top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Pendidikan, Fondasi Kemajuan Mangkunegaran

    DALAM rangka merayakan Hari Penyiaran Nasional 2019, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah melakukan napak tilas ke Solo, Jawa Tengah, 21 Juni 2019. “Dipilihnya Kota Solo sebagai tempat penyelenggaraan kegiatan Napak Tilas Penyiaran Pemilihan Indonesia tahun ini menjadi alasan pihak KPID Jawa Tengah sebagai upaya menelisik kembali tentang sejarah penyiaran nasional yang notabene lahir di Kota Solo yang diprakarsai oleh KGPAA Mangkunegara VII," tulis laman solotrust.com . Mangkunegara VII yang bernama lahir RM Soerjo Soeparto dikenal sebagai raja yang berpandangan ke jauh depan. Selain amat peduli pada rakyat, Mangkunegara VII peduli pada kebudayaan, kemajuan, dan pendidikan.  Pendidikan Siang itu, Rabu (17/3/19), Pendopo Ageng Mangkunegaran sepi. Tak ada kegiatan apapun di bangunan beratap limas itu. Dua set gamelan milik keraton, termasuk “Kyai Kanyut” yang legendaris, ditutupi kain hijau. Pendopo baru ramai bila musim liburan sekolah tiba atau keraton sedang punya hajat.    “Kalau musim liburan, dari berbagai kota itu banyak ke sini. Satu sekolah kadang-kadang 10 bus, 15 bus. Ya dari berbagai kota,” ujar Supriyanto dari Dinas Urusan Istana Mangkunegaran kepada  Historia. Pendopo Ageng merupakan saksi bisu kemajuan Mangkunegaran. Dua putra kerajaan, yang kelak menjadi Mangkunegara V dan Mangkunegara VI, menjalani pendidikan di pendopo itu sepulang dari Eropa untuk bersekolah kendati tidak sampai tamat. Pendidikan menjadi hal yang diprioritaskan Mangkunegaran sejak masa pemerintahan Mangkunegara VI. Sang raja mulanya kurang memperhatikan bidang tersebut. Namun, realitas bahwa banyak bangsawan masuk ke sekolah-sekolah pendidikan Barat setelah diterapkannya Politik Etis membuatnya insyaf bahwa banyak rakyatnya membutuhkan pendidikan modern. Maka pada dekade awal 1900-an, Mangkunegara VI membangun sekolah berbahasa pengantar bahasa Belanda untuk pendidikan dasar. Pada 1912, sekolah itu dijadikan Sekolah Nomor Satu (sekolah angka siji). Dua tahun kemudian sekolah itu diubah menjadi Holand Indlandsche School (HIS) dan diberi nama HIS Siswa atau populer dengan Mangkunegaran School. Para muridnya terutama merupakan anak pegawai praja dan prajurit Legiun Mangkunegaran. Pada 1912 itu pula Mangkunegara VI membentuk Studie fonds. Dana pendidikan ini diberikan sebagai beasiswa kepada para anak kerabat atau narapraja (pegawai) Mangkunegaran yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi tapi tidak mampu secara ekonomi. Mereka wajib mengganti biaya studi itu dengan cara mengangsur kelak ketika sudah bekerja. Guna mengakomodasi animo belajar para gadis, di tahun 1912 juga Mangkunegaran membangun Siswa Rini. Sekolah ongko loro yang bertempat di halaman istana itu merupakan sekolah putri berbahasa pengantar bahasa Jawa. Semasa kekuasaan Mangkunegara VII, sekolah ini ditingkatkan mutunya dengan menambahkan pelajaran bahasa Belanda. Mangkunegara VII kemudian menutup Siswa Rini pada 1923 dan menggantinya dengan Huishoud Cursus Siswa Rini, yang pada 1939 kembali berubah menjadi Sekolah Kerumahtanggaan. “Tujuan pendidikan ini adalah untuk memberikan pendidikan kepada anak perempuan agar dapat menjadi ibu dan pemegang rumah tangga yang baik,” tulis Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944 . Mangkunegara VII memang haus akan pendidikan sejak muda. Maka ketika naik takhta, pendidikan rakyatnya menjadi salah satu perhatian utamanya. Selain membuatkan gedung baru buat HIS Siswo, Mangkunegara VII juga mendirikan sekolah baru di Wonogiri. Dia juga memberi bantuan dana untuk mendirikan sekolah-sekolah swasta dan membiayai operasional tahunan. Namun, sekolah-sekolah itu masih terbatas untuk anak-anak kerabat dan pegawai keraton. Untuk memberi pendidikan bagi rakyat kebanyakan, Mangkunegara VII mendirikan Sekolah Desa. Jumlah Sekolah Desa Mangkunegaran terus berkembang, dari 19 sekolah pada 1918 menjadi 82 sekolah pada 1931. Jumlah itu kembali bertambah karena dari 1933 sampai 1935, pemerintah menyerahkan 22 pengelolaan Sekolah Desanya kepada Mangkunegaran. Seiring bertambahnya jumlah sekolah, jumlah murid pun terus meningkat. Pada 1918, jumlah murid di Sekolah Desa Mangkunegaran hanya 1000 orang lebih. Pada 1930, jumlah murid telah mencapai hampir 7000 siswa. Guna mendukung pembangunan pendidikan, Mangkunegara VII membangun perpustakaan baru, Sana Pustaka. Perpustakaan ini diperuntukkan untuk umum, berbeda dari Reksa Pustaka yang hanya untuk kalangan kerabat dan narapraja Mangkunegaran. Mangkunegara VII menunjuk ahli hukum cum sastrawan Mr. Noto Soeroto, rekannya semasa kuliah di Belanda, sebagai pengelola Sana Pustaka. Selain memiliki koleksi buku, Sana Pustaka memiliki koleksi koran dan majalah. Jumlah koleksi buku miliki perpustakaan pada 1936 mencapai 1727 buku berbahasa Belanda, 300 buku berbahasa Melayu, 300 buku berbahasa Sunda, 193 buku berbahasa Jawa, dan hampir 500 buku lain. “Betapapun hasilnya, usaha pembangunan pendidikan atas inisiatif seorang bangsawan bumiputra seperti Mangkunegaran merupakan suatu prestasi cemerlang pada zamannya. Hal ini merupakan hal unik, karena di daerah-daerah lain umumnya inisiatif pembangunan pendidikan berasal dari pemerintah Hindia Belanda. Adanya pendidikan yang lebih baik ini tentu akan berpengaruh terhadap perkembangan praja dan masyarakat Mangkunegaran dalam menanggapi perubahan zaman.”

