top of page

Hasil pencarian

9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Flu dan Penyakit Menular Zaman Kuno

    Pada zaman dahulu kala sepasukan suku tengah dalam misi pengepungan di kampung suku lawannya. Mereka telah siap menyerang sampai suatu ketika dari dalam sebuah rumah di kampung itu terdengar suara bersin yang sangat kencang. Pasukan yang akan menyerang kampung itu pun terkejut. Mereka lari ketakutan. Misi penyerangan itu pun batal seketika. Begitulah Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang bercerita. Ia mengingat pernah mendengarnya sewaktu kecil. Katanya, cerita yang tak jelas asal usul dan kebenarannya itu sempat berkembang seperti cerita rakyat. “Saya justru mendengar itu dari almarhum kakek di Jawa. Padahal kisah semacam ini bisa dipahami kalau terjadi di Kalimantan misalnya, ini kan perang antarsuku atau kampung,” kata Dwi kepada Historia. Kendati begitu, menurut Dwi, ada hal menarik dari kisah itu. Paling tidak orang sejak lampau sudah tahu kalau penyakit dengan bersin itu menular. Bahkan mungkin dianggap mematikan sehingga membuat orang-orang yang didekatnya lari ketakutan. Sebuah misi besar pun gagal. “Walaupun tak tahu apa benar pernah terjadi, ini bisa jadi petunjuk kalau flu sejak dulu ditakuti orang,” kata Dwi. “Yang diwaspadai kok bersin, kan sekarang orang juga waspada terhadap batuk dan bersin, makanya perlu ada jarak dan pakai masker.” Penyakit f lu yang menyerang manusia telah menggeger kan dunia beberapa kali, di mulai dari Flu Spanyol (H1N1) pada 1918, Flu Asia ( H2N2 ) pada 1957, Flu Hongkong ( H3N2 ) pada 1968, hingga Flu Burung (H5N1) pada 1997. Dwi menjelaskan, di Jawa orang sering menyebut flu dengan pilek atau umbelen. Penyakit ini tercatat dalam prasasti, khususnya prasasti dari sebelum abad ke-11. Orang Jawa Kuno menyebutnya dengan nama humbelen. “ Humbelen atau flu ini rupanya penyakit tua,” kata Dwi. “Setelah abad ke-11 mungkin juga muncul tapi tak disebutkan.” Epigraf Universitas Gadjah Mada, Riboet Darmosoetopo dalam Sima dan Bangunan Keagamaan di Jawa Abad IX-X TU menulis, humbelen adalah penyakit pada masa Jawa Kuno yang termasuk dalam wikara (perubahan). Artinya penyakit ini terjadi karena keadaan tubuh dan mental yang lebih buruk dari biasanya. Berdasarkan data prasasti abad ke-9–10 dan kesusastraan, ada bermacam-macam wikara . Ada wikara yang disebabkan penyakit, wikara sejak lahir, wikara yang terjadi karena perubahan kejiwaan, dan wikara karena kena kutuk. Selain humbelen atau sakit pilek, wikara yang disebabkan penyakit adalah bubuhen atau wudunen (bisul). Lalu ada buler atau sakit katarak dan sakit mata lainnya yaitu belek . Kemudian ada wudug atau lepra, panastis atau sakit malaria, dan uleren atau sakit karena cacing. “Artinya, kalau itu disebut di prasasti menggambarkan penyakit yang terjadi di masyarakat waktu itu,” kata Dwi. Namun, pilek tampaknya tak begitu menakutkan bagi masyarakat Jawa Kuno. Riboet menyebut tujuh wikara yang sangat ditakuti yaitu kuming (impoten), panten (banci), gringen (sakit-sakitan), wudug (lepra), busung (perut membengkak), janggitan (gila), dan keneng sapa (terkena kutuk). Penyakit Menular Menurut Dwi, dari data prasasti itu bisa diketahui pula kalau beberapa penyakit menular yang kini dikenal di Nusantara, sudah diderita juga oleh masyarakat Jawa Kuno. “Penyakit flu atau influenza kan penyakit yang disebabkan virus, termasuk menular. Walau kita mungkin tak tahu seberapa penularan ini (pada masa kuno, red . ),” kata Dwi. Disebut pula lepra. Penyakit ini dalam bahasa Jawa baru disebut budugen atau budug. “Huruf b dan w itu bisa menggantikanjadi dulu disebut wudug ,” jelasnya. Menurut Dwi, kemungkinan besar pada masa lalu penyakit akibat infeksi bakteri itu menyerang masyarakat di lingkunagn kelas bawah. Sebagaimana biasanya penyakit lepra muncul di lingkungan yang kotor. “Pada masa lalu makanya ada tempat-tempat untuk mengucilkan orang yang kena lepra. Sayangnya , kita belum menemukan apakah tindakan ini juga dilakukan di masa Hindu-Buddha,” ujar Dwi. Catatan Tiongkok memberikan keterangan juga soal adanya penyakit menular pada masa Jawa Kuno. Ini ditemukan di dalam Catatan Dinasti Tang dari tahun 618–907. Disebutkan di negeri Kalingga di Jawa ada sejumlah gadis beracun. Katanya jika seseorang berhubungan seks dengan mereka perutnya akan sakit. Akhirnya mereka bakal mati. Tapi tubuhnya tak akan membusuk. “Mungkin dalam bentuk yang lebih ganas seperti HIV, tapi ini mengingatkan juga pada sifilis. Ini juga gambaran dari penyakit menular,” kata Dwi.

