top of page

Hasil pencarian

9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Misteri Insiden Kwini

    JAKARTA, Oktober 1964. Kawasan sekitar asrama Korps Komando Angkatan Laut (KKo AL) di Kwini, dicekam ketakutan senja itu. Bunyi tembakan kerap terdengar, diselingi teriakan-teriakan dari para lelaki berambut cepak. Sebagian berseragam hijau, sebagian lagi memakai pakaian preman. Kedua kelompok itu rupanya terlibat dalam suatu perkelahian massal yang seru. Di tengah situasi tegang tersebut, Mayor L.B. Moerdani alias Benny Moerdani diam-diam memarkir jip-nya di satu sudut Pasar Senin. Ia kemudian bergerak ke arah gedung RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat). Setelah menyaksikan belasan prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dan KKo AL bergeletakan dengan bermandikan darah, ia lantas bergerak ke asrama KKo. Begitu sampai di pintu gerbang asrama pasukan elit Angkatan Laut itu, ia menyaksikan puluhan anggota KKo memakai seragam Tjakrabirawa tengah siap-siap mengokang senjata, sebagian terlihat mengatur posisi tempur masing-masing. Namun seolah tak peduli, Benny yang masih berseragam olahraga (karena baru pulang main tenis di Senayan), tanpa ragu-ragu tetap melangkah masuk. Alih-alih disambut hardikan, beberapa prajurit Tjakrabirawa itu malah dengan sigap segera memberi hormat. Rupanya mereka adalah anggota KKo yang dulu pernah menjadi anak buahnya di palagan Irian Barat. “Siap Pak, bisa saya bantu?” kata salah satu dari mereka. ”Mana Komandanmu?” jawab Benny singkat. “Siap Pak, silahkan tunggu…” Para anggota KKo yang tidak mengenal Benny, terlihat tegang. Sebagian saling berbisik dari kejauhan. Mereka heran menyaksikan seorang sipil berpakaian olahraga berani masuk asrama militer yang tengah bersiaga. Tidak sampai dua menit, seorang perwira KKo datang dan langsung menghampiri Benny. Dialah Mayor Saminu, wong Solo kenalan lama Benny. “Piye iki? Kok, malah dadi ngene kabeh, Ben?” serunya. “Yo wis -lah, sing penting sekarang jaga pasukanmu agar jangan keluar asrama. Saya akan tertibkan anak-anak. Kalau kamu diserang, yaaa …Sudah silahkan, mau ditembak atau apa, terserah saja. Tapi saya minta jangan ada anggotamu keluar asrama.” jawab Benny. “ Yo, wis beres,” jawab Saminu sambil terus membuat perintah-perintah kepada para bawahannya. Menyaksikan komandannya ada di dalam lingkungan asrama Kwini, isu segera menyebar di kalangan anak-anak RPKAD. Beberapa berteriak: “Pak Benny ditangkap! Pak Benny ditangkap KKo!” Sontak mereka lantas segera berebutan menuju asrama perawat putri RSPAD yang ada persis di samping asrama Kwini: mendudukinya dan langsung membuat formasi tempur. Di lantai atas asrama perawat tersebut, terlihat seorang prajurit RPKAD sudah mengarahkan sepucuk bazoka ke asrama KKo. Suasana hening menyelimuti kawasan Kwini. Tak ada satupun orang-orang sipil yang berani lewat wilayah tersebut. Mobil-mobil memilih memutar kembali, dari balik toko-toko sekitar Senen yang sebagian segera ditutup, orang-orang menahan nafas, membayangkan lingkungan mereka sebentar lagi akan menjadi ajang berseliwerannya peluru tajam. Sementara itu, sambil menunggu datangnya perintah tembak, para anggota RPKAD sudah siap-siap menyerbu asrama Kwini. Alih-alih muncul perintah menyerbu, yang ada malah mereka mendengar teriakan galak Benny: “Sudah! Sudah! Pulang kalian semua!” ujar Benny yang tiba-tiba muncul dari arah pintu gerbang asrama Kwini. Sambil mengibas-ngibaskan tangannya, Benny memerintahkan semua anggota RPKAD yang tengah siaga untuk mundur dari wilayah sekeliling Kwini. Mendengar teriakan komandan mereka, para prajurit komando berpakaian sipil itu menurut. Namun ada beberapa dari mereka yang terlihat “agak tidak terima” untuk mundur. Nah prajurit-prajurit ini yang tubuhnya kemudian didorong oleh Benny dan dengan tegas diperintahkannya untuk naik ke atas truk masing-masing dan pulang kembali ke asrama mereka di Cijantung. Demikian pemaparan Insiden Kwini versi Benny, seperti yang dia sampaikan kepada Julius Pour dalam Benny Moerdani, Profil Prajurit Negarawan. Lantas bagaimana versi prajurit KKo AL yang pernah terlibat dalam insiden tersebut? Kepada Historia , Kopral (Purn) Ali Mutaqiem (79) menampik cerita Benny. Alih-alih menyetujui Benny sebagai penengah, Ali malah menyebut Benny justru datang ke Kwini berlaku sebagai pemimpin para penyerbu. Dengan mata kepala sendiri, Ali menyaksikan Benny turun dari sebuah panser kecil di salah satu sudut asrama Kwini dan langsung melakukan gerakan memanjat pagar asrama. “Dia sebenarnya sudah masuk dalam teleskop Prajurit Soekandar, penembak runduk kami…” ungkap anggota KKo AL yang pada 1972 mengajukan pensiun dini itu. Saat beberapa detik lagi picu pelatuk akan ditarik, tetiba seorang perwira KKo AL bernama Kapten Munarto berteriak,” Jangan tembak! Biarkan saya yang menangkap dia!” Benny kemudian ditangkap. Dia digelandang ke depan pos penjagaan, bergabung dengan beberapa anak buahnya yang berhasil pula ditangkap oleh para prajurit KKo. Tak lama kemudian Mayor Saminu (Komandan Batalyon II Tjakrabirawa dari KKo AL) datang. Ia lantas mendekati Benny dan bertanya dalam nada agak keras. “Ben, mereka ini anak buahmu kan?!” Hening. Benny tak menjawab. Singkat cerita, Benny dan anak buahnya kemudian dilepaskan. Beberapa hari kemudian, Mayor Benny dan Mayor Saminu dipanggil oleh Presiden Sukarno ke Istana Negara. Di depan mereka lantas dijejerkan baret merah menyala milik RPKAD dan baret merah darah milik Resimen Tjakrabirawa. Presiden menyilakan semua untuk melihat sendiri, apakah kedua baret yang menjadi pangkal masalah itu, warnanya sama? Kasus kemudian dianggap selesai. Sebagai bentuk perdamaian, pihak Markas Besar ABRI kemudian mengundang prajurit-prajurit dari kedua belah pihak untuk datang ke Gedung Bulutangkis Senayan. Menurut Benny, mereka disuguhi pertunjukan lawak dari S. Bagio cs. Semua berpelukan, semua menyatakan masalah telah selesai. “Tapi tetap saja pas pulang dari acara itu, kami terlibat kembali perang botol,” ujar Ali sembari tertawa.