  • Gerilyawan Republik Bernama Bun Seng

    Bukittinggi 1947. Sjoeib panik bukan kepalang. Hingga menjelang tengah malam, tiga kadet yang ditugaskannya untuk menyelusup ke kota Padang sejak pagi buta, belum juga kembali. Dia sudah menduga ketiganya tertangkap tentara Belanda dan gagal melaksanakan misi. “Saya sudah pasrah saja dan siap-siap melakukan rencana B, yakni memindahkan basis ke tempat lain,” kenang eks instruktur Sekolah Opsir Bukittinggi tersebut. Beruntunglah keesokan paginya, ketiga kadet itu muncul. Dalam laporannya, mereka menyatakan diburu tentara Belanda dan terdesak hingga diselamatkan seorang pemuda Tionghoa. Sang pemuda menyembunyikan mereka di atas para-para rumahnya. Ketika tentara Belanda datang, dia bersikeras tidak mengetahui keberadaan “tiga ekstrimis” buronan militer Belanda tersebut. Siapakah sebenarnya pemuda Tionghoa itu? Dia bernama Sho Bun Seng, gerilyawan TNI dari Kesatuan Singa Pasar Oesang. Bun Seng cukup populer di kalangan para Republiken. Selain mencari senjata, tugas lelaki kelahiran Kutaraja pada 1911 itu juga adalah menjalankan infiltrasi ke organisasi-organisasi masyarakat Tionghoa pro Belanda untuk kemudian melakukan “pembusukan” dari dalam. Sebagai mata-mata, peran Bun Seng memang mumpuni. Suatu hari dia bisa berlaku sebagai seorang pawang buaya, di lain kesempatan dia berperan sebagai guru sejarah. Bahkan dalam riwayat singkatnya yang dikisahkan Letnan Kolonel (Purn) Abdul Halim (eks pejuang di Sumatera Barat), Bun Seng pun pernah menjadi pemain sandiwara. “Zaman Jepang dia memang pernah menjadi penari di Dardanella, grup sandiwara terkemuka di Sumatera yang pernah melanglangbuana ke negara-negara Asia,” ujar Abdul Halim dalam Pengalaman Tak Terlupakan Pejuang Kemerdekaan Sumatera Barat-Riau. Sikap anti Belanda Bun Seng bermula dari pengalaman masa remajanya di Padang pada 1926. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan bagaimana polisi-polisi Hindia Belanda memperlakukan secara kejam orang-orang yang terlibat dalam pemberontakan kaum komunis di Silungkang. “Peristiwa itu ikut membakar dia punya rasa keindonesiannya,”ungkap Abdul Halim. Kala api revolusi berkecamuk di Sumatera Barat, Bun Seng memutuskan untuk bergabung dengan gerilyawan Republik pimpinan Letnan Kolonel Ismail Lengah. Karena bakat telik sandinya, Ismail Lengah lantas menugaskan Bun Seng untuk bergabung dengan Kesatuan Singa Pasar Oesang pimpinan Mayor Kemal Mustafa. Sang komandan kemudian memberikan tugas kepada pemuda Tionghoa itu untuk menginfiltrasi Pao An Tui (PAT), milisi Tionghoa yang pro Sekutu dan Belanda, di Padang. Tanpa banyak cakap, Bun Seng melakukan tugas itu. Guna menarik perhatian orang-orang Tionghoa di Padang, dia kemudian membentuk sebuah organisasi pemuda Tionghoa bernama Pemoeda Baroe. Lambat laun, kepemimpinannya dikenal banyak orang Tionghoa hinga kemudia dia didapuk sebagai ketua PAT Padang. Oleh Bun Seng, PAT Padang disetir ke arah Republik. Sebagai pemimpin pemuda Tionghoa, alih-alih akrab dengan Sekutu dan Belanda, dia malah memiliki hubungan khusus dengan para pejuang Republik di pelosok dan terlibat aktif dalam penyelundupan senjata-senjata dari kota untuk para gerilyawan Republik. “Salah satu langganan Bun Seng, selain Kesatuan Singa Pasar Oesang, adalah Batalyon Harimau Koerandji pimpinan Mayor Achmad Hoesein,” ujar Sjoeib Pada Januari 1947, PAT Padang dibubarkan karena dianggap rawan digunakan untuk kepentingan Belanda. Tak hilang akal, dia kemudian bergabung dengan organisasi sipil orang-orang Tionghoa yakni Cu Hua Cung Hui. Di organisasi ini dia diangkat sebagai koordinator keamanan. Jabatan itu menjadikan Bun Seng leluasa bergerak kemana-mana. Dengan alasan mengurusi persoalan orang-orang Tionghoa di Sumatera Barat, dia secara bebas bisa menemui simpul-simpul Republiknya. Tak jarang, Bun Seng pun mendapat tugas yang sangat pelik dan berbahaya dari para komandannya. Seperti pada suatu hari di tahun 1948, beberapa bulan sebelum militer Belanda melakukan agresi-nya yang kedua. Seperti dicatat dalam buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan RI di Minangkabau 1945-1950 (Jilid I) karya Tim Penulisan Sejarah Revolusi Sumatera Barat, Bukittinggi menjadi salah satu wilayah yang dititipi “emas hitam” alias candu.  Barang tersebut dipelihara oleh pihak pemerintah Republik Indonesia sebagai modal revolusi melawan Belanda. Letnan Kolonel Abdul Halim termasuk salah satu gerilyawan Republik yang ditugaskan oleh pemerintah untuk menyalurkan “emas hitam” itu. Dia kemudian meminta kepada Bun Seng agar barang-barang itu bisa ditukar dengan senjata. Bagaimana pun caranya. Seperti biasa, Bun Seng menerima tugas itu. Bekerjasama dengan sebuah kesatuan TNI dari Kompi Bakapak dan suatu seksi Hizbullah pimpinan Letnan Samik Ibrahim, dia menjual puluhan kilogram candu itu ke pasaran gelap dan sukses menukarkannya dengan senjata-senjata berbagai jenis. Selain senjata, uang hasil penjualan itu pun dibelikan berbagai keperluan logistik para gerilyawan Republik. Aktifitas berbahaya itu terus dijalani Bun Seng hingga Indonesia mencapai kedaulatannya di mata Belanda pada 27 Desember 1949. Ketika pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) berkobar di Jawa Barat, Letnan Muda Sho Bun Seng sempat ikut dikirimkan oleh kesatuannya untuk ikut menumpas pemberontakan tersebut. Usai tugas selesai, Bun Seng tidak ikut pulang bersama pasukannya ke Sumatera Barat. Dia memutuskan untuk mengelola sebuah toko kecil di Muara Angke, Jakarta Utara dan membentuk sebuah keluarga. Umur Bun Seng cukup panjang hingga tahun 2000, dia menghembuskan nafas terakhirnya dalam kondisi hidup yang sangat sederhana. “Malah bisa dikatakan kondisinya sangat memprihatinkan,” ujar Abdul Halim, kawannya saat berjuang di ranah Minang.

  • Angka Poligami dari Masa ke Masa

    POSTER Kelas Poligami Nasional yang akan –memberikan tips “Cara Cepat Dapat Istri Empat”– diselenggarakan pada Juli dan Agustus 2019, beredar di masyarakat. Forum Poligami Indonesia selaku penyelenggara memungut biaya 3,5 juta bagi tiap peserta lelaki dan setengah harga untuk peserta perempuan. Forum macam ini sebenarnya sudah menjadi sorotan Kementerian Agama sejak 2017. “Dalam Islam, poligami memang diperbolehkan tapi dengan syarat ketat. Bukan lantas mengajak-ajak apalagi dengan membayar biaya yang mahal berjuta-juta,” kata Kepala Biro Humas Data dan Informasi Kementerian Agama Mastuki pada Historia. Praktik poligini (populer disebut poligami) memang jadi bahasan yang penuh pro-kontra antara pendukung dan penentangnya. Namun, praktiknya masih berjalan meski angkanya turun dari tahun ke tahun. Data terakhir dari Kementerian Agama menampilkan penurunan angka poligami. Pada 2012, angkanya mencapai 995. Jumlah itu berturut-turut menyusut jadi 794 pada 2013, 691 (2014), 689 (2015), dan 643 (2016). Angka tersebut adalah angka poligini tercatat yang didaftarkan, sementara poligini yang tidak terdaftar masih banyak ditemui di lapangan. “Laki-laki menyukai istri yang lebih muda dan yang lebih penurut ketimbang perempuan aktivis, yang mereka pandang lebih sebagai kawan dalam seperjuangan,” tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Dalam sejarah, keputusan poligini sempat jadi penyebab perceraian terbesar pasca-kemerdekaan. Pada 1951, angka perceraian mencapai 60 persen dan meningkat jadi 62 persen pada 1952. Hampir separuh dari angka perceraian pada 1950-an terjadi di Jawa dan Madura. Di era kolonial, angka poligini mencapai ribuan lantaran belum adanya peraturan. Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Perempuan Indonesia menyebut, angka poligini di Jawa pada 1939 menjadi yang tertinggi di antara wilayah lain. Di Sumatera, total angka poligini mencapai 69.790, di Sulawesi mencapai 22.378, dan di Bali juga Lombok sebesar 14.061. Maluku menempati urutan terbawah, yakni 5.150 praktik poligini. Kebanyakan pelaku poligini datang dari kalangan aristokrat, pegawai sipil bumiputra, santri, dan pedagang besar (juragan). Istri-istri bangsawan yang jumlahnya teramat banyak itu biasanya ditempatkan di keputren. Kadang, saking banyaknya selir, si bangsawan (raja) bahkan sampai lupa siapa saja selirnya. Jamaknya praktik poligini ini sempat jadi bahasan dominan dalam gerakan perempuan era kolonial di samping upaya memperjuangkan pendidikan dan pergerakan nasional. Mayoritas pidato dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI) Pertama 1928 membahas tentang poligini. Untuk mewujudkan lingkungan rumah tangga yang adil dan aman untuk perempuan, para perempuan pejuang mengusulkan pencatatan pernikahan dan penyebutan taklik-talak (sebab-sebab kenapa istri bisa minta cerai). Konflik pun tak bisa dihindari. Beberapa sayap organisasi perempuan Islam menentang ide penolakan praktik poligini sementara organisasi perempuan lain terang-terangan mendukung penolakan itu. Dalam KPI II di Jakarta yang dikepalai Sri Wulandari (Sri Mangunsarkoro), kongres berlangsung ricuh. Duduk perkaranya, Sri Wulandari berhasil mengajak Suwarni Pringgodigdo, pemimpin Istri Sedar, untuk ikut KPI. Suwarni yang berhasil dibujuk akhirnya duduk sebagai wakil ketua kongres. Dalam kongres itu ada Ratna Sari, anggota Permi yang berpidato menerima praktik poligini. Sementara Istri Sedar fanatik menolaknya. Kongres pun ricuh. Dua kubu berdebat sengit. Wulandari mencoba menengahi tapi Suwarni kadung kukuh meninggalkan kongres. Secara pribadi, Wulandari menentang praktik poligini. Pendapatnya pernah dia sampaikan lewat tulisan di Majalah Poesara. Hasrat manusia, tulis Wulandari, ialah biang kerok poligami. Untuk memaparkan pendapatnya ini Wulandari mengutip buku Ahmadiyah De Leerstellingen in de Islam . Menurut Wulandari, Al-Quran hendak mengatur dari yang beristri tak terhingga dibatasi menjadi empat. Namun, pendukung poligami seringkali lupa bahwa anjuran poligami juga diikuti peringatan untuk berlaku adil pada semua istri. Bila tidak dapat berlaku adil, menikahlah dengan seorang saja meskipun ingin menikah dengan lebih dari satu. Syarat adil inilah yang sulit dipenuhi karena tidak semata adil secara fisik, tetapi juga psikis. “Jika agama sebagai tauladan ( richtsnoer ) manusia, mengizinkan atau melarang juga, sudah tentulah karena dengan cara itu agama hendak mengatur dan memperbaiki keadaan masyarakat,” kata Wulandari dalam tulisannya yang dimuat Poesara Juni 1934, “Soal Poligami”. Pendapat Wulandari ini masih berlaku hingga kini melihat maraknya ajakan untuk poligami. Dus , praktik poligini yang tidak didaftarkan membuat posisi istri kedua tidak jauh beda dengan era kolonial. Istri yang perkawinannya tidak didaftarkan tidak punya perlindungan hukum jika terjadi perselisihan.

