Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Yang Pertama dari Kedokteran Indonesia
Penghormatan setinggi-tingginya ditujukkan untuk seluruh tenaga medis Indonesia. Di tengah semakin mewabahnya virus Covid-19, peran mereka sebagai garda terdepan sangat dibutuhkan. Tanpa kenal lelah, para tenaga medis ini berjuang menyelamatkan nyawa pasien-pasiennya. Meski nyawa mereka juga bisa ikut terancam. Apresiasi bagi petugas medis ini juga datang dari istana. Diberitakan laman resmi Sekretaris Kabinet Republik Indonesia, setkab.go.id, Presiden Joko Widodo menyampaikan terima kasih dan apresiasi kepada seluruh petugas medis yang telah bekerja keras merawat para pasien terpapara virus tersebut. “Saya menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya, kepada para dokter, para perawat dan seluruh jajaran rumah sakit, yang sedang bekerja keras penuh dedikasi dalam melayani dan merawat para pasien yang terinveksi Covid-19,” ucap Presiden. Kapan dan di mana pun profesi dokter serta tenaga medis akan selalu dibutuhkan. Keberadaan mereka menjadi penjaga keseimbangan suatu negara. Di Indonesia, profesi tersebut telah ada selama lebih dari seratus tahun. Bermula dari masa Hindia-Belanda, pemeran utama dunia kesehatan ini pun akhirnya terlahir. Berikut serba pertama soal dokter di Indonesia. Dokter Lulusan Belanda Pertama Mas Asmaoen (Repro Di Negeri Para Penjajah) Namanya mungkin terdengar asing di telinga masyarakat. Mas Asmaoen, merupakan lulusan pertama asal Indonesia yang meraih gelar dokter di Belanda. Dilahirkan pada 1880 di Surakarta, Mas Asmaoen sempat mengenyam pendidikan di STOVIA (sekolah dokter untuk bumiputra) sebelum akhirnya diizinkan menempuh kuliah kedokteran di Belanda. Kesempatan untuk melanjutkan studi di Belanda tidaklah mudah. Hanya para siswa yang bettul-betul pintar mampu mendapat akses terbatas tersebut. Pada 1904, Menteri Urusan Daerah Jajahan Dirk Fock mengeluarkan izin studi kedokteran di Belanda bagi lulusan STOVIA. Abdul Rivai menjadi yang pertama mendapatkannya. Mas Asmaoen juga menggunakan kesempatan itu untuk mendaftar. Bersama Mas Boenjamin, Mas Asmaoen mencatatkan namanya di fakultas kedokteran Universitas Amsterdam. Keduanya merupakan mahasiswa yang cemerlang sejak di STOVIA. Menurut Hans Pols dalam Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies , kendati Abdul Rivai yang pertama masuk Universitas Amsterdam, tetapi Mas Asmaoen yang pertama lulus. “Karena Rivai sibuk menulis untuk majalah Bintang Hindia, Asmaoen menjadi bumiputra pertama yang menerima gelar dokter Belanda,” ungkapnya. Setelah lulus, Mas Asmaoen sempat beberapa bulan bekerja di Institute of Naval and Tropical Medicine di Hamburg, Jerman. Begitu mendapat kesempatan pulang ke Hindia Belanda, dia bekerja sebagai perwira kesehatan di pasukan kolonial. Mas Asmaoen memperoleh kewarganegaraan Belanda, dan menikahi seorang perempuan Belanda kelahiran Surabaya, Adriana Asmaoen-Punt. “Dia diangkat menjadi perwira kesehatan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Dia menjadi orang Indonesia pertama dalam kedudukan itu,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Para Penjajah . Karir Mas Asmaoen di KNIL tidak lama. Dia mendapat penolakan dari perwira Belanda karena latar belakangnya sebagai bumiputra. Dia kemudian dipindahkan ke Irian, tapi di sana jatuh sakit. Menurut Poeze, Asmaoen tidak bisa menyesuaikan diri dengan kondisi di Indonesia. Terlalu lama tinggal di Belanda membuatnya sulit beradaptasi. Mas Asmaoen meninggal dunia pada 1916 (sumber lain menyebut tahun 1917). Dokter Perempuan Pertama Marie Thomas di ruang persalinan ( javapost.nl ) Sejak secara resmi menjalankan fungsinya sebagai sekolah pada 1902, STOVIA tidak menerima murid perempuan. Hanya para murid laki-laki yang boleh mengenyam pendidikan dokter di sana. Namun peraturannya perlahan berubah semenjak Marie Thomas mendapat izin berstudi di sekolah khusus bumiputra tersebut. Diterimanya perempuan kelahian Likupang, Manado, tahun 1896 itu tidak lepas dari peran Aletta Jacobs, dokter perempuan pertama di Negeri Belanda. Diceritakan sejarawan Belanda Liesbeth Hessleink dalam “Marie Thomas (1896-1966), de eerste vrouwelijke arts in Nederlands-Indie”, dimuat Javapost.nl , kesempatan Marie Thomas datang pada 18 April 1912. Itu terjadi saat Aletta Jacobs singgah di Batavia dalam kegiatan tur keliling dunia. Di Hindia Belanda ini Aletta bertemu dengan Gubernur Jenderal AWF Idenburg. Pada pertemuan itu, Aletta menyampaikan keinginan agar perempuan bumiputra memperoleh kesempatan mendapat pendidikan kedokteran. Sehingga tidak hanya laki-laki saja yang berkarir di dunia medis. Tidak berlangsung lama, harapan Aletta berbuah hasil. Peraturan baru segera dikeluarkan pejabat pemerintah Hindia Belanda terkait masalah tersebut. Melalui beasiswa dari sebuah yayasan yang bergerak mengeluarkan dana pendidikan bagi dokter perempuan, Studiefonds voor Opleiding van Vrouwelijke Indlandsche Arsten (SOVIA), Marie Thomas mendaftar ke Stovia. Memasuki pertengahan tahun 1912, dirinya tercatat sebagai mahasiswa STOVIA. Lulus tahun 1922, Marie Thomas memulai karirnya di Centraal Burger Ziekenhuis (kini Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo), Batavia. Marie Thomas menjadi spesialis Indonesia pertama dalam bidang ginekologi dan kebidanan. Sekolah Dokter Pertama Suasana di kelas anatomi, Stovia (Repro Healers on the Colonial Market) Permulaan abad ke-19, epidemi penyakit menular merebak di seluruh wilayah Hindia Belanda. Pemerintah ketika itu kesulitan menghentikan penyebarannya karena penyakit berkembang di kalangan bumiputra. Sementara rumah sakit yang tersedia hanya diperuntukkan bagi orang-orang Eropa saja. Akibatnya penyebaran itu tidak dapat dibendung dan mulai menyerang semua kalangan. Demi terhindar dari dampak yang lebih buruk, Kepala Dinas Kesehatan Umum Hindia Belanda Williem Bosch melayangkan usulan kepada pemerintah agar kalangan bumiputra diperbolehkan menerima pendidikan menjadi dokter. Para lulusannya akan disebar menekan penyakit di banyak daerah, dan diproyeksikan mengganti peran dukun sebagai tenaga medis tradisional. Usulan itu makin mendesak ketika wilayah Jawa Tengah diserang epidemi penyakit tahun 1847. Pada 1 Januari 1851, setelah melalui serangkaian perdebatan, usulan Bosch dapat direalisasikan. Pemerintah kemudian membuka sekolah kedokteran pertama di Hindia Belanda dengan nama resmi School ter Opleiding van Inlandsche Geneeskundigen. Dikenal luas di masyarakat dengan sebutan Sekolah Dokter Jawa. Gedung untuk pendidikan menempati salah satu bagian rumah sakit militer. Direktur pertamanya dijabat oleh P. Bleeker, seorang iktiologis dengan reputasi interasional. Di dalam bukunya, Healers on the Colonial Market , sejarawan Liesbeth menyebut tidak ada pelajaran khusus yang ditujukan untuk kondisi umum masyarakat lokal. Sebagian besar pengajarnya bahkan hampir tidak punya pengalaman menangani pasien bumiputra. Tahun pertama, para murid sekolah dokter ini mempelajari dasar-dasar ilmu pengobatan, kimia, geologi, botani, zoologi, anatomi, psikologi, dan otopsi. Tahun berikutnya mereka diajari pembedahan dan operasi pada jenazah. “Seluruh alumni Sekolah Dokter Jawa, termasuk mereka yang membuka praktik dokter sendiri, disupervisi oleh dokter Eropa yang bertanggung jawab kepada Dinas Kesehatan,” ungkap Liesbeth. Kehadiran para dokter dari kalangan bumiputra ini terbukti mampu menjaga penularan penyakit secara masif di masyarakat. Mereka juga menjadi agen yang memperkenalkan pengobatan modern Barat kepada masyarakat awam. Atas kesuksesan itu, tahun 1875 program pendidikan dokter Jawa direformasi. Durasinya diperpanjang dari tiga menjadi tujuh tahun. Jumlah siswa yang diterima bertambah dari 50 menjadi 100. Bahasa pengantarnya pun berganti menjadi bahasa Belanda. Pada 1902, bersamaan dengan kebijakan politik etis, revisi pendidikan ikut mengalami perubahan. Nama sekolah berganti menjadi School tot Opleiding van Indlandsche Artsen (STOVIA). “Istilah dokter Jawa berubah jadi Inlandsche Arts atau dokter bumiputra. Kemudian pada 1913, sekolah membuka pendaftaran bagi seluruh ras tanpa terkecuali maka gelar tersebut diubah menjadi Indische Arts atau dokter Hindia,” ungkap Liesbeth.