  • Dari Malaria Hingga Corona

    Saat istri ke apotek untuk mencari vitamin dan thermometer Sabtu (21/3/20) lalu, apotek yang didatanginya dipenuhi orang yang mencari obat dan alat yang dapat digunakan untuk mencegah virus corona atau Covid-19. “Orang pada nyari klorokuin ( chloroquine ). Bapak-bapak yang di samping, mana ngga pake masker, teriak, ‘klorokuin…klorokuin’,” katanya. Penggunaan klorokuin dianggap sejumlah pihak efektif membantu pengobatan pasien yang terinfeksi virus corona sementara obat untuk pandemi Covid-19 belum ditemukan. Aktor Korea-Amerika Daniel Dae Kim, yang sebelumnya dinyatakan positif Covid-19 dan menjalani isolasi hingga 23 Maret 2020, merupakan salah satu yang merasakan efektifnya obat tersebut. “Saya tidak ingin mengatakan (obat) ini penyembuh dan saya tidak mengatakan kalian harus pergi dan membelinya. Tetapi, apa yang ingin saya katakan adalah saya percaya itu berperan penting dalam penyembuhan saya,” ujarnya sebagaimana diberitakan kompas.com , 23 Maret 2020. Otoritas China dan Prancis mengonfirmasi baik klorokuin maupun hidroksiklorokuin ( hydroxychloroquine ) bisa digunakan untuk perawatan pasien corona. Kenyataan itu menarik perhatian Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dia lalu memerintahkan Food and Drug Administration (Badan Pengawas Obat dan Makanan AS) menggalakkan penggunaan klorokuin untuk penanganan Covid-19. “Komisaris FDA Stephen Hahn mengatakan penggunaan chloroquine memang diarahkan sang presiden,” ujarnya sebagaimana diberitakan cnbcindonesia . com  (20/3/20). Efektivitas obat yang awalnya sebagai anti-malaria itu pula yang membuat pemerintah Indonesia mendatangkannya bersama Avigan –obat anti-flu yang dikembangkan Fuji Film, Jepang– dalam jumlah besar pekan lalu. “Obat ini sudah dicoba oleh 1,2,3 negara dan memberikan kesembuhan yaitu Avigan, kita telah mendatangkan 5.000 dan dalam proses pemesanan 2 juta. Kedua, Chloroquine. Ini kita telah siap 3 juta,” kata Presiden Joko Widodo, dikutip cnbcindonesia.com . Klorokuin merupakan turunan dari kina, obat anti-malaria yang didapat dari kulit pohon cinchona yang digiling halus. Kina memainkan peran penting dalam sejarah pengobatan malaria dunia dan perekonomian Belanda maupun koloninya, Hindia Belanda (kini Indonesia). Pohon cinchona memiliki habitat asli di Pegunungan Andes, terutama di Peru. Penduduk setempat menggunakannya untuk mengobati malaria atau demam lain. Meski farmakop (buku resmi catatan kesehatan) Inca awal tidak mencatat penggunaannya, penyebaran penggunaan kina untuk obat demam terus meluas. Setelah pendudukan Spanyol, Don Juan Lopez de Canizares, walikota di salah satu kota Peru, mempelajari pengobatan demam menggunakan bubuk yang oleh orang Spanyol dinamakan “Bubuk Peru” itu kepada seorang tabib setempat. Canizares menerapkan pengobatan yang dipelajarinya itu saat mengobati Countess Chinchon, istri kedua raja muda Peru, yang mederita demam berselang-seling. Dia memberikan bubuk Peru. Sang countess sembuh dan menganjurkan penggunaan bubuk yang kemudian oleh orang Spanyol dinamakan Bubuk Cinchona sebagai penghormatan kepadanya itu. Saat kembali ke negerinya, countess membawa serta bubuk Peru. Meski perdebatan menyelimuti kisah masuknya kina ke Eropa, kepercayaan orang Spanyol akan khasiat kina meluas, lalu menyebar ke negeri-negeri lain. “Penggunaan pertamanya dicatat di Spanyol tahun 1639; dan dalam edisi ketiga Amsterdam Farmakope  tahun 1686 cinchona disebut. Diskusi ilmiah pertama yang memuaskan tentang kualitas cinchona sebagai obat adalah karya astronom Prancis De la Conamine, yang berasal dari tahun 1738,” tulis Samuel H. Cross dalam Quinine: Production and Marketing .  Adalah Calancha, biarawan Agustinian di Spanyol, yang pertamakali menuliskan penggunaan kina. “Sebuah pohon tumbuh yang mereka sebut 'pohon demam' ( arbol de calenturas ) di negara Loxa yang kulitnya, berwarna kayu manis, dibuat menjadi bubuk dengan berat dua koin perak kecil dan diberikan sebagai minuman untuk menyembuhkan demam dan tertiana; itu telah menghasilkan hasil ajaib di Lima," demikian Calancha menulis, dikutip Brian M. Greenwood, professor di Department of Infectious and Tropical Disease, London School of Hygiene and Tropical Medicine, dalam “Herbal Remedies for the Treatment of Malaria” yang dimuat di buku bertajuk Science-based Complementary Medicine . Khasiat kina mendorong Kardinal Juan de Hugo dan para imam Jesuit lain gigih menganjurkan penggunaannya. Namun asosiasi dengan Jesuit itu mendatangkan penolakan dari negeri-negeri Protestan yang lalu menamainya “Bubuk Jesuit”. Popularitas “bubuk Peru” melesat setelah digunakan Robert Talbor ketika menyembuhkan demam Raja Inggris Charles II, meski itu menyebabkan metode pengobatan Talbor dicap sebagai perdukunan oleh para dokter mapan. Popularitas kina dalam pengobatan Barat membuat pasokan berkurang. Hal itu mendorong para penjelajah Eropa berlomba-lomba beburu pohon cinchona di hutan Pegunungan Andes. “Eksploitasi pohon cinchona di abad ke-18 tanpa penanaman kembali, terutama di hutan Loxa di mana Cinchona officinalis , sumber terbaik kina, yang ditemukan menyebabkan berkurangnya kina secara mengkhawatirkan,” sambung Greenwood. Eksploitasi makin tak terkendali seiring meningkatnya persaingan di antara negara-negara kolonialis Eropa. Penemuan ekstraksi kina oleh ahli farmasi Prancis Pierre Joseph Pelletier dan Joseph Caventou pada 1820, yang membuat potensi kina bisa dimanfaatkan lebih, ditambah dengan pecahnya epidemi malaria di Groningan pada 1829 dan banyaknya kasus malaria di koloni tropis negeri-negeri Eropa, membuat permintaan kina melonjak. “Ketika permintaan kina dunia meningkat, pemerintah Peru dan Bolivia semakin mengendalikan pengumpulan dan penjualannya, menahan ekspansi Imperium Eropa yang amat menyandera,” tulis sejarawan Andrew Goss dalam The Floracrats: State-Sponsored Science and the Failure of the Enlightment in Indonesia . Kondisi itu membuat para naturalis dan botanis Eropa, yang dipelopori botanis Jerman Alexander von Humboldt pada 1820, menyarankan para penguasa dan pengusaha perkebunan Eropa agar mulai memperhatikan aklimatisasi (pengadaptasian) kina dengan menanamkannya di berbagai perkebunan di koloni-koloni tropis mereka seperti Hindia Belanda dan India. Namun, saran itu baru direspon setelah semua orang Eropa menyadari pentingnya aklimatisasi. “Setelah 1840-an, orang-orang Eropa mencari pasokan kulit cinchona yang stabil, andal, dan ekonomis, tumbuh di bawah kendali Eropa, yang akan membuang Amerika Selatan dari lingkaran (perniagaan). Tahun 1840-an adalah titik balik utama dalam sejarah pencegahan malaria. Alkaloid kina, dengan bantuan perkembangan kontemporer dalam dunia kimia farmasi, dapat dengan mudah diekstraksi dari kulit pohon cinchona. Dan itu adalah obat kina yang mengagumkan yang mencegah dan bahkan menyembuhkan malaria, penyakit tropis yang mematikan,” sambungnya. Meski pada 1930 konsul Belanda di Peru dan Valpraiso, Chile telah meminta dikirimkan seorang botanis ke Arica, Chile untuk mengamankan cinchona guna diangkut ke Jawa, respon pemerintah Belanda amat lamban. Itu baru dimulai ketika Menteri Koloni Charles F. Pahud, atas rekomendasi naturalis Franz Wilhelm Junghuhn yang menjadi inspektur riset ilmiah Hindia Belanda, mengontrak botanis Jerman Karl Hasskarl pada 1851 untuk mengumpulkan spesimen hidup dan benih pohon cinchona dan membawanya ke Jawa. Hasskarl berhasil mengumpulkan 75 batang pohon cinchona muda dan sejumlah benih yang lalu dibawanya ke Jawa menggunakan kapal AL Belanda Prins Frederik . Setibanya mantan asisten di Buitenzorg Botanical Garden (BBG, kini Kebun Raya Bogor) itu di Jawa pada 1854, mayoritas pohon kinanya itu mati karena iklim Pasifik. Atas saran dari Direktur BBG JE Teysmann, Hasskarl menanamkan sisa dua pohon cinchonanya dan sejumlah benih di Cibodas. “Perjalanan Hasskarl adalah pintu masuk Belanda pertama yang sungguh-sungguh dalam perlombaan untuk aklimatisasi cinchona,” tulis Goss. Hasskarl yang kemudian ditunjuk menjadi direktur produksi kina, mengundurkan diri pada 1856 karena sakit. Pada tahun itu pula Pahud memulai jabatannya sebagai gubernur jenderal Hindia Belanda, yang berarti ia menjadi penanggung jawab tertinggi proyek aklimatisasi kina. Pahud yang merupakan gubernur jenderal transisi dari era kroni raja ke era liberal, sangat berambisi mereformasi birokrasi dengan fondasi sains –ia dikenal sebagai patron para ilmuwan. Proyek aklimatisasi kina yang telah dirintis Hasskarl dilanjutkannya dengan menunjuk naturalis kondang yang merupakan sahabatnya, FW Junghuhn, sebagai pengganti Hasskarl. Junghuhn langsung bekerja keras terus-menerus dengan menanam stek, menguji kulit pohon cinchona, dan menulis panduan pembudidayaannya. Dia menemukan banyak kesalahan dilakukan pendahulunya yang kemudian dia tuliskan dalam laporan resmi pertamanya pada 1857. Junghuhn lalu memindahkan lokasi perkebunan dari Cibodas ke Malabar di Pangalengan, Bandung Selatan dan Lembang. Menurut Junghuhn, Malabar memiliki lapisan atas tanah yang tebal dan punya kondisi alam lebih mirip dengan hutan Pegunungan Andes. “Junghuhn percaya bahwa pohon-pohon akan tumbuh lebih alami di hutan yang mirip dengan yang ada di Amerika Selatan. Dalam mempersiapkan situsnya, ia membersihkan semak-semak tetapi mempertahankan hutan tua yang masih utuh.” Lebih jauh, Junghuhn menghentikan penanaman spesies Cinchona calisaya  yang dirintis Hasskarl meski saat itu dianggap spesies cinchona terbaik ,  menggantikannya dengan spesies yang menurut Hasskarl Cinchona ovata  namun menurut Junghuhn Cinchona lucumaefolia . Dengan bantuan ahli kimia kina Inggris JE Howard, Junghuhn menamakan spesies terakhir itu dengan Cinchona pahudiana  sebagai penghormatannya terhadap Gubernur Jenderal Pahud.  Penghormatan itu merupakan balas budi Junghuhn atas dukungan besar, termasuk dana, dan otonomi luas yang diberikan Pahud. Besarnya otonomi Junghuhn dibuktikan ketika dia menolak KW van Gorkom, kimiawan yang dikirim Den Haag atas rekomendasi profesor kimia Universiteit Utrecht GJ Mulder, untuk membantu proyek aklimatisasi. Junghuhn memilih ahli kimia asal Rotterdam JE de Vrij sebagai pengganti Gorkom. Laporan-laporan resmi awal Junghuhn kepada gubernur jenderal selalu bernada optimis. Tiga tahun setelah pembukaan kebun Malabar, lebih dari 100 ribu pohon dari berbagai tahap perkembangan berhasil ditumbuhkannya. Namun, beberapa orang mempertanyakan langkahnya karena tak kunjung menghasilkan pohon yang kaya akan kina. Kritik pertama datang dari Kepala BBG JE Teysman pada 1861. Kepada Gubernur Jenderal Pahud, Teysman mengatakan bahwa Junghuhn sengaja menghancurkan semua yang bukan miliknya dengan mengabaikan semua pohon yang ditanam sebelum dia ditugaskan, dan Junghuhn tak pernah mengindahkan semua pengetahuan tentang kina dari para ahli seperti Hasskarl atau H.A. Weddell. Kritik pedas terhadap apa yang dilakukan Belanda lewat Junghuhn akhirnya datang pada 1862 dari Sir Clements Markham, ahli aklimatisasi cinchona paling kondang di abad ke-19 asal Inggris. Kritik mengalir deras kepada Junghuhn setelah Pahud pulang ke Belanda usai masa tugasnya habis pada September 1861. Meski ada desakan kuat Menteri Koloni GH Uhlenbeck agar Junghuhn diberhentikan dan dilarang menyebarluaskan penamaman Cinchona pahudiana , Gubernur Jenderal Jan Wilt Sloet van de Beele hanya menuruti yang kedua. Kepercayaannya akan keilmuan Junghuhn membuat Van de Beele mempertahankan Junghuhn pada tempatnya. Junghuhn baru diganti pada 1864 setelah mengalami masalah kesehatan. De Beele yang menjadi penanggung jawab tertinggi proyek aklimatisasi lalu menunjuk Gorkom, yang pernah ditolak Junghuhn, sebagai pemimpin proyek. Di bawah Gorkom, aklimatisasi kina dilakukan untuk menjembatani kepentingan investor di satu pihak dan kemauan administrator Liberalis di Belanda di lain pihak. Liberalis sejak lama menginginkan reformasi di Hindia Belanda yang tetap harus menguntungkan terutama bagi para investor di bidang perkebunan. Aklimatisasi kina di Jawa pada 1860-an menjadi obsesi Belanda untuk menciptakan perkebunan cinchona yang akan menguntungkan secara ekonomi, karena cinchona dapat dijual sebagai tanaman ekspor. Panduan itu membuat Gorkom mengarahkan aklimatisasinya sebagai salah satu bentuk pengembangan ekonomi ekspor komoditas berdasarkan sains untuk mendorong investasi swasta yang saat itu masih didominasi gula, kopi, dan teh. Dengan mewarisi 1.151.810 pohon cinchona, di mana 99 persennya spesies Cinchona   pahudiana , Gorkom tak ingin mengulangi kesalahan Junghuhn yang yakin bahwa alam dapat diarahkan sesuai sains. Gorkom menanam berbagai spesies cinchona yang kaya kandungan kina, yang paling sukses secara komersil kemudian adalah Cinchona ledgeriana  –diambil dari nama George Ledger, saudagar Inggris yang pertamakali menawarkan benih spesies ini kepada pemerintah Belanda, 1865. Selain itu, Gorkom aktif mengumpulkan benih dari Amerika Latin dan Inggris, meminta masukan dari para ahli sains, dan mengundang ahli untuk meninjau metode kultivasinya. Teysmann mengunjungi perkebunannya pada 1866. Gorkom juga rajin menulis buku panduan pembudidayaan kina. “Sistem Van Gorkom dicapai dengan berdirinya komunitas ilmiah independen di mana para anggotanya mengumpulkan sumberdaya, ide, dan keahlian dan bekerja menuju tujuan bersama,” tulis Goss. Upaya keras Gorkom akhirnya membuahkan hasil. “Panen pertama kulit pohon cinchona terjadi pada 1869, dari tahun itu hingga tahun 1874, di perkebunan Pemerintah saja, 79.170 kilogram kulit cinchona dipanen. Pada 1869 didistribusikan ke sekitar 600 pabrik di berbagai kabupaten untuk mendorong budidaya swasta,” tulis Samuel Cross. Dengan warisan penanaman cinchona secara komersil di Jawa, Gorkom membuka gerbang kejayaan kina Hindia Belanda. Setelah 1885, Jawa berhasil menggantikan Ceylon (kini Sri Lanka) sebagai pemasok utama kina di dunia. Rata-rata 11 ribu ton kulit cinchona dihasilkan perkebunan kina di Hindia Belanda tiap tahunnya. Untuk mengakomodasi tingginya produksi cinchona, pada 1896 didirikanlah pabrik di Bandung bernama Bandoengsche Kinine Fabriek, yang mengolah kulit cinchona menjadi bubuk kina. Hampir separuh dari kulit cinchona yang dihasilkan perkebunan cinchona di Hindia Belanda diolah pabrik Bandung. Meski sempat dihambat oleh sindikat produsen kina Eropa karena Pabrik Bandung mengubah ekspor kina Hindia dari berwujud kulit cinchona menjadi bubuk kina sehingga mengancam kemapanan mereka, Pabrik Bandung berhasil bangkit dan menegaskan dominasi Hindia dalam pasar kina dunia. Dominasi itu makin digdaya setelah Konvensi Kina 1 Januari 1913 bubar akibat negara-negara penandatangannya terlibat Perang Dunia I. Salah satu perusahaan perkebunan yang menangguk laba dari kina adalah Straits Sunda Syndicate, perusahaan patungan Jerman-Belanda yang bergerak dalam beragam perkebunan komoditas ekspor dengan konsesi di Jawa, Sumatra, dan Bali. “Pada 1924, Straits-Sunda Syndicate mencapai puncak kemakmurannya. Mereka menguasai 21.000 hektar di Sumatra, Jawa, dan Bali. Dua puluh sembilan perkebunannya menghasilkan teh, karet, kina, minyak kelapa sawit, gula, kopra, beras, dan kopi. Dalam satu tahun mereka memanen hampir empat juta pon teh dan satu juta pon kina, sebagian besar berasal dari perkebunan Cikopo. Nilai total tahunan produk tersebut adalah 9,5 juta gulden, senilai sekitar 40 juta dolar AS hari ini, dari mana Syndicate menuai keuntungan 10%,” tulis Geoffrey Bennett dalam   The Pepper Trader: True Tales of the German East Asia Squadron and the Man who Cast them in Stone . Dominasi Hindia Belanda akhirnya berujung pada monopoli. “Belanda telah secara spektakuler meningkatkan kandungan kina dari kulit pohon cinchona asal Peru dari 3 persen menjadi 18 persen. Hasilnya adalah bahwa Hindia Belanda sekarang memasok sekitar 95 persen dari kina dunia dan secara sewenang-wenang mengendalikan distribusi dan harga,” tulis Majalah Life  edisi 22 January 1940. Dominasi Hindia Belanda itu akhirnya rusak oleh pendudukan Jepang, Maret 1942. “Perang secara tegas mengganggu produksi kina. Ketika Jerman menduduki Belanda pada tahun 1940, Jerman dengan cepat merebut fasilitas produksi kina Belanda. Setelah Jepang mencaplok Nusantara, bahan kimia yang dibutuhkan untuk memproduksi kina dari cichona tidak bisa lagi diimpor dan tingkat produksi anjlok. Semua toko kina diambil alih militer Jepang. Prevalensi malaria di Indonesia meningkat tajam, dengan banyak pasien yang terjangkit meninggal,” tulis Hans Pols dalam  Nurturing Indonesia: Medicine and Decolonisation in the Dutch East Indies . Direbutnya sumber penghasil kina Sekutu mendorong Amerika mencari jalan keluar. “Pada 1944, kina sintetik (klorokuin, red .) dan berbagai obat anti-malaria diproduksi oleh berbagai perusahaan farmasi Amerika untuk mendukung upaya perang,” sambung Pols. Usai perang, meski kina masih banyak digunakan, klorokuin populer sebagai obat anti-malaria. Kina sintetis ini pertamakali ditemukan pada 1934 oleh ahli farmasi Jerman Hans Andersag. Seiring majunya dunia farmasi dan berkurangnya malaria di samping adanya resistensi plasmodium terhadap klorokuin, penggunaan klorokuin dan kina sebagai obat anti-malaria berkurang. Bersama turunan lain bernama hidroksiklorokuin, kina dan klorokuin kemudian digunakan untuk mengobati peradangan sendi dan lupus. Pada saat wabah SARS merebak tahun 2003, klorokuin digunakan sebagai salah satu obat. Kini ketika pandemi Covid-19 menghantam dunia, klorokuin dan hidroksiklorokuin kembali digunakan.