  • Ketakutan pada Kebotakan

    "HAL terburuk yang bisa dilakukan seorang pria adalah menjadi botak. Jangan pernah membiarkan dirimu botak!” begitu kata Presiden Amerika Serikat, Donald Trump . Takut botak sudah dirasakan pria-pria lain jauh sebelum Trump lahir. Madeline Warner dalam laman The Iris menulis kebotakan menjadi salah satu sumber kekecewaan para pria Romawi Kuno. Mereka begitu memperhatikan gaya rambut. Kendati begitu, sikap mereka terhadap kebotakan berbeda-beda tergantung pada usia, jenis kelamin, dan status sosial. Pada kasus tertentu, kebotakan pada pria dianggap sebagai karakteristik pria Romawi yang terhormat dan bijaksana. Kepala plontos atau setengah plontos seringkali digunakan sebagai protes para filsuf. Khususnya pada periode Republik (509-27 SM), potret tokoh-tokoh berpengaruh Romawi sering memilih untuk digambarkan dengan kepala botak yang berkilau, hidung besar, dan kerutan ekstra. Ini semacam untuk mengekspresikan tahun-tahun yang telah mereka persembahkan bagi negara Romawi. Charles Darwin. (Wikipedia) Namun, lepas dari nuansa patriotisme, kemunduran garis rambut menjadi hal yang hampir tak diinginkan. Kaisar Domitianus (berkuasa 81-96 M) sampai tak bisa tidur karena rambutnya terus menerus rontok. Para pria kemudian akan mewarnai dan mengkriting rambut mereka. Ini sebagai cara mengindari uban dan penipisan, sehingga mereka akan tetap terlihat awet muda. Pada masa itu menjadi botak dan beruban acap dikaitkan dengan kesehatan yang memburuk. Sayangnya, mewarnai rambut juga bisa membuat mereka jadi bahan lawakan. Pria-pria itu akan dicurigai botak dan mencoba menyamarkannya. Salah satunya penyair Romawi, Martial, yang mengejek pria-pria botak dalam karyanya. “Pada rambut botakmu tidak ada rambut palsu yang kau gunakan.Kau menggambar rambut, tanpa alasan.Setidaknya tak ada tukang cukur yang perlu memotongnya. Kau dapat menghapusnya dalam satu menit,” kata Martial dalam Epigrams . Menutupi kebotakan juga pernah menjadi obsesi Julius Caesar. Politikus terkenal Romawi itu mencoba segalanya untuk menumbuhkan kembali rambutnya. “Karangan daun salam yang dikenakannya tidak lebih dari upaya menutupi kepalanya yang mengkilap,” tulis BBC . usculum portrait, mungkin satu-satunya yang masih tersisa dari patung wajah Caesar yang dibuat semasa hidupnya. KoleksiArchaeological Museum,Turin, Italia. (Wikipedia) Melissa Hogenboom di laman itu menulis, pada saat Caesar bertemu Cleopatra, dia telah hampir sepenuhnya botak. Dalam upaya terakhir untuk menyelamatkannya, Cleopatra pun merekomendasikan obat buatannya sendiri dari tikus tanah, gigi kuda, dan minyak beruang. Tetapi tetap tak berhasil. Caesar akhirnya kehilangan rambut sama seperti tokoh besar sebelum dan sesudahnya: Socrates, Napoleon, Aristoteles, Gandhi, Darwin, Churchill, Shakespeare, dan Hippocrates. “Pada akhirnya rambut di bagian bawah mulai tumbuh dan Caesar menyisirnya ke arah depan, teknik yang kemudian disebut sebagai 'gaya ilusi'. Sekarang dinamakan comb-over ,” tulis BBC. Jika Cleopatra mencoba menyembuhkan kebotakan Caesar dengan ramuan tikus tanah, gigi kuda, dan minyak beruang, orang Viking punya resep berbeda. Mereka membubuhkan lotion yang terbuat dari kotoran angsa. Adapun ahli pengobatan kuno Yunani, Hippocrates, percaya kalau obat terbaik bagi kebotakan adalah kotoran burung merpati dicampur dengan lobak, jinten, dan jelatang. Sementara satu resep Mesir berusia 5.000 tahun menyarankan untuk merendam duri landak yang dibakar dalam minyak. Lalu mencampurnya dengan madu, pualam, oker merah, dan kerokan kuku. Ramuan itu kemudian dioleskan ke daerah yang mengalami kebotakan. Botak Penyakitan Kebotakan kerap dibicarakan dalam istilah yang kedengaran seperti penyakit. Gejala ini sekarang punya nama ilmiah, yaitu  androgenic alopecia . Ini sebutan bagi kebotakan kalau rambut yang rontok lebih banyak dibanding yang tumbuh. Dulu Aristoteles (384–322 SM), seorang filsuf Yunani, berpikir kebotakan disebabkan karena seks. Lalu orang-orang Romawi Kuno menyalahkan helm logam yang terlalu berat, yang membuat pria-pria di kalangan militer mengalami kerontokan rambut berlebih. Ada juga yang menyebut kebotakan disebabkan oleh kekeringan otak. Ini dipercaya telah menarik kepala dari akar rambut dengan membuat volume otak menyusut. Sementara di Eropa pada abad ke-16 kebotakan dianggap memalukan karena dikaitkan dengan penyakit kelamin. Pada 1580, penyakit sifilis merupakan epidemi terburuk yang menyerang Eropa sejak wabah Maut Hitam pada 1347 hingga 1351. Tanpa antibiotik, korban penyakit ini akan menghadapi serangkaian gejala, seperti luka terbuka, ruam, kebutaan, demensia, termasuk kerontokan rambut yang merata. Padahal, Mentalfloss menulis, pada saat itu rambut panjang adalah simbol status. “Kepala botak bisa menodai reputasi apapun,” catat laman itu. Itu salah satunya diungkapkan administrator angkatan laut Inggris, Samuel Pepys dalam buku hariannya yang terkenal itu. Dia menulis kalau saudara laki-lakinya terinfeksi sifilis. “Kalau saudaraku hidup, dia tak akan bisa menunjukkan kepalanya, yang mana itu akan sangat memalukan bagiku,” tulis Pepys. Karena malu, para korban pun akhirnya menyembunyikan luka mereka dengan rambut palsu. Sampai-sampai, pada masa itu produksi rambut palsu melonjak drastis. Bukannya menjadi tren, memakai wig malah menjadi kebutuhan yang memalukan. Itu setidaknya sampai 1655, ketika Raja Louis XIV dari Prancis pada usianya yang ke-17 juga mulai kehilangan rambut. Karena takut kebotakan merusak reputasinya, dia pun menyewa 48 pembuat wig untuk menyelamatkan citranya. Lima tahun kemudian, sepupu Louis, Raja Inggris Charles II, melakukan hal yang sama ketika rambutnya mulai beruban. “Kedua pria itu kemungkinan menderita sifilis,” tulis Mentalfloss. Pangeran William mengalami kebotakan dini pada usianya 36 tahun. (Lorna Roberts/Shutterstock). Pejabat istana dan bangsawan lainnya pun segera meniru kedua raja itu. Mereka memakai wig, yang kemudian membuat gaya itu mengalir ke kelas menengah dan atas. Mode terbaru Eropa pun lahir. Sementara pada 1897, seorang dermatologi Prancis mengumumkan telah menemukan penyebab sebenarnya dari kebotakan, yaitu mikroba. Karenanya, sisir harus direbus secara teratur. Anggota keluarga yang botak pun tak boleh menggunkan sisir apapun selain yang mereka pakai. Ribuan tahun kemudian, pria-pria masa kini telah pindah dari karangan bunga dan ramuan yang menjijikkan ke krim, tonik dan sampo yang mahal. Ada juga yang sampai mengkonsumsi obat dan pil tertentu hingga operasi tanam rambut. Di belahan dunia lain, nampaknya menjadi botak tak dikaitkan dengan penyakit tertentu. Di Tiongkok dikenal gaya rambut queue. Gaya ini dibuat dengan mencukur licin kepala depannya dan membuat kepangan panjang di belakang kepala. Model rambut ini menjadi identitas bagi pria dari Manchuria dan kemudian dikenakan oleh orang Han selama Dinasti Qing. Ada pula chonmage, yang merupakan gaya potong rambut tradisional ala pria Jepang. Ini biasanya dihubungkan dengan samurai dan Zaman Edo. Potongan rambut ini punya ciri bagian depan yang dibotaki. Sisanya, pada kepala belakang, rambutnya diikat ke atas. Konon, menurut laman Japan Info , gaya ini menguntungkan bagi mereka yang ingin menyembunyikan gejala kebotakan. Tetapi karena samurai berstatus sosial tinggi, model rambut ini justru menjadi simbol status. Lalu gaya rambut plontos dipopulerkan pesepakbola asal Brasil, Ronaldo. Ia memiliki poni pada bagian depan rambutnya. Sementara bagian belakang kepalanya dibiarkan licin. Gaya rambutnya itu kemudian malah menjadi tren.  Kini justru banyak aktor sukses yang setia dengan kepala botaknya, seperti Bruce Willis, Jason Statham, Vin Diesel, dan Dwayne Johnson. Mereka kerap dipasang untuk karakter tokoh utama yang penuh aksi bukannya orang yang dicemooh karena kepalanya mengkilap.*