- Ketika Hantu Kolera Mengamuk di Tanah Batak
Ada satu masa penyakit misterius melanda Tanah Batak. Ratusan ribu nyawa melayang karena penyakit ini mewabah begitu cepat dan ganas. Orang-orang Batak menyebut penyakit ini dengan nama Begu Attuk . Mengapa disebut Begu Attuk ? Secara harfiah, Begu artinya hantu sedangkan Attuk berarti memukul. Maka jika diterjemahkan Begu Attuk sama dengan hantu yang terus-menerus memukul. Gejalanya adalah muntah-muntah dan buang air besar yang hebat. Mereka yang mengalami penyakit ini mengalami derita kesakitan seperti dipukul pada bagian perut. Dalam Masyarakat dan Hukum Adat Batak, J.C. Vergouwen, ahli hukum adat kebangsaan Belanda yang pernah betugas di Tapanuli pada 1927-1930, menyebut bahwa Begu Attuk adalah sebutan orang Batak untuk penyakit kolera. Setiap tahun menjelang musim kering, tetua adat yang disebut datu kerap kali memimpin upacara kurban penolak bala akibat wabah Begu Attuk . Namun sejak kapan penyakit ini menjadi momok yang menakutkan bagi orang-orang Batak? Sisa Invasi Kaum Padri Wabah kolera yang melanda negeri Batak buntut dari penaklukan kaum Padri Minangkabau. Pada 1818, kaum Padri yang dipimpin Tuanku Lelo menyerang ke Tapanuli yang salah satu misinya adalah melakukan islamisasi. Dalam berbagai pertempuran, pasukan Padri jauh lebih unggul karena telah menggunakan pasukan berkuda yang dapat bergerak cepat. Penyerbuan itu menyebabkan sebanyak 200.000 orang Batak tewas. Betapa banyak jenazah dan bangkai manusia yang dibuang pasukan Padri ke Sungai Batangtoru. Padahal Sungai Batangtoru merupakan induk dari beberapa anak sungai dan menjadi sumber air bagi penduduk di Pahae dan Silindung. Akibatnya, sungai tersebut menjadi penyebar penyakit. Menurut Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar, balatentara Padri mengurung kampung-kampung yang terkena penyakit menular itu. Dari 800.000 penduduk Tanah Batak meliputi Pahae, Silindung, Humbang, dan Toba tersisa hanya 200.000. Pahae menjadi daerah yang populasinya berkurang paling banyak, yakni 90 persen. “Sesudah tentara Padri 25% membunuh penduduk asli Tanah Batak, menyusul pula kolera dan pes yang meminta korban 50% (dari penduduk Tanah Batak yang tersisa). Tinggal hanya 25 %,” tulis Parlindungan dalam Tuanku Rao . Penyebaran wabah kolera ternyata jauh lebih berbahaya daripada serangan pasukan Padri. Bukan hanya menulari orang Batak, penyakit Begu Attuk ini ikut pun menyasar balatentara Padri. Makin lama penularannya kian menggerogoti. Pasukan Padri tidak mampu bertahan lebih lama lagi menghadapi serangan wabah yang mengancam mereka. Satu-satunya jalan menghindari diri dari epidemi yang terus merajalela itu adalah dengan mengundurkan diri. Penyakit tersebut bahkan membuat laju tentara Padri menguasai Tanah Batak bagian utara terhenti. Pada 1820, mereka mundur kembali ke Minangkabau. “Ternyata dalam waktu hanya sekitar tiga tahun, pasukan Padri memang terpaksa hengkang dari Tanah Batak Utara, terutama sebagai akibat serbuan kejam ‘jenderal alam’, yakni wabah menular yang oleh orang Batak hanya disebut sebagai begu attuk ,” tulis Pirmian Tua Dalan Sihombing dalam Pendeta Mangaradja Hezekiel Manullang, Gelar Tuan Manullang . Membuka Celah Kristenisasi Penyakit kolera terus bercokol sejak pembumihangusan tentara Padri atas Tanah Batak. Banyaknya mayat-mayat yang bergelimpangan tidak sempat dikuburkan dan dibuang begitu saja ke sungai. Selain Sungai Batangtoru, Sungai Sigeaon dan Sungai Situmandi di dekat Taruntung jadi ikut tercemar. Petaka ini menyebabkan berkembangnya penyakit di seluruh Tanah Batak. Para datu pun kelabakan mencari cara menyembuhkan penyakit ini. “Akibat perjuangan yang sengit ini tidak ada kesempatan mengubur mayat dan dibiarkan saja busuk sendiri. Akibat dari mayat ini timbullah penyakit kolera dimana-mana,”tulis T.E. Tarigan dalam Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba . Situasi yang terjadi di Tanah Batak menarik perhatian Sir Thomas Stamford Raffles. Gubernur Jenderal Inggris di Asia. Pada 1823, Raffles mengadakan rapat terbatas. Dalam rapat itu dilakukan pemetaan kawasan. Aceh dan Minangkabau adalah kawasan beragama Islam sedangkan Tanah Batak-Tapanuli menjadi kawasan beragama Kristen. Raffles begitu semangat mendorong misi penginjilan ke kalangan orang Batak. Menurutnya Tapanuli khususnya bagian utara harus secepatnya di-Kristen-kan. Apalagi wilayah tersebut sudah ditinggalkan pasukan Padri. “Beberapa sumber menyatakan bahwa Raffles mencoba memisahkan orang Aceh Islam yang kuat di sebelah utara Tanah Batak dari orang Minangkabau Islam yang kuat di sebelah selatan,” tulis Paul B. Pedersen dalam Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatra Utara . Seruan Raffles itu disambut dengan pengiriman tiga misionaris dari Baptist Mission Society of England. Mereka berangkat dari Calcutta, India menuju Tapanuli. Salah satunya ialah seorang pendeta bernama Nathaniel Ward. Nathaniel Ward ahli dalam bidang kesehatan. Dia ditunjuk untuk menyelidiki wabah kolera yang berjangkit di Silindung dan Toba. Penyakit inilah yang menggagalkan pengislaman Tanah Batak. Turut bersama Ward, dua orang pendeta lainnya. Richard Burton seorang linguis dan etnolog yang bertugas menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak. Satu lagi adalah Pendeta Evans, seorang guru yang akan mendirikan sekolah-sekolah Kristen di Tapanuli. Dengan demikian, sejak para misionaris itu bergerak dimulailah siar Kristen di Tanah Batak.
