun istri jenderal tertinggi, bukan porsinya mengeluarkan perintah mengerahkan persenjataan berat. Setiba di Jakarta, Djamin singgah sebentar di rumahnya melepas rindu kepada anak dan istri tercinta. Kemudian sebuah panser menjemput Djamin untuk membawanya ke Markas Besar AD. Di sana, rencana disiapkan untuk menghancurkan Gerakan 30 September. Setelah hari-hari operasi penumpasan, Djamin Gintings diangkat sebagai Inspektur Jenderal AD.
- Dokter Jerman Populerkan Pengobatan Tradisional Negeri Jajahan
TAK lama setelah tiba di Hindia-Belanda pada 1823 untuk menjalani tugas di Semarang, Friedrich August Carl Waitz baru menyadari ketiadaan bahan-bahan obat yang biasa dia gunakan di Eropa. Dokter asal Jerman itu pun baru menyadari ada penyakit yang baru ia temui di negeri tropis, seperti disentri dan frambusia. Alhasil, ia kelimpungan dan kehilangan kepercayaan diri pada kemampuan medisnya. Menurut Profesor Hans Pols dari Universitas Sydney dalam artikelnya “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation”, di tahun itu banyak ahli kesehatan Eropa yang mengeluh tentang kondisi medis di Hindia-Belanda. Para dokter kulit putih itu meragukan kemampuan medis mereka karena temuan lapangan berbeda dari yang biasa mereka temui di Eropa. Obat-obatan yang sudah dikirimkan dari Eropa pun tak bisa maksimal lantaran kehilangan khasiat akibat menempuh perjalanan jauh dan penyimpanan yang kurang apik. Para dokter kulit putih, termasuk Waitz, sendiri memprotes penggunaan zat penenang yang berlebihan. Akibatnya, banyak penduduk kulit putih terbiasa mengobati sendiri gangguan kesehatan mereka dan cenderung kurang mengandalkan dokter Eropa. Banyak penduduk kulit putih yang tinggal di pedalaman dan jauh dari akses medis modern memilih berobat ke dukun dan belajar tentang jejamuan. Kala itu, Hindia-Belanda belum punya cukup dokter untuk menjangkau wilayah pedalaman. Untuk mengatasinya, pemerintah mendatangkan banyak dokter dari Eropa. Namun, kenyataan di lapangan justru membuat banyak dokter Eropa mengalami kendala sebagaimana Waitz. Waitz sendiri kemudian mencari cara untuk mengatasi keresahannya dengan meneliti khasiat tanaman obat untuk dijadikan bahan alternatif yang punya efektivitas setara bahan obat yang dikirim dari Eropa. Lantaran sumber yang mudah dijangkau, Waitz tak perlu meninggalkan Semarang untuk mengumpulkan informasi seputar jamu. Mula-mula, ia mengumpulkan informasi dari orang yang biasa ditemuinya sehari-hari, mulai jongos di rumah, tukang jamu, orang di pasar, Tionghoa pemilik toko herbal, sampai ke istri yang dinikahinya dua tahun setelah tiba di Hindia. Pengetahuan umum yang didapat dari mereka itu kemudian diteliti lebih lanjut oleh Waitz menggunakan banyak metode dan ujicoba langsung untuk menemukan tumbuhan mana yang berpotensi manjur. Waitz lalu menjajal pengobatan herbal yang biasa digunakan di Jawa kepada pasiennya maupun dirinya sendiri. Percobaannya menggunakan jamu sebagai obat modern yang mahal itu kemudian dia bukukan dengan judul Practische Waarnemingen Over Eenige Javaansche Geneesmiddelen (Observasi praktis pada pengobatan Jawa). Dalam penyusunan buku itu, menurut Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market menjelaskan, Waitz juga meneliti cara para dukun menyembuhkan, baik dengan menyaksikan langsung atau mendengarkan dari orang lain. Waitz mencatat, dukun mula-mula menebak penyakit pasien berdasar gejala. Bila penyakit sudah ketemu, dukun itu akan membalurkan obat herbal sambil mengucap mantra dan meresepkan jamu untuk diminum. Meski Waitz punya kritik pada keahlian para dukun, ia tetap menghargai kemampuan mereka. Waitz memilih kata dokter untuk menyebut dukun dan memberi gambaran yang amat hati-hati tentang metode penyembuhan tradisional. Waitz tidak memasukkan unsur magis dalam bukunya sehingga para dokter di Hindia-Belanda menjadikannya pegangan ilmiah tentang tanaman obat lokal. Prestasi ini membuat Waitz jadi dokter ternama pada abad ke-19. Sebelum Waitz, beberapa ahli botani juga sudah meneliti tentang tanaman obat. Misalnya, dokter pribadi JP Coen bernama Jacobus Bontius. Ia merupakan dokter lulusan Leiden yang datang ke Batavia pada 1627. Bontius selalu menyarankan Coen untuk rajin minum ramuan obat. Contoh lain ialah Georgius Everhardus Rumphius, yang menyusun enam volume Herbarium Amboinense . Karya Rumphius yang memperkenalkan tanaman obat dan jamu pada dunia medis Barat itu jadi buku babon bagi peneliti Eropa hingga abad ke-20.
