Hasil pencarian
9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kubangan Darah Korban Pasukan Khusus Belanda
SUATU hari di tahun 1947. Pagi baru saja menyeruak di Kalibunder, Sukabumi Selatan kala sekelompok prajurit Belanda dari unit DST (Depot Pasukan Khusus) bermunculan dari sudut-sudut desa. Serdadu-serdadu berbaret hijau itu tengah memburu gerilyawan Republik yang beberapa jam sebelumnya telah melakukan penghadangan terhadap konvoi mereka. Tak menemukan orang-orang bersenjata, para serdadu itu malah menangkapi rakyat sipil. Salah satunya adalah Sahi. Bersama 3 warga Kalibunder lainnya, lelaki yang sehari-hari berprofesi sebagai petani itu kemudian dibawa ke pos DST di Nyalindung. “Setelah ditahan beberapa hari di Nyalindung, saya tidak tahu lagi nasib ayah saya,” ungkap Achmad Khumaedi (85), putra dari Sahi. Belakangan, Khumaedi mengetahui dari keterangan orang-orang Takokak bahwa sang ayah dan kawan-kawannya ditembak mati oleh militer Belanda di kawasan Ciwangi. Tubuh mereka dikuburkan dalam satu lubang dan baru dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Cigunung Putri puluhan tahun kemudian ketika dia mendapat kepastian bahwa tulang belulang yang ditemukan para penduduk dekat pabrik teh Ciwangi adalah ayahnya. “Saya yakin itu ayah saya, karena saya masih mengenal gesper dan cincin yang dikenakannya,” ujar Khumaedi. Sahi hanya salah satu dari ribuan korban keganasan DST (sejak Januari 1948 berubah nama menjadi Komando Speciale Troepen, disingkat KST). Selain di wilayah Ciwangi dan Takokak, antara tahun 1946—1949, unit yang dipimpin oleh Si Turki (julukan untuk Kapten R.P.P. Westerling) pun pernah meninggalkan jejak berdarah juga di kawasan lain. Berikut beberapa tempat yang pernah menjadi kubangan darah akibat keganasan KST: Sulawesi Selatan Sumber-sumber sejarah dari pihak Indonesia kerap menyebut angka 40.000 sebagai jumlah korban keganasan lasykar Si Turki di Sulawesi Selatan pada Desember 1946—Januari 1947. Selain pembunuhan, mereka pun melakukan berbagai aksi pemerkosaan sebagai salah satu metode kontra gerilya. Almarhum Maulwi Saelan (veteran pejuang Sulawesi Selatan) menjadi saksi atas kekejaman serdadu Baret Hijau itu. Salah satu rekan seperjuangannya Kapten Andi Abubakar, komandan Bataliyon I Resimen III Divisi Hasanuddin, bahkan dipenggal kepalanya oleh DST. Padahal sang kapten sedang ada dalam status sebagai tawanan dan kondisinya tengah terluka. “Mereka mempertontonkan kepala Kapten Andi di tengah Pasar Enrengkang untuk melemahkan semangat perjuangan pemuda setempat,” ujar Maulwi. Westerling sendiri tak pernah mengakui pasukannya membunuh 40.000 orang. Dalam biografinya De Eenling (Sang Penyendiri), dia hanya mengakui jumlah pembantaian itu tidak sampai 10.000 orang. Rawagede Pada 9 Desember 1947 militer Belanda meyerbu Desa Rawagede (sekarang bernama Balongsari) di Karawang. Mereka yang terlibat dalam penyerbuan itu adalah Yon 3-9-RI Divisie 7 December, sebagian kecil prajurit 1e Para Compagnie dan 12 Genie Veld Compagnie pimpinan Mayor Alphons J.H. Wijnen. Menurut surat kabar Berita Indonesia edisi 15 Desember 1947, Insiden Rawagede diawali oleh kejadian pada 3 Desember 1947. Ketika itu, seorang putra dari agen MID (Dinas Intelijen Militer Belanda) yang berkebangsaan pribumi ditangkap dan disiksa di suatu rumah kosong yang terletak di Rawagede. Namun ia berhasil meloloskan diri dan melaporkan kejadian yang menimpanya kepada sang ayah. Dalam laporan itu disebutkan pula bahwa di Rawagede terdapat konsentrasi satu pasukan besar dari kaum Republik. Bersama seorang kawannya, agen MID yang tak disebut namanya itu lantas melaporkan informasi tersebut ke pihak militer Belanda di Karawang. Maka dikirimlah satu pasukan besar di bawah pimpinan Mayor Alphons. Di dalam pasukan itu ikut serta pula dua unit dari DST. “Diduga mereka adalah bekas algojo-algojo dari Sulawesi Selatan,” tulis wartawan Berita Indonesia . Apa yang dicurigai oleh pihak militer Belanda tak sepenuhnya salah. Menurut Kastal, di Rawagede memang ada terkonsentrasi pasukan Republik dari TNI dan lasykar. “Di Rawagede, ada markas Hizbullah, markas Barisan Banteng, markas Pesindo dan sekelompok kecil TNI dari Madiun,” ungkap eks komandan regu Hizbullah Rawagede itu. Namun kekuatan-kekuatan bersenjata itu hanya sebagian kecil dari penghuni Rawagede. Alih-alih menjadi markas besar, mayoritas penghuni Rawagede adalah petani. Maka tak aneh, jika korban terbesar dari operasi pembersihan yang dilakukan Mayor Alphons dan anak buahnya adalah mereka. Ketika bertemu dengan Telan dan Kastal, saya sempat menyebut satu persatu nama-nama korban Pembantaian Rawagede yang dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Sampurnaraga, Rawagede. Mereka memastikan dari 181 nama itu, hanya 15 orang yang diyakini sebagai anggota lasykar dan TNI. Sisanya adalah penduduk sipil termasuk seorang lelaki gila. Pihak Yayasan Rawagede sendiri mengklaim jumlah korban tewas dalam pembantaian itu sebenarnya lebih banyak yakni 431 orang. Itu tentu saja jauh lebih besar dibanding versi pihak Belanda yang hanya mengakui korban ulah tentaranya di Rawagede hanya 150 orang saja. Takokak Nama Takokak mungkin masih asing bagi para peneliti kejahatan perang Belanda di Indonesia. Namun jika anda ke sana, deretan 68 makam di Taman Makam Pahlawan Cigunung Putri seolah menjadi bukti tak terbantahkan bahwa pasukan Baret Hijau pimpinan Westerling bernah menebar maut di kawasan yang masuk dalam wilayah Kabupaten Cianjur itu. Syahdan antara 1947-1949, militer Belanda kerap menghabisi para tawanan perang di Takokak. Mereka merupakan orang-orang yang ditangkap di wilayah Sukabumi dan Cianjur dan dihukum mati tanpa melalui suatu pengadilan yang jelas. Salah satunya adalah Sahi, ayah dari Achmad Khumaedi. “Yang menjalankan hukuman mati itu pasukan Belanda baret hijau pimpinan Si Werling (mungkin maksudnya Westerling),” ungkap Atjep Abidien (95), salah satu eks pejuang Indonesia di Takokak. Berapa jumlah pasti orang-orang sipil yang menjadi korban pembantaian oleh militer Belanda di Takokak? Hingga kini, belum ada informasi pasti soal tersebut. Namun para saksi sejarah yakin bahwa jumlah sebenarnya bisa mencapai ratusan bahkan mungkin ribuan orang . “68 kerangka yang dimakamkan di Cigunung Putri itu baru yang berasal dari Puncak Bungah, dari tempat-tempat lainnya kan belum digali,” ungkap Atjep. Rengat Rabu pagi, 5 Januari 1949. Rengat diserang militer Belanda. Setelah lebih dari 5 jam pesawat-pesawat pembom mereka menghujani kota yang terletak di Riau tersebut, 7 Dakota lantas menerjunkan 180 prajurit KST. Aksi militer yang bertajuk Mud Operation (Operasi Lumpur) itu dipimpin oleh Letnan Rudy de Mey, seorang perwira pertama KST yang sangat dekat dengan Westerling. Begitu menjejakan kaki di tanah dan rawa, para prajurit KST langsung merangsek dan menguasai titik-titik penting di Rengat. Meskipun awalnya mereka harus terlebih dahulu menghadapi perlawanan sengit pasukan TNI dari Batalyon III Resimen ke-4 Divisi IX Banteng Sumatera. Demikian menurut J.A. de Moor dalam Westerling's Oorlog (Perang Westerling). Setelah tak menemukan lagi perlawanan, pasukan KST melakukan pembersihan besar-besaran. Mereka memburu para prajurit TNI dan rakyat sipil yang bersembunyi di parit-parit sungai lalu membantainya tanpa ampun. Seorang saksi bernama Wasman Rads berkisah bagaimana para prajurit KST menjejerkan para penduduk di bantaran Sungai Indragiri lalu menembak mati mereka seketika. “Air sungai yang keruh berubah menjadi kemerah-merahan (karena darah yang mengalir dari banyak tubuh korban),” ungkap Wasman seperti dikutip oleh Tim Penyusun buku Peristiwa 5 Januari 1949 di Kota Rengat Indragiri Riau suntingan Suwardi. Dalam catatan pihak Indonesia (berdasarkan keterangan di tembok prasasti peringatan Tragedi Rengat), korban tentara dan rakyat sipil yang tewas adalah 1500 orang. Namun yang teridentifikasi namanya hanya 186 orang. Pihak Belanda sendiri hanya mengakui korban tewas 270 orang. Menurut peneliti sejarah asal Belanda Anne Lot Hoek, kendati diakui oleh pihak Belanda, namun besar kemungkinan mereka menganggap banjir darah di Rengat sebagai “pembunuhan di antara sesama orang Indonesia.” Itu mengacu kepada banyaknya prajurit KST yang terlibat berasal dari Ambon. Surakarta Kamis, 11 Agustus 1949. Gencatan senjata sebenarnya sudah diberlakukan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Namun