- Meruwat untuk Mengusir Kekuatan Jahat
Warga di Madiun, Jawa Timur, menggelar atraksi kesenian Dongkrek untuk mengusir pagebluk. Di antaranya ada yang menggunakan topeng genderuwoberwarna-warni. Dengan diringi musik, mereka berkeliling ke sudut-sudut sejumlah desa. Dalam Kesenian Dongkrek Internasilisasi Nilai dan Ketahanan Budaya , sejarawan IKIP PGRI Madiun, Muhammad Hanif, dkk. menjelaskan ritual ini sudah ada sejak 1867 dan terus berjaya hingga 1902. Kesenian ini lahir pada masa Raden Sosro Widjoyo, yang bergelar Raden Ngabehi Lho Prawiro Dipoero III menjabat sebagai Palang Caruban atau sekarang Kecamatan Mejayan. Palang setara dengan jabatan lurah kepala. Pada 1866, daerah Caruban diserang pagebluk yang menelan banyak korban. Raden Prawiro Dipoero berusaha mencari jalan keluar. Ia bermeditasi dan bertapa di wilayah Gunung Kidul Caruban. Saat bertapa, ia diganggu segerombolan genderuwo . Ia mengalahkan genderuwo itu dengan cemeti yang didapatkan nya dari seorang kakek sakti saat bertapa. Bahkan, Raden Prawiro Dipoero membuat genderuwo itu membantunya mengusir wabah penyakit. Ia bersama abdinya dan genderuwo berjalan keliling kawasan Mejayan. Mereka menggiring keluar roh halus pembawa wabah yang menyerang wilayah mereka. Setelah krisis pangan dan wabah berlalu Raden Prawiro Dipoera membuat topeng menyerupai sosok genderuwo. Ia menjadikanya topeng seremonial untuk diarak keliling kampung setahun sekali pada tengah malam. Ini sebagai ritual tolak bala atau mencegah agar wabah tak muncul kembali. Keyakinan adanya roh atau hantu jahat yang mendatangkan musibah bagi manusia sudah ada sejak lama. “Dalam prasasti ada kata hanitu atau hantu, ‘lenyaplah segala hanitu ’. Artinya sebagai suatu yang mengancam. Dalam keyakinan itu penyakit dianggap sebagai kekuatan jahat yang perlu disirnakan. Jadi nonmedis,” kata Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang kepada Historia. Mengusir Pengaruh Jahat Hari Lelono, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, menjelaskan dengan tujuan sama, umumnya masyarakat Jawa menggelar upacara bersih desa. Ada juga yang menyebutnya ruwatan. Bersih desa berasal dari pengertian orang Jawa yang berarti membersihkan hal buruk. Tujuannya agar manusia terhindar dari bermacam gangguan, baik alam maupun roh jahat. Sementara ruwatan berasal dari kata ruwat, artinya luwar atau lepas. “Jadi, bersih desa atau dusun dan ruwatan berarti melepas segala bentuk perbuatan jelek, malapetaka, hal kotor,” jelas Hari Lelono dalam “Tradisi Ruwatan: Bersih Bumi Kearifan Lokal dalam Mitigasi Bencana” , terbit di Berkala Arkeologi Vol. 35 , 2015 . Ruwatan bisa dilakukan terhadap alam semesta sebagai tempat hidup manusia, serta segala isinya seperti bumi, sungai, laut, danau. Pun ruwatan bisa dilakukan terhadap manusia secara individu maupun kelompok. Pada masa lalu, khususnya masyarakat Jawa dan Bali,mengenal upacara bhumisuddha. Artinya upacara kurban pemberian ( suddha ) bumi dari segala pengaruh jahat. Menurut Hari, pada masa Bali Kuno, sekira abad ke-10, dikenal upacara kurban yang disebut Haywahaywan dan pamahayu, yang berarti cantik, damai, dan sejahtera. “Selanjutnya masyarakat Jawa sekarang mengenal kata-kata mutiara: mamayu hayuning bawana . Maksudnya mempercantik dunia,” kata Hari. Upacara bhumisuddha tak berbeda jauh dengan ruwatan bumi. Konsep ini kemudian berkembang menjadi bersih desa. “Bersih itu suddha, desa itu bhumi. Atau slametan sedekah bumi,” jelasnya. Ritual ini juga biasanya diiringi dengan persembahan “kurban” kepada Sang Penguasa Alam. Kurbannya berupa sesajian dengan segala macam perlengkapannya. Biasanya kegiatan ini dilakukan setelah musim panen,supaya masyarakat punya dana yang cukup untuk melakukan prosesinya. Hari menyebut masyarakat Tengger, suku asli yang mendiami wilayah Gunung Bromo dan Semeru, Jawa Timur, biasanya melakukan upacara terpusat di Candi Sanggar, Dusun Wonogriyo. Mereka percaya di sana tempat tinggal roh-roh leluhur cikal bakal desa atau danyang . Karenanya pada waktu-waktu tertentu, mereka harus melakukan upacara menghormati para danyang. Tujuannya agar mereka selalu dijaga dan dihindarkan dari gangguan roh-roh jahat penyebab bencana. “Bencana itu baik berupa bencana alam maupun musibah seperti penyakit, kematian, dan pengaruh jahat lainnya,” jelas Hari. Roh Jahat Kegiatan menangkal roh jahat pembawa petaka pada masa kuno, dipahatkan pada pendopo Candi Panataran di Blitar, Jawa Timur. “Ada gambaran seorang tokoh memberikan sesajian yang dimaksudkan untuk menangkal gangguan yaitu hantu. Artinya ada tempat-tempat tertentu untuk menyirnakan penyebab petaka, disebut hantu jahat,” jelas Dwi. Arkeolog Setyawati Suleman dalam Batur Pendopo Panataran , menjelaskan bahwa dalam pendopo Candi Panataran itu seorang tokoh dengan tutup kepala tekes tampak sedang membawa sajian dalam bentuk tumpeng kepada Durga di pekuburan yang penuh dengan hantu. Ia berjumpa dengan hantu yang badannya setengah terkubur di tanah. Di atas relief ini terdapat tulisan yang oleh J.L.A Brandes, ahli purbakala Belanda, dibaca sebagai hanja hanja nngah . I nskripsi ini cocok dengan adegan tadi, yang berarti hantu berbadan setengah. Pada adegan ini tampak pula tangan besar yang terulur ke atas, ini adalah hantu tangan. Ia disebut dengan tetangan dalam kisah Sudhamala. Di atasnya kepala Bhuta tengah meringis. Soal hantu, ada inskripsi singkat lain yang ditemukan di relief pendopo ini. Tertulis hanja hanja kasturi. Mungkin yang dimaksud adalah hantu wangi. Kendati adegan di bawahnya tak memperlihatkan adegan yang ada hantunya. Dwi juga menyebutkan kisah Sudhamala yang ditemukan pada relief di dinding Candi Sukuh, di lereng Gunung Lawu, Karanganyar dan di Candi Tegowangi di Kediri. Di sana ada adegan Sadewa, salah satu dari tokoh Pandawa, yang berhasil meruwat raksasi bernama Durga Ranini, penguasa Setra Gandamayu tempat para jin dan setan. Setelah diruwat, Ranini kembali ke wujudnya semula, Batari Uma yang canti k jelita. “Dalam Sudhamala ada Ranini penguasa Setra Gandamayu, yang digambarkan sebagai kekuatan jahat. Lalu setelah diruwat, murkanya diredakan,” jelas Dwi. Ada pula relief Angling Dharma pada dinding Candi Jago di Malang. Angling Dharma pada ujung cerita meruwat seorang resi dari wujudunya yang seperti raksasa. Kondisinyakembali stabil saat sang resi mendapatkan wujudnya yang suci dan diangkat ke surga. Paling Mudah Dicerna Dwi mengatakan segala bencana yang terjadi pada masyarakat kuno selalu dianggap sebagai murka alam atau murka ilahi. Karenanya masyarakat perlu meredakan murkanya. “Karena berkaitan dengan keyakinan jadi dilakukannya juga berdasarkan keyakinan tertentu,” jelas Dwi. Pada perkembangannya, menurut sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global, kemarahan roh-roh orang mati yang tak puas tetap merupakan penjelasan yang lebih cepat dan lebih mudah bagi suatu bencana yang terjadi. Itu bila dibandingkan dengan pandangan tentang kejahatan dari kitab-kitab suci yang ada. “Sekalipun agama-agama kitabiah berhasil mengurangi pengaruh roh-roh halus, orang tetap saja ada yang sakit, sial, dan mati,” katanya. Bagaimanapun, kata Hari Lelono, kepercayaan mempunyai fungsi salah satu n ya untuk mengurangi kegelisahan. “Dengan religi manusia bisa mendapat ketenangan untuk menghadapi hal-hal di luar jangakauan pikirannya, seperti kematian, penyakit, bencana, dan lainnya,” katanya.