  • Sosok di Balik Corong AD dalam Dokumen Rahasia AS

    PADA 1967, Elliot Haynes, ketua Business International Corporation (BIC), menemui 40 tokoh Indonesia untuk mendiskusikan mengenai kemungkinan investasi modal asing di Indonesia. Hasil pertemuannya dituangkan dalam tulisan bertajuk “Elliott Haynes ‘Indonesian Diary’”, satu dari 39 dokumen rahasia AS yang telah dideklasifikasi pada 17 Oktober 2017. Salah satu tokoh penting yang ditemui Heynes adalah Kolonel Inf. Djojopranoto S, BA. Pertemuan berlangsung pada sore hari tanggal 27 November 1967 di Jalan Medan Merdeka 13, Jakarta. Dalam tulisannya, Haynes menyebut Djojopranoto sebagai pemimpin redaksi harian Angkatan Bersendjata merangkap anggota parlemen untuk keamanan, pertahanan, dan urusan luar negeri. “Kolonel (Djojopranoto) pemimpin redaksi surat kabar yang merupakan juru bicara resmi untuk seluruh militer. Dalam skala nasional memiliki sirkulasi 40.000 tiras sedangkan terbitan lokal mencakup 200.000 tiras. Terbitan ini masuk ke tentara, polisi, dan veteran,” tulis Heynes. Kepada Heynes, Djojopranoto menyebut pimpinan Angkatan Darat yang berbakat: Jenderal Soeharto. Heynes menggambarkan bagaimana peran dan efektivitas media Angkatan Darat membentuk opini publik. “Jenderal Soeharto memberi kata ‘A’ dan Kolonel (Djojopranoto) akan mencatat ‘A’. Para tentara membacanya dan mengulangi ‘A’. Masyarakat akan melihat kepada tentara, bertanya apa yang terjadi, kemudian percaya dan mengulangi ‘A’,” ungkap Heynes. Dalam penutup laporan itu, Djojopranoto menyarankan kepada Heynes untuk menemui beberapa orang yang dapat memberikan informasi penting antara lain wartawan senior Rosihan Anwar, Hatta, Dahlan Ranuwihardjo, pemimpin dan pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Achmad Sukarmadidjaja, pemimpin IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), partai politik bentukan Jenderal TNI AH Nasution. Sejarawan Asvi Warman Adam mengatakan bahwa harian Angkatan Bersendjata (bersama Berita Yuda ) merupakan media Angkatan Darat yang tidak dilarang terbit pada 2 Oktober 1965. Hal itu menjadikan Angkatan Bersendjata sebagai mesin propaganda yang ampuh sekaligus menempatkan kontrol media di bawah pengaruh militer. Menurut Asvi kampanye Angkatan Bersendjata dalam memberitakan Gerakan 30 September 1965 dilakukan dengan tiga cara. Pertama, kekejaman yang luar biasa sebagaimana berita tentang penganiayaan para jenderal Angkatan Darat yang terbunuh di Lubang Buaya. Kedua, tindakan amoral seperti tarian Harum Bunga yang dilakukan Gerwani. Ketiga, penodaan agama. “Propaganda itu dilakukan terus-menerus bahkan sampai saat ini tetap dipakai,” ujar Asvi kepada Historia . Asvi juga melihat kemungkinan Angkatan Bersendjata mempunyai jaringan dengan media asing di luar negeri. Ini dikaitkan dengan berita Angkatan Bersendjata, 25-26 April 1966 yang menyudutkan Tionghoa di bawah rezim Mao Tse Tung atas peristiwa Gerakan 30 September 1965. Berita itu ternyata disadur dari surat kabar terbitan Hongkong yang kontra terhadap pemerintahan Beijing. Angkatan Bersendjata juga beberapa kali mengutip artikel yang terbit di Singapura dalam waktu yang berdekatan. “Dari mana mereka mendapat berita yang begitu cepat dengan jaringan yang luas?” tanya Asvi. Menurutnya perlu tinjauan lebih lanjut apakah ada kaitannya Angkatan Bersendjata dengan CIA atau RAND Corporation, lembaga think thank AS yang mengkaji tentang Indonesia termasuk upaya membendung komunisme. Dilansir majalah Pers Indonesia, 1975, Djojopranoto lahir pada 6 September 1925 dan mengenyam pendidikan sarjana muda publisistik. Dia disebut sebagai perwira menengah ABRI yang berdwifungsi di kalangan pers. Setelah menjadi pemimpin redaksi Angkatan Bersendjata , dia menjadi pemimpin umum/redaksi Mimbar Kekaryaan ABRI di Jakarta. Dia kemudian diangkat menjadi anggota DPR/MPR dari ABRI. Djojopranoto tercatat sebagai anggota PWI sejak tahun 1966. Namun, kartu anggotanya No. 1690/A66/75. LB belum sempat diambil. Dia tutup usia pada 24 Juli 1975 meninggalkan istri dan seorang anak. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.

  • Masa Silam Cerita Binatang

    Pada sebuah panil relief di dinding utara Candi Sojiwan, Klaten, Jawa Tengah, terdapat seekor kera terlihat naik di atas punggung buaya. Panil lain menggambarkan seekor kura-kura diterbangkan dua ekor angsa. Kura-kura itu disuruh menggigit kayu. Gambar semacam ini juga ada di dinding Candi Mendut, Magelang. Dwi Pradnyawan, arkeolog Universitas Gadjah Mada, menjelaskan pada periode Jawa Tengah selain ditemukan di Candi Sojiwan dan Candi Mendut, cerita binatang juga ada di Candi Borobudur, Candi Mendut, Candi Morangan, dan Candi Gampingan. Sedangkan pada periode Jawa timur, cerita binatang dapat ditemukan di Candi Surawana, Candi Tegawangi, Candi Panataran, dan candi-candi di Gunung Penanggungan. Pada percandian periode Jawa Tengah, sumber ceritanya lebih banyak mengambil dari Jataka yang banyak menampilkan hewan sebagai perwujudan masa lalu Buddha. Hewan yang menjadi tokoh utama di Jataka lebih banyak bersifat protagonis. "Hewan yang memiliki sifat mulia berinkarnasi menjadi Buddha. Kancil, singa, monyet, angsa, banyak di cerita itu mereka mengrbankan diri untuk kepentingan mulia. Sama dengan kebudhaan," jelas Dwi. Dalam Kidung Tantri Kediri , filolog Revo Arka Giri Soekatno mencatat jumlah cerita Jataka mencapai 547. Di samping Jataka , sumber cerita binatang lainnya berasal dari India, yaitu Pancatantra . Cerita binatang pada candi periode Jawa Timur lebih terlihat perpaduan cerita Jataka dan Pancatantra . “Di Jawa Timur memang kaitannya ada dengan dua naskah, tapi belum tahu mana yang lebih dominan,” ujar Dwi. Johannes Hertel, Indolog dari Jerman, percaya naskah Pancatantra dibuat oleh Wisnusarman, seorang brahmana, di Kashmir sekira 200 SM. “ Katanya ini sudah sejak masa weda,” kata Dwi. “Wisnusarman diperkirakan mengambil banyak tradisi lisan di kehidupan masyarakat. Bisa dari kalangan elite, bisa pula dari kalangan lebih luas. Mereka mengumpulkan lalu menulis dalam bentuk Pancatantra , dari cerita rakyat tradisi lisan.” Dari segi cerita, tak jauh berbeda dengan Jataka yang lahir pada masa Buddhisme. Perbedaannya, ajarannya terdiri atas lima buku atau lima ajaran ( Pancatantra ). Ciri khas Pancatantra terutama ialah bahwa ceritanya dikisahkan dalam bentuk cerita bingkai yang disebut Kathamukha. Cerita-cerita ini kemudian dianyam menjadi satu dengan yang lain. Setiap cerita biasanya berbentuk prosa, moral cerita diringkas dalam bentuk seloka. Ketika Buddha masuk, cerita ini kemudian dikemas dengan bingkai Buddhisme. Beberapa cerita dimodifikasi, sampai kemudian tersebar saat tradisi Hindu-Buddha masuk ke Jawa. “Sejauh ini bagaimana kaitannya dengan cerita lokal tidak tahu. Yang jelas sumbernya (cerita binatang dalam relief, red ) dari kerangka besar Pancatantra dan Jataka,” kata Dwi. Murti Bunanta, pakar dongeng dari Universitas Indonesia, mengatakan tak semua cerita binatang datang dari Indonesia. Sulit mengatakan dongeng binatang tertentu asli dari Indonesia. Pasalnya, di berbagai belahan dunia pun dikenal model cerita yang sama. “Banyak cerita mirip tapi tokoh lain, misalnya tokoh penipu di seluruh dunia sepertinya ada. Seperti di Jawa kita kenal kancil, di Eropa ada rubah,” ujar Murti kepada Historia . Menurut Murti cerita binatang sejak dulu hingga kini selalu berbicara soal moralitas. Penyampaiannya baik lisan maupun tulisan. Namun, pendengar dongeng pada masa lalu kemungkinan dari segala usia berbeda dengan sekarang yang dibedakan antara penikmat dewasa dan anak-anak. “Ibaratnya kalau dulu seperti sedang menonton wayang. Anak-anak dan dewasa juga bisa ikut nonton. Dulu, ya campur saja,” kata Murti. Murti menilai tak ada perbedaan signifikan antara menyampaikan pesan moral lewat cerita binatang dengan cerita yang bertokoh manusia. “Itu tergantung, tidak selalu cerita binatang lebih menarik anak-anak, misalnya. Tersampaikannya pesan juga sama saja,” lanjut Murti.