- Pulau Liur Naga di Sumatra
Pulau itu menjulang di Laut Lambri. Jaraknya satu hari satu malam jika berlayar ke arah barat dari Pulau Sumatra. Di sekitarnya ombak menggelora. Mega berarak. Pada setiap musim semi beberapa ekor naga suka datang ke sana, bermain-main. Kalau sudah begitu, air liurnya banyak tertinggal di pulau. Karenanya orang menyebutnya sebagai Pulau Liur Naga. Fei Xin, seorang personel militer yang ikut berlayar bersama Cheng Ho dalam buku Catatan Umum Perjalanan di Lautan ( Xingcha Shenglan ) menjelaskan ketika masih segar, air liur naga bentuknya seperti lemak. Warnanya hitam dan kuning. Baunya amis. Tapi nanti, bentuknya akan berubah menjadi gumpalan padat. Penduduk asli di sekitar Pulau Liur Naga suka berperahu ke sana untuk mengumpulkan dan membawa pulang gumpalan liur naga itu. Bila menghadapi ombak yang dahsyat, sering terbalik perahunya. Orang pun terjatuh ke dalam laut. Mereka terpaksa berenang ke darat dengan satu tangan memegang pinggiran perahu yang terbalik dan satu tangan lain mengayun dalam air. Mereka rela bersusah-payah memungutnya karena rupanya liur itu begitu berharga di pasaran. Kalau dijual di pasar Sumatra, satu tahil liur naga bisa dihargai 12 uang emas setempat. Sementara satu kati liur naga akan dibayar dengan uang emas 192 biji, sama dengan 490.000 (ada yang menulis 9.000) uang kepengan Tiongkok. “Artinya tidak murah,” ujar Fei Xin. Pulau Liur Naga merupakan terjemahan dari bahasa Mandarin, Long Xian Yu dalam karya Fei Xin dari tahun 1436. Ceritanya mirip dengan kisah dari catatan yang lebih tua karya Chao Ju-kua, petugas urusan perdagangan luar negeri di Fukien. Kisahnya dibuat pada abad ke-13. Chao Ju-kua menulis kalau di Laut Barat Ta-shi ada naga dalam jumlah besar. Ketika seekor naga berbaring di atas batu, ludahnya mengapung di atas air, kelamaan berubah menjadi keras. “Para nelayan mengumpulkannya sebagai zat yang paling berharga,” catatnya. Rupanya catatan Chao Ju-kua mengutip buku yang lebih kuno milik Chou Ch’u-fei berjudul Ling-wai-tai-ta (1178). Kendati sejak lama disebut berasal dari naga, Fei Xin dalam catatannya menjelaskan, zat berharga itu bisa juga ditemukan dari dalam perut ikan besar. “Ukuran ikannya sebesar peck Tiongkok dan berbau amis. Jika dibakar baunya murni dan enak,” catatnya. Sampai penemuan fotografi bawah laut, hampir tidak diketahui seperti apa rupa paus di lingkungan alaminya. W. P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tiongkok menerjemahkannya sebagai ambergrisyang kini umumnya dikenal sebagai muntahan ikan paus. Asal usul ambergris kala itu sepertinya masih membingungkan orang Tiongkok. Tempat, yang katanya, banyak ditemukan ambergris kenyataannya juga masih begitu asing bagi para pelayarnya. Menurut Groeneveldt, pantai barat Sumatra tak pernah dijelaskan dalam literatur geografi negara itu. “Sepertinya tak ada perdagangan atau kontak dengan wilayah itu. Ketika wilayah ini (barat Sumatra, red .) dijelaskan, seringkali disamakan dengan Persia, atau mayoritas