Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Hikayat Pelabuhan di Selatan Jawa
WILAYAH pantai utara telah sejak lama digunakan sebagai gerbang kegiatan dagang kerajaan-kerajaan di Jawa. Hampir sebagian besar jalur perdagangan laut di Nusantara melewati wilayah utara Jawa. Misal Cirebon, Pekalongan, Tegal, Batavia, Semarang, dan Surabaya. Maka tidak heran jika terjadi perkembangan yang amat pesat di wilayah tersebut. Keadaan itu sangat terbalik dengan wilayah pantai selatan Jawa. Di wilayah tersebut cukup kesulitan membangun sebuah kota pelabuhan. Salah satu faktor penghambatnya adalah ombak ganas Samudera Hindia yang membuat kapal-kapal sulit untuk berlabuh. Namun hambatan itu tidak berlaku bagi CIlacap. Kota pelabuhan yang masuk dalam wilayah Karesidenan Banyumas itu dilindungi oleh pulau Nusakambangan. Dengan lebar 6 kilometer dan panjang 40 kilometer, pulau tersebut melindungi pelabuhan dari terjangan ombak Samudera Hindia. “Ditambah dengan kedalamannya perairan di sekitar dermaga, Cilacap dikenal sebagai pelabuhan alam yang baik bagi perahu dan kapal besar berlabuh,” tulis Susanto Zuhdi dalam Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di Jawa. Selain Cilacap, aktivitas dagang di selatan Jawa dilakukan di pelabuhan Prigi, Panggul, Pacitan, Cilaut Eureun dan Pelabuhan Ratu ( Wijnkoopsbaai ). Tetapi kegiatan pelayaran di sana tidak seramai di pantai utara. Bahkan jenis komoditas yang diperjualbelikan pun tidak dalam jumlah besar. Kegiatan yang umum dilakukan di pelabuhan pantai selatan adalah perdagangan ikan asin, garam, dan terasi. Para pedagang yang datang pun berasal dari pulau-pulau sekitar. Sehingga sangat jarang ditemukan kapal-kapal besar bersandar di dermaga. Menurut Susanto, di antara pelabuhan-pelabuhan di selatan, Cilacap menjadi satu-satunya yang mendapat perhatian paling besar dari pemerintah kolonial. Posisinya yang dianggap paling strategis, membuat pemerintah melakukan pembangunan besar-besaran di sana. Membangun Potensi Setelah berhasil menancapkan pengaruhnya di Banyumas pada 1831, pemerintah Hindia Belanda segera mengalihkan perhatiannya pada pembangunan pantai selatan Jawa. Mereka melihat potensi yang besar di pelabuhan Cilacap untuk kegiatan pelayaran. Pemerintah Hindia Belanda lebih memilih membangun selatan Jawa dibandingkan utara Jawa karena persoalan waktu. Banyak produk dari pedalaman yang lebih cepat didistribusikan melalui pantai selatan. Dan Cilacap dianggap memiliki kondisi alam yang paling sesuai. Dalam tesisnya Transportasi dan Ekonomi di Karesidenan Banyumas tahun 1830-1940 , Purnawan Basundoro menjelaskan bahwa kekuatan terbesar Cilacap sebagai pelabuhan dagang berada pada transportasi sungainya. Dengan memanfaatkan aliran sungai Serayu dan Kaliyasa, pemerintah mendistribusikan langsung komoditi dagangnya ke pelabuhan Cilacap. “Serayu merupakan sungai terpanjang yang dapat dilayari ke pedalaman. Dari ibukota Banyumas ke utara sungai dapat dilayari sepanjang 24 kilometer, sedangkan ke selatan sepanjang 40 kilometer sampai ke laut,” tulis Susanto. Walau belum resmi, kegiatan ekspor di pelabuhan Cilacap telah terlihat sejak 1832, menyusul diberlakukannya c ultuurstelsel (sistem tanam paksa) oleh pemerintah Hindia Belanda. Kopi dan tembakau menjadi komoditi utama ekspor di pelabuhan Cilacap. Sementara kegiatan bongkar muat dari Eropa masih terbatas pada barang-barang tekstil, seperti kain beludru, dan wol. Bukti perhatian pemerintah Hindia Belanda terhadap kemajuan pelabuhan Cilacap adalah dengan dibangunnya kanal. Hal itu dilakukan untuk memperlancar pendistribusian barang dari sungai Serayu ke pelabuhan akibat jalurnya yang terlalu kecil. Namun pembangunan kanal itu mengalami banyak kendala. Teknologi yang masih sederhana, ditambah tidak adanya keterlibatan arsitek Eropa membuat mereka kesulitan membangunnya. Kendala yang sering terjadi adalah air tidak mengalir dan permukaan air yang tiba-tiba turun. Menjadi Kuat Melalui besluit (Surat Keputusan) No.1 tahun 1847, pemerintah secara resmi membuka pelabuhan Cilacap. Namun komoditi perdagangan di sana masih terbatas pada barang-barang yang dibutuhkan oleh pemerintah saja. Aktivitasnya pun belum terlalu banyak berubah dari sebelum diresmikan, yakni lebih banyak pada kegiatan ekspor. Pemerintah Hindia Belanda terus meningkatkan pembangunan wilayah pantai selatan Jawa. Mereka bertekad untuk membuka gerbang perdagangan yang besar di sana. “Pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk meningkatkan status Cilacap menjadi onder afdeling bersamaan dengan ditingkatkannya pembangunan pelabuhan Cilacap” kata Sukarto Kartoatmojo dalam Hari Jadi Kabupaten Daerah Tingkat II Cilacap. Selama kurun waktu 12 tahun, terhitung sejak pembukaan resminya, pemerintah berkomitmen untuk membuka pelabuhan Cilacap sebagai jalur perdagangan besar dan pelayaran bebas. Artinya, jenis barang dan aktivitas ekonomi tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi juga pihak swasta. Keinginan kuat pemerintah itu diperlihatkan dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie no.56 tahun 1858 dan Staatsblad van Nederlandsch-Indie no.7 tahun 1859. Di sana mereka menulis rencana pembangunan 16 pelabuhan di sepanjang Jawa dan pantai barat Sumatera. Tetapi bukan perkara mudah mewujudkannya. Susanto menyebut rencana itu mendapat banyak pertentangan dari dewan pusat di Belanda. Akhirnya melalui sidang afdeling ketiga di Eerste Kamer, pemerintah pusat memutuskan hanya membuka 3 pelabuhan (Cilacap, Cirebon, dan Pasuruan) sebagai pelabuhan besar untuk kegiatan ekspor-impor. Sedangkan 13 pelabuhan lainnya hanya menerima aktivitas ekspor saja. Peningkatan aktivitas ekonomi di pelabuhan Cilacap nyatanya telah membawa kemakmuran bagi daerah sekitarnya. Pembangunan berkelanjutan terus dilakukan oleh pemerintah. Banyak sarana dan prasarana di sekitar pelabuhan yang dibuat. “Bagi penduduk sendiri hal itu mendorong kegiatan pembukaan areal tanah subur yang belum digarap,” kata Susanto.*
- Asal Usul Nama Kampung Bali
Sebuah video viral memperlihatkan sejumlah anggota Brigadir Mobil (Brimob) mengeroyok seorang lelaki di samping Masjid Al-Huda, Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada 22 Mei 2019. Judul video menyebut lelaki itu berusia belasan tahun dan kemudian tewas. Tetapi kepolisian menyatakan lelaki tersebut pria dewasa dan masih hidup. Lelaki itu salah satu tersangka kerusuhan 21-22 Mei di kawasan Tanah Abang. Dia lari masuk ke Kampung Bali ketika polisi berusaha membubarkan perusuh. Kampung Bali termasuk salah satu kelurahan di Tanah Abang. Kelurahan ini memiliki banyak nama gang serupa: Kampung Bali. Pembedanya berdasarkan nomor. Dari nomor satu sampai tiga puluhan. Asal usul nama Kampung Bali di kawasan Tanah Abang mempunyai dua versi. Versi pertama menyebut nama Kampung Bali berasal dari identitas penduduk sebermula di wilayah itu. “Adapun nama Kampung Bali disebut demikian karena dahulunya banyak orang-orang Bali yang tinggal di sana,” catat buku Kampung Tua di Jakarta terbitan Dinas Museum dan Sejarah Provinsi DKI Jakarta. Terdapat di Tiga Tempat Keberadaan orang Bali di sini bermula dari kebijakan Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur), mendatangkan orang-orang baru ke kota Batavia pada paruh pertama abad ke-17. Coen melakukannya setelah menghancurkan Jayakarta, nama lama Batavia. “Penghuninya melarikan diri meninggalkan wilayah ini,” tulis Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Orang-orang baru di Batavia berasal dari Bali, Ambon, Banda, Ternate, Jawa, Makassar, Mandar, Sumbawa, dan Tionghoa dari Banten. Coen menempatkan mereka di luar tembok kota atau kastil Batavia. Sebab wilayah di dalam tembok kota hanya untuk penduduk Eropa. Di luar tembok kota, Coen menempatkan kelompok anak negeri berdasarkan asal wilayahnya. “Sebab itu hingga kini bisa ditemukan sejumlah kawasan tempat tinggal yang mengacu pada nama kelompok-kelompok etnis seperti Kampung Ambon, Makassar, Bandan, Bali, Pekojan, Manggarai, dan Melayu,” tulis Siswantari dalam Kedudukan dan Peran Bek dalam Pemerintahan Serta Masyarakat Jakarta , tesis pada Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Indonesia. Adolf Heuken dalam Historical Sites of Jakarta mengungkap status sosial orang Bali di Batavia. “Sebagian mereka dijual sebagai budak oleh raja-raja di sana, sebilangan lainnya merupakan serdadu bayaran yang memiliki tombak dan ditakuti di India dan Persia,” tulis Heuken. Jumlah orang Bali di Batavia cukup banyak. “Dari sebab itu nama Kampung Bali terdapat di pelbagai tempat,” tulis Soekanto dalam Dari Djakarta ke Djakarta: Sedjarah Ibu-kota Kita . Mereka mendiami tiga wilayah berbeda di Batavia. Sekarang wilayah itu berada di Angke (Jakarta Barat), Jatinegara (Jakarta Timur), dan Tanah Abang (Jakarta Pusat). Tapi versi pertama asal usul nama Kampung Bali dari identitas penduduknya dibantah oleh Mathar Kamal, penggiat sejarah dan budaya Tanah Abang. “Tidak ada kaitannya sama sekali,” kata Mathar. Menurutnya, toponim suatu tempat harus dicari lebih dulu dalam alam flora. “Jika ini tak ditemui, kita bisa melihat unsur geometri dan kontur tanah. Jika tak ada juga, maka harus lebih dulu mencari makna tempat tersebut dalam bahasa Kawi, Melayu, Polinesia Purba, Mesir, dan Ibrani,” kata Mathar. Dia meyakini bahasa-bahasa tersebut mempunyai alas dalam peradaban Jakarta dan pada gilirannya membentuk pula bahasa Betawi. Geometri Kampung Berdasarkan rumus tersebut, Mathar mengajukan versi kedua asal usul nama Kampung Bali. Dia mengikuti pendapat Ridwan Saidi tentang asal usul nama Kampung Bali. Menurut mereka, nama Kampung Bali muncul dari geometri wilayah tersebut. “Pandanglah Kampung Bali dari titik Tenabang Bukit, akan terlihat geometri kampung itu yang melingkar-lingkar,” tulis Ridwan Saidi dalam Jakarta dari Majakatera hingga VOC . Ridwan juga menambahkan bahwa kata Bali berasal dari bahasa Mesir, artinya memutar atau melingkar. Terlepas dari dua versi berbeda tersebut, Kampung Bali di tiga tempat berbeda di Jakarta nyaris tidak meninggalkan sama sekali keturunan orang Bali. Mereka juga berkembang nyaris serupa. Mereka tidak lagi berbentuk kampung, melainkan telah menjadi wilayah kota. Kampung itu berdempetan dengan pusat bisnis, jasa, perkantoran, pasar, dan keramaian lalu lintas. Tapi sebuah cap khusus pernah menimpa Kampung Bali di Tanah Abang. Kampung ini sempat terkenal sebagai wilayah peredaran narkoba selama hampir satu dekade pada 1995-2005. Melalui beragam kampanye dan aksi melawan narkoba, Kampung Bali di Tanah Abang mulai lepas dari cap lembah hitam narkoba. Sekarang Kampung Bali menjadi salah satu wilayah padat dan beragam penduduk di Tanah Abang.