- Mayor Alex dan Harta Karun Jepang
SERSAN Mayor (Purn) Sanip masih ingat perintah atasannya ketika mulai terjun di palagan Sulawesi Utara pada Agustus 1959. Kepada para prajurit Batalyon 330 Kudjang I Siliwangi, komandan tersebut menekankan jika nanti harus berhadapan dengan Panglima Angkatan Perang Revolusiener (APREV) Alex Evert Kawilarang maka diupayakan untuk ditangkap hidup-hidup. "Jangan sakiti beliau! Pak Alex adalah orang tua kita yang sedang khilaf dan harus disadarkan,” ujar sang komandan. Tak cukup hanya dengan perintah. Para prajurit Siliwangi juga menempelkan berbagai selebaran dan pengumuman tertulis di hutan-hutan Sulawesi Utara. Menurut A.H. Nasution, itu dilakukan semata-mata karena bentuk rasa hormat para prajurit asal Jawa Barat itu kepada tokoh senior Siliwangi tersebut. “Anak-anak Siliwangi ada yang memasang tulisan-tulisan di papan, yang isinya memanggil: ‘Pak Kawilarang supaya kembali!’” kenang Nasution dalam biografinya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid IV: Masa Pancaroba Kedua. Bisa dikatakan Alex Kawilarang adalah legenda di Siliwangi. Sejak meniti karir sebagai tentara, Alex sudah membuktikan pengabdiannya yang tak terbatas untuk Divisi Siliwangi. Ketika awal Perang Kemerdekaan (1945-1949) meletus, nama Alex sudah dikenal oleh masyarakat Sunda di wilayah Bogor, Cianjur dan Sukabumi. Kendati dirinya seorang Minahasa yang beragama Kristen. “Pak Kawilarang itu orangnya jujur dan baik tapi tegas. Jadi wajar kalau setiap prajuritnya tak pernah bisa melupakannya seumur hidup,” ujar almarhum Kopral Dua (Purn.) Satibi, eks anak buah Kawilarang di Sukabumi dan Cianjur. Satibi ingat saat bergerilya di wilayah hutan Kalapa Nunggal, Cianjur Selatan pada sekitar 1947, Kawilarang sempat jatuh terkilir hingga menyebabkan kaki kirinya mengalami masalah otot. Akibatnya dia tak bisa berjalan cepat. “Sayalah yang menggendongnya saat beliau akan menyebrangi sebuah sungai besar,” kenang Satibi. Peretengahan 1946, kejujuran Alex Kawilarang pernah teruji saat dirinya menjabat posisi Kepala Staf Resimen Bogor dengan pangkat mayor. Ketika pasukannya mengobrak-abrik bekas markas tentara Jepang di Pondok Gede (masuk wilayah Lido, Bogor Selatan), tetiba seorang anak buahnya melaporkan adanya onggokan bekas galian tak jauh dari markas yang sebenarnya bekas pabrik karet itu. Mayor Alex kemudian memerintahkan Sersan Mayor Sidik, beberapa anggota Polisi Tentara, seorang pegawai perkebunan dan dua penduduk setempat untuk menggali tumpukan tanah itu. Belum satu meter tanah itu digali, tetiba mereka melihat suatu benda yang mirip bom. Kontan mereka berloncatan takut “bom” itu meledak. Namun ketika diamati, benda itu ternyata sebuah guci besar. Singkat cerita, dibukalah guci itu. Alangkah kagetnya mereka ketika di dalam guci itu mereka menemukan beberapa kaos kaki yang isinya emas, permata dan berlian. Untuk mencegah keributan, Alex langsung membawa guci harta karun tentara Jepang itu ke markas lalu menyimpannya di atas tempat tidurnya. Dia lantas memerintahkan anak buahnya untuk menjaga temuan berharga itu selama 24 jam. Keesokan harinya, beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat Cigombong datang menemui Alex. Mereka menyatakan lebih baik harta karun itu diserahkan saja kepada mereka untuk kepentingan perjuangan. “Bapak-bapak ini benar mau berjuang?” tanya Alex. Tamu-tamu itu mengangguk dan meyakinkan lagi sang perwira bahwa mereka benar-benar mau berjuang. Mendengar pernyataan itu, Alex langsung pergi ke belakang. Dia membawa dua peti granat made in Panumbangan (pabrik senjata Republik di wilayah Bogor). “Ini buat berjuang,” ujar Alex singkat. Alih-alih menjadi gembira, para tamu malah bengong dan terpaksa menerima dua peti granat tersebut. Atas saran Residen Bogor Moerdjani, Alek kemudian menyerahkan harta karun itu kepada Kementerian Dalam Negeri. Dengan dikawal 4 anak buahnya yang terpercaya, guci berisi emas, permata dan berlian tersebut diberangkatkan ke Purwokerto (saat itu Kementerian Dalam Negeri RI berposisi di sana). “Yang menandatangani surat penerimaan guci itu adalah Mr. Sumarman, Sekretaris Kementerian Dalam Negeri,” ungkap Alex Kawilarang dalam biografinya, Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan KH). Sayang, surat tanda terima itu menurut Alex sudah musnah terbakar sewaktu militer Belanda melakukan pemboman (dalam rangka Operasi Produk atau Agresi Militer I) ke markasnya di Panumbangan. Namun peristiwa itu cukup membuktikan bahwa Alex bukanlah tipe perwira yang ingin memanfaatkan kedudukannya untuk kepentingan pribadi. Lantas bagaimana nasib harta karun itu? Tak pernah jelas. Namun menurut Alex, pada 1972, Majalah Ekspres pernah berupaya membuat investigasi mengenai keberadaan harta itu. Kendati penggunaan tidak disebutkan, dokumen-dokumen di Kementerian Dalam Negeri menkonfirmasi penerimaan sebuah guci berisi 7 kg emas, permata dan berlian yang ditemukan di Kompleks Perkebunan Pondok Gede, Bogor pada 1946. “Majalah Ekspres edisi 29 September 1972 menyebut nilainya sampai sebanyak hampir 6 milyar rupiah,” ungkap Alex Kawilarang.
- Krisis Barang pada Zaman Jepang
PANDEMI Covid-19 menyebabkan beberapa barang langka di pasaran. Contohnya masker dan cairan pembersih tangan. Belakangan barang kebutuhan pokok semisal gula ikut langka. Kekhawatiran muncul dari masyarakat terhadap ketersediaan barang kebutuhan pokok. Tapi pemerintah meyakinkan tidak akan ada kelangkaan barang kebutuhan pokok.
- Benarkah Westerling Sakti Mandraguna?
BAGI generasi muda Sulawesi Selatan di masa kiwari, mungkin nama Raymond Pierre Paul Westerling sekadar nama dalam buku sejarah. Namun tidak begitu di era 1950 atau 1960-an. Di masa itu nama Westerling seolah tabu buat terucap dari mulut. Perkaranya tak lepas dari kisah-kisah kebrutalan eks kapten cum komandan Depot Speciale Troepen (DST) atau pasukan khusus Belanda itu periode 1946-1947. Pemerintah RI menyebut korban pembantaian Westerling mencapai 40 ribu jiwa, meski di salah satu memoarnya, Mes Aventures en Indonésie (terjemahan: Challenge to Terror ) ia hanya mengaku mencabut 463 jiwa warga sipil dan gerilyawan. “Memang itu tahun 1950-1960an kalau orang Bugis, orang Makassar dengar namanya Westerling kayak apa emosinya,” ujar sejarawan Anhar Gonggong kepada Historia “Pasti sudah mau diajak berkelahi kalau bisa bertemu Westerling. Tapi sekarang tidak ada. Anak-anak sekarang juga enggak ada urusan lagi, sudah beda generasi,” imbuhnya, di mana ia juga kehilangan ayah, kakak, dan pamannya dalam kebrutalan Westerling. Mayjen TNI (Purn) Andi Mattalatta dalam otobiografinya, Meniti Siri’ dan Harga Diri menyebut, periode pembantaian Westerling sebagai “ Dooden Mars ”. Sejak datang ke Sulawesi Selatan medio Desember 1946, manuver Dooden Mars Westerling itu mencakup Makassar, Gowa, Takalar, Polombakeng, Binamu, Jeneponto pada kurun 17-31 Desember 1946. “Kemudian 2-16 Januari 1947 di Bonthain, Gattaran, Bulukumba, dan Sinjai. Sementara di utara operasi keji itu dia lakukan sejak 17 Januari-3 Maret 1947 di Maros, Pangkajene, Segeri, Tanete, Barru, Takkalasi, Soppengriaja, Palamo, Parepare, Suppa, Pinrang, Polewali, Majene, hingga Mandar,” ungkap Mattalatta yang kala itu turut bergerilya “kucing-kucingan” menghindari Westerling Cs. Ilmu Kebal dan Indra Keenam Westerling Masih ingat epos ksatria pejuang Skotlandia William Wallace dalam film Braveheart (1995) yang diperankan Mel Gibson? Jelang perang melawan Inggris, kelegendaannya lebih dulu menyebar. Dikatakan Wallace seorang ksatria raksasa yang mampu menggorok 100 prajurit Inggris sendirian. Pedangnya bisa membelah danau-danau di Skotlandia hingga Laut Merah. Sekiranya kisahnya pun mirip. Sebelum Westerling dan pasukannya menggerebek kampung-kampung di Sulawesi Selatan yang diceritakan Mattalatta di atas, kelegendaan dan takhayul tentang Westerling yang dianggap punya kesaktian mandraguna sudah menyebar lebih dulu, ibarat bentuk teror psikis bagi warga sipil dan gerilyawan. “Untuk meningkatkan efektivitas terornya, pembantaian didahului oleh kampanye perang urat syaraf dengan menyebarkan kisah tentang Westerling yang dikampanyekan memiliki kekuatan magis. Disebarkanlah cerita bahwa sang kapten punya ilmu kebal, ilmu yang memudahkannya mengetahui siapa yang ekstremis dan siapa yang perampok dsb,” tulis sejarawan Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian . “Bahwa Westerling yang kelahiran Istanbul, Turki, juga jadi bahan kampanye yang efektif. Turki di mata rakyat Sulawesi Selatan yang hampir semuanya penganut Islam, masih salah satu pusat Islam yang punya arti tersendiri. Jadi ketika rakyat sudah dikumpulkan di lapangan terbuka, secara mental mereka sudah ketakutan,” lanjutnya yang pada 1970 pernah mewawancarai langsung Westerling di Amsterdam, Belanda sebagai wartawan. RPP Westerling (kedua dari kiri) kala masih sekadar serdadu kelas "coro" medio 1943. ( nimh-beeldbank.defensie.nl ) Soal ilmu kebal yang didengungkan para prajurit dan mata-mata yang disebar Westerling, dipropagandakan ia punya ilmu itu lantaran hafal banyak ayat-ayat suci Alquran sejak masa mudanya. Toh ia tumbuh besar di lingkungan mayoritas Islam, meski ia bersekolah di Sekolah Yesuit St. Michel dan St. Joseph. Ia juga sering bersentuhan dengan benda-benda mistis mengingat ayahnya seorang pedagang barang antik di Istanbul. Belum lagi akrab dalam waktu cukup lama dengan kaum Badui Palestina kala bertugas di Haifa dan Kairo medio 1941. Latarbelakang Westerling yang unik itu sudah lebih dari cukup sebagai bahan propaganda dan psywar bahwa dia punya ilmu gaib dan kebal peluru. “Itu semua perang urat syaraf saja,” sanggah Westerling kepada Salim Said kala diwawancara di sebuah restoran dekat Rijksmuseum. Pun dengan cerita Westerling punya ilmu yang menuntun tangannya bisa menembak dengan jitu. Seperti sebuah kisah yang beredar kala Westerling bisa menembakkan peluru dari pistolnya melewati celah jari tangan anak buahnya. “ Ah , itu dilebih-lebihkan,” bantah Westerling. Satu lagi “legenda” Westerling yang beredar adalah konon katanya ia punya indra keenam. Utamanya kala memilih mana saja anak buahnya yang boleh dan tidak boleh ikut operasi. “Diceritakan bahwa Westerling tahu mana anak buahnya yang akan nahas kalau ikut operasi, karena itu dilarang ikut,” sambung Salim Said. Para "calon" korban pembantaian serdadu DST di Sulawesi Selatan menjelang ajalnya. ( nimh-beeldbank.defensie.nl ) Tetapi soal itupun disangkal Westerling. Meski begitu lain cerita jika menyoal “bakat” Westerling yang punya pandangan mata bak menghipnotis orang. Ketika matanya sudah memelototi seseorang, baik itu prajurit maupun lawannya, tak jarang orang itu bakal gemetaran. “Saya sering diberitahu bahwa ada sesuatu tentang mata saya. Saya tak pernah dengan sengaja berusaha menghipnotis orang agar mau menuruti saya dengan tatapan mata saya; tetapi beberapa orang memang mengaku tak tahan akan tatapan saya. Prajurit yang indisipliner sering tak bisa menatap balik ketika saya tegur,” kenang Westerling dalam memoarnya. Pun ketika Westerling menginterogasi tersangka gerombolan atau gerilyawan. Biasanya Westerling akan menatap yang diinterogasi dalam-dalam dengan matanya tanpa mengucap sepatah katapun. Dalam beberapa menit sang tersangka sudah bakal gemetaran dan akan “bernyanyi” alias bicara seperti kemauan Westerling tanpa harus disiksa. “Para atasan dan anak buah saya sering bertanya, apa rahasia saya? Apakah saya punya ilmu tertentu yang bisa mereka terapkan juga. Saya jelaskan bahwa saya tak melakukan apapun dengan tatapan saya. Memang begitu tatapan natural saya dan mereka banyak yang tidak percaya,” tandasnya.
