Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Tukang Pukul dari Ternate
TANPA kenal lelah, tangan kanan Richard Mainaky terus mengayunkan raket untuk memukul kok yang diumpan tangan kirinya. Laju demi laju deras kok itu lalu mengarah ke Gloria Emanuelle Widjaja yang berada di seberang net. Begitu intensnya Richard menggojlok skill antisipasi anak asuhnya itu sampai tumpukan kok yang ada ludes. Gloria merupakan satu dari beberapa anak didik Icad (sapaan akrab Richard Mainaky) di Pelatnas PBSI, di mana dia sudah lebih dari dua dekade jadi spesialis pelatih ganda campuran. Pagi itu, Jumat 11 Januari 2019, Icad sedang tidak membesut pasangan top Indonesia Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir lantaran keduanya sedang rehat untuk menghadapi Indonesia Masters 2019, yang –dihelat pada 22-27 Januari– akan jadi turnamen perpisahan Liliyana sebelum pensiun. Kendati usianya sudah 53 tahun, Icad masih segar dan fisiknya masih tegap dan kekar bak tukang pukul. Kerasnya genggaman saat bersalaman menandai reputasinya, yang kadang dijuluki “pelatih bertangan besi” atau “raja tega” oleh beberapa pemain binaannya. “Saya prinsip begini. Sebenarnya pelatih itu bukan pintar ya. Dia harus mau tegas, disiplin, kerja keras. Itu yang membuat atlet berhasil. Kalau pelatih cuma pintar tapi tidak tegas dan kerja keras, mau pemain bagaimanapun, akan sulit. Jadi saya punya prinsip harus tegas, agar pemain punya disiplin dan semua harus jalan,” ujarnya kepada Historia. Perantau dari Indonesia Timur Lahir di Ternate, Maluku Utara pada 23 Januari 1965, Richard Leonard Mainaky memiliki perangai keras. Icad gemar bertualang, berburu kelelawar, hingga berkelahi. Dalam 50 Kisah Sukses dan Inspiratif Diaspora Indonesia karya Fairuz Mumtaz disebutkan, Icad jadi anggota Dinasti Mainaky pertama yang lantas jadi panutan empat dari enam adiknya: Rionny Frederik Lambertus Mainaky, Rexy Ronald Mainaky, Marleve Mario Mainaky, dan Karel Leopold Mainaky. Richard Leonard Mainaky saat ditemui di Pelatnas PBSI. (Randy Wirayudha/Historia) Icad dan adik-adiknya dikenalkan bulutangkis oleh ayahnya, Jantje Rudolf Mainaky. “Papi saya itu juara bulutangkis se-Maluku. Jadi Papi saya kirim kita semua main bulutangkis. Padahal dulu zaman kecil, bukan itu cita-cita kami. Saya ingin jadi tentara. Rexy sebenarnya hobi sepakbola, Marleve senangnya tinju,” kenang Icad. Icad diarahkan bulutangkis oleh pamannya saat sudah diajak merantau ke Jakarta. Dia lalu masuk PB 56 dan dilatih Darius Pongoh, ayah dari pebulutangkis era 1980-an Lius Pongoh. Saat PB 56 bubar, Icad dibawa Darius ke PB Tangkas hingga mampu menembus Pelatnas PBSI Senayan pada 1989. Sayang, di Pelatnas kariernya kurang moncer. Penyababnya, tulis Broto Happy Windomisnowo dalam BaktikuBagiIndonesia , kemungkinan lantaran pelatih Christian Hadinata dan Atik Djauhari kerap membongkar-pasang Icad. Hingga awal 1990, Icad bergonta-ganti spesialisasi dari tunggal putra ke ganda putra, lantas ke ganda campuran. Dari gonta-ganti itu pula Icad punya banyak pasangan. Bermula dari Joko Mardianto, Icad lalu berpasangan dengan Icuk Sugiarto, Aryono Miranat, Imay Hendra, Bagus Setiadi, Thomas Indratjaya, hingga Ricky Subagdja. Tapi sampai diduetkan dengan Ricky, karier Icad pun sulit terdongkrak. Prestasi terbaik Icad bersama Ricky hanya menjuarai Polish International pada 1991. Tiga tahun berselang Icad, mundur dari Pelatnas. Dari debt collector ke pencetak juara Setelah pensiun dari Pelatnas, Icad ikut melatih di PB Tangkas selama dua tahun. Tapi lantaran masih banyak waktu luang, Icad sering ikut pamannya jadi debt collector alias penagih hutang. “Sambil melatih kan banyak lowong (waktu) ya. Ya namanya kita dari Maluku, kan . Kebetulan ada saudara saya, Om saya, semua kan memang pekerjaannya begitu. Ada yang jadi bodyguard lah, ada yang jadi preman lah, ada yang jadi tim debt collector.Nah , saya sempat ikut nagih-nagih hutang,” tutur Icad. Pada 1996, Icad kembali terjun ke dunia bulutangkis dengan menjadi pelatih di Pelatnas. “Awalnya sudah mulai keenakan jadi debt collector , tapi lalu dipanggil Koh Chris (Christian Hadinata). Ya saya senang. Beruntunglah saya. Kalau Koh Chris enggak panggil, mungkin ya bisa keterusan. Bisa-bisa jadi kayak John Kei, hahahaha …,” ujar Icad sambil bercanda. Selain banyak belajar dari Christian Hadinata, Icad mengaku mengandalkan insting dalam melatih. Takdir mengatakan, Icad ternyata lebih sukses jadi pelatih ketimbang jadi pemain. Kesuksesan Icad melatih dibuktikan antara lain dari prestasi duet ganda campuran Tri Kusharjanto/Minarti Timur yang prestasi tertingginya meraih medali perak Olimpiade Sydney 2000 dan keberhasilan Nova Widiyanto/Liliyana Natsir juara dunia tahun 2005. Icad kemudian membesut Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir (Owi/Butet). Keduanya berhasil juara All England, Kejuaraan Dunia, dan yang paling membanggakan, meraih medali emas Olimpiade 2016 di Rio de Janeiro. Hampir bersamaan dengan masuknya Liliyana Natsir ke PB Djarum, Icad juga turut bergabung ke PB Djarum. Sejak 2018, Icad turut membantu memantau bibit-bibit muda di Audisi Umum PB Djarum selain sibuk mempersiapkan pasangan Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti untuk jadi penerus Owi/Butet.
- Dagelan Politik, Agar Bangsa Sehat Jasmani-Rohani
SELAIN Jokowi-Makruf Amin dan Prabowo-Sandi, ada pasangan calon (paslon) lain yang wajahnya terpampang dalam poster debat. Mereka adalah Nurhadi-Aldo yang populer disingkat Dildo. Dengan wajah penuh senyum, mengenakan peci, dan kemeja putih, foto paslon Dildo dipajang sejajar dengan dua paslon lain. Namun apa daya, pada debat pilpres 17 Januari 2018 lalu, Nurhadi-Aldo tak dapat menyampaikan pendapat. Mereka pun minta maaf lewat akun Instagram -nya. “Kami paslon No. 10 belum sempat mengutarakan pendapat kami, namun sudah terpotong oleh iklan.” Nurhadi-Aldo memang tak pernah benar-benar mencalonkan diri dalam pilpres. Nurhadi merupakan seorang tukang pijat di Kudus, Jawa Tengah. Semantara, Aldo adalah tokoh fiktif. Wajah rekaan Aldo, gabungan dari dua foto politisi terkenal. Mereka adalah paslon fiktif yang dibuat sekelompok anak muda penggemar shitposting, kegiatan berbagi konten “nirfaedah berkualitas rendah” untuk hiburan, seperti laman Facebook Semiotika Adiluhung 1945 dan Penahan Rasa Berak. Poster debat yang memajang wajah Nurhadi-Aldo pun sebatas guyonan. Poster Debat Pilpres fiktif dari akun Instagram Nurhadi-Aldo. Di tengah ketegangan politik, kehadiran mereka menjadi oase lewat kampanye nyeleneh -menggelitik seperti memberantas korupsi dengan menghilangkan lema korupsi dari KBBI atau mengurangi angka pengangguran dengan menggaji dan menjadikan pengangguran sebagai sebuah profesi. Kampanye Nurhadi-Aldo juga mengandung kritik berbalut humor. Antara lain, menjadikan para petani sebagai PNS golongan O agar kehidupan mereka lebih sejahtera atau reboisasi hutan gundul dengan Dildo Pylox yang akan mengecat seluruh tanah tandus menjadi hijau. Capres fiktif Nurhadi memang hadir sebagai dagelan politik. Mereka memancing gelak tawa di tengah perdebatan sengit kedua kubu pendukung yang sering berujung saling caci dengan mengatai cebong atau kampret. Dalam wawancara dengan Muammar Fikrie, “Cerita di Balik Kampanye Satire Nurhadi-Aldo”, Edwin selaku tim sukses (pengelola akun sosial media) Nurhadi-Aldo mengatakan, Dildo hadir sebagai hiburan di tengah kejengahan polarisasi politik di media sosial. “Dildo lahir sebagai penengah konflik dan hiburan rakyat,” kata Edwin sebagaimana diberitakan Beritagar.id. Kehadiran mereka disambut meriah warganet. Per 21 Januari 2018, pengikut Nurhadi-Aldo di Instagram mencapai 454 ribu, di Twitter mencapai 102 ribu, dan 181 ribu di Facebook . Jumlah ini mengalahkan Instagram resmi Jokowi-Makruf Amin dengan 3214 pengikut, dan Prabowo-Sandi yang mencapai 272 ribu. Dagelan Politik Pasca-Orba Di bawah pohon mangga Taman Budaya Surakarta, Sosiawan Leak berkumpul bersama rekan-rekan seniman. Ada Murtidjono, Suatmadji, dan Ki Slamet Gundono. Kantin Sorlem ( ngisorwitpelem , bawah pohon mangga) begitu mereka menyebutnya. Di kantin itu, mereka membincangkan euforia politik pasca-Orde Baru. Kala itu banyak partai bermunculan sebagai bentuk kekagetan atas kebebasan berpolitik pasca-kelengseran pemerintahan represif Soeharto. Data dari Almanak Parpol Indonesia yang diketuai Julia Suryakusuma menyebut, per Maret 1999 ada 180 nama partai yang beredar. Beberapa partai baru bahkan secara tegas mengakui sebagai penjelmaan yayasan sosial, kelompok kekerabatan, organisasi profesi, atau pecahan organisasi massa besar. Ada pula partai yang berasal dari komunitas lokal setingkat RT atau kelompok mahasiswa. Ramainya kemunculan partai politik, tulis Harry Wibowo dalam “Era Banyak Partai” yang dimuat Almanak Parpol Indonesia, merupakan hentakan awal dalam transisi menuju demokrasi. Pendirian partai yang berasal dari beragam kelompok masyarakat ini kebanyakan punya kinerja, kematangan, dan kesiapan organisasi yang minim. Hal ini menjadi penanda, meningkatnya kuantitas partai tak serta-merta mengubah kualitas perpolitikan. Sebab, kiat pendirian partainya semata “mumpung masih bebas”, lantas partai didirikan. Urusan