dengan Arabia,” tulisnya. Namun, Groeneveldt berpendapat, pulau di mana banyak ditemukan air liur naga itu pastilah Pulau We, pulau vulkanik kecil di barat laut Pulau Sumatra. Kalau bukan, berarti pulau lain yang lebih kecil, yang ada di sekitar wilayah itu. Sementara, Yuanzhi Kong, peneliti dari Fakultas Bahasa Timur Universitas Peking (Kota Beijing) mengindentifikasi, pulau yang dimaksud adalah Pulau Breueh (Pulau Bras), pulau kecil di sebelah barat Pulau We. Wilayah itu kemungkinan memang cukup banyak menghasilkan ambergris. Berdasarkan catatan resmi Dinasti Ming, Ming Shi ( Sejarah Dinasti Ming ), pada 1433, negeri bernama Sumatra membawa upeti berupa darah naga. Sumatra yang dimaksud nampaknya merujuk pada nama ibukota atau permukiman utama di pesisir. Bukannya nama yang digunakan untuk menyebut seluruh pulau seperti sekarang. Letaknya di sebelah barat Melaka. Setelah beberapa kali berganti penguasa, Sumatra masih mengirim upeti, tetapi lebih beragam. Ambergris masih menjadi salah satunya. Ambergris Sejarawan Arizona State University, Karl H. Dannenfeldt dalam “Ambergris: The Search for Its Origin’ terbit di The University of Chicago Press Journals, menjelaskan ambergris pertama kali diperkenalkan ke dalam obat-obatan, masakan, dan parfum oleh orang-orang Arab. Mereka menyebutnya dengan istilah anbar . Kisah asal usul versi mereka juga tak kalah mitologis. Karya paling berpengaruh yang menyebut ambergris kebanyakan dihasilkan oleh dokter. Misalnya, Ibn Sina (Avienna) pada sekira 1037 mengira kalau ambergris berasal dari air mancur di laut. Lalu tabib abad ke-11 Yuhanna ibn Sarabi (Serapion the Younger), menyatakan bahwa ambergris adalah jamur yang dihasilkan di laut, sama seperti jamur yang terbentuk di darat. Jamur itu lalu terdampar di pantai oleh badai. Pun Ibnu Rusyd (Averroes), seorang filsuf dan pemikir dari Andalusia pada sekira 1198. Dia melaporkan bahwa ambergris adalah spesies kapur barus yang muncul dari air mancur di laut. Berbagai spekulasi itu akhirnya diadaptasi ke dalam kisah fiksi. Dalam salah satu kisah Seribu Satu Malam yang terkenal, Sinbad Sang Pelaut diceritakan bagaimana Sinbad terdampar di sebuah pulau. Dia menemukan mata air ambergris mentah yang mengalir seperti lilin atau permen karet ke laut. Aliran ini yang kemudian tertelan oleh monster-monster dari laut dalam. Ambergris kemudian membakar perut paus. Lalu mereka memuntahkannya. Muntahan itu kemudian membeku di permukaan laut. Ombak melemparkannya ke darat, di mana ia dikumpulkan dan dijual. “Ambergris yang tidak mengalir ke laut membeku di tepi sungai dan menghiasi seluruh lembah dengan aroma seperti kesturi,” lanjut kisah itu. Kini diketahui kalau air liur monster laut itu sesungguhnya adalah hasil sekresi saluran pencernaan paus sperma. Meski tak lagi dihubungkan dengan makhluk mitologis, nilainya tetap tak berubah. Harganya tetap melambung. Di situs penjualan Alibaba misalnya, kini ambergris harganya mencapai 23.000 dolar AS atau 326,5 juta rupiah per kilonya.