di Surakarta (Solo), pemberlakuan itu seolah tak ada pengaruhnya. Itu dibuktikan dengan ditembak matinya seorang prajurit TNI bernama Samto oleh KST pada pukul 04.00. Penembakan itu memicu kembali pertempuran kota antara kedua pihak. TNI yang merasa dicurangi lalu membalas dengan suatu serangan yang membuat beberapa prajurit Baret Hijau itu terluka. Jatuhnya korban di pihak KST menjadikan mereka berlaku membabi-buta. Bukan hanya TNI, semua yang berbau Republik mereka hantam tanpa ampun. Begitu matahari terbit, dari basis mereka di benteng Vastenbrug, pasukan KST langsung bergerak ke rumah dr. Podmonegoro di Kampung Gading yang merupakan pos darurat milik PMI. Sesampai di sana, mereka mengobrak-abrik serta menyembelih tujuh petugas PMI dan 14 pengungsi yang tengah menjalani perawatan. “Setelah mengamuk di Gading, mereka melakukan pembantaian juga di Kampung Kratonan dan Jayengan,” demikian menurut Tim Panitia Monumen Perjoangan Surakarta dalam Pasukan Greencap Membantai Rakyat . Sementara itu, dalam waktu yang sama kelompok baret hijau lainnya menebar maut di Kampung Kebonan. Mereka menahan 22 penduduk sipil di sebuah rumah, menelanjanginya lantas menyembelih sembilan orang di antaranya. Salah seorang tawanan berhasil kabur dan melaporkan kejadian tersebut ke pos TNI terdekat. “TNI lantas melakukan pengejaran dan penyergapan, pertempuran pun berlangsung seru dengan akhir mundurnya pasukan Baret Hijau kembali ke basis mereka di Benteng,” demikian menurut buku Pertempuran Empat Hari di Solo (Surakarta) dan Sekitarnya yang diterbitkan oleh Kerukunan Eks Anggota Detasemen II Brigade 17. Secara keseluruhan aksi KST itu menimbulkan korban yang cukup besar. Ada 433 mayat yang ditemukan usai situasi Surakarta lepas dari teror Baret Hijau. Korban paling banyak ditemukan di wilayah Laweyan yakni sekira 300 mayat. Sebagian besar dari mereka tewas akibat disembelih atau ditusuk dengan menggunakan sangkur. Pihak Belanda sendiri terkesan ingin menutup-nutupi kejadian itu. Saat bertemu dengan pihak TNI yang diwakili oleh Letnan Kolonel Slamet Rijadi, Kolonel van Ohl hanya bisa berjanji bahwa dirinya akan menarik secepatnya pasukan KST dan membawa para pelaku pembunuhan rakyat sipil ke pengadilan militer. Pada 14 Agustus 1949, Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr. A.H.J. Lovink menulis surat kepada Menteri Seberang Lautan J.H. van Maarseveen dan parlemen Belanda. Dia memohon agar peristiwa pembantaian rakyat sipil di Surakarta bisa dirahasiakan. “Sebab akan sangat merugikan kehormatanpemerintah Kerajaan Belanda…” demikian seperti dikutip Julius Pour dalam Ign. Slamet Rijadi: Dari Mengusir Kenpeitai sampai Menumpas RMS
- Van der Plank dan Kejahatan Perang di Sumatra
Di Kampung Berastepu, Tanah Karo, puluhan serdadu Belanda melepaskan tembakan secara membabi-buta. Rumah-rumah penduduk digerebek. Mereka merampas harta benda pemilik rumah. Selain itu, beberapa warga kampung yang dicurigai ditangkap lalu ditembak tanpa pemeriksaan. Menurut Sumbul Ginting warga setempat yang menyaksikan kejadian tersebut, ada 9 penduduk kampung Berastepu yang ditembak mati oleh Belanda. Mereka antara lain: Meltah Sembiring, Mestik Karo-Karo, Muniken Karo-Karo, Manik Ginting, Alar Karo-Karo, Kitik Sitepu, Masar Ginting, Naik Sembiring, dan Baban Sembiring. “Demikianlah pada tanggal 1 Juni 1949 tentara Belanda yang berkekuatan 60 orang di bawah pimpinan Van der Plank telah menggerakan pasukannya dari Simpang Empat Surbakti ke Kampung Berastepu, melalui jalan setapak Jeraya dan Tambesi,” catat mantan veteran Perang Kemerdekaan, Letkol (Purn.) A. Surbakti dalam Perang Kemerdekaan II: Tanah Karo Jahe dan Dairi Area . Setelah melakukan penembakan di Berastepu, Van der Plank menggerakan pasukannya ke Kutagamber. Di kampung tersebut, pasukan Van der Plank juga menembak seorang penduduk bernama Babah, berasal dari Gurukinayan. Dari Kutagamber, pasukan Van der Plank kembali ke pangkalannya melalui Kutatengah. Kepala Polisi Istimewa Van der Plank nyaris tak berbeda dengan Westerling. Keduanya sama-sama pernah bertugas di Sumatra Utara untuk menumpas tentara Republik Indonesia dalam berbagai operasi kontra-gerilya. Nama Van der Plank pun dikenal sebagai perwira Belanda yang sangat bengis. Jika Westerling menjalankan aksi sadisnya di Kota Medan, maka jejak berdarah Van der Plank membekas di Tanah Karo. Dalam catatan hariannya yang diterbitkan berjudul Bukit Kadir , Djamin Gintings mengenang sosok Van der Plank yang berperawakan tinggi dan tegap. Di masa kolonial, Van der Plank merupakan Kepala Polisi Istimewa Hindia Belanda. Ketika Jepang menguasai Hindia Belanda, Van der Plank merana. Tentara Jepang menyiksanya sebagai tawanan di Brastagi, Tanah Karo. Setelah Jepang kalah perang, Belanda kembali ke Indonesia untuk menjajah lagi. Van der Plank pun mendapatkan posisinya semula sebagai kepala Polisi Istimewa berpangkat mayor. Van der Plank mulai menebar teror sejak Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama pada Juli 1947. Pasukan Belanda menekan dengan memblokade basis ekonomi di kawasan Sumatra Timur. Semua satuan bersenjata Indonesia ditarik ke pedalaman Tapanuli. Akibatnya, rakyat yang berpihak pada Republik terpaksa meninggalkan Sumatra Timur dan ikut mengungsi ke pedalaman. “Dalam suasana yang kurang terkoordinasi inilah Van der Plank dengan Troopen Intellegence Vor Gerilya (TIVG) melakukan perang urat syaraf dan melakukan infiltrasi ke daerah-daerah rawan, sepanjang jalur pengungsi dan penarikan mundur kesatuan-kesatuan TNI/lasykar,” tulis Tukidjan Pranoto dalam Tetes Embun di Bumi Simalungun . Infiltrasi unit TIVG yang dipimpin Van der Plank acap kali menimbulkan keresahan. Mereka menjadikan TNI dan unsur pejuang dari kesatuan lasykar saling curiga-mencurigai. Menurut Tukidjan, kelompok Van der Plank ini berperan dalam memecah belah kelompok pejuang pendatang dari Sumatra Timur dengan pejuang yang berasal dari Tapanuli. Salah satu nya politisasi isu terhadap Barisan Harimau Liar (BHL) yang dicap sebagai lasykar penjahat. Pengacau di Tanah Karo Karena pernah ditawan Jepang di Brastagi, Van der Plank cukup mengetahui seluk daerah Tanah Karo. Sebagai komandan TIVG, Van der Plank doyan melakukan patroli dari kampung ke kampung lalu menangkapi warga setempat. Warga yang dicurigai akan ditahan dan diperiksa untuk mengorek keterangan dengan cara dipukuli ataupun disengat listrik. Dalam interogasi yang menyakitkan itu, mereka dipaksa memberikan informasi mengenai basis TNI, siapa pemimpinnya, dan siapa saja penduduk yang bekerja sama dengan TNI. Pada Desember 1948, dua penduduk di Gurukinayan dan kepala kampung Payung yang diangkat oleh pemerintah Republik ditembak mati. Sebelum dieksekusi, kepala kampung yang berusia lanjut tersebut terlebih dahulu dipukuli dan kemudian dilepas. Kepala kampung yang merasa tidak aman itu lalu menghindar melalui persawahan yang berada di belakang rumahnya. “Pada waktu berada di tengah sawah itulah orang tua itu ditembak dan meninggal di tempat,” tulis Djamin Gintings dalam Dari Titi Bambu ke Bukit Kadir: Saat Genting di Medan Tempur Catatan Harian Jamin Gintings . Rakyat di Tanah Karo mafhum, dini hari merupakan waktu yang kerap dipakai Van der Plank dan pasukannya untuk bergerak. Itulah sebabnya, penduduk kampung khususnya laki-laki sejak sore hari lewat petang sudah berangkat meninggalkan kampung menuju tempat yang lebih aman. Mereka biasanya pergi ke sawah atau ladang dan menjadikan pondokannya sebagai tempat tidur. Demi keamanan, mereka yang melarikan diri berkelompok bergantian berjaga. Bila hari sudah terang dan tidak ada kabar patroli Van der Plank barulah mereka pulang ke rumah. Demikianlah, teror yang berkecamuk di Tanah Karo semakin merajalela dan itu bermuara kepada satu nama: Van der Plank. (Bersambung)
- Horor Chucky dalam Kehidupan Nyata