- Islamisasi ala Sunan Gunung Jati
SETIAP malam Jumat Kliwon aktivitas tidak biasa kerap terlihat di Gunung Sembung, Cirebon Utara: warga berbondong-bondong datang ke Kompleks Makam Astana Gunung Jati untuk berziarah sambil berzikir di masjid Sang Saka Ratu. Tidak sedikit dari mereka yang memanfaatkan waktu tersebut untuk mengambil air dari tujuh sumur yang tersebar di sekitar kompleks. Namun ada pula yang memilih berdiam di area makam para tokoh pendiri Cirebon yang dimakamkan di sana, salah satunya Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati, atau dikenal juga sebagai Syarif Hidayatullah adalah tokoh penegak Islam pertama di Tatar Sunda. Ia dibesarkan dan dididik di tanah Arab. Mengenal Islam dari tokoh-tokoh besar di Mekah dan Baghdad, membuat pengetahuan Islam Syarif Hidayatullah sangat mumpuni untuk disebarkan kepada masyarakat. “Setelah kembali ke Mesir, Syarif Hidayatullah memutuskan untuk menyebarkan Islam di Pulau Jawa yang masih Hindu,” tulis Bambang Setia Budi dalam Masjid Kuno Cirebon . Diceritakan dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari , Syarif Hidayatullah tiba di Cirebon pada 1475, setelah sebelumnya singgah di Samudera Pasai, Banten, dan Jawa Timur. Ia datang bersama para pedagang Arab yang singgah di pelabuhan Muara Jati. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya ke Desa Pasambangan. Di tempat itu Syarif Hidayatullah mulai mengajarkan agama Islam. Ia dengan cepat diterima oleh masyarakat, walau pada saat itu masih dianggap orang asing (Arab). Setelah beberapa tahun tinggal di sana, Syarif Hidayatullah berhasil mengislamkan penduduk yang mayoritas beragama Hindu. Kedudukan Syarif Hidayatullah dalam menyebarkan Islam semakin kuat setelah menikahi gadis-gadis lokal. Dalam Ensiklopedi Sunda: Alam, Manusia, dan Budaya , Ajip Rosidi menulis bahwa Syarif Hidayatullah menikah sebanyak 6 kali, yakni: (1) Nyai Pakungwati, putri Pangeran Cakrabuwana; (2) Nyai Babadan, putri Ki Gedeng Babadan; (3) Nyai Kawung Anten, adik bupati Banten; (4) Syarifah Baghdadi, adik Pangeran Panjunan; (5) Ong Tien Nio, putri keturunan Cina; dan (6) Nyai Tepasari, putri Ki Gedeng Tepasari dari Majapahit. “Setelah beberapa lama bergaul dengan masyarakat, ia mendapat sebutan Syekh Maulana Jati,” kata Bambang. Pada 1479, sepulang berdakwah di Banten, Pangeran Cakrabuwana menyerahkan takhta kekuasaan Cirebon kepada Syarif Hidayatullah. Ia mendapat gelar Tumenggung Syarif Hidayatullah bin Maulana Sultan Muhammad Syarif Abdullah . Pangeran Sulaeman Sulendraningrat dalam Babad Tanah Sunda: Babad Cirebon menyebut para wali di Jawa menetapkan Syarif Hidayatullah sebagai Panetep Panatagama Rasul di tanah Sunda. Sebutan lainnya Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan Jati Purba Panetep Panatagama Awlya Allah Kutubid Jaman Khalifatur Rasulullah SAW . Setelah memangku jabatan penguasa Cirebon, Syarif Hidayatullah segera memutuskan untuk melepaskan diri dari Kerajaan Sunda. Ia menolak memberikan kewajiban upeti, berupa garam dan terasi, kepada Sri Baduga Maharaja. Mengetahui hal itu, raja Sunda murka. Ia kemudian mengirim Tumenggung Jagabaya dan bala tentaranya untuk mendesak Cirebon. “Setelah tiba di Cirebon, Tumenggung Jagabaya beserta pasukannya justru beralih agama menjadi Islam. Mereka menetap di Cirebon dan mengabdi kepada Syarif Hidayatullah,” tulis A. Sobana Hardjasaputra dalam Cirebon dalam Lima Zaman: Abad ke-15 hingga Pertengahan Abad ke-20. Peristiwa pengkhianatan pasukannya membuat Sri Baduga Maharaja berencana menyerang habis-habisan Cirebon. Tetapi berhasil dicegah oleh purohita (pendeta tertinggi keraton). Sobana menyebut Syarif Hidyatullah, sebagai Wali Sanga, telah berulangkali meminta raja Sunda untuk memeluk Islam. Namun selalu gagal. Sejak berhenti memberikan upeti itulah Cirebon menjadi kerajaan Islam yang merdeka dan otonom. Penetapan berdirinya kesultanan pun tercatat pada tanggal 12 Sukla Cetramasa 1404 Saka atau 1482 Masehi. Sebagai kepala negara sekaligus kepala agama (wali), Syarif Hidayatullah berperan penting dalam perluasan kekuasaan politik dan agama Islam di wilayah Cirebon. Salah satu jalan dakwah yang menjadi prioritasnya adalah pembangunan sarana ibadah di seluruh wilayah kekuasaannya. Syarif Hidayatullah mempelopori pembangunan masjid agung Sang Cipta Rasa (1489) sebagai pusat dakwah. Letak masjid berada di samping kiri keraton dan sebelah barat alun-alun. Dalam Babad Cirebon disebutkan pembangunan masjid melibatkan Raden Sepat, mantan arsitek Majapahit. Ia juga dibantu oleh Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Selama masa awal pemerintahannya, Syarif Hidayatullah membangun banyak sarana dan prasarana kerajaan. Seperti sarana transportasi penunjang pelabuhan dan sungai, serta memperluas area jalan di beberapa tempat. Hal itu dilakukan untuk mempermudah penyebaran agama Islam di wilayahnya. “Salah satu kearifan Sunan Gunung Jati adalah dalam pemberlakuan pajak. Jumlah, jenis, dan besarnya disederhanakan sehingga tidak memberatkan rakyat serta digunakan dengan semestinya,” tulis Sobana. Syarif Hidayatullah memprioritaskan pengembangan Islam dengan mendirikan masjid-masjid di seluruh wilayah Cirebon. Setelah itu, ia melanjutkannya dengan pembangunan spiritual masyarakat. Sejalan dengan hal itu, wilayah kekuasaan Cirebon pun semakin luas dengan diperkenalkannya ajaran-ajaran Syarif Hidayatullah oleh para muridnya. Kegiatan dakwah Syarif Hidayatullah di luar Cirebon mencakup daerah Sumedanglarang, daerah Ukur Cibaliung di Kabupaten Bandung, Batulayang, daerah Pasir Luhur, hingga Garut. Syarif Hidayatullah menggunakan pendekatan sosial budaya dalam proses dakwahnya, sehingga ajarannya dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat. "Dalam berdakwah, Sunan Gunung Jati juga memanfaatkan pengetahuan masyarakat tentang unsur-unsur legenda dan mitos," tulis Sobana. Pada 1568, Syarif Hidayatullah meninggal dunia. Ia dimakamkan di Astana Gunung Sembung. Syarif Hidayatullah tampil sebagai kepala pemerintahan Cirebon selama kurang lebih 89 tahun, dan berhasil mengislamkan hampir seluruh wilayah kekuasaannya.