lain belakangan. “Kalau semua orang jadi politikus kan repot juga. Partainya juga aneh-aneh, seolah serius semua. Padahal banyak yang nggak jelas juga waktu itu,” kata Sosiawan sambil tertawa kepada Historia . Murtidjono yang kala itu menjabat sebagai kepala Taman Budaya Surakarta lantas punya ide untuk mendirikan partai sebagai bentuk sindiran. Ide Murti, begitu ia disapa, disambut baik rekan-rekannya. Murti, Sosiawan, Ki Slamet Gundono, dan Suatmadji lantas menghubungi jaringan seniman untuk menggalang dukungan deklarasi pendirian partai. Segala keperluan partai mereka lakukan dengan kerja bakti gratisan yang serius namun tetap bernuansa humor. Pelukis Suatmadji merancang logo partai yang menyimbolkan kasih sayang, Toriq menjadi penasihat hukum, dan ahli keris Sugiatno menjadi penasihat spiritual. Maka, jadilah Partai Seni dan Dagelan Indonesia (Parsendi). Logo Parsendi rancangan Suatmadji. Garis takterputus menyimbolkan kasih sayang. “Parsendi itu guyonan, sindiran. AD/ART partai juga isinya ndagel semua. Tapi walaupun guyon, harus niat buatnya. Kami juga punya penasihat politik, salah seorang anggota DPRD Solo. Kalau sekarang kayak paslon Nurhadi-Aldo kan nggak mungkin juga mereka nyalon beneran,” kata Sosiawan . Ketika perangkat organisasi sudah siap, Parsendi mengadakan deklarasi pendirian partai di Aula SMKI Surakarta pada 28 Oktober 1998. Sebuah kursi dipajang di depan panggung sebagai simbol tahta. Beberapa seniman, pelawak, dan penyair hadir dalam deklarasi tersebut, seperti Tarzan, I Wayan Sadra, Budi Buyek, dan Idrus Tintin. Selaku penggagas utama pendirian partai, Murti lantas menyampaikan deklarasi yang berisi dagelan. Ketika pemilihan ketua umum partai, Yati Pesek dan Tarzan muncul sebagai calon terkuat. Dalam Basis vol . 47, kedua calon kuat itu tidak bersedia menjadi ketua. Maka terpilihlah pelawak Sri “Milko” Mulyati secara aklamasi. Milko yang buta huruf sengaja dipasang untuk meledek partai-partai politik yang asal-asalan muncul. Ketika harus pidato, misalnya, alih-alih menyampaikan dengan serius, Milko malah bercanda. “Saya tidak siap dialog, tapi siap diolok-olok,” katanya. Selain Milko sebagai ketua umum, terpilih pula Murti sebagai ketua harian, Ki Slamet Gundono sebagai sekretaris jenderal, dan Sosiawan sebagai wakil sekretaris jenderal. Agar wacana sindiran Parsendi meluas ke tingkat nasional, para pengurus partai berkirim surat kepada jaringan seni-budaya mereka untuk mendirikan kantor cabang di daerah masing-masing. Usaha itu berhasil. Parsendi mendapat sorotan dari media massa dan pengamat politik, salah satunya peneliti LIPI Mochtar Pabottinggi. “Parsendi sebenarnya cuma ingin menyampaikan politik yang tidak kaku, yang tidak gontok-gontokan, yang bisa mengubah teman jadi musuh. Saya ingat Mochtar Pabottinggi pernah bilang kemunculan Parsendi memberi angin segar buat situasi politik Indonesia yang lagi tegang karena banyak bermunculan partai baru,” kata Sosiawan. Setelah pesan sindiran mereka berhasil ditangkap masyarakat, Sosiawan dan Murti tenang-tenang saja. Namun, kawan-kawan di daerah yang telanjur membuat kantor perwakilan meneruskan langkah guyonan itu menjadi serius dengan mendaftarkan Parsendi dalam pemilu. Padahal sebelumnya, dalam pertemuan antarpartai di UGM, Murti dengan tegas mengatakan Parsendi tak berminat ikut pemilu. Desakan dari anggota di daerah akhirnya membuat Murti mendaftarkan Parsendi meski hasilnya tak lolos verifikasi. “Pendirian Parsendi menjadi bagian dari kritik lewat karya seni dengan skenario politik. Bikin dagelan kan juga harus niat,” kata Sosiawan.
- Pernikahan Orang Jawa Kuno
Ketika seseorang menikah, pertama-tama dia akan pergi ke rumah mempelai perempuan untuk menyelesaikan pernikahan ini. Tiga hari kemudian dia membawa sang istri pulang ke rumah. Pada saat itu, kerabat mempelai perempuan menabuh genderang dan gong tembaga, meniup tempurung kelapa, menabuh genderang bambu, dan menyalakan kembang api. Sejumlah pria bersenjata pedang pendek mengelilingi mereka. Rambut sang mempelai perempuan dibiarkan tergerai. Bagian atas tubuhnya tidak ditutupi pakaian. Kakinya tak mengenakan alas kaki. Sehelai kain hijau bercorak bunga dililitkan di pinggangnya. Rangkaian manik-manik emas menghiasai kepalanya. Gelang emas dan perak yang indah menghiasi pergelangan tangannya. Para kerabat, rekan-rekan dan tetangga membawakan daun sirih dan pinang. Mereka merangkai bunga dan dedaunan membentuk sebuah kapal kecil. Barang-barang ini mereka bawa bersamaan dengan kepindahan keduanya sebagai bentuk ucapan selamat. Setelah tiba di rumah mereka menabuh genderang dan gong dan bergembira selama beberapa hari. Kemudian mereka semua pulang. Gambaran perkawinan itu dicatat oleh Ma Huan dalam jurnal perjalanannya ke Jawa, Yingya Shenglan, pada 1416. Menurut catatan itu, pernikahan pada masa Jawa Kuno tak banyak berbeda dengan masa kini. Perhelatan pertama dilakukan di kediaman pengantin perempuan. Beberapa hari kemudian di kediaman pengantin pria atau yang kini di sebut ngunduh mantu. Selain kesaksian penerjemah Cheng Ho itu, perkawinan masa Jawa Kuno juga disebut dalam beberapa prasasti. Arkeolog Dwi Cahyono menyebut Prasasti Pucangan dari tahun 1042 M yang memberitakan tragedi pernikahan antara Airlangga dan putri Dharmawangsa Teguh. Prasasti Mantyasih (907 Masehi) yang ditulis atas perintah Raja Balitung berisi tentang lima orang patih di daerah Mantyasih yang berjasa mempersembahkan kerja bakti untuk perkawinan raja. “ Wurangan haji , kata warangam berarti pesta perkawinan (untuk anak), dengan menjaga keamanan di Desa Kining yang penduduknya selalu merasa ketakutan,” kata Dwi. Keterangan tata cara perkawinan pada masa Jawa Kuno juga bisa didapatkan dari kitab susastra. Kitab Wangbang Wideya mengemukakan perkawinan Panji Wireswara dan putri mahkota Daha diselenggarakan di Balairung. Hikayat Panji Kuda Semirang menyebut pernikahan di Daha diselenggarakan di Bale Tejamaya. Beragam panganan disajikan untuk para tamu. Dalam pesta perkawinan itu, menurut Sumanasantaka, para tamu undangan memberikan sembah penghormatan kepada mempelai. Dalam kakawin itu, dikisahkan tujuh orang paratanda bergegas mengelilingi mempelai secara bergantian dengan diiringi bunyi padahi dan sorak-sorai para hadirin. Pemberkatan nikah Pada masa lalu berkat nikah menjadi salah satu sesi penting dalam prosesi penikahan. “Bahkan, untuk mendapatkan berkat nikah itu, rombongan calon pengantin mesti berpayah-payah menempuh perjalan jauh ke tempat persemayaman rohaniawan yang berkompeten memberi peresmian serta berkat nikah,” kata Dwi. Kidung Panji Margasmara yang ditulis era Girindrawarddhana (Majapahit akhir), mengisahkan perjalanan panjang dari Singhasari ke Mandala Kukub atau Sunyasagiri di lereng selatan Gunung Semeru. Ken Candrasari (putri Rangga Singhasari) dan Jaran Warida (putra pendeta sepuh Kagenengan) bermaksud mendapatkan berkat serta peresmian nikah tetapi batal. Mandala Kukub, kata Dwi, adalah situs dari abad ke-15 M yang terletak di Supiturang pada areal pekebunan Gerbo sekarang. Di sana, pernah ditemukan tiga buah prasasti. Satu di antaranya memuat teks ‘ tulusamilu sa den kadi botingakasa lawan pratiwi sorga kabuktiha’ . “Prasasti pendek ini mirip dengan isi Prasasti Pasrujambe yang memuat nasihat nikah iki pangestu yang mami, guru-guru yen arabi den kadi boting ngakasa lawan pratiwi papa kabuktihi ,” kata Dwi. Gambaran pemberian berkat pernikahan juga dijumpai dalam Kakawin Sutasoma . Di sini dikisahkan ketika perkawinan antara Sutasoma dan Candrawati, di langit para dewa, rsi, dan para ahli filsafat besar memanjatkan doa, mantra, dan himne pemberkatan dari kitab suci Wedha. Sementara dalam Wangbang Wideya dikisahkan pernikahan Panji Wireswara dan putri mahkota kerajaan Daha. Waktu itu, para Brahmana terkemuka dan para punjangga menyanyikan himne-himne pujian. Pemberkatan nikah dilakukan oleh Mpu Brahmaraja. Itu diiringi gong, tatabuhan, genta-genta, peret, dan sangkha. Pada bagian lain dari susastra ini, muncul kisah perkawinan putri Tilakusuma dan Srenggayuda di Gegelang. Kedua mempelai mengucap janji kawin. Lantunan himne pujian dengan iringan padahi dan curing pada upcara perkawian juga dijumpai informasinya dalam Kitab Sumanasantaka . Di sini yang ceritakan adalah perkawinan Aja dan Indumati. Kedua mempelai melakukan pemujaan kepada Dewa Agni, lantas diteruskan dengan upacara di bawah pimpinan pendeta Siwa dan Sugata (Buddha). Setelah pemberkatan nikah, kedua mempelai diarak dalam kemerihan pesta pernikahan. Terkait itu, Hikayat Panji Kuda Semirang mengkisahkan bahwa perkawinan di Daha, bertempat di Bale Tejamaya. Pasangan pengantin diarak keliling alun-alun dengan tandu-tandu berbetuk garuda, naga wilmana sambil menyaksikan tenda-tenda di mana beragam seni pertunjunkan digelar. Arak-arakan ini menuju ke arah pesanggrahan. Begitulah dalam berbagai susastra mendeskripsikan peristiwa perkawinan keluarga raja secara penjang lebar. Sayangnya, belum diperoleh data visual pernikahan itu di relief candi. “Kendati begitu, kandungan data yang cukup banyak dalam beragam sumber-sumber data itu cukup untuk merekonstruksikan prosesi pawiwahan hageng pada masa Hindu-Buddha,” kata Dwi.
