top of page

Sejarah Indonesia

Keris Sakti Dan Pagebluk Corona

Keris Sakti dan Pagebluk Corona

Seorang ahli keris menghubungkan kembalinya keris Pangeran Diponegoro sebagai pertanda gaib untuk menghalau wabah corona. Benarkah?

Oleh :
9 Maret 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Para perempuan membawa pusaka leluhur Sultan Yogyakarta dikawal pasukan laki-laki. Sumber: wikimedia.org/Sem Cephas

  • Aryono
  • 10 Mar 2020
  • 3 menit membaca

WABAH penyakit Coronavirus Disease (COVID-19) sedang merongrong Indonesia. Sejak 30 Desember sampai 9 Maret 2020, pemerintah resmi menyatakan sudah ada 19 orang positif tertular virus corona. Penyakit yang pertama kali mewabah di Wuhan, Cina itu kini telah menyebar ke berbagai negara, menjadikannya bencana yang menakutkan tanpa diketahui cara pengobatannya. 


Sementara itu pada momen yang sama tersiar kabar bahwa Kementrian Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda, Rabu, 4 Maret yang lalu mengumumkan pengembalian sebilah keris Jawa kepada Indonesia. Keris tersebut diserahkan Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda Ingrid van Engelshoven kepada Duta Besar Indonesia I Gusti Agung Wesaka Puja di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda. Sehari kemudian keris tersebut dibawa ke Indonesia dan kini tersimpan di Museum Nasional, Jakarta.


Toni Junus peneliti keris sekaligus penulis buku Kris: An Interpretation, menanggapi berita Corona yang beriringan dengan kembalinya keris Diponegoro sebagai sebuah pertanda. Menurutnya kedua peristiwa tersebut memiliki hubungan yang bisa dimaknai secara magis.

“Kalau percaya dengan Kejawen, (keris Pangeran Diponegoro – Red.) ini dicuci, dikirabkan, corona selesai. Secara alamiah ini ada tanda-tanda kenapa begini. Ada dua loh yang masuk ke Indonesia keris bagus. Tapi satunya dapat dari lelang dari luar negeri. Ada gajah singo-nya juga. Ini tanda-tanda bakal terjadi sesuatu di Indonesia. Kalau saya sih pandangannya positif. Mungkin Corona akan selesai. Saya ramalkan Mei, pokoknya setelah puasa habis. Dugaan saya loh ini. Ini supranatural,” ujar Toni kepada Historia.


Daya Tangkal


Toni Junus, yang menghabiskan masa kecil di Solo, pernah menyaksikan kirab pusaka keraton Solo untuk memadamkan pagebluk atau bencana. Saat itu, Toni yang masih SMP melihat kirab tombak Kangjeng Kiai Gringsing.


"Sebelum dikirabkan Kangjeng Kiai Gringsing dipegang anak kecil yang belum disunat di pelataran. Selama doa atau permintaan selesai. Baru dikirabkan. Tombak ini buatan zaman Kediri," ujarnya.


Menurutnya tidak semua keris atau tombak bisa untuk mengusir pagebluk melainkan hanya keris atau tombak yang berpamor “singkir saja yang biasanya digunakan untuk memadamkan pagebluk. Pamor “singkir” ini memiliki motif lipatan besi pada bilahnya membentuk pola garis lurus


Dalam pandangan masyarakat Jawa, ada banyak gangguan yang menyebabkan ketidakseimbangan tata kehidupan. Gangguan itu berwujud bencana alam, wabah penyakit dan paceklik. Kondisi penderitaan ini harus diakhiri agar terwujud keselamatan dan keberkahan hidup. Oleh sebab itu dengan pancaran berkah dan perbawa dari pusaka-pusaka yang dikirabkan, tulis Ismail Yahya dalam Adat-adat Jawa dalam Bulan-bulan Islam Adakah Pertentangan, diharapkan Tuhan akan memberikan keselamatan hidup dan menjauhkan dari penderitaan hidup.


Pusaka dengan kemampuan menangkal bencana bukan hanya dimiliki kaum bangsawan saja, namun ada pula yang dimiliki tokoh masyarakat di desa. Beberapa tokoh masyarakat di Gunung Kidul, dikutip dari Senjata Tradisional DIY, memiliki keris yang diyakini memiliki kemampuan untuk kesuburan tanah, menyembuhkan penyakit dan mengusir setan.


Penangkal pagebluk bukan saja berwujud senjata, seperti keris dan tombak, melainkan juga berbentuk bendera. Dalam buku Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta dituliskan bahwa keraton Yogyakarta memiliki bendera bernama Kiai Tunggul Wulung yang biasanya akan dikeluarkan dari keraton untuk dikirab berkeliling benteng keraton guna mengusir pagebluk.


Fenomena pusaka sebagai pengusir pagebluk, bukan hanya ada di Jawa tetapi pada masyarakat Bugis juga ditemukan hal serupa. Setiap pusaka yang dimiliki seorang Bugis, akan diberi Passingkerru sumange atau tali ikatan semangat yang dibuat berdasarkan sistem pengetahuan dan kepercayaan kuno orang Bugis. Khusus kalangan bangsawan, tali ikatan semangat (passingkerru sumange) keris, badik dan pedangnya terbuat dari emas atau perak dengan berhiaskan batu permata, dengan maksud keagungan, kemuliaan dan kekuasaan.


“Sebagian kalangan lainnya mengisi passingkerru sumange keris atau badik atau pedang dengan aji salawu, untuk bisa lolos dan terhindar dari penglihatan dan kepungan musuh. Adapula yang mengisi passingkerru sumange keris atau badik atau pedang dengan batu pirus, untuk menolak ilmu hitam dan bencana,” tulis Ahmad Ubbe dalam ‘Senjata Pusaka Orang Bugis’, yang termuat dalam Keris Dalam Perspektif Keilmuan suntingan Waluyo Sujayatno dan Unggul Sudrajat.


Pergeseran Makna


Namun, kini makna dan fungsi keris semacan itu dalam kehidupan masyarakat mulai bergeser. Lebih berfungsi sebagai aksesoris dalam kelengkapan pakaian adat Jawa. Pesona magis keris sudah jauh berkurang.


Sukarno, presiden pertama RI, pernah memiliki pengalaman soal keris yang tak ampuh lagi. Sekali waktu di tahun 1960an, Sukarno pernah didatangi oleh seseorang yang membawa keris pusaka.


“Coba cabutlah keris itu dan mohon hujan turun sekeras-kerasnya agar rumput di tamanku ini menjadi segar dan hijau,” perintah Sukarno, seperti pengakuan Bambang Widjanarko -ajudan Bung Karno- dalam buku Sewindu dekat Bung Karno.


Mendapat perintah seperti itu, pak Pringgo -si pembawa keris pusaka- pucat pasi karena tahu keris yang dibawanya tak dapat memenuhi titah Bung Besar.


Lantas, apakah keris Pangeran Diponegoro bisa menanggulangi wabah Corona?*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page