  • Siluman dalam Sidang Mahkamah Konstitusi

    Ada tiga makhluk halus yang disebut terkait Pemilu 2019. Joko Widodo menyebut genderuwo, Andi Arief menyebut setan gundul, dan Teuku Nasrullah, kuasa hukum Prabowo-Sandiaga Uno, menyebut TPS (Tempat Pemungutan Suara) siluman. Dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden 2019, Nasrullah menyebut 2.984 TPS siluman atau sekitar 895.200 suara siluman. Siluman juga disebut Idham Amiruddin, saksi yang dihadirkan kuasa hukum pemohon. Idham mengaku menemukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) kecamatan siluman mencapai 56.832, dengan jumlah terbanyak di Provinsi Bengkulu. NIK siluman yaitu jumlah kecamatan berbeda dengan data pemilih. Misalnya, ada 40 kecamatan di Bogor, namun kode yang tercantum dalam NIK mencapai 85. Selain NIK siluman, Idham juga menyebut NIK rekayasa yang mencapai 10 juta dengan angka tertinggi di Bogor dan Sulawesi Selatan. Hakim Mahkamah Konstitusi Suhartoyo mengingatkan agar saksi menggunakan diksi netral, karena diksi “siluman” bernuansa pendapat. Siapakah siluman? Dalam biografi Pangeran Diponegoro, Kuasa Ramalan , sejarawan Peter Carey mengutip Sejarah Setan lan Jim (koleksi J.L. Moens) yang mengartikan seluman (siluman) menunjuk pada dunia arwah, suatu masyarakat tak kasat mata, yang merupakan kembaran masyarakat manusia, dan dengan demikian terdiri dari berbagai bangsa dan ras yang diperintah oleh raja dan ratu masing-masing. Sementara itu, menurut Suwardi Endraswara, profesor antropologi sastra Universitas Negeri Yogyakarta, dunia siluman cukup misterius. Siluman adalah makhluk yang halus. Dia mampu manjalma (menitis) pada manusia. Ada kalanya siluman juga menjelma pada binatang. Penjelmaan siluman cukup beralasan, antara lain untuk menggoda manusia dan binatang. “Jika siluman itu ganas, pendendam, pembunuh, dan sejenisnya, manusia dan binatang yang dijelmai siluman akan memiliki karakter yang hampir sama. Kita tak perlu heran kalau ada orang yang mampu menghilang, karena dijelmai siluman. Siluman itu yang memberi lapis, sehingga mata biasa tak mampu melihatnya,” tulis Suwardi dalam Dunia Hantu Orang Jawa: Alam Misteri, Magis, dan Fantasi Kejawen . Seperti genderuwo dan setan gundul, siluman juga diberi makna lain selain makhluk halus. Dalam Bahasa dan Bonafiditas Hantu, Agus R. Sardjono menyebut bahwa Bahasa Indonesia telah mengenal kata siluman. Namun, kata siluman sudah tidak resmi lagi menunjuk pada hantu. Ia telah diperkaya dengan kata lain yang membentuk kata majemuk, yang di Indonesia makin lama makin diminati, seperti uang siluman , proyek siluman, ijazah siluman, dan sejenisnya. KBBI daring telah mendata dua arti siluman: (1) makhluk halus yang sering menampakkan diri sebagai manusia atau binatang; (2) tersembunyi tidak kelihatan, misalnya pasukan siluman , biaya siluman (biaya yang sulit dipertanggungjawabkan, seperti uang suap dan sebagainya). Kini, kuasa hukum dan saksi pasangan Prabowo-Sandiaga Uno, menambahkan kata majemuk baru: TPS dan NIK siluman. Dengan siluman itu mereka hendak membuktikan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif. Menanggapi soal NIK siluman, pihak KPU enteng saja dengan bertanya kepada saksi hasil perolehan suara di daerah yang disebut terdapat NIK siluman: Bogor dan Sulawesi Selatan. “Apa saudara tahu dalam Pilpres di Kabupaten Bogor dan Sulawesi Selatan pemenangnya 01 atau 02?” tanya Komisioner KPU, Hasyim Asy’ari. Idham mengaku tak tahu. “Kami kasih tahu pemenangnya 02,” kata Hasyim. Hening.

  • Kutukan La Llorona Melintasi Zaman

    SEORANG bocah larut dalam kegembiraan bersama kakak, ibu, dan ayahnya di sebuah padang rumput di Meksiko tahun 1673. Bocah itu turut menggenggam sebuah amulet di tangannya. Namun selepas ia memejamkan mata, segalanya hilang. Bocah itu justru menemukan ibunya tengah membunuh kakaknya di sungai. Adegan kontras itu menjadi prolog bagi kejadian-kejadian horor berikutnya yang disuguhkan sutradara Michael Chaves dalam The Curse of La Llorona , film yang menjadi spin-off dan produksi keenam dari “semesta Conjuring”. Chaves langsung mengganti setting ke tahun 1973 dan pada sebuah keluarga di Los Angeles. Keluarga itu hanya ditopang Anna Tate-Garcia (diperankan Linda Cardellini), single mother yang ditinggal mati suaminya. Ia bekerja di dinas sosial untuk menghidupi kedua anaknya, Chris (Roman Christou) dan Samantha (Jaynee-Lynne Kinchen). Perubahan kehidupan keluarganya bermula dari kasus yang menimpa seorang ibu tunggal lain, Patricia Alvarez (Patricia Velásquez). Dalam laporan kantor dinas sosial, Patricia disebutkan telah melakukan kekerasan pada kedua anaknya, Carlos dan Tomas. Saat kediaman Patricia disambangi, didapati sang ibu menyembunyikan kedua putranya di sebuah ruangan sempit. Patricia menjerit agar pintunya tak dibuka. Namun Anna jadi penasaran. Setelah ditempatkan di panti sosial oleh Anna, keesokannya Carlos dan Tomas ditemukan tak bernyawa di dasar sungai. Patricia murka. Ia tak terima anaknya tewas gara-gara Anna. Carlos dan Tomas mestinya tetap bersembunyi agar tak diculik La Llorona (Marisol Ramirez). Kedua anak Anna pun bergantian dihantui La Llorona. Keduanya bahkan nyaris tewas dalam sejumlah adegan-adegan menegangkan. Adegan Anna (diperankan Linda Cardellini) saat menghadapi hantu La Llorona (Foto: IMDB) Anna yang ketakutan mencari pertolongan pada Pastor Perez (Tony Amendola), sosok “penghubung” antara film ini dengan lima produksi “Conjuring Universe” lainnya. Dari sang pastor-lah Anna mendapatkan cerita bahwa yang menghantui mereka adalah La Llorona, hantu jahat bergaun putih yang berarti “wanita yang menangis”. Dalam legenda Meksiko, papar Pastor Perez, La Llorona mulanya merupakan gadis cantik bernama Maria yang dipersunting pria kaya. Mereka hidup bahagia dengan dua orang anak. Tapi kebahagiaan itu hanya seumur jagung lantaran sang suami selingkuh. Sebagai bentuk pembalasannya, Maria membunuh kedua anaknya dengan menenggelamkan mereka ke sungai. Arwah Maria tak diterima di surga hingga menjadi hantu penasaran yang digambarkan berpakaian gaun putih dengan mengeluarkan darah dari kedua matanya. Ia kerap mencari anak-anak untuk dijadikan tumbal agar kedua anaknya sendiri bisa kembali. “Sampai sekarang cerita itu masih sering diperdengarkan para ibu saat anak-anak mereka sedang nakal,” tutup Pastor Perez bercerita. Hantu La Llorona yang diperankan Marisol Ramirez di film The Curse of La Llorona (Foto: IMDB) Demi menyelamatkan kedua anaknya, Pastor Perez menyarankan Anna menemui seorang curandero (paranormal) Rafael Olvera. Lantas, berhasilkah Anna menyelamatkan anak-anaknya dari ancaman La Llorona? Baiknya tonton sendiri film berdurasi 93 menit ini yang sudah rilis sejak 19 April 2019. Kendati dikemas dengan cukup apik, The Curse of La Llorona dianggap beberapa kritikus terlalu sering menonjolkan jump scare diiringi tata suara garapan komposer Joseph Bishara yang mendukung rasa kaget penonton. Namun, film ini cukup laris.  Keuntungan di hari penayangan pertamanya di Amerika Serikat mencapai USD12 juta, padahal cost production hanya USD9 juta. Antara Mitos dan Fakta La Llorona merupakan arwah yang menjadi salah satu legenda paling dikenal di Meksiko. Karakternya yang suka menculik anak dan dijadikan mitos para orangtua untuk menakuti anak-anaknya, mirip wewe gombel di Jawa. Kisahnya juga mirip  legenda Dewi Lamia atau dan hantu Medea di Yunani. Masyarakat Meksiko percaya, barangsiapa yang tak berbalik arah saat mendengar isak tangis La Llorona, anak itu akan jadi sasarannya. Barangsiapa yang mendengar La Llorona menjerit, maka dia akan ditimpa kemalangan. “Saya belum sempat menonton filmnya! Tapi yang bisa saya katakan adalah, banyak klaim yang bilang bahwa itu (sosok La Llorona) lebih dari cerita atau legenda belaka,” ungkap Aneth Caldera Gaytan, warga negara Meksiko asal Zacatecas, kepada Historia. Meski kengerian sosoknya diyakini nyata, fakta La Llorona masih bertabur aneka argumen. Banyak yang menyebut nama aslinya Maria, namun satu pendapat mengklaim namanya adalah Maya, sebagaimana yang dipaparkan Rudolfo Anaya dalam La Llorona: The Crying Woman. Asal-usulnya? Jelas beragam. Beberapa literatur mengatakan La Llorona eksis sejak abad ke-17 saat Meksiko masih koloni Spanyol dengan nama Nueva España. Namun, satu literatur menyebutkan La Llorona aslinya adalah setan dari Jerman. La Llorona versi Jerman justru sudah eksis dua abad sebelumnya. “Bacil F. Kirtley dalam artikelnya yang luar biasa ‘La Llorona and Related Themes’, melakukan pelacakan asal-usul La Llorona dari tradisi Jermanik dan Aztec. Pada dasarnya dia menyatakan eksistensi La Llorona adalah dari Jerman yang disebut sebagai ‘Dia Weisse Frau’ pada 1486. Eksistensinya juga tercatat dalam puisi Kaspar Brushchipus berjudul Chronologia Monasteriorum Germaniae Praeckpuorum yang ditulis pada 1552 dan kemudian diterbitkan di Sulzach pada 1682,” sebut Timothy P. Fong dalam Ethnic Studies Research: Approaches and Perspectives. Ilustrasi legenda hantu La Llorona (Foto: Twitter @lalloronamovie) Fong juga menyebutkan, saat investigasi Kirtley mendapat temuan bahwa La Llorona berkelindan dengan legenda Aztec yang merupakan jelmaan Dewi Cihuacóatl alias Si Dewi Ular. Ancaman yang mengiringinya serupa. Penampakannya pun nyaris sama, di mana Cihuacóatl yang bergaun putih acap datang di malam hari namun kepalanya terdapat tanduk mengerikan. Cihuacóatl kerap menangis dan menjerit mencari anak-anak untuk diculik. Versi lain mengatakan bahwa La Llorona berhulu dari kisah La Malinche, wanita Nahua yang jadi gundik penjejalah Portugis Hernán Cortés. Ia menjelma menjadi hantu gentayangan setelah dicampakkan Cortés kala masa penjelajahan Spanyol di Meksiko pada 1519. Terlepas dari banyaknya versi asal-usul, La Llorona eksis melintas zaman dan juga lintas negeri. La Llorona jadi “zat” yang ditakuti di Kuba, Spanyol, dan tentunya Amerika Serikat sebagai tetangga terdekat Meksiko. “Tidak lain karena kesohoran legendanya yang turut dibawa para pendatang dari Meksiko ke barat daya Amerika seiring dibukanya permukiman pada abad ke-16 oleh Spanyol. Kisahnya diceritakan dari mulut ke mulut secara turun-temurun. Makanya kisahnya sangat dikenal oleh para penduduk di New Mexico, Texas, atau California, sebagaimana di Kuba atau Spanyol,” tandas Ray John de Aragón dalam The Legend of La Llorona.

