top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pertempuran Surabaya dari Mata Perempuan

    SUATU hari di Surabaya pasca-proklamasi. Pasukan Inggris menyerang Banyuurip, Surabaya. Riet dan suaminya, Boenakim, yang sedang berjaga di pos dekat Pasar Kupang, menyaksikan mereka menembak ke segala arah dengan membabi buta. Sejak pertempuran pecah, Riet ambil bagian dalam perjuangan sebagai anggota palang merah. Sementara, Boenakim sebagai komandan pos. “Aduh!” kata Boenakim yang sekonyong-kongyong ambruk. Riet langsung menjerit. Dilihatnya punggung Boenakim berlubang terkena peluru yang menembus lewat dadanya. Darah mengalir dari dada, punggung, mulut, dan telinga Boenakim. Di tengah kepanikannya, Riet terus memberi pertolongan pada suaminya. Parto, anak buah Boenakim, lantas datang membantu. Riet dan Parto bahu-membahu merawat luka Boenakim. Namun sayang, nyawa Boenakim tak tertolong. Di pangkuan istrinya, Boenakim meninggal pada 11 November 1945 pukul 10.45. Sampai di rumah Riet, Kampung Asemjajar, suasana sudah sunyi. Seluruh penduduk kampung mengungsi lantaran takut sewaktu-waktu dibom Sekutu. Pasalnya, kampung sebelah, Asemrowo dan Dupak, sudah dibumihanguskan Sekutu dengan hujan bom. Setelah satu jam menyiapkan pemakaman hanya bersama Parto, Riet kedatangan empat perempuan tetangga yang membantunya bekerja di dapur. Suara bom dan mortir terus-menerus terdengar di kejauhan. Semua bekerja dengan cemas. Pukul tiga sore, suara ledakan bom makin menjadi namun hilang setengah jam kemudian. Riet mengira kedua belah pihak kehabisan amunisi. Di saat itulah, anak buah Boenakim berdatangan untuk memberi penghormatan terakhir kepada komandan mereka. Menjelang penguburan, suara letusan senjata kembali terdengar. Jenazah Boenakim yang semula akan dimakamkan bersebelahan dengan ibunya, batal dilakukan. Situasi terlalu berbahaya, jalan-jalan ditutup. Satu-satunya tempat aman yang bisa dijangkau adalah kebun milik Riet di dekat sawah. amun ketika rombongan baru jalan sekira 100 meter, letusan senjata kembali terdengar. Mereka langsung tiarap dan mencari tempat aman. Keranda terpaksa mereka taruh di tanah. “Karena keadaan inilah jarak dekat antara rumah dan kebon, kami tempuh tak kurang dari satu jam,” kata Riet Boenakim dalam memoarnya, Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi jilid 3. Malamnya, Riet langsung meninggalkan kampung dan bergabung dengan pejuang lain di Banyuurip. Riet bekerja di dapur umum merangkap juru rawat dan dilibatkan dalam rapat-rapat strategis. Pada hari kelima pasca-kematian Boenakim, Pos Banyuurip diserang. Seluruh pengungsi dan para pejuang pindah ke Kandangan. Riet mengikuti dengan menumpang tank. Setelah Kandangan tak lagi aman, warga Surabaya mengungsi ke berbagai tempat. Riet memilih ke Yogyakarta. Kembali ke Yogyakarta Yogyakarta bukan kota asing buat Riet. Ia lahir dan besar di sana. Riet menempuh pendidikan di Neutrale Hollandsche Javanesche Meisjeschool bersama Arini Soewandi, kelak menjadi anggota DPRD DIY 1966/67. Semasa sekolah, Riet dan Arini aktif di kepanduan yang diketuai Pranyoto. “Kami mempunyai idola pemimpin yang sama, yakni Bapak Pranyoto. Orangnya tenang, sabar, dan berwibawa,” kata Arini dalam memoarnya di Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi V. Sekembalinya ke Yogyakarta, Riet langsung aktif di Perwari dan menjadi pengurus ranting Danureja. Mereka lalu membuka kelas penghapusan buta huruf untuk anak-anak kelas bawah dan perempuan dewasa yang belum pernah mengenyam pendidikan Barat. Riet juga aktif menyelenggarakan dapur umum dan mengumpulkan informasi sembari menyamar sebagai mbok - mbok pencari bayam. Keaktifannya di Perwari tak membuat Riet meninggalkan kepanduan. Kesibukannya makin bertambah setelah menjadi pegawai sipil menengah di bagian pemeriksaan Markas Besar Polisi Tentara Laut pada November 1946. “Tugas sosial Perwari dan kepanduan tetap kukerjakan pada sore harinya, bahkan sampai malam hari,” kata Riet. Semasa Ki Mangunsarkoro menjadi Menteri Pendidikan, Riet bekerja di Pendidikan Masyarakat bagian Kepanduan, Pemuda, dan Olahraga. Riet kemudian diperbantukan di Kwartir Besar Putri Pandu Rakyat Indonesia. Banyaknya pelatihan yang diikutinya membuat Riet kemudian diangkat menjadi Komisaris Besar (Andalan Nasional) golongan Kurcaci yang memimpin Pramuka Siaga Putri. Bersama Eni Karim, Rimmy Tambunan, Otti Adam, dan Mulyati, Riet dilantik menjadi anggota inti Korps Wanita Angkatan Darat dengan pangkat mayor pada 1960. Dari kedua lembaga ini, Riet mendapat banyak ilmu baru dan sering dikirim untuk mengikuti kursus-kursus kepemimpinan, salah satunya pelatihan pandu putri internasional di Australia pada 1971. Terbitan pramuka putri Australia, Matilda , memberitakan kedatangan Riet bersama dua orang perwakilan Indonesia. “Sangat sulit mengenali seorang Letnan Kolonel Nyonya Riet D Boenakim dari Indonesia, mengenakan pakaian nasional dan menampilkan tarian tradisional,” ditulis Matilda, Juli 1971. Riet terus aktif dalam kepanduan dan militer. Ia menjadi Komandan Detasemen Korps Wanta Angkatan Darat II di Bandung dan menjadi staf Kwartir Nasional Gerakan Pramuka. Kepengurusannya di Perwari juga terus dipertahankannya. Selama lima tahun sejak 1973, Riet menjadi direktris Panti Asuhan Trisula milik Perwari. Keaktifan di militer dan kegiatan sosial Riet menjadi pembunuh sepinya pasca-kematian suaminya. “Aku merasa hidup kembali dan menghirup kesegaran,” kata Riet.

  • Wasit yang Tak Mempan Digoda Suap

    SEJAK dibentuk Polri pada pertengahan Januari 2019, Satgas Antimafia Sepakbola sudah menetapkan 16 tersangka match fixing alias pengaturan skor. Selain para pengurus PSSI dan klub, enam di antaranya merupakan perangkat pertandingan, baik wasit maupun Komite Wasit hingga Direktorat Penugasan Wasit PSSI. Hampir di semua skandal suap dan pengaturan skor yang terjadi dalam sepakbola di berbagai penjuru dunia, keterlibatan perangkat pertandingan senantiasa hadir. Di Indonesia, perkara yang berembus kencang pascaprogram “Mata Najwa” akhir tahun lalu itu sejatinya bukan barang baru. Makanya, Kosasih Kartadiredja geleng-geleng kepala kendati tidak kaget. “Dari dulu itu mah . Di zaman saya juga sudah marak pengaturan skor, tapi cukong-cukong orang Tionghoa itu pelakunya,” ujar Kosasih saat ditemui Historia di kediamannya di Cikole, Sukabumi pada 12 Februari 2019. Kosasih dikenal sebagai wasit yang tak kenal kompromi di kompetisi Perserikatan. Reputasinya mulai disegani semenjak menjadi wasit Indonesia pertama yang memegang lisensi FIFA pada 1972 dan dikenal dunia karena menjadi perangkat pertandingan dalam Piala Dunia Yunior 1979 di Tokyo, Jepang. Sebagai wasit, Kosasih tentu tidak bebas dari incaran para cukong penjudi bola yang berupaya menyuapnya agar memenangkan satu tim tertentu. Bukan sekali-dua kali Kosasih ditawari duit jutaan rupiah oleh mereka. Namun, Kosasih tak sekali pun mau terima. “Banyak dulu mah (yang menawarkan uang). Memang dulu gaji wasit paling hanya sekitar Rp20 ribu per pertandingan. Kadang ada yang menawarkan Rp5 juta, sampai Rp10 juta. Tapi tidak pernah mau saya terima. Ke saya enggak mempan, malah kemudian dia (cukong pengaturan skor) masuknya ke pemain,” kenang lelaki berusia 85 tahun itu. 10 Ribu Dolar di Bungkus Rokok Tidak hanya di level Perserikatan, saat Kosasih bertugas di SEA Games 1981 tawaran juga mendatanginya. Kosasih masih ingat betul peristiwa itu. Menjelang laga final Thailand vs Malaysia, 15 Desember 1981, seorang suruhan pejudi bola mendatanginya ke tempatnya menginap, Hotel Admiral di Manila. Orang suruhan itu minta Kosasih memenangkan Malaysia. “Dia telepon ke kamar hotel saya. Minta bertemu di restoran hotel. Saya samperin. Ketemu sama yang mau kasih uang sama orang suruhannya, orang Indonesia namanya Hasan. Pejudinya bilang, ‘ help me , Thailand must not win against Malaysia’,” sambung Kosasih. Kosasih ditawari uang 10 ribu dolar yang dibundel dalam bungkus rokok. Kosasih menolak mentah-mentah. “Lalu saya pilih pergi. Pas mau balik ke kamar, dicegat sama orang suruhannya, si Hasan. Dia bilang, ‘kenapa tidak diambil? Kamu bodoh!’ Begitu katanya sambil nyodorin duit itu ke tangan saya. Saya katakan tidak mau. Saya kasihkan lagi duitnya. Buat apa saya terima uang begitu? Nama baik saya jadi jelek,” lanjutnya. Kosasih makin mengerti alur pengaturan skor saat sudah pensiun dan menjadi inspektur wasit dalam Komisi Wasit PSSI periode 1986-1995. Beberapa langkah antisipatif pun dibuat Kosasih agar para wasit yang memimpin pertandingan tak menerima suap. “Waktu saya sudah jadi inspektur wasit, kan biasanya tugas saya yang menyusun perangkat pertandingan. Pernah juga ada yang langsung datang ke saya mau kasih uang. Waktu itu ada pertandingan Blitar (PSBI) vs Kendal (Persik Kendal),” kata Kosasih, yang sayangnya sudah tak ingat tahun atau musim kompetisinya. Bersama beberapa wasit yang diduga sudah terlibat, cukong judi bola mendatangi Kosasih di ruangannya. “Ada yang datang ke saya bilang, ‘Pak Kos, ini amplop. Terima saja, buat shopping-shopping lah.’ Saya lihat isinya Rp5 juta dari (oknum) PSBI Blitar itu. Ternyata saya sadari juga wasitnya main (suap). Saya tolak. Saya marah-marah. Saya sanksi besoknya tidak boleh memimpin pertandingan lagi,” ujarnya. Kosasih akhirnya memblokir semua telepon yang tersambung ke kamar-kamar hotel yang jadi tempat penginapan para wasit jelang pertandingan. Sial, upaya itu ternyata belum cukup. “Sudah saya blokir telepon di semua kamar wasit. Tapi dia (oknum wasit) malah bandel. Keluar dia pas sudah dini hari untuk transaksi pengaturan skor. Termasuk kawan saya, Djafar (Umar). Maaf ya karena orangnya juga sudah meninggal, dia juga ikut main dengan mafia itu,” terang Kosasih. Djafar Umar akhirnya tersandung perkara pengaturan skor pada Liga Indonesia 1998. Oleh Tim Pencari Fakta Mafia Wasit PSSI, sang ketua Komisi Wasit itu disanksi larangan terlibat dalam sepakbola Indonesia seumur hidup. Kosasih Kartadiredja (kiri) saat diterima Presiden Soeharto di Istana Negara pasca-Kongres PSSI 1987 (Foto: Dok. Pribadi Kosasih Kartadiredja) Tawaran untuk mengatur skor nyatanya juga datang dari pengurus PSSI. Namun, Kosasih enggan menyebut namanya. “Dia minta bantu timnya menang. Ya tim dari Sumatera lah. Saya tegaskan tidak mau. Wah kacau bener, ternyata dari pusat ada yang ingin main mata begitu (pengaturan skor),” kenangnya lagi. Kosasih mengaku, lebih nyaman hidup pas-pasan dari hasil keringat sendiri ketimbang berlebih tapi dari hasil “uang panas”. Hal itu membuatnya selalu menolak tawaran menggiurkan yang datang padanya. “Ingat pesan-pesan orangtua saya dulu. Hidup itu harus jujur. Saya saja dulu tidak boleh jadi polisi karena biasanya menangkap orang yang tidak bersalah. Tidak boleh jadi sopir karena rawan menyeleweng dan main perempuan. Tidak boleh kerja di bank karena renten,” kata Kosasih. Hal itu pula yang membuatnya memutuskan pensiun dini dari Pemda Kabupaten II Sukabumi pada 1993. Ia tak mau makan gaji buta lantaran jarang masuk kerja gara-gara sibuk di Komisi Wasit PSSI. Hingga saat ini, Kosasih hanya hidup pas-pasan dari uang pensiunan PNS Golongan III-C. “Karena malu akhirnya saya mengundurkan diri tahun 1993 dari PNS Pemda (Sukabumi). Memang awalnya mereka dulu selalu kasih izin tapi kadang sayanya yang malu karena enggak bisa mengerjakan pekerjaan di wilayah (pemda),” tandas Kosasih.

