top of page

Hasil pencarian

9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Si Bung dan Para Burung

    PRESIDEN Sukarno dikenal sebagai penyayang binatang, terutama burung. Ia paling tidak suka melihat burung terkurung dalam sangkar. Soal ini diketahui kalangan terdekatnya saja. Namun, banyak orang menyangka Sukarno, sebagai keturunan Jawa, tidak lepas dari hobi memelihara burung. Suatu hari datanglah dua lelaki Maluku ke Istana Negara. Mereka ayah dan anak. Kepada para pengawal presiden, mereka mengatakan ingin mempersembahkan seekor burung nuri raja yang indah kepada presiden. Bagaimana respons Sukarno? Bambang Widjanarko, ajudan Sukarno, mengisahkannya dalam Sewindu Dekat Bung Karno . Alih-alih menolak, Sukarno menyambut tamunya dengan ramah. Ia menanyakan keluarga, perjalanan, dan kondisi daerah asal mereka. Diajaknya pula tamunya menikmati minum teh dengan kue. Setelah banyak bercerita, barulah Sukarno menanyakan soal burung nuri raja yang dibawa tamunya. “Jadi Bapak mau menghadiahkan burung ini kepada saya? Jika ya, saya boleh berbuat apa saja terhadap burung ini, bukan?” ujar Sukarno. “Ya Pak, tentu saja. Terserah Bapak mau diapakan burung ini,” jawab salah seorang tamu itu. “Nah kalau begitu, ikutlah saya,” ujar Sukarno sambil menuruni tangga Istana dan berdiri di pinggir taman. Sambil menoleh kepada si bapak itu, Sukarno lantas memerintahkan seorang pengawalnya untuk melepaskan burung yang indah itu ke alam bebas. Menyaksikan pemandangan tersebut, kedua tamu dari Maluku itu hanya bisa melongo. “Pak, burung ini akan jauh lebih senang bila ia lepas bebas dapat terbang ke manapun. Biarkan ia merdeka, seperti kita pun ingin merdeka selama-lamanya,” kata Sukarno. Masalah burung bagi Sukarno tak bisa dikompromikan. Siapapun yang memasung kebebasan burung, jika ia tahu, pasti akan ia suruh melepaskannya. Hal ini juga pernah dialami Letnan Satu C.H. Sriyono, anggota Detasemen Pengamanan Chusus (DPC) Tjakrabirawa dari Corps Polisi Militer (CPM). Ceritanya, saat bertugas di Istana Tampaksiring, Sriyono membeli seekor jalak bali. Supaya tidak ketahuan Sukarno, ia memasukan jalak bali itu ke salah satu kantong celananya. Namun tetap saja ketahuan. “Itu apa yang ada dalam saku celana kamu? Kok gerak-gerak?” tanya presiden. “Siap! Burung, Pak!” “Lepaskan!” “Siap!” Jalak bali pun bebas, terbang tinggi, meninggalkan pembelinya yang gondok luar biasa.*

  • Macan Jawa di Final Piala Dunia

    DARI tiap gelaran Piala Dunia, hingga kini Indonesia masih dalam tahap hanya bisa bermimpi untuk ikut di dalamnya. Di Piala Dunia 1958, Indonesia sebetulnya berpeluang besar lolos, namun politik luar negeri Indonesia menghentikannya. Alhasil, untuk sementara negeri ini hanya bisa menghibur diri dengan klaim keikutsertaan di Piala Dunia 1938 meski masih Hindia Belanda. Hanya barang-barang buatan Indonesia yang hingga kini bisa tampil di Piala Dunia. Yang jarang diketahui, keterlibatan Macan Jawa di Piala Dunia 1974. Macan Jawa itu bahkan eksis sampai di partai final yang dimainkan Jerman Barat (Jerbar) vs Belanda. Namun, macan itu hanyalah motif dalam sekeping koin yang digunakan wasit Jack Taylor, yang memimpin partai final, sebagai alat pengundi sebelum kickoff. Gambar panthera tigris atau macan Jawa mengisi bagian depan sementara Garuda Pancasila beserta tulisan “Bank Indonesia” mengisi bagian belakang koin perak tersebut. Menurut keterangan di salah satu panel Ruang Numismatik Museum Bank Indonesia, “(Koin) Rp2000 tahun 1974 dibuat khusus dalam seri cagar alam dalam rangka kerjasama dengan WWF dan IUCN.” Selain dua lembaga konservasi tersebut, kerjasama melibatkan Bank Indonesia dan Royal Mint, perusahaan percetakan koin dan medali Kerajaan Inggris. Royal Mint membuat koin itu dengan ukuran diameter 38,61 milimeter dan berbobot 25,31 gram, kandungan peraknya 50 persen. Koin dibuat terbatas hanya tiga keping untuk dijual dalam rangka penggalangan dana konservasi alam. “Hasil penjualannya digunakan untuk program-program pelestarian (alam). Koinnya dicetak di Royal Mint sebagai pencetak koin dan medali terbaik dunia,” tulis Majalah Time and Tide edisi Oktober 1974. Kapten timnas Jerbar Franz Beckenbauer sempat penasaran terhadap koin yang bernama resmi Conservation Coin Collection WWF itu. Sesaat setelah wasit Taylor membunyikan peluit panjang tanda istirahat, dia menghampiri Taylor dan menanyakan dari mana koin itu didapat. Sayang, Taylor tak menjawabnya. “Taylor yang sepanjang kariernya menjadi wasit di tiga Piala Dunia, menyimpan peluit emas yang diberikan sebagai kenang-kenangan, bersamaan dengan koin yang dia gunakan untuk pengundian ( kickoff ) di Piala Dunia 1974,” tulis Mirror , 9 Juli 2010. Selain yang dikoleksi Taylor, sekeping koin ini yang lain sekarang berada di tangan Haris Budiman, seorang kolektor koin lawas di Indonesia. Dia membelinya dari situs jual-beli online eBay . “Saya sudah koleksi sejak 2013. Banyak yang saya beli (koleksi-koleksi koin) di eBay , padahal itu koin asli Indonesia,” ujar Haris kepada Historia . “Untuk koin Rp2000 atau (yang bergambar) macan Jawa dari bahan perak 50 persen harganya sekitar 35 dolar Amerika,” sambungnya. Haris mengaku punya sertifikat aslinya. Di blog yang dikelolanya, Numismatik Indonesia, dia menampilkan sertifikat keaslian koin yang bertandatangan Deputy Master of the Royal Mint John R. Christie. “Sertifikat keaslian yang diterbitkan Royal Mint, atas nama (pemerintah) Republik Indonesia, keterangan ini sebagai bukti bahwa Conservation Coin Collection ini dicetak Royal Mint atas kerjasama dengan World Wildlife Fund dan International Union for Conservation of Nature and Natural Resources,” demikian bunyi terjemahan keterangan berbahasa Inggris itu. Tak hanya terkait sepakbola, Macan Jawa menjadi bukti pertama Indonesia ikut menyokong WWF dan IUCN. Berbarengan dengannya, ia menandai keikutsertaan kembali Indonesia dalam kualifikasi Piala Dunia sejak absen pasca-Kualifikasi Piala Dunia 1958 gara-gara situasi politik. Koin istimewa itu menjadi “wakil” pertama di Piala Dunia sejak lepas dari jajahan Belanda. Kebanggaan lain, menyusul jelang Piala Dunia 1990 ketika Adidas selaku produsen bola resmi Piala Dunia memilih bola sepak produksi Solo –bersama bola asal Pakistan– menjadi salah satu bola yang digunakan di event empat tahunan itu. Menjelang Piala Dunia 1998, Adidas menggandeng Sinjaraga Santika Sport (SSS), produsen bola asal Majalengka, Jawa Barat yang telah mendapat lisensi FIFA, untuk memproduksi bola “Tricolore”. Kerjasama itu terus berlanjut hingga gelaran Piala Dunia 2014 yang menggunakan bola resmi “Brazuca”.