- Intel Indonesia Mengejar Perampok Inggris
POLISI dari Metropolitan Police Service berhasil menemukan tempat persembunyian para perampok di Leatherslade Farm. Mereka mendapatkan sidik jari pada botol kecap. Sidik jari itu milik Ronald Arthur Biggs, salah satu anggota perampokan kereta api pos Royal Mail dari Glasgow menuju London pada 8 Agustus 1963. Komplotan perampok itu berjumlah 15 orang. Dipimpin oleh Bruce Reynolds yang bertemu Biggs di penjara HM Prison Wandsworth. Mereka menggondol lebih dari £2,6 juta (sekarang setara dengan £53,5 juta). S alah satu perampokan terbesar di Inggris itu disebut The Great Train Robbery. Biggs ditangkap di London Selatan pada 4 September 1963. Pada 1964, sembilan dari 15 perampok termasuk Biggs dipenjara dengan hukuman tertinggi selama 30 tahun. Setelah 15 bulan di penjara HM Prison Wandsworth, Biggs melarikan diri pada 8 Juli 1965. Dia pergi ke Brussel kemudian ke Paris. Istri dan dua anaknya menyusul ke sana. Mereka kemudian pindah ke Australia. Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia , surat kabar di seluruh dunia memberitakan cerita tentang Ronald Biggs yang melarikan diri ke Australia, Rhodesia, atau Indonesia. Pada Maret 1970, Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara) mendapat informasi adanya seorang pria dengan nama belakang Biggs tiba di Indonesia dari Australia. Satsus Intel pun dikerahkan untuk mengintai orang itu. “Setelah melakukan pengejaran selama tiga minggu, kemudian diketahui bahwa sang pria tersebut bukanlah Ronald Biggs tetapi Donald Biggs, seorang pendeta berusia 56 tahun asal Tennessee,” tulis Ken Conboy. Pada Oktober 1969, koresponden Reuters melaporkan keberadaan Biggs di Melbourne dan polisi tengah mendekatinya. Lima bulan kemudian, dia melarikan diri ke Brasil. Istri dan anaknya ditinggal di Australia. Mereka kemudian bercerai. Biggs memilih Brasil karena tidak memiliki perjanjian ekstradisi dengan Inggris. Dia tinggal di Brasil sejak 1970. Butuh waktu lama untuk Inggris dan Brasil meratifikasi perjanjian ekstradisi pada 1997. Dua bulan kemudian, pemerintah Inggris secara resmi mengajukan permintaan kepada pemerintah Brasil untuk mengekstradisi Biggs. Biggs menyatakan tidak akan menentang ekstradisi. Namun, permintaan ekstradisi ditolak oleh Mahkamah Agung Brasil dan memberikan hak kepada Biggs untuk tinggal di Brasil selama sisa hidupnya. Akhirnya, Biggs memutuskan untuk kembali ke Inggris. Pada 7 Mei 2001, dia tiba di Inggris dan ditangkap untuk menjalani hukuman. Setelah beberapa kali permohonannya ditolak, Biggs akhirnya dibebaskan dengan alasan belas kasihan karena kesehatannya memburuk pada 6 Agustus 2009, dua hari sebelum ulang tahun yang ke-80. Biggs sempat menghadiri pemakaman pemimpin perampokan, Bruce Reynolds, pada Maret 2013. Tak lama kemudian, pada 18 Desember 2013, di usia 84, Biggs meninggal di tempat perawatannya, Carlton Court Care Home di Barnet, London utara. Kematiannya hanya beberapa jam sebelum penayangan perdana serial televisi BBC dua bagian, The Great Train Robbery , di mana Biggs diperankan oleh aktor Jack Gordon.
- Tan Malaka dan Delapan Tokoh Indonesia Jadi Nama Jalan di Amsterdam
PEMERINTAH Kota Amsterdam akan meresmikan penggunaan nama jalan-jalan di kawasan pemukiman Ijburg yang mengabadikan 27 nama tokoh antikolonial dari negara bekas koloni Belanda, sembilan di antaranya dari Indonesia. Selain sembilan nama tokoh, bakal ada satu nama jalan yang menggunakan nama Merdekastraat atau Jalan Merdeka.