- Putri Sunda Penyebab Perang Bubat
Prabu Maharaja sudah tujuh tahun menjadi raja. Dia terkena muslihat, mendapat bencana akibat putrinya yang bernama Tohaan akan menikah. Terlalu besar kemauan sang anak. Dalam rangka pernikahannya, banyak orang yang berangkat mengantarkan ke Jawa. Sebabnya, sang putri tak mau punya suami orang Sunda. Maka terjadilah perang di Majapahit. Demikianlah penyebab Perang Bubat dalam Carita Parahyangan, sumber tertulis dari masa Sunda Kuno. Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada, Biografi Politik , kisah dalam naskah itu merujuk kepada peristiwa di Bubat, yang menurut Pararaton terjadi pada 1279 Saka atau 1357 M. Ceritanya tak dituturkan secara rinci. “Bagi masyarakat Sunda Kuno Perang Bubat pastinya merupakan peristiwa yang menyedihkan,” kata Agus. Menariknya, Carita Parahyangan punya sudut pandang yang berbeda dari sumber lainnya. Naskah itu justru menyalahkan Putri Sunda yang dijuluki Tohaan atau “yang dihormati”. Sang putri dikisahkan memiliki keinginan terlalu besar karena tak mau menikah dengan orang Sunda. Dia lebih memilih menikah dengan raja besar Majapahit, Hayam Wuruk. “Dia pun disebut menta gede pameulina , atau terlalu besar keinginannya. Akibatnya, ayahandanya rela mengantarnya hingga ke Majapahit,” kata Agus. Kendati berbeda nama, Agus meyakini Tohaan yang dimaksud dalam kisah itu pastilah Putri Sunda. Dia bunuh diri di Bubat setelah kematian ayahnya. Dibandingkan kisah itu, sumber lain yang lebih banyak diacu, seperti Pararaton, Kidung Sundayana, dan Kidung Sunda , menyatakan tragedi di Bubat disebabkan ambisi Gajah Mada yang ingin menaklukkan Sunda di bawah panji Majapahit. Kebetulan, orang nomor satu dari Kerajaan Sunda telah hadir ke wilayah Majapahit. Maka tinggal ditekan agar mau mengikuti keinginan sang patih. Namun, recananya tak berjalan. Orang-orang Sunda menolaknya mentah-mentah. Mereka tak mau membawa putri ke hadapan Hayam Wuruk. “Kedatangan mereka bukan untuk menyerahkan putri sebagai tanda takluk, namun mengantarkan putri untuk menikah dengan Hayam Wuruk,” kata Agus. Suasana bertambah tegang. Puncaknya pertempuran berdarah di Lapangan Bubat. Permaisuri, para istri pejabat, juga sang putri yang akan dinikahkan dengan Hayam Wuruk, memilih bunuh diri. Dalam Pararaton , penuturannya dapat ditafsirkan Raja Sunda hendak menuruti keinginan Gajah Mada untuk menyerahkan putrinya langsung ke istana Majapahit. “Mungkin ini dikarenakan keinginan sang putri yang menurut Carita Parahyangan terlalu besar keinginannya,” kata Agus. Namun, para bangsawan dan ksatria Sunda yang mengiringi kepergian keluarga raja ke Majapahit menolak tegas. Mereka gugur di Bubat demi mempertahankan kehormatan Sunda yang memang tak layak mempersembahkan putri sebagai tanda takluk. “Dalam hal ini, Gajah Mada memanfaatkan emosi Raja Sunda,” kata Agus. Lalu apakah peristiwa di Bubat ini benar-benar terjadi atau hanya sekadar sisipan dari penyalin Pararaton, atau malahan tambahan orang Belanda pertama yang meneliti kitab itu atau alasan-alasan lainnya? Agus menjawab, banyak ahli sejarah yang menolak terjadinya Peristiwa Bubat. Padahal peristiwa ini diuraikan dengan gamblang dalam Pararaton. Peristiwa Bubat menjadi satu segmen di Kitab Pararaton . Kitab ini juga yang memerikan kehidupan Ken Angrok dan para raja Singhasari dan Majapahit. Uraiannya telah diamini oleh para ahli sejarah kuno. Sebaliknya, banyak pula yang berpendapat kalau kejadian ini tak perlu diingkari. “Jika hendak mempercayai berita Pararaton, mestinya semua bagiannya ikut pula dipercayai, jangan sepotong-sepotong. Kisah Ken Angrok yang penuh mistis dipercaya, sedangkan Pasundan-Bubat tidak, maka ini mengherankan,” kata Agus.
- FPI Ditarget Sniper
Pada 19 Februari 2006, massa Front Pembela Islam(FPI)berdemonstrasi di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Mereka memprotes visualisasi Nabi Muhammad Saw. di gedung Mahkamah Agung AS. Menurut selebaran yang dibagikan pendemo, patung buatan tahun 1835 itu sudah sering diprotes kaum muslim di seluruh dunia. Selain patung Nabi Muhammad, juga ada visualisasi Nabi Muda dan Confusius. Tempo.co melaporkan demonstrasi yang berlangsung sekitar satu jam itu diwarnai perusakan kaca dan pagar kedutaan. Mereka juga melempari gedung kedutaan dengan batu dan telur busuk. Kerusakan meliputi pagar pembatas antrean, kaca jendela ruang tempat menerima tahu pecah, dan meja yang biasa digunakan satpam untuk menerima tamu digulingkan. Massa juga membakar bendera dan gambar Presiden AS George W. Bush. Mereka beraksi tanpa menyadari bahwa sniper marinir AS mengintai dari atas gedung siap menembak. Pihak Kedubes AS kemudian menghubungi Yahya Assegaf, agen Badan Intelijen Negara (BIN). Mereka menanyakan apakah FPI bagian dari Alqaeda Indonesia. “Mereka juga mengatakan kepada saya bahwa marinir Amerika Serikat yang bersiaga di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta siap menembak FPI jika akhirnya memaksa masuk ke gedung kedutaan,” kata Yahya Assegaf dalam John Sakava: Lika-Liku Perjalanan Mantan Staf Khusus Kepala BIN . John Sakava adalah nama alias Yahya Assegaf, agen intelijen keturunan Yaman-Jawa. Yahya menjawab pertanyaan dari pihak Kedubes AS itu: “saya bisa pastikan seratus persen bahwa organisasi itu sama sekali tidak punya afiliasi apa pun dengan Alqaeda, sebaliknya percayalah pada saya, FPI aman di tangan polisi karena mereka mitra polisi.” Dengan posisi FPI seperti itu, Yahya yakin mereka tidak mungkin sampai merusak atau mengancam Kedubes AS atau simbol dan aset AS di Indonesia. Kendati pada demonstrasi besar FPI di depan Kedubes AS di Jakarta, massa beringas dan seakan akan merangsek masuk ke gedung kedutaan, sampai-sampai marinir AS bersiap menembak di atap gedung kompleks Kedutaan AS. Anjing Penyerang Apa yang disampaikan Yahya kepada pihak Kedubes AS kemudian muncul dalam laporan intelijen yang dibocorkan WikiLeaks pada September 2011. Dalam laporan itu disebut FPI menerima aliran dana dari kepolisian. WikiLeaks juga menyebut Yahya sebagai sumber yang memberitahu Kedubes AS di Jakarta bahwa polisi memanfaatkan FPI sebagai “anjing penyerang”. FPI marah dan mengeluarkan selebaran yang menyebut Yahya pengkhianat negara sekaligus agen CIA yang menyusup ke BIN. Dia juga dituduh sebagai anggota BIN yang menjual informasi palsu ke AS. Sementara itu Polri juga membantah semua hal yang disebut WikiLeaks bahwa beberapa pejabatnya sengaja melindungi dan memelihara FPI. Seorang perwira Polri mengatakan bahwa apa yang dilakukan Polri sehingga dianggap publik dekat dengan FPI adalah demi meminimalisasi kasus-kasus kekerasan yang berhubungan dengan FPI. “Masyarakat sudah cerdas. FPI merupakan ormas yang berkembang di masyarakat. Polri institusi negara hubungannya sebagai mitra yang sifatnya positif untuk kepentingan bangsa,” katanya. Yahya mengakui telah memberikan jawaban atas pertanyaan pihak Kedubes AS apakah FPI ada kaitannya dengan Alqaeda. Menurutnya FPI tidak ada kaitannya dengan jaringan teroris manapun, termasuk Alqaeda. “Mengenai istilah ‘anjing penyerang’, itu sama sekali bukan dari mulut saya,” kata Yahya. “Saya memang tidak bersepakat dengan cara dan metode kerja FPI, namun saya tidak mungkin sebodoh itu mengucapkan kalimat itu.” Yahya yakin istilah itu adalah penafsiran orang Kedubes AS yang mendapatkan informasi tidak hanya darinya, namun juga dari orang lain. Perkataan Yahya yang ditafsirkan orang Kedubes AS mungkin bagian “FPI aman di tangan polisi karena mereka mitra polisi.” Dan “FPI mitra polisi” terlihat dalam aksi 22 Mei 2019. “Ini (massa) bukan dari Jakarta, bukan Petamburan. Kami juga tadi dibantu tokoh FPI dan ulama menghalau mereka,” kata Komisaris Besar Hengki Haryadi, Kapolres Metro Jakarta Barat, dikutip kompas.com . Massa itu yang diamankan berasal dari Tasikmalaya, Banten, bahkan Flores. Namun, masyarakat tetap banyak yang tak suka FPI karena aksi-aksinya meresahkan.