  • Wasit Berlisensi FIFA Pertama yang Terlupa

    SETAPAK demi setapak, Kosasih Kartadiredja melangkahkan kaki dengan bantuan kruk dari sebuah pangkalan ojek ke rumahnya yang berjarak sekira 200 meter. Di pangkalan ojek itulah sehari-hari wasit legendaris itu menghabiskan waktu masa senjanya dengan bercengkerama bersama tukang ojek. Siang itu, 12 Februari 2019, Kosasih menerima Historia di teras rumahnya di Cikole, Sukabumi. Setelah sang istri rampung menata cangkir-cangkir kopi di meja teras, Kosasih bersemangat membicarakan sepakbola Indonesia “zaman now ”, yang amat berbeda dari masa ketika dia masih memimpin sejumlah pertandingan, baik di dalam maupun luar negeri di era 1970-an. Pun soal perwasitannya. “Wasit sekarang saya lihat kadang takut mengeluarkan kartu kuning atau merah. Takut mungkin tekanan tuan rumah atau penonton. Enggak boleh begitu! Wasit itu director of the game , pemimpin pertandingan,” ujarnya saat memulai perbincangan . Dari Pemain Jadi Wasit Bagi publik sepakbola sekarang, nama Kosasih Kartadiredja termasuk asing. Namun pada 1970-an, nama Kosasih jadi momok buat setiap tim, pemain, maupun sesama wasit. Ia selalu berusaha berada sedekat mungkin dengan bola untuk menetapkan keputusan-keputusan tepat nan tegas. Persentuhan awal pria kelahiran Sukabumi, 13 Agustus 1934 itu dengan sepakbola terjadi saat dia menjadi pemain Perssi Sukabumi pada 1950-an. Tapi karena kariernya mandek, dia memilih beralih jadi wasit pada 1955. “Ayah saya, Mohammad Saleh Kartadiredja, awalnya juga keberatan saya main bola. Apalagi karena saya tidak tamat SMA. Hanya lulusan SR (Sekolah Rakyat) dulu tahun 1950. Tapi tetap saya main sampai sempat di tim Perssi Yunior sampai 1955. Tahun berikutnya saya dinasihati pelatih saya bahwa kalau tetap jadi pemain, tidak akan jadi pemain bagus. Lebih baik jadi wasit. Makanya kemudian saya belajar jadi wasit,” kenangnya. Mulai 1955 itulah Kosasih kursus bahasa Inggris, kemudian ikut pendidikan wasit tingkat kabupaten hingga mendapat Lisensi C3 PSSI. “Lalu meningkat lagi, ikut ujian pendidikan Lisensi C2 tingkat provinsi (Jawa Barat) dan setelah itu dapat Lisensi C1 nasional setelah pendidikan satu bulan di Jakarta pada 1965,” ujar ayah dari 12 anak itu. Kosasih Kartadiredja saat melerai pertengkaran Nobon dan Anjas Asmara dalam sebuah laga PSMS vs Persija (Foto: Repro Sebuah Catatan dari Sepakbola Indonesia) Dalam setiap laga kompetisi Perserikatan yang dipimpinnya, Kosasih senantiasa berusaha bertindak adil dalam mengambil setiap keputusan. Jadilah Kosasih wasit PSSI pertama berlisensi FIFA pada 1972. “Sampai awal 1972, PSSI mengajukan nama saya ke FIFA. Dalam beberapa waktu saya diteliti (dipantau, red. ) oleh Mister (Peter) Velappan dari AFC. Akhirnya, di tahun yang sama saya lulus Lisensi FIFA,” sambungnya. Badge FIFA yang didapatnya membuat Kosasih makin disegani di lapangan. Sekalipun ada yang menantang, Kosasih pantang ciut nyali. “Jadi wasit mah jangan takut,” katanya. Ucapan itu bukan pemanis bibir belaka, Kosasih membuktikannya ketika memimpin laga-laga Perserikatan. Ketika memimpin laga antara Persija vs Persebaya di Stadion Utama Senayan (kini Stadion Utama Gelora Bung Karno), 11 Desember 1973, Kosasih tak segan mengusir dua pemain bintang, Rusdy Bahalwan dan Simson Rumahpasal. “Dulu, dua pemain terbaik Indonesia yang banyak wasit segan sama mereka, Rusdy dan Simson, saya kasih kartu merah. Tek…tek , udah saya usir,” ujarnya seraya memeragakan pengacungan kartu merah. “Ya karena terjadi pelanggaran, keduanya beradu begitu, sampai bertengkar. Manajer timnya Pak (Maulwi) Saelan juga mau marah, tapi tidak saya perhatikan.” Di lain waktu, seorang pemain bahkan menantang Kosasih karena tak terima diusir dari lapangan. “Pernah pertandingan di Makassar, si Andi Lala tidak terima keputusan saya. Dia bilang, ‘Awas nanti di luar ya!’. Tunggu saja di luar, saya jawab begitu,” kata Kosasih yang lupa kapan persisnya momen itu terjadi. “Dia memang dikenal galak, sangat berani mengeluarkan kartu merah sehingga dijuluki budakleutik paling berani. Sementara di Asia, dia dijuluki wasit King Cobra ,” tulis Irman Firmansyah dalam Kota Sukabumi: Menelusuri Jejak Masa Lalu . Raja Kobra Asia di Pentas Dunia King Cobra jadi julukan yang melekat pada Kosasih lantaran ketegasannya bikin kagum publik sepakbola Asia. “Ya itu julukan awalnya dari media Singapura ( Strait Times ). Karena katanya saya lincah bergerak mendekati bola saat pemainan berlangsung. Ya namanya wasit harus begitu, maksimal 10 meter dari bola,” sambungnya. Sejak mengantongi Lisensi FIFA pada 1972, Kosasih kerap diminta jadi pengadil di sejumlah ajang sepakbola. Antara lain, King’s Cup 1972 dan 1972 di Thailand, Quoc Khanh Cup 1973 di Vietnam, dan President’s Cup 1975 di Korea Selatan. Dari Asia, nama Kosasih lalu mulai dikenal dunia. Dia dipercaya menjadi salah satu wasit di Piala Dunia Yunior 1979 di Tokyo. Tapi Kosasih tak sempat memimpin laga-laga yang dimainkan Diego Maradona, bintang sepakbola asal Argentina yang sinarnya mulai benderang di ajang ini. Pasalnya, Argentina tergabung di Grup B bersama Indonesia. Menurut catatan FIFA dalam Technical Study Report: FIFA World Youth Tournament 1979 , Kosasih tiga kali tampil di lapangan. Sekali sebagai wasit utama dalam laga antara Spanyol vs Aljazair (Grup A), dua lainnya sebagai asisten wasit (hakim garis) di partai Uni Soviet vs Hungaria (Grup D) dan Spanyol vs Meksiko (Grup A). “Tentu bangga mewakili Indonesia, selain timnas PSSI-nya juga ikut tampil. Saya satu dari tiga wasit Asia yang ikut. Saya modalnya hafal peraturan dan berusaha kuat mental menghadapi pemain. Dalam perwasitan FIFA kan kita harus ingat 5F: Faithfull (yakin), Fearless (tak gentar), Fair (adil), Firm (tegas), Fitness (kuat jasmani dan rohani),” papar Kosasih. Momen-momen lain yang tak terlupakan bagi Kosasih adalah saat ikut memimpin laga-laga eksebisi klub-klub Eropa yang bertandang ke Indonesia. “Dulu ada pertandingan MU (Manchester United) dan Ajax Amsterdam tahun 1975. Juga Liverpool dan Cosmos, itu yang ada Pelé-nya ikut main (1976),” kenangnya. Upah Tak Seberapa Prestasi tak selalu berbanding lurus dengan materi. Kosasih tahu betul itu karena dia mengalaminya. Upahnya sebagai wasit tak seberapa. Seingatnya, saat mewasiti laga-laga di Indonesia dia hanya diupah sekira Rp20 ribu per laga. Sementara kalau laga-laga yang dinaungi FIFA, Kosasih mendapat Rp100 ribu per laga. Keadaan itulah yang membuat posisi wasit rentan sogokan. Kosasih tak sekali-dua kali ditawari “uang haram” untuk mengatur skor. Tapi, tak sekali pun dia mau terima. Untuk menafkahi istri dan ketujuh anaknya, Kosasih memilih hidup pas-pasan ketimbang terima duit panas macam begitu. “Sampai pernah saya harus jual medali emas penghargaan Kejuaraan Dunia (Piala Dunia Yunior) 1979 itu buat kebutuhan sehari-hari,” ujar Kosasih lirih. Lepas Peluit Setelah malang-melintang di dunia perwasitan hingga tingkat dunia, Kosasih lepas peluit alias pensiun pada 1986. Namun, hidupnya tetap tak jauh dari perwasitan Indonesia. Sedari 1986, Kosasih masuk ke Komisi Wasit PSSI dan menduduki jabatan wakil ketua setahun setelahnya sampai 1995. Dalam kurun itu, Kosasih makin sibuk sehingga memilih pensiun dini dari kedinasan di Pemerintah Daerah (Pemda) II Kabupaten Sukabumi. “Dari 1980-an kan saya sudah diangkat PNS Pemda Kabupaten Sukabumi. Tapi 1993 saya pilih pensiun dini. Ya karena jarang masuk juga, kan. Karena saya sering ke luar negeri untuk (mewasiti) pertandingan atau ikut mengajar penataran wasit,” sambungnya. Setelah tak lagi di Komisi Wasit, Kosasih tetap diminta menjadi tenaga pengajar penataran wasit C-III hingga C-I dalam beberapa penataran yang digelar PSSI. Kerjaan itu dia lakoni sampai 2007. Setelah itu, Kosasih hanya menghidupi keluarganya dengan bermodal uang pensiunan PNS Golongan III-C dan gaji kecil istrinya, Dede Rokayah, yang berprofesi sebagai guru SD. Kosasih Kartadiredja (kanan) saat sudah menjabat di Komisi Wasit bersama Ketua Umum PSSI Agum Gumelar (Foto: Dok. Pribadi Kosasih Kartadiredja) Kosasih tak pernah mengeluh apalagi menuntut. Hal itu menjadi pembuka pintu rezeki baginya. Pada 2007, Kemenpora menganugerahinya medali Adi Manggalya Krida dalam rangka Hari Olahraga Nasional, 9 September. “Awalnya saya enggak tahu. Tapi bantuan Menpora Adhyaksa Dault itu datang setelah ada pengurus RW sini yang prihatin. Dia tulis surat ke Kemenpora bahwa ada seorang wasit dunia yang keadaannya serba susah. Ternyata dikasih penghargaan dan santunan Rp10 juta,” ujarnya. Kosasih amat mensyukurinya kendati kehidupan keluarganya masih pas-pasan. Kehidupannya bertambah berat setelah Kosasih terserang stroke pada 2012 hingga membuatnya tak bisa berjalan lagi. “Saya kena ( stroke ) itu lagi di jalan di trotoar dekat UMMI (Universitas Muhammadiyah Sukabumi). Ditolong teman saya yang polisi ke rumah sakit. Ini kaki saya yang kiri istilahnya sudah ngaplek begini. Tapi saya tidak bisa operasi karena mahal. Tidak ada bantuan dari mana-mana. Lupa begitu saja. Ya PSSI, ya Pemda,” kata pria berusia 85 tahun itu. Sejak itu, perekonomian keluarganya tergolong susah karena harus membagi pendapatan pensiunannya untuk pengobatan. Pengobatannya pun sekadar pijat/urut seminggu sekali. Kosasih sempat lumpuh dalam waktu lama. Tapi sejak tahun lalu, perlahan Kosasih sudah mulai bisa belajar jalan dengan bantuan kruk . “Kaki kiri saya masih sering terasa sakit. Tapi ya mau bagaimana lagi? Buat saya, Alhamdulillah masih bisa gerakan salat,” tutupnya.