- Gila Baca Pendiri Bangsa
SEWAKTU mendekam di Penjara Glodok, Mohammad Hatta menuliskan sepucuk surat. Surat bertanggal 20 April 1934 itu ditujukan kepada T.A. Murad, Ketua Dewan Pimpinan Pusat PNI Baru. Hatta menuturkan, “Aku bisa hidup di manapun, asal dengan buku.” Murad kemudian memuat “curhatan” Hatta yang sedang dihukum oleh pemerintah kolonial tersebut ke dalam suratkabar Daulat Ra’jat , 10 Mei 1934. “Buat banyak orang penjara itu tempat yang buruk, tempat yang tidak ada enak-enaknya, tidak ada yang baik. Tapi buat Bung Hatta, penjara adalah ruang semedi, ruang pertapaan di mana orang bisa memperkuat watak, memperkuat iman, terutama jalannya adalah dengan membaca,” ujar sejarawan J.J. Rizal dalam diskusi publik “Literasi Kita, Masa Depan Bangsa” di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta Pusat, 31 Juli 2019. Menggambarkan Hatta dengan buku, menurut Rizal ibarat gigi dengan gusi: dekat sekali. Bahkan, kata Rizal, istri pertama Hatta bukan berwujud manusia melainkan buku. Meski demikian, Hatta hanyalah satu dari sekian banyak tokoh bangsa dengan reputasi sebagai pecinta buku (bibliofil). Di awal abad 20, hampir seluruh pendiri bangsa punya cerita dengan buku. Abdul Rivai, dokter bumiputera pertama yang lulus dari Belanda, misalnya. Rivai dikirim belajar ke Belanda dan menuliskan pengalaman-pengalamannya dalam kumpulan artikel yang kemudian diterbitkan menjadi Student Indonesia . Di salah satu artikelnya yang ditulis pada 1901, Rivai mengatakan, “Karena aku membaca, maka aku bertanya siapakah kita?”. Membaca telah membuat Rivai mempertanyakan siapa dirinya, siapa kaumnya. Itulah untuk kali pertama, persoalan nasionalisme dikumandangkan oleh seorang bernama Abdul Rivai. Pertanyaan itulah yang pada 1912 dijawab oleh tiga serangkai: Douwes Dekker, Suwardi Suryaningrat, dan Cipto Mangunkusumo dengan mendirikan Indische Partij, partai politik pertama yang mengusung nasionalisme Indonesia di tengah dominasi kolonialisme Belanda. Ada lagi Kartini, namanya sohor sebagai pejuang emansipasi wanita. Kartini di sebuah desa kecil di Jepara, hidup dalam limpahan literasi. Pada 1903, Kartini menulis, “Aku benamkan diriku dalam membaca dan membaca.” Pernyataan itu kelak terekam dalam kumpulan suratnya yang dibukukan pada 1911 berjudul Habis Gelap, Terbitlah Terang . Dari membaca, Kartini pun kian “melek” terhadap situasi sekitar. Apalagi pada zamannya, Kartini menyaksikan betapa minornya kedudukan perempuan dalam feodalisme masyarakat Jawa. Inilah yang mendorong Kartini menjadi kritis mempersoalkan konsep kesetaraan. Kelak, namanya tercatat dalam sejarah karena memperjuangkan ruang privat bagi perempuan untuk memperoleh pendidikan. J.J. Rizal dalam diskusiLiterasi Kita, Masa Depan Bangsa di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta Pusat, 31 Juli 2019. (Fernando Randy/Historia) Yang juga tidak