- Salim Said: Mereka Mestinya Baca Dulu
Untuk kesekian kalinya, aparat TNI melakukan razia buku. Jenis buku yang disasar dari tahun ke tahun masih sama: seputar Peristiwa 1965 yang berkaitan dengan PKI. Baru-baru ini, pihak Kodim (Komando Distrik Militer) 0312 bersama tim Kejaksaan Negeri di Padang menggeledah sejumlah toko buku dan menarik buku-buku yang dicurigai menyebarkan ideologi komunis. Aparat sekonyong-konyong mengadakan razia tanpa kajian terlebih dahulu. Beberapa literatur yang diamankan itu merupakan hasil penelitian akademis ataupun reportase jurnalistik. Mereka memasuki domain sipil dengan dalil melaksanakan TAP MPR No. 23 tentang pelarangan ajaran komunisme. Salah satu buku yang masuk daftar sita adalah Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto karya Profesor Salim Haji Said. Buku itu merupakan bagian kecil dari memoar Salim yang berjudul Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian yang diterbitkan Penerbit Mizan pada 2015. Beberapa bagian mengungkapkan kesaksian Salim tentang apa yang sebenarnya terjadi menjelang, selama, dan sesudah Gestapu. Salim ketika itu telah melek politik karena merupakan aktivis mahasiswa UI di samping menyambi sebagai wartawan. Menilik latar belakang penulisnya, buku ini bersifat semi otobiografi yang dituturkan dengan gaya tutur reportase naratif. Dalam pengantarnya, Salim mengatakan bahwa buku itu diterbitkan bertepatan dengan peringatan 50 tahun Gestapu (Gerakan 30 September 1965) dan percobaan kaum komunis menguasai Indonesia. Melalui buku itu, Salim juga ingin mengenang korban-korban yang tewas, terpenjara, atau terbuang akibat aksi kaum komunis. Singkat kata, buku terebut dipersembahkan Salim kepada publik untuk memperingati kegagalan PKI. “Mestinya kan mereka baca dulu. Atas dasar baca itu baru mereka bertindak. Bahwa ini ada kekeliruan karena mereka tidak baca,” kata Salim Said kepada Historia . Menurut Salim tindakan razia itu menjadi masalah karena aparat tidak melakukan telaah terhadap isinya. Kalau saja mereka membaca sebelumnya, maka bisa diketahui mana buku yang perlu disita dan mana yang tidak perlu. Salim sendiri tidak heran soal kecerobohan tentara seperti ini menyadari minat dan daya baca mereka yang rendah. “Ya baca saja buku itu, jelas kok. Buku saya itu bukan propaganda PKI. Jadi ya, karena keliru saja, kurang waktu untuk membaca. Tapi itulah kelemahan kita. Malas membaca. Nah, terjadilah hal seperti itu, ujar Salim. Kelakuan tentara yang merazia buku ini terasa konyol andai mereka mengetahui siapa sosok Salim Said. Pada 1965, Salim merintis karier jurnalistiknya sebagai wartawan Angkatan Bersendjata , koran partisan dari TNI AD. Salim kemudian lebih dikenal sebagai jurnalis Tempo dan kritikus film. Di bidang akademis, Salim merampungkan studi doktoralnya di Ohio University dengan menulis disertasi tentang peran politik militer era revolusi berjudul “Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945-49” (1991). Hingga kini, Salim berkhidmat sebagai guru besar ilmu politik Universitas Pertahanan yang menjadi tempat bagi para perwira TNI menimba ilmu akademiknya. Dia juga tercatat sebagai penasihat politik Kapolri, pengajar di Sekolah Staf dan Komando TNI AD, AL, dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Dalam arus publisitas, namanya kondang sebagai pengamat politik dan militer. “Mestinya pimpinan dari penyita itu mendidik bawahannya bagaimana cara menyita buku. Tidak bisa begitu saja datang ke toko buku lalu menyita buku," kata Salim Said. Meski terkesan semena-mena, Salim dapat memahami tindakan aparat yang asal saja mencokok bukunya dari rak lantaran fobia yang diwariskan dari masa ke masa. Sebabnya, Salim mengusung judul bukunya “Gestapu 65” yang langsung diasosiasikan sebagai buku PKI. Pun demikian, Salim mengaku tenang-tenang saja menyikapi apa yang terjadi terhadap karyanya. Dia tidak tersinggung atau marah. Buku itu sendiri telah masuk cetakan keempat dan telah beredar luas sejak penerbitannya yang pertama kali. “Saya tidak tersinggung, tidak marah," lanjutnya. “Ya begitulah bangsa kita, bertindak tidak berdasarkan informasi yang cukup.”
- Ketua Umum PSSI Mundur karena Malu
KEJUTAN datang dari Kongres PSSI di Sofitel Hotel, Nusa Dua, Bali, Minggu 20 Januari 2019. Di hadapan para peserta kongres, Edy Rahmayadi menyatakan mundur dari jabatannya sebagai ketua umum. Selain karena ingin fokus mengurus Sumatra Utara sebagai gubernur, Edy menyangkal ingin lari dari masalah yang melanda PSSI belakangan ini. Sebagaimana diketahui, belakangan sepakbola Indonesia kembali diguncang “gempa dahsyat” bernama skandal pengaturan skor. Satgas Antimafia yang dibentuk Kapolri sudah menciduk sepuluh tersangka match fixing . Kendati begitu, eks Pangkostrad itu mengaku keputusannya mundur bukan ingin menghindar dari perkara itu. “Biar saya keluar demi PSSI yang lebih baik. Demi Allah bukan karena saya mau menyerah. Tapi kepentingan bangsa ini segala-galanya. Saya mundur bukan karena saya tak bertanggung jawab. Mudah-mudahan wartawan membantu PSSI lebih baik,” kata Edy dalam pidatonya, dikutip Kumparan , Senin 21 Januari 2019. Edy Rahmayadi menyerahkan jabatan kepada Joko Driyono (pssi.org) Dengan begitu, menurut statuta PSSI, Wakil Ketua Umum (Waketum) Joko Driyono akan menjadi pelaksana tugas (plt) hingga masa periode resmi Edy berakhir pada 2020. Tapi toh setelah pengangkatannya sebagai plt, tetap deras di lini masa media sosial muncul tanda pagar #JokoDriyonoOut. Pertanda bahwa sebagian pecinta bola menginginkan sosok pemimpin dari “rezim” berbeda. Belum lagi Joko Driyono juga masuk di daftar figur yang mesti ikut diperiksa Satgas Antimafia Polri sebagai saksi. Sepakbola gajah Guncangan terhadap PSSI hingga mundurnya sang ketum bukan terjadi kali ini saja. Sekira 24 tahun lalu, Azwar Anas juga mundur sebagai ketum PSSI karena timnas Indonesia melakoni dagelan “sepakbola gajah” di Piala Tiger 1998 (kini AFF Cup). Mundurnya Azwar mengharuskan Agum Gumelar mengisi jabatannya. Retno Kustiati dan Fenty Effendy dalam biografi Agum Gumelar: Jenderal Bersenjata Nurani mengungkapkan insiden “sepakbola gajah” terjadi pada 31 Agustus 1998, tatkala timnas Indonesia meladeni Thailand di partai terakhir Grup A Piala Tiger. Dalam laga yang berjalan alot dengan kondisi lapangan Thống Nhất Stadium yang buruk itu, Indonesia sengaja kalah 2-3 dari Thailand. “Mursyid Effendi, bek timnas Indonesia, melakukan gol bunuh diri sehingga membuat Indonesia kalah 2-3. Sebenarnya, sejak awal kedua tim ini tidak menunjukkan sportivitas berolahraga. Baik Indonesia maupun Thailand sama-sama tidak mau menang karena menghindari bertemu tuan rumah Vietnam di semifinal. Thailand memang tidak sportif tapi Indonesia lebih tidak sportif lagi dengan gol bunuh diri itu,” tulis Retno dan Fenty. Di semifinal, Indonesia dikalahkan Singapura (1-2) yang keluar sebagai juara setelah mengalahkan Vietnam (1-0). Sedangkan Indonesia menempati posisi ketiga setelah mengalahkan Thailand melalui adu penalti (5-4). Skandal itu membuat FIFA menjatuhkan sanksi: Mursyid dilarang bertanding seumur hidup, dan masing-masing federasi Indonesia dan Thailand didenda US$40 ribu. Insiden ini juga jadi tamparan keras buat Azwar Anas. “Ya, Azwar Anas sangat terpukul, dan sebagai pemimpin, sebagai ketua umum PSSI yang bertanggung jawab, dia mengundurkan diri secara ksatria,” tulis Abrar Yusra dalam biografi Azwar Anas:Teladan dari Ranah Minang. Azwar Anas (kiri). (Repro Azwar Anas: Teladan dari Ranah Minang ). Keputusan Azwar mengundurkan diri telah bulat setelah Agum Gumelar berkenan menggantikannya. “Tolonglah, Gum. Bapak sudah capek,” ungkap Azwar kepada Agum. Keputusan mundur Azwar diumumkan pada akhir Agustus 1998. “Saya mundur secara ksatria. Orang-orang angkatan saya masih bekerja menurut nilai-nilai. Kami tidak bekerja dengan target utama mencari uang, meskipun uang itu perlu. Kehormatan atau martabat adalah yang nomor satu. Kami tidak sanggup menahan rasa malu, apalagi malu sebagai bangsa! Meskipun demikian, saya tidaklah heran jika ada yang berpendapat bahwa sikap saya terhadap kasus-kasus sepak bola gajah berlebih-lebihan,” kata Azwar . Agum baru secara resmi diangkat jadi pejabat ketua umum pada Sidang Paripurna PSSI pada 30 Oktober 1998. Azwar mengaku percaya pada Agum yang berjanji membenahi PSSI dari sisi organisasi maupun SDM. “Dia bukan orang baru di PSSI. Saya kenal betul dengannya ketika kami sama-sama menjadi pengurus PSSI pada tahun 1991 hingga 1995,” kata Azwar.