  • Penumpasan PKI di Surabaya

    HANYA dalam hitungan hari, sejak Gerakan 30 September (G30S) 1965 meletus, nasib Partai Komunis Indonesia berubah drastis. Anggota dan simpatisannya diuber-uber tentara dan massa untuk dibersihkan. Propaganda anti-PKI pun dilancarkan ke berbagai kota, termasuk Surabaya. Pada 31 Oktober 1965, Mayor Basuki Rahmat, komandan Batalyon 16 Brigade Ronggolawe Divisi Jawa Timur, mengeluarkan edaran yang membandingkan G30S dengan pemberontakan Madiun tahun 1948. “Gambar-gambar besar mengenai kondisi tubuh keenam jenderal yang meninggal dipasang di sudut-sudut kota, dengan keterangan bahwa Gestapu dan Madiun adalah sama,” tulis telegram bernomor 164 yang dikirim tanggal 4 November 1965 dari Konsulat AS di Surabaya ke Kedubes AS di Jakarta. Istilah Gestapu atau Gerakan September Tiga Puluh adalah upaya psywar dari tentara untuk menyamakan G30S dengan Gestapo atau dinas polisi rahasia Nazi-Jerman era Adolf Hitler. Di Surabaya, menurut Antonius Sumarwan dalam Menyeberangi Sungai Air Mata: Kisah Tragis Tapol ‘65 dan Upaya Rekonsilias, aksi dimulai pada 16 Oktober 1965 dengan pawai akbar dan tindakan terorganisir untuk menghancurkan dan membakar kantor Comite Daerah Besar PKI di Jalan Pahlawan. “Kemudian walikota sementara, Kolonel Sukotjo, membersihkan staf pemerintahan, Rukun Kampung (RK) dan Rukun Tetangga (RT) dari unsur PKI. Penculikan dan pembantaian dilaksanakan oleh kelompok agama,” tulis Sumarwan. Sukotjo, komandan Kodim 0830/Kota Surabaya, menggantikan Moerachman sebagai walikota Surabaya yang ditangkap karena memiliki hubungan dengan PKI. “Keterangan yang ada menyebutkan walaupun beliau bukan PKI, tetapi memiliki hubungan yang dekat dengan partai yang pada Pemilu 1955 ini memperoleh suara terbanyak di Kota Surabaya,” tulis Sarkawi B. Husain dalam Negara di Tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan: Surabaya, 1930-1960. Sukotjo lahir di Tulungagung pada 1921 dan bersekolah di HIS, MULO, dan AMS. Karier militernya dimulai dengan menjadi anggota Pembela Tanah Air (Peta) pada masa pendudukan Jepang. Pada 1949, dia menjadi staf dalam Kompi Dekking Komando Brigade S dari Batalyon Sabirin kemudian menjadi Batalyon Sikatan di bawah Soekadji Hendrotomo. Kompi ini bertugas di daerah Gunung Wilis, Jawa Timur. Pada 19 Februari 1949, Sukotjo dan anak buahnya yang berjaga di Desa Selopanggung, Kediri, menangkap seseorang yang kemudian dikenali sebagai Tan Malaka. “Sukotjo memerlukan sedikit waktu sebelum mengambil keputusan: Tan Malaka seorang komunis yang berbahaya, yang terhadapnya harus diberlakukan hukuman militer. Sukotjo memberikan perintah, dan orang yang ditugasi menembak adalah Suradi Tekebek,” tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia jilid IV. Selain membersihkan staf pemerintahan Kota Surabaya dari unsur PKI hingga ke tingkat RT, Sukotjo juga mencoba menurunkan harga beras. Pada 22 November 1965, seperti ditulis dalam telegram nomor 183 yang diterima Kedubes AS di Jakarta pada 26 November 1965, Sukotjo memerintahkan kepada segenap pengusaha Tionghoa yang berbisnis beras untuk membuka toko dan menurunkan harga hingga 30 persen. Beberapa hari sebelumnya, banyak toko milik Tionghoa tutup lantaran beredar kabar bahwa tanggal 17 dan 18 November 1965 akan datang serangan dari Ansor, organisasi sayap pemuda Nahdlatul Ulama. Pasukan dari Angkatan Darat di Kota Surabaya juga bertambah. Pada 20 November 1965, Batalyon 507 atau dikenal sebagai Batalyon Sikatan dari Divisi Brawijaya berlabuh di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. “Batalyon ini akan digunakan untuk ‘penumpasan Gestapu’ di Jawa Timur,” tulis telegram nomor 183 yang menjadi bagian dari 39 dokumen rahasia AS yang telah dideklasifikasi.