kalah gandrung dengan buku tentu saja Sukarno. Di umurnya yang masih sangat belia (15 tahun), Sukarno memuaskan dahaga intelektualnya dengan memanfaatkan perpustakaan milik perkumpulan teosofi di Surabaya. Selain penerbitan, kelompok teosofi saat itu mempunyai koleksi bibliotik terbaik yang hanya bisa disaingi oleh organisasi seperti Muhammadiyah. Karena itu, pada 1916 Sukarno pernah menulis, “Buku mengenalkanku pada dunia dengan pikiran-pikiran terhebat dan aku ingin dunia tahu, aku dan bangsaku juga besar.” Melalui buku Sukarno melampaui imajinasi kebanyakan orang-orang sebangsanya. Kendati hidup di dunia kolonial, Sukarno telah membayangkan akan kemerdekaan bangsanya dan menjadi bangsa yang digdaya. Pendiri Sarekat Islam Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang juga gurunya Sukarno ini adalah seorang pembaca buku yang militan. Begitu militannya, bahkan dia pun tidak sungkan melahap buku-buku beraliran kiri. “Aku menemukan api Islam di dalam buku,” kata Tjokro. Hasil pemikiran Tjokro tentang nilai-nilai sosialis dalam Islam melahirkan buku berjudul Islam dan Sosialisme pada 1924. Sementara itu, Tan Malaka adalah contoh seorang pembaca yang loyal sekaligus royal. Tan merupakan tipikal yang sedia mengalokasikan biaya kebutuhannya untuk belanja buku. Demi buku, Tan bahkan rela mengencangkan ikat pinggangnya kuat-kuat dengan mengurangi jatah makan. Ini terungkap dalam karya monumentalnya yang terbit pada 1943 berjudul Madilog: Materialisme, Dialektika, Logika. ”Mengunjungi toko buku adalah pekerjaan yang tetap dan dengan giat saya jalankan,” kata Tan Malaka. “Selama toko buku ada, selama itu pustaka bisa dibentuk kembali. Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dan makanan dikurangi.” Dalam Madilog , Tan menuturkan kegigihannya menyerap pengetahuan lintas ilmu bukan tanpa tujuan. Mulai dari buku bidang eksakta, ekonomi, politik, hingga sejarah dia pelajari. Semua buku-buku itu membantu Tan membebaskan diri dari sesat pikir atau semacam takhayul di tengah masyarakat kolonial yang dalam istilahnya disebut “logika mistika”. Belenggu pola pikir kolot inilah yang hendak diberantas Tan dari kaum sebangsanya pada zaman itu. “Bangsa ini didirikan oleh mereka yang membaca. Bangsa ini basisnya adalah buku. Kalau kita ingin punya masa depan sebagai bangsa, kita tidak boleh kehilangan tradisi membaca....” ujar Rizal. Dari semua kisah para tokoh tersebut, barangkali hanya Hatta yang koleksi bukunya masih terjaga dengan baik. Keluarga besar Hatta memutuskan merawat secara swadaya buku-buku itu yang dinilai sebagai warisan paling berharga dari Bung Hatta - selain tentu saja pemikiran dan perjuangan Hatta bagi bangsa dan negara. Menurut Tan Sri Zulfikar Yusuf, salah satu cucu Bung Hatta, sebanyak 18.000 judul buku koleksi Hatta kini tersimpan di rumah peninggalan Hatta di Jalan Diponegoro 57, Jakarta Pusat.