  • Mengapa Rumah Cimanggis Harus Diselamatkan?

    PERNYATAAN pers Hussein Abdullah, juru bicara Wakil Presiden Jusuf Kalla, baru-baru ini yang mengatakan sejarawan mendadak perhatian pada Rumah Cimanggis yang akan dihancurkan untuk pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), mendapat bantahan dari Komunitas Sejarah Depok. Ratu Farah Diba, ketua Depok Heritage Community, mengatakan bahwa perhatian terhadap Rumah Cimanggis tidak tiba-tiba. Setidaknya sejak 2011 sejarawan dan pemerhati situs-situs sejarah telah bergerak untuk menyelamatkan situs-situs sejarah termasuk Rumah Cimanggis. Depok Heritage Community telah mendaftarkan Rumah Cimanggis ke kantor Badan Pelestari Cagar Budaya (BPCB) Serang dengan nomor registrasi 007.02.24.04.11. Pendaftaran ini adalah tindak lanjut dari kerja inventarisasi situs-situs sejarah di Depok yang dilakukan sejak tahun 2010. “Jadi, tujuh tahun lebih sebelum heboh UIII,” tegas Farah, dalam keterangan pers yang diterima Historia. Farah bilang, tentu saja pihaknya dan masyarakat Depok tidak perlu repot jika pemerintah menjalankan amanat UU Cagar Budaya No. 10 tahun 2011. Di sana tertulis, bahwa untuk melestarikan cagar budaya, negara bertanggung jawab dalam pengaturan pelindungan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. “Kami para sejarawan dan masyarakat Depok tentu tidak perlu repot melakukan upaya-upaya memperhatikan, menginventarisasi, mengumpulkan informasi kesejarahan dan mendaftarkan situs sejarah,” ujarnya. Ketua Forum Komunitas Hijau (FKH) Kota Depok Heri Syaefudin merasa heran kenapa proyek UIII di kawasan RRI tidak disosialisasikan dengan warga Depok. Padahal, dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Depok, kawasan RRI adalah Ruang Terbuka Hijau (RTH). “Yang santer terdengar justru berita pada tahun 2015 kawasan itu oleh Walikota Nurmahmudi disosialisasikan sebagai arboretum atau hutan kota yang bisa menjadi paru-paru dunia,” ujar Heri. Saat ini, kata Heri, Depok baru memenuhi sembilan persen RTH publik. Oleh karena itu, wacana RTH di kawasan RRI sangat dibutuhkan untuk memenuhi 30 persen kewajiban RTH. “Sekaligus bisa difungsikan sebagai kawasan resapan yang menahan run off jika musim hujan tiba dan dengan demikian mengurangi kemungkinan banjir ke Jakarta,” kata Heri. Sementara itu, sejarawan JJ Rizal menegaskan gerakan #SelamatkanRumahCimanggis berkonsentrasi lebih kepada bagaimana agar situs sejarah itu selamat, bukan pada upaya menolak keberadaan UIII. Sebab, bagi gerakan ini tak perlu mempertentangkan dua hal yang sebenarnya berfungsi sama, yaitu sebagai medium pendidikan. “Seperti juga universitas, bagi kami situs sejarah juga medium pendidikan,” kata Rizal. Apalagi yang akan didirikan adalah Universitas Islam Internasional yang disebut akan dijadikan pusat peradaban Islam. Menurut Rizal, Islam dan sejarah sangat dekat hubungannya. Al-Qur’an hampir dalam banyak kandungan bertutur tentang masa lalu. “Qur’an tak sekadar cerita tapi juga mengajak umatnya memahami makna peristiwa masa lalu agar berpikiran bukan hanya luas tetapi juga sehat. Sebab, dalam kandungan ajaran Islam masa lalu itu adalah sumber pelajaran,” jelas Rizal.