- Pemberontakan Terhadap Raja Majapahit
SEMENJAK Jayanagara naik takhta, Majapahit sulit mendapat ketenangan. Pemberontakan silih berganti menggugat pemerintahan yang ketika itu tengah berlangsung. Satu-satunya yang bisa membuat raja bertahan di singgasana mungkin hanyalah sikap pemberani dan keahlian dalam strategi perang. Hal ini dikatakan sejarawan mantan Duta Besar Kanada di Indonesia, Earl Drake dalam Gayatri Rajapatni. Jayanagara menikmati berada di tengah prajuritnya dan di medan tempur. Beberapa kali dia terjun langsung menumpas pemberontakan. “Menurut beberapa sumber, terjadi sebanyak dua belas kali pemberontakan, meski jumlah sesungguhnya sulit dipastikan,” jelas Drake. Di awal pemerintahannya, dia sudah harus melawan Nambi, rakryan mapatih kepercayaan raja terdahulu, Wijaya. Dua tahun kemudian, pada 1318 M, muncul lagi pemberontakan Semi. “Masa-masa kacau penuh pemberontakan dan pertumpahan darah ini disusul oleh letusan besar Gunung Kelud yang memakan banyak korban jiwa. Di mata banyak orang, para dewa sedang murka,” ujar Drake. Mulai saat itu sejumlah bangsawan diam-diam bertanya mengapa mereka harus terus setia pada raja yang tak punya tujuan lain kecuali menumpuk kekuasaan pribadi. Berbeda dari Wijaya, raja baru ini tampaknya sama sekali tak peduli dengan aspirasi dan kebutuhan rakyat. Jayanagara menanggapi kemelut yang terjadi dengan membentuk Pengawal Elit Istana. Pasukan Bhayangkara ini bertugas melindunginya setiap saat. “Prioritas raja berbeda-beda selama masa hidup mereka, Raja Kertanegara mengirimkan nyaris seluruh pasukannya untuk membantu sekutu jauhnya, sekalipun pasukan paling tangguh se-Asia Tengah tengah mengancam,” jelas Drake. Kebijakan baru Jayanagara membentuk pengawal elit pun disusul konsekuensi. Nama Gajah Mada muncul ke tengah-tengah perpolitikan Majapahit. Dia mulai menonjol setelah menyelamatkan raja dalam pemberontakan Kuti, yang meletus setahun usai urusan dengan Semi rampung. Gajah Mada juga yang bakal menentukan nasib tragis sang prabu di kemudian hari. Drake adalah salah satu sejarawan yang percaya kalau Gajah Mada, dengan desakan halus Gayatri, andil dalam kematian Jayanagara. Menurutnya Gayatri, istri Wijaya, ibu Tribhuwana Tunggadewi sekaligus nenek Hayam Wuruk, sudah sejak awal menilai Jayanagara akan menjadi raja yang cacat moral. Anak tirinya itu dianggap tak akan melanjutkan cita-cita Majapahit sebagaimana telah dimulai oleh ayahnya, Kertanegara dan suaminya. “Jelas raja yang sekarang menjabat memang gandrung akan pertumpahan darah dan mengabaikan masalah-masalah ekonomi,” pikir Drake mengenai putra tiri Gayatri itu. Puncaknya adalah ketika Gayatri mengetahui niat Jayanagara terhadap kedua putrinya, Tribhuwana Tunggadewi dan Bhre Daha. Sang raja melarang kedua saudari tirinya itu kawin karena akan diperistri sendiri. Akibatnya, catat Pararaton , tak ada ksatria yang diizinkan datang ke Majapahit. Jika nampak, mereka dibunuh. Sang prabu khawatir mereka menginginkan adik-adiknya. Para ksatria pun menyembunyikan diri. “Rencana busuk ini dirancang agar anak-anak Gayatri tak bisa menikmati perkawinan normal karena raja takut mereka akan menghasilkan pewaris takhta yang waras,” catat Drake. Emosi Gayatri meluap. Dia mengadu pada Gajah Mada. Gajah Mada pun bersiasat. Dia mendekati Tanca, sahabat Kuti yang dihabisi Jayanagara. Tanca termasuk orang dalam yang dekat dengan raja. Kendati begitu Gajah Mada berharap Tanca menyimpan dendam pada sang prabu. Kesempatan datang ketika Jayanagara sakit bengkak. Tanca diantar ke kamar raja untuk menyembuhkannya. Tanca baru berhasil membedah setelah raja melepaskan jimatnya. “Tak lama Tanca merasa terbakar napsunya oleh berita dari Gajah Mada bahwa istri Tanca digoda raja. Lalu Tanca menikam sang prabu. Raja mati di kamar tidurnya. Tanca pun tewas ditikam balik Gajah Mada,” catat Pararaton. Menurut Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama , Gajah Mada tak suka pada sikap Jayanagara. Dia menggunakan Tanca untuk memusnahkan sang prabu. Untuk menyamarkan perbuatannya, dia segera membunuh Tanca. “Demikianlah rahasia itu tertutup. Orang ramai hanya tahu Gajah Mada membalaskan kematian sang prabu dan menusuk Tanca sampai mati,” catat Slamet Muljana. Jayanagara mungkin bukan raja favorit rakyat Majapahit. Slamet Muljana menyebut sejumlah pemberontakan pada masa pemerintahannya karena tidak puas dengan penobatan Jayanagara menggantikan ayahnya, Wijaya, pada 1309. Pemberontakan Semi dan Kuti pada 1240 Saka (1318 M) dan 1241 Saka (1319 M) dinilai salah satu wujud dari antipati itu. Padahal, Semi dan Kuti merupakan bagian dari tujuh orang dharmaputra yang dibentuk ketika Kertarajasa Jayawardhana atau Wijaya berkuasa. Pararaton memberitakan, maksud dharmaputra ialah pangalasan wineh suka atau pegawai yang diistimewakan. Selain mereka berdua, ada Pangsa, Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca, dan Ra Banyak. Julukan Kala Gemet yang diberikan rakyat padanya pun menyiratkan hal sama. Setidaknya pengarang Kidung Ranggalawe dan Pararaton memberitakan hal yang serupa soal julukan ini. Dalam Menuju Puncak Kemegahan , Slamet Muljana menjelaskan kata kala berarti penjahat yang mengandung arti ketidaksukaan rakyat atau para pengarang terhadap Jayanagara. “Antipati itu mungkin disebabkan kelakuan tak senonohnya terhadap dua putri keturunan Gayatri,” tulisnya. Sementara kata Gemet adalah bentuk yang berubah dari kata genet dan gamut yang artinya lemah. Pararaton menyebut Jayanagara banyak menderita sakit. “Demikianlah Kala Gemet adalah nama paraben yang mengandung arti ‘penjahat yang lemah’,” lanjut Slamet. Peristiwa Tanca mengakibatkan tewasnya Raja Jayanagara. Baik Pararaton maupun Nagarakrtagama mencatat kematian Jayanagara pada 1250 saka (1328 M).*
- Lika-liku Perumusan Kamus Ternama Dunia
SUDAH dua dekade kebuntuan menghinggapi para akademisi Delegasi Agung Oxford University Press dalam menyusun kamus besar bahasa Inggris baru. Hingga akhirnya, mereka bertemu filolog Skotlandia James Augustus Henry Murray (diperankan Mel Gibson) yang mulanya dipandang sebelah mata lantaran tak punya ijazah sarjana, pada suatu pagi tahun 1878. “Kita, delegasi terhormat Oxford meski sudah mengerahkan sepasukan akademisi termasuk saya, hanya jalan di tempat selama 20 tahun. Bisa disebut kita mengalami kemunduran. Perkembangan bahasa bergulir lebih cepat dari usaha kita, terlebih bahasa kita (bahasa Inggris) sudah hadir di seluruh penjuru dunia. Karenanya saya rasa Tuan Murray adalah solusi yang inkonvensional dan tepat bagi kita,” tutur Frederick James Furnivall (Steve Coogan) membela kompetensi Murray. Memang, Murray tak memenuhi standar kualifikasi akademik. Saat masih berusia 14 tahun pun Murray sudah putus sekolah. Namun ia tekun belajar sastra dan ilmu bahasa secara otodidak. Di hadapan para delegasi Oxford, Murray sebelum mengajar mengklaim fasih beragam bahasa: Prancis, Spanyol, Katalan, Latin, Portugis, Voudois, Jerman, Denmark, Belanda, Italia, Aramaik, Arab, Koptik, Ibrani, Provençal, Rusia, hingga Celtic. Jajaran delegasi Oxford pun terkagum-kagum meski segan mengekspresikannya. Murray pun didapuk sebagai editor kepala proyek English Dictionary on Historical Princ i ples yang baru alias Kamus Besar Bahasa Inggris (KBBI) cetakan Oxford. Begitu lika-liku perumusan kamus ternama itu yang diracik sineas Farhad Safinia alias PB Shemran dalam film drama biopik, The Professor and the Madman . Murray memulainya dengan merekrut beberapa relawan dan seorang asisten yang jadi tangan kanannya, Henry Bradley (Ioan Gruffud). Ke-11 anaknya dan istrinya, Ada Murray (Jennifer Ehle), pun turut turun tangan. Segala macam “jurus” dikerahkan Murray. Setiap kata dari A-Z mesti dicari artinya dalam berbagai aspek, mulai dari sejumlah literatur cetak dari abad ke abad terdahulu hingga kata-kata baru yang muncul di akhir abad ke-19 itu. James Augustus Murray bersama istri dan ke-11 anak-anaknya yang turut membantunya menyusun kamus Oxford (Foto: OUP Archives) Murray lantas mengemukakan salah satu solusi. Dia menerbitkan permohonan partisipasi yang dilegitimasi Oxford kepada semua orang yang bernafas di koloni-koloni Kerajaan Inggris. Semua tentu masukan lebih dulu disaring lewat tim yang dibentuk Murray. “Kita akan meminta mereka untuk membaca apapun. Mencari kata-kata yang kita inginkan. Dengan kutipan yang mereka dapatkan serta arti dari kata tersebut dari aktivitas dan profesi mereka sehari-hari, proyek ini bisa rampung lima atau paling lama tujuh tahun,” ujar Murray dalam sebuah makan malam dengan para delegasi Oxford. Awalnya, jurus itu ampuh meski tetap ada sejumlah kata yang belum bisa mereka dapatkan definisi seutuhnya. Di situlah “tangan lain” muncul. Bantuan yang tak disangka datang dari Kapten Dr. William Chester Minor (Sean Penn), tahanan Rumahsakit Jiwa (RSJ) Broadmoor di Crowthorne. Minor adalah mantan perwira menengah Angkatan Darat Amerika Serikat yang tak sengaja membunuh orang yang keliru di Inggris. Kondisi kejiwaan membuat pengadilan memvonisnya ditahan di RSJ. Di masa tahanan, ia gandrung dengan buku hingga jadi salah satu relawan yang berkontribusi buat Murray lewat surat-suratnya. Termasuk terhadap kata-kata yang definisinya sempat bikin frustrasi tim Murray. Total, Minor berkontribusi lebih dari 10 ribu kata plus definisinya, terlepas dari kondisi kejiwaannya yang masih labil. Kendati awalnya sekadar berkorespondensi via surat, Minor akhirnya mendatangi Murray dan menjalin persahabatan. Murray juga yang mendorong Minor berdamai dengan hatinya agar mau bertemu Eliza Merret (Natalie Dormer), di mana sebelumnya Minor sangat enggan bertemu saking merasa bersalahnya. Eliza merupakan janda George Merret, pria yang tak sengaja ditembak Minor. Minor mengaku keliru melihat George dengan seorang misterius yang pernah meneror hidupnya. Asmara lalu menghinggapi Minor dan Eliza. Di sisi lain, kontribusi Minor akhirnya jadi bahan polemik setelah suratkabar South London Chronicle membocorkannya. Situasi jadi lebih runyam setelah Murray mengundurkan diri gara-gara delegasi Oxford ogah mengakui kontribusi Minor dan membantunya keluar dari penahanan. Pasalnya kondisi kejiwaan Minor perlahan memburuk setelah menjalani perawatan ekstrem. Adegan James Murray mengemukakan salah satu jurus merumus kamus Oxford (Foto: eaglepictures.com) Kesadaran Minor baru pulih setelah Murray dan Eliza memaksa menjenguk Minor meski sempat ditolak kepala perawatan Dr. Richard Brayne (Stephen Dillane). Keputusan Peninjauan Kembali (PK) kasus Minor nyaris bikin Murray frustrasi akan nasib sahabatnya. Upaya terakhir dilakoninya dengan menemui Menteri Dalam Negeri Inggris Winston Churchill (Brendan Patricks). Bagaimana kelanjutan ceritanya? Apakah Murray bisa menyelamatkan nasib sahabatnya itu? Bagaimana pula akhir kisah cinta Minor dan Eliza? Tidak ketinggalan, seperti apa jadinya proyek kamus ternama itu? Baiknya saksikan sendiri The Professor and the