  • Mula Api dan Pawai Obor Olimpiade

    MASYARAKAT dunia mesti bersabar. Pesta olahraga musim panas terakbar, Olimpiade Tokyo 2020, terpaksa ditunda ke tahun depan akibat pandemi virus SARS-Cov-2 (virus corona ). Otomatis parade obor olimpiade yang sarat sejarah pun mengalami penundaan. Api olimpiadenya sejatinya sudah disulut pada 12 Maret 2020 dari situs kuno Heraion atau Kuil Dewi Hera di Olympia, Yunani. Api yang diwadahi dalam obor cantik bermotif bunga sakura hasil desain Tokujin Yoshioka itu diserahkan kepada petembak putri Yunani Anna Korakaki. Korakaki juga tercatat menjadi wanita pertama pembawa obor olimpiade dalam sejarah. Merunut jadwal awal, mestinya obor olimpiade dibawa keliling ke 24 kota di Yunani dari 12 sampai 19 Maret 2020. Sayangnya pandemi corona membuat parade obor olimpiade dari Olympia itu hanya dibawa melewati kota Amaliada, Pyrgos, Kyparissia, dan Kalamata. Parade pun dilakoni tanpa penonton di sepanjang perjalanannya. Anna Korakaki (kiri) atlet perempuan pertama yang membawa obor Olimpiade dalam sejarah (Foto: olympic.org ) Pada 19 Maret 2020, obor olimpiade itu diterbangkan ke Jepang dan tiba di Pangkalan Udara Matsushima keesokan harinya. Menilik jadwal awalnya, obor Olimpiade itu akan dibawa keliling seantero Jepang dalam kurun 26 Maret-9 Juli. Namun penundaan olimpiade mengubah jadwal rute pawai obor yang hingga kini belum ditentukan lagi waktunya. Benang Merah Penyambung Olimpiade Kuno Api abadi olimpiade sudah eksis sejak adanya Olimpiade kuno dalam titimangsa 776 SM-393 M yang digelar rutin tiap empat tahun di Arena Palaestra, Olympia. Mengutip Jan Parandowski dalam The Olympic Discus: A Story of Ancient Greece , api olimpiade disulut sebelum dimulainya olimpiade dengan menggunakan sinar matahari yang dipercaya berasal dari Dewa Apollo. Sinarnya yang dipantulkan dengan sebuah kaca cekung, lantas akan memunculkan api hingga kemudian api itu diletakkan di sebuah wadah di altar suci Dewi Hestia di Pyrtaneum yang juga menjadi tempat jamuan pesta para atlet. “Hanya para Vestal Virgins (biarawati perawan) yang boleh melakukan ritual penyalaan apinya dengan dipimpin seorang kepala biarawati pemuja Dewi Hestia,” ungkap Parandowski. Ilustrasi penyalaan Api Olimpiade di zaman Yunani kuno (Foto: olympic.org ) Dari zaman ke zaman, ritual itu punah dan tak pernah lagi digagas. Termasuk ketika Athena menggelar olimpiade musim panas modern pertama pada 1896, maupun olimpiade musim dingin pertama di Charmonix, Prancis pada 1924. Ritual penyalaan api olimpiade baru digagas arsitek Olympic Stadium, Amsterdam, Jan Wils. Ia pula yang membangun Menara Marathon untuk tempat api olimpiade dinyalakan untuk Olimpiade Amsterdam 1928. Walau sekadar simbolis karena belum sepenuhnya direka-ulang dari penyulutan obor di zaman olimpiade kuno, penyalaan api olimpiade di Menara Marathon itu jadi benang merah penyambung olimpiade kuno-modern. Ide untuk “merekonstruksi” ritual penyalaan api olimpiade yang kemudian menggulirkan pawai obor baru terjadi jelang Olimpiade Berlin 1936, yang banyak disebut sejarawan Barat sebagai “Olimpiadenya Nazi” atau “Olimpiadenya (Adolf) Hitler”. Pawai Obor untuk Hitler Adalah Sekjen Komite Panitia Pelaksana Olimpiade Berlin 1936 (GOOC) Carl Diem yang jadi pemrakarsa pawai obor olimpiade itu. Diungkap Anton Rippon dalam Hitler’s Olympics: The Story of the 1936 Nazi Games, gagasan Diem itu terilhami dari sejumlah pawai obor di berbagai ajang di Jerman maupun di negara lain, seperti parade dan pawai obor para mahasiswa Deustche Hochschule für Leibesübungen (Universitas Pendidikan Olahraga) pada 1922 atau pawai obor di Bulgaria dengan rute Preslaw menuju Sofia yang disaksikan Diem ketika tengah berkunjung ke negeri itu. “Pada dua hari pertama Hitler naik ke tampuk kekuasaan sebagai Reichkanzler (kanselir), 30 Januari 1933, sudah ada pawai obor juga. Digelar malam hari oleh para anggota SA (Sturmabteilung/sayap paramiliter Partai Nazi) di sepanjang Jalan Wilhelmstrasse,” kata Alif Rafik Khan, penulis 1000+ Fakta Nazi Jerman, kepada Historia. Pembawa obor pertama dan terakhir yang pawainya digelar jelang Olimpiade Berlin 1936, Konstanin Kondylis (kiri) & Fritz Schilgen (Foto: olympic.org/nac.gov.pl ) Dari pengalaman-pengalaman itulah pada Desember 1933, atau dua tahun setelah Berlin diputuskan jadi tuan rumah Olimpiade 1936, Diem mengusulkan ide pawai obor ke IOC dan langsung dikabulkan. Tentu ide itu juga dipresentasikannya kepada Der Führer Adolf Hitler. “Pawai obor itu seolah menegaskan ambisi Hitler dengan memanfaatkan ilustrasi silsilah kemurnian ras, di mana hal itu menjadi simbol posisi yang menjembatani budaya Nazi Jerman dengan Yunani Kuno. Carl Diem sang pemrakarsanya mengklaim bahwa api Olimpiade merupakan simbol kemurnian kuno dan penggambaran awal Jerman yang modern,” tulis David Clay Large dalam Nazi Games: The Olympics of 1936 . Pada Juni 1935, Direktur olahraga GOOC Werner Klingeberger mensurvei rute dari Olympia ke Berlin sepanjang 3.075 kilometer. Dalam rencana awalnya, ia mencanangkan obor olimpiade bakal dibawa 3.422 pelari. Sementara obornya yang berbentuk sederhana seperti pedang, didesain seniman Walter E. Lemcke yang kemudian dibuat perusahaan manufaktur Krupp. Pada hari-H, 20 Juli 1936, penyalaan api olimpiade di Olympia dilakukan oleh 11 gadis sebagai simbol biarawati Kuil Dewi Hestia. Sebagaimana di zaman kuno, apinya dinyalakan dengan sinar matahari yang dipantulkan lewat cermin cekung buatan Zeiss. Apinya kemudian diserahkan Menteri Pendidikan dan Olahraga Yunani Georga Konpulos kepada perwakilan Jerman Herr Pistorr. “Wahai api yang dinyalakan di situs kuno yang suci, mulailah perjalananmu dan sampaikanlah salam kepada para generasi muda di seluruh dunia, untuk berkumpul di negeri kami. Sampaikan pula salam untuk Der Führer dan seluruh rakyat Jerman,” seru Pistorr kala menerima api olimpiadenya, dikutip Rippon. Reichkanzler Adolf Hitler saat membuka Olimpiade Berlin 1936 (Foto: collectifhistoirememoire.org ) Api di obor olimpiade itu lantas dibawa Konstantin Kondylis, pelari pertama dari keseluruhan 335 pelari yang membawa obor itu ke kota-kota di Yunani, sampai diserahterimakan ke Raja Yunani Geórgios II di Stadion Panathenian, Athena. Dari Yunani, pawai obor berlanjut ke Sofia (Bulgaria), Beograd (Yugoslavia, kini Serbia), Budapest (Hungaria), Praha (Cekoslovakia), dan Wien (Austria) sebelum masuk ke wilayah Jerman via Dresden sampai di tujuan akhir, Olympiastadion di Berlin pada 1 Agustus 1936. Adalah Fritz Schilgen, atlet atletik Jerman, sebagai pembawa obor olimpiade terakhir dan menyulut apinya dari obor ke kaldron di Olympiastadion. Momen fase terakhir ini direkam dengan jelas oleh Leni Riefenstahl yang membuat film propaganda Nazi tentang olimpiade itu dengan tajuk Olympia .  Warisan “Olimpiadenya Hitler” itu lantas menjadi tradisi yang terus dilakoni sebelum pembukaan olimpiade hingga hari ini. Ironisnya, simbol kemurnian itu justru menyebabkan dua olimpiade selanjutnya, , yakni Olimpiade Tokyo 1940 dan Olimpiade London 1944, batal digelar gegara Hitler memulai Perang Dunia II.

  • Tarian yang Mempesona

    JIKA memasuki Kabupaten Banyuwangi dari arah Jember, Anda mungkin akan terpesona pada patung penari gandrung berukuran besar di pelataran sebuah taman. Ia dibingkai pilar bujursangkar. Ya, Anda telah memasuki wilayah Kabupaten Banyuwangi yang dijuluki Kota Gandrung. Gandrung adalah tarian khas Bumi Blambangan, sebutan lain bagi Banyuwangi. Sebagai ikon Banyuwangi, ada di mana-mana. Patung gandrung terpajang di berbagai sudut kota dan desa. Tapi yang menakjubkan adalah Taman Gandrung Terakota di Kecamatan Licin. Ratusan patung penari gandrung membentuk formasi indah di tengah persawahan terasiring di kaki Gunung Ijen, tepatnya di kawasan Jiwa Jawa Resort. Selain hamparan sawah, perbukitan, dan kebun kopi, Taman Gandrung Terakota dikelilingi pemandangan indah Gunung Merapi, Raung, Suket, dan Meranti. Beragam acara musik dan budaya yang menarik pun digelar di sini, di sebuah amfiteater terbuka . Dari Jazz Gunung Ijen hingga sendratari Meras Gandrung. Gandrung juga selalu hadir dalam setiap perayaan atau pagelaran. Bahkan jadi salah satu kegiatan unggulan Banyuwangi dengan nama Festival Gandrung Sewu. Festival Gandrung Sewu merupakan salah satu agenda dalam kalender pariwisata tahunan Kabupaten Banyuwangi, yang dikemas dalam tajuk Banyuwangi Festival. Gandrung Sewu kali pertama digelar tahun 2012. Menampilkan tema berbeda setiap tahunnya. Festival Gandrung Sewu 2019, misalnya, mengambil tema “Panji-Panji Sunangkara” yang mengisahkan perlawanan rakyat bumi Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Rempeg Jagapti terhadap penjajah. Festival diikuti 1.350 siswi sekolah dasar, sekolah menengah atas, dan sekolah menengah kejuruan dari seluruh penjuru Banyuwangi. “Gempuran budaya global melalui media sosial, di mana anak-anak mulai teralienasi dari budaya lokalnya, Gandrung Banyuwangi menjadi bagian dari cara daerah agak anak-anak kembali senang dengan budayanya," ujar Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas pada acara Festival Gandrung Sewu 2019, Oktober silam. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Festival Gandrung Sewu 2019 digelar secara kolosal. Di tengah terik matahari, daratan pasir Pantai Boom di Kabupaten Banyuwangi memerah. Ribuan penari gandrung berkostum merah tumpah-ruah. Hentakan kaki, lambaian tangan, liukan badan, gelengan kepala hingga lirikan mata berpadu serasi. Selaras dengan iringan musik dan syair yang dinyayikan oleh kelompok pengiring. Dan penonton terpesona dibuatnya. Bukan Semata Hiburan Gandrung, yang artinya cinta  atau tergila-gila , merupakan kesenian asli dan tertua Banyuwangi. Ia tak berbeda jauh dari kesenian rakyat di daerah lain seperti tayub, ronggeng dan cokek , yang tampil dalam bentuk tari dan nyanyian dengan iringan musik tertentu. Menurut antropolog Belanda John Scholte dalam Gandroeng van Banjoewangi  (1927), kemunculan gandrung berkaitan dengan pengangkatan Mas Alit sebagai bupati dan pembabatan hutan untuk dijadikan ibukota baru Blambangan. Gandrung berfungsi sebagai hiburan sekaligus ritual mohon keselamatan dari marabahaya penunggu hutan. Namun ada juga pendapat bahwa kemunculan gandrung berkaitan erat dengan seblang, salah satu ritual suku Osing. Ritual ini digelar untuk keperluan bersih desa dan tolak bala. Para penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun setempat, dan biasanya keturunan penari seblang. Menurut Sal M. Murgiyanto dan A.M. Munardi dalam Seblang  dan Gandrung , tari seblang mirip dengan tari sang hyang di Bali, yang di masa lalu ditemui juga di Banyuwangi dengan sebutan tari sanyang. Tarian sanyang dilakukan dua anak lelaki yang berpakaian perempuan dan dalam keadaan kesurupan. Menariknya, nyanyian-nyanyian dan tatabusana penari dalam sanyang masih terjejaki dalam pertunjukan seblang dan gandrung. “Lintasan gerak dan pose-pose dasar ketiga tarian tersebut pun masih menunjukkan banyak kesamaan,” tulis mereka. Gandrung berkaitan dengan mitos Dewi Sri. Masyarakat Using (suku asli Banyuwangi) yang agraris menghormati Dewi Sri dengan ritual tarian sebagai ungkapan rasa syukur atas panen yang melimpah. Namun dalam perkembangannya unsur hiburan lebih menonjol dalam pertunjukan ini. Tari gandrung merupakan kesenian asli dan tertua Banyuwangi. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi). Pada awalnya tarian gandrung dibawakan lelaki yang didandani menyerupai perempuan atau dikenal dengan istilah gandrung lanang . Mereka menari berkeliling dari rumah ke rumah atau pasar sambil menyanyikan lagu-lagu tradisional Banyuwangi. Seiring kuatnya pengaruh Islam, gandrung lanang perlahan menghilang. Apalagi Marsan, penari terakhir gandrung lanang , kemudian meninggal dunia. Gandrung kemudian identik dengan penari perempuan, hingga kini. Gandrung perempuan pertama yang terkenal adalah Semi –acap disebut Gandrung Semi . Menurut cerita, Semi berusia sepuluh tahun kala menderita penyakit kronis. Segala upaya untuk menyembuhkannya tak membuahkan hasil. Maka, Mak Midhah (Mak Milah), ibunya, bernazar bila sembuh, dia akan menjadikan Semi sebagai seblang. Ternyata Semi sembuh. Tapi, selain seblang, Semi mahir menarikan gandrung yang waktu itu mulai digemari masyarakat. Apa yang dilakukan Semi diikuti adik-adik perempuannya dengan menggunakan nama depan “Gandrung” sebagai nama panggung. Maka, selain Gandrung Semi, dikenal pula Gandrung Misti, Gandrung Soyat, dan Gandrung Miati. Kesenian ini pun berkembang di seantero Banyuwangi. Kendati unsur hiburan lebih menonjol, aspek ritual dalam pertunjukan gandrung masih terasa. Gandrung kerap tampil dalam upacara petik laut (panen ikan), bersih desa, hingga tingkeban (kehamilan tujuh bulan). Karena kekhasan kesenian ini, pada 1990 gandrung resmi diangkat menjadi identitas bersama Banyuwangi. Lalu, sejak 2002 ditetapkan sebagai maskot pariwisata Banyuwangi. Puncaknya, gandrung ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2013. Megah nan Indah Sejak lama kesenian gandrung mendapat perhatian dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan serta Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) . Pada 1970-an, gandrung diberi s entuhan sedikit koreografi modern dan ditayangkan di TVRI . Tayangan itu mendapat sambutan yang luas. “Tari tersebut telah diangkat menjadi tari yang sekarang di luar negeri selalu memperoleh applause yang ramai dan lama,” kenang Astrid S. Susanto, yang bekerja di Bappenas, dalam buku Kesan Para Sahabattentang Widjojo Nitisastro . Perkembangan itu mendorong pemerintah daerah Banyuwangi untuk merawat dan mengembangkan gandrung, terutama di kalangan generasi muda. G andrung tak hanya ditarikan keturunan penari gandrung. Banyak gadis, siswi sekolah hingga mahasiswi mulai mempelajari tarian ini. Gandrung bukan hanya dipentaskan untuk memeriahkan pesta perkawinan, misalnya, tapi juga acara-acara resmi. Lalu, pada 1974, pemerintah daerah untuk kali pertama menggelar Festival Gandrung. Setelah lama mati suri, festival semacam itu dihidupkan kembali pada 2012 dengan nama Festival Gandrung Sewu. Seperti namanya, ada seribu bahkan lebih penari yang tampil membawakan tarian gandrung. Gagasan ini berasal dari Bupati Azwar Anas untuk mempromosikan Banyuwangi dan menumbuhkan kecintaan warga Banyuwangi akan seni dan budayanya. “Kami mencari cara bagaimana agar anak-anak penari diberi panggung yang istimewa. Karena selama ini mereka hanya tampil di desa saja. Tidak ada kebanggaan lebih, karena yang nonton hanya orang-orang di lingkungannya,” kata Anas . Gagasan itu ternyata berbuah sukses. Perhelatan ini mampu menarik animo dari wisatawan dalam maupun luar negeri. Mereka terhibur sekaligus berdecak kagum akan kemegahan dan keindahan tarian ini. Tak heran jika Gandrung Sewu masuk sebagai salah satu atraksi wisata terbaik Indonesia atau “10 Best Calender of Event Wonderful Indonesia” versi Kementerian Pariwisata. Tari Gandrung Banyuwangi sudah selayaknya dilestarikan. Kabupaten Banyuwangi sudah melakukannya dengan beragam cara, salah satunya lewat Festival Banyuwangi. Ah, Banyuwangi selalu bikin tergila-gila.