PERINGATAN untuk setiap orangtua. Awasi tontonan yang dikonsumsi anak-anak Anda jika tidak ingin tragedi Sawah Besar, Jakarta Pusat pada Kamis (5/3/2020) terulang kepada siapapun. Di hari yang nahas itu, seorang bocah berusia enam tahun disiksa dan dibunuh remaja berusia 15 tahun yang terinspirasi karakter horor macam Slenderman dan Chucky. “Dia (pelaku) sudah sampaikan bahwa, ‘saya hobi nonton film horor misalnya Chucky, Slenderman’, mungkin dia punya inspirasi,” sebut Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Yusri Yunus, dikutip Kumparan , Sabtu (7/3/2020). Chucky adalah nama karakter penjahat berupa sebuah boneka dalam franchise film Child’s Play . Karakternya pertamakali muncul dalam film perdana Child’s Play pada 1988.Inti filmmengisahkan perjalanan teror dan aksi sadis pembunuh berantai bernama Charles Lee Ray. Demi melarikan diri dari kejaran polisi, ia melakoni ritual voodoo yang mentransfer jiwanya ke dalam sebuah boneka “Good Guy”. Bonekanya lantas dimiliki seorang bocah dan dari situlah teror dan sejumlah aksi brutalitas Lee Ray dalam tubuh sebuah boneka yang menjadi hidup. Film perdana yang digarap sineas Tom Holland itupun meledak di pasaran. Hingga 2019, sudah delapan kali franchise yang menampilkan karakter Chucky dibuat dengan beragam variasi cerita, termasuk Child’s Play (2019) yang merupakan reboot dari versi 1988. Melahirkan Chucky Karakter boneka hidup nan sadis itu merupakan “anak rohani” penulis skenario Don Mancini. Mulanya, ia menciptakan karakter antagonis itu bernama Buddy, berdasarkan salah satu boneka anak buatan Hasbro, “My Buddy”. “Mulanya dari naskah coba-coba berjudul Blood Buddy yang saya tulis sendiri saat kuliah di UCLA (University of California, Los Angeles) pada 1985,” kisah Mancini dikutip Sean Abley dalam Out in the Dark. Namun untuk menghindari pelanggaran hak cipta, ia mengubahnya, termasuk nama karakternya dari Buddy menjadi Chucky. “Adalah David Kirschner yang membawa naskah itu ke MGM yang tertarik dan merekrut Tom Holland untuk menyutradarinya. Meski naskahnya sedikit diubah, saya tetap dicantumkan dalam credit sebagai penulis naskah aslinya dan sah sebagai pencipta Chucky dan Child’s Play ,” imbuhnya. Don Mancini (kiri) dan Kevin Yagher, pencipta karakter Chucky sebelum diproduksinya film perdana Child's Play pada 1988 (Foto: IMDb/kevinyagher.com) Untuk membuat Chucky di atas kertas menjadi boneka hidup betulan, pihak MGM yang memproduksi Child’s Play (1988) lantas mempercayakan desainnya pada pakar efek spesial kondang Kevin Yagher. Dengan perusahaan khusus specialeffects yang didirikannya, Kevin Yagher Productions, Yagher sudah jadi jaminan mutu membuat karakter horor menjadi hidup, seperti karakter ikonik Freddy Krueger di film A Nightmare on Elm Street (1984), di antaranya. Menukil Robert Englund dan Alan Goldsher dalam Hollywood Monster , khusus untuk karakter Chucky, Mancini minta tokoh ciptaannya itu penampakannya dibuat sedikit mirip boneka “My Buddy”. Ciri-cirinya seperti berambut merah, berukuran rata-rata balita sungguhan, memakai sepatu merah, sweater motif garis-garis, pakaian overall berkancing merahserta memiliki mata yang biru. “Lalu Kevin membuat banyak sketsa Chucky, sampai kemudian kami sampai pada pilihan finalnya. Dia lalu membuat boneka pertamanya dari sketsa itu dan detail-detail karakter dari naskah saya,” ujar Mancini lagi. Lima Kasus Kekejian Terinspirasi Chucky Banyak film action , thriller , dan horor jadi inspirasi laku kejahatan keji. Karakter Chucky dalam beragam seri filmnya pun turut “andil” dalam sejumlah aksi kriminal mengerikan, sebagaimana kasus remaja 15 tahun yang membunuh bocah enam tahun di Sawah Besar, Jakarta Pusat, baru-baru ini. Kasus lain adalah penculikan, penyekapan, penyiksaan, dan percobaan pembunuhan terhadap Suzanne Capper, remaja berusia 16 tahun asal Manchester, Inggris, pada Desember 1992. Suratkabar The Independent , 1 Desember 1993 mengisahkan, Capper, remaja korban broken home , diculik mantan pengasuhnya, Jean Powell, pada 7 Desember 1992 sebelum disekap dan disiksa lima pelaku lain kenalan Powell di rumahnya. T ak puas melakukan penyiksaan tak terperikan terhadap Capper hingga sepekan, komplotan pelaku kemudian berusaha membunuh korban di sebuah padang rumput dekat Stockport. Korban ditelanjangi kemudian disiram bensin dan pelaku menyulut api ke tubuh korban. Yang tak diketahui komplotan pelaku, ternyata Capper masih hidup ketika mereka meninggalkannya dalam keadaan terbakar hidup-hidup. Dengan sisa-sisa tenaga dan rasa perih karena luka bakar nyaris 80 persen, Capper melarikan diri dan minta pertolongan ke pengendara lain yang ia temukan. Capper lantas dilarikan ke rumahsakit dan sempat menyebut nama-nama pelaku sebelum korban mengalami koma, di mana nyawanya tak tertolong pada 18 Desember 1992. Menurut keterangan polisi yangsegera menciduk para pelaku, saat menyiksa korban, komplotan Jean Powell acap meneriakkan kata-kata ikonik dalam film Child’s Play : “ Chucky’s coming to play ” (Chucky datang untuk bermain). Dalam beberapa metode penyiksaan, korban jugadijejalkan lagu tema filmnya, “ Hi, I’m Chucky. Wanna Play ?”. Suzanne Capper (kiri) & James Bulger, korban penyiksaan dan pembunuhan yang terinspirasi Chucky oleh para pelakunya (Foto: Wikipedia) Kejadian lebih mirip terjadi tak berjauhan dari tragedi sebelumnya, yakni pembunuhan James Bulger, bayidua tahun asal Kirkby, Merseyside, Inggris, 12 Februari 1993. Kejadiannya mirip dengan yang terjadi di Indonesia lantaran pelakunya juga masih di bawah umur, yakni Robert Thompson dan Jon Venables, keduanya baru menginjak usia 10 tahun. Majalah The Sunday Times edisi 3 April 2011 menguraikan, Bulger diculik Thompson dan Venables yang sedang bolos sekolah dari mal New Stranddi Bootle saat ibunya lalai dalam pengawasan. Bulger kemudian dibawa ke sebuah lahan tersembunyi dekat Stasiun Keretaapi Walton & Anfield. Dari catatan forensik, terdapat 42 luka di sekujur tubuh akibat sejumlah penyiksaan yang dialami bayi manis itu. Dalam keadaan sekarat, tubuh korban diikat di rel kereta dan tubuhnya terbelah dua setelah terlindas keretaapi yang lewat. Sisa-sisa jenazah korban baru ditemukan dua hari setelahnya, 14 Februari 1993. Kedua pelaku ditangkap berdasarkan rekaman CCTV di mal tempat korban diculik. Dari pemeriksaan kedua pelaku mengaku bahwa aksi mereka terinspirasi film Child’s Play 3 (1991) y an g mereka t onton secara diam-diam dari video yang disewa ayah salah satu pelaku, Jon Venables. Kasus lain adalah penembakan massal di situs sejarah Port Arthur, Tasmania, Australia pada 28-29 April 1996. Tragedi yang dikenang sebagai pembantaian terburuk dalam sejarah modern Australia itumenewaskan 35 orang dan melukai 23 orang lainnya. Pelaku tunggal, Martin Bryant, disebutkan melakukan penembakan lantaran terinspirasi film Child’s Play 2 (1990). Seperti pengakuan Mary (bukan nama sebenarnya), mantan pacar pelaku, Bryant begitu mengidolakan karakter jahat Chucky. “Dia sangat menyukai Chucky dan selalu menceritakan tentang karakternya setiap waktu. Ada dialog dalam film itu yang sering digunakan Bryant dalam percakapan: ‘Jangan macam-macam dengan Chuck.’Dia merasa keren saat mengucapkannya,” aku Mary kepada Herald Sun yang dikutip news.com.au , 8 Maret 2016. Kembali ke Inggris, lingkungan keluarga yang kacau jadi faktor pendorong kakak-beradik berusia 11 dan 10 tahun menculik, menyiksa, dan melakukan percobaan pembunuhan terhadap dua bocah lainberusia 11 dan 9 tahun di Edlington, South Yorkshire, Inggris, 4 April 2009. Menukil BBC , 5 April 2009, kedua pelaku tidak hanya menyiksa namun juga melakukan pelecehan seksual terhadap dua korbannya. Dua karakter Tiffany Valentine yang menjadi pacar Chucky, menjadi inspirasi seorang gadis membunuh sejumlah tunawisma di Moskva (Foto: kevinyagher.com ) Dari pemeriksaan polisi dan persidangan, salah satu pelaku yang memotori kejahatan sadis itu diketahuisejak usia enam tahunkecanduan film-film dari DVD porno dan film-film horor, beberapa di antaranya film-film Chucky. Kedua pelaku dijatuhi hukuman penjara dengan masa tahanan yang tak ditentukan. “Virus” kebengisan Chucky juga merambah Rusia. Sekelompok geng di Moskva dengan entengmelakukan pembunuhan terhadap 15 tunawisma dengan senjata tajam sepanjang Juli 2014-Februari 2015. Mengutip Daily Mail , 22 Juni 2017, salah satu pelaku, Elena Lobacheva, sangat bangga membantai belasan tunawisma itu dengan membayangkan dirinya sebagai Tiffany Valentine, karakter boneka jahat yang jadi pacar Chucky di film Bride of Chucky (1998). Ia bahkan punya tato di lengan kanannya bergambar Tiffany Valentine dan mengaku sebagai pembunuh utama dalam tujuh pembunuhan dari 15 korban geng itu. “Dia sangat menikmati pembunuhan itu. Dia selalu bercerita tentang penyiksaan dan mutilasi tubuh korban. Dia tertawa saat membunuh dan terlihat jelas dia sangat menikmatinya,” aku Pavel Voitov, salah satu rekan pelaku di tengah persidangannya di Pengadilan Kota Moskva.