- Charlie Chaplin Berkunjung ke Garut
PRESIDEN Joko Widodo mengadakan kunjungan kerja ke Bandung, Jawa Barat (17/1). Dari Bandung, Jokowi menuju Kabupaten Garut dengan kereta api untuk meninjau panel reaktivasi jalur kereta api Cibatu-Garut. Dalam akun twitter -nya, Jokowi mencuit: “Komedian legendaris abad ke-20 Charlie Chaplin pernah dua kali berlibur ke Garut dengan kereta api. Jalur yang dilewati Charlie Chaplin di Garut kini jadi rel mati dan akan kita hidupkan lagi untuk pengembangan kawasan wisata dan perekonomian.” Menurut Haryoto Kunto, yang dijuluki “kuncen Bandung”, dalam Seabad Grand Hotel Preanger, 1897-1997 , Garut merupakan kota kecil yang sering dikunjungi kaum preangerplanters (tuan-tuan perkebunan) , yang dihubungkan oleh jalur kereta api, di mana Stasiun Cibatu merupakan tempat alih kereta rute Bandung-Surabaya. Ayahnya yang pernah menjadi kepala Stasiun Cibatu (1935-1940) menceritakan, lebih dari selusin sedan taksi dan limousine tua milik hotel parkir di pelataran stasiun untuk menjemput wisatawan mancanegara dan tamu-tamu penting yang akan bertamasya dan liburan di Garut. Garut yang berhawa sejuk dan sempat dijuluki Paradijs van het Oosten (Surga dari Dunia Timur), memiliki sejumlah objek wisata alam yang indah. Sebut saja Situ Bagendit, pemandian air panas di Cipanas Tarogong, situs Candi Cangkuang di Leles atau Talaga Bodas di Wanaraja. Para wisatawan juga bisa melancong ke perkebunan Pamegatan di Cikajang, lalu mampir menginap di Landhuis Darajat. Mereka juga bisa mendaki Gunung Cikuray atau Gunung Papandayan untuk melihat Kawah Manuk serta naik kuda di Engelsche Park (Taman Inggris) yang asri di puncak gunung tersebut. Keindahan arsitektur bangunan rumah tradisional Sunda dari puncak Gunung Papandayan juga menjadi objek wisata yang manarik hati pelancong mancanegara. Untuk menunjang pariwisata di Garut, pengurus Nederlandsch Indische Hotelvereeniging atau The East Indian Traveling and Tourist Office (EITTO) membangun hotel, pesanggrahan, restoran, dan obyek wisata, serta melengkapinya dengan sarana transportasi. Menurut Kunto, hotel tertua di Garut adalah penginapan milik keluarga Van Horck yang kemudian menjadi Hotel Van Horck dan sudah ada sejak tahun 1880-an. Penulis Belanda, Justus van Maurick, yang menginap di hotel itu tahun 1895 terkesan dengan pelayanan dan keramahan Nyonya Van Horck. Dalam sebuah buku, dia menulis: “Wajah anda yang ramah, mulut anda yang bergigi putih penuh gelak tawa, mengiklankan kenyamanan bagi hotel yang anda kelola dengan baik ini!” Lantaran pelayanannya yang ramah itu, Hotel Van Horck dikenal luas masyarakat Eropa, terutama di negeri Belanda. Sehingga dari tahun ke tahun, tamu asal mancanegara yang menginap di Hotel Van Horck semakin berjubel. Sampai akhirnya hotel ini harus memperluas beberapa ruangan dan menambah jumlah kamarnya. Fr. J.A. van Es, ketua Nederlandsch Indische Hotelvereeniging (NIH), orang pertama yang merintis kerja sama antarhotel di Priangan. Pada 1921, Hotel Savoy Homann bekerja sama dengan Hotel Van Horck. Kemudian diikuti hotel lainnya, seperti Hotel Papandayan di Garut dan Grand Hotel Selabatu di Sukabumi. Selain itu, NIH juga membangun sebuah pesanggrahan di Pantai Pameungpeuk, Garut Selatan yang menyajikan hidangan ala Eropa. Di Garut juga terdapat Hotel Villa Dolce yang memiliki pelayanan bertaraf internasional. Menyusul Sanatorium Garoet dan Grand Hotel di Ngamplang, Hotel Villa Pauline di Cisurupan dan pesanggrahan milik Ondernaming Waspada di Lereng Gunung Cikuray yang dilengkapi een Kleine mooi masigit (mesjid mungil nan cantik) milik Tuan Holle, seorang preangerplanters yang dianggap sahabat oleh masyarakat Garut. Sejak saat itu, menurut Kunto, hotel dan objek wisata di Garut makin terkenal di mancanegara. Beberapa orang penting yang pernah berkunjung dan menginap di Garut antara lain Perdana Menteri Prancis Georges Clemenceau yang menginap di Grand Hotel Ngamplang selama tiga hari pada akhir tahun 1920-an. Perdana Menteri Prancis Georges Clemenceau. (Bundesarchiv/Wikimedia Commons). Aktor komedi Charlie Chaplin berkunjung ke Garut pada 1932 (ada sumber yang menyebut tahun 1927). Dia ditemani aktris Mary Pickford. Kunjungan keduanya pada 1936 (sumber lain menyebut tahun 1935 dan 1938) ditemani aktris Paulette Goddard. “Mustahil Si Chaplin sampai berkunjung dua kali ke Garut bila pemandangan daerah ini tidak indah dan memikat hati,” tulis Kunto. Dalam buku lain, Semerbak Bunga di Bandung Raya , Kunto mencatat, dalam kunjungannya ke Garut, Charlie Chaplin sempat menginap di Hotel Villa Dolce. Kamar hotel yang ditiduri Chaplin kemudian selalu menjadi incaran para tamu yang mau menginap. Namun, menurut tulisan di naratasgaroet.net, Charlie Chaplin yang ditemani saudaranya, Sydney Chaplin, menginap satu malam di Grand Hotel di Ngamplang. Mereka tiba di Garut tanggal 30 Maret 1932 malam. Tulisan berjudul “Charlie Chaplin dan Kenangan Guguling ‘the Dutch Wife’ (1932)” itu menyebut Chaplin terkesan dengan Dutch wife atau guling, temannya bantal: “Di sinilah saya menemukan pengalaman pertama saya dengan Dutch wife , yang kalau anda tinggal di daerah tropis untuk waktu yang lama, maka anda akan mengetahui bahwa anda sangat memerlukannya.” Chaplin dan Sydney menikmati kawah Papandayan, Situ Cangkuang, dan Situ Bagendit. Sorenya, 31 Maret 1932, mereka menuju Yogyakarta menggunakan kereta api, tiba di Surabaya pada 1 April 1932, kemudian lanjut ke Bali menggunakan kapal laut.