  • Insiden Rawagede di Mata Jenderal Spoor

    DESA Rawagede, 9 Desember 1947. Hari masih pagi. Murid-murid Sekolah Rakyat (SR) Rawagede masih belum memasuki kelasnya ketika mereka melihat sekelompok serdadu Belanda (sebagian besar terdiri dari anak-anak muda pribumi) menggiring puluhan orang ke pinggir rel kereta api dekat sekolahnya. Sebagai seorang bocah, Odih yang kala itu masih duduk di bangku kelas 2 SR, tentu saja penasaran. Bersama kawan-kawannya, mereka lantas berlari mengikuti rombongan tersebut. Belum sampai ke mendekati rombongan, seorang serdadu bule berbaret hijau malah mengusir bocah-bocah itu. Namun ketika akan berbalik lagi menuju sekolah, tetiba terdengar tiga kali rentetan tembakan diikuti robohnya orang-orang yang digiring tersebut jatuh. “Saya lihat sendiri mereka bergelimpangan dengan bermandikan darah di pinggir rel kereta api... " kenang Odih, sekarang berusia 83 tahun. Insiden berdarah di Rawagede memang nyata dan terjadi. Menurut Sukarman, Ketua Yayasan Rawagede jumlah korban tewas dalam pembantaian yang dilakukan oleh serdadu Belanda ituadalah 431 orang. Pihak Belanda sendiri hanya mengakui jumlah korban tewas hanya 150 orang saja. Itu didasarkan pada keterangan yang dilansir dalam Excessennota 1969 , sebuah laporan resmi pihak Belanda. “Peristiwa pembantaian itu (sendiri) hanya disebut beberapa kalimat saja (dalam Excessennota 1969),” tulis Remy Limpach dalam disertasi-nya berjudul De brandende kampongs van Generaal Spoor (dialihbahasakan menjadi Kekerasan Ekstrem Belanda di Indonesia ) Apa yang menyebabkan Rawagede diserang secara besar-besaran oleh militer Belanda? Setelah hampir 73 tahun berlalu, penyebab persisnya tetap masih menjadi misteri. Pendapat yang beredar di kalangan pihak Indonesiamenyebutkan pasukan Belanda nekad melakukannya karena untuk memburu Kapten Lukas Koestarjo, komandan TNI yang sangat diincar oleh mereka. “Prilaku pasukan Pak Lukas yang dianggap kejam oleh pihak militer Belanda menyebabkan lelaki yang dijuluki Begoendal van Karawang itu dicari-cari: hidup atau mati,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.     ADVERTISEMENT         ADVERTISEMENT Namun berdasarkan keterangan sejarawan Belanda Stef Scagliola yang bertahun-tahun meneliti kasus tersebut dan mewawancarai sejumlah eks prajurit Belanda yang terlibat dalam operasi pembersihan di Rawagede, saat itu militer Belanda memang sudah mencurigai Rawagede dijadikan sarang “ekstrimis”, sebutan mereka kepada para pejuang kemerdekaan Indonesia.  “Suatu hari ada laporan ke pihak militer Belanda bahwa seorang anak lurah NICA ditangkap dan dianiaya oleh sekelompok besar kaum bersenjata di Rawagede dan laporan itu direspon dengan mengirimkan pasukan ke sana,” ujar peneliti sejarah terkemuka di Belanda itu. Penjelasan Stef nyaris mirip dengan laporan yang dilansir oleh  Berita Indonesia pada 15 Desember 1947. Surat kabar itu memberitakan bahwa Pembantaian Rawagede diawali oleh kejadian pada 3 Desember 1947. Ketika itu, seorang putra dari agen MID (Dinas Intelijen Militer Belanda) yang berkebangsaan pribumi ditangkap dan disiksa di suatu rumah kosong yang terletak di Rawagede. Namun ia berhasil meloloskan diri dan melaporkan kejadian yang menimpanya kepada sang ayah. Dalam laporan itu disebutkan pula bahwa di Rawagede terdapat konsentrasi satu pasukan besar dari kaum Republik. Bersama seorang kawannya, agen MID yang tak disebut namanya itu lantas melaporkan informasi tersebut ke pihak militer Belanda di Karawang. Maka dikirimlah satu pasukan besar. Mereka  terdiri dari Kompi 3 dari Yon 3-9-RI Divisie 7 December, satu peleton 1e Para Compagnie dan 12 Genie Veld Compagnie (keduanya merupakan pasukan cadangan dari Depot Speciale Troepen) pimpinan Komandan Kompi 3-3-9-RI Mayor Alphons J.H. Wijnen. Berita Indonesia juga mengkonfirmasi unit-unit dari DST (Depot Pasukan Khusus). “Diduga mereka adalah bekas algojo-algojo dari Sulawesi Selatan,” tulis wartawan  Berita Indonesia . DST adalah kesatuan khusus Angkatan Darat Belanda yang dipimpin oleh Kapten R.P.P. Westerling. Untuk membuat Sulawesi Selatan  steril  dari pengaruh kaum Republiken, sepanjang Januari 1946, Westerling melakukan pembersihan brutal di sana. Kejadian itu sempat membuat geger dunia internasional mengingat pengakuan resmi pemerintah Republik Indonesia yang menyatakan telah jatuh korban 40.000 jiwa penduduk Sulawesi Selatan. Tentu saja, tuduhan itu dibantah secara keras oleh Westerling. Kepada pers, ia mengaku hanya menghabisi sekitar 600 orang saja. Lantas bagaimana sikap petinggi Belanda (terutama para pejabat militernya)? Setelah pihak Pemerintah Indonesia mengadukan soal itu kepada GOC (Komite Jasa Baik) yang dibentuk PBB untuk menangani konflik Indonesia-Belanda, pihak Pemerintah Belanda pun bergerak. Pada 3 Januari 1948, mereka mengajukan memorandum kepada GOC yang membantah versi Republik. Kendati demikian, penyelidikan yang dilakukan oleh GOC (selesai pada 12 Januari 1948) menemukan fakta bahwa memang ada operasi militer yang brutal telah dilakukan oleh pihak Belanda. Pihak Belanda belakangan mengakui bahwa memang ada korban rakyat sipil yang tak bersalah jatuh dalam aksi pembersihan tersebut. Mereka pun mengiyakan soal beberapa rumah rakyat yang sengaja dibakar para serdadunya. Namun alih-alih sanksi ditetapkan kepada para pelaku utama pembantaian itu, Jaksa Agung Felderhof malah setuju untuk mempetieskan insiden di Rawagede. “Saya memahami tindakan Wijnen, karena “buaya-buaya tersebut (maksudnya gerilyawan Republik) akan segera membuat wilayah itu tidak aman lagi,” ungkap Felderhof seperti dikutip oleh Limpach. Setali tiga uang dengan Felderhof, Panglima Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia Letnan Jenderal S.H. Spoor juga memilih untuk menutup mata atas kegilaan yang dilakukan oleh anak buahnya di Rawagede. Meskipun tidak membenarkan tindakan Mayor Wijnen di Rawagede, dia menyatakan bahwa perwira itu sejatinya memiliki karier yang tak tercela dan merupakan seorang militer yang baik. “Sementara jumlah anggota militer yang baik saat ini sangat sedikit sekali,” ungkap Spoor seperti dikutip oleh J.A. de Moor dalam Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Belanda Terakhir di Indonesia. Dengan demikian, kata Moor, dalam melihat Insiden Rawagede itu, Spoor lebih menyukai tidak ada pengadilan terhadap anak buahnya, betapa memprihatikannya kasus tersebut secara kemanusiaan.

  • Rosihan Tidur Berbantalkan Granat

    Setelah bertolak dari Makassar usai meliput Konferensi Malino, (Juni 1946) wartawan Merdeka , Rosihan Anwar menuju Yogyakarta. Dari Jakarta, Rosihan bersama Soedjatmoko, pemimpin redaksi Het Inzicht  menumpang kereta api barang. Mereka duduk di bangku panjang yang melekat ke dinding gerbong. Di Krawang, kereta api berhenti. Beberapa pemuda anggota laskar rakyat naik sambil menenteng senjata dan ranselnya. Walaupun berdesak-sesakan, mereka dapat juga duduk. Masuk Cikampek, penumpang bertambah lagi. Tampak sekumpulan pemuda yang memakai kaplaars dengan pistol di pinggang memenuhi gerbong. Semuanya juga hendak ke Yogya, ibu kota sementara Republik Indonesia.  Perjalanan panjang itu membutuhkan waktu sehari semalam. Rosihan pun kelelahan. Dia mencari cara agar tidur dengan nyaman. Terbersitlah ide untuk menjadikan rak barang yang ada di atas bangku dekat langit-langit gerbong sebagai tempat tidur. Lagi pula, Rosihan bertubuh kurus dan ramping sehingga tidak sulit nyempil di ruang sempit itu. Setelah menyelinap ke rak barang, Rosihan membentangkan segulung tikar sembahyang yang di bawanya dari Makassar sebagai alas. Tapi dia butuh bantal untuk sandaran kepala. Tidak jauh dari tumpukan barang, rupanya ada sebuah besek (keranjang kecil berbahan bambu dan berbentuk segi empat) . Rosihan menarik besek itu dijadikannya bantal. Pas!        “Ada bantal, ada guling mengalang punggung, apa lagi yang kurang? Kereta api makin keras getarannya, tetapi saya sudah lama terlelap nyenyak,”kenang Rosihan dalam Musim Berganti: Sekilas Sejarah Indonesia 1925—1950 . Keesokan pagi, cahaya mentari menembusi jendela gerbong. Rosihan terjaga dengan tubuh yang lebih segar. Dia turun dari rak barang dan kembali duduk di bangku. Sejurus kemudian, seorang penumpang menyapa Rosihan. “Bisa tidur?” tanya si penumpang seraya tersenyum. “Nyenyak,” sahut Rosihan. “Beruntung,” kata si penumpang lagi. Rosihan dengan santai mengatakan tidurnya nyenyaknya lantaran ada bantal dari besek dan juga tikar sembahyang yang beralih fungsi jadi guling. Mungkin karena ingin mengucapkan terimakasih, Rosihan menyakan siapa yang empunya besek itu. “Punya kami,” jawab seorang anggota laskar. “Apa isinya yah?” tanya Rosihan. “Sedikit pakaian dalam, tetapi di bawahnya ada granat,” jawab si laskar. “Granaaatt…?” tanya Rosihan terbelalak. “Ya, granat kami,” ujar anggota laskar itu dengan tenang. “Waduh, Masya Allah,” kata Rosihan. Bibirnya gemetar. Anggota laskar yang menyaksikan Rosihan panik itu pun tertawa. Menurut Rosihan mereka bukannya sembrono menaruh bahan peledak. Namun bagi para laskar yang terbiasa berpindah front pertempuran sambil membawa senjata, maka cara begitu sudah lumrah. Menyadari dirinya baru saja selamat dari ledakan granat, Rosihan terhenyak dalam lamunan. Pikirnya, “Andai kata salah satu granat itu terlepas pinnya, maka pasti benak saya menjadi bubur bertebaran dan kembali ke hadirat ilahi.”