  • Daftar Panjang Kebakaran Situs Sejarah

    KEBAKARAN yang melanda Museum Bahari Selasa (16/1) lalu telah menghapus sebagian jejak masa lalu perjalanan sejarah bangsa. Gedung A, C, dan D museum yang merupakan bangunan cagar budaya hampir ludes kecuali dinding-dindingnya. Bersama kebakaran itu, sejumlah koleksi museum ikut sirna pula. Celakanya, kecelakaan itu terjadi dengan penyebab yang tak jauh beda dari musibah-musibah lain sebelumnya. Kepala Museum Bahari Husnison Nizar mengakui, museumnya masih minim peralatan keamanan seperti sprinkle dan alat pendeteksi asap. Pembaruan instalasi listrik pun baru dalam tahap rencana dan penganggaran. “Ya kita hanya ada sedia APAR (alat pemadam api ringan). Tahun ini sebenarnya sudah kita anggarkan instalasi listrik, totalnya sekitar Rp800 juta,” tutur Husnison di lokasi, Selasa (16/1/2017). Kebakaran itu mendatangkan keprihatinan masyarakat. Ketua Umum Asosiasi Museum Indonesia (AMI) Putu Supadma Rudana langsung meninjau lokasi dan memberi simpati kepada Sonni, sapaan Husnison. “Kita turut prihatin. Yang namanya musibah, kita mana tahu kapan dan bagaimana datangnya. Tapi semoga ini bisa jadi pelajaran ke depannya agar tidak terjadi lagi. Kita juga siap bantu dan kalau ada apa-apa, mohon beritahukan saja ke kami,” cetus Putu, yang juga anggota Komisi X DPR RI, saat berbincang dengan Husnison di lokasi. Kebakaran Museum Bahari menambah panjang daftar musibah yang terjadi pada museum, cagar budaya, dan situs-situs bersejarah di Indonesia. Pada 11 Juli 2017, Istana Bala Putih di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) juga ludes dilahap api. Menurut saksi mata, kebakaran di istana yang didirikan tahun 1931 dan dijadikan tempat tinggal Sultan Kaharudin III itu diawali dengan suara ledakan. Api lalu merembet ke seluruh bangunan yang pada 1959 dihibahkan kepada pemerintah dan dijadikan Gedung Wisma Daerah itu. Di bulan dan tahun yang sama, kebakaran juga menghanguskan sebuah bangunan bersejarah peninggalan masa Hindia Belanda di Bandung. Kebakaran di bangunan yang kini dimiliki PT KAI Daerah Operasi II Bandung itu juga disebabkan korsleting yang terjadi di sebuah kontrakan dekat bangunan tersebut. Pada 19 Oktober 2015, bangunan bersejarah yang ditempati Polres Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan juga habis terbakar. Penyebabnya sama, hubungan arus pendek. Akibat kebakaran itu ruangan Bagian SDM, ruangan Sat. Binmas, ruangan SPKT ludes. Gedung yang didirikan pada 1738 itu semasa Hindia Belanda merupakan kediaman residen Selayar. Setelah dikuasai Laskar Pejuang Rakyat Indonesia Selayar (LAPRIS) dan dijadikan markasnya, gedung itu lalu dijadikan kantor Polres. Di tahun yang sama pula, 16 Juli 2015, kebakaran melumat kelenteng berusia 150 tahun Liong Hok Bio di Magelang. Api diduga berasal dari dupa di salah satu tempat persembahyangan kelenteng. Tiga bulan sebelumnya, 2 Maret 2015, nahas serupa menimpa Vihara Dharma Bhakti di Petak Sembilan, Jakarta Barat. Menurut penyelidikan, api berasal dari lilin dan dupa yang ada di sana. Vihara Dharma, sebagaimana dijelaskan jakarta.go.id , merupakan salah satu vihara tertua di ibukota. Awalnya, vihara yang berdiri pada 1650 itu bernama Kelenteng Guo Kun Guan. Belanda menghancurkan kelenteng itu pada 1748 usai Geger 1740. Tapi kapitan Tionghoa membangunnya kembali pada 1755 dengan nama Kelenteng Jin De Yuan. Kebakaran terhadap bangunan bersejarah juga terjadi pada rumah betang terpanjang dan tertua di Kalimantan Barat, Uluk Palin, pada 13 September 2014. Api diduga berasal dari kayu bakar yang digunakan warga setempat untuk memasak. Menurut catatan, rumah adat suku Dayak sepanjang 286 meter dan lebar 15 meter ini didirikan pada 1941. Rumah itu disekat 53 bilik untuk dihuni 560 jiwa. “Diharapkan musibah ini jadi pelajaran bagi pemerintah karena rumah betang bisa punah. Apalagi Uluk Palin ini bernilai sejarah tak ternilai. Meski arsitekturnya sudah diperbarui, nilai budayanya tak seperti dulu lagi,” ungkap Ketua Komunitas Masyarakat Pariwisata Kapuas Hulu Hermas R Maring, dikutip harian Kompas 15 September 2014. Pada tahun itu pula kebakaran menghanguskan kelenteng tertua di Banyuwangi, Jawa Timur, Hoo Tong Bio, pada 13 Juni. Api berasal dari tempat persembahyangan sisi kanan kelenteng. Akibatnya, beberapa dokumen sejarah dan prasasti pendirian kelenteng yang dibangun pada 1784 itu ikut musnah. Di kota pahlawan Surabaya, Gedung Balai Pemuda mengalami nahas serupa pada 20 September 2011. Api dari korsleting menghanguskan gedung yang berdiri pada 1907 itu. Pada masa kolonial, gedung bernama De Simpangsche Societeit itu merupakan tempat “dugem” orang-orang Belanda. Setelah direbut dan dijadikan markas Pemuda Republik Indonesia (PRI) pada masa revolusi fisik, gedung itu kemudian diambilalih penguasa militer (kini Kodam) pada 1950. Tujuh tahun kemudian, gedung itu diserahkan ke Pemerintah Kota Surabaya, sekaligus mengubah namanya menjadi Balai Pemuda. Tujuh belas hari sebelum kebakaran Balai Pemuda, kebakaran menghanguskan Rumah Bolon di Museum Batak TB Silalahi –yang dibangun mantan menteri Pendayagunaan Aparatur Negara TB Silalahi pada 7 Agustus 2006– di Balige, Sumatera Utara. Lagi-lagi, api berasl dari korsleting. Kebakaran terhadap bangunan cagar budaya juga menghampiri Istana Pagaruyung di Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada 21 Maret 2010. Akibatnya, koleksi kain adat, perabotan rumah tangga, hingga sejumlah alat-alat upacara adat ikut musnah. Hanya beberapa dokumen penting perihal istana yang selamat jilatan api. Dalam catatannya, bangunan yang oleh masyarakat setempat disebut Istana Si Linduang Bulan itu didirikan Sultan Alif Kalifatullah pada 1550. Dua abad kemudian, istana itu direstorasi karena beberapa bagiannya sempat runtuh. Kebakaran pada 2010 itu bukan kebakaran pertama Istana Pagaruyung. Selain pernah mengalaminya saat Perang Paderi (1821), istana itu kembali terbakar pada 3 Agustus 1961dan 21 Maret 2010.