  • Mega Proyek Sultan Banten

    PERNYATAAN perang Sultan Ageng Tirtayasa pada 11 Mei 1658 semakin memperjelas ketegangan antara Banten dan Batavia (Belanda). Keduanya enggan sepakat sehingga  memutuskan untuk melakukan perang terbuka. Pertempuran pun berlangsung setiap hari dengan skala yang cukup besar, baik di darat maupun di laut. Rakyat Banten berusaha mempertahankan wilayahnya tetap merdeka di bawah pimpinan Sultan Ageng. Semangat mereka pun terbukti mampu menghancurkan kekuatan Batavia yang begitu kokoh. “Berhubung dengan Kompeni terus-menerus didesak dan diserang, sehingga lama-kelamaan mereka merasa lelah dan pesimis untuk menang, maka Pemerintah Tinggi Kompeni terpaksa menawarkan perjanjian berdamai kepada Sultan Banten,” tulis Edi. S. Ekadjati dalam Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Jawa Barat . Setelah berada pada suasana damai, Banten segera melakukan perbaikan wilayah. Pemerintah mencoba membangun infrastruktur perairan dan sistem pertanian untuk menunjang perdagangan mereka. Di samping memperbaiki kerusakan-kerusakan yang ditimbulkan perang sebelumnya. Dalam catatan harian milik pemerintah Batavia ( Dagh-register ), Sultan Ageng memerintahkan bekas panglima perang yang menjadi menteri negaranya, Kiyai Arya Mangunjaya, untuk membangun sebuah pemukiman di bagian terluar wilayah kekuasaan Banten.  Mula-mula Kiayi Arya mengumpulkan seluruh kepala daerah di Kesultanan Banten. Kemudian ia meminta mereka mengumpulkan seluruh keluarga di wilayah wewenangnya dan menyuruh setiap keluarga itu mengumpulkan 100 batang pohon kelapa. Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII , menyebut tiap-tiap keluarga umumnya terdiri dari 5 orang, dan mereka akan diberi sebidang tanah seluas 1 hektar. Berbekal arsip-arsip milik pemerintah Belanda, Claude menggambarkan besarnya pemukiman baru milik Kesultanan Banten yang dihuni oleh 5.000 keluarga tersebut. “Pohon-pohon ini harus ditanam di dekat Sungai Ontong Jawa (Cisadane sekarang), yang letaknya dekat dengan Batavia. Ini merupakan proyek yang luar biasa besarnya…sehingga ladang pohon kelapa itu dalam hal ini akan mempunyai luas tanah sebesar kira-kira 5.000 hektar.” tulis Claude. Setidaknya ada 10 desa baru ditempatkan di sepanjang Sungai Cisadane. Fungsi utamanya memang sebagai perkebunan dan pemukiman. Namun lebih jauh, desa-desa itu dipersiapkan oleh sultan sebagai benteng pertahanan alam yang sangat kokoh. Ratusan ribu pohon kelapa yang ditanam di sana digunakan untuk menutupi area Kesultanan Banten. Sehingga Batavia tidak dapat memantau pembangunan yang dilakukan pemerintah. Adanya perjanjian damai tidak membuat rasa curiga hilang begitu saja dari kedua pihak. Batavia masih menempatkan mata-matanya di sekitar perbatasan Banten dan melaporkan seluruh aktivitas yang terjadi di sana. Pada 1663, Banten memulai proyek penggalian terusan dari Sungai Tanara (Cidurian) ke Sungai Pasilian melalui Balaraja, sejauh 6 kilometer menuju Sungai Ontong Jawa (beberapa literatur menyebutnya “Untung Jawa”). Alirannya akan menghubungkan banyak ngarai, yang dapat dilalui oleh kapal-kapal kecil bagi kebutuhan perdagangan. “Pembangunan saluran ini selain bertujuan untuk irigiasi bagi keperluan pertanian, juga untuk mempercepat hubungan militer dari Banten ke daerah perbatasan dengan Batavia,” tulis Nina Herlina Lubis, dkk. dalam Sejarah Banten: Membangun Tradisi dan Peradaban . Bersamaan dengan penggalian terusan itu, pemerintah Banten juga membuat persawahan yang terbentang di sepanjang alirannya. Areal persawahan itu difokuskan untuk menanam tanaman padi. Mereka mencoba membuat lumbung padi yang sangat besar, yang akan menjadi pusat produksi beras di Banten. Sultan Ageng memantau langsung kegiatan pembangunan terusan yang menjadi proyek terbesar pada masa pemerintahannya tersebut. Bahkan ia pernah tinggal selama tiga bulan di Tanara, bersama istri-istri dan anak-anaknya, agar dapat terus melihat proses pembangunannya. Kegiatan administrasi di ibu kota akhirnya diserahkan kepada para pejabat istananya. Pihak Belanda melihat proyek pembangunan terusan dan pedesaan kesultanan Banten itu sebagai sebuah keberhasilan. Utusan dagang mereka menyebut desa di Tanara “sebagai negeri datar yang indah yang ditanami padi”. Pada 1664, belum juga selesai dengan proyek penggalian terusan, Sultan Ageng mulai merencanakan pembangunan sebuah bendungan. Hal itu dilakukan untuk penampungan air serta pengairan ke sawah-sawah yang jumlahnya akan terus bertambah. Setelah proyek terusan Tanara-Pasilian berhasil dirampungkan, pada 1670 sultan segera membuat jalur terusan baru antara Pontang sampai Tanara. Kali ini, sultan berencana membuka jalur dari tepi laut hingga ke pedalaman. Proyek ini dikepalai Kiyai Ngabehi Wangsanala, ipar laki-laki Sultan Ageng, dengan melibatkan 16.000 pekerja dari dalam maupun luar Banten. “Seperti halnya proyek terusan sebelumnya, raja melakukan segala usaha agar proyek Pontang menjadi kepentingan nasional,” tulis Claude. Pada 1673, sultan memesan 12 buah watermolentjes (kincir air) dari Batavia. Mesin itu digunakan untuk mempercepat proses pengairan sawah-sawah di Tanara. Untuk membayar mesin-mesin itu, Pemerintah Banten menyediakan 10 ekor sapi dan 20 pikul lada. Tahun 1675-1677, Sultan Ageng memulai empat proyek besar yang dilakukan bersamaan, yakni pembangunan bendungan di Sungai Pontang dan Sungai Ciujung, serta penambahan terusan di sekitar Tirtayasa, dekat Tanara, dan di daerah Anyer. Catatan pemerintah Batavia kembali menjabarkan situasi pembangunan di wilayah kesultanan Banten tersebut. Disebutkan bahwa setiap laki-laki yang sehat harus ikut dalam proyek pembangunan itu. Banyak dari mereka yang bekerja secara sukarela, namun tidak jarang yang mendapat paksaan dari kepala daerah di sekitar tempat tinggalnya. Begitu pengerjaan proyek pengairan selesai, sultan segera mengalihkan tumpuannya pada pembangunan sebuah kota baru di sekitar terusan. Ia mendirikan rumah-rumah berbahan permanen agar banyak penduduk yang tinggal di sana. “Dalam hubungan ini dapat diperhatikan bahwa sultan gemar sekali akan rumah-rumah dari bata yang berasal dari tradisi China daripada bangunan menurut kebiasaan Jawa dengan kayu dan bambu,” kata Claude. Pada 1678 timbul perselisihan dengan Batavia terkait Cirebon. Sejak itu, perhatian sultan sepenuhnya teralihkan pada militer. Ribuan pekerja laki-laki segera dialihkan menjadi tentara. Lebih jauh, terjadi konflik di dalam istana antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji, yang akhirnya memberi peluang bagi Batavia untuk menguasai Banten pada 1682. Mega proyek Sultan Ageng pun akhirnya terhenti. Namun walau begitu, ia berhasil membawa pembangunan yang begitu besar bagi Kesultanan Banten.