  • Persija dan PSMS Berbagi Trofi Juara

    SEPAKBOLA nasional di dekade 1970-an, seolah hanya milik dua tim adidaya: Persija Jakarta dan PSMS Medan. Hanya Persebaya Surabaya yang mampu “menyempil” sebagai juara perserikatan tahun 1978. Sisanya (1971-1979), juaranya bergantian antara Persija dan PSMS. Malahan pada musim 1975, Persija dan PSMS harus berbagi trofi juara perserikatan. Ini juara bersama yang pertama dan terakhir hasil keputusan kontroversial Ketua Umum PSSI Bardosono. Macan Kemayoran dan Ayam Kinantan harus bentrok di partai puncak. Ini kali pertama mereka bertemu di momen pamungkas penentu gelar. Stadion Senayan (kini Gelora Bung Karno) jadi saksi bisu partai final pada 8 November 1975 yang mencatat rekor jumlah penonton mencapai 125 ribu orang. Rekor ini terpecahkan sepuluh tahun kemudian oleh laga final PSMS melawan Persib dengan 150 ribu penonton yang belum terpecahkan hingga sekarang. Suporter PSMS sudah berloncatan di bangku penonton saat pertandingan yang dipimpin wasit Mahdi Talib asal Malang baru berjalan 10 menit. Melalui kerja sama dengan Nobon dan Mariadi, Parlin Siagian mengubah papan skor 1-0 setelah menyarangkan bola ke gawang Persija yang dikawal Sudarno. Tempo permainan berangsur meningkat. Persija yang terhenyak oleh gol pembuka lawannya, berusaha keras mengejar ketertinggalan. Akhirnya, pada 19 menit jelang turun minum, papan skor berubah menjadi imbang 1-1. Surat kabar Pikiran Rakyat , 10 November 1975, menggambarkan proses terciptanya gol itu: sebuah umpan manis dari Iswadi disambut sundulan apik Sofyan Hadi hingga berbuah gol ke gawang Pariman yang mengawal mistar PSMS. Skor imbang 1-1 kian memanaskan situasi di lapangan. Sejumlah kontak fisik terjadi lebih sering. Termasuk di menit ke-29 ketika wasit Mahdi, memberi tendangan bebas bagi Persija. Tak terima keputusan Mahdi, para pilar PSMS mengerubungi sang pengadil karena merasa pemain Persija melakukan diving . “Menit ke-29 terjadi pelanggaran atas Andi Lala dan kiri luar Persija ini secara agak dibuat-buat, jatuh terpelanting. Wasit memberikan tendangan bebas untuk Persija. Keputusan ini tidak memuaskan para pemain PSMS. Mereka mengerumuni wasit dan beberapa di antaranya mendorong-dorong Mahdi Talib,” tulis Kompas , 10 November 1975. Dua menit berselang, terjadi tindakan kasar dari Sarman Panggabean terhadap pemain Persija, Junaidi Abdillah. Padahal, insiden itu terjadi ketika sedang tidak ada bola. Hanya saja tiba-tiba Junaidi harus tergeletak sembari meringis setelah perutnya ditendang Sarman. Wasit hanya mengganjar Sarman dengan kartu kuning. Tak terima dengan keputusan itu, para punggawa Persija membalas dengan mengincar para pemain PSMS. Iswadi Idris melayangkan pukulan kepada Nobon dan Suwarno. Iswadi dikartumerah, sementara korbannya dilarikan ke rumah sakit. Keadaan semakin memanas dan nyaris meletus perkelahian besar di lapangan. Wasit menyetop laga pada menit ke-40. Setelah berembuk dengan Komisi Pertandingan, partai final resmi dihentikan. PSSI lantas memutuskan kedua finalis dinyatakan juara bersama, lantaran pertandingan tak lagi bisa diteruskan dengan keadaan seperti itu. Persija dan PSMS berbagi trofi yang ditetapkan dengan SK Ketum PSSI Nomor 95 Tahun 1975 tentang Dwi Juara Nasional PSSI 1973/1975 tanggal 8 November 1975. Ketetapan ini pula yang memaksa para pemain PSMS dan Persija mau menerima medali. Trofinya sendiri diserahkan Bardosono untuk diusung bersamaan oleh kedua kapten, Oyong Liza dari Persija dan Yuswardi mewakili PSMS.

  • Burung Besi Terbang Tinggi

    MANUSIA tak pernah berhenti untuk membuat “burung besi” yang bisa mengangkut banyak penumpang dan terbang jauh lebih cepat, nyaman, dan aman. Berikut ini sejarah perkembangan pesawat terbang. Biplane Terpacu keberhasilan Zeppelin terbang dengan mesin dan kemudi, Orville dan Wilbur Wright, dua bersaudara asal Amerika Serikat, merancang pesawat sayap ganda dengan mesin setara 12 tenaga kuda. Mereka menyebutnya Flyer. Wright mengundang pers dan khalayak umum menyaksikan uji terbang pada 17 Desember 1903 di bukit Kitty Hawk. Dengan seorang pilot yang berbaring di bawah sayap, pesawat itu mampu terbang setinggi 36 meter selama 12 detik. Keberhasilan ini dianggap tonggak baru perkembangan pesawat bersayap dengan mesin dalam “penerbangan-lebih-berat-daripada-udara”. Sayap-Tetap Sebuah karya tulis mengenai konsep sayap-tetap pesawat terbang modern terbit di Jerman pada 1904. Karya Profesor Ludwig Prandtl ini dianggap sebagai tonggak baru teknologi aerodinamika (ilmu yang bertalian dengan gesekan udara pada benda padat). Sayap-tetap adalah konsep yang memungkinkan pesawat dapat terbang tanpa menggerakkan sayapnya karena mampu menyeimbangkan gesekan udara. Dengan teknologi itu, pesawat mempunyai daya angkat yang lebih kuat. Triplane Empat tahun setelah terbitnya karya tulis Prandtl, pesawat bersayap tiga diperkenalkan di Prancis. Tambahan satu sayap dimaksudkan untuk menambah tenaga dan memudahkan pengendalian. Sayangnya, ketika diterapkan dalam Perang Dunia I, teknologi itu tak membantu. Justru menyulitkan pilot bermanuver. Hanya dua tipe pesawat bersayap tiga yang diproduksi untuk Perang Dunia I. Pesawat sayap ganda lebih diminati karena kelincahannya. Fabre Hydravion Untuk kali pertama dalam sejarah, pesawat bermesin dengan sayap tunggal mampu tinggal landas dari permukaan air pada 1910. Pesawat ini disebut Fabre Hydravion, diambil dari nama pembuatnya, Henri Fabre. Pada saat bersamaan, Eardley Billing memperkenalkan mesin simulasi pesawat pertama. Dengan alat ini, seseorang tak perlu langsung terbang selama belajar mengendalikan pesawat. Boeing 247 Berakhirnya Perang Dunia I membuat teknologi pesawat berkembang pesat, terutama pesawat berpenumpang lebih dari dua orang. Boeing, perusahaan pembuat pesawat terbang asal Amerika Serikat, memperkenalkan pesawat penumpang komersial pertama pada 1933. Dua pilot diperlukan untuk mengudarakan dan mendaratkan pesawat ini. Pesawat ini bermesin ganda dengan sayap tunggal. Meski begitu, pesawat ini mampu menampung 10 orang. Heinkel HE 178 Hingga 1937, semua pesawat terbang modern masih menggunakan baling-baling meski mesin jet sudah ditemukan sejak 1930 oleh Frank Whittle, seorang Inggris. Pada 1937, pesawat bermesin jet mulai dikembangkan. Dua tahun kemudian, pesawat bermesin jet mampu terbang. Pemakaian mesin jet mengubah bentuk sayap. Sayap tak lagi persegi panjang. Agak lonjong di ujungnya dan berada tepat atau di bawah badan pesawat. Pesawat itu dikenal dengan Heinkel HE 178. Supersonik Pesawat ini mampu terbang melebihi kecepatan suara. Bell X1 menjadi pesawat supersonik pertama. Penerbangan perdananya terjadi pada 14 Oktober 1947 oleh Chuck Yeager, pilot Amerika Serikat. Pesawat supersonik tersohor adalah Concorde, pesawat hasil patungan Inggris dan Prancis. Pesawat Jet Komersial Usai Perang Dunia II, Inggris mengembangkan pesawat jet untuk tujuan komersial. Dengan sokongan perusahaan pembuat pesawat terbang, De Havilland, Inggris berhasil membuatnya. De Havilland Comet, nama pesawat itu, terbang kali pertama pada Juli 1949 dari London menuju Afrika Selatan. Fokker 28 Pesawat ini pernah menjadi tulang punggung penerbangan regional (jarak pendek dan menengah dengan kapasitas 35-100 penumpang) di Indonesia sejak 1971. Diterbangkan kali pertama pada 9 Mei 1967, pesawat ini cepat menarik perhatian khalayak. Beberapa maskapai dunia meminatinya, termasuk Garuda Airways. Fokker 28 dinilai cocok dengan karakter landasan udara di Indonesia yang belum teraspal sempurna. Pesawat ini mengudara terakhir kali di Indonesia pada 2001. Boeing 747 Melihat kesuksesan Perusahaan Fokker Aircraft, Boeing tak mau kalah. Pada 1969, pesawat berpenumpang terbesar di dunia diperkenalkan. Dengan panjang 70 meter dan lebar 59 meter, pesawat ini disebut jumbo jet. Pesawat penumpang ini terbagi atas dua dek/lantai. Berkapasitas 400 penumpang, 747 bertahan sebagai pesawat penumpang paling lama digunakan. Airbus A380 Sebagai seteru Boeing, Airbus tak mau kalah. Setelah memproduksi B-707 yang terbesar di zamannya pada 1969, Boeing memproduksi B-747 pada 1970 yang berukuran lebih besar lagi dan menjadi pesawat komersial terbesar sepanjang sejarah hingga 2005. Setelah itu Airbus memproduksi pesawat raksasa A380 yang versi standarnya memiliki 854 kursi penumpang atau 525 penumpang jika didesain untuk tiga kelas: eksekutif, bisnis, dan ekonomi.