  • Ketika Si Bung Murka

    Apa yang terjadi usai KRI Matjan Tutul dikeroyok oleh tiga kapal perang Belanda? Dalam pelariannya di atas KRI Harimau, Kolonel Sudomo dengan sigap segera mengirim kawat ke MBAL (Markas Besar Angkatan Laut) di Jakarta. Dia meminta agar MBAL mengontak MBAU (Markas Besar Angkatan Udara) agar secepatnya mengirimkan pesawat-pesawat pembom AURI untuk membantu posisi KRI Matjan Tutul. “Saya meminta mereka untuk membom saja kapal-kapal Belanda yang sedang mengejar tersebut, karena jelas mereka semua sudah memasuki wilayah perairan territorial Indonesia,” ujar Sudomo kepada Julius Pour dalam Laksamana Sudomo:Mengatasi Gelombang Kehidupan. Alih-alih terlaksana, permintaan Sudomo itu malah tak mendapat respon apapun. Mengetahui gelagat seperti itu, Asisten Operasi KASAD Kolonel Moersjid yang saat itu ada di dalam KRI Harimau, menjadi geram. Belakangan, diketahui bahwa meskipun kawat itu sampai ke MBAU, namun pihak AURI mengalami kesukaran teknis operasional untuk mewujudkan suatu permintaan yang sifatnya mendadak dan tidak terencana. Presiden Marah Begitu sampai di pangkalan, Kolonel Moersjid langsung terbang ke Jakarta. Setiba di ibu kota, dia lantas menemui Menteri Panglima Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution. Moersjid melaporkan semua yang dia alami di Arafuru, termasuk respon negatif AURI. Nasution menanggapinya dengan diam seribu basa. Moersjid kesal, lantas berkata kepada atasannya itu: “Jenderal takut melaporkan kenyataan ini?” Hening sejenak. Namun keluar juga ucapan dari Nasution “Hari ini akan ada sidang Dewan Pertahanan Nasional di Istana Bogor, silakan Kolonel ikut ke sana…” Empat hari setelah kejadian Insiden Arafuru, Moersjid melangkah ke ruang rapat di Istana Bogor. Di hadapan Presiden Sukarno dan para perwira tinggi, secara emosional dia menceritakan apa yang dia alami selama ada di palagan Arafuru. “Saya tak pedulikan semuanya. Pangkat saya hanya kolonel, pangkat paling rendah dari seluruh hadirin di ruangan tersebut. Saya nothing to lose , maka saya beberkan saja semuanya dengan lugas. Omong kosong AURI mampu menjaga wilayah udara Indonesia up to the minute , omong kosong karena tak seekor pun (pesawat) capung muncul ketika kapal kami diserang…” Mendengar laporan langsung dari Moersjid, wajah Presiden Sukarno menjadi merah padam. Nampak sekali Si Bung menjadi murka. Dia lantas membuat rapat terbatas bersama panglima dari ketiga angkatan: Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Saat memasuki ruang rapat itulah, tetiba Kasal R.E. Martadinata langsung menunjuk muka Kasau Suryadarma. “Mengapa AURI tidak membantu kapal saya?!” tanyanya sambil terlihat emosional. Suryadarma yang merasa tak pernah dilibatkan dalam operasi itu tentu saja tak bisa menerima begitu saja dirinya disalahkan. Menurutnya, tak ada alasan bagi AURI untuk menolak tugas jika memang sebelumnya sudah dikonfirmasi mengenai suatu operasi rahasia. “Sepanjang pengetahuan saya, tidak ada surat tembusan ke AURI bahwa ALRI sedang mengadakan operasi,” jawab Suryadarma dalam biografinya Bapak Angkatan Udara: Suryadi Suryadarma karya Adityawarman Suryadarma. Usai rapat, Suryadarma langsung menuju MBAU. Dari seluruh berita yang masuk melalui PHB Langgur ditemukan satu berita SOS yang berasal dari KRI Matjan Tutul (bukan dari KRI Harimau). Namun ketika dikonfirmasi oleh PHB Langgur, taka da respon sama sekali dari sana. Saat itu juga, PHB Langgur menindaklanjuti dengan melakukan cross-check ke PHB Cililitan, dilanjutkan dengan menanyakan kepada piket Komando Mandala. Namun piket Komando Mandala pun menyatakan tak tahu menahu tentang adanya kegiatan operasi tersebut. Suryadarma Diberhentikan Merasa tidak ada yang salah dengan AURI, dalam rapat kedua di Istana Merdeka bersama Bung Karno dan Kasad Nasution serta Kasal Martadinata, Kasau Suryadarma menyatakan bahwa AURI tak bisa disalahkan dalam kasus tersebut. “Bagaimana AURI bisa membantu kalau tidak tahu adanya kegiatan kalian. Kita harus lebih terbuka dalam merencanakan semua kegiatan operasi…” ujar Suryadarma. Apapun yang terjadi, Bung Karno terlanjur marah akibat Insiden Arafuru tersebut. Kepada ketiga kepala staf itulah, dia lantas bertanya: siapkah untuk melakukan aksi balas dendam kepada Belanda? Martadinata dan Nasution menyatakan siap. Hanya Suryadarma yang menyatakan tidak. Dalam biografinya, Suryadarma menyatakan tidak yakin dengan kekuatan personilnya. Jika keinginan Bung Karno, bahwa tentara kita harus diterjunkan secara besar-besaran di Irian itu artinya Indonesia sudah menyatakan perang terbuka kepada Belanda. Untuk perang terbuka, kata Suryadarma, PGT (Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara) tentu saja belum memiliki kemampuan itu. Mereka hanya bisa melakukan operasi terbatas saja. Soal perlengkapan komunikasi antar pasukan pun dinyatakan masih minim. Singkatnya, Suryadarma tidak ingin mengorbankan jiwa prajurit-prajuritnya secara sia-sia, hanya untuk menyenangkan hati Bung Karno. Kepada Si Bung, Suryadarma juga memaparkan bagaimana masalah akan terjadi jika pesawat-pesawat pembom AURI tidak mendapat pangkalan yang layak untuk menyerang posisi Belanda di Irian. “Kita memang punya Morotai, tapi terlalu jauh dari Irian. Adapun pangkalan udara Leftuan dan Langguran yang relatif dekat dengan Irian, kondisinya tidak memenuhi syarat untuk didarati oleh MIG-21…”ungkap Suryadarma. Alih-alih bisa menerima alasan Suryadarma, Bung Karno malah menarik Nasution dan Martadinata ke ruang sebelah. Mereka meninggalkan Suryadarma sendirian. Suryadarma sendiri mengakui dia sangat kecewa diperlakukan demikian oleh pimpinan tertingginya. Setelah beberapa lama, Bung Karno dan kedua kepala staf kembali ke ruangan di mana Suryadarma berada. Dengan suara berat namun tegas, ia menyatakan memberhentikan Suryadarma dari jabatannya sebagai Kepala Staf Angkatan Udara dan mengangkat Omar Dani sebagai penggantinya. Tentu saja, sebagai seorang tentara, tak ada sikap lain selain menerima pemberhentian itu secara lapang dada. Sepeninggal Suryadarma, operasi “balas dendam” pun dirancang. Awalnya aksi militer yang diberi sandi “Operasi Jayawijaya” itu akan dilakukan pada 12 Agustus 1962. Lantas karena banyak kendala, kemudian dimundurkan menjadi tanggal 19 Agustus 1962. Sebelum terjadi, empat hari pra operasi, markas besar PBB di New York mengumumkan bahwa perundingan antara Indonesia dengan Belanda telah berhasil mencapai suatu kesepakatan: Belanda akan angkat kaki dari Irian Barat pada 1 Mei 1963, Maka otomatis Operasi Jayawijaya pun tidak jadi diselenggarakan.

  • Cara Gratis Dapat Kapal Perang

    SUATU hari, India meluncurkan satelit barunya, tetapi jatuh di Samudra Hindia. Pecahannya terdampar di perairan Aceh. Begitu mendapat laporan, Asisten Operasi Kasum ABRI Laksda TNI Soedibyo Rahardjo segera mengirim pesawat C-130 Hercules untuk mengambil pecahan itu. Tak banyak yang tahu, rongsokan apa yang harus buru-buru diambil itu. Waktu diangkut, pilot mengomel, “rongsokan gini aja kok harus dibawa ke Jakarta.” Begitu mendarat di Halim Perdanakusumah, Soedibyo menyimpannya di gudang khusus. Dikunci dan dijaga ketat. “Saya yakin ada pihak-pihak yang berminat. Benar juga, pihak Amerika yang berminat, cuma tidak tahu kepada siapa mereka harus berhubungan,” kata Soedibyo dalam memoarnya, The Admiral. Rupanya ada yang membisiki, “ We can talk to the Admiral. ” Akhirnya, Atase Pertahanan (Athan) Amerika Serikat mendatangi Soedibyo. “Admiral, apakah aparat Anda menemukan sesuatu?” “Tidak ada,” jawab Soedibyo. “Ini ada report satelite was in a shore of Aceh .” “ Ndak , ndak ada itu,” kata Soedibyo. Athan kemudian membuka gambar satelit lengkap dengan peta dan menunjukkannya kepada Soedibyo. “Oh, ini maksudnya,” jawab Soedibyo seolah-olah tidak tahu. “Ya, ini, kenapa?” “Ini bagian dari peluru kendali India. Yang kita ingin tahu metalurginya apa?” kata Athan. “Metal ya? Diganti metal tidak?” Tanya Soedibyo. Si Athan bingung, “Maksudnya apa?” “Ya, saya minta diganti kapal perang. You boleh ambil itu tapi kita dapat kapal,” kata Soedibyo. Athan kemudian melapor ke atasannya di Washington DC. Mereka setuju. “Kita diberi tiga kapal perang bekas, tetapi masih bisa beroperasi secara utuh. (Rongsokan, red ) diangkut, baru ketahuan sistemnya India. Itu kan dari Rusia. Jadi, mereka mendapatkan nilai intelijen yang besar. Senilai tiga kapal fregat gratis dari sana untuk TNI AL,” kata Soedibyo.