  • Bandit Menguasai Malam di Batavia

    RUMAH kayu itu berwarna kecoklatan. Arsitekturnya bergaya rumah panggung. Sangat mencolok di antara bangunan landai sekitarnya. Rumah itu merupakan tempat tinggal seorang tajir melintir keturunan Bugis bernama Haji Sapiudin di Batavia pada akhir abad ke-19. Si Pitung menyatroni rumah itu pada suatu malam dalam bulan Juli 1892. Tujuannya mengambil-alih harta si pemilik rumah. Dia membawa lima temannya dan sebuah revolver.

  • Ikan, Kuliner Favorit Sejak Dulu

    “Tidak makan ikan, saya tenggelamkan!” begitu bunyi kelakar yang tak asing lagi terdengar dari Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti. Lewat candaannya itu, dia mengimbau masyarakat untuk mengonsumsi ikan. Ikan menjadi makanan favorit sejak dulu kala. Sebagaimana disebut sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin , kekayaan ikan di Kepulauan Nusantara membuat kagum para penjelajah asing. Marcopolo misalnya. Pelaut asal Italia itu sempat menginjakkan kaki di tanah Sumatra pada akhir abad ke-13. “Ikan di kawasan Asia Tenggara merupakan yang terbaik di dunia,” kata Marcopolo. Laksamana Cheng Ho yang melakukan ekspedisi ke Nusantara pada abad ke-15 M sempat menggerutu langka dan mahalnya beras, daging, maupun sayuran di beberapa pelabuhan Asia Tenggara. Namun, ikan murah dan melimpah di mana-mana. Jauh sebelum kedatangan mereka, data dari masa kerajaan-kerajaan kuno sudah membuktikan banyaknya ragam ikan yang dikonsumsi masyarakat kuno. Arkeolog Supratikno Raharjo dalam Peradaban Jawa menyebut orang-orang pada masa itu telah memanfaatkan ikan tawar dan laut untuk dikonsumsi. Ikan tawar, seperti kepiting ( hayuyu ), udang sungai ( hurang ), sejenis ikan ( wagalan, kawan-kawan, dlag ). Ikan laut adalah kepiting laut ( gtam ), cumi ( hnus ), kerang-kerangan ( iwan knas ), sejenis ikan laut ( kadiwas, layar-layar, prang, tangiri, rumahan, slar ). Ada pula beberapa jenis ikan yang tidak diketahui habitatnya, yaitu  bijanjan, bilunglung, harang, halahala,  dan  kandari. Sumber prasasti juga menyebutkan beberapa jenis ikan yang diawetkan dalam bentuk dendeng ( deng ) atau rasa asin ( asin-asin ) sebelum dikonsumsi. Kedua jenis itu, baik ikan segar maupun yang telah dikeringkan, menjadi komoditas yang diperjualbelikan di pasar. Data prasasti menggambarkan sajian dari ikan selalu ada dalam upacara penetapan  sima. Keterangan itu ditemukan dalam Prasasti Taji (823 Saka/901 M), Panggumulan (824 Saka/902 M), Sangguran (850 Saka/928 M), Paradah (865 Saka/943 M), dan Rukam (829 Saka/907 M). Pada prasasti-prasasti itu tertulis  asin asin dain kakap  (ikan asin kakap),  kadiwas, bilunglung, hala hala, layar layar  , dan  kawan . Hewan air lainnya dijumpai dengan istilah hurang  (udang). Untuk ikan yang diasinkan atau dikeringkan istilahnya grih (ikan asin) atau  gêreh  dalam bahasa Jawa) dan ḍeŋ/ḍaiŋ (dendeng/ikan yang dikeringkan). Arkeolog Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa menjelaskan, dalam prasasti ada dua macam dendeng yaitu ikan yang dikeringkan dengan rasa asin atau rasa tawar. “Demikianlah mereka semua menambah kepada daun mereka, lalu menyantap jenis-jenis makanan, nasi matiman menumpuk ikan yang diasinkan, seperti dendeng kakap, dendeng bawal, ikan asin kembung (ikan peda?), ikan layar atau pari, udang, hala hala, dan telur,” sebut Prasasti Panggumulan. Dalam Prasasti Rukam (829 Saka/907 M), disebutkan jenis makanan yang dihidangkan di antaranya adalah nasi paripurna  timan?  berlimpah-limpah  haraŋ-haraŋ,  dendeng kakap, dendeng bawal, dendeng ikan duri, dendeng  hanaŋ, kawan kawan,  ikan kembung, ikan layar/pari,  hala hala,  udang, ikan gabus dikeringkan, serta telur kepiting. Kata Titi, dari jenis hidangan yang disajikan pada upacara penetapan sima  terdapat juga jenis makanan yang umum dijadikan konsumsi sehari-hari, yaitu ikan asin. “Sampai saat ini pun ikan asin masih umum dikonsumsi sebagai salah satu jenis lauk pauk sehari-hari di pedesaan,” jelas Titi. Relief sajian ikan di Candi Borobudur. Pada sebuah panil di relief Candi Borobudur tergambar beberapa menu dari ikan. Pertama, empat ikan belut yang disajikan dalam posisi melingkar. Kedua , tiga ekor ikan yang cukup besar, disajikan utuh, kepala, tubuh, hingga ekor. Ketiga , dua tusuk potongan tubuh ikan yang dirangkai dengan tusuk bambu persegi memanjang. “Hal ini memgingatkan kita kepada pepatah Jawa ‘ kutuk marani sunduk ’. Kemungkinan lain adalah semacam sate daging ikan yang dihaluskan dan dibumbui, kemudian dipanggang, yang kini disebut dengan ‘brengkes ikan’,” kata Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang. Lalu ada juga dua kepiting atau yuyu dan empat ekor ikan. Kedua jenis masakan itu, masing-masing nampak hanya bagian atasnya, sepasang sapit dan kepala ikan. “Boleh jadi itu lantaran makanan ini berkuah, bagian tengah dan bawahnya terendam kuah,” kata Dwi.