- Gertak Sambal ala Timur Pane
MENTERI Pertahanan Jenderal (Purn.) Ryamizard Ryacudu sesumbar. Di hadapan awak media, Ryamizard berkata , “Kalau untuk perang 1000 tahun kita mampu kok!” Seruan itu dilontarkan menanggapi pernyataan calon presiden nomor dua, Prabowo Subianto. Dalam pidato kebangsaannya, Prabowo mengatakan Indonesia hanya mampu berperang selama tiga hari karena terbatasnya ketersediaan peluru. Ucapan Prabowo sendiri menyitir pernyataan Ryamizard dalam twit- nya hasil kajian bersama Kementerian ESDM. Pernyataan Ryamizard soal daya tempur angkatan perang mengingatkan kita pada sosok Timur Pane. Ryamizard dan Timur Pane sama-sama jenderal. Bedanya, Ryamizard adalah jenderal betulan. Pada 2002-2005, Ryamizard adalah orang nomor satu di TNI AD dengan jabatan kepala staf (KASAD). Sementara Timur Pane merupakan tokoh laskar yang mengangkat dirinya sendiri sebagai jenderal mayor. Sebelum menjadi pentolan laskar, Timur Pane dikenal sebagai bandit dan copet di Kota Medan. Namanya kemudian sohor tatkala mengorganisasi pasukan copet dan preman dalam pertempuran Medan Area. Lakonnya dalam sejarah revolusi disebut-sebut menginspirasi sineas Asrul Sani menciptakan karakter Naga Bonar , film yang diproduksi pada 1987 dengan peran utama aktor Deddy Mizwar. Janji Merebut Medan Pada 15 Juli 1947, Mohammad Radjab, wartawan Antara, mewawancarai Timur Pane di markasnya di Kota Prapat yang sejuk, terletak di tepi Danau Toba. Radjab telah mendapat kabar bahwa Timur Pane seorang figur yang terkenal di Sumatera Timur. “Mungkin juga (Timur Pane) sangat ditakuti, karena tindakannya kerapkali radikal, dan musuh yang ditangkapnya terus dipotong saja,” ujar Radjab dalam reportasenya Tjatatan di Sumatera. Reputasi bengis Timur Pane yang sedemikian rupa itu tampaknya terdengar sampai ke Jawa. Panglima Komandemen Jawa Kolonel Abdul Haris Nasution menyebut Timur Pane sebagai pemimpin legiun “Napindo Naga Terbang”, barisan laskar terkuat di Sumatera Utara. Selain itu, Pasukan Timur Pane suka menebar kekacauan ke kalangan rakyat maupun TRI. Yang paling meresahkan adalah menyerobot basis-basis ekonomi milik pemerintah. “Pasukan ini menduduki kebun-kebun,” catat Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 4: Periode Linggajati. “Maka terjadilah bentrokan antara Napindo dan tentara beserta polisi.” Timur Pane sendiri, kata Nasution berpangkat kolonel. Karena pengaruhnya besar di kalangan laskar, pimpinan Markas Besar Tentara (MBT) di Yogyakarta memberi pangkat sementara jenderal mayor kepada Timur Pane. Dalam lagaknya, Timur Pane punya ciri khas. Sebagaimana dituturkan Maraden Panggabean dalam otobiografinya Berjuang dan Mengabdi , Timur Pane gemar sekali memasang bendera kuning ala Jepang pada kendaraannya untuk menunjukkan bahwa perwira dalam kendaraan itu seorang perwira tinggi, tingkat jenderal. Kepada Radjab, Timur Pane berkata bahwa persediaan alat dan senjatanya cukup untuk berperang delapan belas tahun. Apabila pertempuran pecah lagi di Medan, kota itu dapat direbut oleh pasukannya dalam jangka waktu 24 jam. Radjab hanya bisa terheran-heran. Dia sendiri tak begitu yakin dengan ucapan Timur Pane. Menurutnya, sang jenderal mayor bicara berlebihan. “Seorang jenderal pada pendapat saya, tentulah lebih tepat jika ia berbicara dengan meriam, mortir, mitraliur, dan peluru, daripada dengan lidah,” demikian kata Radjab. Pembuktian yang Gagal Pada 27 Juli 1947, Wakil Presiden Mohammad Hatta berkunjung ke Pematang Siantar, Sumatera Timur. Semua pemimpin barisan bersenjata dikumpulkan baik dari kalangan tentara maupun laskar. Timur Pane datang dari Tapanuli menyambut kedatangan Hatta berikut dengan beberapa golongan laskar dan beratus pucuk senjata. Di lapangan terbuka, Hatta berpidato dan menganjurkan untuk memasuki kota Medan. Saat itu, Belanda baru saja melancarkan agresinya yang pertama. “Pada hari itu juga kuperintahkan kepadanya (Timur Pane) memasuki daerah Belanda sekitar Medan,” kata Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku Jilid 3: Menuju Gerbang Kemerdekaan. Timur Pane menyanggupi perintah Hatta. Dia berjanji untuk merebut kembali kota Medan dari tangan tentara Belanda. Segenap laskar rakyat disitu bersorak sorai. Semangat bertempur menggelora. “Mulai saat itu berkumandanglah semboyan: rebut kembali kota Medan dari tangan Belanda. Mari bersembahyang Hari Raya Idilfitri di Medan,” tulis Edisaputra dalam Bedjo: Harimau Sumatera dalam Perang Kemerdekaan . Namun keesokan harinya, Belanda melakukan pendaratan besar-besaran di Pantai Cermin, gerbang laut untuk memasuki kota Medan. Militer Belanda berkekuatan 500 orang prajurit yang diangkut oleh tujuh kapal. Pendaratan tentara Belanda mendapat hadangan tetapi bukan dari pasukan Timur Pane. “Dalam gerakan itu batalion KNIL 6 dan 4 mendapat perlawan kuat dari pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang mempertahankan setiap jembatan dan persimpangan,” tulis Pramoedya Ananta Toer dkk dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid 3 (1947). Meski terjadi pertempuran sengit, pertahanan kota Medan akhirnya jebol. Dalam waktu singkat, tentara Belanda mencapai jalan besar yang menghubungkan Medan dan Pematang Siantar. Sementara Timur Pane dan pasukannya menyingkir kembali ke markasnya di Prapat. Sesumbarnya untuk merebut kota Medan dalam 24 jam ternyata hanya gertak sambal saja.
- Prostitusi Masa Jawa Kuno
JIKA wanita mengiringkan seorang gadis dan mengantarkannya ke rumah seorang pemuda, atau jika ada wanita memberi tempat untuk pertemuan yang tidak senonoh antara seorang pemuda dan seorang gadis, karena mendapat upah dari pemuda dan gadis itu, kedua wanita baik yang mengantarkan gadis maupun yang menyediakan tempat itu dikenakan denda 4000 oleh raja yang berkuasa sebagai penghapus kesalahannya. Begitulah bunyi salah satu pasal dalam undang-undang Agama tentang Paradara atau perbuatan mesum. Ada 17 pasal dalam bab Paradara. Isinya secara umum mengatur hubungan laki-laki dan perempuan, terutama larangan mengganggu perempuan bersuami. Dengan peraturan yang begitu ketat, nyatanya keberadaan pekerja seks komersial tetap diakui oleh penguasa pada masa Jawa Kuno. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, menerangkan kata jalir berarti pekerja seks. Begitu pula kajaliran . Dua kata itu sering muncul dalam kitab susastra dan prasasti. Dalam karya sastra, kata jalir muncul dalam Kakawin Bharattayuddha , Kidung Sunda , Kitab Tantri Demung , dan Nitisastra . Selain jalir, ada kata lanji yang dalam istilah Jawa Kuna dan Jawa Tengahan konon digunakan terkait pelacuran. Lanji dijumpai dalam Kakawin Ramayana , Sarasamuccaya , Slokantara , dan Tantri Kadiri . “Secara harfiah ( lanji, red.) berarti berzina, PSK, tergila-gila pada perempuan atau lelaki,” kata Dwi ketika ditemui usai acara Pindah Tongkrongan bersama Komunitas Sahabat Museum (Batmus) di Museum Nasional, akhir pekan lalu. Keberadaan pelacuran juga disebut dalam berita Tiongkok. Kronik Dinasti Tang, Ch'iu-T'ang shu dan Hsin T'ang shu, menyebut di Kerajaan Kalingga (Holing) banyak "perempuan berbisa". Jika seseorang berhubungan kelamin dengannya, dia akan luka-luka bernanah dan mati, tetapi mayatnya tak membusuk. “Berita ini menggambarkan penyakit kelamin telah ada di Jawa pada abad ke-8 Masehi. Dalam istilah Jawa Baru, penyakit ini dinamai rojo singo, ” ujar Dwi. Pemungut pajak dari muncikari Sementara itu, istilah juru jalir disebut dalam beberapa prasasti dari abad ke-9 M. Misalnya, Prasasti Garaman yang dikeluarkan oleh Mapanji Garasakan dari Kerajaan Janggala pada 975 Saka (1053 M) dan pada sisi belakang Prasasti Waharu I tahun 795 Saka (873 M). Banyak yang mengartikan juru jalir sebagai muncikari. Dwi punya pendapat lain. Menurutnya juru jalir adalah orang yang bertugas memungut pajak dari para muncikari sekaligus mengatur dan mengawasi pelacuran. “Muncikari mestinya ada istilahnya sendiri. Penarikan pajak itu terhadap muncikari bukan kepada pekerja seks-nya,” kata Dwi. Juru jalir merupakan petugas resmi pemerintah. Menurut arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Perdaban Jawa , berdasarkan data prasasti, juru jalir masuk dalam kelompok petugas kerajaan yang disebut mangila drawya haji artinya memungut milik raja. Sebagian dari mereka berkedudukan sebagai abdi dalem keraton. Hidupnya pun tergantung dari gaji yang diambil melalui bendahara kerajaan. “ Mangilala Drawya Haji adalah