  • Jatuh Bangun Tugu Proklamasi

    JIP-jip berisi orang Inggris terparkir di dekat Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta sejak pagi 17 Agustus 1946. Para wartawan asing tak mau ketinggalan untuk meliput acara hari itu. Mereka datang untuk mengawasi jalannya peresmian Tugu Proklamasi. Segala perisapan peresmian sudah siap. Tugu Proklamasi sudah diselubungi kain merah putih. Karangan bunga dari toko Florida milik Nyonya Gerung dan ibunya menjadi hiasan yang mengelilinginya. Tapi, hingga pukul sembilan pagi persemian belum juga dimulai. Padahal, jip-jip itu sudah mengawasi sejak tiga jam sebelumnya. “Pada jam 09.00 pagi saya kena marah Bung Syahrir,” kata Johanna Tumbuan atau Johanna Masdani dalam memoarnya di buku kumpulan cerita perempuan, Sumbangsihku Bagi Pertiwi . Rupanya peresmian tak kunjung dimulai karena menunggu rombongan dari Jalan Kimia. Maria Ullfah ada di rombongan itu. Mereka tak bisa masuk ke halaman Tugu Proklamasi karena dihalangi oleh serdadu India (Sekutu). Malam sebelumnya, para mahasiswa menginap di Gedung Proklamasi sementara para perempuan akan datang dari Balai Kota. Karena rombongan lain tidak bisa memasuki halaman Tugu Proklamasi, peresmian dilakukan orang-orang yang sudah ada di tempat. Alih-alih bersedia meresmikan, Walikota Jakarta Suwiryo justru menyarankan agar peresmian diundur menjadi 18 Agustus 1946. Dia mengkhawatirkan kegiatan yang berbau kemerdekaan menimbulkan clash dengan Belanda dan NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Mr. Maramis dan Jusuf Jahja juga ikut memperingatkan Johanna agar berhati-hati karena rawan terjadi pertumpahan darah. Johanna menolak untuk mundur. “Kalau kaum pria tak berani melakukannya, kami wanita akan melakukannya!” Acara pun tetap dilaksanakan tanggal 17 Agustus 1946. Perdana Menteri Sutan Sjahrir bersedia datang dari Yogyakarta untuk meresmikan tugu. Gagasan Perempuan Ide pembangunan Tugu Proklamasi datang dari para perempuan anggota Pemuda Puteri Indonesia (PPI) dan Wanita Indonesia. Kedua organisasi itu lalu membentuk panitia dengan Ibu Sukemi sebagai ketua peringatan dan Johanna Masdani sebagai ketua subpanitia. Beberapa perempuan yang menjadi anggota antara lain Mien Wiranatakusumah, Zubaedah, Nyonya Gerung, dan Emily Ratulangi. Desain tugu dirancang oleh Johanna dan disempurnakan oleh Kores Siregar. Pembangunannya ditangani Pak Toyib. Dana pembangunan tugu berasal dari sumbangan masyarakat. Johanna dan kawan-kawan mencarinya dengan cara berjalan kaki atau bersepeda dari rumah ke rumah. Lantaran dana yang terkumpul cukup banyak, hampir setengahnya lalu mereka kirim ke pejuang di garis depan. “Tugu Proklamasi yang bersejarah itu merupakan persembahan kaum wanita Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan,” kata Johanna. Dilupakan Sayangnya, keberadaan tugu tak dipahami banyak orang. ST Sularto dalam Bung Karno di antara Saksi dan Peristiwa menulis, pamor Tugu Proklamasi mulai menyurut sejak 1956 karena tak banyak dipedulikan orang. Johanna sampai terkejut ketika membaca berita di koran Keng Po , Minggu, 14 Agustus 1960. Berita itu memuat pernyataan Angkatan ’45 yang ingin menghancurkan Tugu Linggarjati. “Saya tak habis heran. Betapa mungkin? Apa yang kami buat adalah Tugu Proklamasi,” kata Johanna. Lebih lanjut Sularto menulis bahwa menurut Presiden Sukarno Tugu Proklamasi ini adalah Tugu Linggarjati. Johanna kontan membantahnya. “Persiapan kami lakukan sejak Juni 1946 sedangkan Linggarjati terjadi pada November 1946. Ini kan suatu kekeliruan besar,” katanya. Kesalahpahaman mengenai sejarah pembangunan tugu inilah yang melatarbelakangi penghancuran Tugu Proklamasi. Pada malam 15 Agustus 1960, Tugu dan Gedung Proklamasi dihancurkan. Johanna yang datang ke lokasi ditemani suaminya, kaget dan sedih. Dia terpana melihat tugu yang dia dan kawan-kawannya perjuangkan sudah rata dengan tanah. Bagaikan mimpi baginya. Bersama Maria Ullfah dan Lasmidjah Hardi, Johanna lalu menemui Gubernur Jakarta Sumarno. Dari Sumarno dia menerima marmer bekas Tugu Proklamasi yang bertuliskan “Dipersembahkan oleh wanita Repoeblik” dan tulisan Proklamasi dilengkapi peta Indonesia. Marmer itu sudah pecah menjadi tiga bagian. Pecahan marmer itu lalu dia simpan selama 12 tahun. Pada 1972, Johanna didatangi seorang kolonel atas perintah Dr. Soedjono. Sang utusan meminta pecahan marmer itu untuk pembangunan kembali Tugu Proklamasi. Pak Toyib kembali dipercaya untuk membangun ulang tugu itu. Pada 17 Agustus 1972, Menteri Penerangan Budiardjo meresmikan Tugu Proklamasi yang dibangun ulang itu. “Impian saya terwujud kembali ketika pada 17 Agustus 1972 tugu itu diresmikan kembali,” kata Johanna.