Madman yang sudah rilis di berbagai bioskop sejak 10 Mei 2019. Obsesi Mel Gibson & Fakta Sejarah Film berdurasi 124 menit ini diangkat dari novel best-seller karya Simon Winchester bertajuk The Surgeon of Crowthorne: A Tale of Murder, Madness and the Love of Words. Hak tayang filmnya sudah dibeli Icon Entertainment International, rumah produksi kepunyaan Mel Gibson, sejak 1998. Kisah itu memang sudah lama jadi obsesi Mel Gibson walau penggarapannya baru bisa dimulai pada 2016. Sedari awal hingga akhir, pengambilan gambarnya dilakukan dan diproses dengan presisi oleh editor Dino Jonsater, diiringi lantunan-lantunan musik klasik dari komposer Bear McCreary. Tak mengherankan bila penonton bakal terbawa ke suasana London akhir 1800-an. Terlepas dari adanya konflik antara rumah produksi milik Gibson dan distributor Vertical Entertainment, film ini jadi pengetahuan bagaimana lika-liku perumusan kamus sastra kenamaan Inggris itu dibuat di mana setiap kata tak hanya punya satu definisi. Selama ini publik hanya tahu menggunakannya saja untuk berbagai keperluan literasi. Namun, beberapa kritikus menyebut alur filmnya membosankan. Beberapa adegan juga tak sesuai fakta sejarah. Bisa dimaklumi lantaran film ini dibuat hanya dari sumber novel. Padahal, kisah tentang proyek kamus serta duet figur sohor ini sebelumnya juga diangkat oleh sejumlah penulis. Sebut saja Caught in the Web of Words: James Murray and the Oxford English Dictionary oleh KM Elisabeth Murray, Words of the World: a Global History of the Oxford English Dictionary oleh Sarah Ogilvie, atau Murray the Dictionary Maker: A Brief Account of Sir James A.H. Murray yang ditulis salah satu putra Murray, Wilfrid George Ruthven Murray. Maka, beberapa hal dalam film ini pun melenceng dari sejarahnya. Yang sangat terlihat adalah soal kata-kata “The Professor” dalam judulnya. Tentu titel ini merujuk pada Murray yang nyatanya tak pernah diangkat jadi profesor. Saat menyelesaikan edisi pertamanya pun, dikutip dari catatan putranya, Murray hanya dianugerahi titel “doktor” oleh Oxford setelah pada 1 Februari 1884 merampungkan volume pertama kamusnya bertajuk A New English Dictionary on Historical Principles; Founded Mainly on the Materials Collected by The Philological Society setebal 352 halaman. Tahanan RSJ William Chester Minor memberi kontribusi terbesar dalam kamus Oxford (Foto: Wikimedia) Adegan-adegan lain yang tak sesuai fakta sejarahnya adalah kisah asmara Minor dan Eliza. Saking bersalah dan merasa takkan diampuni dosanya jika ia terlibat cinta dengan Eliza, Minor sampai melakoni autopenectomy atau memotong penisnya sendiri. Menukil Mark Forsyth dalam The Etymologicon: A Circular Stroll through the Hidden Connections of English Language , Minor di dunia nyata memang melakukannya tapi bukan karena alasan asmara dengan Eliza yang dalam film merupakan karakter fiktif. Alasannya karena pada 1902 Minor mengalami gangguan delusi, di mana ia diculik ke Istanbul oleh orang misterius dan dibawa ke sebuah kamar untuk dipaksa mencabuli anak-anak. Akhir hidup Minor lantas hanya diterangkan lewat narasi tertulis, di mana ia mengembuskan nafas terakhirnya dalam kesendirian di Hartford, Connecticut akibat pneumonia.
- Menteri Cantengan
SOEBANDRIO barangkali satu-satunya menteri luar negeri yang memakai sandal dalam suatu perundingan formal bilateral. Ceritanya bermula ketika Soebandrio berangkat ke Amerika Serikat pada 18 Juli 1962. Presiden Sukarno mengutus Soebandrio berunding dengan pihak Belanda agar menyerahkan wilayah Irian Barat. “Sudah jelas Presiden Sukarno berulang-ulang berkata bahwa: ‘Penyerahan kekuasaan Irian Barat harus berlangsung pada tahun 1962, sebelum ayam jantan berkokok tahun 1963’,” kenang Soebandrio dalam Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat . Soebandrio memimpin delegasi Indonesia. Turut mendampinginya Letnan Jendral Hidayat Martaatmadja dan Juru Bicara Depertemen Luar Negeri, Ganis Harsono. Sementara pihak Belanda diwakili oleh Herman van Rooijen, duta besar Belanda untuk PBB. Setibanya di Washington D.C., Soebandrio tak segera menunaikan amanat sang presiden. Perundingan itu molor dan baru terlaksana seminggu kemudian. Tempat perundingan sedianya diselenggarkan di Wisma Hunstland, masuk kota Middleburg yang tidak jauh dari Washington. Namun kali ini harus diselenggarakan di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Washington. Apa yang terjadi? “Tanggal 25 Juli 1962 van Rooijen datang ke Kedutaan Besar Indonesia di Washington, guna melaksanakan perundingan kedua. Saya pada waktu itu menderita infeksi luka, hampir tidak dapat berjalan. Syukur bahwa van Rooijen bersedia datang ke Kedutaan Besar Indonesia,” tutur Soebandrio. Informasi mengenai luka yang dialami oleh Menteri Soebandrio itu termuat dalam warta Suluh Indonesia , 27 Juli 1962. Diberitakan bahwa pada 24 Juli, Subandrio menjalani operasi kecil pada jempol kakinya yang terkena infeksi kuku. Infeksi ini bagi orang awam lazim disebut dengan penyakit cantengan. Gejala cantengan adalah bengkak pada ujung kuku jari yang biasanya bernanah. Akibat kondisi fisiknya tersebut, Subandrio jalan tertatih-tatih. Soebandrio pun terpaksa harus mengenakan sendal saat perundingan berlangsung di hadapan delegasi Belanda dan kelompok mediator dari Amerika Serikat. Beruntunglah, van Rooijen - yang merupakan "lawan" Soebandrio - berbaik hati untuk mau bertandang ke markas Indonesia. Perundingan yang akan menentukan masa depan wilayah yang kini bernama Papua itu pun dapat dilanjutkan. Perundingan berjalan alot dan sengit yang berakhir dengan kemenangan bagi Indonesia.
- Sejarah Gedung KPU
Gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU) terletak di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Pada masa kolonial Belanda, jalan itu bernama Nassau Boulevard termasuk dalam kawasan Nieuw Gondangdia (sekarang Menteng). Pembangunan jalan ini bermula dari pengembangan Batavia ke wilayah Selatan, yaitu Weltevreden yang meliputi Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) dan Koningsplein (sekarang Gambir dan Medan Merdeka) pada akhir abad ke-18. “Di mana banyak terdapat kantor dan bangunan pemerintah,” tulis Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia. Pegawai kantor pemerintah memerlukan tempat tinggal. Hunian ini mengambil lokasi tak jauh dari Weltevreden. Menteng nama lokasi itu. Masih berupa tanah partikelir milik saudagar asal Hadramaut. Dirancang Moojen Kepemilikan wilayah Menteng beralih ke perusahaan De Bouwploeg, bergerak di bidang Real Estate, pada 1908. Perusahaan itu membeli tanah seluas 295 rijnlandsche roeden atau setara 69 hektar dengan harga f. 238.870. “Supaya tanah yang baru diperoleh ini digunakan untuk daerah pemukiman bagi masyarakat golongan atas, yang semakin banyak berkedudukan di Batavia dan mencari rumah-rumah yang sesuai dengan kemampuan finansial mereka,” tulis Adolf Heuken dalam Menteng: Kota Taman Pertama di Indonesia . Selain Menteng, peralihan kepemilikan juga terjadi pada wilayah Gondangdia. Wilayah ini bertetangga dengan Menteng. Tadinya dimiliki oleh orang kaya berkebangsaan Belanda. Tetapi pada 1910, Gondangdia dibeli oleh Bouw- en Cultuurmaatschappij Gondangdia senilai f. 217.724 untuk luas 315 rijnlandsche roeden atau setara 73 hektare. Setelah urusan pembelian tanah kelar, pemerintah Kotapradja Batavia membentuk kondangdia-comissie untuk merancang wilayah Menteng. Saat itu Menteng bernama Nieuw-Gondangdia. Seorang arsitek bernama P.A.J. Moojen termasuk menjadi anggotanya. Dia memelopori gaya bangunan indische bouwstjil baru. Indische bouwstijl ala Moojen memiliki ide bahwa gaya bangunan bergantung pada iklim, tempat, bahan bangunan tersedia, dan tenaga kerja setempat. Ini pandangan baru dalam arsitektur di Hindia Belanda. “Sebelum abad ke-20 tidak ada arsitek profesional yang datang ke Hindia. Orang-orang Eropa hanya mengaplikasikan apa yang mereka kenali dari Eropa,” tulis Mohamnmad Nanda Widyarta dalam “Tampilan Hindia Melalui Arsitektur” termuat di Tegang Bentang Seratus Tahun Perspektif Arsitektural di Indonesia . Moojen juga menghadirkan gagasan baru dalam perancangan wilayah di Hindia Belanda. “Untuk pertama kalinya di Indonesia perluasan sebuah kota dilakukan dengan perencanaan yang matang,” tulis Adolf Heuken. Moojen merancang Nieuw Gondangdia dengan suatu boulevard atau jalan lebar berbentuk radial. Jalan itu mengelilingi sebuah lapangan bundar di tengahnya. Kelak lapangan ini bernama Taman Suropati. Di depan Taman Suropati inilah membentang sebuah boulevard radial dari timur ke barat. Boulevard itu terbagi atas dua seksi: Oranje Boulevard (sekarang Jalan Diponegoro) di timur dan Nassau Boulevard (sekarang Jalan Imam Bonjol) di barat. Dua jalan ini dirancang sebagai satu kesatuan yang serasi. Pohon-pohon besar tertanam di tengah Boulevard dan kelak deretan rumah bertingkat berada di sepanjang tepi jalannya dengan kebun luas. Bentuk rumah itu menyesuaikan iklim tropis. “Sehingga menciptakan suasana rapi dan asri pada beberapa jalan di Menteng,” lanjut Adolf. Gedung KPU Tetapi hingga sebelum Perang Dunia II, bangunan di Nassau Boulevard kalah ramai oleh jalan-jalan lainnya di kawasan Nieuw Gondangdia. Nassau Boulevard mulai ramai bangunan memasuki dekade 1950-an. Ketika itu namanya telah berubah jadi Jalan Imam Bonjol. “Maka di Jalan Imam Bonjol cukup banyak bangunan baru didirikan pada tahun 1950-an, namun dalam gaya bangunan pra-perang. Diantaranya terdapat rumah kopel, yang walaupun besar agak sederhana perancangan serta pelaksanaannya,” tulis Adolf Heuken. Selain rumah kopel, berdiri juga sebuah bangunan milik Perkebunan Negara pada 1955. Gedung ini hasil rancangan arsitek Belanda bernama A.W. Gmelig Meyling. Dia bekerja sebagai wakil direktur di biro Ingeneren-Vrijburg NV (BIV) di Bandung. Meyling sempat ditahan pada masa pendudukan Jepang. Kemudian dibebaskan setelah kemerdekaan dan menjadi profesor luar biasa di Institut Teknologi Bandung. Dia berpraktik di Indonesia hingga 1957. Sentuhan Meyling pada Gedung Pusat Perkebunan Negara memiliki ciri khas unsur kubistis kuat. “Seluruh tampak muka dirancang dengan pembias ( louvre ) untuk mencegah sinar matahari masuk ruang-ruang kerja,” tulis Adolf Heuken. Ciri ini tampak pula dalam gedung Societeit Country Club Concordia di Bandung dan Gedung Kantor GEBED di Sukabumi. Gedung Pusat Perkebunan Negara (PPN) kemudian beralih fungsi menjadi kantor Lembaga Pemilihan Umum (LPU) pada 1987. LPU tadinya berkantor di Jalan Matraman Raya No. 40, Jakarta Timur. Tapi Kantor di Matraman itu sudah tidak layak lagi untuk mendukung pekerjaan staf LPU. “Dalam pada itu LPU harus pindah dari Jl. Matraman Raya 40 ke Jl. Imam Bonjol, bekas gedung PPN,” tulis buku Lampiran VI Pemilihan Umum 1987 . Sejak itulah Jalan Imam Bonjol sering jadi pusat perhatian orang saban Pemilu. Setelah Reformasi, berbagai demonstrasi kerap kali terjadi di Jalan Imam Bonjol, depan gedung KPU.