  • Dua Abad Membangun Reputasi Kebun Raya Bogor

    PAGI itu Kebun Raya Bogor sudah ramai pengunjung. Waktu menunjukkan pukul 9.00 WIB dan langit masih teduh. Jalan Astrid yang dikelilingi taman dan lapangan rumput luas dipenuhi pengunjung. Beberapa rombongan keluarga terlihat menggelar tikar di bawah pohon teduh. Anak-anak kecil berlarian dengan ceria di sekitar kolam tanaman air. Ada pula rombongan pelajar sekolah menengah yang tengah mengadakan outbond . Itulah sebagian gambaran Kebun Raya Bogor di masa kini. Kini, tidak hanya sebagai lembaga konservasi dan penelitian alam tropis, Kebun Raya Bogor sekaligus menjadi destinasi wisata warga Bogor dan kota-kota sekitarnya. Bagi warga Jabodetabek yang sehari-hari berhadapan dengan penatnya kota besar, Kebun Raya Bogor adalah pilihan menyegarkan diri. Kebun raya yang mulanya adalah halaman belakang rumah dinas gubernur jenderal Belanda itu kini menjadi salah satu tempat acuan penelitian flora yang penting di Indonesia. Selama 200 tahun kiprahnya, kebun raya seluas 87 hektare ini sudah memiliki 12.531 spesimen tumbuhan yang terdiri dari 3.228 spesies, 1.210 marga, dan 214 suku. Peran Kebun Raya Bogor pun kini meluas. Tak hanya pusat konservasi tertua dan terlengkap, Kebun Raya Bogor juga menjadi induk bagi pengembangan kebun raya-kebun raya daerah di Indonesia. LIPI, sebagai lembaga yang membawahi Kebun Raya Bogor, sedang mengembangkan 32 kebun raya di daerah. Pada 2030, LIPI menargetkan akan berdiri 47 kebun raya di seluruh Indonesia. Keberadaan Kebun Raya Bogor dan kebun raya di daerah itu amat penting sebagai benteng terakhir penyelamatan flora di negeri ini. Meskipun kini menjadi pusat penelitian dan konservasi flora, tetapi pada mulanya Kebun Raya Bogor tidak sepenuhnya dimaksudkan begitu. Gagasan pembentukan kebun raya di Bogor bermula dari keinginan Kerajaan Belanda mengeksploitasi lebih lanjut sumber daya pertanian di koloni. Untuk keperluan ini Raja Willem I mengirim para pakar ilmu alam untuk meneliti potensi kekayaan alam di Hindia Belanda. Salah satu pakar yang dikirim ke Hindia Belanda untuk tugas itu adalah botanikus Caspar Georg Carl Reindwardt. Menginjakkan kaki di Hindia Belanda pada 1815, “Reinwardt diberikan kewenangan sangat luas untuk sejarah alam dan urusan pertanian koloni, dengan penekanan pada kepastian akan peluang-peluang ekonomi yang dapat diperoleh,” tulis Andrew Goss dalam Belenggu Ilmuwan dan Pengetahuan dari Hindia Belanda sampai Orde Baru. Setelah dua tahun meneliti wilayah koloni, Reindwardt mengajukan gagasan untuk pendirian sebuah kebun botani kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen pada April 1817. Sang gubernur jenderal menyetujuinya dan tidak butuh waktu lama sebuah kebun botani berdiri. Tepatnya 18 Mei 1917 ‘s Lands Plantentuin te Buitenzorg yang memanfaatkan lahan seluas 47 hektar di sekitar istana gubernur jenderal diresmikan. Reinwardt sendiri didapuk sebagai direktur pertamanya dari 1817 sampai 1822. Pada tahun-tahun awal menjabat, Reindwardt memulai usaha mengumpulkan tanaman dan benih dari beberapa daerah Nusantara. Hasilnya, tidak kurang dari 900 jenis flora ditanam di ‘s Lands Plantentuin. Pengembangan dan penataan kebun botani dilakukan bertahap oleh direktur-direktur penerus Reindwardt. Carl Ludwig Blume yang menggantikannya melakukan inventarisasi koleksi kebun. Dibantu oleh Justus Karl Hasskarl, pada masa Blume kebun botani menerbitkan katalog koleksinya yang pertama. Saat itu tercatat 912 jenis tumbuhan ditanam di sana. Hasskarl kemudian juga terlibat membantu Johannes Elias Teijsmann menata tanaman koleksi. Saat itulah pengaturan tanaman menurut familia seperti yang kita lihat sekarang dilakukan. Fasilitas penunjang untuk penelitian di Kebun Raya Buitenzorg terus diusahakan selama 1840-an. Selama menjabat direktur, Teijsmann juga melanjutkan usaha Reindwardt mengumpulkan tanaman untuk menambah koleksi kebun raya. “Pada 1850-an Teysmann mengoleksi secara ekstensif tanaman-tanaman di luar Pulau Jawa untuk ‘memperkaya Kebun Raya Buitenzorg sekaligus memperluas pengetahuan botani’,” tulis Goss. Namun, agaknya usaha-usaha Teijsmann itu belum menghasilkan suatu kemajuan yang berarti. Kebun Raya Buitenzorg tetap menjadi lembaga ilmiah sederhana. Dan karenanya Kebun Raya Buitenzorg belum dianggap penting oleh peneliti yang singgah ke Hindia Belanda. Salah satunya adalah Alfred Russel Wallace. Wallace mengunjungi Kebun Raya Buitenzorg pada 1860. Dalam bukunya The Malay Archipelago, Wallace menceritakan serba singkat saja kunjungan yang dirasanya mengecewakan itu. “Jalan-jalannya berlapis batu kerikil yang renggang sehingga berjalan di atasnya sangat melelahkan dan terasa sakit di telapak kaki,” ungkapnya. Persoalan lain adalah kurangnya tenaga ahli botani dan tukang kebun yang andal untuk merawat koleksi kebun raya. Akibatnya, banyak tanaman koleksi kebun raya yang tumbuh tidak sehat karena tidak mendapat perawatan secara memadai. Namun, “di sini ada banyak hal yang dapat dikagumi, seperti jalan-jalan yang ditumbuhi pohon-pohon palem dan rumpun-rumpun bambu yang barangkali terdiri dari 50 jenis. Berbagai semak perdu berdaun unik dan indah tumbuh di sini,” tulisnya. Adalah Melchior Treub yang kemudian melejitkan reputasi ilmiah Kebun Raya Buitenzorg ke aras internasional. Treub mulai memegang kendali kebun raya sejak 1880 hingga 1905. Treub berjasa besar mengembangkan fasilitas-fasilitas penelitian alam tropis di lingkungan kebun raya, terutama herbarium, laboratorium, dan perpustakaan. Treub juga membidani penerbitan ulang jurnal ilmiah Annales du Jardin Botanique de Buitenzorg sebagai corong ilmiah Kebun Raya Buitenzorg. Jurnal ilmiah ini dicetak di Belanda dan diedarkan di kalangan ilmuwan Eropa. Menjelang pergantian abad usaha-usaha Treub mulai menunjukkan hasil gemilang. Di akhir abad XIX itu fokus penelitian botani di koloni juga sudah bergeser. Dewasa itu kepentingan atas tanaman ekonomi sudah berkurang dan penelitian ilmiah murni mulai bergairah di Hindia Belanda. Saat itu Kebun Raya Buitenzorg sudah menjadi sebuah lembaga ilmiah terpandang bagi penelitian alam tropis. “Treub mengubah kebun raya yang indah menjadi lembaga untuk kajian semua komponen alam tropis koloni, bukan sekadar lembaga yang khusus berkutat pada kajian perbandingan dalam bidang botani ekonomi,” tulis Goss. Reputasi itu setidaknya bertahan sampai paruh awal abad XX. Kondisi surut mulai menghantui Kebun Raya Buitenzorg ketika Perang Pasifik mulai merambah Hindia Belanda. Pendudukan Jepang mengakhiri kontrol Belanda atas Hindia Belanda termasuk juga lembaga-lembaga penelitiannya. Tetapi kegiatan ilmiah di Kebun Raya Buitenzorg terus berjalan meskipun mendapat pengawasan dari pemerintah militer Jepang. Kondisi kebun raya menjadi tidak menentu selama tahun-tahun revolusi kemerdekaan. Posisi Kota Bogor yang berada di tengah-tengah antara wilayah Sekutu dan kaum Republiken menjadikan nasibnya terkatung-katung. Menurut Goss, kebun raya dalam kondisi memprihatinkan ketika perang usai. Koesnoto, direktur baru Kebun Raya Bogor pascarevolusi sedikit demi sedikit mencoba memperbaiki kondisinya. Sebagai direktur baru dia menghadapi kacaunya administrasi dan ketiadaan sumber daya peneliti lokal. Karenanya, pada masa awal kepemimpinannya dia tetap mempekerjakan ahli-ahli berkebangsaan Belanda yang telah bekerja di sana sejak sebelum kemerdekaan. “Setelah 1955 kerja rutin herbarium dalam memilah-milah, mengidentifikasi, dan menyimpan koleksi yang masuk dimulai. Hubungan dengan dunia ilmu pengetahuan luar kembali dijalin,” tulis Goss.