  • Awal Mula Kacamata

    Konon, kacamata adalah salah satu benda terpenting yang pernah ditemukan manusia sejak mereka menemukan api dan roda. Untuk sampai ke bentuknya sekarang, kacamata mengalami perkembangan yang panjang. Dari awal sebagai "batu baca" hingga bertransformasi menjadi gaya hidup dan aksesori mode. Sulit membuktikan siapa penemu kacamata yang asli. Banyak yang menunjuk Benjamin Franklin sebagai penciptanya. Namun, sebenarnya ide tentang kacamata sudah ada sekira 400 tahun sebelum 1700-an, ketika Franklin mulai aktif. Batu Zamrud Kaisar Nero Benda yang difungsikan sebagai kacamata yang pertama kali diketahui digunakan oleh Kaisar Nero dari Roma yang berkuasa pada 54 sampai 68 M. Dia menggunakan batu zamrud ketika sedang menyaksikan pertandingan gladiator. Namun, tak diketahui dengan pasti apakah itu artinya sang kaisar memang memiliki masalah dengan penglihatannya atau dia hanya sekadar menghindari silaunya sinar matahari. Potongan Bola Kaca Sarjana dan astronom Irak, Ibn al-Haytham (sekitar 965-1040 M) dikenal sebagai orang yang berkutat dalam penelitian mengenai cahaya dan mekanisme penglihatan. Dia mempelajari lensa, bereksperimen dengan cermin yang berbeda: datar, bulat, parabola, silindris, cekung dan cembung. Hasilnya, dia menemukan kalau objek visual yang dilihat melalui pembiasan cahaya, yaitu yang melintasi material tebal seperti air dan kaca, lebih besar dari ukuran sebenarnya.   Pada sekira 1027, al-Haytham menyelesaikan bukunya, Kitab al-Manazir  atau Buku Optik . Dia pun menyarankan kaca yang dihaluskan dapat membantu seseorang yang menderita gangguan penglihatan. Namun, idenya itu baru dipraktikkan bertahun-tahun kemudian. Kaca Pembesar Pada abad ke-13, sarjana Inggris Roger Bacon (1214-1294) menulis soal kaca pembesar. Dia menjelaskan bagaimana memperbesar objek visual menggunakan potongan bola kaca. Dia menulis: "karena alasan ini, alat ini berguna untuk orang tua dan orang-orang yang memiliki kelemahan dalam penglihatan mereka karena memungkinkan mereka untuk dapat melihat huruf sekecil apa pun.”  Beberapa sejarawan sains berpendapat Bacon mendapatkan gagasannya dari buku Ibn Al-Haytham, Kitab al-Manazir . Pasalnya, gagasan menggunakan bola kaca agar bisa melihat benda kecil sudah dikenal sejak percobaan penelitian Ibn Al-Haytham. Namun, menurut bukti yang tersedia, ide menggunakan kaca pembesar ini untuk membaca pertama kali disebutkan dalam buku Bacon. Kendati tak ada bukti dia menerapkan pengetahuannya itu. Kacamata Beryl Kacamata pertama kali dikenal di Eropa pada akhir abad ke-13 M. Lukisan-lukisan mulai memperlihatkannya pada pertengahan abad ke-14 M. Dalam lukisan-lukisan itu digambarkan bentuk kacamata dengan dua lensa bulat dalam bingkai yang disambung dengan poros dan gagang logam berbentuk “V”. Tak ada gagang untuk disangkutkan ke telinga seperti kacamata masa kini. Mereka sudah memakainya untuk membaca. Pada masa itu, lensa bukan terbuat dari kaca, tapi dari mineral Beryl. Contoh kacamata ini seperti yang dipakai kardinal Hugh of St. Cher dalam lukisan karya Tommaso ad Modena pada 1352 di dinding gereja di Treviso. Ini adalah representasi gambar kacamata tertua yang diketahui hingga kini. Lorgnette Lorgnette, yang merupakan sepasang kacamata mungil dengan pegangan. Lorgnette berasal dari kata lorgner dalam bahasa Perancis, yang berarti "melirik" atau "mengawasi secara sembunyi-sembunyi". Lorgnette diyakini telah diciptakan pada 1770 oleh orang Inggris, George Adams I (1709-1772), kemudian diilustrasikan putranya dalam Essay on Vision (1789 dan 1792) di mana lorgnette digambarkan sebagai 'semacam pengganti kacamata ...’. Kemudian, alat bantu optik ini adalah jawaban bagi perempuan pada abad ke-19 yang membutuhkan kacamata tetapi tidak ingin benar-benar memakainya. Sampai abad ke-17, alat bantu optik lebih banyak dipakai kaum pria. Namun, lorgnette membuat perempuan lebih berminat dalam dunia kacamata. Benda ini pun diyakini menambah kesan elegan bagi kalangan atas. Perempuan memakai lorgnette pun menjadi pemandangan umum selama abad ke-19 di teater serta opera. Lorgnette muncul dalam bentuk yang lain, yaitu kipas lorgnette. Adalah Marie Antoinette, ratu Prancis abad ke-18 merupakan penggagas gaya ini. Kacamata Bifokal Kacamata bifokal adalah kacamata dengan dua bagian di lensanya. Bagian atas untuk melihat jarak jauh, bawah untuk membaca. Benjamin Franklin, seorang ilmuan Amerika pada 1784 adalah penciptanya. Kacamata jenis ini biasanya diresepkan untuk orang yang menderita presbiopia, kondisi yang ketika itu diderita Franklin. Kacamata Berlensa Satu (Monocle) Kacamata berlensa satu digunakan dengan cara dipasang pada rongga mata pemakai dan biasanya digantung di leher dengan tali, pita, atau rantai. Banyak dari kacamata ini awalnya dibingkai dengan logam, kulit penyu, atau tanduk. Monocles diperkenalkan pada abad ke-18, tetapi makin mendapat sorotan pada abad ke-19 di Eropa. Ia menjadi bagian umum dari pakaian pria kaya. Kacamata ini sering dipasangkan dengan topi dan mantel. Salah satu pemakainya yang paling awal yang diketahui adalah penyuka barang antik dari Prusia, Philipp Von Stosch yang mengenakan kacamata berlensa di Roma pada tahun 1720-an. Ia mengenakannya untuk memeriksa ukiran dan permata berukir. Awalnya disebut cincin mata, kacamata ini segera menyebar ke Austria berkat seorang ahli kacamata, JF Voigtlander, yang mulai membuatnya di Wina pada sekira 1814. Mode ini dengan cepat populer di Inggris dan Rusia. Monocles kemudian menjadi tidak disukai di sebagian besar Eropa barat dan Amerika Serikat selama Perang Dunia I (1914-18). Itu ketika kacamata ini dikaitkan dengan perwira militer Jerman yang sering digambarkan memakainya. Pince-nez Kacamata pince-nez menutupi kedua mata. Namanya berasal dari bahasa Prancis, pincer berarti "mencubit" dan nez berarti "hidung.". Kacamata ini memang menjepit pangkal hidung ketika di pasang di depan mata. Mengenakan kacamata ini sangat tidak nyaman bagi sebagian orang yang tidak memiliki bentuk hidung yang pas. Karenanya, kacamata ini sering digantungkan dengan rantai di leher sehingga pengguna tidak perlu memakainya sepanjang hari. Meski kacamata ini sudah mulai dipakai di Eropa sejak abad ke-15, ke-16, hingga ke-17, tetapi menjadi makin popular pada 1880 sampai 1900.  Anton Pavlovich Chekhov, penulis besar Rusia, adalah salah satu yang terkenal mengenakan kacamata jenis ini. Kacamata Warna-wani Pada 1930-an kacamata hitam menjadi populer untuk pertama kalinya. Diawali pada 1913 oleh Sir William Crookes dari Inggris yang menciptakan lensa berkemampuan menyerap sinar ultraviolet dan inframerah. Pada 1940-an, kemajuan dalam pembuatan plastik membuat berbagai macam kacamata tersedia dalam setiap warna pelangi. Perempuan banyak mengenakan kacamata berbingkai runcing di bagian ujung atasnya, yang sangat populer hingga akhir 1950-an. Sementara pria cenderung menggunakan bingkai kawat emas. Kacamata Berlensa besar Pada paruh kedua abad ke-20, kacamata dianggap sebagai bagian dari pakaian seseorang. Mirip dengan pakaian, kacamata perlu terus diperbarui atau seseorang dapat dianggap kuno. Semakin banyak selebritas yang memengaruhi mode kacamata. Misalnya pada 1970-an, Jacqueline Kennedy Onassis, ibu negara AS pada 1961-1963, juga ikut mempopulerkan lensa besar. Lensa Plastik Sejak 1980-an inovasi menghasilkan lensa plastik berkualitas tinggi. Bahan plastik dianggap lebih ringan dan lebih aman untuk dipakai dibanding kaca.