  • Konsep Sakit dan Sehat dalam Primbon

    Imun yang kuat jadi faktor penting melindungi tubuh di tengah penyebaran Coronavirus (Covid-19). Banyak cara menjaga daya tahan tubuh, selain rajin berolah raga, mengonsumsi buah dan sayur, menjaga pikiran tetap positif dan tenang. Konsep itu juga ditemukan dalam pandangan tradisional Jawa. Keseimbangan rohani dan jasmani menjadi penting bagi orang Jawa dalam melihat masalah sehat dan sakit. Jika keduanya selaras, seseorang akan merasa bahagia dan senang, sehingga jauh dari penyakit. Antropolog Universitas Gadjah Mada, Atik Triratnawati, menjelaskan pandangan tradisional itu digali dari akar budaya yang bersumber dari kosmologi Jawa. Seperti ajaran kejawen yaitu sangkan paraning dumadi dan manunggaling kawula Gusti. “Kosmologi Jawa adalah wawasan manusia Jawa terhadap alam semesta,” tulis Atik dalam “Masuk Angin dalam Konteks Kosmologi Jawa”, termuat di jurnal Humaniora Vol.23/2011. Konsep keseimbangan hidup orang Jawa sifatnya menyeluruh, mencakup makrokosmos dan mikrokosmos. Mistik kejawen menganggap jiwa, raga, dan suksma adalah satu. Karenanya, jika oleh kalangan medis modern semua penyakit dianggap disebabkan oleh virus, kuman, jasad renik, maupun bakteri; masyarakat tradisional Jawa punya penjelasan lain. Ini adalah kepercayaan dan pengetahuan yang sudah mereka warisi dari para leluhur. Analisis Primbon Dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, Bani Sudardi,menjelaskan persoalan konsep sakit dan sehat banyak dijelaskan dalam kitab-kitab primbon. Secara garis besar primbon berisi masalah yang berhubungan dengan kelahiran, perkawinan, kematian, dan hubungan manusia dengan alam. Ada pula soal penyakit dan pengobatannya. Orang Jawa mengenal pengetahuan primbon paling tidak sejak abad ke-8. Kala itu mereka telah terbiasa mencatat waktu, dari mulai musim, hari, bulan, tanggal, perbintangan, sampai rasi. Tentang ini muncul dalam Prasasti Tulang Air di Candi Perot (850), Prasasti Haliwangbang (857), dan Prasasti Kudadu (1294). Primbon terlengkap dalam tradisi Jawa baru ditulis pada masa Kartasura berupa Serat Centhini. “Selain dapat dikatakan sebagai salah perwujudan primbon, serat ini juga dapat dikatakan sebagai salah satu bentuk ensiklopedi khas Jawa,” tulis Bani dalam “Konsep Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa” , terbit di jurnal Humaniora Vol. 14/2002 . Serat Centhini ditulis atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III yang memerintah Surakarta (1820–1823). Ia adalah putra Pakubuwono IV (1788–1820). Penyusunannya dipimpin Ki Ngabehi Ranggasutrasna, didampingi Raden Ngabehi Yasadipura, Raden Ngabehi Sastradipura. Mereka dibantu Pangeran Jungut Mandurareja dari Klaten, Kiai Kasan Besari dari Panaraga, dan Kiai Mohammad Mindad dari Surakarta. Berbagai jenis resep obat dan pengobatan dapat ditemukan dalam Serat Centhini. Namun, menurut Bani, kitab primbon selain Serat Centhini yang memuat itu juga ada. Sebagian sudah diterbitkan. Sebagian lainnya masih tersimpan sebagai manuskrip di berbagai tempat penyimpanan. “Misalnya primbon yang tersimpan di keraton, masih bersifat rahasia, sulit dijangkau masyarakat luas,” ujar Bani. Primbon biasanya dipegang oleh tokoh cendekiawan pada masanya, seperti tetua adat, tokoh masyarakat, dukun, atau guru kebatinan. Di bidang kesehatan, mereka memakai primbon untuk menganalisis kondisi kesehatan seseorang. Untuk melakukannya, primbon memakai beragam perhitungan. Misalnya, jumlah neptu dina lan pasaran atau perhitungan hari pasaran Jawa saat datangnya penyakit. Ini bisa digunakan untuk menentukan asal penyakit, tingkat penyakit, dan bagian yang sakit. Antara primbon yang satu dan yang lain mungkin bisa berbeda. Namun yang jelas ada beberapa kemungkinan suatu penyakit itu berasal. Penyakit bisa datang dari Allah, bisa karena perkataannya sendiri yang tidak dipenuhi ( ujar ), bisa dari jin atau setan, dan dari perbuatan jahat orang lain ( teluh ). Contohnya, dilihat dari hari dimulainya penyakit, bisa ditentukan anggota badan mana yang memulai sakit atau sebab sakitnya. “Bila sakit dimulai hari Senin, asal penyakit dari telinga. Penyebabnya bisa karena mendengar berita buruk, menahan marah, dan sebagainya yang bersumber dari telinga,” jelas Bani. Bisa juga mengetahui muasal penyakit lewat perhitungan hari lahir si penderita. Pun bisa lewat mencari tahu perbuatannya yang mungkin telah melanggar pantangan. Seimbang Jiwa dan Raga Artinya, orang bisa sakit akibat kualitas hubunganya dengan lingkungan. Pasalnya orang Jawa yakin bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari suatu tatanan kosmis. Akibat konsep itu, tak heran kalau mereka percaya berbagai penyakit datang akibat guna-guna. Kalau sudah begini, mereka merasa tak akan mempan bila pergi ke dokter modern. Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa III: Warisan Kerajaan Konsentris menjelaskan ritual-ritual pedesaan banyak dilakuan demi menjaga keserasian kosmis antara kekuatan yang tak selaras. Antara desa dan semesta harus seimbang agar kehidupan tak bergoncang. Ini juga demi menaklukan roh-roh jahat penyebab goncangan itu. Seperti dengan menggelar pertunjukkan wayang. Alasannya bisa bervariasi misalnya peristiwa dalam keluarga, pindah kediaman, penggantian nama, mimpi buruk, dan sakit. Tujuannya adalah menjinakkan roh, seperti dedemit, lelembut, memedi, dan tuyul yang dianggap hadir. “Bila mereka betul-betul sudah dijinakkan, barulah manusia dapat ‘selamat’,” kata Lombard. Menurut Bani, banyak pula dalang yang bercerita kalau orang yang rajin bersemadi hidupnya akan sehat. Ia bakal jauh dari penyakit. Teorinya, saat bersemadi seluruh lubang tubuh yang berjumlah sembilan itu akan terkonsentrasi dalam kebaikan. Akibatnya unsur spiritual seseorang akan menjadi kuat. Daya tahan tubuh menjadi optimal. “Pada saat seseorang sedang labil jiwanya, kekebalan tubuh akan mengalami penurunan, inilah yang akan mengakibatkan orang mudah sakit,” jelas Bani . Pun halnya kalau pikiran tak bersih, kurang sabar, atau hanya memikirkan soal materi semata. Ini akan mendorong seseorang menjadi tergesa-gesa dalam bekerja. Fisik pun jadi melemah. Ia lalu akan mudah sakit. Atik Triratnawati mengatakan harmonisasi tubuh manusia terwujud apabila aspek fisik dan nonfisik berada dalam keadaan seimbang. Bagi orang Jawa sakit terjadi apabila ketidakseimbangan unsur fisik dan nonfisik. Makanya jika seseorang merasa masuk angin, misalnya, oleh orang Jawa kondisi ini dapat dianggap sebagai adanya ketidakseimbangan di dalam tubuh dengan lingkungan sekitarnya. Pemicunya adalah emosi yang tak terkontrol, baik berupa marah, jengkel, iri hati, angan-angan yang tinggi maupun pikiran berat yang menguras energi. Akibatnya, penderita menjadi sulit tidur, makan, dan minum, yang berpengaruh pada fungsi tubuh secara keseluruhan. Biasanya penderita akan merasakan gejala panas, dingin, perut kembung, atau pegal linu. “Ada fungsi tubuh yang terganggu, khususnya peredaran darah akibat angin yang kurang lancar,” jelas Atik . Orang juga akan mudah sakit apabila gagal mengendalikan nafsu, nafsu amarah, aluamah, supiyah , dan mutmainah ; atau nafsu makan, nafsu marah, nafsu seksual, dan nafsu otak atau berpikir terlalu keras.  “Orang itu akan mudah mengalami sakit, baik yang bersifat sakit fisik maupun mental,” jelas Atik. “Seseorang yang mampu mengendalikan empat perkara itu disebut orang hebat dan dirinya akan selalu sehat.” Karenanya, bagi masyarakat tradisional Jawa, primbon membantu mereka untuk memahami penyakit. Dengan pemahaman ini maka akan diketahui bagaimana pola pengobatannya. “Setidak-tidaknya, konsep pengobatan tradisional Jawa yang memiliki pandangan kosmologis tentang penyakit, memandang penyakit tidak saja pada apa yang sakit, melainkan juga bagaimana dan mengapa seseorang menjadi sakit,” jelas Bani.

  • Kisah A.R. Baswedan dan Calon Mertua

    Pertemuan Abdurrahman Baswedan dengan perempuan yang kemudian menjadi istrinya terjadi di usia yang masih sangat muda. Baswedan ketika itu masih berusia 17 tahun, sementara Syaikhun berusia 12 tahun. Keduanya memang telah lama saling kenal karena Syaikhun adalah putri pamannya sendiri. Suatu hari di tahun 1925, Baswedan menyampaikan maksudnya menikahi Syaikhun kepada kedua orangtuanya. Keputusan itu cukup mengejutkan, mengingat remaja seusianya masih mengikuti segala kehendak orangtua, termasuk soal perjodohan. Namun sebelum meneruskan maksud itu ke sang paman, ayah Baswedan meminta anaknya merubah sikap-sikap yang mungkin tidak bisa diterima pamannya. “Ia mempunyai paham-paham yang bertentangan dengan pamannya. AR Baswedan misalnya tidak menyetujui adanya tahlilan, padahal upacara semacam itu masih diikuti oleh masyarakat Arab dan umat Islam pada umumnya, khususnya oleh keluarga pamannya. Di samping itu masing ada hal-hal lain yang masih sering diperdebatkan,” ungkap Suratmin dalam Abdul Rahman Baswedan: Karya dan Pengabdiannya . Baswedan sadar betul dengan sifat kerasnya itu. Maka ia pun berjanji kepada ayahnya bahwa sang mertua boleh menegur untuk mengingatkan jika dirinya melakukan salah. Ia juga bersedia melakukan pembicaraan jika sewaktu-waktu keduanya tidak mencapai kesepakatan baik. Meski telah berjanji demikian, ayahnya masih tetap khawatir dengan sifat Baswedan yang begitu keras. Tetapi rupanya takdir memang berpihak kepada Baswedan. Tanpa perlu waktu dan proses yang panjang, maksud baiknya itu langsung diterima oleh keluarga pamannya. Dengan persetujuan semua pihak Baswedan dan Syaikhun semakin mantap menjalin hubungan yang serius. Walau begitu keduanya jarang bertemu karena tetap harus mematuhi ajaran agama Islam, yang melarang pertemuan tanpa ada yang mendampingi meski keduanya calon suami-istri. Pertemuan dua sejoli ini lebih banyak terjadi di dalam acara keluarga. Seperti ketika Baswedan dan Syaikhun dipertemukan di Batu, Malang, saat keluarga besar mereka berkumpul bersama. Momen itu juga menjadi ujian bagi hubungan Baswedan dengan sang paman sebagai calon mertuanya. Pada suatu malam, selepas shalat maghrib, Baswedan bercengkrama dengan calon ayah mertuanya itu. Awalnya berjalan normal, sampai ketika pamannya meminta Baswedan mengambil sebuah buku dari dalam tas. “Coba bacalah buku itu,” ucap pamannya. “Untuk apa buku ini dibaca? Apakah untuk paman atau untuk saya?” tanya Baswedan. Mendengar pertanyaan itu pamannya mulai naik pitam. “Mengapa kau berkata demikian?” “Apabila buku itu dibaca untuk keperluan paman, maka akan saya kerjakan, tetapi apabila buku ini untuk saya, hal itu tidak perlu dilakukan karena saya sudah pernah membacanya,” ujar Baswedan. Buku itu sendiri berisi kritikan terhadap seorang ulama besar Syekh Mohammad Abduh. Baswedan yang menerima pendidikan di Al Irsyad memiliki pandangan yang sama dengan Syekh Mohammad Abduh sehingga kritikan itu dianggap salah olehnya. Sementara si paman merasa buku itu baik karena bisa saja memberikan "pencerahan"  kepada Baswedan. Penolakan dari Baswedan itu membuat kemarahan pamannya tidak terbendung lagi. Ia pun lalu berdiri dan masuk ke kamarnya, mengadu kepada istirnya akan sikap Baswedan. Perselisihan itu pun rupanya hanyalah awal dari perselisihan lain yang terjadi antara calon menantu dengan calon mertuanya. Sikap lain Baswedan yang membuat pusing mertuanya juga terjadi saat berlangsungnya acaranya pernikahan. Pakaian mempelai pria yang seharusnya memakai jubah dari kain glangsut yang berkilau dan soraban di atas kepala, diganti oleh Baswedan dengan rompi serta celana pantalon. Hal itu menghebohkan keluarga serta warga keturunan Arab yang hadir karena tidak sesuai dengan tradisi mereka. Tidak hanya itu, ketika telah berada di atas pelaminan, Baswedan tidak bersedia berlama-lama di sana. Dengan alasan sering merasa pusing jika terlalu lama duduk, ia lebih memilih berdiam di kamarnya. Sikap Baswedan itu dianggap salah oleh mertuanya. Namun dalam pandangannya, jika ia diam di pelaminan, terlalu banyak wajah perempuan yang dilihat dan itu termasuk haram. “Dengan mengikuti cerita tentang perkawinan Abdul Rahman Baswedan dapat diketahui betapa ketatnya adat dan bagaimana keberaniannya melanggar adat yang tidak sesuai dengan jalan pemikirannya,” tulis Suratmin. Perselishan terjadi juga saat ayah mertuanya menerima tamu seorang ulama terkenal di kalangan orang Arab, Syekh Abdulkadir Syahwik, dari Cirebon. Mertuanya itu berguru kepada sang ulama yang diketahui juga bertentangan dengan Mohammad Abduh. Dengan alasan demikian, sang mertua meminta Syekh Syahwik menasehati Baswedan agar tidak mengikuti pandangan Mohammad Abduh. Namun bukannya Basewedan yang dinasehati, tetapi malah mertuanya. Menurut Syekh Syahwik, Baswedan harus dibiarkan menempuh jalan dan keyakinannya sendiri. Ia meminta untuk tidak ada yang mengganggu keyakinannya. Dalam pandangan Syekh Syahwik Baswedan memiliki masa depan yang mengagumkan. Ia berpegang teguh terhadap prinsip-prinsip sufisme yang selama ini dipelajari Syekh Syahwik. “Mertua AR Baswedan terperanjat. Semenjak mendengar kata-kata ulama yang dikaguminya itu, maka bila terjadi bentrokan paham dengan menantunya itu tidak lagi menunjukkan sikap yang tajam,” ungkap Suratmin.