  • Hadiah untuk Sang Ratu

    PADA akhir abad ke-19, Amsterdam ada di ambang perpecahan. Jurang perbedaan antara kaya dan miskin semakin menganga. Api konflik mengintip untuk berkobar hebat. Satu percikan saja, dipastikan dapat membakar salah satu kota terbesar di Belanda tersebut. Amsterdam ibarat api dalam sekam. Di tengah suasana panas itulah, pada 1896 sekelompok masyarakat Amsterdam dari kalangan atas dan bawah berinsiatif menurunkan tensi konflik. Caranya mereka membuka donasi untuk mempersembahkan sesuatu bagi Putri Wilhelmina yang baru saja dinobatkan sebagai ratu Belanda. Setelah terkumpul uang sejumlah 120.000 gulden, maka mereka memutuskan untuk membuat sebuah kereta kencana yang sangat indah. “Firma Spyker terpilih untuk menangani proyek pembuatan kereta kencana itu,” demikian menurut Thijs van Leewen dan Alberto Strofberg dalam Gouden Koets . Dua tahun kemudian kereta bersepuh emas itu pun terwujud. Kendati sangat indah dan anggun, tak ayal Sri Ratu sempat menolak pemberian itu. Rupanya gejolak demonstrasi menentang kehidupan mewah Tsar Nicolaas yang sedang marak di Rusia saat itu menjadi sebab penolakan tersebut. “Sri Ratu khawatir itu pun akan terjadi pada dirinya,” tulis Wim Hulsman dalam sebuah artikelnya di Reformatorich Dagblad edisi 21 September 2010. Sebagai bentuk penghormatan, maka diputuskan kereta kencana diabadikan di museum saja. Namun akhirnya Sri Ratu mau juga menerima persembahan cinta penduduk Amsterdam itu. Kali pertama dia mencoba kereta kencana terjadi pada 4 Februari 1901, beberapa hari sebelum pernikahannya dengan Pangeran Hendrik berlangsung. Puncaknya, kereta kencana itu digunakan dalam pesta pernikahan mereka. Sejak itulah, kereta kencana milik Sri Ratu Belanda menjadi simbol persatuan nasional. Benda mewah tersebut menyusuri zaman demi zaman dalam berbagai peristiwa yang sangat penting bagi Belanda. Untuk saat ini, kereta kencana secara rutin dikeluarkan jika Belanda memperingati Hari Pangeran (Prinsjesdag) yang jatuh pada tiap 21 September, di mana Sri Ratu mengumumkan anggaran pemerintahan untuk tahun mendatang. Selalu pada hari itu, Sri Ratu yang mengendarai kereta kencana tersebut dengan ceria dan ramah akan melambaikan tangannya kepada khalayak yang berderet sepanjang jalan seraya mengelu-elukannya. Namun tidak semua rakyat Belanda memiliki kebanggaan atas kebiasaan itu. Salah satunya adalah Marjolein van Pagee. Menurut jurnalis sejarah tersebut, menempatkan secara penting dan patriotis kereta kencana itu dalam sejarah Belanda, bisa menimbulkan kesan yang tidak baik terutama untuk rakyat yang tinggal di bekas koloni Belanda. Bagaimana tidak, kata Marjolein, lukisan yang tertera dalam badan kereta kencana menyiratkan betapa masih merasa digjayanya Belanda atas orang-orang Jawa (Hindia Belanda), Suriname dan Afrika. “Jika terus diakbarkan dalam suatu peringatan hari yang penting, saya pikir itu bisa menyiratkan pesan yang salah,” ujar Marjolein kepada Historia . Perlu diketahui, selain keindahanya kereta kencana itu juga memang mengandung kontroversi. Hal-hal yang mengundang kontroversi tersebut ada di badan kereta yang memperlihatkan lukisan berjudul “A Tribute from Colonies”. Di lukisan itu tergambar bagaimana seorang kuli kulit hitam dengan penuh dedikasi dan rendah diri menawarkan hasil kerja kerasnya kepada Sri Ratu dan para pembantunya yang berpakaian ala Yunani kuno. Lantas di sebelah kanannya ada juga gambar bagaimana Sri Ratu disambut dengan penuh kerendahan hati oleh seseorang yang berpakaian bangsawan Jawa, sementara seorang kuli Hindia membungkuk di belakangnya. Sungguh sulit menolakj jika semua gambaran itu dikatakan bukan sebuah bentuk perasaan superior bangsa Belanda terhadap negara-negara jajahannya yang digambarkan bersikap inferior. Karena itu sangat wajar jika Jeffry M. Pondaag dari Yayasan KUKB (Komite Utang Kehormatan Belanda) menyebut kereta kencana tersebut alih-alih simbol persatuan melainkan sebagai simbol penindasan. Itulah yang membuat Jeffry bersikeras mengusulkan agar kereta kencana milik Sang ratu tersebut dikembalikan saja ke museum. “Karena ritual penggunaan kereta kencana itu dalam urusan kenegaraan dapat diartikan sebagai sebuah pola sikap dan bentuk kebijakan Kerajaan Belanda dalam setiap urusan kenegaraan, baik di dalam maupun di luar negeri,” ujar Jeffry. Sebagai protes resmi, pada 2013 Jeffry lewat yayasan KUKB pernah membuat petisi terkait kereta emas ini dan banyak sekali didukung oleh masyarakat, baik dari kalangan keturunan Indonesia maupun dari warga Belanda asli. Tentu saja protes ini tak pernah mendapat sambutan dari pemerintah Belanda, kecuali sejak 2016 kereta kencana tidak lagi digunakan dengan alasan sedang mengalami renovasi. "Saya pikir dari julukan aslinya saja yakni "Upeti dari Koloni", kereta emas ini sangat bermasalah dan sangat rasis hingga tak layak lagi dibangga-banggakan oleh pemerintah Kerajaan Belanda," ungkap Jeffry kepada Historia.

  • Siapa Van der Parra, Pemilik Rumah Kuno di Depok?

    SEBAGIAN besar atapnya rubuh. Beberapa temboknya juga hilang. Tanaman rambat menutupi sebagian tembok yang masih berdiri. Rumput liar tumbuh tak terurus. Rumah kolonial itu lebih mirip rumah hantu. Namun, jendela-jendela kacanya yang besar menunjukkan rumah itu bukan milik orang biasa. Kini, rumah di Cimanggis itu diperbincangkan karena akan dirobohkan untuk membangun Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII). Wakil Presiden Jusuf Kalla justru menilai tak ada yang perlu dibanggakan dengannya, karena rumah itu bekas hunian istri kedua gubernur jenderal VOC yang korup. Ratu Farah Diba, ketua Depok Heritage Community, menyayangkan pernyataan ketua Yayasan UIII itu. “Jangan menilai tinggalan sejarah dari kehidupan pemiliknya. Namun, dari segi peninggalan bersejarahnya,” kata Farah kepada Historia , Selasa (16/2). Hal senada disampaikan Achmad Sunjayadi, dosen Departemen Sejarah di Universitas Indonesia, jika hanya melihat prilaku korupsi pejabat Hindia Belanda di masa lalu, maka akan banyak bangunan kolonial di Jakarta yang hancur. “Kalau kita lihat bangunan (kolonial, red ) di Jakarta semuanya hasil korupsi juga. Tapi jangan itu yang ditekankan. Sejarah tidak hanya baik-baik saja, yang negatif juga harus diceritakan agar kita bisa belajar untuk tidak melakukan hal negatif itu, seperti korupsi,” kata Achmad kepada Historia . Dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta , sejarawan Adolf Heuken menulis Rumah Cimanggis atau Landhuis Tjimanggis dibangun oleh David J. Smith antara 1775-1778. Rumah itu kemudian ditempati oleh istri gubernur jenderal VOC ke-27, Van der Parra. Letaknya pada kilometer 34 arah Bogor sebelum masuk kawasan Cibinong. Rumah itu kini ada dalam kompleks RRI (Radio Republik Indonesia). Farah mengatakan 40-50 persen bangunan itu rusak. Meski begitu, batas ruangannya masih terlihat. “Jadi, masih terlihat bentuk aslinya. Kerusakan terbesar pada atap,” ujarnya. Menurutnya, bangunan itu rusak sejak ditinggalkan karyawan RRI yang pernah menempati rumah itu sejak sekira 2002-2003. Pada 2005-2009 bangunan masih terlihat utuh. Namun, sudah berantakan, karena penuh barang-barang yang tidak dibawa pindah karyawan RRI itu. Farah bilang, pihak RRI tidak melakukan perawatan. Hingga akhirnya pada 2010 bagian atap mulai berjatuhan. “Bangunan mulai ditelantarkan sejak ditinggalkan pada 2003,” tegasnya. Gubernur Jenderal Korup Windoro Adi dalam Batavia, 1740: Menyisir Jejak Betawi menulis Petrus Albertus van der Parra lahir pada 29 September 1714 di Kolombo, Sri Lanka. Ini membuatnya menjadi orang Belanda yang tak merasakan langsung kehidupan Eropa. Dia tak begitu saja menjajaki karier gemilang sebagai pejabat papan atas di Hindia Belanda. Anak sekretaris kantor gubernur Sri Lanka itu memulai kariernya pada usia 14 tahun sebagai soldaar van de penne atau serdadu pena. Dia melanjutkan kariernya sebagai tenaga pembukuan saudagar junior, penyalin naskah, dan tenaga pembukuan sekretariat umum di Batavia. “Dia mengawali karier dari bawah sampai posisi pejabat di VOC,” kata Achmad. Pada 15 Mei 1761, Dewan Hindia Belanda mengangkat Van der Parra sebagai gubernur jenderal menggantikan Jacob Mossel. Dia merayakan pengangkatannya dengan upacara besar-besaran. Hari kelahirannya pun dia tetapkan sebagai hari pesta nasional. “Dia memang terkenal glamor hidupnya mengikuti pendahulunya. Periode sebelumnya, Mossel, juga sama merayakan pelantikan secara mewah. Ini diteruskan, seperti ada tradisi dari para gubernur jenderal itu. Track record -nya bisa dibilang sering korupsi karena memang banyak kesempatan,” jelas Achmad. “Pola hidup semacam ini,” lanjut Achmad, “ikut mempengaruhi keuangan VOC, yang memang sudah masuk dalam periode 40 tahun menjelang organisasi itu bubar (1799).” Sementara itu, dia hanya meneruskan kebijakan-kebijakan gubernur jenderal sebelumnya. Tak sedikit yang membenci Van der Parra karena korupsi dan gaya hidup mewahnya. Upaya menjatuhkannya termasuk dengan pembuhuhan. “Perintah raja kan absolut. Harus terwujud. Sepertinya ini membuat banyak orang tidak suka dengan Van der Parra. Ada upaya menjatuhkan dengan pembunuhan oleh pihak yang merasa dirugikan,” kata Achmad. Van der Parra meninggal karena sakit di rumahnya yang mewah pada 28 Desember 1775. Kini rumahnya menjadi RS Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Penyebab kematiannya masih misteri, apakah alamiah atau diracun. Ketika menjabat, Van der Parra sempat memberikan bantuan berupa kitab Injil ke gereja di Batavia. “Entah untuk mensucikan perbuatan di masa lalunya atau bagaimana, entah juga uangnya dari mana,” seloroh Achmad. Van der Parra menikah dua kali. Istri pertamanya, Elisabeth Patronella van Aerden lahir di Batavia. Mereka menikah di Kolombo pada 1733. Dia kembali menikah dengan Adriana Johanna Bake, keturunan gubernur Belanda untuk Ambon. Mereka menikah pada 1743, dua tahun setelah kematian istri pertamanya. Istri keduanya inilah yang menempati Landhuis Tjimanggis. Achmad menuturkan, tak lepas dari gaya hidup orang-orang Belanda beruang lebih di Hindia Belanda, Van der Parr pun membeli rumah tinggal di luar Batavia. Dia menjadikan Landhuis Tjimanggis sebagai rumah peristirahatan. “Van der Parra tinggalnya sebenarnya di Batavia. Sama seperti yang lain dia memilih wilayah yang lebih ke selatan. Wilayah itu masih hijau, masih bersih. Landhuis itu vila,” jelas Achmad. Situs Penanda Menurut Achmad Landhuis Tjimanggis bisa dijadikan situs penanda perkembangan permukiman kolonial di luar Batavia, khususnya pada periode abad 18. Belum lagi, rumah itu, pernah menjadi markas tentara Belanda pada masa Perang Kemerdekaan. Farah menambahkan bahwa Johanna, istri Van der Parra, adalah pemilik Pasar Cimanggis. Dulunya, di pasar inilah orang-orang dari Batavia mengistirahatkan atau mengganti kudanya baru kemudian melanjutkan perjalanan ke Bogor. “Artinya pada saat itu sudah digunakan sebagai jalur rintisan sebelum Daendles membuat jalur pos yang dikenal dengan Jalan Raya Bogor, yaitu jalan dari Jakarta menuju Bogor,” jelas Farah. Meski sarat kisah, bangunan itu tak juga mendapat perdikat Bangunan Cagar Budaya (BCB). Padahal, sejak 2013 Depok Heritage Community bekerja sama dengan pemerintah kota telah membuat dokumentasi dan inventaris BCB di Depok. Untuk menjadi BCB tak harus menjadi aset pemerintah kota. UU No. 11 tahun 2010 mengatakan, BCB bisa menjadi milik perorangan, lembaga, atau perusahaan. Dengan status BCB setidaknya pemerintah bisa memberikan perlindungan dengan payung hukum. “Saat ini saya sudah mendaftarkan Rumah Cimanggis secara online ke Regnas Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman agar segera ditetapkan sebagai cagar budaya,” ucap Farah. Menyoal pembangunan di sekitar situs, Farah mengusulkan, pihak pembangun dapat melakukan proyek di luar area mengingat lahan RRI masih sangat luas. “Selamatkan bangunan oleh pihak pembangun, lakukan kajian dan revitalisasi bangunan kembali seperti aslinya lalu jadikan museum Kota Depok, sebagai museum pertama di Kota Depok,” kata Farah.