  • Asa yang Kandas di Negeri Sakura

    BERAGAM foto hitam-putih menghiasi tiga sisi dinding ruang tamu kediaman Hendrik Brocks di Sriwidari, Kota Sukabumi. Sejumlah piagam dan medali yang tertata rapi di satu lemari kaca, menemani. Itu semua merupakan buah prestasi Hendrik di berbagai ajang balap sepeda road race tingkat Asia Tenggara maupun Asia. Hanya satu yang tak ada dalam deretan penghargaan Hendrik tadi, yakni medali olimpiade. “Kalau bukan karena masalah politik, mungkin kita sudah bisa dapat medali di tahun 1964 di (Olimpiade) Tokyo,” ujar Hendrik menyesalinya saat mengenang masa-masa jayanya, kala ditemui Historia , 11 Februari 2019. Medali olimpiade, terlebih medali emas, senantiasa jadi mimpi terbesar setiap atlet. Tak terkecuali Hendrik Brocks, pembalap sepeda legendaris Indonesia era 1960-an. Sayang, kesempatannya untuk meraih medali olimpiade sirna akibat politik. “Waduh itu nyeselnya waktu itu. Saya perkirakan minimal dapat perunggu. Balap sepeda waktu itu kita masih merajai di Asia. Tapi akhirnya kita enggak jadi tanding waktu itu karena ada masalah itu. Ya itu negara urusannya,” kata Hendrik menjelaskan. Tersandung Politik Hendrik merupakan salah satu anggota andalan Indonesia di balap sepeda sejak Olimpiade Roma 1960. Di olimpiade itu, tulis buku Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah: Periode 1945-1965 , Indonesia mengirim tim di tujuh cabang, yakni menembak, renang, angkat besi, anggar, atletik, tinju, dan balap sepeda. Di tim balap sepeda, Hendrik bahu-membahu bersama Theo Polhaupessy, Hamsjin Rusli, Sanusi, dan Munaip Saleh. Sayang, tak satupun dari mereka membawa pulang medali. “Di kategori perorangan saya gagal finis, ketinggalan jauh dari para pembalap Eropa dan (benua) Amerika. Tapi untuk tim beregu kita sudah terbaik di Asia waktu itu,” kata Hendrik. Hendrik Brocks, legenda balap sepeda Indonesia yang kini tuna netra akibat penyakit glaukoma (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Di olimpiade itu, hanya Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) wakil Asia yang lolos kualifikasi. Catatan waktu Indonesia di putaran final jauh lebih baik dari Korsel. Tim beregu road race Indonesia menempati urutan ke-26 dari 32 tim dengan catatan waktu 2 jam 34 menit 29,98 detik, sementara Korsel menempati urutan ke-30 dengan torehan waktu 2 jam 53 menit 09,51 detik. Sebagai “Macan Asia”, kedigdayaan Indonesia di balap sepeda dibuktikan di Asian Games 1962 di Jakarta. Indonesia jadi juara umum dengan tiga emas dan satu perunggu. Ketiga emasnya disumbangkan Hendrik di nomor open road race individual, team road race, dan team time trial. Di Ganefo (Games of the New Emerging Forces) 1963 di Jakarta, Hendrik menyumbang satu emas dan satu perak. Namun, di Asian Games 1962 dan Ganefo 1963 itulah Indonesia bergelut dengan Komite Olimpiade Internasional (IOC). Gara-gara Indonesia melarang Israel dan Taiwan ikut serta dalam Asian Games 1962 sebagai sikap politik pro-Palestina dan pengakuan satu China, IOC menjatuhkan sanksi medio Februari 1963. “Saya menyatakan memberi sanksi terhadap Komite Olimpiade Indonesia. Prinsip-prinsip olimpiade jelas tak dihormati di negara itu,” ujar Presiden IOC Avery Brundage, dikutip Alfred Senn dalam Power, Politics and the Olympic Games . Tapi keanggotaan Indonesia di IOC kemudian dipulihkan menjelang Olimpiade 1964. Pasalnya, Jepang sebagai tuan rumah dan Meksiko sebagai tuan rumah olimpiade 1968 khawatir boikot Indonesia, yang mendapat simpati negara-negara Arab, akan mengurangi level kesuksesan olimpiade di Jepang dan Meksiko. “Presiden Meksiko (Adolfo López Mateos, red. ) mengambil prakarsa terobosan menghubungi pihak Jepang untuk kemudian berusaha menemukan jalan keluar lewat lobi-lobi internasional. Hasilnya pada Juni 1964 skorsing terhadap Indonesia dicabut. Jepang kemudian diizinkan mengundang Kontingen Indonesia di Olimpiade Tokyo 1964,” tulis Julius Pour dalam Dari Gelora Bung Karno ke Gelora Bung Karno . Pun begitu, Indonesia tetap batal hadir di Olimpiade Tokyo 1964. Perkaranya, seperti termuat di buku The Games of the XVIII Olympiad Tokyo 1964: The Official Report of the Organizing Committee Volume 1 , tidak semua atlet Indonesia diizinkan bertanding, khususnya para atlet renang dan atletik. FINA (Federasi Akuatik Internasional) dan IAAF (Federasi Atletik Amatir Internasional) belum mencabut sanksi para atlet Indonesia yang berlaga di Ganefo 1963. Kontingen Indonesia pun memutuskan seluruh atletnya mundur ketimbang ikut tapi beberapa atletnya dilarang berlaga. Para atlet Indonesia meninggalkan Tokyo jelang pembukaan Olimpiade 1964 (Foto: Repro "The Games of the XVIII Olympiad Tokyo 1964") “Sebenarnya saya, tim balap sepeda dan beberapa cabang lain, sudah lebih dulu diberangkatkan ke Jepang. Seingat saya ada tim tinju sama angkat besi juga. Kami di tim sepeda sudah nyobain rutenya tuh di Jepang. Tapi paginya sebelum pembukaan (Olimpiade, 10 Oktober 1964, red. ), kita disuruh mengepak koper semua untuk pulang ke Indonesia. Kita semua mundur dari olimpiade,” ujar Hendrik. Keputusan mundur itu tak hanya menimbulkan penyesalan di dalam diri Hendrik dan para atlet Indonesia. Pelatihnya asal Jerman Timur, Heinz Schmidt, bahkan paling terpukul. Berbulan-bulan upayanya mempersiapan para atlet untuk bisa mensejajarkan diri dengan para kontestan Eropa, kandas. “Pelatih saya, si Schmidt itu, sampai jadi gila dia karena kecewa. Ya karena olimpiade kan bukan event kecil dan catatan tercepat waktu uji coba yang kita buat selama persiapan di Jepang sesuai dengan peraih emas olimpiade. Sampai pernah ditangkap polisi karena mabuk-mabukan. Kasihan dia,” kata Hendrik. Setelah itu, prestasi balap sepeda Indonesia perlahan mengendur kendati di Ganefo Asia 1966 prestasinya lumayan. Di Olimpiade Meksiko 1968, Hendrik dkk. gagal lolos. “Kita enggak lolos kualifikasinya. Olahraga semuanya kena imbas karena negara kita juga lagi ngambang, kacau (pasca-Tragedi 1965 dan transisi kepemimpinan 1967). Negara kita lagi babak belur, banyak atletnya jadi korban juga pada waktu itu,” kata Hendrik menutup pembicaraan.

  • Akhir Hidup Si Pemeran Hitler

    JIKA di Indonesia ada Amoroso Katamsi (almarhum) sebagai sosok paling cocok memerankan Soeharto dalam film, di Eropa ada Bruno Ganz. Aktor asal Swiss itu perannya dianggap paling mendekati figur diktator Nazi-Jerman Adolf Hitler dalam film Der Untergang ( Downfall ) yang rilis 2004. Sang aktor mengembuskan nafas terakhirnya di usia 77 tahun pada Sabtu, 16 Februari 2019 waktu setempat (Minggu, 17 Februari WIB). Ganz meninggal di kediamannya di Wädenswil, Swiss, setelah berjuang melawan kanker usus yang diidapnya sejak Februari 2018. Lahir di Zürich pada 22 Maret 1941, Ganz menyambi jualan buku sambil bersekolah. Kegandrungannya pada dunia seni peran membawanya hijrah ke Jerman dan bergabung ke Teater Schaubuehne di Berlin. Debutnya di dunia film dimulai dari figuran, sebagai pelayan hotel di film komedi Swiss, Der Herr mit der Schwarzen Melone (1960). Namanya baru mulai dikenal di dunia perfilman saat menjadi aktor utama di film The American Friend (1977) dan Wings of Desire (1987). Setelah itu, Ganz malang melintang membintangi berbagai film box office, mulai The Manchurian Candidate (2004), The Reader (2008), Unknown (2011), Night Train to Lisbon (2013), The House that Jack Built (2018) hingga Radegund yang saat ini masih dalam tahap produksi. Bruno Ganz dalam Wings of Desire . (bfi.org.uk). Namun sepak terjang Ganz yang paling dikenang adalah saat memerankan Kanselir Adolf Hitler dalam Der Untergang ( Downfall ) garapan sineas Jerman Oliver Hirschbiegel yang diproduksi Constantin Film pada 2004. Film ini menggambarkan masa-masa akhir hidup sang diktator di Führerbunker, kediaman bawah tanah di kompleks kantor Hitler di Reich Chancellery, Berlin. Hitler dalam kacamata Bruno Ganz Tak dapat dipungkiri, Der Untergang alias Downfall merupakan klimaks pamor Ganz. Eksesnya tidak hanya muncul lewat kritik dan pujian, tapi juga memunculkan beragam meme di media-media sosial hingga parodi di sejumlah tayangan video di Youtube . Utamanya, saat Hitler yang diperankan Ganz marah-marah dalam rapat bersama para jenderalnya. Padahal, peran tentang Hitler tak hanya dimainkan Ganz. Sejak 1940, saat Hitler masih hidup, karakter diktator Nazi itu pernah diperankan Charlie Chaplin dalam The Great Dictator . Hitler diparodikan sebagai Adenoid Hynkel. Sementara, karakter Hitler nonparodi pertamakali dimainkan Bobby Watson di film komedi The Devil with Hitler . Puluhan aktor turut memerankan Hitler setelah itu. Anthony Hopkins ( The Bunker , 1981), Udo Schenk ( Stauffenberg , 2004), David Bamber ( Valkyrie , 2008), dan Martin Wuttke ( Inglourious Basterds , 2009) di antaranya. “Tanpa keraguan lagi, dia (Ganz) dirasa yang paling riil dan mendekati. Dibandingkan yang lain, seperti Anthony Hopkins misalnya, akting dan gerak tubuhnya paling mendekati. Ganz akan selalu dikenang karena mungkin Downfall film terbaik tentang Hitler,” ujar Alif Rafik Khan, peneliti sejarah dan penulis buku 1000+ Fakta Nazi Jerman , kepada Historia. Sejumlah kritikus film mancanegara juga angkat jempol terhadap akting Ganz. Dalam review -nya di The Guardian , 16 September 2005, Rob Mackie menulis: “Sosok Hitler yang paling meyakinkan dalam layar lebar. Seorang diktator tua, bungkuk dan sakit dengan tangan yang sudah gemetaran karena Parkinson, menanti hari-hari terakhirnya di bunker.” Kritikus De Zeit Jens Jenssen menyatakan hal senada. “Sang aktor (Ganz) berbicara seperti Hitler. Penampilannya sangat mirip Hitler dan dia bergerak seperti Hitler di masa-masa tuanya. Tak ada yang sangat identik dengan Hitler dalam film,” tulis Jenssen sebagaimana dikutip Sidney Homan dan Hernán Vera dalam buku Hitler in the Movies . Tapi Jenssen juga menggarisbawahi bahwa tak ada yang bisa benar-benar mengenal Hitler luar dan dalam. “Hitler tetap seorang monster yang tak bisa dijelaskan lewat kata-kata,” tambahnya. Penilaian Jenssen itu senada dengan pandangan Ganz tentang Hitler. “Memainkan karakternya, saya tetap tak bisa mengklaim bahwa saya memahami Hitler,” ujar Ganz kala diwawancara TheGuardian , 25 Maret 2005. Butuh empat bulan bagi Ganz untuk meriset karakter Hitler, terutama masa-masa setelah Hitler bungkuk dan terkena parkinson. Untuk mempelajari suara asli Hitler, Ganz dibantu dengan rekaman suara rahasia Hitler yang diberikan para produser. “Rekaman suara percakapan rahasia Hitler sewaktu dia ngobrol dengan Carl Gustaf Mannerheim di Finlandia tahun 1942. Setahu saya, itu satu-satunya suara Hitler yang terekam kamera,” kata Alif. Menurut Gerhard Weinberg dalam The Foreign Policy of Hitler’s Germany Starting World War II , percakapan Hitler dengan Baron Mannerheim, panglima Pertahanan Finlandia, itu diambil oleh Thor Damen, teknisi stasiun penyiaran Yle , saat Hitler mengunjungi Mannerheim di Lanud Immola, 4 Juni 1942, dalam rangka ulang tahun Mannerheim ke-75. Adolf Hitler (kiri) bertemu para pemimpin Finlandia, termasuk Carl Gustaf Mannerheim (kanan) pada Juni 1942. (Lehtikuva/Wikipedia). Percakapan yang direkam diam-diam dan berdurasi 11 menit itu mengungkapkan pembicaraan Hitler tentang kegagalan Operasi Barbarossa, kekalahan sekutunya, Italia, di Afrika, Balkan dan Albania, dan terkait cadangan minyak di Rumania. “Saya mencoba menangkap kesan dari rekaman suaranya itu. Tapi tetap saya belum bisa memahami karakternya. Para saksi mengatakan dia sangat sayang pada anjingnya (Blondie), berperilaku menawan terhadap para wanita, sangat ramah pada anak-anak, tapi kemudian dia bisa berkata: ‘Mari kita bunuh 5.000 orang’,” ujar Ganz. Dalam sebuah percakapan dengan para jenderalnya dalam film, Hitler mengatakan tak peduli terhadap 100 ribu perwira muda Jerman yang tewas di front Timur. “Dia bilang: ‘Mereka terlahir untuk mati.’ Dia benar-benar tak punya rasa iba. Para saksi yang pernah satu bunker bersamanya juga tak benar-benar bisa mendeskripksikan karakter aslinya. Dia tak punya rasa iba, kasih sayang, pengertian terhadap para korban perang. Pada akhirnya, saya tak bisa masuk ke hati Hitler oleh karena dia memang tak punya hati,” kata Ganz.