  • Taktik Penyakit Sultan Agung

    Dalam tiga tahun terakhir kekuasaannya (1610–1613), Panembahan Krapyak berusaha menaklukkan Surabaya. Ia sampai mengirim utusan kepada Gubernur Jenderal Pieter Both di Maluku untuk mengadakan persekutuan. Ia menganggap Mataram dan VOC punya musuh yang sama: Surabaya. Ajakan itu membuat VOC dapat mendirikan pos dagang di Jepara di bawah pengawasan Mataram, tetapi masih tetap memiliki posnya di Gresik yang berada di bawah pengawasan Surabaya. “Lawan Krapyak yang paling kuat adalah Surabaya,” tulis sejarawan M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 . Menurut Ricklefs, sebuah dokumen VOC dari tahun 1620 menggambarkan Surabaya sebagai sebuah negara yang kuat dan kaya. Luas wilayahnya kira-kira 37 km, yang dikelilingi sebuah parit dan diperkuat dengan meriam. Konon pada tahun itu, Surabaya mengirim 30.000 prajurit ke medan perang melawan Mataram, tetapi tidak terlihat adanya pengurangan penduduk yang nyata di kota itu –cerita ini mungkin berlebihan. Pada 1622, Surabaya menguasai Gresik dan Sidayu. Pengaruhnya meluas ke lembah Brantas sampai Japan (Mojokerto) dan Wirasaba (Majaagung). Penguasa Sukadana di Kalimantan juga mengakui kekuasaan Surabaya. Kapal-kapal dagang Surabaya terlihat di seluruh kepulauan, dari Malaka sampai Maluku. Panembahan Krapyak meninggal dunia pada 1613. Ia digantikan anaknya, Sultan Agung, raja terbesar Mataram. Sultan Agung melanjutkan politik ekspansi ayahnya. Ia lebih dulu menaklukan daerah-daerah sekutu Surabaya: Malang dan Lumajang (1614), Wirasaba (1615), Lasem (1616), Tuban (1619), Sukadana (1622), dan Madura (1624). “Dari tahun 1620 sampai 1625, Sultan Agung mengepung Surabaya dan membinasakan hasil-hasil panennya,”tulis Ricklefs.“Akhirnya, pada 1625 Surabaya berhasil ditaklukan, bukan karena diserang melainkan karena mati kelaparan.”    Menurut sejarawan H.J. de Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung , strategi Sultan Agung menaklukan Surabaya dengan cara membendung Kali Mas, cabang dari Sungai Brantas. Hanya sebagian dari air tersebut melewati bendungan. Air yang sedikit itu menjadi busuk karena keranjang-keranjang berisi bangkai binatang dan buah aren, yang diikat pada tonggak-tonggak di dalam kali. “Karena itu, penduduk Surabaya dihinggapi bermacam-macam penyakit: batuk-batuk, gatal-gatal, demam, dan sakit perut,” tulis De Graaf. Surabaya pun menyerah. Kota jatuh ke tangan penakluk dalam keadaan utuh. Laporan ke Negeri Belanda tanggal 27 Oktober 1625 menyebutkan: “Pada musim panas ini Surabaya menyerah kepada raja Mataram, tanpa perlawanan, hanya karena berkurangnya rakyat dan karena kelaparan, sehingga dari 50–60 ribu jiwa tinggal tidak lebih dari seribu.” Bahkan Daghregister , 1 Mei 1624, menyebut tinggal “500 jiwa, sisanya meninggal dan hilang karena keadaan menyedihkan dan karena kelaparan”. “Dengan jatuhnya Surabaya,” tulis De Graaf, “maka selesailah penaklukan bagian timur Jawa yang beragama Islam.” Pada saat Surabaya takluk, menurut Ricklefs, sudah muncul kekuatan baru di Jawa, yaitu VOC di Batavia. Sultan Agung lebih dulu mengarahkan perhatiannya terhadap musuh-musuhnya yang Jawa daripada VOC, tetapi perhatiannya akan segera beralih menghadapi orang-orang Eropa itu. Mataram Menyerang VOC di Batavia Sultan Agung mengerahkan pasukannya untuk menyerang VOC di Batavia pada Agustus–November 1628. Serangan pertama itu gagal. Menurut De Graaf, ketika tidak melihat kemungkinan untuk merebut Batavia dengan penyerbuan mendadak, maka digunakanlah cara yang telah diuji keberhasilannya pada pertempuran di Surabaya, yaitu membendung sungai. Untuk itu, dipekerjakan 3.000 orang, namun kemajuannya lamban karena mereka kelaparan dan serba kekurangan. “Mereka berusaha menimbulkan wabah penyakit pes,” tulis Willard Anderson Hanna dalam Hikayat Jakarta . “Akan tetapi, di kalangan pasukan Mataram sendiri beratus-ratus yang jatuh sakit dan meninggal, yang menambah penderitaan mereka.” Sutrisno Kutoyo, dkk., dalam Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia menyebut bahwa jika Sungai Ciliwung dapat dibendung, Kompeni tidak akan menyerah karena mereka tinggal di dalam benteng-benteng dan sudah mempunyai persediaan bahan makanan serta air yang dapat diambil dari sungai Untung Jawa yang bebas dari penjagaan prajurit Mataram atau Banten. “Mereka juga telah menggali sumur-sumur untuk mengatasi kekurangan air. Untuk pertahanan, sungai-sungai di dalam kota dihubungkan dan dipasang pintu-pintu air gejlegan yang sewaktu-waktu dapat dibuka dan ditutup. Di tempat-tempat itu selalu dijaga dan di setiap sudut benteng didirikan bastilon atau cakruk sebagai rumah penjagaan,” tulis Sutrisno. Menurut sejarawan Adolf Heuken dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta , serangan kedua Mataram pada (21 Agustus–2 Oktober) 1629 yang disiapkan lebih lama juga gagal. Penyebabnya, logistik Mataram dihancurkan VOC, angkatan lautnya lemah, dan jarak antara Jawa Tengah dan Batavia jauh, sehingga prajurit capai apalagi membawa meriam-meriam yang berat. Karena takut dihukum bila pulang tanpa kemenangan, cukup banyak pasukan Mataram yang menetap di sekitar Batavia yang kosong penduduknya, di antaranya di daerah yang sekarang bernama Matraman (dari kata Mataram) di Jakarta Timur. “Namun, kurang lebih lima puluh persen angkatan perang Sultan Agung mati karena kelaparan, penyakit, kecapaian, hukuman, dan peluru Belanda,” tulis Heuken. Sultan Agung memang gagal mengalahkan VOC. Namun, VOC sendiri kehilangan gubernur jenderalnya. Jan Pieterszoon Coen meninggal dunia karena penyakit kolera pada 20 September 1629.

  • Olimpiade Tokyo Punya Cerita

    SEPERTI ajang-ajang olahraga lain, Olimpiade Tokyo 2020 turut terimbas pandemi COVID-19 (virus corona ). Otoritas setempat akhirnya memutuskan olimpiade musim panas ke-32 yang mestinya dibuka pada 24 Juli 2020 itu ditunda tahun depan. Penjadwalan ulang Olimpiade Tokyo 2020 itu diambil lewat keputusan bersama ketua komite panitia lokal Mori Yoshiro, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, dan Presiden Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach pada Selasa (24/3/2020). Pun dengan jadwal Paralimpiade Tokyo 2020 yang acap jadi agenda susulan olimpiade, yang sebelumnya dijadwalkan 25 Agustus-6 September 2020. “Dalam pembicaraan dengan Perdana Menteri Abe via telefon kami menyepakati bahwa Olimpiade XXXII di Tokyo dan Paralimpiade 2020 harus dijadwalkan ulang setelah 2020, namun diharapkan waktunya tidak lebih dari musim panas 2021, demi menjaga kesehatan para atlet dan semua yang terlibat dalam olimpiade dan masyarakat internasional,” ungkap Bach dalam laman resmi IOC , Selasa (24/3/2020). “Kami juga mengharapkan tahun depan dalam Olimpiade Tokyo akan menjadi selebrasi kemanusiaan, selepas mengatasi krisis pandemi COVID-19. Oleh karenanya obor olimpiade akan tetap berada di Jepang sebagai simbol komitmen kami dan juga simbol harapan,” lanjutnya. Thomas Bach, Presiden IOC mengumumkan Olimpiade Tokyo 2020 ditunda tahun depan sebagai imbas pandemi COVID-19 (Foto: olympic.org ) Penundaan olimpiade juga pernah terjadi delapan dasawarsa silam di negeri yang sama. Namun, penyebab kejadian 80 tahun lalu itu berbeda dari hari ini. Jika Olimpiade Tokyo 2020 ditunda karena pandemi COVID-19, Olimpiade Tokyo 1940 ditunda, dialihkan, bahkan sampai dibatalkan gegara Perang Dunia II. Penundaan itu mengulang kejadian di Olimpiade Berlin 1916 akibat bergolaknya Perang Dunia I , dan kembali terulang di Olimpiade London 1944 karena Perang Dunia II masih membara di Eropa, Afrika Utara, dan Pasifik. Olimpiade Pertama Bumi Timur Syahdan pada 1932 pemerintah Jepang yang merasa olahraganya sudah maju sejak menggelar Far Eastern Games 1930 di Tokyo, merasa harus ikut dalam bidding penentuan tuan rumah Olimpiade 1940. Mengutip Sandra Collins dalam The 1940 Tokyo Games: The Missing Olympics , kala itu Tokyo bersaing dengan tiga kota lain: Barcelona (Spanyol), Roma (Italia), dan Helsinki (Finlandia) . Jepang juga merasa harus lebih mendekatkan diri dalam masyarakat dunia setelah  dikecam gegara Insiden Mukden atau invasi militer Jepang ke Manchuria di timur laut China pada 18 September 1931 dan mendirikan negara boneka Manchukuo. Jepang menganggap olahraga sebagai wahana tepat untuk politik “cari muka” alias pendekatan diplomatis kepada negara-negara Barat di Liga Bangsa-Bangsa. “Para politisi Jepang membayangkan Olimpiade Tokyo akan menjadi alat untuk mengalihkan pandangan dunia Barat terhadap sejarah dan budaya di Asia Timur. Utamanya setelah Jepang gagal memaksa Liga Bangsa-Bangsa mengakui negara boneka mereka, Manchukuo,” tulis Collins. “Olimpiade Tokyo 1940 juga sangat penting bagi sejarah modern Jepang. Lebih jauh lagi, kota Tokyo dan pemerintah Jepang ingin merayakan berdirinya peradaban kuno Jepang ke-2600 ( Kigen 2600nen ) dengan menjadi tuan rumah Olimpiade 1940,” imbuhnya. Tiga dari 131 atlet Jepang yang berjaya di Olimpiade Los Angeles 1932 (Foto: Repro "Disseminating discourses of Tokyo through the medium of the International Olympic Movement") Jepang sendiri bukan “anak kemarin sore” di pesta olahraga terbesar itu. Sejak Olimpiade Stockholm 1912 negeri itu sudah rutin berpartisipasi. Sebagai wakil Asia, prestasi Jepang lumayan bagus. Di Olimpiade Los Angeles 1932, kontingen Jepang berisi 131 atlet membawa pulang masing-masing tujuh medali emas dan perak serta empat perunggu. Kampanye bidding digulirkan pemerintah Jepang sejak 1932 kala IOC membuka kesempatan bagi negara-negara yang ingin mengajukan diri sebagai tuan rumah. Tokyo mulanya bersaing dengan Alexandria, Barcelona, Budapest, Buenos Aires, Dublin, Helsinki, Milan, Montreal, Rio de Janeiro, Roma, dan Toronto. Namun seiring waktu, jumlah 12 kandidat menyusut sampai tinggal menyisakan Tokyo dan Helsinki. Menukil ulasan John E. Findling dan Kimberly D. Pelle dalam Encyclopedia of the Modern Olympic Movement, sebelumnya pihak Jepang menebar lobi-lobi, salah satunya Roma, untuk kemudian mendukung Tokyo dengan cara-cara politis.  “Jepang lewat anggota IOC-nya Michimasa Soyeshima sukses bernegosiasi dengan (Perdana Menteri Italia, Benito) Mussolini , hingga sang Duce membatalkan proposal pengajuan Roma. Mussolini setuju mendukung Tokyo dengan imbalan Tokyo akan mendukung Roma untuk Olimpiade 1944,” ungkap Findling dan Pelle . Tiga dari sejumlah poster kampanye Jepang kala mengajukan diri sebagai tuan rumah Olimpiade 1940 (Foto: olympic-museum.de ) Pada rapat IOC 29 Juli 1936, sebelum pembukaan Olimpiade Berlin, kandidat yang tersisa hanya Tokyo dan Helsinki. Keduanya dianggap IOC paling sesuai dengan tema universalitas dalam olahraga. Helsinki sebagai ibukota negara kecil di Eropa, dan Tokyo sebagai perwakilan Timur jauh. Namun Tokyo punya satu “senjata” yang tak dipunya Helsinki. “Tokyo menawarkan satu juta yen (USD500 ribu) subsidi perjalanan bagi para delegasi olimpiade. Juga menawarkan biaya akomodasi para delegasi olimpiade yang ditanggung penuh selama penyelenggaraan olimpiade,” tambah Findling dan Pelle. Dalam pemilihan suara para anggota IOC, Tokyo menang 36 suara dibandingkan Helsinki yang mendapat 27 suara. Tokyo dinobatkan sebagai tuan rumah olimpiade pertama di bumi belahan Timur, sebelumnya olimpiade hanya dihelat di dunia belahan barat. Pemerintah kota Tokyo merayakannya dengan menggelar festival rakyat hingga tiga malam. “Olimpiade Tokyo 1940 juga menjadi instrumen dalam melegitimasi retorika IOC bahwa misi olimpiade adalah olahraga yang universal. IOC kemudian mempromosikan bahwa olimpiade adalah ajang bagi semua bangsa, terlepas perbedaan ideologi politik,” sambung Collins. Ditunda, Dialihkan, hingga Dibatalkan Setelah terpilih menjadi tuan rumah olimpiade, Jepang bersiap diri. Pembangunan venue-venue secara kolosal dilakukan di Komplek Meiji Shrine Outer Garden. Upacara pembukaanya diputuskan di Stadion Meiji Jingu, sebagaimana presentasi panitia lokal Jepang yang diperlihatkan kepada Presiden IOC Henri de Baillet-Latour pada kampanye pengajuan tuan rumah 1932. “Namun Biro Kuil Suci di Kementerian Dalam Negeri Jepang jelang persiapan pembangunan pada 1936 keberatan jika panitia lokal melakukan renovasi kolosal yang justru akan merusak keindahan kompleks kuil itu. Belum lagi mereka cemas rusaknya tempat-tempat keramat karena akan dibanjiri atlet-atlet asing. Setelah perdebatan selama setahun, pihak panitia akhirnya memindahkan rencana pembangunan komplek venue ke Komazawa Golf Park,” kata Finlding dan Pelle. Untuk rute perjalanan obor olimpiade, IOC mengusulkan obornya dibawa oleh para pelari dan penunggang kuda secara relay dari Athena, Yunani ke Tokyo sepanjang 10 ribu kilometer. Rutenya menggunakan Jalur Sutra yang membentang di Asia Tengah. Usul itu ditentang Jepang lantaran jalurnya melewati China, negeri yang masih terlibat pertikaian dengannya. Sementara, Komite Olahraga Jepang mengusulkan, obor olimpiade dibawa dari Athena ke Tokyo menggunakan kapal laut atau pesawat dengan rute Asia Selatan. Panji Olimpiade Tokyo 1940 dan rencana pembangunan komplek olahraga yang sayangnya batal digelar (Foto: Tokyo Museum) Namun belum juga rute obor olimpiade itu disepakati, ia dikacaukan oleh perubahan politik. Sejak kaum militer menguasai pemerintahan Jepang pada 1937, haluan politik internasional Jepang berubah. Utamanya setelah Perang Sino-Jepang II , 7 Juli 1937 atau Insiden Shanghai ke-2. Akibatnya, Far Eastern Games 1938 pun dibatalkan. Sejumlah anggota legislastif Jepang mulai meminta pemerintah membatalkan pula Olimpiade 1940. Namun, Komite Olimpiade Jepang masih berupaya meyakinkan IOC dan negara-negara anggotanya bahwa perang akan segera berakhir dan olimpiade bisa tetap digelar atau setidaknya ditunda. Namun, IOC didesak negara-negara Barat untuk memboikot atau membatalkan Olimpiade Tokyo 1940. Pada rapat IOC di Kairo, Mesir medio Juli 1938, diputuskan Tokyo kehilangan haknya sebagai tuan rumah. Helsinki yang sebelumnya bersaing ketat dengan Tokyo, dipilih sebagai tuan rumah alternatif Olimpiade 1940. Sialnya, Helsinki pun batal menggelar olimpiade ke-12 itu akibat meletusnya Perang Dunia II.