  • Pilih Jurusan Studi Demi Kemerdekaan

    PADA1929, Teuku Mohammad Hasan menamatkan pendidikan bangku sekolahnya. Prestasinya cukup baik, apalagi dalam bidang aljabar, Hasan lebih menonjol. Sebagai putra bangsawan ( uleebalang ) Aceh, Hasan tentu tidak kesulitan mencari universitas terbaik. Sebelum memutuskan studi perguruan tinggi, Hasan memilih dan memilah berbagai jurusan. Mula-mula Hasan bermaksud ke Universitas Delft, di Belanda. Ragu melanda. Hasan kemudian berminat pula memasuki sekolah tinggi teknik (THS) – tempat Bung Karno juga berkuliah – yang ada di Bandung. Tapi Hasan masih bimbang. “Saya menemui Teuku Hanafiah, mahasiswa RHS Batavia untuk bertukar pikiran,” kenang Hasan dalam memoarnya Mr. Teuku Moehammad Hasan dari Aceh ke Pemersatu Bangsa yang disunting Teuku Mohamad Isa. Pergumulan soal jurusan mempertemukan Hasan denganTeuku Hanafiah, sesama putra uleebalang Aceh. Hanafiah mahasiswa Aceh yang tengah belajar di sekolah tinggi hukum (RHS) Batavia. Kepada Hasan, Hanafiah membual sedemikian rupa mempromosikan jurusan hukum. Dengan provokatif Hanafiah mengatakan jika memilih jurusan teknik dan menjadi insinyur yang hebat, Hasancuma bisa bikin jembatan. Paling maksimal, Hasan hanya akan bisa menghasilkan 100 jembatan yang indah seperti di Spanyol.  Bila memilih sastra, Hasan akan dikenang karena syair-syair yang indah. “Tetapi bila memilih ilmu hukum, maka buah tangan saya, menurut Teuku Hanafiah itu, adalah Indoesia Merdeka! Alangkah hebatnya kata T. Hanafiah dengan mata berbinar-binar,” tutur Hasan. Selain itu, Hanafiah juga menambahkan fakta bahwa hampir semua gubernur jenderal Hindia Belanda bergelar sarjana hukum. Saran dari Hanafiah ini, terutama soal kemerdekaan Indonesia sungguh menggugah harapan Hasan. Terpukau omongan Hanafiah, Hasan lalu mantap menekuni jurusan hukum. Maka jadilah Hasan meniti studi hukumnya sebagai mahasiswa RHS Batavia. Sekolah ini terletak di Jalan Medan Merdeka Barat, yang sekarang jadi gedung utama Kementerian Pertahanan. Pada 1930, Hasan lulus ujian kandidat I. Setahun kemudian, lulus kandidat II (setara strata-1). Hasan menikmati kuliah di jurusan ini dan timbul niat mendalaminya ke Eropa. Pada 1933, Hasan memutuskan merantau ke negeri Belanda demi melanjutkan pendidikannya. Hasan mendaftarkan diri di jurusan Indisch Recht atau Hukum Hindia Belanda di Universitas Leiden. Selama di Belanda, Hasan berkenalan dengan tokoh-tokoh pergerakan sebangsa semisal Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Mariah Ulfah, Rustam Effendi, dan lainnya dalam organisasi Perhimpunan Indonesia (PI). Pada 1933, dia pulang ke Aceh membawa pulang gelar Mester in de Rechten. Pilihan Hasan, kendati dikompori oleh temannya, Hanafiah, terbukti tidak salah. Dengan kemampuannya sebagai ahli hukum, Hasan dapat memulai karier sebagai birokrat di Batavia kemudian Medan. Pada masa akhir kolonial Belanda dan pendudukan Jepang, Hasan terjun ke kancah pergerakan nasional. Dia merupakan satu dari sedikit tokoh nasional yang diperhitungkan karena kecakapan -  selain sebagai bangsawan lokal -  dari Sumatera Utara. Menjelang kemerdekaan, Hasan mewakili Sumatera Utara dalam BPUPKI. Dia kemudian jadi pemimpin garda depan Republik di masa revolusi. Hasan berjuang sebagai gubernur pertama Sumatera. “ Sedikit yang tahu bahwa Sumatera pada suatu masa pernah dipimpin secara terpusat dari Medan oleh seorang putra Aceh yang memperoleh pendidikan tinggi di Negeri Belanda hingga mendapat gelar Meester in Rechten yang tersemat di depan namanya ,” tulis Raisa Kamila dalam Gubernur Pertama di Indonesia merujuk nama Mohammad Hasan .

  • Penyesalan Seumur Hidup Jenderal Mashudi

    SETELAH memastikan kabar menyerahnya Jepang, rakyat Bandung segera membentuk barisan pengamanan kota. Dimotori pemuda-pemdua Bandung, mereka menyusuri jalan-jalan  yang biasa tentara Jepang berkumpul di sana. Kendati awalnya merasa ragu dan takut, rakyat akhirnya memberanikan diri untuk melucuti persenjataan tentara Jepang. Mereka menguasai tempat-tempat penting milik Jepang, terutama gudang senjata, agar tidak lagi muncul perlawanan. Menjelang akhir September 1945, pasukan-pasukan rakyat telah mengamankan seluruh areal militer penting di Bandung. Para pejuang bersorak ria dengan keberhasilan menyingkirkan kekuasaan Jepang di kotanya. “Para pemuda mulai bertindak mengusir pegawai-pegawai Jepang dengan kekerasan. Pemimpin bangsa kita yang lemah, disingkirkan untuk sementara,” tulis A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid II . Namun sayang walau banyak gudang senjata diamankan, tidak semua pejuang tahu cara memakai senjata. Hanya satu regu pimpinan Sukanda yang mengerti banyak senjata, itupun tidak semua jenis. Sisanya hanya bermodal semangat, dan bambu runcing saja. Pada Oktober 1945, berbekal instruksi pemimpin Sekutu, tentara Jepang mulai melancarkan serangan balik. Tanpa diduga mereka telah menyiapkan kekuatan untuk melumpuhkan pergerakan para pejuang Bandung. Gudang senjata yang telah diduduki pun akhirnya dapat direbut kembali pihak Jepang. Perlawanan-perlawanan dari rakyat tidak berarti banyak karena tentara dengan cepat dapat menumpasnya. “Seperti biasa, massa yang mudah dan cepat bangkit, mudah dan cepat pula terdesak dan terpecah belah,” tulis Nasution. Achmad Tirtosudiro, dalam biografinya Jenderal dari Pesantren Legok , mengenang peristiwa pelucutan senjata itu sebagai peristiwa yang amat disesali Letnan Jenderal TNI (Purn.) Mashudi, mantan Gubernur Jawa Barat (1960-1970), seumur hidup. Mashudi, yang saat itu menjadi salah satu pemimpin rakyat, menyuruh agar para pemuda tetap menyimpan senjata di dalam gudang. Mereka harus mempelajari terlebih dahulu cara memakainya agar tidak keliru. Tetapi instruksinya itu malah menjadi bumerang bagi para pejuang. “Kepintaran saya merupakan ketololan saya waktu itu. Coba jangan memakai pertimbangan rasional, harus berlatih segala. Pakai saja otot nekad. Boyong dulu, penguasaan belakangan, seperti dilakukan rekan-rekan lain di banyak tempat di seantero Indonesia,” ucap Mashudi kepada Achmad. Karena persitiwa itu, para pemuda Bandung mendapat julukan Pemuda Peuyeum . Peuyeum sendiri merupakan makanan khas Jawa Barat, berbahan dasar singkong yang difermentasi. Konotasinya berarti para pemuda itu memiliki sifat yang lembek, penakut, dan pengecut. Julukan itu terus melekat. Achmad Tirtosudiro bahkan merasakan langsung dampaknya. Saat sedang berkunjung ke Surabaya untuk urusan Djawatan Kereta Api, bukan saja mendapat sambutan yang kurang hangat dari masyarakat, keselamatan dirinya pun ikut terancam. “Ini ada pemuda peuyeum dari Bandung. Kita potong saja!” kenang Achmad menirukan ucapan orang-orang Surabaya. Walau yakin hanya candaan, tetapi Achmad melihat hal itu sebagai bentuk kekecewaan para pejuang Surabaya terhadap kegagalan pejuang Bandung mempertahankan daerahnya.