- Sajian dari Beragam Pasar Kuliner
SUASANA malam Minggu di kawasan Jalan Bangka, Kelurahan Lateng, Kabupaten Banyuwangi, begitu meriah. Banyak orang lalu-lalang untuk mencari dan menikmati sajian kuliner khas Timur Tengah di lapak-lapak yang berjejer di pinggir jalan. Di sana, setiap malam Minggu, ada pasar wisata kuliner yang sayang kalau dilewatkan. Namanya Arabian Street Food (Arasfo). Arasfo sudah diresmikan oleh Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas pada 31 Oktober 2019. Keberadaannya melengkapi pasar wisata khusus tiap pekan yang digagas Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Awalnya aktivitas Arasfo digelar setiap Kamis malam tapi kemudian diubah jadi Sabtu malam dimulai pukul 16.00 - 22.00. “Setelah ada masukan dari para tokoh di Lateng, jadwal yang semula Kamis diganti Sabtu, sebab kalo Kamis malam itu saatnya orang tahlilan,” ujar Bupati Banyuwangi Azwar Anas saat membuka Festival Pasar Wisata Kuliner di arena Arabian Street Food, Banyuwangi, 29 Februari 2020. Ada beragam sajian khas Timur Tengah yang disajikan dalam acara Arasfo. Ada makanan berat seperti nasi kebuli, mandhi, briyani hingga kambing guling. Ada kudapan seperti khamir, roti maryam, shawarma hingga kebab. Ada juga minuman macam kopi Arab, kopi Turki, naknak, pokak hingga aneka teh. Siapa tak tergiur. Di Arasfo terdapat 126 menu hidangan ala padang pasir yang terbagi dalam 29 lapak. Para penjajanya, khususnya laki-laki, memakai jubah dan sorban. Menariknya lagi, pengunjung juga bisa menikmati musik dan tarian gurun pasir atau belanja beragam kosmetik. Benar-benar semarak. Acara Arasfo digelar di Lateng bukan tanpa alasan. Sejak dulu Lateng merupakan permukiman orang-orang Arab sehingga lebih dikenal orang sebagai Kampung Arab. Penyerbukan Kuliner Terbentuknya komunitas Arab punya akar sejarah yang panjang. Pada abad ke-18, Tanah Jawa dibanjiri imigran Hadramaut (sebuah provinsi di Yaman), Hijaz, dan Mesir. Selain berdakwah, mereka mencari peruntungan dengan berdagang di kota-kota pelabuhan seperti Batavia, Banten, Cirebon, Surabaya, Pekalongan, dan Semarang. Lambat-laun, mereka menyebar ke wilayah-wilayah lainnya. “Maka, sejak itu, muncullah kampung-kampung Arab lengkap dengan tradisi, budaya, dan kuliner khas mereka” tulis L.W.C van den Berg dalam Orang Arab di Nusantara . Banyuwangi menjadi salah satu wilayah yang didatangi para imigran dari Hadramaut. Menurut catatan van den Berg, jumlah orang Arab di Banyuwangi tahun 1885 sebanyak 356 orang; terdiri dari 84 laki-laki, 25 perempuan, dan 247 anak yang lahir di Banyuwangi. Suasana Pecinan Street Food di kawasan Karangrejo, Banyuwangi, yang menyajikan aneka kuliner khas masyarakat Tionghoa. (Dok. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi). Jejak-jejak keturunan Arab bisa dilihat pada Makam Syekh Abdurrahim atau dikenal masyarakat setempat dengan sebutan Datuk Ibrahim Bauzir, yang dipercaya sebagai ulama dari Hadramaut dan penyebar Islam di Banyuwangi. Ada sekolah Ar Irsyad yang diresmikan Syeikh Ahmad Soorkaty, pendiri organisasi Al Irsyad, tahun 1927. Gedungnya sudah berganti Pasar Blambangan setelah sekolah dipindahkan ke depan pasar tersebut. Ada juga Masjid At Taqwa yang dibangun 1923 dan Masjid Al Hadi, yang masing-masing dibangun tahun 1923 dan 1967. Bukan hanya berperan dalam pendidikan dan penyebaran agama Islam, orang-orang Arab ikut andil memberi pengaruh pada khazanah makanan. Mereka membuat makanan sesuai selera lidahnya namun dengan bahan-bahan yang tersedia di sini. Nasi kebuli, misalnya, menggunakan bahan-bahan khas Nusantara seperti ketumbar, cengkih, kayu manis, salam koja, mentimun, dan bawang merah Nasi kebuli, martabak, gulai, maraq, dan sambosa adalah berbilang nama di antara masakan khas Arab. Sajian khas itulah yang bisa dinikmati pengunjung dari dalam maupun luar kota pada acara Arasfo setiap akhir pekan. Pasar Kuliner Arasfo hanyalah salah satu konsep pasar kuliner tematik yang dikembangkan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Saat ini, tak kurang ada 19 pasar kuliner yang tersebar di berbagai kecamatan dengan waktu yang berbeda-beda. Di setiap pasar setidaknya terdapat 40 pelapak yang menjual aneka jajanan. Sebut saja Pecinan Street Food, Pasar Jajanan Olehsari, Pasar Wit-Witan, Pasar Kampung Kopat, Pasar Seni dan Jajanan Rakyat Banyuwangi (Pasjari), dan Pasar Kuliner Porobungkil. "Di tengah kelesuan ekonomi, kita perlu terus berinovasi untuk menggerakkan berbagai sektor. Pasar kuliner ini adalah salah satu cara untuk mendongkrak ekonomi lokal di masing-masing desa," ujar Abdullah Azwar Anas. Inovasi memang menjadi kunci keberhasilan Banyuwangi dalam memajukan perekonomiannya. Tak heran jika berkali-kali Banyuwangi dianggap kabupaten paling inovatif dan kreatif di Indonesia. Yuk, datang ke Banyuwangi!
- Keraguan terhadap Keris Diponegoro
BUTUH waktu 36 tahun hingga akhirnya keris yang disimpan di Belanda diidentifikasi sebagai Kiai Nogo Siluman. Benda itu dipulangkan ke Indonesia dan diserahkan ke Museum Nasional, Jakarta, pada Kamis 5 Maret 2020. Namun, menyusul kepulangannya, keraguan apakah keris itu benar Kiai Nogo Siluman pun merebak. “Secara ilmu padhuwungan (ilmu pengetahuan perkerisan Jawa, red. ) nggak kena,” kata Toni Junus, konsultan keris yang menulis buku Tafsir Keris , kepada Historia. Secara umum, Nogo Siluman dikenal sebagai salah satu dhapur atau tipologi bentuk keris. Adanya kepala naga dengan mahkota di kepalanya lalu unsur nama “Siluman” yang berkaitan dengan kemampuan untuk menghilang, kata Toni, setidaknya cocok dengan karakteristik keris Nogo Siluman. Ada cerita tradisi tentang penciptaan keris ber -dhapur Nogo Siluman. Dahulu kala, kata Toni, ada seorang raja meminta tolong kepada seorang mpu untuk dibuatkan keris yang bisa membuatnya memiliki kesaktian. Alhasil, keris itu rampung dan memberi sang raja kemampuan menghilang tatkala dikejar musuh. “ Nggak diketahui nama rajanya. Kemungkinan dari masa Hindu-Buddha; mungkin masa Kadiri,” jelas Toni. “Jadi keris ini memang untuk kesaktian.” Namun, sebagai dhapur , biasanya Nogo Siluman hanya memiliki unsur kepala naga pada bagian bawah bilahnya, tanpa disertai badan dan ekor. “Naga kepalanya saja, badannya hilang. Makanya disebut siluman,” kata dia. Karenanya Toni pun ragu bahwa keris yang baru saja pulang kampung itu adalah Kiai Nogo Siluman. Keris Raja Secara fisik, keris yang dianggap sebagai Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro itu bergagang kayu dengan ukiran kepala naga emas bermahkota pada sisi bawah bilahnya. Terlihat naga itu memiliki tubuh yang menjalar sampai ke ujung bagian tajam keris. Mungkin dulunya tubuh naga juga ditutupi tatahanemas, yang sekarang hanya menyisakan bagian kecil dekat ujung ekornya. Adapun bilahnya dihiasi ukiran tanaman rambat yang juga berwarna emas. Pada bagian tengah, di pangkal bilah keris, tampak ukiran seekor kijang yang tengah duduk. Sementara di bagian yang sama, pada sisi sebaliknya, terdapat ukiran yang menurut Toni menyimbolkan matahari. Melihat itu, kata Toni, keris ini jelas bukan ber- daphur Nogo Siluman, melainkan Nogososro. Cirinya, keris itu memiliki ukiran kepala naga yang lengkap dengan tubuh dan ekor. “Nogososro itu naga bersisik seribu. Naga ini ada badannya. Kalau Nogo Siluman kan tidak. Jadi ini berbeda,” katanya. Ditambah lagi, biasanya keris dengan tipologiNogo Siluman jarang yang memiliki tinatah emas. Pun ornamen kijang atau rusa seringnya tak ditemukan. “Makanya saya menyangsikan kalau ini Nogo Siluman,” lanjut dia. Berdasarkan ilmu padhuwungan , kata Toni, pemakai kerisini pastilah seorang raja. Bisa dilihat dari pemakaian tatahan emas yang cukup banyak. Ini menyimbolkan kebesaran. Sulur-suluran yang disebut lung kamarogan pun menunjukkan maksud yang sama. Sementara berdasarkan pakem pembuatan keris, tak mungkin kalau keris untuk raja kemudian dimiliki pangeran. Apalagi untuk berperang. Walau tak menutup kemungkinan seorang pangeran memiliki keris yang bagus. “Secara ilmu paduwungan , stratanya tidak mungkin. Keris jenis ini disimpan oleh raja, semacam ageman , ditenteng ke mana-mana,” jelas dia. Bukan Zaman Diponegoro Lalu siapa raja yang sekiranya memiliki keris ini? Ada beberapa penafsiran. Laporan Penelitian oleh National Museum of World Cultures (NMVW), diterbitkan pada 20 Januari 2020, menyebutkan beberapa pakar keris dari Indonesia sempat diminta untuk melihat keris yang diduga sebagai Kiai Nogo Siluman itu pada Januari 2019. Dalam pengamatan mereka, ditemukan adanya candrasengkala pada bilah keris. Candrasengkala yang dimaksud terdiri dari simbol binatang yang merujuk pada angka tahun tertentu. Mereka menyebut terdapat tiga binatang, yaitu naga, rusa, dan gajah. Artinya, senjata itu ditempa pada 1633. “Menurut para ahli, keris dimiliki oleh Sultan Agung (1593-1645), leluhur Pangeran Diponegoro. Kualitas besi dan desain senjata menunjukkan bahwa dulunya milik Sultan