  • Berbau Kolonial, Sebuah Sekolah di Belanda Ganti Nama

    SEBUAH sekolah dasar di kawasan Indische Buurt, Amsterdam mengganti nama Jan Pieterszoon Coen (JP Coenschool) yang telah disandangnya selama bertahun-tahun. “Sejarah adalah sesuatu yang indah,” kata Sylvie van den Akker, kepala sekolah, seperti dikutip dari situs koran Het Parool kemarin , 16 Januari 2018, namun nama JP Coen menurutnya menanggung beban kelam sejarah. Jan Pieterszoon Coen atau yang bagi sebagian warga Batavia tempo dulu dipanggil Murjangkung, punya catatan hitam dalam sejarah penjajahan di Indonesia. Sebelum jadi gubernur jenderal Batavia pada 1619, dia bertanggungjawab atas pembunuhan massal ribuan orang di kepulauan Banda demi monopoli pala VOC. Apa yang dilakukan JP Coen di masa lalu itu dianggap tak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sekolah. “Ini sama sekali tidak sesuai dengan nilai kita sebagai sekolah," kata Sylvie kepada NAP Nieuws . "Kami adalah sekolah dasar multikultural yang damai, dan kami juga ingin memancarkan nilai-nilai itu." Nama JP Coen yang disandang sekolah tersebut ternyata menimbulkan rasa tak nyaman di kalangan murid dan para pengajarnya. Gara-gara itu, mereka sepakat untuk menyebut nama sekolah mereka “Coenschool” tanpa menyebut inisial nama depannya sebagai usaha menghilangkan kesan buruk yang melekat pada nama JP Coen. “Nama Coenschool merujuk kepada seorang anak laki-laki, bukan kepada tokoh sejarah,” ungkap Sylvie. Sejak setahun lalu, sekolah yang terletak di wilayah timur Amsterdam itu juga berjejaring dengan Unesco. Organisasi PBB itu dikenal menjunjung tinggi nilai perdamaian, kebebasan, hak asasi manusia dan kesetaraan. Nama sekolah pun diharapkan sesuai dengan semangat nilai-nilai tersebut. Untuk itu staf sekolah kini sedang menyiapkan sebuah survei nama sekolah yang akan diumumkan kepada publik. Mereka berharap warga bisa menyumbangkan nama baru buat sekolah tersebut. Coenschool ini berada di tengah kawasan yang banyak mengabadikan nama daerah di Indonesia sebagai nama jalannya, antara lain Javastraat, Sumatrastraat dan Madurastraat. Kontroversi nama JP Coen tak terjadi hanya sekali di Belanda. Pada 2015 yang lalu, perdebatan juga pernah berlangsung ketika Pemkot Amsterdam menggunakan nama JP Coen sebagai nama terowongan yang menghubungkan Amsterdam dengan Zaandam. Dalam pelajaran sejarah Belanda, VOC tak pernah dikenang sebagai lembaga kolonial yang banyak mendatangkan musibah bagi warga jajahan. Generasi muda Belanda lebih mengenal VOC sebagai perusahaan multinasional pertama di dunia yang pernah berjaya menguasai jalur perdagangan dunia. Namun kini suara-suara kritis bermunculan terhadap kebijakan pemerintah yang dinilai tak berkaca kepada sejarah kelam Belanda.*