  • Bercermin dari Bantuan Pokok Pemerintah Kolonial di Tengah Wabah

    Jakarta lengang pasca-imbauan Work From Home (WFH, Kerja dari Rumah) dikeluarkan Minggu, 15 Maret 2020. Orang-orang melakukan karantina diri untuk mengcegah penularan Covid-19 makin meluas. Mereka hanya keluar rumah seperlunya. Meski demikian, sebagian warga masih harus berjibaku dan berdesakan di kereta rel lisrik demi menyambung hidup. Layanan transportasi online pun sepi peminat. Kondisi itulah yang dikhawatirkan pengemudi ojek online, bajaj, taksi, pedagang, dan orang yang bekerja harian sejak imbauan WFH keluar. Indonesia sebenarnya memiliki undang-undang (UU) yang mengatur tentang bantuan kebutuhan pokok kala karantina kesehatan ( lockdown ) ditetapkan pemerintah. UU ini keluar pada 2018 kala Nila Moeloek menjabat sebagai menteri kesehatan. Dalam pasal 52 dan 55 UU Karantina Kesehatan 2018 disebutkan bahwa, selama penyelenggaraan Karantina Rumah (pasal 52) dan karantina wilayah (pasal 55), kebutuhan hidup dasar warga dijamin oleh pemerintah pusat. Lebih jauh, pemerintah juga diamanatkan untuk menanggung urusan pangan ternak warga yang dikarantika wilayah atau rumah. Ayat 2 pasal 52 dan 55 berbunyi, tanggung jawab Pemerintah Pusat dalam penyelenggaraan karantina rumah atau wilayah dilakukan dengan melibatkan Pemerintah Daerah. Hingga kini, di Jakarta sebagai kota dengan sebaran virus korona terbanyak, belum ada perintah karantina wilayah ( lockdown ) dari pemerintah. Yang ada hanya imbauan untuk tidak keluar rumah. Bantuan bahan pokok sebagai bagian dari UU Karantina Kesehatan pun belum ada. Masyarakat pun bergerak sendiri bahu-membahu menggalang dana dan keperluan untuk para tenaga medis atau kelompok masyarakat rentan. Mereka mentraktir kurir makanan atau membagikan makanan ke orang yang bekerja harian. Dalam masa kritis seperti ini, rasa kemanusiaan tak terkikis begitu saja. Apabila menilik sejarah, pemberian bantuan kala pageblug melanda Hindia Belanda pernah dilakukan pemerintah kolonial. Pada awal 1846, epidemi misterius muncul di Jawa Tengah. Liesbeth Hesselink dalam bukunya Healers on the Colonial Market menduganya sebagai wabah tifus, mengingat gejalanya serupa. Para penderita dikarantina, sementara yang sehat diminta membatasi aktivitas. Biaya karantina bagi orang yang membutuhkan ditanggung oleh pemerintah. Sementara, orang-orang yang melanggar aturan karantina didenda f . 2000 untuk orang Eropa atau maksimal dua tahun penjara. “Untuk orang pribumi, maksimal dua tahun kerja paksa atau f .2000. Jumlah yang sangat besar bagi pribumi,” kata Liesbeth pada Historia . Dua tahun sebelum wabah pecah, pada 1844 terjadi gagal panen padi di Indramayu. Akibatnya, kata Peter Bloomgaard dalam “Rice Sugar and Livestock in Java”, antara 1815-1836 terdapat penurunan hasil panen. Jumlah produksi beras pada 1815 mencapai 1,650 kg/hektar. Jumlah itu turun menjadi 1,360kg/hektar pada 1836. Ia menilai, penurunan itu diakibatkan oleh pengenalan Sistem Tanam Paksa pada 1830. Pemerintah kolonial mengharuskan petani menanam tanaman yang laris di pasar Eropa seperti gula, nila, dan tembakau. Tanaman wajib itu mengambil proporsi tanah subur yang ada. Akibatnya, panen padi berkurang. Ditambah pajak yang dibebankan pada rakyat, kelaparan pun terjadi pada 1840-an. Gagal panen padi itu berpengaruh signifikan pada kelaparan dan kemunculan wabah. Pendapat ini disampaikan oleh dokter Willem Bosch, kepala Dinas Kesehatan Koloni. Menurut Bosch, penyakit ini menyebar dengan cepat karena kondisi hidup yang buruk, terutama kelangkaan beras. Tanpa penanganan yang tepat, epidemi dapat berlangsung untuk waktu yang lama. Bosch menambahkan, obat terbaik adalah panen beras berlimpah. “Komentarnya tentang kelangkaan beras ini secara tidak langsung mengkritik kebijakan kolonial yakni Sistem Tanam Paksa,” kata Liesbeth. Bosch bukan dokter kemarin sore. Jam terbangnya dalam menangani masalah kesehatan di negeri jajahan tinggi. Kariernya sebagai petugas kesehatan di Hindia Belanda dimulai sejak 1818-1839. Sebelum diangkat sebagai kepala Dinas Kesehatan Koloni 1845, Bosch sempat kembali ke Belanda. Dia tiba di Jakarta pada pertengahan 1845 untuk mengambil jabatannya. Pada 1847, Gubernur Jenderal J.J. Rochussen meminta nasihat Bosch perihal wabah di Jawa Tengah. Atas permintaan inilah Bosch melakukan riset kesehatan tentang penyebab wabah. Pada 13 April 1847 giliran Sekretaris Jenderal C. Visscher meminta Bosch memberi usulan langkah kesehatan yang bisa diambil pemerintah kolonial untuk menangani wabah. Keesokan harinya, Bosch langsung menjawab pertanyaan kedua pejabat itu melalui surat. Menurutya, wabah terjadi karena musim yang tidak menguntungkan, akomodasi buruk, pakaian tidak memadai, dan makanan tidak mencukupi. Ia juga menekankan penduduk membutuhkan bantuan segera agar tak makin banyak korban. Mengingat produksi beras sedang turun sementara penduduk yang tak tertular harus menjaga kesehatan agar tak menambah daftar pasien, Bosch usul agar pemerintah memberikan bentuan dana f . 10 per hari pada setiap pasien untuk membeli makan dan keperluan lain. Militer ditugaskan untuk membagikan bedcover atau selimut pada warga terdampak wabah yang tinggal di daerah berbukit dan suhu rendah. Pasien dalam radius 6 hingga 9 km harus dibawa ke tempat perawatan untuk dikarantina. Ia juga meminta agar pemerintah Belanda mengirim kina, yang manjur untuk mengatasi demam, sebanyak 5 kg per bulan ke negeri jajahan sampai epidemi berakhir. Bosch tak lupa memperhatikan kesejahteraan petugas medis yang jadi garda depan dalam pemberantasan wabah. Diusulkannya agar seluruh petugas kesehatan yang ikut menangani wabah mendapat status pegawai negeri sipil Eropa. Peimpin pribumi juga dikerahkan untuk mengawasi administrasi regular dan distribusi obat-obatan pada penduduk. Pada 25 April 1847, Gubernur Jenderal Rochussen meneruskan usulan Bosch pada Menteri Koloni JC Baud. Namun dalam memonya, Rochussen berkomentar sinis pada usulan Bosch. Rochussen menilai usulan Bosch sebagai sebuah pemborosan. “Ketika wabah merebak, Dinas Kesehatan mengusulkan agar dokter-dokter Eropa merawat penduduk Jawa dan mengelola obat-obatan Eropa. Betapa wabah ini jadi masa penuh kemakmuran bagi Layanan Medis!” kata Rochussen. Bagi Rochussen, pembangunan klinik kesehatan dan barak karantina di tiap daerah, distribusi selimut, beras untuk orang sakit, beras untuk mencegah orang sehat jatuh sakit adalah pemborosan besar-besaran. “Dia (Bosch) ingin memaksa orang Jawa untuk berpakaian lebih baik, tidak tinggal di gubuk bambu di bawah pohon pisang,” kata Rochussen dalam suratnya. Meski respons sinis Rochussen menjadi pertanda tidak baik bagi proposal Bosch, pada 20 Mei 1847, Sekretaris Jenderal C. Visscher langsung menghubungi Bosch. Dia setuju untuk membagikan selimut. Tapi Visscher ragu apakah kina dari Belanda akan tiba sebelum epidemi berakhir. Kala itu, butuh waktu dua bulan untuk mengirim surat dari Batavia ke Den Haag. Jika ia cepat bergerak, Visscher memperkirakan epidemi akan berakhir dalam waktu empat bulan. “Pemerintah Hindia Belanda berusaha mencegah wabah makin memburuk dengan cara yang seringan mungkin,” kata Liesbeth dalam bukunya. Namun Rochussen tetap menganggap enteng masalah wabah in dan meyakini Bosch hanya melebih-lebihkan soal wabah. “Saya ingin percaya bahwa epidemi parah memang terjadi dengan banyak nyawa hilang, tetapi saya tidak percaya bahwa wabah ini seburuk yang dikatakan orang,” kata Rochussen. Menurutnya, usulah Bosch punya ruang untuk dimanfaatkan orang pribumi menghindari kerja paksa dan jadi alasan bila terjadi gagal panen. Bosch menjawab sinisme Rochussen dengan tajam. Kalau mau wabah segera berakhir, paket tindakan yang diusulkannya harus dilaksanakan tanpa batasan. Setelah berunding dengan Dewan Hindia, diputuskan untuk terus mengirim petugas kesehatan sementara ke daerah-daerah yang paling parah terkena dampak. Para petugas diberi stok obat-obatan yang cukup, terutama kina. Otoritas lokal didesak untuk memberi mereka setiap bantuan yang diperlukan. Selimut bekas tentara Hindia disediakan bagi penduduk. Proposal Bosch lainnya ditolak, seperti pemberian f. 10 pada penderita yang dikarantina. “Meski terdapat komentar negatif, catatan bahwa 'sebagian besar bupati' mendukung rekomendasi, itu menarik,” tulis Liesbeth.