  • Tentara Filipina Tewas di Yogyakarta

    MENTERI dalam negeri Filipina Eduardo Ao mengusik pemerintah Indonesia lewat komentarnya terhadap teror bom bunuh diri di gereja Katolik di Pulau Jolo, Filipina yang mamakan korban 22 orang tewas dan 100 lainnya luka-luka. Dia menyatakan pelaku teror adalah orang Indonesia. “Yang bertanggung jawab (dalam serangan ini) adalah pembom bunuh diri Indonesia. Namun kelompok Abu Sayyaf yang membimbing mereka, dengan mempelajari sasaran, melakukan pemantauan rahasia dan membawa pasangan ini ke gereja. Tujuan dari pasangan Indonesia ini adalah untuk memberi contoh dan mempengaruhi teroris Filipina untuk melakukan pemboman bunuh diri,” kata Eduardo, dikutip detik . com , 1 Februari 2019. Komentar Eduardo langsung direspon pemerintah Indonesia. Menko Polhukam Wiranto mengatakan pernyataan Eduardo terburu-buru. “Saat ini kan ada cukup ramai tuduhan dari pihak Filipina, terutama Menteri Dalam Negeri bahwa ada keterlibatan WNI dalam aksi teror di Filipina. Di sini saya menyampaikan bahwa itu berita sepihak," ujar Wiranto sebagaimana dikutip BBC Indonesia , 5 Februari 2019. Pernyataan Eduardo menambah riak hubungan kedua negara yang memburuk belakangan ini. Sebelumnya, penyanderaan anak buah kapal Indonesia oleh gerilyawan Abu Sayyaf di Filipina Selatan, penangkapan ikan ilegal oleh kapal-kapal Filipina di perairan Indonesia, atau pengiriman jamaah haji Indonesia yang menggunakan paspor Filipina menjadi kerikil dalam hubungan kedua negara. Padahal, hubungan kedua negara yang memiliki banyak kesamaan ini (baca: Indonesia dan Filipina) telah lama berjalan harmonis. Indonesia dan Filipina kerap saling membantu. Keharmonisan itu telah berjalan sejak kedua negara sama-sama masih seumur jagung. Saat Perang Kemerdekaan, Indonesia kerap mendapat bantuan dari Filipina. Bantuan itu antara lain berupa diterima dan didukungnya Misi Kina –merupakan upaya menjual kina dan vanili untuk membiayai perang– Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Manila. Seusai tim AURI menyelesaikan Misi Kina dan hendak kembali ke tanah air, pemerintah Filipina kembali memberi bantuan dengan menugaskan Kapten Ignacio “Igning” Espina dari G-2 Philippine Army ke Indonesia. “Atas permintaan Opsir Muda Udara III Muharto, ia ditugaskan untuk melatih gerilya tentara Indonesia. Ahli gerilya Igning juga membawa sepucuk tommygun yang disepuh chrome nickel, hadiah dari bagian intel Filipina kepada Presiden Sukarno,” tulis Irna H.N. Soewito dan kawan-kawan dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Igning menumpang pesawat RI-002 yang mengangkut beberapa opsir AURI dan dipiloti Bob Freeberg, veteran pilot AL AS yang menjadi pilot sipil di Maskapai Commercial Air Lines Incorporated (CALI). “Sikap pemerintah Filipina jelas bersimpati kepada tujuan kami, sementara opini publik mengutuk apapun yang berbau kolonialisme,” kata Opsir Muda Udara III Petit Muharto sebagaimana dikutip Paul F. Gardner dalam Shared Hopes, Separate Fears: Fifty Years of US-Indonesian Relations . Penerbangan pulang tim AURI dengan Igning di dalamnya itu amat berbahaya. Selain karena adanya blokade Belanda, Filipina tak ingin hubungannya dengan Indonesia diketahui negara lain. Namun dengan kegigihan para awaknya, RI-002 berhasil mendarat dengan selamat di Maguwo, Yogyakarta pada Agustus 1947. Igning mendapat tempat tinggal sebuah rumah berhalaman luas di Jalan Jetis selama di Yogyakarta. Biasanya dia ditemani Kapten ALRI Deddy Muhardi Kartodirjo, kakak kandung Petit Muharto, atau Kapten AURI George Reuneker. Muhardi pula yang mengasisteni Igning melatih teknik gerilya kepada para prajurit Tentara Pelajar (TP) dan Tentara Geni Pelajar (TGP). Selama di Yogya, Igning berkomunikasi dengan Manila lewat Muharto, yang tak lama setelah menyelesaikan Misi Kina kembali terbang ke Manila untuk misi penyusupan ke Kalimantan dari utara. Namun, pada Desember 1945 kontak itu terhenti entah karena apa. Igning gelisah dibuatnya. Ketiadaan kontak dari Muharto terus membuatnya bertanya-tanya. Maka ketika tersiar kabar delegasi Indonesia di bawah Sjafruddin Prawiranegara akan berangkat ke sidang kedua ECAFE (kini ESCAP) di Baguio, Filipina, Igning langsung memanfaatkannya. “Sesaat menjelang berangkat, Igning datang ingin menitipkan laporan untuk atasannya di Manila,” kenang Opsir Muda Udara III Boediardjo, salah satu awak pesawat RI-002 yang membawa delegasi, dalam memoarnya Siapa Sudi Saya Dongengi . Nahas menimpa Igning. “Laporan itu ternyata tertinggal di penginapannya. Sementara Igning berusaha mengambil secepatnya, pesawat RI-002 sudah terburu berangkat.” Kegagalan menitipkan laporan itu membuat Igning kemudian sering murung. “Ia mengira masuk perangkap komunis,” tulis Irna. Igning menderita depresi. Penjagaan kepadanya pun makin ditingkatkan. Pada suatu malam, Reuneker meminta Muhardi menggantikannya menjaga Igning. “Tolong hibur Igning. Lagi-lagi ia kesepian dan depresi gawat. Saya berhalangan,” kata Reuneker kepada Muhardi yang langsung berangkat ke kediaman Igning.   Namun, selang berapa saat kemudian Muhardi justru ditemukan tewas dengan luka tembak di kepalanya. Jasadnya berada dekat dengan jasad Igning yang juga tewas. Kepolisian dan tim Kedokteran Kehakiman di bawah Prof. Dr. Sutomo Cokronegoro lansung menyelidiki perkara itu. Rekonstruksi yang dilakukan kemudian mengungkapkan, sebagaimana dikutip Irna, “Muhardi yang tidak bersenjata menemui Igning. Melihat Igning mengacungkan senjata 45 automatic ke arah pelipisnya, Muhardi cepat memukul tangan Igning yang mau bunuh diri. Reaksi Igning adalah menambakkan pistolnya ke arah kepala Muhardi, yang tewas seketika. Mungkin karena terkejut dan menyadari akibatnya, Igning lalu mengakhiri hidupnya sendiri.”

  • Kasus Jenderal Tuan Tanah

    Dalam debat calon presiden minggu lalu, terungkap aset milik salah satu kandidat. Setelah disentil Joko Widodo, Prabowo Subianto mengakui punya lahan seluas 340.000 hektar. Letaknya terpencar. Sebanyak 220.000 hektar ada di Kalimantan Timur dan sisanya 120.000 hektare di Aceh Tengah. Tanah seluas itu digunakan Prabowo untuk kepentingan perkebunan seperti kelapa sawit.    Bila dikomparasi, luas tanah Prabowo ini sama dengan lima kali luas Kota Jakarta. Meski luasnya mencengangkan, Prabowo jemawa. Menurut Prabowo  masih lebih baik lahan seluas itu dikelola oleh dirinya yang berjiwa nasionalis dan patriot ketimbang dikuasai pihak asing. Politikus yang juga tangan kanan Prabowo, Fadli Zon , mengatakan lahan tersebut diperoleh Prabowo lewat proses lelang dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) pasca krisis moneter 1998. Status kepemilikannya adalah Hak Guna Usaha (HGU). Jadi sewaktu-waktu, tanah itu harus dikembalikan kepada negara sesuai kontrak dan Undang-undang yang berlaku. Lahan Berkuda dan Bertinju Di masa lalu, seorang mantan jenderal pernah terjerat kasus penguasaan lahan negara. Perwira tinggi era Orde Baru itu bernama Herman Sarens Sudiro. Sekira tahun 1966-1967, Herman memperoleh tanah di Jalan Warung Buncit, Mampang, Jakarta Selatan (berada tak jauh dari Kantor Imigrasi Jakarta Selatan, nyaris berhadapan dengan halte “Imigrasi” bus Transjakarta,  red ). Karena hobi memelihara kuda, Herman hendak menjadikan lahan seluas 29.000 meter persegi atau sekitar 3 hektar itu sebagai istal yang menampung kuda dalam jumlah banyak. Dalam otobiografinya Ancemon Gula Pasir: Budak Angon jadi Opsir , Herman mengakui memperoleh tanah tersebut atas arahan Letjen Soeharto yang baru saja dilantik menjadi pejabat presiden. Herman cukup dekat dengan Soeharto karena pernah menjadi ajudan Soeharto ketika menjabat Komandan Komando Satuan Tugas (Kosatgas) Supersemar. Soeharto-lah yang menyarankan agar Herman membeli sebidang tanah di Warung Buncit. Di sana, Herman mendirikan Djakarta International Sadie Club (DISC). Gelanggang pacuan kuda ini menjadi arena bergengsi bagi sebuah perkumpulan olahraga berkuda yang saat itu belum begitu marak di Indonesia. Di kalangan orang tertentu, DISC mendapat sambutan positif. Tempat itu menarik minat pecinta olahraga berkuda dari kelas atas. Herman lantas mengganti nama DISC menjadi Satria Kinayungan yang diambil dari nama kuda putih milik Pangeran Diponegoro. Tak hanya menjadi arena berkuda, Satria Kinayungan berkembang ke berbagai lini sport mulai dari sasana tinju, klub berburu, dan bisnis lainnya. Para tamu Herman Sarens di lokasi itu datang mulai dari Keluarga Cendana, para perwira tinggi, sampai selebritis. “Semua orang tahu bahwa Satria Kinayungan adalah Herman Sarens,” kata Herman kepada penulis otobiografi Restu Gunawan. Setelah pensiun dengan pangkat letnan jenderal, Herman lebih dikenal sebagai pegiat olahraga. Nama Herman kondang sebagai promotor tinju yang suka membawa petinju binaannya bertanding ke mancanegara. Pada 1992, Hankam Sport Center Satria Kinayungan sudah mengasuh tak kurang dari 100 petinju. “Ada yang bekas pembunuh, bekas tukang pukul. Orang-orang seperti ini kalau tidak dirangkul mau lari kemana?” kata Herman seperti dikutip majalah Pertiwi , 15-28 Maret 1992. Sengketa di Senjakala Hingga tahun 1997, lahan milik Herman itu aktif digunakan untuk berbagai kegiatan olahraga. Menurut Kompas , 21 Januari 2010, meskipun banyak digunakan orang dari keluarga penguasa dan kaum berpunya, masyarakat boleh beraktivitas di lahan itu. Warga sekitar boleh menggunakan sasana tinju, bulutangkis, atau sekadar melihat orang berlatih menunggang kuda, dan lari pagi. Menjelang akhir kekuasaan Soeharto, Satria Kinayungan mulai meredup. Pamor Herman Sarens berangsur-angsur ikut pudar. Pada awal gerakan reformasi, tiba-tiba aktivitas di pusat olahraga milik Herman itu berhenti. Herman yang telah memasuki masa tua, diusik kehidupannya. Menurut laporan Tempo , 31 Januari 2010, sejak 2005, Herman masuk daftar pencarian orang Markas Besar TNI. Sebanyak tiga kali Oditur Militer Tinggi II Jakarta memanggilnya untuk proses pengadilan. Tiga kali pula Herman mangkir. Di senjakalanya, Herman malah terlilit sengketa. Pihak TNI menyatakan, Herman menyalahgunakan wewenang saat menjadi pimpinan TNI AD tahun 1970. Herman dianggap telah menguasai lahan Satria Kinayungan semenjak dirinya menjabat Komandan Korps Markas Hankam dan Mabes AD. Herman digugat lantaran status kepemilikan lahan itu ternyata belum jelas. Pada 19 Januari 2010, Polisi Militer Komando Daerah Militer Jakarta Raya menangkap Herman karena menolak panggilan sidang Oditur Militer Jakarta. Penjemputan Herman sempat berjalan alot sehingga kediamannya di Serpong, Tanggerang Selatan dikepung aparat. Penangkapan Herman jadi pemberitaan yang menyita perhatian publik kala itu.  Proses hukum tetap berjalan meski kondisi kesehatan Herman semakin melemah karena faktor usia.   Herman akhirnya menyerahkan lahan itu kepada negara pada 17 Juni 2010 setelah ada keputusan dari Mahmakamah Militer Tinggi Jakarta. Persoalan kepemilikan lahan itu selesai dengan damai. Tak lama kemudian, Herman meninggal pada 11 Juli 2010 dalam usia 80 tahun. "Persoalan (sengketa tanah) itu selesai dengan damai,” ujar Hadijah Soediro, istri Herman, dikutip Kompas , 12 Juli 2010. “Jangankan hanya tanah, beliau pernah menegaskan bersedia menyerahkan jiwa raganya jika untuk negara," demikian pungkas Hadijah.