- Di Balik Patung Jenderal Ahmad Yani
BERDIRI tegap dengan tangan ke belakang sambil menggenggam sebilah tongkat, sosok itu tampak gagah. Terik mentari ataupun deras terpaan hujan tak pernah dipedulikannya. Sudah 53 tahun ia setia menyambut tamu yang berkunjung ke rumahnya atau orang-orang yang melintas di persimpangan Jalan Latuharhari dan Jalan Lembang. Ialah Jenderal (Anumerta) Ahmad Yani, menteri/panglima Angkatan Darat (1962-1965), dalam bentuk patung. Berbahan perunggu, patung setinggi tiga meter itu berdiri di atas sebuah relief setinggi satu meter yang dikitari kolam ikan. Relief itu menggambarkan kiprah Yani sejak Perang Kemerdekaan hingga hari-hari menjelang peristiwa berdarah 1 Oktober 1965. Patung Yani berada di halaman Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani di Jalan Lembang Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat. Bangunan museum sebelumnya merupakan kediaman pribadi Yani, yang menjadi saksi bisu penculikan Yani di pagi buta 1 Oktober 1965. Rumah itu resmi dijadi kan museum dengan koleksi memorabilia sang mendiang oleh Menpangad/Ketua Presidium Kabinet Ampera Jenderal Soeharto tepat setahun setelah kejadian. Dalam perjalanan, pengelolaan museum berpindah tangan dari pihak keluarga ke Dinas Sejarah Angkatan Darat (Disjarhad). Menpangad Jenderal Soeharto meresmikan rumah mendiang Ahmad Yani menjadi museum (Foto: Koleksi Museum Sasmitaloka Pahrev Ahmad Yani) Dalam peresmian museum, patung itumelengkapi koleksi. Amelia Yani, putri tertua Yani yang kini menjabat Duta Besar RI untuk Bosnia-Herzegovina, ingat betul kejadian misterius kala penyingkapan patung itu dari selubungnya saat peresmian. “Ada kejadian unik waktu itu. Patung bapak (Jenderal Yani) di depan rumah itu sebelumnya kan tertutup kain putih. Waktu itu angin berembus kencang sekali. Sesekali juga diselingi gemuruh petir. Tapi setelah kainnya disingkap dan dibuka, suasananya (cuaca) biasa lagi,” kata Amelia medio Juni 2015. Permintaan Istri Jenderal Yani Patung Yani beserta reliefnya itu merupakan karya seniman Soenarto Pr alias Soenarto bin Moe’id Prawirojardjono dan rekan-rekannya dari Sanggar Bambu, Yogyakarta. “Setelah beberapa waktu pasca-Pak Yani gugur, bapak (Soenarto Pr) dan teman-teman sanggar datang ke Jakarta, mengucapkan belasungkawa atas nama Sanggar Bambu,” tutur Mirah Maharani, putri Soenarto Pr , kepada Historia. Mengutip Mengungkap Perjalanan Sanggarbambu terbitan Kemenbudpar 2003, kala itu sekira 100 hari meninggalnya Jenderal Yani, Soenarto dan rekannya Kuswandidari Sanggar Bambu datang di Kramat Jati, Jakarta Timur dan berjalan kakike kediaman Jenderal Yani. Mereka datang membawa lukisan belasungkawa. “ Enake gawe opo neng kono ? (Enaknya dibuat apa di sana?)” tanya Ibu Yani pada Soenarto Pr seraya menunjuk halaman depan. “Patung Pak Yani, Bu,” jawab Soenarto. “Bener! Wis ngene Mas Narto, siapkan saja rencananya dan terserah Mas Narto sepenuhnya, apa saja yang dibutuhkan. Dana sudah pasti. Satu Oktober 1966 ini diresmikan, sanggup?” “ Inggih , sendika , Bu (Baik, siap, Bu).” Soenarto Pr (kanan) kala berdiskusi dengan Yayu Ruliah, istri (alm) Ahmad Yani terkait pembuatan patung (Foto: Repro Katalog Pameran Tunggal Soenarto Pr 2010) Soenarto dan Yani beserta istrinya sudah kenal dekat. Semasa Perang Kemerdekaan, Soenarto yang jadi personil Brigade XVII Tentara Pelajar (TP)acap jadi intel dan kurir yang menghubungkan pesan-pesan komandannyake Yani selaku komandan Brigade IX Kuda Putih. “Makanya pernah suatu ketika sebelum meninggalnya Pak Yani, bapak datang ke rumah Pak Yani. Biasanya Pak Yani tanya , ‘mau ketemu ibu (istri Yani) atau ketemu saya’ . Kalau urusannya dengan Pak Yani, biasanya diajak ke dapur, lalu Pak Yani menyalakan k e ran biar suaranya tersamar. ‘ Ada urusan apa? ’ , biasanya begitu sambil pura-pura cuci tangan. Mungkin itu kebiasaan sejak zaman perang,” ka ta Aditya Rochim, suami Mia , yang juga acap mendengar kisah itu dari Soenarto. Kedekatan itu membuat Nyonya Yani mempercayakanpembuatkan patung dan reliefnya pada seniman kelahiran Bobotsari, 20 November 1931 itu. Soenarto membuatnya bersama rekan-rekandi Sanggar Bambu berbekal sebuah foto sang jenderal. “Selain dari foto Pak Yani untuk detail wajah, figurnya juga menggunakan model, ya temannya bapak sendiri, Pak Wardoyo. Ia dipakaikan baju tentara dan berpose seperti yang di patung itu. Mungkin bapak memilih Pak Wardoyo karena di antara kawan-kawannya, dia yang posturnya paling atletis seperti tentara,” sambung Mia. Nyonya Yani acap berkunjung ke Yogya untuk melihat proses pengerjaannya. Sesekali juga istri Jenderal Yani memberi sedikit koreksi hingga dirasa pas. “Kalau lagi ketemu bapak, Bu Yani jarang mau diganggu. Bilangnya, ‘Nanti saja, soalnya masih bersama orang idealis’,” tambahnya merujuk pada julukan Bu Yani untuk Soenarto, perupa yang juga pelukis. Pemasangan patung Jenderal Yani di halaman rumah jelang peresmian 1 Oktober 1966 (Foto: Koleksi Museum Sasmitaloka Pahrev Ahmad Yani) Patung pun rampung sesuai waktu yang ditentukan. Sehari sebelum peresmian, patung itu dipasang di halaman depan rumah. Patung itu jadi “bintang” dalam peresmian museum. Selain patung Yani, patung-patung karya Soenarto lainnya antara lain patung dada S. Parman di Wisma Sandi Pala (1967), Monumen Gatot Subroto Berkuda di Purwokerto (1982), 15 patung dada pahlawan di Gedong Joang ’45 Jakarta (1985), danpatung MH. Thamrin di Museum MH. Thamrin Jakarta (1986).