  • Adiós Lorenzo Sanz!

    SELAIN Italia, Spanyol jadi negara Eropa terparah dalam pandemi COVID-19 . Per Senin (23/3/2020), negeri matador itu sudah mencatatkan lebih dari 33 ribu warganya positif terjangkit virus corona . Sebagaimana Jakarta, ibukota Madrid pun merupakan epicenter pandemi yang sudah merenggut lebih dari 2.100 jiwa di seluruh dunia itu.   Salah satunya, eks bos klub raksasa Real Madrid   Lorenzo Sanz Mancebo. Lorenzo Sanz wafat pada Sabtu (21/3/2020) malam waktu setempat atau Minggu 22 Maret 2020 WIB setelah delapan hari dirawat di Hospital Universitario Fundación Jiménez Díaz, Madrid, di usia 76 tahun. Ia positif terpapar virus corona  dan mengalami demam tinggi hingga kemudian menderita gagal ginjal. Bagi segenap stakeholder  klub terbesar ibukota itu, Sanz dikenal sebagai sosok yang mengembalikan kejayaan Madrid di persepakbolaan Eropa setelah melempem di lebih dari tiga dekade. Dua gelar Liga Champions (1998 dan 2000) merupakan warisannya sepanjang 15 tahun mengabdi di klub. Lorenzo Sanz (kanan) dan suksesornya sejak 2000 Florentino Pérez Rodríguez (Foto: realmadrid.com ) “Hari ini kita mengenang Lorenzo Sanz, yang ikut menjadi korban dalam tragedi (pandemi COVID-19) ini. Beliau presiden yang memberi kita gelar Eropa setelah penantian 32 tahun. La Séptima (gelar Liga Champions ketujuh), kemudian diikuti La Octava (gelar kedelapan) dua tahun berikutnya kala Real Madrid kembali ke tempatnya yang layak dalam buku sejarah, adalah berkat dia,” ujar Presiden Real Madrid Florentino Pérez di laman resmi klub , 22 Maret 2020. “Kita kehilangan seorang madridista hebat yang mendedikasikan sebagian besar hidupnya dan keluarganya untuk Real Madrid. Gairahnya terhadap Real Madrid akan selalu hidup. Kini kita menghormati kenangan dan warisannya. Lorenzo layak mendapat pengakuan dan penghormatan tertinggi,” lanjutnya. Madridista Sejak Kanak-Kanak Tidak banyak yang bisa diketahui tentang latarbelakang keluarga Lorenzo Sanz. Obituari yang dituliskan Sid Lowe bertajuk “Lorenzo Sanz: The Man Who Recovered the European Cup for Real Madrid” di The Guardian , Minggu (22/3/2020), hanya menyebutkan sosok kelahiran Distrik Chamberí, Madrid, 9 Agustus 1943 itu merupakan anak bungsu dari 10 bersaudara. Sanz tumbuh di Distrik Carabanchel.Di sanalah ia kenal dan berkawan dengan Ramón Mendoza yang kelak ia gantikan sebagai presiden Real Madrid. Ayah Sanz mantan jawara tinju amatir yang turut jadi fans die hard Real Madrid. Karena itulah sejak kanak-kanak Sanz sudah jadi madridista. Lorenzo Sanz Mancebo meninggal di usia 76 tahun setelah terjangkit virus corona (Foto: realmadrid.com ) Sejak usia 10 tahun Sanz loyal menyaksikan El Real berlaga di stadion Santiago Bernabéu bersama neneknya, sekaligus menjajakan air minum kepada para penonton lain. Bersama ayahnya ia turut jadi saksi kala Madrid merebut gelar kedua European Cup (kini Liga Champions) di kandang sendiri pada 30 Mei 1957. Saat itu Madrid menjungkalkan Fiorentina 2-0 di final berkat penalti Alfredo Di Stéfano dan gol Paco Gento. Sejak usia 10 tahun Sanz loyal menyaksikan El Real  berlaga di stadion Santiago Bernabéu bersama neneknya, sekaligus menjajakan air minum kepada para penonton lain. Bersama ayahnya ia turut jadi saksi kala Madrid merebut gelar kedua European Cup (kini Liga Champions) di kandang sendiri pada 30 Mei 1957. Saat itu Madrid menjungkalkan Fiorentina 2-0 di final berkat penalti Alfredo Di Stéfano dan gol Paco Gento. Beranjak dewasa, menurut Steven G. Mandis dalam  The Real Madrid Way: How Values Created the Most Successful Sports Team on the Plane t, Sanz sempat berkiprah di lapangan hijau sebelum beralih jadi pebisnis. Hingga usia sekolah menengah atas, Sanz pernah membela beberapa klub level Tercera División regional Comunidad de Madrid alias kasta keempat Liga Spanyol, seperti   RCD Carabanchel dan CD Puerta Bonita.   Posisinya   adalah kiper. Mulai 1970-an, ia terjun ke bisnis properti dan mulai naik daun sebagai konglomerat baru satu dekade berikutnya. Kala Mendoza, kawan kecilnya dari Distrik Carabanchel, menjadi presiden Real Madrid pada 24 Mei 1985, Sanz diajak menjadi salah satu anggota dewan direksi klub. Bersama Mendoza, Sanz turut menggodok strategi baru buat klub yang di awal 1980-an miskin gelar di kancah domestik. “Strategi baru klub adalah mengembangkan dan mempromosikan pemain-pemain dari akademi muda La Fábrica. Pemain-pemain muda lokal itu kemudian membawa kesuksesan hingga memunculkan julukan ‘La Quinta del Buitre’ yang mengambil sebutan dari julukan pemain andalan mereka, Emilio Butragueño (‘El Buitre’). Empat andalan lokal lainnya kala itu adalah Manuel Sanchís, Martín Vásquez, Míchel del Campo, dan Miguel Pardeza,” tulis Mandis. Kolase momen Lorenzo Sanz kala Real Madrid mendulang La Séptima (gelar keenam Liga Champions) pada 1998 (Foto: realmadrid.com ) Menyusul sukses Madrid menjuarai La Liga lima musim berturut-turut (1985-1990), jabatan Sanz naik hingga menjadi wakil presiden klub. Sanz akhirnya menggantikan kawan lamanya itu sebagai suprema klub, usai Mendoza dipaksa mundur oleh keputusan mayoritas dewan direksi. “Sanz dipilih sebagai presiden Real Madrid pada 26 November 1995 menggantikan Mendoza yang dipaksa turun jabatan setelah klub menumpuk utang besar hingga 1,2 miliar peseta. Mendoza juga sangat kentara memanfaatkan popularitas klub untuk kepentingan politiknya,” ungkap Gabriele Marcotti dalam biografi Fabio Capello, Portrait of a Winner . Sebagai presiden Sanzjustru enggan mengulangi strategi pendahulunya. Ia merasa klub harus punya imej baru yang diharapkan berbanding lurus pada keuntungan di kemudian hari. Sanz menargetkan Madrid harus bisa kembali mengglobal dengan menjadi raja Eropa. Toh Madrid sudah terlalu lama puasa gelar Eropa sejak terakhir kali juara Piala Champions pada 1966. Maka itu di awal kepemimpinannya Sanz tak segan merogoh koceknya sendiri untuk mendatangkan sejumlah pemain bintang macam Davor Šuker, Predrag Mijatović, Clarence Seedorf, dan Roberto Carlos. Untuk posisi entrenador (pelatih), Sanz merekrut Capello, pelatih asal Italia yang sebelumnya sukses membanjiri AC Milan dengan empat gelar Serie A dan masing-masing satu Piala Champions dan Piala Super Eropa pada 1994. Mati dengan Tenang Mendatangkan sejumlah bintang ke Madrid tak serta-merta mendatangkan gelar ke klub yang dulunya bernama Royal Madrid itu. Sambil menantinya, Sanz terusaktif di bursa transfer untuk berturut-turut mendatangkan beberapa pemain bintang lain yang tentunya tak murah. Hingga tahun 2000, tak terhingga peseta yang berasal dari pinjaman bank dikeluarkan Sanz untuk mendatangkan para bintang. Selain Míchel Salgado yang kelak menjadi menantunya, Sanz juga mendatangkan Christian Karembeu yang diincar klub Barcelona, hingga Nicholas Anelka yang pada 1999 menjadi pemain termahal dengan nilai transfer 5,54 miliar peseta (USD38 juta) dari Arsenal. “Ditambah Geremi Njitap, Elvir Baljić, Júlio César, Rodrigo, Edwin Congo, dan Iván Helguera. Ada juga yang didapat dengan free transfer seperti Christian Panucci dan Steve McManaman. Namun yang tak disadari fans dan publik adalah, utang Madrid kian menggunung hingga mencapai 9 miliar peseta dari pinjaman bank. Sukses di lapangan ternyata tak berbanding lurus dengan kesuksesan finansial,” singkap Sid Lowe dalam Fear and Loathing in La Liga: Barcelona, Real Madrid and the World’s Greatest Rivalry. Kolase momen Lorenzo Sanz kala Real Madrid menyabet La Octava (gelar ketujuh Liga Champions) pada 2000 (Foto: realmadrid.com ) Tidak hanya pemain, Sanz juga “hobi” gonta-ganti pelatih. Ia dikenal tak harmonis dengan sejumlah pelatih yang ia rekrut. Sepanjang kepresidenannya, Sanz pernah menggunakan jasa Jorge Valdano, Vicente Del Bosque, Arsenio Iglesias, Capello, Jupp Heynckes, José Antonio Camacho, Guus Hidding, dan John Toshack sebagai pelatih Madrid. Biaya tinggi yang dikeluarkan Sanz memang akhirnya membuat Madrid sukses merajai Eropa dua kali. Utamanya, kala klub menuntaskan dahaga gelarnya selama 32 tahun pada musim 1997-1998. Di final Champions kontra Juventus di Amsterdam Arena, 20 Mei 1998, Mijatovic menjadi pahlawan dengan gol tunggalnya di menit ke-66. Momen itu kemudian jadi bab baru bagi citra Madrid sebagai langganan juara Eropa hingga kini. “Ketika kami pulang, kami tak pernah melihat begitu banyak warga Madrid tumpah ruah menyambut selebrasi. Momen itu yang mengubah mentalitas Real Madrid. Momen yang sekaligus mengangkat beban sejarah dari pundak kami yang sudah dinanti begitu lama,” kata Fernando Sanz, putra Lorenzo Sanz, yang kala itu juga bermain sebagai bek Real Madrid, dikutip Lowe. Madrid di bawah Sanz kembali jadi kampiun Champions di musim 1999-2000 . D i final yang digelar di Stade de France, Saint-Denis, Prancis , 24 Mei 2000 , Madrid menang telak 3-0 dari sesama klub Spanyol, Valencia. Sayangnya, beberapa bulan setelah itu Sanz gagal mempertahankan jabatannya.Dalam pemilihan tahun itu, kursinya direbut Florentino Pérez yang memenangkan pemilihan suara. Meski Sanz sebagai peletak fondasi “Galácticos” yang kelak disempurnakan Pérez, ia kalah gegara persoalan utang Madrid yang terus membengkak. Selain itu, Pérez menggunakan “senjata” bahwa dia bakal membajak Luis Figo dari tim rival Barcelona. Setelah kehilangan jabatan presiden, Sanz sempat dua kali lagi menjajal pemilihan yang berujung kandas. Ia kemudian membeli klub medioker, Málaga CF. Pada 2006, Sanz membeli 97 persen saham klub asal Andalusia itu, namun menyerahkan kursi kepresidenan klub untuk dipegang putranya, Fernando Sanz. Lorenzo Sanz (kanan) dan putranya Fernando Sanz Durán (Foto: realmadrid.com ) Terlepas dari “dosanya” menumpuk utang buat Madrid, kepemimpinan Sanz membuka bab anyar bagi citra Madrid yang tidak hanya disegani di pentas domestiknamun juga Eropa, bahkan dunia. Capaian itu merupakan warisan yang takkan dilupakan para madridista , utamanya kala Madrid mengakhiri dahaga gelar Eropa selama 32 tahun pada 1998. Momen itu pula yang paling dikenang Sanz hingga akhir hayatnya. Ia menyimpan kliping suratkabar AS yang memunculkan headline tentang momen itu di kamar mandinya. “Bagaimana saya bisa melupakan momen itu? Setiap bangun pagi dan pergi ke kamar mandi, saya selalu melihatnya. Sejarah akan menempatkan saya di tempat yang sepantasnya. Seperti janji saya sebelumnya, saya membawa trofi (Liga Champions) itu kepada raja (Spanyol). Kini saya bisa mati dengan tenang,” tandasnya dikutip Lowe.

bottom of page