- Bangsawan Aceh dan Piagam Jakarta
MOHAMMAD HATTA, wakil ketua PPKI kepayahan menghadapi lawan debatnya, Ki Bagus Hadikusumo, Menjelang sidang PPKI, ulama Muhammadiyah dari Yogyakarta itu bersikukuh agar dalam rancangan mukadimah Undang-Undang Dasar, dan Pasal 29, Ayat 1, ditambahkan kalimat, “Dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, sebagaimana isi Piagam Jakarta.Dengan kata lain, Ki Bagus menghendaki sistem negara bercorak agama (baca:Islam). “Karena begitu serius rupanya, esok paginya, tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan rapat pendahuluan untuk membicarakan masalah itu,” tutur Bung Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku: Menuju Gerbang Kemerdekaan . Dua nama pertama, Wahid Hasyim (NU) dan Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah) merupakan tokoh dari kalangan Islam. Sementara Teuku Mohammad Hasan berasal dari golongan berbeda. Hasan seorang putra uleebalang (bangsawan Aceh) dan juga ahli hukum tamatan dari Universitas Leiden, Belanda. Hatta kenal baik dengan Hasan sewaktu keduanya sama-sama menuntut ilmu di negeri Belanda. Menurut Hatta, meski bukan mewakili golongan Islam, Hasan berasal dari Aceh, wilayah dengan kultur Islam yang kental. Dan lagi, Hatta tahu persis bahwa Hasan seorang yang taat beragama. Percaya dengan kapasitas intelektual dan religinya, Hatta menunjuk Hasan untuk melobi Ki Bagus. Dalam memoarnya, Hasan mengisahkan pertemuannya dengan Ki Bagus Hadikusumo. Hatta mengantarkan Hasan ke ruangan kamar tempat Ki Bagus dikarantina. Di tempat itulah Hasan berkenalan dengan Ki Bagus. Saat itu, Hasan masih berusia 39 tahun sedangkan Ki Bagus sudah berumur 54 tahun. Hatta membuka pembicaraan dengan mengucap Bismillah . Namun Hatta hanya berbicara sejenak karena menghadapi sanggahan demi sanggahan dari sang ulama. Ki Bagus enggan mengubah pendiriannya. Hasan lantas mengambil alih percakapan. Perdebatan sengit pun terjadi antara Ki Bagus yang kelahiran 1890 dengan Hasan yang kelahiran 1906. “Dalam perjuangan menuntut kemerdekaan Tanah Air perlu persatuan yang bulat dari semua golongan untuk menghadapi musuh bersama, jangan sampai Belanda memecah belah kita sama kita dan mempergunakan golongan Kristen dan lain-lain melawan golongan Islam dan sebagainya,” kata Hasan kepada Ki Bagus sebagaimana terkisah dalam memoar Mr. Teuku Mohammad Hasan: Gubernur Sumatera, dari Aceh ke Pemersatu Bangsa . Menurut Hasan, persatuan adalah senjata utama mencapai kemerdekaan yang telah di depan mata. Sebaliknya, tuntutan sebagian golongan dengan menafikan kelompok lain akan dapat digunakan Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Kekhawatiran Hasan cukup beralasan. Orang-orang Kristen yang berbasis di Tanah Batak, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur punya ikatan dengan Belanda melalui pendidikan dan lembaga gereja. Belanda bisa saja menggunakan sentimen agama guna memukul perjuangan Republik dari dalam. “Apabila kita terus mempertahankan kepentingan sepihak, bisa-bisa orang Kristen dapat dipersenjatai oleh Belanda. Padahal kita kan maunya merdeka, bukan berperang,” pungkas Hasan. Mendengar penjelasan Hasan, Ki Bagus agak tertohok. Dia melunak dan bersedia memikirkan ulang usulannya. Hasan kembali meyakinkan Ki Bagus agar tetap berbesar hati. Katanya, “Umat Islam tidak perlu takut mengingat populasinya yang berjumlah 90% dari keseluruhan rakyat Indonesia. Kalau kita banyak, kita tidak perlu cemas. Yang penting merdeka dulu. Setelah itu terserah kita mau dibawa ke mana negeri ini.” “Rupa-rupanya kata-kata Mohammad Hasan mengena di hati dan di terima oleh Ki Bagus,” tulis Dwi Purwoko dalam Dr. Mr. T.H. Moehammad Hasan: Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa. Secara diplomatis, Hasan berhasil membujuk Ki Bagus untuk membatalkan niatannya. Perubahan sikap Ki Bagus dilaporkan Hasan kepada Hatta. Hatta kemudian melaporkan kepada Sukarno, selaku ketua PPKI. Masalah syariat Islam selesai dengan kata mufakat. Maka sidang pun berlanjut ke agenda inti: memilih presiden dan wakil presiden. “Pada waktu itu kami dapat menginsafi bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan menghilangkan perkataan 'Ke Tuhanan dengan kewjiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dan menggantinya denga 'Ke Tuhanan Yang Maha Esa',” ujar Hatta. Polemik sengit dalam perumusan dasar negara itu pungkas dengan keberhasilan mewadahi kepentingan bersama dari berbagai golongan. Sikap Hasan yang tenang dan mengedepankan dialog, alih-alih konfrontrasi, membuat proses negosiasi berjalan dengan baik. Hasan sendiri kelak menjadi gubernur provinsi Sumatera yang pertama dan terakhir.
- Dari Arena ke Layar Kaca
DI mana ada siaran bulutangkis di televisi, di situ ada Yuni Kartika. Di antara para host dan komentator olahraga tepok bulu, nama Yuni salah satu yang paling dinanti. Yang berkesan darinya tentu bukan semata komentar hebohnya tapi juga pengetahuannya yang dalam terkait teknis permainan maupun profil para pemain yang tengah bertarung. Komentar-komentar Yuni kembali nyaring saat TVRI mulai menyiarkan Piala Sudirman 2019 yang digelar di Nanning, China pada 19 Mei lewat. Kala itu, Gregoria Mariska Tunjung sedang meladeni tunggal putri Inggris Abigail Holden yang akhirnya dimenangi Gregoria straight set , 21-10 dan 21-13. Secara keseluruhan, tim Indonesia menang 4-1 atas Inggris di laga pembuka Grup 1-B. Saat laga kedua Grup 1-B kemarin, Rabu (22/5/2019), kala tunggal putri Indonesia Fitriani berlaga kontra Mia Blichfeldt asal Denmark, Yuni kembali membimbing para pemirsa memahami pertandingan. Sejak pensiun pada 1995, Yuni memang memutuskan untuk menjadi komentator siaran olahraga ( sportscaster ). “Saat menjelang akhir karier, saya berpikir apa ya bidang yang tetap in-line dengan badminton tapi enggak di lapangan. Karena saya merasa seluruh hidup saya sudah di lapangan. Dari kecil umur lima tahun sampai besar di lapangan. Jadi kalau saya harus jadi pelatih lagi atau buka toko olahraga, saya akan ada di lapangan lagi. Kayaknya enggak gitu kepenginan saya. Saya pingin yang lain tapi tetap tidak ingin meninggalkan badminton, gimana caranya,” tutur Yuni saat ditemui Historia . Pikiran Yuni lantas tertuju pada dunia broadcast . Tujuannya, ia ingin mengedukasi masyarakat lebih dalam soal bulutangkis lewat layar kaca. “Caranya bisa mengedukasi tentu dengan mantan pemain yang bisa ngomong (di depan kamera). Tentang apa yang terjadi, bagaimana susahnya, struggle- nya main badminton. Kalau lagi mau apa yang dipikirkan. Mereka enggak tahu di belakang kayak apa. Itu yang membuat saya memutuskan bahwa next step saya akan lari ke dunia broadcast ,” sambungnya. Petaka Keluarga Hentikan Kariernya Yuni mengenal bulutangkis sejak usia lima tahun. Srikandi cantik kelahiran Semarang, 16 Juni 1973 itu dikenalkan olahraga tepok bulu oleh ayahnya, Tjoa Soe Sien, yang kerap mengajak Yuni saat bermain dengan para sejawatnya. “Saya kecil di Pekalongan dan mulanya serius bulutangkis masuk PB Praba Jaya. Terus pas saya kelas 6 SD ada pembukaan untuk PB Djarum. Tapi saya masuk audisinya lewat PB Djarum di Jakarta. Empat kali bolak-balik Pekalongan-Jakarta untuk ikut tes psikologi, tes IQ, hingga tes tanding. Waktu itu masih teringat angkatan saya audisi ada Ade Rai (binaragawan), Zarima Mir (ratu ekstasi), Ardy Wiranata, Jean Pattikawa,” kenang Yuni. Yuni Kartika (berdiri paling kanan) bersama para rekan sejawat angkatannya kala mengasah karier di PB Djarum (Foto: Twitter @YuniKartika73) Nama Yuni kemudian melejit sebagai salah satu andalan Pelatnas PBSI di sektor tunggal putri. Mengutip Arie MP Tamba dan TB Ahmad Fauzi Supri dalam Setengah Abad PB Djarum: Dari Kudus Menuju Prestasi Dunia , Yuni meraup titel German Open Junior 1990, jadi finalis Malaysia Open 1992, dan masuk tim Uber Cup 1992 di mana Indonesia tersisih di semifinal. Di peringkat dunia tunggal putri, puncak karier Yuni pernah menjejak urutan 10 pada 1992. Tapi tiga tahun kemudian, Yuni memutuskan gantung raket. Dia merasa tak lagi bisa bersinar. Fokusnya gampang goyah pasca-petaka kecelakaan keluarganya tiga tahun sebelumnya. “Itu sedang di puncak karier saya. Saat saya lagi bertanding di Thailand, terus satu keluarga saya kecelakaan. Ibu saya (Sri Hartati, red. ) meninggal, lalu kakak dan ayah saya kritis. Itu hal yang benar-benar membuat saya sulit ya. Kesan pahit sepanjang karier saya,” tuturnya dengan nada lirih. Kabar duka itu, sambung Yuni, mulanya diterima pelatih dan manajer tim. Namun kabar itu di- pending sampai Yuni selesai berlaga. Hatinya teriris begitu mendengarnya. Meski kemudian kakak dan ayahnya pulih, Yuni tetap mendapati ibundanya tiada. “Hidup rasanya seperti dibalik. Ibu saya itu orang paling dekat dengan saya. Sempat kita teleponan saat saya sudah di Thailand. ‘Ayo pulang,’ katanya. Gimana, saya lagi bertanding disuruh pulang. Saya enggak tahu bahwa itu akan jadi percakapan terakhir. Dari situ juga titik balik prestasi saya enggak bisa balik lagi dari yang saya capai sebelumnya,” tambah Yuni. Yuni akhirnya memilih gantung raket dan beralih ke layar kaca sebagai sportcaster . Ia memulainya dengan masuk kursus presenter. hingga magang di TVRI . “Magang pertama di TVRI sampai akhirnya bisa punya kemampuan untuk jadi host dan komentator. Jadinya saya tetap punya sumbangsih buat badminton tapi dengan cara yang saya pikir bagus untuk mendukung badminton Indonesia,” sambung perempuan yang sehari-harinya juga berkarya di Djarum Foundation itu. Hingga kini, hampir di setiap siaran bulutangkis, Yuni selalu jadi host maupun komentator andalan, lengkap dengan penampilan nyentrik rambut pendek dan pirangnya. “Gaya rambut seperti ini memang baru pas jadi sportcaster. ” tutupnya.