sekelompok pejabat rendahan yang sering dianggap sebagai pejabat-pejabat pemungut pajak,” tulis Supratikno. Kelompok itu muncul pada abad ke-9 M hingga awal abad ke-14 M sezaman dengan periode Mataram Kuno hingga awal Majapahit. Ketika kelompok ini disebut pertama kali dalam prasasti masa Mataram Kuno, jumlahnya tidak sampai sepuluh. Jumlahnya bertambah dan mencapai jumlahnya tertinggi lebih dari 100 orang pada periode Tamwlang-Kahuripan. Sesudah periode ini jumlahnya menyusut dan mencapai titik terendah pada masa Majapahit. “Besar kemungkinan semenjak masa Hindu-Buddha pelacuran telah menjadi profesi lewat jasa layanan seks komersial. Bisa dipahami bila prasasti menyebut kata gabung juru jalir . Secara harfiah, istilah juru menunjuk pada kepala, pimpinan, ketua,” kata Dwi. Yang jelas, jika petugas itu disebutkan dalam prasasti, maka muncikari pun pasti telah ada pada masa Jawa Kuno. Begitu pula para pekerja seks. “Sehingga dapat dikatakan dengan adanya jabatan itu, merupakan pengesahan dari penguasa akan adanya pelacuran,” kata Titi Surti Nastiti, arkeolog senior Puslit Arkenas. Namun, menurut Titi dalam Perempuan Jawa, pekerjaan ini tak secara tersurat dijelaskan apakah dilakukan hanya oleh perempuan. Walaupun beberapa karya sastra menggambarkan profesi ini dikerjakan oleh perempuan. Dwi menyebutkan dalam Tantri Demung misalnya, kata putry atau putri yang berarti anak perempuan muncul mendahului kata si jalir. Begitupun dalam Kakawin Nitisastra yang menempatkan kata perempuan ( wadhu ) sebelum kata kajaliran.*
- Mengenal Empat Perempuan Pertama di Dewan Kota
KEHADIRAN perempuan Indonesia di legislatif merupakan hasil dari perjuangan panjang untuk mendapatkan hak pilih yang fondasinya dimulai dari jajaran Dewan Kota. Usaha tersebut bermula ketika Cornelia Hendrika Razoux Schultz-Metzer ditunjuk sebagai anggota Dewan Rakyat pada 1935. Perempuan Indonesia keberatan atas penunjukan itu lantaran tak ada wakil perempuan pribumi di Dewan Rakyat. Mereka lantas memprotes pemerintah Hindia Belanda agar memberikan hak pilih pada perempuan Indonesia. Kendati pemerintah mengabaikan protes itu, Cornelia mau mendengarkannya. Pada 1937, dia ikut mengajukan mosi mendesak pemerintah kolonial memberikan hak pilih perempuan dari semua kelompok masyarakat. Usul Cornelia, tulis Susan Blackburn dalam Women and the State in Modern Indonesia, juga diabaikan Dewan Rakyat. Desakan pada pemerintah Belanda terus dilancarkan. Banyaknya protes membuat pemerintah akhirnya mengabulkan keinginan mereka. Pemerintah menjamin hak pilih pasif perempuan dari semua ras untuk mengikuti pemilihan Dewan Kota (Gemeente Raad). Tapi para perempuan tidak punya hak untuk memilih dan hanya bisa dipilih. “Kemenangan itu 100% tergantung dari kemauannya kaum laki-laki karena kita, kaum perempuan, tidak berhak memilih anggota-anggota dewan gemeente,” tulis Maria Ullfah dalam artikelnya di Majalah Isteri Indonesia tahun 1941, “Soal Hak Pilih”. Pemberian hak pilih pasif di tingkat Dewan Kota itu menjadi setitik cahaya bagi gerakan perempuan. Menanggapi pemberian hak pilih pasif Dewan Kota pada Februari 1938, para perempuan kembali berkumpul. Kongres Perempuan Indonesia (KPI) III di Bandung, Juli 1938, membahas tentang kemungkinan diraihnya hak pilih aktif bagi perempuan dan strategi mengajukan wakil perempuan di Dewan Kota dalam pemilihan berikutnya. Hasilnya, empat perempuan Indonesia terpilih di Dewan Kota pada 1939. Siapa saja mereka? Emma Poeradiredja Emma malang-melintang dalam dunia pergerakan bersama beragam organisasi. Sejak mahasiswa dia aktif di Jong Java dan mengusulkan agar perempuan menduduki jabatan di organisasi tersebut karena melulu didominasi laki-laki. Sembari aktif di Jong Java, Emma rutin menulis di Majalah Tri Koro Darmo . Selepas dari Jong Java, Emma bergabung dengan Jong Islaminten Bond (JIB) pada 1925. Kariernya melesat. Tak lama setelah masuk JIB, Emma dipercaya menjabat sebagai wakil JIB mendampingi Ir Moh. Nur. Pada akhir 1925, Emma naik menjadi ketua JIB, organisasi yang diwakilinya di Kongres Pemuda Indonesia. Tergerak dengan semangat Kongres Pemuda Indonesia I tahun 1927, Emma mendirikan Dameskring dengan tujuan memupuk semangat kepemimpinan perempuan. Anggotanya terdiri dari sembilan perempuan muda di Jawa Barat dengan rentang usia 17-23 tahun. Emma, tulis Susan, merupakan tokoh penting dalam gerakan perempuan dan nasionalis di Jawa Barat. Pada peristiwa Sumpah Pemuda, Oktober 1928, Emma menjadi satu dari sedikit perempuan yang hadir. Pada April 1930, dia kembali mendirikan organisasi perempuan bernama Pasundan Istri (Pasi). Di Kongres Perempuan Indoensia III di Bandung, Emma menjabat sebagai ketua kongres. Hasil kongres pimpinan Emma inilah yang menyepakati gerakan mulai mengawal isu hak pilih perempuan pribumi dalam tubuh parlemen Hindia. Keaktifan Emma memuluskan jalannya menduduki kursi anggota Dewan Kota Bandung pada 1939. Siti Sukaptinah Siti Sukaptinah atau Nyonya Sunario Mangunpuspito dikenal sebagai tokoh elite dalam gerakan perempuan. Sukaptinah aktif di Kongres Perempuan Indonesia (KPI) sejak pertama diselenggarakan, 1928. Ketika beberapa organisasi perempuan dilebur menjadi Isteri Indonesia, Sukaptinah dipercaya menjadi ketua selama dua periode. Semasa kepemimpinannya, lewat Kongres Isteri Indonesia di Semarang, Isteri Indonesia memutuskan untuk memperingati KPI Pertama sebagai hari ibu. Di masa kepemimpinan Sukaptinah pula Isteri Indonesia getol mengawal isu hak pilih perempuan pribumi. Kedua usulan itu lantas dibawa ke KPI III di Bandung, yang dipimpin Emma Poeradiredja, dan diterima. Selain di gerakan perempuan, Sukaptinah juga aktif dalam gerakan nasionalis. Sejak sekolah di MULO Ngupasan, Yogyakarta, dia ikut Jong Java –tempat dia bertemu Sunario Mangunpuspito yang kemudian jadi suaminya. Sukaptinah juga ikut JIB cabang Yogyakarta dan menjadi ketua JIBDA. Ketika pindah ke Semarang, Sukaptinah bergabung dengan Parindra sekaligus menjadi ketua Isteri Indonesia. Ketika hak pilih perempuan pribumi akhirnya diberikan, Sukaptinah masuk ke Dewan Kota Semarang melalui Parindra. Siti Sundari Sudirman Sundari merupakan tokoh lama dalam gerakan perempuan. Di Kongres Perempuan Indonesia pertama (22 Desember 1928), Sundari yang hadir mewakili Putri Budi Sejati menjadi salah satu pembicaranya. Pidatonya membahas tentang nasib perempuan dalam perkawinan. Sundari mendorong perempuan untuk belajar, meningkatkan kepandaian diri, dan berani menyampaikan pendapat. “Kita kaum perempuan haruslah memperpandai diri kita agar bisa dengan sungguh-sungguh mencukupi kebutuhan umum sesuai dengan tuntutan kehidupan zaman,” kata Sundari dalam pidatonya seperti dikutip Susan Blackburn dalam Kongres Perempuan Pertama. Putri Budi Sejati, organisasi asal Surabaya pimpinan Sundari atau dikenal dengan Nyonya Sudirman (bukan Siti Sundari adik dr. Soetomo), bergerak di bidang pemajuan dan pendidikan perempuan. Dalam Konferensi Putri Budi Sejati tahun 1937, Sundari mengatakan bahwa organisasinya tidak ikut dalam soal politik namun memberi kelonggaran pada anggotanya bila ingin bergerak di jalur politik. Sundari menikah dengan R. Soedirman, wakil pengurus besar Parindra di Surabaya. Lewat Parindra pula Sundari masuk Dewan Kota Suarabaya pada 1939. Sri Oemiati Sri Oemiati atau biasa disapa Yat, adalah adik dr. Soetomo, pendiri Budi Utomo. Perempuan kelahiran 1903 ini menempuh pendidikan dasar di Koningin Wilhelmina School, Yogyakarta. Dia lantas melanjutkan pendidikannya ke Lyceum di Batavia. Setamat sekolah, Oemiati menjadi guru sambil aktif dalam gerakan perempuan. Menurut Yat, gerakan perempuan dan guru berada di jalur yang sama, keduanya ingin mendidik dan memajukan kaum perempuan. Keseriusannya dalam bidang pendidikan membuat Yat memperoleh beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di Belanda pada 1927. Di Belanda, Yat kuliah selama dua tahun di Den Haag untuk mengambil ijazah guru kepala sekolah ( hoofdacte ). Bersamaan dengan itu, adik Yat, Siti Sundari, berangkat ke Leiden untuk belajar hukum dan kemudian berteman dekat dengan Maria Ullfah. Sepulang dari Belanda, Yat aktif dalam gerakan perempuan, terutama dalam Kongres Perempuan Indonesia. Ketika usaha perempuan untuk mendapatkan hak pilih di tingkat kota dikabulkan pemerintah, Yat diangkat untuk mengisi kursi Parindra yang kosong di Cirebon pada 1941, dua tahun setelah pemilihan anggota Dewan Kota.