Agung,” catat Laporan Penelitian yang diterima Historia . Setelah kunjungan para ahli keris dari Indonesia, NMVW mencari pendapat kedua. Pakar ini diminta untuk melihat candrasengkala pada keris. Hasil interpretasinya berbeda. Selain naga dan rusa, si pakar melihat hewan ketiga bukan sebagai gajah, tapi singa atau harimau. Karenanya, kombinasi simbol-simbol ini mengarah pada abad ke-18, mungkin 1759. Si pakar yakin keris ini milik orang berpangkat tinggi di Kesultanan Yogyakarta tapi tak mungkin Sultan Agung. Sri Margana, sejarawan UGM, punya pendapat lain lagi. Margana sebelumnya juga mengatakan kepada Historia kalau tipe keris ini adalah Nogososro. Namun menurutnya penamaan Nogo Siluman diberikan berdasarkan ukiran naga yang sebelumnya oleh tim verifikasi disebut sebagai gajah, singa atau harimau. “Ketika saya melihat langsung keris itu, binatang yang dianggap gajah, harimau, atau singa itu ternyata justru kunci dari apa yang disebut Nogo Siluman,” kata dia. Naga, menurut pendapatnya, berada pada bagian paling bawah dari bilah keris, di dekat pegangan, atau istilahnya bagian wurung ganja. Ukiran naga tersembunyi ini memiliki kepala yang menoleh ke kanan. Tangan kanan dan kirinya seperti hendak mencakar. “Lalu apakah di dalam keris ini memang ada candrasengkala , mungkin perlu diteliti lebih lanjut,” katanya. Adapun Toni Junus punya argumen sendiri. Menurutnya, pada keris itu tak cuma ada tiga hewan, melainkan empat. Ada kepala naga bermahkota seperti dalam catatan Raden Saleh, rusa di bagian tengah pangkal bilah, lalu gajah dan singa yang distilisasi pada bagian wurung ganja. Sayangnya, pada keris ini ukiran gajah sudah tak jelas terlihat, tinggal bekas berwarna hitamnya saja. Ukiran gajah dan singa pada bagian wurung ganja , kata dia, memang biasanya selalu berpasangan. Pasalnya tinatah gajah-singa pada bagian itu merupakan sengkalan yang berbunyi Gajah Singa Keris Siji. Ini menunjuk pada 1558 saka atau sama dengan 1636 M. Tahun itu, kata dia, menandai kemenangan Mataram di bawah Sultan Agung dalam menumpas pemberontakan Kadipaten Pati. Selain itu, bentuk singa dan gajah sering dianggap sebagai lambang dari dua kekuatan yang bermusuhan. Singa melambangkan Kerajaan Mataram. Tafsirannya, singa nggero atau getak Mataram. Artinya, singa yang mengaum sebagai gertak pasukan Mataram. Gajah melambangkan Kadipaten Pati. Tafsirannya, gajah nggiwar. Artinya, gajah menghindar karena takut, yang akhirnya menyerah pada kekuasaan Kerajaan Mataram. “Makanya kalau gajah singa begini, ini gaya Mataram, bukan naga yang tersembunyi,” tegas Toni. Sejarawan UGM Sri Margana menyebut ukiran di bawah keris adalah naga yang menjadi kunci dari nama keris itu: Kiai Nogo Siluman. Sedangkan menurut Toni Junus, ukiran itu adalah gajah (kanan gagang)-singa (kiri gagang). (Fernando Randy/Historia). Nama Keris Sesungguhnya Menurut Toni Junus, yang paling mungkin mewarisi keris itu justru ayah Pangeran Diponegoro, Hamengku Buwono (HB) III. “Bisa sampai ke HB III karena diwariskan turun-temurun. Kalaupun diwariskan lagi seharusnya kepada pewaris takhtanya, raja berikutnya,” ujar Toni. Ada dua cara yang ditempuh Toni dalam memahami keris. Selain lewat ilmu padhuwungan , dia meraih pengetahuan lewat ilmu batin. “Percaya nggak percaya, malam Jumat kemarin saya begadang, istilahnya tahajud untuk ini,” jelas dia. Dalam olah rasanya, dia mengaku mendapat gambaran sinar yang terang benderang. “Kalau sinar terang itu di-Jawa-kan berarti gemilang atau gumilang ,” lanjut dia. “Dugaan saya ini cahaya yang melindungi, atau namanya Kiai Reso Gumilang.” Dari penelusuran batin, kata dia, keris itu dimiliki HB III. Entah kenapa, ketika dirampas Belanda, keris itu tengah dibawa sang istri, ibunda Pangeran Diponegoro. “Tapi coba dicocokkan saja di catatan ada tidak nama keris Kiai Reso Gumilang. Kalau ada berarti ini (kerisnya, red ),” ujar Toni. “Saya nggak pernah ngikutin ya (apa saja keris yang dipunyai Pangeran Diponegoro, red ). Saya pakai olahroso. ” Sejarawan Peter Carey pernah mendata pusaka-pusaka milik Pangeran Diponegoro. Dimuat pada bagian apendiks XI dalam biografi Pangeran Diponegoro yang ditulisnya dengan judul Kuasa Ramalan . Nama yang mirip seperti disebut Toni ada di antara daftar tersebut. Di sana disebut kalau Belanda merampas keris Kiai Reso Gemilar ketika menangkap Raden Ayu Mertonegoro dan ibunda Diponegoro, Raden Ayu Mangkorowati, di Desa Karangwuni, Kulon Progo. Dalam buku hariannya, Mayor Edouard Errembault de Dudzeele, mencatat: “…dengan gampang bisa saya ambil, sebab itu adalah senjata: suatu keris yang sangat bagus dengan sarung emas, yang dipakai putri belia itu, istri Ali Basah Mertonegoro…” “Itu dia!,” seru Toni ketika diperlihatkan daftar pusaka itu. “Cuma orang Belanda salah, harusnya bukan Gemilar. Kiai Reso Gumilang, cahaya yang melindungi maksudnya.” Lalu di mana Kiai Nogo Siluman sekarang? “Saya kira keris Nogo Siluman yang sebenarnya bukan yang kita lihat sekarang,” ujar dia. “Keris ini namanya Kiai Reso Gumilang, bukan Kiai Nogo Siluman.” Kendati begitu dia tetap bersyukur keris hasil budaya Nusantara itu dibawa pulang ke tanah air. Pasalnya keris ini merupakan salah satu karya masterpiece yang pernah ada . “Bagus sekali. Ini keris raja lho,” ujarnya.*
- Keris Sakti dan Pagebluk Corona
WABAH penyakit Coronavirus Disease (COVID-19) sedang merongrong Indonesia. Sejak 30 Desember sampai 9 Maret 2020, pemerintah resmi menyatakan sudah ada 19 orang positif tertular virus corona. Penyakit yang pertama kali mewabah di Wuhan, Cina itu kini telah menyebar ke berbagai negara, menjadikannya bencana yang menakutkan tanpa diketahui cara pengobatannya. Sementara itu pada momen yang sama tersiar kabar bahwa Kementrian Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda , Rabu, 4 Maret yang lalu mengumumkan pengembalian sebilah keris Jawa kepada Indonesia. Keris tersebut diserahkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda Ingrid van Engelshoven kepada Duta Besar Indonesia I Gusti Agung Wesaka Puja di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda. Sehari kemudian keris tersebut dibawa ke Indonesia dan kini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta. Toni Junus peneliti keris sekaligus penulis buku Kris: An Interpretation , menanggapi berita Corona yang beriringan dengan kembalinya keris Diponegoro sebagai sebuah pertanda. Menurutnya kedua peristiwa tersebut memiliki hubungan yang bisa dimaknai secara magis. “Kalau percaya dengan Kejawen, (keris Pangeran Diponegoro – Red. ) ini dicuci, dikirabkan, corona selesai. Secara alamiah ini ada tanda-tanda kenapa begini. Ada dua loh yang masuk ke Indonesia keris bagus. Tapi satunya dapat dari lelang dari luar negeri. Ada gajah singo-nya juga. Ini tanda-tanda bakal terjadi sesuatu di Indonesia. Kalau saya sih pandangannya positif. Mungkin Corona akan selesai. Saya ramalkan Mei, pokoknya setelah puasa habis. Dugaan saya loh ini. Ini supranatural,” ujar Toni kepada Historia . Daya Tangkal Toni Junus, yang menghabiskan masa kecil di Solo, pernah menyaksikan kirab pusaka keraton Solo untuk memadamkan pagebluk atau bencana. Saat itu, Toni yang masih SMP melihat kirab tombak Kangjeng Kiai Gringsing. "Sebelum dikirabkan Kangjeng Kiai Gringsing dipegang anak kecil yang belum disunat di pelataran. Selama doa atau permintaan selesai. Baru dikirabkan. Tombak ini buatan zaman Kediri," ujarnya. Menurutnya t idak semua keris atau tombak bisa untuk mengusir pagebluk melainkan hanya keris atau tombak yang berpamor “s ingkir ” saja yang biasanya digunakan untuk memadamkan pagebluk. Pamor “singkir” ini memiliki m otif lipatan besi pada bilahnya membentuk pola garis lurus . Dalam pandangan masyarakat Jawa, ada banyak gangguan yang menyebabkan ketidakseimbangan tata kehidupan. Gangguan itu berwujud bencana alam, wabah penyakit dan paceklik. Kondisi penderitaan ini harus diakhiri agar terwujud keselamatan dan keberkahan hidup. Oleh sebab itu dengan pancaran berkah dan perbawa dari pusaka-pusaka yang dikirabkan, tulis Ismail Yahya dalam Adat-adat Jawa dalam Bulan-bulan Islam Adakah Pertentangan , diharapkan Tuhan akan memberikan keselamatan hidup dan menjauhkan dari penderitaan hidup. Pusaka dengan kemampuan menangkal bencana bukan hanya dimiliki kaum bangsawan saja, namun ada pula yang dimiliki tokoh masyarakat di desa. Beberapa tokoh masyarakat di Gunung Kidul, dikutip dari Senjata Tradisional DIY , memiliki keris yang diyakini memiliki kemampuan untuk kesuburan tanah, menyembuhkan penyakit dan mengusir setan. Penangkal pagebluk bukan saja berwujud senjata, seperti keris dan tombak, melainkan juga berbentuk bendera. Dalam buku Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta dituliskan bahwa keraton Yogyakarta memiliki bendera bernama Kiai Tunggul Wulung yang biasanya akan dikeluarkan dari keraton untuk dikirab berkeliling benteng keraton guna mengusir pagebluk . Fenomena pusaka sebagai pengusir pagebluk , bukan hanya ada di Jawa tetapi pada masyarakat Bugis juga ditemukan hal serupa. Setiap pusaka yang dimiliki seorang Bugis, akan diberi Passingkerru sumange atau tali ikatan semangat yang dibuat berdasarkan sistem pengetahuan dan kepercayaan kuno orang Bugis. Khusus kalangan bangsawan, tali ikatan semangat ( passingkerru sumange ) keris, badik dan pedangnya terbuat dari emas atau perak dengan berhiaskan batu permata, dengan maksud keagungan, kemuliaan dan kekuasaan. “Sebagian kalangan lainnya mengisi passingkerru sumange keris atau badik atau pedang dengan aji salawu, untuk bisa lolos dan terhindar dari penglihatan dan kepungan musuh. Adapula yang mengisi passingkerru sumange keris atau badik atau pedang dengan batu pirus, untuk menolak ilmu hitam dan bencana,” tulis Ahmad Ubbe dalam ‘Senjata Pusaka Orang Bugis’, yang termuat dalam Keris Dalam Perspektif Keilmuan suntingan Waluyo Sujayatno dan Unggul Sudrajat. Pergeseran Makna Namun, kini makna dan fungsi keris semacan itu dalam kehidupan masyarakat mulai bergeser. Lebih berfungsi sebagai aksesoris dalam kelengkapan pakaian adat Jawa. Pesona magis keris sudah jauh berkurang. Sukarno, presiden pertama RI, pernah memiliki pengalaman soal keris yang tak ampuh lagi. Sekali waktu di tahun 1960an, Sukarno pernah didatangi oleh seseorang yang membawa keris pusaka. “Coba cabutlah keris itu dan mohon hujan turun sekeras-kerasnya agar rumput di tamanku ini menjadi segar dan hijau,” perintah Sukarno, seperti pengakuan Bambang Widjanarko -ajudan Bung Karno- dalam buku Sewindu dekat Bung Karno . Mendapat perintah seperti itu, pak Pringgo -si pembawa keris pusaka- pucat pasi karena tahu keris yang dibawanya tak dapat memenuhi titah Bung Besar. Lantas, apakah keris Pangeran Diponegoro bisa menanggulangi wabah Corona? *
- Multatuli di Antara Dua Kutub
Douwes Dekker menulis Max Havelaar dalam kamar kecil di kota Brussel, Belgia, selama hampir dua bulan, September-November 1859. Dia menggunakan catatan dan pengalamannya sebagai bahan penulisan. Dia memperoleh keduanya setelah bertugas sebagai Asisten Residen di Lebak selama tiga bulan pada 1856. Max Havelaar memuat kisah perilaku menyeleweng Bupati Lebak, sikap abai atasan Dekker terhadap penyelewengan, kondisi penduduk yang rudin, dan hayat tokoh utama bernama Max Havelaar yang menjadi personifikasi Dekker. Max Havelaar terbit perdana di Belanda pada 14 Mei 1860. Dekker menggunakan Multatuli sebagai nama penulisnya. Multatuli berarti aku sudah banyak menderita. Orang-orang Belanda membaca Max Havelaar . Mulai anak-anak sekolah hingga pejabat tinggi. Negeri Belanda gempar. Kemudian orang-orang bertanya tentang kebenaran isi Max Havelaar dan tokoh-tokoh di dalamnya. Mereka memperdebatkan isi Max Havelaar di sekolah, rumah, dan universitas. “ Pembaca Max Havelaar terbelah menjadi Multatulian dan Anti-Multatuli,” kata Ubaidillah Muchtar, Kepala Museum Multatuli Rangkasbitung kepada Historia. Multatulian meyakini Dekker alias Multatuli telah bekerja secara benar dan tepat membela rakyat Hindia Belanda. Sedangkan anti-Multatuli memandang Dekker hanya menulis sebagai wujud ambisi pribadinya demi naik ke jenjang birokrasi selanjutnya. Nyaris Dijegal Perdebatan tentang Max Havelaar sebenarnya telah dimulai sebelum buku ini terbit. Saat itu Dekker baru saja usai menyerahkan urusan penerbitan kepada dua rekannya : Van Hasselt dan Jacob van Lennep. B Van Hasselt adalah ahli hukum sekaligus bekas anggota parlemen, sedangkan Van Lennep bekerja sebagai pengacara di Belanda Utara dan pengarang amatiran. Dua orang ini memang membantu Dekker menerbitkan Max Havelaar . Tapi di belakang Dekker, mereka bersuratan. Isinya menjelek-jelekkan diri Dekker berikut karyanya. Orang bermuka dua. Demikian sebutan Rob Nieuwenhuys, penulis buku Mitos dari Lebak sekaligus pengkritik Multatuli, untuk dua nama tadi. Van Hasselt sempat kepikiran untuk memanipulasi Max Havelaar agartak jadi terbit. Dia ingin melakukan itu setelah membacanya sampai tuntas. Dia tahu buku ini nanti akan merepotkan Pemerintah Belanda. Dia tak bisa membantah kualitas sastrawi buku ini atau kebenaran faktual di dalamnya. Dia takut sekali pada isinya. “Saya berpendapat bahwa buku itu harus segera dicegah penerbitannya,” tulis Van Hasselt dalam suratnya kepada Rochussen, Menteri Daerah Jajahan, 11 November 1859, seperti dikutip oleh Willem Frederik Hermans dalam Multatuli yang Penuh Teka Teki . Van Hasselt bahkan bisa-bisanya menghakimi niat Dekker menerbitkan Max Havelaar sebatas cari makan saja. Dia mengipasi Rochussen agar turut memberikan nilai jelek untuk Dekker dan karyanya. Rochussen secara pribadi mengenal dan menghormati Dekker. Tapi dia setuju Max Havelaar tak seharusnya terbit. Dia menawarkan posisi enak di pemerintahan kepada Dekker asalkan bersedia mengurungkan penerbitan itu. Tapi Dekker menolaknya. Cara penolakan Dekker unik. Dekker sengaja melempar syarat tinggi-tinggi supaya tak bisa diraih oleh Rochussen. Tekad Dekker telah bulat : mau menjadi pengarang saja. Dia tak bersedia duduk di pemerintahan lagi. Setelah tahu Rochussen tak sanggup penuhi syarat Dekker, Van Lennep bergerak. Dia punya keinginan serupa dengan Van Hasselt : menghambat Max Havelaar terbit. Tapi rasa takutnya pada Max Havelaar tak sebesar Van Hasselt. Dia merasa pengetahuannya tentang Hindia Belanda lebih banyak daripada Dekker. “Jika pengarang ini mengira bahwa ia lebih banyak tahu dari kita, maka ia keliru,” kata Van Lennep. Van Lennep melakukan berbagai cara untuk melucuti kekuatan Max Havelaar . Antara lain dengan menghapus beberapa data dan kata dalam tulisan asli Dekker. Van Hasselt kurang setuju dengan cara van Lennep. Menurutnya, cara itu tak bisa menahan kekuatan Max Havelaar. Van Lennep enggan menyerah. Dia membatasi sirkulasi Max Havelaar dengan menaikkan harga agar orang tak mampu beli. Tapi harapannya mampus. Max Havelaar tetap beredar dan dibaca banyak orang. Buku yang Menggetarkan Getaran Max Havelaar menjalar ke antero Belanda. Istilah ‘getaran’ berasal dari Baron van Hoevell, anggota Majelis Rendah (Parlemen Belanda) dari Partai Liberal. Hoevell telah melihat adanya kesewenang-wenangan di daerah koloni sepuluh tahun sebelum Dekker menulis Max Havelaar . Dia menyerang sistem tanam paksa dan kebijakan turunan Partai Konservatif Belanda untuk melestarikan sistem itu. Termasuk pula pidato-pidato semu dari anggota Partai Konservatif tentang keadaan negeri koloni. Kata Partai Konservatif, “Negeri Koloni baik-baik saja.” Tapi Hoevell tak percaya itu. Dia mencoba mendiskusikan isi Max Havelaar dalam Sidang Parlemen 25 September 1860. Hoevell bertanya, “Apakah pidato kerajaan yang nadanya menenangkan dapat menghilangkan pengaruh buku itu?” Dalam sidang itu Duymaer van Twist, mantan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada masa Dekker menjabat Asisten Residen Lebak, hadir. Dialah orangnya yang berupaya menjinakkan Dekker agar tak terlalu nafsu menyerang Raden Adipati Karta Natanegara, Bupati Lebak. Menanggapi pertanyaan Hoevell, van Twist mengatakan tak mau membahas Max Havelaar . Baginya, masalah Dekker sudah kelar. Dia enggan menyebut nama itu lagi, bahkan mengucapkan judul bukunya pun tidak. Sikap van Twist diikuti oleh anggota parlemen lain. Mereka meminta Hoevell jangan coba-coba memancing perdebatan soal Max Havelaar dalam sidang. Kebenaran Multatuli Di luar sidang parlemen, orang menyikapi Max Havelaar secara lebih terbuka. Profesor Veth, guru besar bahasa-bahasa Timur di Amsterdam dan kemudian di Leiden, membenarkan cerita Multatuli dengan penuh wibawa pada 1860. “Orang-orang Jawa, bangsa pribumi pada umumnya, diperlakukan dengan tidak adil. Ini berlaku bagi Lebak, ini berlaku pula bagi daerah-daerah lainnya,” kata Veth seperti dikutip Gerard Termorshuizen dalam “ Max Havelaar di Lebak” termuat di Kian Kemari : Indonesia dan Belanda dalam Sastra. Profesor P.J. Veth, Guru Besar Bahasa Timur di Universitas Leiden, membenarkan cerita Multatuli dalam Max Havelaar. Keyakinan Veth bersambungan dengan keyakinan Multatulian setelahnya, baik dari kalangan Anak Negeri maupun Eropa. Dekker dan Max Havelaar -nya beroleh tempat cukup kuat di kalangan kaum pergerakan nasional. Keduanya menjadi inspirasi perjuangan. Sesudah Indonesia merdeka, Max Havelaar diterjemahkan ke Bahasa Indonesia. Yang paling terkenal adalah terjemahan H.B. Jassin, Paus Sastra Indonesia. Terjemahan itu terbit pada 1972. " Max Havelaar bukan saja suatu dokumen sejarah tapi juga suatu gugatan terhadap keburukan-keburukan yang terasa aktuil dalam setiap masyarakat," kata Jassin menjawab pertanyaan mengapa dia bersusah-payah menerjemahkan buku berbahasa Belanda itu. Keterangannya termuat dalam Horison , November 1973. Pramoedya Ananta Toer, sastrawan ternama lainnya, searus dengan Jassin. Dia menyatakan gagasan Dekker dalam Max Havelaar mempunyai pengaruh tidak langsung dalam dekolonisasi Indonesia dan negara-negara di Afrika. “Dia