  • Obsesi Manusia untuk Terbang

    KELIHAIAN burung menggelitik obsesi manusia untuk bisa terbang. Karena keterbatasan pengetahuan, awalnya obsesi ini baru dituangkan dalam figur-figur fantasi tentang makhluk bersayap: setengah manusia, setengah burung. Dalam mitologi Yunani Kuno (abad 8-1 SM), sayap terbang kali pertama diciptakan Daidalos, seorang seniman. Dia menciptakan sayap yang terbuat dari bulu unggas dan lilin untuk anaknya, Ikaros, di dalam penjara. Ikaros menerima sayap itu dan menggunakannya untuk kabur dari penjara. Kegirangan terbang, Ikaros lupa pesan ayahnya: jangan terbang dekat dengan matahari. Sayap itu terbakar sinar matahari sehingga Ikaros terjatuh. Meski tak mungkin mempunyai sayap serupa burung, manusia tak pernah berhenti mewujudkan obsesinya. Serupa Burung Manyar Berbekal alat sederhana berupa jubah sutra dan bulu elang yang dipasang ke seperangkat kayu, Ibnu Firnas meluncur dari sebuah bukit di Cordoba. Mu’min Ibnu Said, seorang penyair yang menyaksikan aksi itu pada sore di musim gugur 852, menulis, “Firnas terbang lebih cepat dari Phoenix ketika dia menggunakan bulu-bulu di badannya, seperti burung manyar.” Lantaran terjatuh, Firnas menderita cidera punggung parah. Glider Meski penerbangannya tak begitu sukses, alat yang dipakai Firnas mendapat perhatian luas ilmuwan. Dua abad setelah Firnas, seorang pendeta dari Malmesbury memperbaiki rancangan Firnas. Dengan menambahkan ekor, dia menyebut alat itu sebagai glider . Dari menara lonceng, dia berhasil terbang selama 15 menit dengan jarak tempuh 200 meter. Sekarang, glider sering dipakai untuk olahraga paralayang. Ornithopter Leonardo Da Vinci, ilmuwan Italia, mengembangkan temuan itu pada 1488. Konsep itu disebut ornithopter . Istilah itu berasal dari bahasa Yunani, ornithos yang berarti burung dan pteron yang berarti sayap. Konsep alat ini mengambil prinsip kerja sayap burung dan serangga. Da Vinci memandang bobot manusia cukup berat jika hanya ditopang dengan sayap tetap. Karenanya orang perlu sayap yang lebih dinamis untuk terbang lebih lama dan jauh. Naga Bersayap Empat Percobaan ornithopter pada 1496 tak memuaskan sejumlah ilmuwan. Selain tak bisa terbang, ornithopter dinilai belum aman. Konsep glider bersayap empat pun diperkenalkan pada 1647. Pengembangnya, seorang Italia bernama Tito Livio Burattini, menjanjikan alat yang disebut “naga bersayap empat” ini mampu meminimalkan cidera saat pendaratan atau kecelakaan. Kapal Udara Sebuah tulisan mengenai perhitungan massa benda di udara terbit pada 1670. Penulisnya, Francesco Lana de Terzi, menyimpulkan bahwa sebuah benda dapat lebih ringan ketimbang udara jika menggunakan tembaga besar yang menyimpan ruang gas di dalamnya. Ruang itu digunakan sebagai tenaga pengangkat. Sirkulasi udara harus dijaga sebaik mungkin agar benda tetap bisa terbang. Karya ini mengilhami penemuan kapal udara oleh Barthomeleo Gusmao, seorang Portugis, pada 1709. Inilah penerbangan pertama manusia tanpa sayap. Kelak penemuan ini mengilhami terciptanya Zeppelin. Balon Udara Dua bersaudara, Joseph dan Jacques Montgolfier, berhasil menerbangkan benda dengan menggunakan prinsip kapal udara pada 1783. Mereka mengganti material tembaga dengan bola raksasa yang terbuat dari sutera. Pada bagian bawah bola terdapat celah yang digunakan untuk pembakaran jerami. Udara panas itu menjadi sumber tenaga. Sebuah kotak tanpa penutup diikat pada bola tersebut. Mereka masuk ke kotak tersebut. Penerbangan mereka disebut “penerbangan lebih-ringan-daripada-udara”. Monoplane Setelah usaha “penerbangan-lebih-ringan-daripada-udara” tanpa sayap, orang mulai kembali berpikir tentang sayap. George Cayley, penjelajah asal Inggris, menggambar sketsa pesawat terbang sederhana beserta prinsip kerjanya pada akhir abad ke-18. Dia dianggap sebagai peletak dasar bentuk pesawat terbang modern. William Samuel Henson dan John Stringfellow, ilmuwan, bekerja sama menyempurnakan penggunaan sayap. Mereka menciptakan mesin terbang tenaga uap sayap tunggal pada 1840. Lebar sayapnya mencapai 45,7 meter. Penerbangan mereka dikenal sebagai “penerbangan-lebih-berat-daripada-udara”. Zeppelin Ahli aeronautika (ilmu penerbangan) Jerman, Ferdinanz Adolf Heinrich August von Zeppelin, menciptakan balon udara berbentuk cerutu raksasa yang mudah dikendalikan. Menggunakan prinsip kapal udara, Zeppelin, nama pesawat ini, dapat terbang lebih terarah. Pesawat ini sudah dilengkapi sirip, mesin, dan kemudi. Pada 1900, Zeppelin berhasil melakukan uji terbang pertamanya. Pesawat tanpa sayap ini melayani penerbangan komersial pertama di dunia pada 1909. Ketika perang meletus, fungsi komersialnya ditiadakan lantaran pesawat ini lebih banyak dipakai untuk perang.