- Peta dan Cara Manusia Memandang Dunia
Ada suatu masa di mana sebuah pulau bernama Lixus tergambar di peta dunia. Konon, di sana pohon-pohonnya berbuah emas. Lalu ada Pulau Susu, di mana susu mengucur dari buah-buah anggur. Kini jika ingin mencari letak pulau-pulau itu mungkin akan ditertawai banyak orang. Namun, si pembuat peta pada masa itu bukannya sengaja ingin terlihat bodoh. “Mereka hanya ingin menampilkan dunia sebagaimana yang mereka tahu. Pengetahuan orang-orang dulu lahir dari kisah, kepercayaan, dan imajinasi,” tulis Yvette La Pierre dalam Mapping a Changing World. Sudah ribuan tahun manusia menggambar peta. Wujud dunia dalam peta terus berubah seiring mereka mempelajarinya, baik lewat penjelajahan dan penemuan ilmiah maupun petualangan mencari dunia baru. Terutama pada abad ke-16, bumi seperti dunia bagi para pengembara. Relief peta terukir di koin Yunani Kuno. Peta-peta dibuat di tongkat, batu, uang perak, dan kulit anjing laut. Gambar-gambar aneh seperti manusia berkepala anjing, monster laut, dan lumba-lumba sebesar paus menghiasi lembarannya. Pada akhirnya peta lebih dari sekadar alat yang memberi tahu apa yang ada di balik gunung, di seberang lautan, dan di mana seseorang berada saat itu. “Ia dapat mencerminkan bagaimana manusia hidup dan berpikir, sekaligus apa yang ia ketahui dan percayai tentang dunia,” tulis La Pierre. Kendati sejauh ini peta dari Babilonia yang tertua di dunia, menurut La Pierre, manusia sudah mulai membuat peta jauh sebelum itu. Sayangnya tak diketahui kapan dan di mana pertama kali manusia mendapatkan ide untuk menggambarkan lokasi. Namun yang jelas, manusia selalu penasaran tentang di mana mereka berada dan bagaimana mencapai suatu tempat. “Lebih mudah menggambar peta daripada menjelaskan dalam kata-kata. Faktanya, peta lebih dulu ada dibanding tulisan. Peta pun menjadi salah satu bentuk komunikasi tertua yang pernah ada,” jelas La Pierre. Peta Tablet Ilustrasi Peta Tablet Ini adalah peta tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Orang-orang Babilonia yang hidup di Mesopotamia (kini Irak), membuat peta sejak sekira 500 SM. Mereka memahatnya pada tablet tanah liat kecil yang tak lebih besar dari tangan orang dewasa. Peta itu melukiskan kepercayaan orang Babilonia bahwa dunia seperti kepingan CD. Di bagian atas lingkaran mirip CD itu terdapat garis lingkar yang menyimbolkan gunung. Dua garis menurun dari arah gunung di dalam lingkaran, mungkin menyiratkan Sungai Eufrat dan Tigris. Bentuk persegi yang menyeberangi simbol sungai menunjukkan pusat kota Babilonia. Kota-kota penting lainnya ditandai dengan lingkaran-lingkaran kecil. Hanya satu yang dinamai, Deri. Pembuat peta itu juga menggunakan lingkaran untuk menunjukan wilayah lainnya. Armenia di atas dan di kanan letak Babilonia. Assyria agak di bawah Armenia. Habban di kiri Babilonia. Lingkaran itu dikelilingi lautan. Di luar lautan yang melingkari pulau-pulau adalah segala macam monster imajiner yang ditandai bentuk segitiga. Peta Papirus Lembaran papirus ini memperlihatkan bagian barat dan timur Danau Moeris. (ReproThe Book of the Faiyum) Orang Mesir Kuno juga sudah mulai menggambar lokasi pada selembar kertas papirus. Salah satunya dibuat pada sekira 330 SM. Peta ini dipercaya menunjukkan tempat yang benar-benar ada, yaitu Danau Moeris, yang dulunya menutupi sebagian besar wilayah Kota Fayum di Mesir Utara. Sekarang menjadi kota gurun pasir. Di dalamnya tergambar pula makhluk-makhluk setengah manusia, dewa-dewa Mesir Kuno, seperti Sobk, dewa berwujud buaya, yang dipercaya mendiami wilayah itu. Orang Mesir juga menggambarkan peta menuju alam baka yang tergambar pada dinding-dinding makam. Peta Sutra eta sutra yang memperlihatkan topografi wilayah Dinasti Han dan Kerajaan Nanyue sekira 168 SM. (Wikimedia Commons) Peta tertua dari Tiongkok yang masih bisa diselamatkan terbuat dari sutra. Ia tersegel di dalam makam di Provinsi Gunan pada 168 SM. Peta ini baru ditemukan pada 1973. Peta itu lebih detail dan akurat dibandingkan peta-peta kuno lainnya. Pembuat peta menggunakan simbol untuk menunjukkan desa dan provinsi, sungai, dan jalan, pegunungan, dan benteng militer. Garis bergelombang menunjukkan gunung, garis tipis menunjukkan sungai, garis lebih tebal menunjukkan ukuran dan aliran sungai. Peta Koin Perak Ilustrasi Peta Koin Perak Salah satu peta milik orang Yunani yang tertua tercetak di balik koin perak. Berasal dari abad ke-4 SM, koin itu menggambarkan lokasi yang benar-benar ada, yaitu Ephesus (kini bagian dari Turki). Permukaan koin itu menunjukkan daerah-daerah terangkat yang menunjukkan rentang pegunungan. Mereka dibagi oleh lembah-lembah sungai, seperti halnya peta timbul modern. Peta Grafik Batang Ilustrasi Peta Grafik Batang Sebelum orang-orang Eropa menggapai wilayah Pasifik Selatan, orang-orang dari Kepulauan Marshall di wilayah Pasifik Selatan membuat peta untuk berlayar dengan serat daun palem dan kerang. Petanya menyerupai grafik batang. Mereka ikat batang-batang itu dengan sabut untuk menunjukkan pola gelombang air laut dan angin. Lalu ditambahkan kerang atau potongan karang sebagai simbol pulau. Hanya pelayar berpengalaman yang mampu membuat peta ini. Keahlian ini diturunkan dari ayah ke anak. Claudius Ptolemeus, Bapak Geografi Ilustrasi Claudius Ptolemeus, Bapak Geografi Ptolemeus seorang astronom sekaligus peramal bintang dari Alexandria yang hidup pada abad ke-2. Dia terobsesi membuat horoskop yang akurat dan mengharuskan menempatkan kota kelahiran seseorang di peta dunia. Dia menemukan cara untuk membuat planet ini seolah rata ke peta dua dimensi. Seperti kebanyakan orang Yunani dan Romawi, dia yakin bumi itu bundar. Dia pun menyebut teknik barunya dengan istilah: geografi. “Dia menemukan geografi, tetapi itu hanya karena dia ingin membuat horoskop yang lebih akurat,” kata Matthew Edney, profesor kartografi di University of Southern Maine, dikutip smithsonian . Ptolemeus mengumpulkan dokumen yang merinci lokasi kota, dan menambah informasi itu dengan dongeng para pelancong. Dia menyusun sistem garis lintang dan bujur, dan membubuhkan sekira 10.000 lokasi, dari Inggris ke Eropa, Asia, dan Afrika Utara. Namun, semua benua versinya tak mirip kondisi asli. Afrika yang paling aneh. Ia digambar membentang jauh ke selatan. Kemudian ujungnya membelok ke kanan dan terhubung dengan Asia. Itu membuat Samudera Hindia terkurung daratan dan tidak mungkin melayari lautan di selatan Afrika. Padahal orang-orang Mesir Kuno sudah mengirim ekspedisi untuk memutari Afrika. Gagasan ini pun mengecilkan hati pelaut Eropa awal yang ingin berlayar menyusuri pantai barat Afrika, menuju timur ke Asia. Meski bentuknya aneh, peta dunia versi Ptolemeus berisi ide-ide dan teknik pembuatan peta yang hingga kini masih dirujuk. T-O maps Ilustrasi T-O maps Isidore of Seville, sarjana dan Uskup Agung Seville, selama lebih dari tiga dekade, menggambar dunia berbentuk lingkaran. Dalam petanya, Samudera dibuat berbentuk O dan mengelilingi seluruh bumi. Di dalam bentuk O, ada tiga benua, Asia, Afrika, dan Eropa. Benua-benua ini terbagi oleh aliran Sungai Don dan Sungai Nil (bagian horizontal), serta Laut Mediterania (bagian vertikal), sehingga berbentuk seperti huruf T. Alih-alih menunjukkan bentuk dunia yang sesungguhnya, peta ini dimaksudkan untuk menunjukkan tatanan umum dunia. Peta dari abad ke-6-7 M itu kemudian menjadi model populer bagi peta-peta abad pertengahan (sampai abad ke-15 M), termasuk Psalter map, sebutan bagi peta-peta yang ada di dalam Kitab Mazmur . Tabula Rogeriana Ilustrasi Tabula Rogeriana Tabula Rogeriana atau Kitab Rudjdjar (Kitab Roger) adalah peta dunia yang digambar oleh pakar geografi Arab, Al-Sharif al-Idrisi pada 1154. Peta itu dibuat untuk Raja Roger II dari Sisilia, setelah delapan belas tahun al-Idirisi menetap di