- Tragedi Pesawat Angkatan Udara di Mata Utami Suryadarma
SEBAGAI bagian dari upaya pemerintah mengatasi pandemi corona atau Covid-19, TNI Angkatan Udara (AU) ikut andil dengan mengerahkan pesawat angkutnya ke RRC. “TNI Angkatan Udara memberangkatkan pesawat angkut berat C 130 Hercules ke Shanghai, China untuk mengangkut logistik kesehatan penanganan virus Corona (COVID-19) di Indonesia,” demikian diberitakan detik.com , 22 Maret 2020. Menkopolhukam Mahfud MD menyebut tugas yang dijalankan TNI AU itu amat mengharukan. “Menurutnya, di saat rakyat Indonesia diminta pemerintah untuk tidak melakukan aktivitas di luar rumah, sedangkan personel TNI itu diminta pergi jauh dari rumah untuk mencari obat Corona.” Apa yang dilakukan para personil TNI AU itu seolah melanjutkan perjuangan para perwira muda AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia, nama sebelum TNI AU) yang menjalankan tugas mengangkut obat-obatan pada 1947 yang kemudian dijadikan Hari Bakti AU. Kejadian itu selalu diingat Utami Suryadarma, istri KSAU Komodor Suryadarma, yang kemudian menuliskannya dalam memoar berjudul Saya, Soeriadi, dan Tanah Air. Utami ingat betul suatu hari di pengujung Juli tahun 1947 ketika kediamannya di Yogyakarta didatangi Adisujipto dan “dokter karbol” Abdulrachman Saleh. Kedua pemuda-perwira yang bersama Suryadarma ikut merintis AURI itu datang untuk berpamitan. Adisutjipto dan dokter karbol –julukan yang melekat pada Abdulrahman Saleh karena kebiasaannya semasa sekolah kedokteran di Batavia mengepel asrama menggunakan karbol– akan berangkat ke Singapura untuk mengambil bantuan obat-obatan bantuan dari Palang Merah Malaya untuk Palang Merah Indonesia. Mereka akan terbang menggunakan pesawat DC-3 Dakota bernomor registrasi VT-CLA. Pertemuan berjalan akrab seperti biasa ketika kedua bawahan Suryadarma itu membahas masalah AURI dan perjuangan dengan sang KSAU. Ketika kunjungan selesai, kedua perwira muda AURI itu berpamitan seperti biasa mereka bertemu sebelumnya. Semua berjalan seperti biasa setelah itu. Adisutjipto dan dokter kadet berangkat ke Singapura, sementara Suryadarma mengurusi AURI dan Utami bersumbangsih dengan membantu perjuangan di garis belakang bersama gerakan perempuan. Namun, pada 29 Juli 1947 sore Utami mendapati kejanggalan di atas langit Yogyakarta. “Kita semua mendengar bunyi deruman sebuah pesawat Dakota. Suamiku heran karena biasanya pesawat kita yang datang dari luar negeri, mendarat di Yogyakarta pada malam hari kalau hari sudah sungguh-sungguh gelap. Saat itu sore hari yang masih terang-benderang,” ujarnya. Kejanggalan itulah yang membuat Suryadarma, kata Utami, segera berlari ke mobilnya untuk menuju Lanud Maguwo (kini Lanud Adisucipto) yang letaknya tak terlalu jauh dari kediaman KSAU. Kedua anak Suryadarma-Utami, yakni Priyanti dan Erlangga, ikut dengan ayah mereka. Utami menunggu di rumah dengan hati cemas. Kecemasannya seketika berubah menjadi kesedihan ketika suami bersama kedua anaknya tiba dari Maguwo petang itu. Suryadarma mengabarkan bahwa pesawat Dakota yang suaranya mereka dengar sore itu ternyata Dakota yang –disewa AURI dari Kalingga Air milik Bidju Patnaik, pengusaha India yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia– ditumpangi Adisutjipto dan dokter karbol dan pesawat itu baru saja jatuh ditembak pesawat Belanda. “Dakota VT-CLA mengeluarkan asap; baling-baling sebelah kanan patah. Pesawat itu kehilangan keseimbangan dan tembakan masih gencar dilancarkan. Ketika menukik tajam, dari pintu pesawat tampak beberapa sosok tubuh terlempar ke luar. Pesawat miring hingga sayap kirinya melanggar pucuk pohon, kemudian jatuh melayang membentur tanggul sawah,” kata saksi bernama Soma Pawiro sebagaimana dikutip Irna Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . “Hatiku tersayat-sayat rasanya,” kata Utami mengingat keadaan saat dia mendengar kabar pilu itu. “Untuk petama kalinya saya menyaksikan suamiku menangis sekembalinya dari Maguwo.” Malam itu juga Suryadarma –yang sebelum pulang ikut membawa jenazah korban Dakota ke rumahsakit– dan Utami ke Rumahsakit Bethesda, tempat para jenazah disemayamkan. Presiden Sukarno, Wapres Moh. Hatta, dan Pangsar Jenderal Soedirman sudah ada di rumahsakit ketika mereka tiba. Suryadarma amat terpukul oleh kejadian itu, kata Utami. Selain kehilangan sahabat sekaligus bawahan-bawahan yang cakap, dia sebagai pemimpin AURI yang masih seumur jagung kehilangan pencetak-pencetak kader penerbang-penerbang baru. Praktis hanya tinggal Halim Perdanakusuma dan Iswahyudi yang dapat diandalkannya untuk terus menjalankan roda kehidupan AURI. Sama dengan suaminya, Utami juga terpukul oleh kejadian tersebut. “Sebelumnya saya merasa ngeri melihat janazah para korban, tetapi rasa itu hilang ketika saya melihat wajah Adisoetjipto dan dr Karbol. Wajah mereka berdua utuh sepenuhnya, meskipun ada sedikit luka terbakar. Namun saya tidak dapat menahan airmata yang bercucuran. Baru beberapa hari yang lalu mereka berdua datang berpamitan ke rumah, karena akan berangkat ke Singapura untuk tugas penting ini. Sekarang mereka sudah kembali dari menjalankan tugas, tetapi mereka telah tidak bernyawa. Bagaimana saya tidak sedih dan bagaimana saya dapat menahan airmata mengingat itu semua,” kata Utami.