  • Perjuangan M.H. Thamrin Lewat Sepakbola

    Ada sebuah babak unik dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Politik dan sepakbola pernah begitu identik. Di dua lapangan inilah tokoh-tokoh pergerakan nasional berupaya menumbuhkan gagasan kebangsaaan dan memperbaiki nasib golongan anak bangsa. Salah satu tokoh tersebut adalah Mohammad Hoesni Thamrin, lahir pada 16 Februari 1894. “Thamrin adalah seorang unpredictable . Begitu luas, begitu lapang penjelajahan aktivitas politik Thamrin,” kata sejarawan JJ Rizal dalam diskusi Dari Stadion VIJ menuju Stadion M.H. Thamrin di Balaikota, Jakarta, 15 Februari 2019. Thamrin bergerak dalam lapangan politik melalui Gemeenteraad (Dewan Kota), Volksraad (Dewan Rakyat), Kaoem Betawi, dan Partai Indonesia Raya (Parindra). Dia berupaya mengangkat nasib warga kampung di Batavia melalui sidang-sidang Gemeenteraad (Dewan Kota) sejak 1919. Wujudnya berupa desakan terhadap pemerintah kolonial untuk melaksanakan program perbaikan kampung ( Kampongs Verbetering ). Ketika naik menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat) selama 1927-1940, Thamrin menjembarkan perjuangannya. Dia berkhidmat untuk perbaikan nasib seluruh anak bangsa di antero Hindia Belanda. Antara lain upaya menghapus Poenali Sanctie (ordonansi merugikan bagi para kuli di Sumatra Timur). Kemudian Thamrin masuk ke lapangan sepakbola pada 1928. Tidak hanya sebagai penonton, melainkan juga sebagai pemain. Dia seorang candu bola. “Sebenarnya ini tidak istimewa. Para founding fathers, para pendiri bangsa, itu gila bola,” kata Rizal. Misalnya Mohammad Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Yang membuat Thamrin berbeda adalah pandangannya tentang sepakbola dan keterlibatannya secara langsung di lapangan sepakbola. Dia memandang sepakbola sebagai alat perjuangan dan penumbuh rasa kebangsaan untuk golongan anak bangsa. Dia berikhtiar mewujudkan gagasannya lewat lapangan sepakbola. Ilustrasi dalam suatu edisi surat kabar Pemandangan tentang minat orang ke Lapangan Laan Trivelli. (Festival 125 Tahun M.H. Thamrin). Politik ras di sepakbola Golongan anak bangsa ( inlander ) menempati kasta ketiga dalam susunan masyarakat kolonial. Di bawah golongan Eropa dan Timur Asing. Pembagian kasta memunculkan diskriminasi hak dan kewajiban pada tiap golongan dalam beragam aspek kehidupan: pendidikan, politik, ekonomi, sosial, dan olahraga. Diskriminasi dalam bidang olahraga tampak dalam larangan bagi anak bangsa untuk bergabung ke perkumpulan klub-klub sepakbola ( bond atau perserikatan) golongan Eropa. “Saat itu mereka dilarang bergabung ke dalam bond seperti WJVB (West Java Voetball Bond), yang kemudian berganti nama menjadi VBO (Voetballbond Batavia en Omstreken). Mereka memiliki klub, tapi tidak punya bond ,” kata Abdillah Afif, salah satu penulis dan periset buku Gue Persija . Klub-klub sepakbola berisi anak bangsa di Batavia antara lain Tjahja Kwitang, Gang Solitude, Roekoen Setia, dan Setia Oetama. Mereka bersaing dalam kompetisi khusus untuk anak bangsa (Inlandsche Voetball Competitie) garapan Oliveo dan BVC sejak 1905. Diskriminasi lain terhadap anak bangsa dalam sepakbola tampak pula pada larangan penggunaan stadion milik klub golongan Eropa. Suatu hari pada 1927, kebakaran melanda sebuah kampung di Pasar Baru —sekarang masuk wilayah Jakarta Pusat. Klub-klub anak bangsa berniat membantu korban kebakaran. Caranya dengan menggelar pertandingan amal. Mereka mencari stadion untuk pertandingan tersebut. Sebab mereka hanya punya lapangan kecil seadanya. Tak cukup layak untuk pertandingan amal. Klub-klub anak bangsa menghubungi Hercules, salah satu klub golongan Eropa. Tujuannya untuk meminjam stadion milik Hercules sebagai tempat pertandingan amal. “Tapi Hercules menolak mentah-mentah permintaan mereka,” kata Afif.      Aneka bentuk diskriminasi tersebut menyadarkan pengurus klub-klub anak bangsa bahwa sudah saatnya mereka bersatu membuat bond sendiri. Tidak bergantung pada belas kasih golongan lain. Maka lahirlah VBB (Voetball Bond Boemipoetera) pada November 1928. Sebulan setelah Sumpah Pemuda. Tapi orang-orang dalam VBB tak seirama. Sikap mereka terhadap Bond golongan Eropa terbelah. Apakah harus melawan atau berkawan. Akhirnya pada 30 Juni 1929, kelompok penentang diskriminasi di sepakbola mendirikan Voetballbond Indonesia Jacatra (VIJ). Mereka tidak memilih kata Indische. Sebab organisasi pergerakan nasional mulai menanggalkan kata itu. “Pergantian nama ini menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara dunia pergerakan nasional dengan sepakbola,” kata Rizal. Kelak pengurus VIJ turut berperan melahirkan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 1930. Kemudian VIJ berganti nama jadi Persija pada 1942. Keterlibatan Thamrin Thamrin memperhatikan perkembangan sepakbola di Batavia: dari pendirian VBB hingga VIJ. Rizal menduga ada peran Thamrin dalam menjembatani semangat Kongres Pemuda Oktober 1928 dengan pendirian VBB November 1928. Saat itu Thamrin telah aktif di Volksraad . Menurut Bob Hering dalam Mohammad Hoesni Thamrin: Tokoh Betawi-Nasionalis Revolusioer Kemerdekaan , dia kerap mendorong pembentukan kesatuan sinkretis yang padu demi menghapus diskriminasi pemerintah kolonial terhadap anak bangsa di beragam bidang. “Thamrin selalu bicara dalam alur perpaduan nasionalisme Indonesia baik golongan kooperasi maupun non-kooperasi,” tulis Bob. Pilihan strategi politik ini menjadikan Thamrin ibarat jembatan antara dua kelompok. Sebab masa itu terdapat dua kelompok besar dalam pergerakan nasional. Kelompok kooperasi (bekerja sama) dengan pemerintah kolonial dan kelompok non-kooperasi. Mereka bersitegang meskipun cita-cita perjuangannya sama: Indonesia merdeka. Thamrin meyakini bahwa perwujudan cita-cita tersebut bergantung pada kekuatan golongan anak bangsa. Bukan pada belas kasih etika dan moral pemerintah kolonial. Dia memang berada di Volksraad dan memilih jalan bekerja sama dengan pemerintah kolonial. “Dengan bekerja sama saya dapat berbicara, bukan?” kata Thamrin dalam Matahari Jakarta karya Soekanto S.A. Tapi kerja sama itu tak berarti meletakkan kesetiaannya pada kekuasaan kolonial. Dia justru menyerang kebijakan pemerintah kolonial dari dalam gedung milik pemerintah, di depan muka para pembesar kolonial. M.H. Thamrin dan rekan-rekannya beristirahat setelah mengadakan pertandingan eksebisi di Lapangan Laan Trivelli pada 1932. (Festival 125 Tahun M.H. Thamrin). Thamrin tak hanya berperan sebagai jembatan dalam politik , melainkan juga dalam lapangan sepakbola. Dia mendukung penuh pergantian nama VBB menjadi VIJ. Bagi Thamrin, VIJ adalah wujud elan revolusioner, elan kebangsaan. Hubungan Thamrin dan VIJ terus terbangun. Dia masuk struktur VIJ sebagai pelindung ( beschermer ). Dia lalu menghubungkan VIJ dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya seperti Otto Iskandardinata. Otto adalah kawan Thamrin di Volksraad . Otto juga pecandu bola seperti Thamrin. Dia orang Sunda kelahiran Bandung. Dia ketua Paguyuban Pasundan, salah satu organisasi pergerakan nasional. Dia sering meminjamkan gedung Paguyuban Pasundan untuk rapat pengurus VIJ. Kelak Otto berjuluk Si Jalak Harupat. Nama julukannya dijadikan nama stadion di Jawa Barat yang biasa dipakai Persib Bandung bertanding. Sekarang pendukung Persija dan Persib justru bermusuhan. Menyumbang lapangan layak Otto dan Thamrin pernah melakukan pertandingan eksebisi dua kali pada 1932 dan 1933. Mereka mengajak tokoh-tokoh pergerakan nasional mengolah bola di lapangan. Hal ini terekam dalam foto-foto pers sezaman seperti Pemandangan dan Pandji Poestaka . “Ada foto Thamrin, Otto, dan tokoh pergerakan nasional sedang rehat di pinggir lapangan, dekat gedeg (pagar dari bambu) lapangan Laan Trivelli, Jakarta Pusat,” kata Afif yang meriset hubungan Thamrin, pergerakan nasional, dan VIJ sejak 2013. Foto itu tersua dalam ‘Festival 125 Tahun M.H. Thamrin’ di Pulo Piun, sekarang dikenal sebagai Stadion VIJ. Keberadaan lapangan untuk kegiatan VIJ tak lepas dari andil Thamrin. Menurut Afif, VIJ selalu kesulitan menggelar pertandingan. Banyak lapangan di kampung-kampung Batavia tidak layak untuk memutar kompetisi antar klub VIJ. Kemudian pengurus VIJ melaporkan situasi ini kepada Thamrin. Dia menyumbangkan uang senilai 2000 gulden untuk mengupayakan lapangan layak di Laan Trivelli, sekarang terletak di Jalan Tanah Abang II, Jakarta Pusat. Bangunannya sudah berganti permukiman penduduk. “Waktu itu nilai 1 gulden bisa untuk beli 7 kilogram gula. Kalau dirupiahkan, mungkin nilai sekarang sekitar 170 juta rupiah,” terang Afif. Di lapangan inilah Thamrin mengajak Sukarno membuka kompetisi PSSI pada 16 Mei 1932. Tak lama setelah Sukarno keluar dari penjara Sukamiskin, Bandung. Selepas itu, Thamrin mengusahakan VIJ memperoleh lapangan lebih layak dengan tribun penonton dan ruang makan. Harapan itu terwujud pada 1936. Inilah lapangan Pulo Piun. Sampai sekarang masih berdiri. Thamrin wafat pada 11 Januari 1941. Begitu pula dengan perannya sebagai jembatan pergerakan nasional dan sepakbola. Banyak orang membiarkannya ikut terkubur. Festival 125 Tahun M.H. Thamrin menjadi sebentuk upaya menggali kembali gagasan Thamrin tentang hubungan sepakbola dengan politik dan perannya di lapangan sepakbola.