- Prostitusi di Perkebunan Deli
BAGAIMANA caranya seorang perempuan Jawa di Deli bisa membeli sarung? Mereka harus susah payah mengumpulkan uang sen demi sen. Lima sen adalah harga sekali kencan melayani kuli seorang pria Tionghoa. Maka untuk bisa memperoleh sehelai sarung yang harganya 100 sen, mereka harus mampu melakukan persetubuhan dengan kuli pria Tionghoa sebanyak dua puluh kali. Demikianlah kisah perjuangan buruh perempuan yang berprofesi sebagai pelacur di perkebunan Deli, Sumatera Timur. Kondisi miris itu digambarkan ahli hukum Belanda Mr. J. van den Brand dalam buku ringkasnya bertajuk Milioenen uit Deli (Berjuta-juta dari Deli). Brand yang seorang pengacara di kota Medan dan pemimpin redaksi De Sumatera Post menerbitkan brosurnya pada 1902. Dalam brosurnya, Brand menyingkap penderitaan yang dialami para kuli terlebih kuli perempuan yang terpaksa menjadi sundal demi bertahan hidup. “Jangan heran bahwa wanita sebagai itu (pelacur) untuk memiliki sehelai sarung sebagai penutup badannya, harus menjual diri,” kata Brand. Tulisannya membuat publik di Deli geger. Para pejabat kolonial di Hindia hingga negeri Belanda tersentak. Namun setelah itu, praktik prostitusi di perkebunan Deli masih saja tetap jalan. Homoseksual Marajelala Homoseksual merupakan gejala yang terjadi di kalangan buruh perkebunan pada tahun-tahun pertama lahan di Deli dibuka. Menurut sejarawan Jan Breman, buruh Tionghoa merupakan pelopor kebiasaan praktik seksual menyimpang seperti ini. Selain tak begitu menghiraukan perempuan, mereka bahkan cenderung menjadi pedofil. Anak-anak di bawah umur dari kalangan buruh Jawa kerap menjadi objek seksual buruh Tionghoa. “Anak-anak itu mereka namakan anak jawi, dan para pengawas punya hak pertama atas diri mereka,” tulis Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20 . Praktik tersebut tidak jarang menyebabkan terjadinya pembunuhan di antara sesama kuli Tionghoa. Perkaranya biasanya menyangkut persaingan cinta. Untuk memenuhi hasrat seksual mereka, lantas dilazimkanlah keberadaan pelacur lelaki. Di dalam barak, pelacur lelaki memiliki tempat tidur sendiri, lengkap dengan gorden yang dihias dengan aksesorisnya. Praktik homoseksual ini terjadi secara terang-terangan dan di depan kuli-kuli lain. Praktik homoseksual ini juga disaksikan oleh kuli-kuli lain yang tinggal di barak. Aktivitas seksual yang buka-bukaan ini sebagaimana disebut Wahyu Putra Kelana, karena di dalam barak tidak ada pembatas ataupun kamar-kamar sebagai tempat tidur. “Kepuasan yang dirasakan oleh salah seorang kuli pada saat berhubungan seksual, meski terhadap sesama jenis menjadi penarik perhatian kuli-kuli lain. Hal inilah yang menyebabkan praktik homoseksual meluas di kalangan kuli Cina,” tulis Wahyu Putra Kelana dalam skripsinya di Universitas Sumatera Utara, “Pelacuran pada Wilayah Perkebunan Deli 1870-1930”. Pada awalnya, pihak perkebunan tidak mengetahui hal ini. Praktik homoseksual baru terendus ketika ada kuli yang terserang penyakit. Setelah diperiksa, kemudian diketahui bahwa penyakit tersebut berasal dari bakteri yang berasal dari kelamin pria. Homoseksual berangsur-angsur berkurang setelah kuli perempuan mengisi hari-hari di perkebunan. Pemikat Kuli Lelaki Jika buruh Tionghoa bisa melampiaskan hasrat seksual lewat hubungan sesama jenis, buruh Jawa tidak seperti itu. Tanpa perempuan, mereka susah bertahan hidup. Karena itulah sejak 1873 ratusan perempuan dari Jawa didatangkan ke Deli setiap tahunnya. “Laki-laki Jawa tidak begitu pilih-pilih dalam soal perempuan. Tidak begitu memperhatikan kehidupan masa lalu atau kecantikan lahiriah bahkan usianya,” tulis Breman mengutip keterangan residen Sumatera Timur P.J. Kooreman pada 1903. Sebelum dipekerjakan, pihak perkebunan menetapkan kriteria untuk kuli perempuan: muda, (sebisa mungkin) cantik, dan berfisik baik. Mereka dipersiapkan sebagai pengambil hama ulat tembakau, pencuci, dan penjemur daun tembakau. Selain pekerjaan ringan tadi, mereka memang dipersiapkan untuk menjadi pelacur guna memikat kuli laki-laki memperpanjang ikatan kontraknya di perkebunan. Kegiatan prostitusi biasanya marak saat hari gajian. Pada malam hari, kuli-kuli perempuan akan berdandan dengan cantik untuk menjadi penari ronggeng di pasar malam. Bisnis esek-esek ini dijalankan oleh germo. Mereka yang menjadi germo adalah para mandor besar dari suku Jawa yang berperan juga sebagai pemimpin kelompok penari ronggeng. Ketika perempuan meliukkan tarian ronggeng, kuli lelaki akan ikut menari dan menyodorkan saweran duit. Maka dari sinilah tanda transaksi pelacuran dimulai. Penari kemudian menarik kuli laki-laki yang menyawernya dengan selendang. Keduanya lantas menjauh dari keramaian mencari tempat memadu hasrat. Mereka biasanya menuju barak atau ke tempat sepi sekitar perkebunan. Bayaran sekali melacur seperti ini, menurut Liesbeth Hesselink dalam Prostitution and Gambling in Deli , sebesar setengah gulden. Hidup di perkebunan Deli memang teramat keras, khususnya bagi buruh perempuan Jawa. Untuk bertahan hidup, pilihan kerja sampingan menjadi pelacur terpaksa dilakoni. Meski demikian, tak semua dari mereka sudi menggadaikan harga diri dengan perbuatan asusila itu. “Beberapa di antaranya melarikan diri, bunuh diri atau menjadi gila karena merasa dipermalukan,” tulis arsiparis Iyos Rosidah dalam tesisnya di Universitas Diponegoro berjudul “Eksploitasi Pekerja Perempuan di Perkebunan Deli Sumatera Timur 1870-1930”. Kumpul Kebo Tak hanya prostitusi, kehidupan bergonta-ganti pasangan mewarnai kehidupan di barak-barak kuli. Perempuan Jawa yang tak bersuami di perkebunan mudah menemukan lelaki yang mau hidup bersamanya tanpa nikah. Percumbuan dapat diikat dan diputuskan seketika. Pasangan yang hidup bersama sedapat mungkin memisahkan diri dengan menyekat petak barak mereka dengan karung tua. Kehidupan di balik barak kuli memperlihatkan degradasi moral. Kesetiaan merupakan barang langka. “Di antara pasangan-pasangan itu tak dikenal apa yang dinamakan kesetiaan perkawinan. Persaingan sangatlah ketat, dan karena jumlahnya kecil, maka perempuan di perkebunan itu pun berpindah dari tangan ke tangan,” tulis Breman. Keberadaan kuli perempuan sekilas dapat menanggulangi masalah sosial dan medis akibat homoseksual. Namun liarnya perilaku seksual di kalangan mereka menyebabkan maraknya penyebaran penyakit kelamin. Laki-laki, terutama dari kalangan Tionghoa, banyak yang terkena sifilis. Menurut H.H. van Kol, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis, dalam risalahnya Uit Onze Kolonien ( Dari Koloni Kita ) yang terbit pada 1903, merajalelanya pelacuran mengakibatkan timbulnya penyakit sifilis yang berjangkit. Sementara perempuan mesti menanggung beban dengan lahirnya anak-anak hasil prostitusi atau hubungan gelap. Tak sanggup membesarkan, mereka terpaksa menjual bayinya. Inilah cikal bakal perdagangan anak di Deli. “Dan dalam keadaan sedemikian setiap ibu dari anak-anak haram zadahnya bersedia saja menjual anak tersebut kepada siapa yang bersedia membeli dengan harga teratas,” kata Kol sebagaima dikutip Mohammad Said dalam Koeli Kontrak Tempo Doeloe: Dengan Derita dan Kemarahannya . Orang-orang Tioghoa kayalah yang biasanya menjadi orang tua adopsi "anak-anak kebon" yang dijual ibunya ini. Prostistusi di perkebunan mulai surut dan berakhir seiring dengan banyaknya perusahaan perkebunan yang bangkrut akibat resesi ekonomi global memasuki tahun 1930.*
- Di Balik Pernikahan Pasangan Emas Olimpiade
SEKIRA 4000 orang undangan hadir di ballroom Hotel Gran Melia Kuningan, Jakarta, 9 Februari 1997. Selain para stakeholder bulutangkis, hadir pula stakeholder - stakeholder olahraga lain. Sebut saja Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Jenderal (Purn) Wismoyo Arismunandar, Ketum PBSI Letjen (Purn) Soerjadi, Wakil Presiden keenam Try Sutrisno yang sebelumnya menjabat ketum PBSI selama dua periode. Pengusaha sekaligus pemilik Klub Jaya Raya Ir. Ciputra tak ketinggalan. Jaya Raya merupakan klub yang menaungi Susi Susanti. Ciputra dan para hadirin hari itu datang untuk menghadiri pernikahan pasangan peraih dua emas pertama olimpiade, Alan Budikusuma dan Susi Susanti. Resepsi megah dan unik juga digelar seminggu setelah keduanya menikah lewat upacara sakramen di Gereja Santo Yakobus, Jakarta Utara. Resepsinya dibuka dengan aksi pesenam Zainul Abidin yang melompati lingkaran bendera Olimpiade, lantas disambung prosesi Alan dan Susi mencium bendera merah putih. Resepsi mewah dengan tema “Grand Athena Wedding” itu jadi satu dari sekian momen terbaik dalam hidup Alan-Susi. Alexander Alan Budikusuma (Goei Ren-fang) dan Lucia Francisca Susi Susanti (Wang Lian-xiang) menikmatinya lantaran lima tahun sebelumnya jadi dua orang pertama yang membuat sang saka merah putih berkibar di olimpiade, di Barcelona 1992. Dua Perantauan di Pelatnas Di balik pernikahan Alan-Susi itu, banyak titian berliku yang mereka lalui bersama. Jalan berliku itu terus mereka temui dari sejak saling mengenal hingga saat mengurus pernikahan. Sejak masuk Pelatnas Senayan di akhir 1980-an, keduanya bisa dekat lantaran sama-sama perantau yang meretas karier bulutangkis di ibukota. Alan asal Surabaya, Susi datang dari Tasikmalaya. Berawal dari seringnya Alan meminjam buku dari Susi di asrama, keduanya menjalin asmara. Witing tresno jalaran soko kulino , kata orang Jawa. Benih-benih cinta itu datang karena seringnya mereka ngobrol tentang bulutangkis dan keluarga masing-masing. “Kami sudah mulai cukup dekat dan intens sejak 1989. Dikarenakan saya dan Susi jauh dari orangtua. Sama-sama perantauan. Tiap hari bertemu di Pelatnas dan itu membuat hubungan kami dekat. Kan tidak seperti sekarang. Gampang telefon keluarga, WA (pesan singkat WhatsApp) atau video call. Dulu telefon itu mahal,” kata Alan kepada Historia. Alan Budikusuma berkisah tentang masa-masa pacaran hingga pernikahan dengan Susi Susanti (Randy Wirayudha/Historia). Alih-alih mengganggu fokus latihan keduanya, asmara Alan-Susi justru sama-sama makin termotivasi. “Tujuan hubungan kami bukan semata-mata pacaran, tapi juga saling support . Orangtua saya dan Susi juga selalu mengingatkan. ‘Ingat lho , kamu bisa latihan di PB Djarum dan kemudian Pelatnas, sudah dikasih kesempatan bisa sampai terpilih menjadi salah satu tim nasional’. Jadi, pacaran sih oke, untuk mendukung yang positif, itu yang selalu diingatkan,” lanjutnya. Alan mengakui, kadang terbersit sedikit rasa iri lantaran tak bisa pacaran dengan Susi laiknya muda-mudi seusianya. Saat yang lain bisa memadu kasih ke berbagai tempat dengan berbagai akvititas romantis, Alan dan Susi tetap disibukkan oleh rutinitas tepok bulu. “Hampir setiap hari ya di asrama. Ketemu di lapangan setiap latihan, di jam makan siang dan malam. Hanya bisa komunikasi saja di waktu-waktu itu. Tak seperti pacaran orang lain, malam mingguan, nonton. Kalau senggang paling ramai-ramai juga pergi ke luar Pelatnas naik bus sama yang lain. Ya seperti itulah keadaannya,” sambung Alan. Kesibukan latihan lebih meningkat saat keduanya sama-sama dalam persiapan Olimpiade Barcelona 1992, saat bulutangkis untuk kali pertama jadi cabang resmi. Susi bersama Sarwendah Kusumawardhani terpilih dua andalan tunggal putri Indonesia. Sementara, Alan bersama Ardy B Wiranata dan Hermawan Susanto (kini suami Sarwendah) jadi andalan di nomor tunggal putra. Baik Susi maupun Alan mesti konsentrasi dengan program-program latihan yang porsinya lebih dari biasanya. “Hampir selalu kita enggak bisa bangun dari lapangan sehabis latihan berat itu. Tapi memang saya dan Susi berkomitmen dan saling kasih motivasi bahwa kita harus fokus dulu. Hampir tak ada waktu senggang karena kita butuh lebih banyak waktu untuk recovery . Kita kesampingkan hal-hal pribadi dan lebih fokus untuk olimpiade,” kenang Alan. Perkara SBKRI Kerja keras dan pengorbanan Alan dan Susi tak sia-sia. Pada Februari 1997, keduanya memutuskan melepas masa lajang. Namun, masalah kembali menghadang. Kendati pasangan emas olimpiade itu besar jasanya buat Indonesia, Alan dan Susi kesulitan mengurus pernikahan lantaran tersandung kebijakan diskriminatif bernama Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). “Yang pasti adalah, seluruh pengurusan, baik pembuatan dan perpanjangan paspor, pernikahan, selalu diminta SBKRI karena itu yang paling pokok. Kalau enggak punya itu, apapun pengurusan tidak bisa keluar,” kata Alan. Kendati SBKRI sudah dianulir Presiden Soeharto lewat Keppres Nomor 56 tahun 1996 tentang Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia, praktik persyaratan SBKRI masih eksis sampai awal Orde Reformasi. Tapi setelah Susi banyak protes lewat beragam media, pengurusan dokumen pernikahannya bisa dirampungkan dengan segera. “Iya setelah Susi bicara di media-media jadinya lebih mudah. Tapi tetap saja terus terang saya kecewa. Kenapa kami harus dipertanyakan. Padahal saya juga sudah berbuat banyak. Saya juga lahir di Indonesia. Orangtua saya lahir di Indonesia. Kelak, kita pun ingin meninggal di Indonesia. Makanya saya selalu mempertanyakan SBKRI kenapa harus ada? Kenapa saya dipertanyakan tidak nasionalis. Padahal saya nasionalis, saya orang Indonesia walaupun saya etnis Tionghoa,” kata Alan sambil berkaca-kaca matanya. Beruntung, masa sulit itu segera berganti dengan kebahagiaan pernikahan. Pernikahan Alan-Susi, tulis Majalah Bulutangkis edisi Maret 1997, ongkosnya mencapai Rp1 miliar. Gaun pengantin Susi dirancang mewah, plus mahkota berlian berbobot 15 kilogram. “Kami dibantu banyak teman-teman. Gaunnya Susi dibikin Pak Kim Thong. Jas saya dari Richard Costume and Design. Panggung, dekorasi, semua mereka bantu kami. Jadi sebenarnya biaya untuk pernikahan dari kami sendiri ya minim. Karena mereka melihat suatu kebanggaan karena kita kan couple, juara olimpiade pertama dan mereka ingin bantu. Saya sangat berterimakasih pada mereka semua,” tandasnya.