- Bayi Perempuan di Tengah Wabah Pes
Di tengah pandemi Covid-19 yang masih membayangi dunia, kabar bahagia datang dari pasangan suami-istri dari India. Preeti Verma dan Vinay Verma dari negara bagian Chhattisgard dianugerahi bayi kembar, laki-laki dan perempuan, Jumat, 27 Maret 2020. Si kembar kemudian diberi nama Covid dan Corona. Pasangan itu mengatakan bahwa nama-nama itu diberikan untuk mengingatkan mereka atas kesuliatan yang dihadapi sebelum melahirkan di tengah lockdown nasional di India. “Persalinan terjadi setelah menghadapi beberapa kesulitan dan karenanya suami saya dan saya ingin menjadikan hari itu berkesan,” kata Preeti Verma sebagaimana diberitakan dailymail.co.uk. Nama bayi yang terinspirasi dari wabah penyakit juga pernah terjadi di Indonesia. Tepatnya di Kota Malang ketika wabah pes menyerang pada 1910. Cerita bermula kala banyak dokter Eropa yang menolak untuk menangani penyakit ini. Pemerintah Belanda pun kewalahan. Dokter Cipto Mangunkusumo kemudian tergerak untuk turut memberantas wabah ini dan menawarkan diri ke pemerintah Belanda. “Ia segera mengirim kawat dengan pemerintah untuk masuk dinas pemerintah dan ditempatkan di daerah wabah itu. Tawaran ini diterima pemerintah,” tulis Soegeng Reksodihardjo dalam biografi Dr. Cipto Mangunkusumo . Cipto begitu nekat dan cukup membahayakan dirinya sendiri ketika turun ke lapangan. Ia masuk ke pelosok-pelosok desa tanpa alat pelindung apapun bahkan sekadar penutup hidung dan mulut. “Begitulah penyerahan Cipto secara total kepada yang Mahakuasa dan Mahaadil, dalam melakukan tugasnya sebagai dokter,” sebut Soegeng. Wabah pes ini ternyata mempertemukan Cipto dengan seorang bayi yang di kemudian hari menjadi anak angkatnya. Saat itu, Cipto tengah berada di sebuah desa yang diserang pes. Dari sebuah gubuk yang hampir separuhnya terbakar, ia mendengar tangis seorang bayi. Bayi itu tampaknya telah yatim piatu. Kedua orang tuanya meninggal ditelan wabah. “Dipungutlah bayi peremuan itu menjadi anak Cipto dan diberi nama Pesjati. Anak ini kemudian dibesarkan dan dididik oleh Cipto bersama istri Cipto, yakni Nyonya de Vogel,” ungkap Soegeng. Nama Pesjati (baca: Pesyati) diberikan untuk mengenang wabah pes kala itu. Nama ini di kemudian hari berubah menjadi Pestiati. Pada 1927, ketika Cipto dibuang ke Banda Neira, Pestiati juga turut bersamanya. Hingga usia 18 tahun, Pestiati kemudian dikirim kembali ke Jawa untuk melanjutkan sekolahnya. Ia kemudian mengenyam pendidikan di Sekolah Kepandaian Puteri. Setelah lulus, Pestiati menikah dengan pemuda bernama Pratomo. Nama Pratomo kemudian juga disematkan dalam namanya yakni Pestiati Pratomo. Dalam pernikahan Pestiati, Cipto secara langsung menjadi walinya. “Cipto sempat pula bergaul dengan cucu-cucunya setelah Cipto dari pembuangannya pada tahun 1940. Mereka adalah anak-anak dari Ibu Pesjati Pratomo. Di antara cucu-cucu itu ada yang sempat belajar di Amerika Serikat sebagai ahli dalam bidang psikologi,” sebut Soegeng.
- Keindahan yang Terjaga dari Hutan Tua
SIAPAPUN akan takjub bila mengunjungi Taman Nasional Alas Purwo (TNAP) di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Begitu memasuki pintu gerbang Rowobendo, Anda akan disambut pemandangan rimbunan pohon mahoni di kanan-kiri jalan. Begitu indah. Bak lukisan atau sebuah tempat nun jauh di masa lalu. Tapi ini awal dari perjalanan yang akan mengejutkan Anda. Alas Purwo punya objek wisata yang terbilang lengkap dan mempesona. Dari pantai pasir putih hingga padang savana. Dari situs sejarah yang menggelitik hingga goa-goa yang beraroma mistik. Anda bisa menunggangi ombak, meneliti hewan liar, dan masih banyak lagi. Alas Purwo memiliki keanekaragaman hayati dan satwa yang mengagumkan. Pada masa Hindia Belanda, kawasan hutan ini ditetapkan sebagai cagar alam (1920) lalu suaka margasatwa (1936). Statusnya kemudian meningkat jadi taman nasional (1992) dan juga ditetapkan sebagai kawasan lindung nasional (2008). Bagi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi, keberadaan TNAP seluas sekitar 43.420 hektar adalah sebuah berkah. Pesona alamnya dimanfaatkan sebagai salah satu destinasi wisata unggulan. Salah satunya dengan menggelar sejumlah event yang memadukan olahraga dan wisata ( sport tourism ). Akhir November 2019, misalnya, digelar Alas Purwo Geopark Green Run yang diikuti sekitar 500 pelari dari dalam maupun luar negeri. Para peserta melewati lebatnya pepohonan mahoni lalu menyusuri pinggiran Pantai Trianggulasi yang berpasir putih. “Jadi kini akses ke hutan-hutan sudah beres, termasuk jalanan di Alas Purwo. Sekarang sudah mulus. Setelah kemarin sukses dengan Ijen Green Run, ada ide menggelar jungle run ,” ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Ijen Green Run, yang digelar sejak 2016, memanjakan para pelari dengan kesegaran dan keindahan alam kaki Gunung Ijen. Taman Nasional Alas Purwo di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi). Hutan Tua Alas Purwo adalah hutan tua, bahkan dianggap yang tertua, di Pulau Jawa. Dalam bahasa Jawa, Alas Purwo punya arti “hutan pertama” atau “hutan permulaan”. Maka, ia dikaitkan dengan mitos awal mula penciptaan Pulau Jawa. Sejumlah penelitian arkeologi memang terus dilakukan. Beberapa penelitian menemukan banyak goa yang mirip dengan goa hunian manusia prasejarah di wilayah karst lainnya. Karst adalah bagian yang mendominasi Alas Purwo. Menurut Obyek dan daya Tarik Wisata Taman Nasional Alas Purwo , hutan lindung ini memiliki sekira 40 goa alami. Beberapa di antaranya menjadi tempat laku spiritual atau semedi seperti Goa Istana, Goa Mayangkoro, Goa Padepokan, Goa Mangleng, dan Goa Kucur. Masyarakat sekitar percaya bahwa Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Kerajaan Majapahit yang menghindar dari serbuan Mataram. Mereka juga yakin hutan ini masih menyembunyikan Keris Sumelang Gandring, salah satu pusaka Majapahit . Di tengah Alas Purwo juga terdapat Situs Kawitan yang merupakan situs peninggalan Majapahit. Situs Kawitan, dalam bahasa Jawa juga berarti permulaan atau nenek moyang, ditemukan secara tidak sengaja oleh penduduk sekitar pada 1960-an. Karena diyakini sebagai tempat suci, di dekat situ didirikan Pura Giri Selaka. Sampai saat ini banyak umat Hindu mendatangi Pura untuk upacara keagamaan Pagerwesi yang diadakan setiap 210 hari sekali. Kesan mistis dan sakral itu, alih-alih dihilangkan, malah dipakai Pemkab Banyuwangi untuk mempromosikan Alas Purwo sebagai destinasi wisata. “Semakin tersembunyi semakin dicari, semakin mistis semakin diminati. Itulah Alas Purwo,” ujar Anas kepada kumparan.com . Hal itu pula yang memunculkan gagasan dari benak Anas untuk menggelar Festival Kejawen dalam waktu dekat. Tapi sebenarnya, jauh dari kesan mistis, Alas Purwo terlalu indah untuk dilewatkan begitu saja. Karena lokasinya berbatasan dengan Samudera Hindia, TNAP diberkahi deretan pantai eksotis seperti Pantai Parang Ireng, Pantai Ngagelan, Pantai Pancur, hingga Pantai Plengkung. Anda bisa bermain di tepi pantai, melihat konservasi penyu, atau berselancar di atas ombak setinggi enam meter. Jika tertarik dengan konservasi satwa liar, datanglah ke Sadengan, sebuah padang rumput atau savana yang luas. Awalnya tempat pengamatan banteng, Sadengan kini difungsikan sebagai “Wildlife Research Station”. Di sana Anda bisa mengamati burung merak, rusa, dan banteng Jawa. Ada juga pemandangan hamparan mangrove di sepanjang Sungai Segara Anakan di kawasan Bedul. B angunan Sanggrahan yang megah dengan motif rumah Osing, suku asli Banyuwangi. Masih banyak lagi. Bukan hanya rekreasi dan pariwisata, Alas Purwo cocok untuk tujuan penelitian hingga ilmu pengetahuan. Ia menjadi rumah bagi ratusan jenis flora dan fauna. Hewan yang ikonik adalah banteng Jawa, lutung budeng, dan penyu. Sementara tumbuhan khas dan endemik adalah bambu manggong ( Gigantochloa manggong ) dan sawo kecik ( Manilkara kauki ). Pohon sawo kecil Alas Purwo pernah diminta khusus oleh Siti Hartienah Soeharto atau Ibu Tien untuk diukir fragmen Rama Tambak dari kisah Ramayana. Kini, batang sawo kecik berukir itu bisa disaksikan di Museum Purna Bhakti Pertiwi di kompleks Taman Mini Indonesia Indah. Dengan semua itu, tak heran jika TNAP –bersama Gunung Ijen di Banyuwangi– ditetapkan sebagai Cagar Biosfer Dunia oleh UNESCO, badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang mengurusi pendidikan dan kebudayaan, pada 2016. Selain itu, TNAP –selain Blue Fire di Gunung Ijen dan Pulau Merah d Banyuwangi– ditetapkan sebagai situs Taman Bumi atau Geological Park (Geopark) Nasional 2018. Taman Nasional Alas Purwo di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi). Konsep Sport Tourism Dengan segala pesonanya, Alas Purwo kini menjadi salah satu destinasi favorit di Banyuwangi. Kunjungan wisatawan tercatat terus meningkat. Keberhasilan itu tak lepas dari upaya Pemkab Banyuwangi untuk memoles Alas Purwo. Pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana untuk mendukung pengelolaan kawasan digiatkan. Dari kantor balai hingga akses jalan di dalam kawasan. Jalan rusak berganti mulus. Bangunan tua nan usang berganti modern dan kokoh. Pasokan listrik dari PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) juga sudah masuk. Tak bisa diabaikan inovasi dari Pemkab Banyuwangi dengan menggelar sejumlah event sport tourism . Misalnya balap sepeda Tour de Banyuwangi Ijen (TdBI) dengan titik start di Alas Purwo hingga melewati rute mendaki ke Gunung Ijen. TdBI digelar sejak 2012 dan jadi kejuaraan balap sepeda resmi Federasi Balap Sepeda Internasional (Union Cycliste International). Setiap tahun event yang diadakan di Alas Purwo, terutama sport tourism , makin bertambah. Pada 2019, selain Alas Purwo Geopark Green Run, Banyuwangi mengadakan ajang kompetisi bersepeda sekaligus berlari dengan nama Banyuwangi Savana Duathlon. Lalu, pada Banyuwangi Festival 2020, meluncurkan Alas Purwo Food Festival (Juni) serta World Surf League (WSL) Championship Tour (Juni) di Pantai Plengkung (G-Land) dan Banyuwangi International Geopark Walk (November). Yang membanggakan tentu saja terpilihnya Banyuwangi sebagai salah satu tuan rumah WSL Championship Tour. Ini adalah liga selancar paling bergengsi di dunia. Biasanya digelar April-Desember setiap tahunnya di berbagai pantai di dunia. Tahun ini terpilih Australia, Amerika Serikat, Brazil, Hawaii, Tahiti, Afrika Selatan, Portugal, hingga Prancis. ”Banyak daerah di belahan dunia lain yang sangat berminat menjadi tuan rumah. Kami bersyukur, justru Banyuwangi dipilih WSL,” kata Bupati Anas. Terpilihnya Banyuwangi tak lepas dari perhatian pemerintah daerahnya dalam mengembangkan sport tourism . Selain itu, G-Land punya ombak bagus dan berada di kawasan TNAP yang elok. Nah, kurang apa lagi. Setelah badai Covid-19 atau Corona berlalu, Alas Purwo bisa jadi pilihan berlibur yang menyenangkan. Yuk, siapkan dari sekarang.