  • Agama-Agama di Majapahit

    Prasasti Waringinpitu yang dikeluarkan oleh Raja Kertawijaya pada 1369 Saka (1447) menyebutnama-nama pejabat birokrasi kerajaan di tingkat pusat. Di antaranya  Dharmmadhyaksa ring kasaiwan ( pejabat tinggi yang mengurusi Agama Siwa)dan  Dharmmadhyaksa ring kasogatan ( pejabat tinggi yang mengurusiAgama Buddha). Dari keterangan itu, menurut arkeolog dan epigraf Hasan Djafar,dapat diketahui di Kerajaan Majapahit setidaknya ada dua agama resmi, yaitu Agama Siwa dan Agama Buddha. Pada perkembangannya, yaitu ketika Majapahit akhir, peran agama Buddha seakan “menghilang”. Sementara bangunan sucinya kebanyakan bercorak Siwa. Ini menunjukkan hubungan erat antara kedua agama itu. Oleh beberapa sarjana, hubungan ini disebut dengan berbagai istilah. H. Kern menyebutnya percampuran. N.J. Krom, W.H. Rassers, dan P.J. Zoetmulder menyebutnya perpaduan. Sedangkan Th.G.Th. Pigeaud menyebutnya kesejajaran. “Hubungan ini sebenarnya telah berlangsung sejak masa sebelumnya sehingga seolah-olah agama Buddha telah terlebur menyatu dalam agama Siwa,” jelas Hasan dalam “Beberapa Catatan Mengenai Keagamaan Pada Masa Majapahit Akhir” termuat di Pertemuan Ilmuan Arkeologi IV . Suasana itu tergambar pula dalam sumber kesusasteraan dari masa Hayam Wuruk. Menurut Mpu Tantular dalam Kakawin Sutasoma dan Kakawin Arjunawiwaha , pada dasarnya antara kedua agama itu tak terdapat perbedaan karena keduanya adalah satu. Pengakuan adanya kepercayaan itu nampak lewat berita dalam prasasti yang pernah dikeluarkan Gajah Mada pada 1351. Di dalamnya tercatat soal pembangunan caitya bagi Kertanegara dan para brahmana tertinggi Siwa dan Buddha. Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada Biografi Politik, bangunan caitya yang dibuat Gajah Mada sangat mungkin adalah Candi Singhasari sekarang. Pasalnya prasasti itu ditemukan di halaman candi. Bentuk candi ini unik. Ia bersifat Hindu dan Buddha sekaligus. “Itu mungkin karena candi dibuat untuk menghormati Kertanegara yang memuja Siwa dan Buddha,” kata Agus. Islam di Majapahit Kendati bukan agama resmi negara, jejak Islam juga sudah kuat di Majapahit. Bukti kehadiran Islam bisa ditunjukkan lewat pemakaman Islam kuno di Desa Tralaya, Trawulan, Mojokerto. Tak jauh dari situ diduga merupakan kompleks Kedaton Majapahit. Dari nisannya, makam-makam ini berasal dari 1203 dan 1533 Saka (1281 dan 1611). Artinya, pada masa jayanya, di bawah pemerintahan Hayam Wuruk, banyak penduduk Majapahit yang memeluk Islam. “Mengingat permakaman ini letaknya tak jauh dari kedaton, dapat disimpulkan ini adalah permakaman bagi penduduk kota Majapahit dan keluarga raja yang telah beragama Islam,” tulis Hasan. Dari keterangan Ma Huan, seorang muslim dan penerjemah resmi Laksamana Cheng Ho, dalam Ying-yai Sheng-lan disebutkan kalau di Majapahit terdapat tiga golongan penduduk. Salah satunya penduduk muslim. Mereka adalah saudagar yang datang dari berbagai kerajaan di barat. Gramadewata Semua kepercayaan itu lalu berkembang bersama agama rakyat yang masih tetap ada. Arkeolog Agus Aris Munandar dalam  Wilwatikta Prana menyebut di beberapa daerah pedalaman Jawa Timur dijumpai arca-arca yang bukan berciri Hindu maupun Buddha. Arca-arca itu ditemukan di reruntuhan bangunan kuno yang bukan bekas bangunan candi dari kedua agama itu. “Arca-arca itu kemudian dapat dianggap sebagai arca dewa setempat yang hanya dipuja di suatu kampung saja atau disebut  gramadewata ,” katanya. Sayangnya, kajian terhadap arca-arca itu belum dilakukan secara tuntas. Apalagi soal kepercayaan yang menyertainya. Kedati begitu, kata Agus, arca-arca itu bisa jadi menggambarkan nenek moyang kampung-kampung tertentu yang telah mangkat dan dianggap dewa. Praktik memuja nenek moyang telah ada sebelum Hindu-Buddha masuk ke Nusantara. Umumnya, masyarakat prasejarah memuja arwah pemimpin kampung atau kelompok yang dipilih pendukungnya. Ketika pengaruh Hindu-Buddha masuk, nenek moyang itu lalu digambarkan dengan atribut dewa-dewi India. Kalau tidak,kata Agus, dalam masyarakat Majapahit masih ada sekelompok penduduk yang tetap mempertahankan kepercayaan asli yang mungkin berawal dari masa prasejarah.   “Pada zaman Majapahit kehidupan beragama dalam masyarakat berkembang secara wajar. Bukannya saling menggangu, dan membiarkan setiap kelompok agama mengadakan ritual masing-masing,” tegasnya.

  • Ibu Hebring dan Golden Girls

    JIKA era milenial diramaikan dengan istilah tagline, seperti “Ashiaap!” yang dipopulerkan youtuber Atta Halilintar, era 1990-an juga dimeriahkan oleh banyak julukan yang melekat pada selebritis. “Hebring”, salah satu julukan paling populer itu. Siapa lagi yang mempopulerkannya kalau bukan aktris senior Connie Sutedja. Saking populernya, julukan “Bu Hebring” sampai melekat pada figur Connie hingga saat ini. “Sebetulnya julukan itu anugerah ya, sama sekali enggak terganggu kalau banyak yang panggil Ibu Hebring. Saya dapat banyak iklan dari situ. Jadi karakternya (di iklan) harus hebring. Juga sering diajak ikut launching produk-produk ya, sebagai Ibu Hebring,” tutur Connie saat ditemui Historia di kediamannya di Cilandak, Jakarta Selatan. Julukan “Hebring” yang disandang Connie namun berbeda dari tagline “Ashiaap!”-nya Atta yang masih sekadar kosakata untuk seru-seruan. Kata “hebring” dijadikan lema resmi dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “hebring” berarti hebat. Mulanya istilah “hebring” populer sejak Connie membintangi serial TVRI Pondokan, 1989. Dalam serial itu Connie memerankan tokoh Ibu Entim. Karena dialog-dialognya acap mengucap kata “hebring”, kata itupun melekat pada dirinya hingga di luar mata kamera. “Julukan yang sangat terkenal mulai dari kota hingga ke pelosok-pelosok desa,” tulis keterangan dalam Memory Artis & Wartawan Jakarta 2004 terbitan Panitia Reuni Artis & Wartawan Jakarta. Golden Girls:Nani Wijaya, Connie Sutedja, dan Ida Kusumah dalam suatu acara di televisi. Lahirnya Golden Girls Dalam serial Pondokan, untuk kesekian kalinya Connie beradu akting dengan sahabatnya, Nani Wijaya. Bersama Nani, Ida Kusumah, dan Rina Hasyim, Connie terus mempertahankan eksistensi di dunia hiburan hingga era 1990-an. Mereka kemudian disatukan ke dalam grup bernama Golden Girls. “Golden Girls itu juga buat saya rezeki banget karena sering diundang bersama. Awal ceritanya alharhum Sys NS yang berjasa. Dia yang membentuk Golden Girls,” kenang Connie. Lahirnya Golden Girls pada 1994 berkelindan dengan Gabungan Artis Nusantara (GAN), yang terbentuk setahun sebelumnya, sebagai bentuk perlawanan sejumlah artis. “Waktu itu kita sama-sama, ada Camelia Malik, Farouk Afero, Deddy Sutomo, Sys NS, masih banyak lagi, kita lagi protes sama Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia, red .). Kita WO ( walk out ) dari kongres (ke-11, 10 Mei 1993) satu rombongan. Itu zamannya Pak Ratno Timoer ketuanya,” sambungnya. GAN mengakomodir para anggotanya untuk tetap bisa berkarya. Mengutip Pikiran Rakyat , 28 Agustus 1994, jurusnya adalah dengan menelurkan lima paket program acara hiburan ke salah satu stasiun televisi swasta yang tengah berkembang di era itu, SCTV. Salah satu paket program itu adalah serial komedi mingguan Opera Sabun Colek . Serial itu mengangkat keempat aktris senior: Ida Kusumah, Connie Sutedja, Nani Wijaya, dan Rina Hasyim. Keempatnya dipromosikan dengan “kemasan baru” bernama Golden Girls. “Sys NS memang memerhatikan gerak-gerik kita, karakter kita, kenapa enggak dibikin Golden Girls ala Indonesia saja, seperti The Golden Girls di Amerika (Serikat),” kata Connie melanjutkan. Persahabatan mereka kian erat seiring mengudaranya Opera Sabun Colek pada 1994. Pintu rezeki turut terbuka kepada mereka sebagai bintang tamu beragam jenis acara besar, on - air maupun off-air, sampai sekarang. Sayang, Ida tak bisa lagi mengikuti sejak 2010 lantaran dipanggil Sang Pencipta. “Almarhumah Ida Kusumah orangnya baik sekali. Karena paling senior kalau bicara umur, dia mengayomi pada kita yang lebih muda. Kalau saya kan orangnya straight , to the point . Sementara dia orangnya bijak. Kalau saya lagi marah, dia diam dulu, tapi enggak lama kasih nasihat. Care sekali sama kita. Kalau diundang festival atau pesta, Ceu Ida selalu maunya berangkat bareng. Itu yang berkesan buat saya,” kenangnya. Connie Sutedja (kanan) dan Nani Wijaya saat mewakili Golden Girls sebagai undangan bersama Presiden B.J. Habibie di HUT TNI 5 Oktober 1999 di Cilangkap. (Dok. Connie Sutedja) Namun, bukan hanya Ida rekan di Golden Girls yang kepribadiannya dikenal Connie. Terhadap Nani Wijaya pun Connie sangat terkenang dengan perangainya. Nani itu orangnya manja. Kalau apa-apa suka enggak pede (percaya diri). Kalau mau ini-itu, dibilangnya: ‘Connie dulu deh . Kalau kenapa-kenapa kan Connie duluan’ hahaha …,” tuturnya sambil tertawa. Nani bukan orang baru buat Connie. “Sama Nani sudah lama jadi teman. Sama-sama ikut main di (film) Dibalik Tjahaja Gemerlapan ,” sambungnya. Perkenalan Connie dan Nani bermula dari tahun 1966, saat keduanya membintangi film garapan Mendiang Miscbach Yusa Biran, suami pertama Nani, itu.  Rineke Antoinette Hassim atau populer dengan Rina Hasyim juga bukan orang baru buat Connie. Keduanya main bareng dalam film Si Pitung (1970). Di Golden Girls, Rina personil termuda dan acap jadi korban senioritas ketiga sahabatnya. “Yang paling tua kan Ida, lalu Nani, saya, baru Rina. Orangnya suka disuruh-suruh. Kalau baju kita lecek, minta dia setrikain. Juga kalau minta tata rambut. Walau dia belum selesai, harus bantu kita dulu. Di sini berlaku senioritas hahaha …,” sambung Connie sambil tertawa lepas. Terlepas dari itu, Connie salut pada mentalitas istri sineas Chris Pattikawa itu. Meski di luar terlihat lembut, Rina punya mental dan nyali lebih tangguh. “Kepribadian Rina itu berani kalau ada apa-apa. Kayak laki-laki lah. Tapi orangnya lembut banget. Pernah pas bulan puasa saya lagi enggak ada pembantu, dia sering bantuin masak buat saya. Kalau pergi ke mana-mana juga sampai sekarang masih berani nyetir (mobil) sendiri. Kalau syuting FTV malam-malam, dia masih berani dan kuat berangkat sendiri,” tandas Connie.*