  • Battle of Belfast dan Kegagalan Italia Lolos ke Piala Dunia

    PERJUANGAN tim nasional Italia menemui jalan terjal. Juara dunia empat kali itu mesti melakoni laga home-away kontra tim kuat asal kawasan Skandinavia, Swedia di babak playoff (11 dan 14 November 2017), untuk berebut tiket Piala Dunia 2018. Dua laga hidup mati yang rasa-rasanya, keunggulan materi skuad Gli Azzurri (julukan timnas Italia), takkan begitu berpengaruh melawan para pilar Swedia yang dikenal punya spirit pantang menyerah. Bukan mustahil Italia gagal dan hanya akan jadi penonton layaknya Piala Dunia 1958 di Swedia. Pada fase kualifikasi, Italia tergabung di Grup 8 Zona Eropa bersama Portugal dan Irlandia Utara. Langkah Italia terbilang labil dan penentuan juara grup harus dipastikan pada partai terakhir kontra Irlandia Utara di Belfast yang awalnya dijadwalkan 4 Desember 1957. “Tim Italia hanya selangkah lagi lolos kualifkkasi. Irlandia Utara harus mengalahkan Italia di Belfast jika ingin lolos, sementara Italia hanya butuh hasil imbang,” tulis Clement A. Lisi dalam A History of the World Cup: 1930-2014 . Sebenarnya Pepe Schiaffino Cs. masih bercokol di urutan teratas Grup 8 dengan empat poin hasil dua kali menang (1-0 atas Irlandia Utara di Roma, 3-0 atas Portugal di Milan) dan sekali kalah (0-3 dari Portugal di Lisbon). Adapun Irlandia Utara, baru mengoleksi tiga poin dari masing-masing sekali kalah (0-1 dari Italia), imbang dan menang (1-1 dan 3-0 dari Portugal). Sialnya, laga penentu itu batal digelar sesuai jadwal, 4 Desember. Pasalnya, wasit yang sudah ditunjuk sebagai pengadil, Istvan Zsolt, tak bisa mencapai Belfast tepat waktu. Penerbangannya terhambat dan “terdampar” di London gara-gara kabut tebal. Sempat ada opsi untuk memakai wasit lain yang sudah disiapkan IFA atau Federasi Sepakbola Irlandia Utara. “Sekjen IFA Billy Drennan sudah mengatur keberangkatan wasit asal Inggris Arthur Ellis untuk berperjalanan dengan kapal laut sebagai wasit berstatus stand by , untuk berjaga-jaga terhadap situasi seperti itu. Namun Presiden FIGC (Federasi Sepakbola Italia) menolak dan memilih tetap menanti kedatangan Zolt,” tulis Malcolm Brodie dalam “Down Memory Lane: Battle of Belfast Was Far From A Golden Moment,” Belfast Telegraph , 5 Desember 2007. Sayangnya, kabut tebal tak jua reda, bahkan sampai keesokan harinya. Ketimbang membatalkan pertandingan, kedua federasi sepakat hanya menggelar pertandingan persahabatan dengan memakai wasit asal Irlandia Utara. Ironisnya, pertandingan itu sama sekali tak ada tanda-tanda persahabatan sepanjang laga. Laga berubah chaos akibat beragam insiden hingga publik dan para jurnalis menyebutnya Battle of Belfast. Mulai dari sejumlah aksi kasar pemain hingga pelemparan benda-benda ke dalam lapangan oleh suporter yang belakangan juga menyerbu lapangan setelah laga berakhir dengan skor 2-2. “Lima ribu penonton marah ketika laga itu dinyatakan bukan laga resmi. Para penonton menyerang para pemain Italia setelah menyoraki lagu kebangsaan mereka. Jalannya laga sangat kotor, hingga banyak benda-benda dilemparkan ke lapangan. Pemain Italia, Giuseppe Chiapella, menolak keluar setelah dikartumerahkan,” tulis John Foot dalam Winningat All Costs: A Scandalous History of Italian Soccer . Setelah peluit panjang berbunyi, ribuan penonton menyerbu lapangan mengincar para pemain Italia. Salah satu yang jadi korban serangan, Rino Ferrario, sempat pingsan setelah terkena beberapa pukulan. Setelah aparat kepolisian bergerak, kapten tim Irlandia Utara, Danny Blanchflower, mengarahkan rekan-rekannya untuk ikut mengawal para pemain Italia ke ruang ganti. Parlemen Italia lantas bereaksi keras atas insiden tersebut. Media Italia, Il Messaggero , menggambarkan insiden itu sebagai tindakan barbar bangsa Irlandia dari zaman primitif. Terlepas dari protes keras publik Italia, laga resmi kualifikasi baru dijadwal ulang sebulan kemudian pada 15 Januari 1958 dengan wasit tetap, Istvan Zsolt. “Untuk mencegah insiden berulang, wasit Hungaria itu dengan mudah mengeluarkan kartu merah untuk (Alcides) Ghiggia yang melanggar Alf McMichael. Irlandia Utara segera memanfaatkan keunggulan jumlah pemain. (Jimmy) McIlroy dan (Wilbur) Cush sukses menyarangkan dua gol di babak pertama,” tulis Dave Bowler dalam Danny Blanchflower: A Biography. Italia gagal bangkit. Di babak kedua mereka hanya mampu memperkecil skor lewat gol Dino Da Costa. Keunggulan 2-1 Irlandia Utara bertahan hingga laga usai. Italia gagal, sementara Irlandia Utara melakoni debutnya di Piala Dunia. “Irlandia Utara sangat baik dalam kerja sama tim. Padahal di laga itu bisa saja dengan mudah dimenangkan Italia. Hanya saja Italia yang bertabur bintang tak mampu bangkit. Permainan mereka seperti kurang semangat juang,” tulis wartawan senior John Calkin dalam World Cup 1958 .