itulah yang kasih tahu pada orang Indonesia bahwa dirinya dijajah,” kata Pram kepada Koesalah Soebagyo Toer dalam Pramoedya Ananta Toer Dari Dekat Sekali. Pembendung Multatuli Tapi arus puja-puji terhadap Dekker dan Max Havelaar bertemu bendungan kuat. Pembangun bendungan adalah Rob Nieuwenhuys. Dia menulis De Mythe van Lebak pada 1956 . Tujuannya mengkaji ulang tindakan Dekker melaporkan Bupati Lebak atas sangkaan menyeleweng dan mengkritik sikap cuek-bebek atasannya terhadap perilaku Bupati. Nieuwenhuys mengumpulkan sejumlah pandangan dari kaum anti-Multatuli. Beralas itulah dia mendirikan pandangan bahwa Dekker tak mengenal dunia dimana dia tinggal. Dunia yang terbangun atas struktur sosial khas masyarakat Banten sekaligus juga hierarki birokrasi kolonial. Rob Nieuwenhuys, penulis buku Mitos dari Lebak , mengkritik Multatuli dan Max Havelaar. Dalam pemahaman Nieuwenhuys, orang-orang di Banten melakukan pekerjaan untuk Bupati sebagai bentuk pengabdian sukarela dan penghormatan. Sebaliknya, bagi Bupati, mengerahkan orang untuk bekerja bukanlah pemerasan. Kalaupun ada penyelewengan dari Bupati, Nieuwenhuys berpendapat seharusnya Dekker memberantas penyelewengan itu dengan mempertimbangkan struktur sosial dan kebudayaan di Banten. Dekker tak bisa seenaknya meminta atasannya agar menyingkirkan Bupati ke luar Lebak untuk diadili. Cara itu justru merusak struktur sosial dan kebudayaan setempat. Bahkan juga melangkahi hierarki birokrasi kolonial. Nieuwenhuys juga menyerang Max Havelaar . Bukan gagasan dan kualitas sastrawinya, melainkan kebenaran faktualnya. Menurut Nieuwenhuys, buku itu fiksi. “Multatuli tidak menulis sebuah laporan mengenai kejadian di Lebak itu, bukan pula sebuah brosur ataupun pamflet, melainkan benar-benar sebuah roman, yaitu dalam arti kata suatu produk yang didasarkan pada angan-angan,” tulis Nieuwenhuys dalam Mitos dari Lebak , terjemahan Indonesia De Mythe van Lebak. JJ Rizal, direktur penerbit Komunitas Bambu yang menerbitkan ulang buku Nieuwenhuys, mengatakan sosok Dekker tampil dengan corak hiperbola tersebab pertempuran pemaknaan. Ini terjadi pada 1970-an ketika gerakan sosial penentang arus modal asing dan wacana hegemonik Orde Baru membutuhkan sosok perlawanan. “Salah seorang tokoh yang dipilih untuk dilibatkan dalam pertempuran ini adalah Multatuli,” kata Rizal. Max Havelaar pun tak luput sebagai alat pertempuran pemaknaan. Gagasan dalam Max Havelaar dianggap memenuhi semua persyaratan untuk melawan wacana hegemonik Orde Baru. Tetap Relevan Menanggapi serangan Nieuwenhuys dan penerbitan ulang buku Mitos dari Lebak , Ubaidillah Mucthar menganggapnya sebagai kewajaran. Yang terpenting ide Multatuli dalam Max Havelaar tetap abadi. Biarpun Dekker sudah berjarak 200 tahun lamanya dan karyanya telah lewat 160 tahun lalu. “Sebab apa yang dimaksudkan oleh Dekker dalam Max Havelaar tidak dapat dibantah, ‘orang Jawa dieksploitasi!’ Multatuli menuntut ketidakadilan di tanah Hindia Belanda dihentikan. Multatuli menuntut kemanusiaan,” kata Ubaidillah. Ubaidillah menambahkan, perdebatan soal Dekker dan Max Havelaar justru memperkaya cara pandang. Ini penting untuk mengaktualisasikan terus ide-ide Dekker pada masa sekarang. Misalnya untuk mengupayakan pemerintahan bersih dan melawan penyalahgunaan kekuasaan. “Publik menjadi mengerti bahwa Perkara Lebak yang terjadi jauh di belakang kita masih tetap dapat dilihat di kehidupan hari ini,” ujar Ubai. Dekker dan Max Havelaarnya akan terus dibaca.
- Cerita di Balik Perjalanan Pulang Keris Diponegoro
DUTA Besar Republik Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja merasa sedikit lega setelah keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro diserahkan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayan dan Ilmu Pengetahuan Belanda Inggrid van Engelshoven, Selasa, 3 Maret yang lalu di kantor KBRI, Den Haag, Belanda. Masih ada satu tugas lain menanti: membawa keris pusaka itu pulang kembali ke Tanah Air sehari setelah serah terima tersebut. Pada Rabu, 4 Maret, pukul 11 pagi waktu Belanda, Dubes Puja didampingi Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) Din Wahid dan Francine Brinkgreve, kurator Museum Volkenkunde, Leiden, membawa pulang keris pusaka yang tersimpan selama ratusan tahun di negeri Belanda. Setahun setelah Perang Jawa berakhir, keris Kiai Nogo Siluman itu dihadiahkan Kolonel Jan-Baptist Cleerens kepada Raja Willem I. Pada tahun 1831 itu pula keris jadi koleksi di Koninklijk Kabinet van Zaldzaamheden (KKZ) atau Kabinet Kerajaan untuk Barang Antik di Den Haag. Barangkali semacam simbol penaklukan Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825–1830) yang nyaris membuat Belanda bangkrut. Dubes Puja mengisahkan beberapa pengalaman uniknya saat mempersiapkan perjalanan pulang membawa keris tersebut ke Indonesia. Cuaca Belanda di awal Maret masih tak menentu. Angin kencang dan awan mendung kerap terjadi sepanjang hari. “Tapi pada hari Selasa, 3 Maret, di hari penyerahan keris kepada kami, matahari bersinar terang sepanjang hari. Padahal sehari sebelumnya Belanda yang sedang musim dingin selalu diselimuti mendung gelap, hujan, dan angin dingin. Luar biasa sabda alam,” kata Puja kepada saya. Baca juga: Hilang Ratusan Tahun, Keris Diponegoro Ditemukan di Belanda Dubes Puja masih punya cerita lain yang kata dia terserah mau dipercaya atau tidak. Namun, dia merasakan sendiri sebagai sebuah keanehan. Ketika tiba di bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, Kamis, 5 Maret pagi, dia langsung keluar mendorong troli dengan setumpuk koper, salah satunya koper biru berisi keris Kiai Nogo Siluman. Tiba di depan petugas imigrasi, tanpa mengenalinya dan tanpa pandang bulu, meminta Dubes Puja masuk ke jalur pemeriksaan barang. Seluruh koper dimasukan ke dalam detektor metal. “Yang bikin saya heran mengapa koper biru berisi keris Kiai Nogo Siluman itu lolos begitu saja tanpa ditanya petugas lagi. Padahal isinya jelas-jelas senjata tajam. Sepertinya memang tidak terdeteksi oleh alat detektor entah kenapa saya heran,” katanya. Dari bandara Dubes Puja dan rombongan langsung menuju ke Museum Nasional untuk menyerahkan keris Pangeran Diponegoro. Keris tersebut langsung didaftarkan sebagai benda cagar budaya dengan nomor register 192.999 dan tersimpan sebagai koleksi tetap Museum Nasional Indonesia. Hari ini, 10 Maret, keris tersebut dibawa ke Istana Bogor untuk diserahkan secara resmi oleh Raja Belanda Willem Alexander kepada Presiden JokoWidodo. Kiri-kanan: Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, Pemimpin Redaksi Historia.id Bonnie Triyana, Sejarawan UGM Sri Margana, Dubes Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja, dan kurator Museum Volkenkunde Francine Brinkgreve. (Dok. Din Wahid). Akhir Februari yang lalu, sebelum proses pemulangan keris terjadi, saya dikontak oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid untuk turut serta berangkat ke Belanda sebagai delegasi Indonesia bersama sejarawan UGM Sri Margana. Salah satu tugas kami memverifikasi kesahihan keris Pangeran Diponegoro tersebut. Sebuah laporan riset yang menelusuri keberadaan keris terlebih dahulu dibagikan kepada kami untuk dipelajari. Saya bukan ahli keris dan bukan pula sejarawan yang menekuni kehidupan Pangeran Diponegoro. Agaknya keputusan untuk memasukkan saya ke dalam delegasi karena kegiatan saya akhir-akhir ini sebagai kurator Rijksmuseum dan menjadi semacam penghubung untuk rencana pengembalian benda-benda bersejarah dari Belanda ke Indonesia. Baca juga: Keris Pangeran Diponegoro Tiba di Tanah Air Pada Minggu, 23 Februari dini hari kami bertiga bertolak ke Amsterdam dan tiba pada Minggu sore waktu setempat. Setibanya di Den Haag, kami langsung mengadakan rapat kecil dengan Dubes Puja dan Atdikbud Din Wahid. Tema pembicaraan berkisar tentang hasil pencarian keris serta persiapan rapat dengan staf Kerajaan Belanda dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda pada keesokan harinya. Dubes Puja tampak antusias membicarakan temuan keris tersebut. Bahkan dia pun mengisahkan telah bertemu dengan salah seorang keturunan Pangeran Diponegoro yang bermukim di Belanda. Sebelum kami tiba, dia pun telah membawa seorang mpu keris dari Indonesia untuk melihat langsung keris Kiai Nogo Siluman. “Untuk melihatnya dengan menggunakan mata batin,” kata Dubes Puja. Senin, 24 Februari, pagi hari kami diterima Eric Verwaal, Kepala Sekretaris Kerajaan dan Jan Snoek, penasihat dan penulis pidato Raja Willem Alexander di Istana Noordeinde, Den Haag. Sementara itu delegasi Indonesia terdiri dari kami bertiga bersama duta besar Indonesia, wakil duta besar, Atdikbud, dan seorang diplomat dari KBRI Den Haag. Pembicaraan berkisar ihwal keris Pangeran Diponegoro dan rencana kedatangan raja ke Indonesia. Baca juga: Memetakan Perjalanan Keris Pangeran Diponegoro Usai pertemuan, kami dibawa ke ruang Indonesia, dulu sempat bernama Indische Zaal (kini berjuluk