- Kesedihan Haji Agus Salim
TAK ada yang meragukan kiprah Haji Agus Salim sebagai seorang pejuang. Sejak aktif di Volksraad (1921-1924), dia telah dikenal kritis dan garang terhadap berbagai kebijakan pemerintah Hindia Belanda yang dianggap menindas rakyat. Bahkan ketika merasa segala kritiknya tak disambut, dengan lantang dia berpidato bahwa Volksraad tak lebih sebagai “komedi omong yang disensor” dari sebuah parlemen gadungan. “Usai melakukan kritiknya itu, Haji Agus Salim lantas keluar dari Volksraad,” ujar Agustanzil Sjahroezah, salah seorang cucu dari Haji Agus Salim. Di lain waktu, Haji Agus Salim pernah balik mempermalukan orang-orang yang menghinanya. Alkisah, suatu hari beberapa aktivis muda Sarekat Islam (SI) Merah yang berhaluan komunis mendatangi sebuah rapat yang menghadirkan Haji Agus Salim sebagai pembicara utamanya. Tujuan mereka datang tak lain hanya ingin “mengacaukan” rapat tersebut. Maklum sebagai anak-anak muda, mereka lagi “genit-genitnya” secara intelektual. Setiap Haji Agus Salim yang memiliki jenggot kambing itu bicara, maka anak-anak muda kiri tersebut serempak menyahutinya dengan suara: “embeeekkk”. Satu kali didiamkan.Dua kali masih tidak diacuhkan. Begitu kali ketiga embikan berjamaah itu terdengar, tiba-tiba Haji Agus Salim mengangkat tangan seraya berkata: “Tunggu sebentar. Bagi saya,adalah suatu hal yang sangat menyenangkan bahwa kambing-kambing pun berkenan datang ke ruangan ini untuk mendengarkan pidato saya. Hanya sayang sekali, mereka kurang mengerti bahasa manusia sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Jadi saya sarankan, agar sementara, mereka tinggalkan ruangan ini untuk sekadar menikmati rumput di lapangan. Sesudah pidato yang saya tujukan kepada manusia ini selesai, silakan mereka kembali masuk dan saya akan pidato dalam bahasa kambing khusus untuk mereka. Perlu diketahui, dalam Islam, kambing pun memiliki haknya sendiri. Karena saya menguasai banyak bahasa, maka saya akan memenuhi hak mereka.” Demi mendengar kata-kata Haji Agus Salim itu, orang-orang yang hadir di sana bergemuruh dalam tawa. Adapun anak-anak muda itu, alih-alih meninggalkan ruangan, mereka yang seolah-olah menjadi “sekelompok badut muda” terpaksa harus “menikmati" ejekan masal itu dengan muka merah padam. Namun Haji Agus Salim yang cerdas, sangar dan jenaka pernah sangat bersedih. Itu terjadi pada akhir Januari 1946, saat Haji Agus Salim mendengar kabar anak ke-5-nya, Achmad Sjewket Salim gugur dalam suatu pertempuran dengan pasukan Jepang di Lengkong, Tangerang. “ Paatje memang berduka sekali dengan meninggalnya Sjewket karena sebelumnya Sjewket yang selalu sakit-sakitan itu sudah dilarang untuk masuk Akademi Militer Tangerang,” ungkap a lmarhumah Bibsy Soenharjo (Siti Asia), salah satu putri Haji Agus Salim. Ketika memimpin perjuangan diplomasi di Mesir pada 1947, Haji Agus Salim terlihat sering menggunakan sebuah jaket militer usang. Menurut diplomat senior M. Zein Hassan, kendati anggota delegasi Indonesia lainnya agak penasaran dengan kebiasaan orang tua tersebut, namun tak ada yang berani menanyakannya langsung kepada yang bersangkutan. Hingga suatu malam, selagi semua anggota delegasi RI duduk di beranda atas Hotel Continental Cairo untuk menikmati cahaya bulan yang keperak-perakan, tetiba Haji Agus Salim menyanyikan secara lantang sebuah lagu perjuangan. “Kami yang hadir semuanya terdiam seperti terpukau,” ungkap M. Zein Hassan dalam bukunya Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri . Situasi semakin hening begitu lagu selesai dinyanyikan, sejenak Haji Agus Salim terdiam lantas menangis tersedu-sedu, seolah ingin melepaskan segala sesak dada yang menekan dirinya. Lagi-lagi tak ada yang berani bertanya atau memulai pembicaraan. Keheningan itu mulai dipecahkan lagi oleh suara Haji Agus Salim sendiri. “Lagu itulah yang dinyannyikan anak saya, ketika pelor Jepang menembus dadanya,” kata Haji Agus Salim dalam nada parau. Sejurus kemudian, Haji Agus Salim kembali diam. Lalu saat beberapa detik berlalu, dia menghalau lagi keheningan sambil menunjuk jaket militer yang selalu dipakainya sehari-hari selama di Mesir. “Baju inilah yang dipakainya ketika ia jatuh menjadi syahid,” ujarnya. Sjewket, remaja 19 tahun yang telah tiada itu, memang selalu hidup dalam benak Haji Agus Salim . Bisa jadi dia sempat merasa menyesal karena tidak bisa meyakinkan putranya itu untuk tidak menjadi seorang prajurit. Menurut sejarawan Rushdy Hoesein yang pernah mendengar langsung dari adik Sjewket, Islam Salim, Haji Agus Salim pernah menasehati Sjewket untuk berjuang lewat jalan lain. Toh perjuangan mempertahankan proklamasi tidak harus lewat menjadi seorang prajurit, kata Haji Agus Salim . “Tapi ya dasar pemuda yang sedang semangat-semangatnya ingin berjuang, Sjewket diam-diam mendaftarkan diri ke Akademi Militer Tangerang dan lulus hingga dia gugur bersama komandannya, Mayor Daan Mogot,” ungkap Rushdy. Mohamad Roem pernah melukiskan rasa cinta Haji Agus Salim kepada Sjewket. Ketika Haji Agus Salim sedang serius berdiskusi dengan para aktivis muda di rumahnya, tetiba datang Sjewket (yang saat itu berusia 4 tahun) mendekati Haji Agus Salim . Dalam bahasa Belanda, Sjewket kecil minta kepada ayahnya untuk menggaruk punggungnya yang terasa gatal. “Dengan wajah penuh kasih sayang, perhatian Haji Agus Salim langsung beralih kepada anaknya dan sesudah bertanya (juga dalam bahasa Belanda) sebelah mana yang gatal agar dapat digaruk dengan cepat, Haji Agus Salim menjalankan apa yang dimintakan,” ungkap Roem seperti tercuplik dalam buku Manusia dalam Kemelut Sejarah.*
- Presiden Soeharto Becanda di Papua
AWAL Maret 1973, Presiden Soeharto melakukan kunjungan ke Papua. Itu adalah kali kedua Soeharto datang ke provinsi yang masih bernama Irian Barat itu, setelah kunjungan perdananya tahun 1969. Dalam kunjungan tersebut, Soeharto membawa sejumlah menteri dan pejabat tinggi negara. Salah satu diantaranya ialah Jaksa Agung Soegih Arto.