- Orang Eropa Asli Berkulit Gelap
KEINGINTAHUAN yang besar akan asal usul manusia Eropa, telah mejadi alasan kuat Bryan Clifford Sykes untuk memperdalam ilmu genetika manusia. Profesor di Oxford University, Inggris, ini memiliki peran yang amat penting dalam mengungkap gambaran nenek moyang bangsa Eropa yang sejatinya berkulit gelap. Amat jauh berbeda dengan keadaan sekarang. Dalam bukunya, The Seven Daughters of Eve: The Science That Reveals Our Genetic Ancestry , Bryan menjabarkan penelitiannya tentang Cheddar Man, sosok manusia modern permulaan yang hidup di Inggris. Manusia dari 10.000 tahun lalu inilah yang mewariskan gennya kepada 10 persen populasi masyarakat Eropa sekarang. “Tidak mudah melihat sosok yang hanya menyisakan tulang-belulangnya saja. Tetapi saya mulai dapat membayangkan struktur tubuh dan kulitnya dari konstuksi tengkorak yang ada ini,” tulis Bryan. Fosil Cheddar Man ditemukan pada 1903 di Gua Gough di Cheddar Gorge, Somerset, Inggris. Peneltian yang dilakukan Natural History Museum London dan University College London terhadap fosil tersebut menghasilkan sejumlah fakta yang mencengangkan: manusia Eropa bermata biru, bekulit gelap, dan berambut ikal hitam. Leluhur Cheddar Man berasal dari Afrika. Mereka kemudian bermigrasi ke Timur Tengah hingga sampai di barat Eropa. Dari sini mereka menyebar ke berbagai wilayah di dataran utama Eropa dan Britania Raya. Untuk membuktikan ikatan gen Cheddar Man di dalam tubuh manusia Eropa masa kini, para peneliti dari Oxford University dan Natural History Museum mengambil sampel DNA sang manusia purba lalu membandingkannya dengan masyarakat yang tinggal di Cheddar, Somerset, dekat tempat ditemukannya Cheddar Man. Hasil uji genetika yang ditulis oleh Mariette DiChristina, seorang jurnalis sains, di dalam majalah Popular Science Juni 1997, menyebut jika sampel DNA Cheddar Man yang diujikan itu cocok dengan gen sejumlah orang di Cheddar. Ada sebagian orang yang secara susunan genetika mirip dengan Cheddar Man. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat Eropa, walau sudah berubah secara fisik, masih mewariskan genetika yang sama dengan manusia permulaan di sana. Analisis DNA Cheddar Man itu juga menguak fakta jika dahulu tak ada manusia yang memiliki varian genetika berkulit dan berambut terang seperti dominan penduduk Eropa sekarang. Bahkan manusia purba dari Inggris ini memiliki kedekatan dengan fosil manusia yang ditemukan di Spanyol, Luxemburg, dan Hongaria. Arkeolog Tom Both dalam situs resmi Natural History Museum, nhm.ac.uk , meyakini kalau manusia yang datang ke Eropa ribuan tahun lalu memiliki kemampuan beradaptasi yang cepat. Mereka dapat menyesuaikan kondisi iklim di Eropa, sehingga lambat laun warna kulitnya berubah menjadi terang. “Kulit pucat lebih baik dalam menyerap sinar UV dan membantu manusia mengindari kekurangan Vitamin D di daerah yang kurang sinar matahari,” ungkapnya. Berbagai penelitian telah membuktikan: manusia yang tinggal di daerah tropis dengan cahaya matahari berlimpah memiliki cara beradaptasinya sendiri, yakni memperbanyak lapisan melanin di kulit. Hal itulah yang membuat mereka memiliki ragam warna kulit. Sementara manusia yang hidup di daerah sub-tropis akan mengurangi lapisan melanin agar dapat menyerap cahaya matahari secara optimal. Kulit mereka pun akhirnya terlihat pucat dan lebih terang. Sementara perihal penduduk berkulit gelap yang kini tersebar di Eropa datang pada era yang terbilang baru. Jauh setelah Cheddar Man, dan manusia sezamannya beradaptasi dengan iklim Eropa. Melalui makalah, Menjadi Manusia Indonesia: Menafsir Ernst Mayr, Richard Leakey, dan Matt Ridley disajikan dalam acara “Kajian Sains Populer: Asal Usul Manusia Indonesia,” Ahmad Arif (penulis dan wartawan Kompas ) menyebut jika mereka kebanyakan datang dari Afrika dan Asia. “Menurut sensus penduduk Inggris tahun 2011, hanya 2 persen warga daerah asal Cheddar Man di Somerset yang mengaku berkulit hitam ( Black and Minority Ethnic ). Selebihnya mengaku sebagai White British atau kulit putih Inggris,” kata Ahmad.
- Asal-Usul Bandit di Perdesaan
HAMPARAN sawah hijau, pegunungan berselimut awan, sungai jernih mengalir, dan udara bersih. Suasana perdesaan begitu memikat. Orang kota datang ke desa untuk mencari kedamaian. Mereka menempatkan desa sebagai obat stres. Bayangan mereka, kehidupan di desa selalu serba tenang dan ajeg. Petani kelihatan bergembira dan harmonis.





