istananya. Al-Idrisi menggabungkan pengetahuan dari Afrika, Samudera Hindia, dan Timur Jauh yang dikumpulkan para penjelajah dan pedagang Islam, juga dari pelayar-pelayar Normandia. Peta dengan legenda berbahasa Arab itu menampilkan daratan Eurasia secara keseluruhan dan sebagian kecil bagian utara benua Afrika dengan sedikit detail pada Tanduk Afrika dan Asia Tenggara. Peta itu kemudian menjadi peta dunia paling akurat hingga tiga abad setelahnya. Al-Idrisi sendiri merupakan keturunan para penguasa Idrisiyyah di Maroko, yang merupakan keturunan Hasan, putra Ali dan cucu Nabi Muhammad. Al-Idrisi adalah sosok kunci kelahiran globe. Dari 70 lembaran peta datar yang dibuatnya, dia sambungkan dalam simpul melingkar koordinat astronomi. Kemudian dituangkannya ke dalam bola perak yang beratnya sekira 400 kg berdiameter sekira 80 inci. Di dalamnya terdapat tujuh benua. Tergambar juga rute perdagangan, danau, sungai, dataran tinggi, dan pegunungan. Globe tersebut dapat diputar 180 derajat. Namun bagian utaranya dia buat berada di bawah. Tak seperti Ptolemeus, al-Idrisi membuat Samudera Hindia terbuka. Jadi, benua Asia dan Afrika tak menyambung. Peta dunia tersebut menjadi bagian dari kemajuan sains tertua di era pramodern. Catalan Atlas Ilustrasi Catalan Atlas Ini adalah peta terpenting berbahasa Catalan dari abad pertengahan. Dibuat pada 1375 oleh Abraham Cresques atau yang nama aslinya, Cresques putra Abraham, bersama anaknya, Jehuda Cresques. Abraham Cresques adalah kartografer Yahudi. Asalnya dari Palma, Majorca, yang waktu itu bagian dari Aragon. Peta buatannya awalnya terdiri dari enam lembar selebar 65-50 cm yang dilipat secara vertikal. Ia dicat warna-warni, termasuk emas dan perak. Dua lembar pertama berisi teks berbahasa Catalan, mencakup kosmografi, astronomi, dan astrologi. Teks ini disertai ilustrasi. Mereka juga memberikan informasi kepada pelaut soal pasang surut air laut. Empat lembar lainnya memuat peta yang sebenarnya. Yerusalem diletakkan dekat di pusat. Ia menggambarkan dunia timur, Eropa, dan Afrika Utara. Peta menunjukkan pula ilustrasi banyak kota. Kota-kota Kristen disimbolkan dengan salib, kota-kota lain dengan kubah. Sementara kesetiaan politik disimbolkan dengan bendera. Garis vertikal biru digunakan sebagai lambang lautan. Di peta itu disertakan pula letak pelabuhan-pelabuhan penting dengan simbol warna merah. Sementara pelabuhan lainnya hitam. Menggambar Benua Amerika Ilustrasi Menggambar Benua Amerika Kendati belum sepenuhnya tergambar sempurna, benua Amerika akhirnya menemukan bentuknya dalam peta. Di antara peta penting dalam Cosmographia adalah peta “Tabula novarum insularum”, sebagai peta pertama yang menunjukkan benua Amerika terpisah secara geografis. Sebastian Münster, kartograf Jerman yang membuat peta ini. Petanya pertama kali dipublikasikan pada 1540, 50 tahun setelah Columbus menjejakkan kaki di benua tak bernama itu. Di peta ini, untuk pertama kali Amerika Utara dan Selatan dibuat saling menyambung dan terpisah dengan Asia. Peta ini menandai kemajuan pesat dibanding peta-peta pada masanya. Meskipun 25 tahun berikutnya beberapa pembuat peta masih melakukan sebaliknya. Cosmographia pada 1544 adalah deskripsi dunia berbahasa Jerman yang paling awal. Salah satu karya paling sukses dan populer di abad ke-16. Karya ini dicetak ke-24 edisi dalam 100 tahun. Ia memiliki banyak versi dalam berbagai bahasa, termasuk Latin, Prancis, Italia, Inggris, dan Ceko. Proyeksi Mercator Ilustrasi Proyeksi Mercator Perjalanan laut menjadi lebih mudah setelah 1569 karena Gerardus Mercator, kartografer Belgia, meluncurkan inovasi terbesar dalam pemetaan setelah Ptolemeus: Proyeksi Mercator. Mercator menemukan trik terbaik untuk mewakili permukaan bola dunia pada peta. Sebagai ahli matematika, dia mengembangkan proyeksi pemetaan berdasarkan keahliannya. Hasilnya jauh lebih akurat daripada peta lain pada masanya. Secara bertahap, di peta itu Mercator memperluas daratan dan lautan. Semakin jauh ke utara dan selatan semakin jauh mereka muncul di peta. Ini adalah bantuan besar untuk navigasi, tetapi juga secara halus mengubah cara melihat dunia. Negara-negara yang dekat dengan kutub, seperti Kanada dan Rusia, diperbesar secara artifisial, sementara daerah-daerah di Equator, seperti Afrika, menyusut. Atlas Modern Ilustrasi Atlas Modern Makin banyak peta yang dibuat pada abad ke-16. Pada 1570, atlas modern pertama diterbitkan oleh Abraham Ortelius, seorang kartografer asal Antwerp, Belgia. Ortelius tertarik membuat peta dipengaruhi oleh Gerardus Mercator. Dia mengabdikan diri dalam dunia kartografi hingga ia bisa menerbitkan atlas dunia pertamanya, Theatrum Orbis Terrarum (Theatre of the World). Koleksi peta pertama berbentuk buku sebelum Mercator menerbitkan atlas dunia. Atlas Ortelius merupakan instrumen paling akurat untuk menunjukkan dan memberitahukan bentuk dunia yang selama ini menjadi dugaan semata. Sebab, pada zaman itu, peta yang ada masih merupakan campuran fakta, spekulasi, dan fantasi. Wujud Australia Ilustrasi Wujud Australia Australia pertama kali diidentifikasi sebagai benua oleh Matthew Flinders, navigator dan kartografer Inggris. Dia memimpin penjelajahan kedua di New Holland yang kemudian disebut “Australia atau Terra Australis”. Dia memasukkan nama Australia di peta benua itu yang terbit pada 1814. Flinders melakukan tiga perjalanan ke laut selatan antara 1791 dan 1810. Dalam perjalanan kedua, Flinders mengkonfirmasi bahwa Tanah Van Diemen (sekarang Tasmania) adalah sebuah pulau. Dalam perjalanan ketiga, Flinders mengelilingi daratan yang disebut Australia, ditemani oleh lelaki Aborigin Bungaree. Sebelumnya keberadaan daratan di selatan hanya sebatas teori. Kebanyakan pembuat peta pun tak tahu kalau Australia adalah sebuah benua. Perubahan Dunia Ilustrasi Perubahan Dunia Peta mencatat perubahan-perubahan di dunia. Misalnya sebelum Perang Dunia I, peta Eropa jauh berbeda dengan saat ini. Beberapa wilayah yang kini menjadi negara merdeka ketika itu di bawah kekuasaan beberapa negara besar, seperti Austro-Hungaria, Jerman, Ottoman, dan Kekaisaran Rusia. Di sana juga ada beberapa negara kecil, seperti Serbia, Montenegro, Albania, Romania, Bulgaria, dan Yunani. Beberapa negara yang kini dikenal, seperti Polandia, belum muncul. Setelah Perang Dunia I yang berakhir pada 1918, banyak negara, termasuk Polandia, Cekoslovakia, Yugoslavia, Estonia, Slovakia, Latvia, dan Lithuania memisahkan diri. Setelah Perang Dunia II, pada 1981 peta Eropa menunjukkan Jerman yang terpecah menjadi dua, Jerman Barat dan Timur. Lalu negara Uni Soviet berdiri dan mendapatkan kembali beberapa wilayah yang hilang dari Kekaisaran Rusia setelah Perang Dunia I. Jerman kemudian menjadi satu kembali. Uni Soviet tak lagi ada. Di lokasinya sekarang terdapat beberapa negara, seperti Rusia, Ukrania, Belarusia, Moldova, dan banyak lagi. Sementara area yang tadinya Yugoslavia, terbagi menjadi Slovenia, Kroasia, Bosnia-Herzegovina, Montenegro, Serbia, dan Macedonia. Semakin Akurat Bukan lagi lewat penjelajahan lautan, pada Desember 1968, tiga astronot pergi keluar angkasa dengan Apollo 8 dan untuk pertama kalinya melihat dunia dengan mata kepala sendiri. Jauh sebelumnya, manusia punya persepsi sendiri mengenai bentuk dunia. Lalu teknologi baru, lewat satelit dan komputer, semakin mengungkap banyak hal menarik mengenai bumi. Mulai 1800-an foto-foto bumi diambil dari angkasa. Kini hampir semua peta dan informasi geografi dibuat dengan beberapa metode pengambilan foto udara, alih-alih melakukan pengukuran di atas tanah. Bedanya dengan pemetaan pada masa yang lebih tua, kini dari luar angkasa dunia tak dilihat berdasarkan kondisi politik dan lepas dari batasan-batasan yang diciptakan manusia. Dunia hanya dipecah oleh batasan alam, tanah dan air.





