- Kerajaan Tertua di Jawa Timur
Ada seorang raja bijaksana dan berkuasa, namanya Dewasimha. Di bawah lindungannya api putikeswara yang menyebarkan sinar di sekelilingnya. Juga Limwa, putranya, yang bernama Gajayana, melindungi manusia bagaikan anaknya, ketika ayahnya marak ke langit. Limwa melahirkan anak perempuan, namanya Uttejana. Dia adalah permaisuri raja Pradaputra. Dia juga ibu A-nana yang bijaksana, cucu Gajayana, orang yang selalu berbuat baik terhadap kaum brahma, dan pemuja Agastya, tuan yang dilahirkan dari tempayan. Demikianlah sebagian informasi dalam Prasasti Dinoyo yang beratrikh 682 Saka (760 M). Prasasti ini ditemukan terbelah menjadi tiga bagian. Bagian tengah yang terbesar ditemukan di Desa Dinoyo, Malang. Sedangkan bagian atas dan bawah ditemukan di Desa Merjosari dan Dusun Kejuron, Desa Karangbesuki, Malang. “Sejauh telah ditemukan, Prasasti Dinoyo adalah prasasti tertua di wilayah Jawa Timur,” ujar Dwi Cahyono, dosen sejarah di Universitas Negeri Malang. Dari prasasti itu dapat diketahui kalau di wilayah Malang sekarang pernah berdiri Kerajaan Kanjuruhan. Secara khusus, prasasti ini memberitakan kalau Gajayana melihat arca Agastya yang dibuat nenek moyangnya telah lapuk karena terbuat dari kayu cendana. Gajayana menggantinya dengan batu hitam yang lebih elok. “Sampai sekarang belum banyak yang tahu kalau di Jawa Timur ada kerajaan tua, tahunya sudah masa Sindok, Airlangga, lalu Singhasari, dan Majapahit,” lanjut Dwi. Melihat angka tahunnya berarti Kerajaan Kanjuruhan berkembang semasa dengan Kerajaan Tarumanegara di Jawa bagian barat, Kalingga dan Mataram Kuno di Jawa bagian tengah. Dengan begitu, Kanjuruhan menjadi kerajaan pertama yang memulai era kemonarkian di Jawa Timur sekarang. Menurut Dwi, sistem pemerintahan kerajaan di Kanjuruhan mungkin dimulai dari pemerintahan Raja Dewa Simha, ayah Gajayana. Pasalnya dialah yang disebut paling awal di antara tiga deret penguasa dalam prasasti. “Dialah penguasa pertama di Jawa Timur yang menjadi pemangku budaya Hindu sekaligus pemimpin kerajaan yang bercorak India,” kata Dwi. Prasasti Dinoyo. Dalam Kaladesa, arkeolog Agus Aris Munandar menyebut berhubung sumber tentang Kerajaan Kanjuruhan sangat terbatas, hanya Prasasti Dinoyo, kajian tentangnya pun belum ada mendalam. Nama Kanjuruhan sendiri disinyalir kemudian berubah menjadi Dusun Kejuron, tak jauh dari Dinoyo, di tepi Kali Metro. Di dusun itu sampai sekarang berdiri candi Hindu. Candi itu, menurut Agus, memiliki ciri arsitektur abad ke-8 M. Relung-relungnya sudah tak berarca yang mungkin dulunya berisi arca Nandiswara dan Mahakala (di kanan-kiri pintu), Durga Mahisasuramardini (relung di dinding utara sekarang masih ada), Ganesa (relung belakang), dan Rsi Agastya (relung selatan). Di dalam bilik candi masih terdapat lingga-yoni. “Dengan ciri arsitektur tuanya dapat dinyatakan bahwa Candi Badut, berkaitan dengan Prasasti Dinoyo yang ditemukan di kawasan yang tidak terlalu jauh dari candi itu,” jelas Agus. Selain Candi Badut, ada pula reruntuhan bangunan kuno. Penduduk setempat menyebutnya Candi Besuki dan Candi Urung. Namun, Candi Besuki hanya tinggal pecahan bata besar yang berserakan di tepi lahan garapan penduduk. Tak lama bertahan Sulit mengetahui perkembangan Kerajaan Kanjuruhan karena hanya berdasarkan satu prasasti. Namun, Agus menduga sangat mungkin Kanjuruhan bertahan selama satu abad kemudian. Rajanya tak lagi mengeluarkan prasasti karena wilayahnya sudah menjadi bagian dari Mataram Kuno yang berpusat di Jawa Tengah sekarang. Kanjuruhan pun diperintah oleh penguasa daerah yang mungkin dianggap sebagai raja bawahan bergelar rakryan kanuruhan . Gelar ini pertama kali muncul dalam Prasasti Raja Watukura Dyah Balitung (898-910 M). Kedudukannya menjadi amat penting pada zaman Dharmmawangsa Airlangga dan masa Kadiri (Abad ke-12 M). Jabatan itu mulai nampak dalam hierarki pemerintahan pusat sejak masa Mpu Sindok. Pada masa pemerintahan Raja Dharmawangsa Airlangga, ia merupakan pejabat terpenting sesudah para putra raja. Keadaan itu terus berlangsung sepanjang masa Kadiri. Ia pun yang utama di antara para tanda rakryan ring pakirakiran . Sementara pada masa Majapahit, ia tetap anggota kelompok yang sama tapi bukan yang terpenting. Pada masa ini yang terpenting adalah rakryan mapatih . Sebutan kanuruhan tak lagi muncul pada abad ke-15. Kata kanuruhan muncul dalam beberapa candi perwara di Kompleks Candi Prambanan. Kompleks percandian ini selesai dibangun pada abad ke-9 M. “Hal itu dapat ditafsirkan bahwa sekira 856 M, wilayah Kanjuruhan telah berpartisipasi dalam pembangunan tempat suci terbesar bagi umat Hindu Siwa itu,” jelas Agus. Pejabat bergelar rakryan kanuruhan hingga kini hanya dijumpai dalam prasasti-prasasti yang ditemukan di Jawa Timur. Misalnya, Prasasti Balinawan (891 M), Prasasti Kubu-kubu (905 M), Prasasti Sugih Manek (915 M), dan Prasasti Sanguran (928 M). Menurut Agus masa surut Kanjuruhan mungkin bersamaan dengan berkembangnya Mataram Kuno. Kanjuruhan kemungkinan ditaklukkan Rakai Watukura Dyah Balitung. Pasalnya dari masa raja ini muncul Prasasti Kubu-kubu (827 Saka/905 M) yang menyebut pada masa pemerintahannya terjadi penyerangan ke Banten. Agus menafsirkan Banten sebagai daerah di Jawa Timur dan berkaitan dengan Kerajaan Kanjuruhan. Meski umurnya tak panjang, menurut Dwi, sudah cukup alasan untuk menyatakan Kanjuruhan adalah peletak dasar sekaligus pembentuk sistem sosial-budaya yang teratur di Malang Raya. Lebih jauh lagi, kerajaan dan watak Kanjuruhan merupakan modal bagi pembangunan pusat pemerintahan Kerajaan Singhasari hingga pusat negara vasal Majapahit. “Kehadiran Kerajaan Kanjuruhan menjadi pemicu bagi lahirnya areal perkotaan di lembah Metro dan Brantas, yang dalam lintas masa menjadi sentra pemerintahan dan peradaban,” kata Dwi.





