- Kiai Tunggul Wulung Menangkal Wabah Penyakit
Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Gubernur DI Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X menyampaikan pidato sapa aruh untuk warga Yogyakarta dalam menghadapi pandemi virus corona (Covid-19) pada 23 Maret 2020. “Berbeda dengan bencana gempa tahun 2006 yang kasat-mata,” kata Sultan. “Sekarang ini, virus corona itu jika memasuki badan, tidak bisa kita rasakan, dan menyerangnya pun tak terduga-duga. Menghadapi hal itu, kita selayaknya bisa menjaga kesehatan, laku prihatin, dan juga wajib menjalankan aturan baku dari sumber resmi yang terpercaya.” Strategi mitigasi yang diambil Sultan dalam menghadapi bencana non-alam ini, bukan lock-down melainkan calm-down untuk menenangkan batin dan menguatkan kepercayaan diri, agar eling lan waspada . Sultan menjelaskan, waspada melalui kebijakan slow-down , yaitu sedapat mungkin memperlambat merebaknya pandemi penyakit corona, dengan cara reresik diri dan lingkungannya sendiri-sendiri. Kalau merasa kurang sehat harus memiliki kesadaran dan menerima kalau wajib mengisolasi diri pribadi selama 14 hari sama dengan masa inkubasi penyakitnya. Jaga diri, jaga keluarga, jaga persaudaraan. Jaga masyarakat, dengan memberi jarak aman, dan sedapat mungkin menghindari keramaian jika memang tidak mendesak betul. Bisa jadi kita merasa sehat, tapi sesungguhnya tidak ada seorang pun yang bisa memastikan bahwa kita benar-benar sehat. Malah bisa jadi kita yang membawa bibit penyakit. Kebijakan yang diambil Sultan tersebut sesuai dengan protokol menghadapi Covid-19 yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dan dunia. Berbeda dengan cara menghadapi wabah penyakit pada masa lalu ketika dunia kesehatan masih belum berkembang dan kekuatan yang dimiliki raja menjadi tumpuan rakyatnya. Pada dasawarsa 1930-an, menurut sejarawan M.C. Ricklefs dalam Mengislamkan Jawa , masyarakat Jawa meyakini bahwa keluarga kerajaan Jawa memiliki kekuatan magis-mistis. Hal ini dicontohkan oleh respons terhadap wabah penyakit yang menyapu Kota Gede yang terletak di selatan Yogyakarta. Di kota itu, terdapat makam pendiri dinasti Mataram, Senapati Ingalaga (meninggal dunia sekitar tahun 1601) dan Panembahan Seda ing Krapyak (meninggal tahun 1613), ayah Sultan Agung. Ricklefs menerangkan, Kota Gede dipenuhi oleh deretan rumah dan jalan-jalan sempit, tempat bekerja para pengrajin emas, perak, dan tembaga, para tukang pembuat barang-barang dari kulit, seniman tempurung kura-kura, serta pedagang perhiasan. Pada 1931, wabah penyakit pes menyerbu sehingga warga kota yang lebih kaya memilih meninggalkan rumah-rumah mereka untuk pindah ke tempat lain. “Sementara mereka yang kurang beruntung memilih tetap tinggal sembari berjaga setiap malam karena takut penyakit akan datang dan mengambil nyawa mereka kala mereka tengah tertidur pulas,” tulis Ricklefs. Untuk menghadapi wabah itu, Raja Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono VIII dimohon kesediaannya untuk meminjamkan pusaka kerajaan yang paling suci, yaitu bendera Kangjeng Kiai Tunggul Wulung, untuk diarak. “Bendera tersebut diyakini dibuat dari kain yang digantung di seputar makam Nabi Muhammad Saw. Di ujungnya, terdapat tombak pusaka bernama Kangjeng Kiai Slamet,” tulis Ricklefs. Sumber lain menyebut bendera Kiai Tunggul Wulung terbuat dari kiswah , yaitu kain penutup Ka’bah yang setiap tahun selalu diganti. Damardjati Supadjar, ahli filsafat Jawa, menyebutkan pada masa Sinuwun Sultan Agung, kiswah hibah dari Kesultanan Saudi Arabia itu dipusakai dan diputrani (dibuat tiruannya) oleh Sinuwun Hamengkubuwono I, sehingga menjadi Kiai Tunggul Wulung, “bendera” kiswah di atas tombak Kiai Slamet. “’Tunggul’ artinya pemimpin ‘unggulan’, sedang ‘wulung’ berarti kecenderungan bawaan yang tersembunyi. Maka terkandung nilai dalam kirab Tunggul Wulung berarti: re-orientasi total,” tulis Damardjati dalam Mawas Diri . Sultan Hamengkubuwono VIII menyetujui permohonan tersebut, namun Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Slamet hanya diarak di seputaran kota Yogyakarta, bukannya di Kota Gede. Kedua pusaka kerajaan itu diarak pada malam tanggal 21-22 Januari 1932. Sebelumnya, sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo mencatat dalam Kota Yogyakarta, 1880-1930: Sejarah Perkembangan Sosial , bahwa pusaka kesultanan Kiai Tunggul Wulung diarak pada 1918. Ketika itu adalah musim kemarau yang panjang sehingga banyak terjadi wabah influenza. Untuk mengatasi wabah ini para jagal harus memotong kerbau betina putih ( kebo bule ) sebelum upacara tolak bala bisa dimulai. Wabah penyakit influenza tersebut adalah Flu Spanyol yang menelan korban jiwa di Hindia Belanda sebanyak 1,5 juta orang. “Keyakinan umum adalah bahwa wabah itu berhenti karena pengarakan pusaka-pusaka tersebut,” tulis Ricklefs. “Sebelumnya, Kiai Tunggul Wulung dan Kiai Slamet diarak pada 1876 dan 1892, juga ketika wabah menyerbut kota.” Kontroversi Namun, menurut Ricklefs, Yogyakarta tahun 1930-an tidak sama dengan Yogyakarta dasawarsa 1830-an. Kota tersebut kini merupakan pusat Muhammadiyah dan arak-arakan pusaka suci itu dipastikan mengundang kontroversi. Soedjana Tirtakoesoema, juru bahasa Jawa di Yogyakarta, melaporkan dalam berkala Djawa , Vol. 12 (1932), bahwa “sekelompok kalangan religius ortodoks [di sini berarti modernis, –Ricklefs] berpendapat bahwa orang mesti meninggalkan praktik lama ini dan sepenuhnya mengandalkan ilmu kedokteran untuk mengobati penyakit, sembari tetap mengimani ajaran-ajaran Islam”. Namun demikian, menurut Soedjana, “seseorang yang berpikiran liberal…yang berasal dari kalangan religius lama [merujuk pada kaum tradisionalis, –Ricklefs] berpendapat bahwa arak-arakan semacam itu tetap memiliki karakter religius hingga kadar tertentu. Lagi pula, seorang Sultan yang saleh (dia menyebut Sultan Agung) mendapatkan bendera dari Makkah dan di beberapa titik selama perarakan azan dikumandangkan dan doa pun diucapkan”. Yang menarik, Soedjana juga mencatat pendapat lain yang keberatan dengan arak-arakan itu dengan alasan “berkumpulnya ribuan orang pada waktu yang bersamaan sebenarnya justru meningkatkan risiko penyebaran infeksi”. Ricklefs sendiri mencermati perdebatan itu sebagai ketegangan yang terus berlangsung antara pengikut Islam tradisionalis dan kalangan sintesis mistik Jawa lama di satu sisi dengan mereka yang menganut pandangan Islam modernis di sisi lain. “Betapa pun tak nyamannya kaum religius murni terhadap beberapa praktik dalam tradisi Jawa lama, kehidupan ritual istana tetap dipertahankan untuk menjaga kelangsungan tradisi-tradisi yang menghidupkan sintesis mistik Jawa sekaligus untuk membangkitkan ketertarikan dan rasa takjub dari masyarakat,” tulis Ricklefs. Untuk menangkal wabah penyakit, bendera Kiai Tunggul Wulung kembali diarak pada 1946, 1948, dan terakhir tahun 1951. Sejarawan Soemarsaid Moertono dalam Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI–XIX , menilai arak-arakan bendera Kiai Tunggul Wulung itu lebih merupakan pernyataan keyakinan akan kekuasaan raja untuk memulihkan ketertiban daripada keyakinan kepada kekuasaan pusaka. Benda pusaka, walaupun pasti ampuh, dianggap sebagai alat dalam tangan penguasa tata dunia. “Kekuasaan raja sebagai pemulih tata tertib dianggap demikian besar sehingga dia dapat mengatasi wabah-wabah yang besar sekalipun,” tulis Soemarsaid.






