Indonesia Zaal atau ruang Indonesia). Ruangan yang luasnya sekitar 8x10 meter persegi dipenuhi ukiran Jepara dibuat sebagai hadiah pernikahan Ratu Wilhelmina dengan Pangeran Henry pada 1901. Di ruangan tersebut terdapat beberapa hadiah dari raja-raja Nusantara untuk keluarga kerajaan, mulai Ratu Wilhelmina sampai Ratu Juliana. Keris berlapis emas dengan warangka bertaburan berlian dan loyang serta piring emas tersimpan apik di dalam vitrin kaca. Ruang Indonesia memberikan kesan kuat ada upaya menghadirkan nuansa negeri jajahan sebagai miniatur di tengah megahnya istana raja yang berkuasa atas imperiumnya. Sejiwa dengan penyelenggaraan pameran kolonial di Paris pada 1931 yang menghadirkan wajah koloni dalam bangunan khas negeri jajahan dan orang-orangnya sebagai tontonan. Negeri jajahan dan kebudayaannya direken sebagai obyek kolonialisme yang seringkali dipandang terbelakang namun eksotis untuk dipamerkan. Perjalanan membicarakan rencana pengembalian keris Pangeran Diponegoro belum berhenti di ruangan tersebut. Pertemuan dilanjutkan ke kantor Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda. Selain soal keris, didiskusikan pula tentang rencana pengembalian benda-benda seni bersejarah yang ada di beberapa museum di Belanda. Sebuah komite kerja yang terdiri dari beberapa ahli dan pejabat pemerintahan Belanda dibentuk khusus untuk menangani rencana repatriasi itu. Baca juga: Melacak Keris Mistis Pangeran Diponegoro Di Belanda, riuh rendah perdebatan mengenai dekolonisasi memang merambah ke segala bidang. Penelitian sejarah mengenai kekerasan selama revolusi 1945–1950 sudah dimulai sejak tiga tahun lalu dan memicu kontroversi. Dalam isu museum, pernyataan Presiden Prancis Emanuel Macron di Burkina Faso, Afrika pada 2017 lalu juga mendorong diskusi yang lebih luas mengenai repatriasi benda-benda bersejarah dari berbagai museum di Eropa, tidak terkecuali Belanda. Beberapa benda yang diduga diperoleh dengan cara kekerasan bakal dikembalikan ke negeri asalnya. Keris Pangeran Diponegoro yang dirampas dari pemiliknya setelah pemimpin Perang Jawa itu ditaklukkan secara licik, tentu bisa dikategorikan ke dalam barang jarahan yang sudah semestinya dikembalikan ke negeri asalnya. Maka setelah rapat di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Ilmu Pengetahuan Belanda berakhir, kami bergegas menuju Museum Volkenkunde di Leiden untuk melihat langsung keris yang selama ini dicari-cari itu. Sejarawan UGM Sri Margana sedang memeriksa keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro diperhatikan oleh Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. (Dok. Bonnie Triyana). Hujan rintik-rintik menyambut kedatangan kami di Leiden. Rombongan diterima Direktur Museum Volkenkunde Stijn Schoonderwoerd yang langsung membimbing kami ke ruangan pertemuan. Tak menunggu lama, seorang kurator datang membawa baki besar dengan sebilah keris di dalam warangkanya. Sejarawan Sri Margana dipersilakan membuka terlebih dahulu keris tersebut. Saya berdebar, khawatir keris yang dibawa itu bukan keris yang selama ini dicari-cari. Perlahan Sri Margana mencabut keris dari warangkanya. Dia mengamati secara saksama keris kehitaman bersepuh emas dengan ukiran naga di sekujur bilahnya. “Ini bener?” kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid bertanya separuh berbisik kepada Sri Margana. “Sebentar… sebentar…” kata Sri Margana melanjutkan penelaahannya. Baca juga: Keris Kiai Nogo Siluman Tak Pernah Hilang Beberapa hari sebelum berangkat, Sri Margana berkomunikasi dengan Ki Roni Soedewo, keturunan Pangeran Diponegoro yang aktif menekuni sejarah eyangnya. Kepada Sri Margana, dia memberikan petunjuk kalau nama Nogo Siluman itu semacam kode pada keris. “Pasti naga yang dimaksud tidak bisa langsung terlihat begitu saja,” kata Roni seperti ditirukan Sri Margana. Maka setelah beberapa menit menelisik secara detail ke seluruh bagian keris dan dengan menggunakan data hasil temuan riset, Sri Margana menganggukkan kepala seraya mengatakan “Benar… ini keris Pangeran Diponegoro”. Semua bertepuk tangan dan melanjutkan pembicaraan tentang tata cara pengembalian keris. Hari ini, di Istana Bogor, Raja Belanda Willem Alexander tampak berfoto bersama dengan Presiden Jokowi dengan keris Kiai Nogo Siluman milik Pangeran Diponegoro di tengah-tengah mereka. Ada berbagai perdebatan menyoal keris tersebut. Namun satu yang pasti, penemuan keris itu merupakan hasil penelitian yang panjang, paling tidak selama tiga tahun terakhir, dengan menggunakan dokumen-dokumen yang ada, mulai dari kesaksian Sentot Alibasyah Prawirohardjo dan pelukis Raden Saleh yang hidup sezaman dengan Pangeran Diponegoro.
- Keris Kiai Nogo Siluman Tak Pernah Hilang
DALAM kotak kayu itu tersimpan keris bergagang kayu dengan ukiran kepala naga emas di bagian bawahnya. Tubuh naga itu menjalar sampai ke ujung keris di antara sulur-sulur tanaman yang juga berwarna emas. Mungkin dulunya tubuh sang naga juga ditutupi dengan emas, yang sekarang hanya menyisakan bagian kecil dekat ujung ekornya. Sisi kanan dan kiri keris itu tak lagi halus, gempil di beberapa bagian. Warangka- nya yang dari kuningan pun demikian. Penyok di banyak sisi. “Saya membayangkan keris ini dipakai untuk perang, diadu dengan senjata-senjata lain. Ini bukan senjata seremoni atau pusaka biasa. Ini senjata untuk perang,” ujar Sri Margana, ketua Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada, kepada Historia. Margana adalah salah satu peneliti yang diminta untuk mengkonfirmasi identitas koleksi keris di National Museum of World Cultures (NMVW) di Leiden, Belanda. Keris berhias kepala naga tadi salah satunya. Bukan keris biasa, keris yang konon bernama Kiai Nogo Siluman ini milik Pangeran Diponegoro. Sempat dikabarkan hilang, keris Kiai Nogo Siluman akhirnya ditemukan dan dikembalikan ke pemerintah Indonesia. Catatan yang Hilang Sebenarnya, anggapan hilangnya keris Kiai Nogo Siluman tak sepenuhnya benar. Pasalnya yang hilang bukanlah kerisnya, tetapi catatan mengenainya. Keris Kiai Nogo Siluman dihadiahkan Kolonel Jan-Baptist Cleerens kepada Raja Willem I pada 1831. Keris itu kemudian disimpan di Koninklijk Kabinet van Zaldzaamheden (KKZ) atau Kabinet Kerajaan untuk Barang Antik di Den Haag. Pada 1883, KKZ dibubarkan. Kata Margana, kala itu di Belanda tengah dikembangkan penelitian kebudayaan Hindia Belanda oleh para orientalis Belanda. Demi ilmu pengetahuan, koleksi KKVZ dibagi-bagikan ke tujuh museum. Koleksi terbesar diberikan kepada Museum Volkenkunde (sekarang National Museum of World Cultures, NMVW) di Leiden, termasuk beberapa koleksi kerisnya. Sebelum dipindah ke Museum Volkenkunde, koleksi KKZ sempat dipamerkan di Philadelphia Amerika, pada 1876. Kala itu beberapa koleksi keris ikut dipamerkan. Dalam katalognya disebutkan salah satu pemilik keris adalah Pangeran Diponegoro. “Hanya disebutkan dalam katalog itu kalau salah satu pemilik keris adalah Pangeran Diponegoro,” ujar Margana. Sayangnya, penanganan koleksi di KKZ sangat buruk. Tak ada dokumen yang bisa dirujuk soal inventaris koleksinya. “Keris Kiai Nogo Siluman itu yang mana tidak jelas. Jadi kerisnya ada, tapi catatannya hilang,” jelas Margana. Kepastian Kiai Nogo Siluman Margana menjelaskan, keberadaan Kiai Nogo Siluman di Belanda dibuktikan oleh dua dokumen penting. Dokumen pertama merupakan korespondensi antara de secretatis van staat atau sekretariat negara dan directeur-generaal van het departement voor Waterstaat, Nationale Nijverheid en Colonies atau Direktur Jenderal Departemen Pekerjaan Umum, Industri Nasional dan Koloni tertanggal 11-25 Januari 1831. Dalam korespondensi itu disebutkan kalau Kolonel Jan-Baptist Cleerens menawari Raja Willem I, raja Belanda saat itu, sebuah keris. Keris itu diterima dan simpan di KKZ. “Ini dokumen pertama yang menyatakan ada sebuah keris di Belanda,” ujar Margana. Dokumen kedua adalah surat Sentot Alibasyah Prawirodirdjo, perwira perang Diponegoro yang menyeberang ke pihak Belanda. Surat berbahasa Jawa ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda. Disebutkan Sentot menyaksikan sendiri keris Kiai Nogo Siluman diserahkan Pangeran Diponegoro kepada Clereens. Dalam surat terjemahan itu, pada sisi kirinya terdapat catatan yang melintang ke bawah. Ini adalah tulisan tangan Raden Saleh, yang pernah melukis Diponegoro. Catatannya berisi karakteristik keris Kiai Nogo Siluman yang pernah dilihatnya. “Raden Saleh melihatnya ketika sudah ada di Belanda. Dia menyaksikan dengan mata kepala sendiri,” kata Margana. Dalam catatannya, Raden Saleh menjelaskan apa yang dimaksud dengan Kiai Nogo Siluman. Dia juga memberi deskripsi kalau di kerisnya terdapat wajah naga, yang seluruh tubuhnya dihias emas. Namun waktu dia melihat langsung, hanya menyisakan sedikit di ujung ekornya. “Dari dua dokumen penting itu dan kesaksian Raden Saleh, dapat dipastikan keris Nogo Siluman ada di Negeri Belanda,” ujar Margana.*






