  • Tarian Penanda Singgasana Sultan

    WAYANG Wong Menak diciptakan sebagai salah satu penanda pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dramatari istana Jawa ini memberikan identitas budaya pada masa dia menjadi sultan di Keraton Yogyakarta. Dosen seni tari Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, Bambang Pudjasworo mengatakan, ketika naik takhta pada 1941, Sri Sultan HB IX merasa perlu adanya sebuah pembeda. "Karena ( tari , red) bedaya, serimpi setiap sultan pasti bikin," ujar Bambang dalam acara “Golek Menak dalam Belantara Modernitas, Sarasehan dan Pentas Tari Pastha Anglari Pasthi,” di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (19/10). Tidak sama halnya dengan penciptaan dramatari. Wayang Wong misalnya, diproses sangat lama, dari Sultan HB I sampai HB III. Mereka masih memanggil kelompok penari dari desa untuk menunjukkan gerakan tari Wayang Wong. Naskah cerita Wayang Wong ditulis dalam bentuk Serat Kandha pada pemerintahan HB V. Bentuk Wayang Wong diselesaikan pada masa Sultan HB VII. Namun, kostum dan karakternya masih belum berkembang dan disempurnakan pada masa Sultan HB VIII. "Sudah sampai puncaknya. Sultan HB IX tidak punya apa-apa. Nanti hanya jadi pelanjut, makanya dia ambil Wayang Menak,” kata Bambang. Sumber materi dramatik tarian diambil cerita Menak, yaitu kisah lahirnya Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad Saw. “Rasul waktu itu belum lahir. Amir Hamzah penganut ajaran Ibrahim menjadi penjaga Ka’bah. Amir Hamzah ingin menegakkan kebenaran sesuai ajaran Ibrahim, mengislamkan orang kafir yang menyembah berhala,” ujar Bambang. Bambang menjelaskan, cerita Menak telah lebih dulu populer di tengah masyarakat sebagai sastra lisan. Ini yang membuat Sunan Kudus menciptakan Wayang Golek Menak untuk syiar agama. “ Tampaknya cerita Menak ini kemudian menjadi sumber inspirasi Sultan HB IX menciptakan drama tari yang beda dari yang pernah diciptakan kakek atau ayahnya,” kata Bambang. Diciptakan mulai 1941, Sultan HB IX mengundang Ki Widiprayitno, dalang Wayang Golek Menak dari Sentolo, Kulon Progo. Ki Widiprayitno diundang untuk memperagakan kepiawaiannya mendalang Wayang Golek Menak di Bangsal Ksatriyan, Keraton Yogyakarta. Pertunjukan disaksikan oleh Sultan IX bersama para ahli tari Keraton. “Ketika itu proses belum sampai selesai. Wujud sudah, tapi sebenarnya hanya eksperimentasi. Berhenti karena situasi politik. Da (Sultan HB IX, red ) pindah ke Jakarta. Kerja di Jakarta,” jelas Bambang. Meski sudah diciptakan satu dramatari baru di keraton, sultan tak puas. Empat puluh lima tahun kemudian dia meminta agar gerak tari, gendhing, kostum, dan karakterisasi peran Wayang Golek Wong Menak disempurnakan. Bambang mengatakan tari Wayang Wong Menak ini menjadi pembaruan luar biasa dalam tradisi seni tari keraton. Dari sisi koreografi, tarian ini beda dengan Wayang Wong. Wayang Wong biasa menampilkan koreografi yang sangat formal. Pun laku gendhing yang sudah pakem. Sementara Wayang Wong Menak lebih mengacu pada penyajian Wayang Topeng. Ada kebebasan tertentu dalam geraknya. “ Keraton kan nggak punya tradisi topeng makanya ambil dari tradisi pedalangan topeng. Cocok ini buat menak,” terang Bambang. Dalam tari Menak ini, terkadang penari bisa berekspresi lebih bebas. Padahal dalam gerak tari Wayang Wong, hanya tokoh raksasa dan kera yang diperbolehkan. Sulit Dipelajari Kini tari Menak jarang dipelajari, berbeda dengan tari Wayang Topeng. Untuk belajar tari Menak, dasar koreografi penari haruslah kuat. “Ini yang mungkin bikin enggan,” tegasnya. Ketika penari masih belajar tarian dasar, ia biasanya belum boleh belajar menarikan Menak. Pasalnya gerakan dalam tarian Menak akan mengubah karakter tubuh. Misalnya, jika lebih dulu mempelajari tari Menak baru kemudian menarikan Serimpi, gerakannya akan terpengaruh gaya Menak. “Tunggu tubuh mapan. Tarine malah dadi rusak (tarinya malah jadi rusak, red ),” jelas Bambang. Meskipun demikian, menurut Bambang bisa saja diciptakan koreografi sederhana untuk belajar menarikan Menak. Sayangnya, ini belum dilakukan. “Kalau tari menuju Serimpi sudah ada. Untuk Bedaya sudah ada juga,” kata Bambang. Sementara dalam hal pengembangan, meski lahir dari keraton, tidak menutup kemungkinan untuk itu. Bambang pun merujuk pada pidato yang diucapkan Sultan HB IX ketika naik takhta. Katanya, takhta untuk rakyat. Itu artinya, simbol kekuasaan sultan bisa juga dimiliki rakyat, termasuk tarian yang diciptakannya. “ Pada masa HB VII tari istana hanya boleh dipelajari kalangan istana yang kemudian oleh Tedjakusuma dibawa keluar istana untuk diajarkan luas, meski tetap tak keluar dari pakem istana," lanjutnya. Namun, pada perkembangan selanjutnya tarian istana tidak jadi milik istana saja. Artinya, karya seni istana bisa dipelajari oleh masyarakat umum. Jika begitu, masyarakat bisa berkreasi dan mengintepretasikan kesenian istana. “Ini sudah terjadi pada tarian klasik istana yang non menak. Ini sudah banyak dibuat kreasi baru,” ucap Bambang. Nungki Kusumastuti, pegiat seni, mengungkapkan perubahan yang dikerjakan Sultan HB IX bisa saja dianggap karya kontemporer pada masanya. Meski begitu tarian ini tetap berangkat dari sebuah tradisi. Kini, tari Menak sudah berumur 75 tahun dan bisa dianggap tari tradisional. Sementara semangat berkreasi tarian klasik dalam kesenian, menurutnya tak bisa dihindari. Dia pun berharap dengan teknologi versi asli tari Wayang Wong Menak bisa didokumentasilan dengan baik. “Siapa tahu 10 tahun mendatang ada keinginan untuk membongkar kembali. Kalau direkam suatu saat bisa dibongkar dan masih ada (dokumentasinya, red ),” ujar Nungki.

  • Pemain Tunadaksa Penentu Juara Piala Dunia

    SEBELUM meniti karier di sepakbola, Hector Castro mengalami kecelakaan di bengkel kayu. Tangannya dilahap gergaji listrik hingga lengan kanan bagian bawahnya terpaksa diamputasi. Meski tunadaksa, dia kemudian menjadi pemain sepakbola untuk klub Nacional dan tim nasional Uruguay. Alberto Suppici, entrenador (pelatih) memasukan Castro dalam timnas Uruguay di Piala Dunia pertama pada 13-30 Juli 1930. Suppici tak sia-sia membawanya ke Piala Dunia yang digelar di negerinya itu. Gol terakhir Castro memastikan La Celeste (julukan timnas Uruguay) menjadi juara Piala Dunia yang saat itu bernama trofi Jules Rimet. Perjalanan Uruguay sendiri terbilang mulus sejak babak penyisihan. Tergabung di Grup 3, tuan rumah dihadang Peru dan Rumania. Castro berperan penting di partai pertama tuan rumah menghadapi Peru. Gol tunggal kemenangan Uruguay datang dari penyerang berjuluk El Manco atau “si tangan buntung” di menit ke-60. Suppici tidak menurunkan Castro pada laga berikutnya kontra Rumania yang dimenangkan 4-0 dan laga semifinal melawan Yugoslavia yang juga dimenangkan 6-1. Castro baru bermain pada laga final di Estadio Centenario, Montevideo, melawan Argentina. Pelatih menurunkannya bersama Hector Scarone dan Pedro Cea. Pemain Argentina, Pablo Dorado memecah kebuntuan di menit ke-12. Carlos Puecelle menyamakan kedudukan menjadi 1-1. Publik tuan rumah kembali dibungkam Guillermo Stabile lewat gol di menit ke-37. Skor 2-1 untuk keunggulan Argentina bertahan hingga turun minum. “Namun di babak kedua, Uruguay mengeluarkan cakar Charrua (semangat pantang menyerah, red ). Dalam hitungan menit, Pedro Cea menyamakan skor (2-2 di menit 57). Tidak lama kemudian El Mago Hector Scarone (di menit 68) membuat Uruguay unggul 3-2. Lalu di menit 88, Castro melancarkan penyelesaian gol dan mengakhiri laga dengan 4-2. Uruguay juara dunia,” tulis Fernando Fiore dalam World Cup: The Ultimate Guide to the Greatest Sports Spectacle in the World. Castro mencetak gol lewat kepalanya untuk menyarangkan bola ke jaring gawang yang dikawal Juan Botasso. Kiper Argentina ini sempat cedera akibat tabrakan dengan Castro. Insiden yang sempat meletupkan amarah para pemain Argentina, termasuk Francisco Varallo. “Castro memang bedebah. Dia sengaja menabrak kiper kami (Botasso) dan membuatnya bertahan hanya dengan satu kaki sepanjang pertandingan,” ketus Varallo dikutip Asep Ginanjar dan Agung Harsya dalam 100+ Fakta Unik Piala Dunia. Meski begitu Castro tetap pahlawan di hati publik Uruguay. Ini prestasi besar kedua yang dipersembahkannya. Sebelumnya, dia ikut memetik medali emas cabang sepakbola di Olimpiade Amsterdam 1928.

bottom of page