  • Investasi Bir Pemprov DKI Jakarta

    Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) PT Delta Djakarta, perusahaan minuman beralkohol, menetapkan pembagian dividen (laba untuk pemegang saham) sebesar Rp387,72 miliar pada 19 Juli 2019 mendatang. Tiap pemegang saham akan menerima dividen sesuai besaran persentase kepemilikan saham di PT. Delta Djakarta.   Kepemilikan saham terbesar PT Delta Djakarta berada di perusahaan San Miguel Corporation Pte. sebanyak 58,33 persen. Selanjutnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memegang saham sebanyak 26,25 persen. Sisa saham 15,42 persen adalah milik publik. Rilis pembagian dividen tersebut mengingatkan kembali rencana penjualan seluruh saham milik Pemprov DKI Jakarta di PT Delta Djakarta tahun lalu. Ternyata hingga hari ini Pemprov tak kunjung menjual sahamnya. Sekarang Pemprov DKI Jakarta justru menerima dividen Rp100,48 miliar. Padahal dividen tahun sebelumnya lebih kecil, yaitu Rp48,47 miliar. Pertambahan kenaikan dividen menandakan pertambahan persentase kepemilikan saham Pemprov DKI Jakarta. Bagaimana sebenarnya awal mula Pemprov DKI Jakarta mempunyai saham di PT. Delta Djakarta? Investasi Pemprov DKI Jakarta di perusahaan bir bermula pada dekade 1970-an. Masa ini mencatatkan diri sebagai masa arus deras modal dalam negeri dan asing di Jakarta. Sebagian arus modal itu mengalir ke industri pariwisata. “Di mana dengan terbukanya Indonesia untuk modal asing diperkirakan bahwa pariwisata adalah sebuah industri yang akan berkembang dan menjanjikan peningkatan pendapatan yang besar bagi Indonesia,” catat Dhaniel Dhakidae dalam “Industri Sex: Sebuah Tinjauan Sosio-Ekonomis,” termuat di Prisma , 5 Juni 1976. Penunjang Hiburan Malam Ali Sadikin, Gubernur Jakarta 1966—1977, menyambut masuknya modal asing di dunia pariwisata Jakarta. Dia juga mengupayakan hal serupa untuk modal dalam negeri. Tujuannya demi mengembangkan penerimaan daerah dari pajak pariwisata. “Mengingat pentingnya peranan pariwisata bukan hanya semata-mata sebagai objek rekreasi, tetapi juga memberikan posisi ekonomi dan kesempatan bekerja, maka saya berusaha untuk mengembangkan dan membina kepariwisataan di wilayah DKI Jakarta sebaik-baiknya,” kata Ali Sadikin dalam  Gita Jaya . Modal-modal itu antara lain menjelma dalam industri pariwisata hiburan malam. Bertumbuhlah kelab malam, diskotek, dan pub di Jakarta pada awal dekade 1970. Tempat-tempat ini tidak hanya menjual musik, tetapi juga menghidangkan minuman keras berupa bir. Perusahaan penyuplai bir di Jakarta masih sedikit, sedangkan pasar bir terus terbuka lebar. Celah ini bisa tertutup jika permintaan bir di Jakarta mencukupi. Dan Ali Sadikin melihat potensi besar pendapatan daerah dari menggarap bisnis bir. Salah satu perusahaan bir terkenal di Jakarta bernama PT. Budjana Djaja-Pabrik Bir Jakarta. Bir Anker jadi nama produknya. Perusahaan ini dulunya punya orang Eropa dan kerapkali berganti nama. Dari De Archipel Brouwerij di bawah orang Jerman, ke De Orange Brouwerij di tangan Belanda, sampai pada NV Bier Brouwerij de Drie Hoofijzers. Kemudian berganti nama lagi menjadi PT. Budjana Djaja ketika masa nasionalisasi perusahaan asing pada pertengahan dekade 1950-an. Selepas nasionalisasi, kinerja PT. Budjana Djaja justru menurun. Huru hara politik 1965 dan pergantian rezim ikut berpengaruh terhadap susutnya keuangan perusahaan. Gabung dengan Pemda Memasuki 1970-an, PT Budjana Djaja memperoleh tawaran joint venture dari Ali Sadikin. Joint Venture adalah satu dari dua konsep pengembangan perusahaan daerah ala Ali Sadikin untuk menyiasati aturan dalam UU No. 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah. Aturan termaksud mengharuskan bahwa apabila pemerintah daerah menghendaki kerja sama komersial dengan swasta, usaha tersebut harus berbentuk Perusahaan Daerah (PD). Joint Venture menekankan pada peleburan seluruh sistem perusahaan dengan modal swasta asing. Konsep lainnya berupa Joint Operation/Joint Production , yaitu penggabungan kegiatan operasi perusahaan dengan modal swasta nasional. Dua konsep ini tidak menjadikan perusahaan-perusahaan swasta itu sebagai Perusahaan Daerah (PD) sepenuhnya. Perusahaan akan tetap berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Para pemilik perusahaan swasta lebih menyukai dua konsep tersebut jika ada tawaran kerja sama dari pemerintah daerah. Mereka seringkali menolak berubah menjadi Perusahaan Daerah. “Karena dengan demikian segala sesuatunya diatur oleh Peraturan-Peraturan Daerah, bukan lagi dengan dasar ketentuan-ketentuan hukum dagang yang sehat,” ungkap Ali Sadikin dalam Gita Jaya . Konsep Ali Sadikin ini menerima persetujuan dari Menteri Kehakiman. Keluarnya izin ini cukup meyakinkan pemilik lama PT. Budjana Djaja untuk bekerja sama dengan pemerintah daerah. Penerimaan kerja sama dengan pemerintah daerah ditandai dengan pergantian nama perusahaan menjadi PT. Delta Djakarta pada 1970. Sejak menjalin kerja sama dengan pemerintah daerah, keuangan PT. Delta Djakarta terus membaik. Sebab perusahaan ini memperoleh kesempatan pemasaran lebih luas dan kemudahan penjualan produk dengan status bagian dari usaha pemerintah daerah. Dengan demikian, persentase pendapatan daerah dari penjualan bir juga terus meningkat. Selain itu, manajemen dan pencatatan keuangan perusahaan makin profesional dan rapi. Terbukti mereka berhasil masuk dalam Bursa Efek Jakarta pada 1984. Tanpa perbaikan manajemen dan pencatatan, sulit bagi suatu perusahaan untuk menjual sahamnya di BEJ. Sebab BEJ mensyaratkan sejumlah ketentuan ketat terkait manajemen dan pencatatan administrasi perusahaan. Dan melalui BEJ-lah modal baru berdatangan. Misalnya dari San Miguel Corporation, perusahaan bir multinasional Filipina, pada 1990-an.  Hingga sekarang PT Delta Djakarta menjadi salah satu contoh model kerja sama perusahaan daerah terbaik di Jakarta. Kinerjanya bagus dan labanya positif.

bottom of page