  • Akhir Hayat Sang Penyelamat

    SEPAKBOLA Inggris berduka. Satu legenda sohornya, Gordon Banks, mengembuskan napas terakhir dengan damai dalam tidurnya di kediamannya, Stoke-on-Trent, Selasa 12 Februari 2019 malam waktu setempat (Rabu, 13 Februari 2019 WIB) dalam usia 81 tahun. Banks menderita kanker ginjal sejak 2015. Kabar kematian kiper Inggris saat menjuarai Piala Dunia 1966 itu menuai banyak ucapan belasungkawa. Tidak hanya dari para legenda hidup, klub, FA (Induk Sepakbola Inggris) dan para pemain yang masih aktif, induk organisasi sepakbola Jerman DFB turut mengucapkan belasungkawa. “Seorang lawan yang tangguh dan pribadi yang sangat baik. Beristirahatlah dengan tenang, Gordon Banks,” cuit DFB di akun Twitter resminya, @DFB_Team_EN pada Selasa, 12 Februari 2019. Edson Arantes do Nascimento alias Pelé, legenda hidup sepakbola asal Brasil, turut terpukul mendengar kematian kiper terbaik Inggris sepanjang sejarah itu. Pelé mulai menjalin persahabatan dengan Banks pasca-sang kiper melakukan penyelamatan fenomenal dengan menggagalkan sundulan Pelé di Piala Dunia 1970. “Bagi banyak orang, memori tentang Banks ditentukan oleh penyelamatan dari peluang saya di 1970. Saya mengerti alasannya. Penyelamatan itu salah satu yang terbaik dari yang pernah saya lihat sepanjang karier saya…Saya mencetak begitu banyak gol, tapi kebanyakan orang, saat mereka bertemu saya, selalu menanyakan tentang penyelamatan itu…Jadi saya senang dia menyelamatkan sundulan saya karena itu jadi awal persahabatan kami yang sangat saya banggakan. Beristirahatlah dengan tenang, sobat. Ya, Anda adalah seorang kiper yang punya sihir. Anda adalah manusia yang sangat baik,” tulis Pelé dalam akun Facebook resminya, Selasa 12 Februari 2019. Penyelamatan fenomenal itu terjadi pada partai kedua Grup C, 7 Juni 1970 di Estadio Jalisco, Guadalajara, Meksiko. Dalam satu momen di interval pertama, Jairzinho ngacir dari sisi kiri pertahanan Inggris dan mengirim umpan lambung ke tengah kotak penalti. Pelé langsung meloncat untuk menyambut crossing itu dan menanduk bola hingga memantul lebih dulu sebelum mengarah ke sudut kanan gawang Banks. “Saya sudah berteriak ‘Gol!’ sebagai reaksi,” ujar Pelé dikutip Les Scott dalam Banksy: My Autobiograpy . Tapi betapa terkejutnya Pelé lantaran dengan cepat Banks terbang ke kanan dan menepis saat bola baru sepersekian detik memantul dekat garis gawang. Bola pun gagal bersarang dan hanya menghasilkan tendangan sudut. “Saya pikir harusnya itu gol,” cetus Pelé seketika usai sundulannya kandas. “Saya pun sempat berpikir begitu,” jawab Banks. “Anda mulai menua, Banksy. Biasanya bisa ditangkap, kan,” kata bek Inggris Bobby Moore menimpali dalam obrolan singkat. Sayang di laga itu Inggris akhirnya kalah setelah Jairzinho mencetak gol semata wayang di menit 59. Pele dan Gordon Banks yang bersahabat sejak 1970. (Facebook Pele) Dari Buruh Serabutan ke Pentas Dunia Banks lahir di Abbeydale, Sheffield, 30 Desember 1937 dari keluarga yang ekonominya pas-pasan. Di usia 15 tahun, Banks harus putus sekolah demi membantu perekonomian keluarga dengan menjadi buruh di perusahaan batubara lokal. Setelah itu, tulis Les Scott dalam autobiografi Banks terbitan 2002 itu, Banks jadi buruh bangunan di Catcliffe menyambi jadi kiper klub amatir Millspaugh. Titik balik hidupnya bermula saat Banks ditawari trial oleh pemandu bakat Chesterfield pada Maret 1953. Banks tak menyia-nyiakannya dan tampil impresif hingga mendapat kontrak paruh waktu dengan gaji tiga poundsterling sepekan pada Juli di tahun yang sama. Dari situlah namanya mulai dikenal hingga dibeli Leicester City pada 1959, Stoke City pada 1967, sampai pensiun bersama Fort Lauderdale Strikers pada 1978. Performa apiknya saat bersama Leicester menjadi bekal Banks masuk Timnas Inggris U-23 pada 1961 dan timnas senior dua tahun berselang. Karier emasnya dicetak pada Piala Dunia 1966, di mana Banks dkk memenangi trofi Piala Dunia untuk kali pertama yang hingga kini masih jadi satu-satunya kenangan paling manis buat Negeri Ratu Elizabeth II. Di Piala Dunia berikutnya, nama Banks kian melangit setelah melakukan penyelamatan terhadap sundulan Pelé. FIFA sampai menyebut aksi itu sebagai aksi penyelamatan terbaik sepanjang sejarah. International Federation of Football History and Statistics menempatkannya sebagai kiper terbaik kedua Abad ke-20 setelah Lev Yashin. Bila Banks tak keracunan makanan, bisa jadi Inggris mampu mempertahankan gelar di Piala Dunia Meksiko 1970. Namun nahas, jelang perempatfinal kontra Jerman Barat, kondisi Banks mengharuskan pelatih Alf Ramsey mencadangkannya. “Peter Bonetti menggantikan Gordon yang masih sakit di perempatfinal yang sarat drama dan membuat sakit hati,” tulis Jim Morris dalam Gordon Banks: A Biography. Inggris seolah “dikerjai” dan soal ini masih jadi misteri sampai sekarang. Banks menderita keram perut, diare, dan keringat dingin mengucur terus-menerus tak lama setelah minum bir bersama rekan-rekan setimnya. Anehnya, hanya Banks yang keracunan. “Saya tak ingat jika tutup botol yang disajikan sudah terbuka atau tidak. Yang pasti, setengah jam kemudian saya merasakan nyeri pada perut saya,” ungkap Banks dalam biografinya. Gordon Banks (jersey kuning) bersama timnas Inggris saat memenangi Piala Dunia 1966. (fifa.com) Selain itu, Inggris juga “dikerjai” sebelum menjalani laga perempatfinal di Léon, sekitar 200 kilometer dari Guadalajara yang jadi basis tim Inggris. Sedianya, tim Inggris ingin pakai pesawat ke venue , tapi panitia mengatakan landasan bandara di Léon tak cukup memadai buat pesawat tim. Padahal, pesawat tim Jerman bisa mendarat di Léon. Banks dkk. terpaksa mengarungi perjalanan darat Guadalajara-Léon dengan bus tanpa AC selama lima jam. Tanpa banks di bawah mistar, Inggris akhirnya kalah 2-3 dari Jerman Barat di Estadio Nou Camp, Léon, 14 Juni 1970. Ironisnya, nasib Banks setelah pensiun pada 1972 tak begitu cemerlang. Dari 1977-1980, Banks secara serabutan melatih klub-klub kecil Liga Inggris seperti Port Vale hingga Telford United. Pada 1980 di Telford United, Banks vakum lantaran menjalani operasi. Tapi saat kembali ke klub, Banks malah dipecat. Manajemen klub hanya bersedia menampung Banks sebagai penjual kupon undian. Banks memutuskan pergi dari klub itu tak lama kemudian. “Saya sakit hati…tidak mau lagi berada di dalam manajemen klub,” ujarnya saat diwawancara BBC , 24 Agustus 2010. Banks lantas memilih berbisnis dengan membuka hotel kecil di Leicester. Sayang, bisnisnya mandek dan bangkrut. Perekonomiannya baru bisa perlahan bangkit setelah dibantu Leicester City, bekas klub Banks yang prihatin kepadanya. Pada 2001, pria yang pernah ditawari posisi presiden kehormatan seumur hidup oleh Stoke City itu mengambil satu keputusan tersulit dalam hidupnya. Banks melelang medali emas Piala Dunia 1966 di Rumah Lelang Christie’s dan laku seharga 124.750 pounds. Keputusan itu diambil setelah Banks berpikir masak-masak tak ingin medalinya jadi biang rebutan warisan ketiga anaknya kelak jika dia meninggal.*

bottom of page