  • Bang Ali dan Bang Becak

    Gubernur Anies Baswedan menggembar-gemborkan akan menghidupkan kembali rute becak di Jakarta. Rencananya kendaraan roda tiga bertenaga manusia ini dipersiapkan sebagai moda transportasi lingkungan. Wacana Anies memantik perdebatan. Pasalnya, setelah sekian lama becak menjadi kendaraan terlarang di ibukota. Mundur setengah abad silam, keberadaan becak telah merisaukan Ali Sadikin ketika baru menjabat gubernur Jakarta. Dalam artikel bertajuk “Laporan buat Bang Dikin” yang dimuat majalah Selecta tahun 1969, jumlah becak di Jakarta berjumlah 110.000 sedangkan ruas jalan yang dapat dilalui kendaraan sepanjang 921 km. Itu berarti setiap sembilan meter ruas jalan terdapat satu becak. Menghadapi kenyataan demikian, tentu saja Bang Ali harus putar akal. “Soal becak sebenarnya sudah agak lama terasa, bahwa hal itu harus terus ditertibkan. Tak bisa dibiarkan terus begitu seperti adanya, sementara jumlah kendaraan naik terus. Pemerintah DKI harus menertibkannya,” tutur Ali dalam otobiografinya Ali Sadikin: Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan K.H. Pada 1970, Ali Sadikin menyatakan Jakarta sebagai “kota tertutup”. Saat itu, dimulailah operasi pembersihan jalan dari orang-orang yang memiliki pekerjaan berbasis jalanan seperti tukang becak dan pedagang keliling. Tahap demi tahap, Ali Sadikin mencetuskan berbagai kebijakan untuk menghilangkan becak dari Jakarta. Pada 16 Mei 1970, Ali Sadikin mengeluarkan instruksi: melarang memproduksi dan memasukkan becak ke Jakarta. Dalam ketentuan ini, becak yang boleh beroperasi harus punya izin lewat prosedur pendaftaran. Tahun berikutnya, Pemda Jakarta menetapkan sejumlah jalan utama dan jalan lintas ekonomi yang tak boleh dilewati becak. Polisi bahkan dikerahkan guna menggerebek becak-becak yang berada di daerah terlarang dan menyita kendaraannya. Pelarangan becak menjadi legal setelah Peraturan Daerah (Perda) No 4/1972 menetapkan becak sama dengan oplet, bukan jenis kendaraan yang layak untuk Jakarta. Perda itu sekaligus menetapkan bahwa Jakarta hanya mengenal empat jenis angkutan umum: kereta api, bus, taksi, dan angkutan roda tiga bermesin. Prakarsa Ali menuai hasil yang cukup signifikan. Dalam waktu singkat, jumlah becak di Jakarta menyusut tajam dari 160.000 menjadi 38.000 buah. Sudah barang tentu yang paling kena imbas dari keputusan Ali Sadikin adalah mereka “abang-abang becak”. “Saya masih sakit hati, Ali Sadikin terlalu mementingkan orang-orang kaya, sedangkan becak digusur terus. Jalan-jalan memang tambah mulus, tapi rakyat tambah kurus,” ujar Kasim, seorang tukang becak yang sudah “narik” selama 14 tahun dikutip Tempo , 18 Juni 1977. “Saya ingin seperti (zaman) Soekarno dulu, saya bisa bebas mencari nafkah tidak seperti sekarang, dimana-mana digencet,” keluh Kasim. Ali Sadikin memahami, tindakan Pemda Jakarta terasa berat oleh para pengemudi becak. Di sisi lain, tak bisa dimungkiri, banyaknya becak di tengah kota menimbulkan beragam macam masalah. Keputusan menertibkan becak harus diambil untuk memperlancar lalu lintas dan untuk mengamankan jiwa pemakai jalan, termasuk jiwa para pengemudi becak sendiri. “Dan kalau lalu lintas Jakarta macet, semua pihak merugi. Lalu lintas di Jakarta harus lancar. Saya harus terus mengusahakan soal ini, dari hari ke hari,” kata Ali Sadikin. Becak dalam Wajah Ibukota Bagi Ali Sadikin penertiban pelarangan becak bukan sekadar mengatasi persoalan lalu lintas. Dia menyadari betul ada permasalahan sosial di balik keberadaan tukang becak di Jakarta. Dalam salah satu edisinya, majalah Ekspress tahun 1970 mengupas becak sebagai salah satu “penyakit” di ibukota. “Tukang becak termasuk pengangguran tidak kentara ( disguised unemployment ). Dalam perkotaan, besar sekali masalahnya,” tulis Ekspress . Menurut sejarawan Susan Blackburn, ada dua alasan mendasar, mengapa Ali Sadikin tak menghendaki becak berkeliaran di Jakarta. Pertama , pekerjaan macam tukang becak menampung imigran dalam jumlah besar. Jika profesi tukang becak diberantas, maka akan menekan laju urbanisasi. Hal ini dapat menjadi cara mengatasi persoalan demografi Jakarta yang padat penduduk. Kedua , para pekerja ini tak sesuai dengan gambaran Jakarta sebagai kota metropolitan yang baru. “Para penarik becak memenuhi jalan, memperlambat aliran lalu lintas kendaraan bermotor dan memperlihatkan secara sekilas gambaran yang memalukan atas teknologi bertenaga manusia yang tersembunyi di balik wajah teknologi modern Indonesia,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun . Hiruk pikuk serupa juga dialami penyair-cum-sejarawan Zeffry Alkatiri kala becak memenuhi jalanan Jakarta. Dalam bukunya Pasar Gambir, Komik Cina dan Es Shanghai: Sisik Melik Jakarta 1970-an, dia mengenang Jakarta menjadi macet sebab pertambahan becak tidak pernah terdaftar. Di setiap perempatan atau pertigaan, becak menguasai jalanan, sehingga menimbulkan kemacetan. “Malah kasihan melihat tukang becaknya yang ngos-ngosan genjot pedal becaknya,” ujar Zefry. Dalam skema Ali Sadikin, zona yang telah bebas becak akan dialihkan kepada bemo. Dan untuk menggantikan becak, diperkenalkan bajaj –kendaraan penumpang kecil buatan India dengan mesin dua tak. “Bahwa pada suatu saat nanti, bemo pun harus menyisih juga. Dan bemo akan harus diganti oleh kendaraan yang lebih menyenangkan lagi. Begitu terus. Semua menghendaki perbaikan,” tutur Bang Ali. Meski demikian, ternyata becak tak jua lenyap dari Jakarta. Hingga Ali Sadikin mengakhiri kepemimpinannya, becak tetap bertahan di jalanan ibukota walau harus menyingkir ke kawasan pinggiran. Transportasi bis yang hanya beroperasi di jalan-jalan utama tak memadai permintaan kebutuhan pengangkutan masyarakat, khususnya untuk jarak dekat. Selain itu, mayoritas penarik bacak tak mampu memperoleh surat izin mengemudi dan membayar sewa bajaj. Bertahun berselang, Ali Sadikin mengakui, sebagai cara untuk mengais rejeki di ibukota, memang tak mudah untuk menghapuskan becak. Menurut Ali, nasib tukang becak dan pemilik becak mesti diselesaikan terlebih dahulu baru becak bisa dihapuskan. Namun, Bang Ali –yang digadang-gadang sebagai gubernur terbaik Jakarta– konsisten terhadap keputusannya terdahulu. “Jangan mau jadi kuli becak begitu, kalau kita mau mempertahankan kehormatan bangsa ini,” sebagaimana dikutip dalam salah satu edisi Tempo tahun 1990. Kelemahan Ali Sadikin itu kemudian dituntaskan oleh gubernur-gubernur selanjutnya yang tetap menyisipkan penertiban bacak ke dalam agenda penataan kota. Lantas, dengan menghadirkan lagi becak di Jakarta, apakah Anies telah belajar dari para pendahulunya?

bottom of page