Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Digulis Jadi Artis
Untuk menyingkirkan para pemberontak, Belanda menyiapkan Boven Digul. Lokasinya yang kelilingi hutan di tengah-tengah Pulau Papua dan sungai-sungai penuh buaya membuat para tahanan hampir mustahil untuk kabur. Selain itu malaria dan isolasi dari peradaban manapun diharapkan membuat para pembangkang kapok. Banyak dari orang-orang buangan tetap pada pendiriannya. Banyak pula yang menyerah atau pura-pura jinak agar dipulangkan ke kampung halaman. Mereka yang berhasil bebas dari Digul ada yang tetap melawan kolonialisme, ada pula yang pensiun karena kapok dibui. Salah satunya adalah Mustajab Budrasa, digulis yang jadi artis. Mustajab Budrasa lahir di Tegal pada 13 April 1901. Menginjak remaja, ia masuk ke Sekolah Guru Normal dan kemudian lulus pada 1918. Ia lalu menjadi guru sekolah dasar di Pekalongan hingga 1925. Surat kabar Merdeka , menyebut karena bercita-cita kuat untuk mencapai kemerdekaan, Mustajab lalu terjun dalam gerakan Sarekat Rakyat, pecahan Sarekat Islam yang mendukung Semaoen. Ia dipilih sebagai ketua di daerah Tegal. "Berhubung dengan itu ia lalu meninggalkan kalangan perguruan dan dengan adanya pemberontakan pada tahun 1926, oleh pemerintah jajahan, Sdr. Moestajab diasingkan ke Boven Digul,” tulis Merdeka , 12 Februari 1947. Pada 1931, Mustajab dibebaskan dari Digul. Setelah bebas dari Boven Digul, ia bergabung dengan sandiwara Dardanella. Bersama Dardanella, ia ikut dalam berbagai pementasan ke Malaya, Muangthai, hingga India pada 1934. Pada 1936, Mustajab membentuk sandiwara Bolero bersama rekannya Bachtiar Effendy. Ketika pecah Perang Dunia II, ia sedang berada di Singapura bersama sandiwara Bolero. Ia baru bisa kembali ke tanah air setelah perang mereda pada akhir 1945. Potret Mustajab Budrasa pada 1975. (Arsip Sinematek). Setelah kembali dari Singapura, Mustajab bergabung dengan sandiwara Dewi Mada. Tak lama, ia keluar dan bergabung dengan sandiwara Bintang Surabaya dan Irama Masa. Dalam dua kelompok sandiwara itu, ia didapuk menjadi pimpinan. Karier sandiwara Mustajab cukup pajang. Setelah berkali-kali pindah kelompok sandiwara, akhirnya ia bergabung dengan sandiwara Pantjawarna dan Bintang Timur pimpinan Djamaludin Malik. Oleh Djamaludin Malik, ia diberi kepercayaan untuk memimpin Pantjawarna. Pada 1949, Mustajab mulai masuk ke dunia film. Film pertama yang ia bintangi berjudul Terang Bulan, rilis pada 1950. "Barangkali telah jemu dengan sandiwara, yang memang pada waktu itu kurang mendapat perhatian yang layak dari masyarakat, Pak Mustajab coba-coba main di film. Memang waktu itu, film di Indonesia telah mulai dikenal masyarakat," tulis Minggu Pagi , 25 Januari 1959. Semasa aktif di dunia film, Mustajab mendorong para pekerja film untuk turut menjadi alat propaganda revolusi Indonesia dan perebutan Irian Barat. Ia belajar dari pengalaman bahwa pada masa pendudukan Jepang, seniman-seniman dimanfaatkan sebagai alat propaganda politik. "Saran yang demikian itu dikatakan oleh Pak Mustajab, karena tampak adanya tendensi bahwa pemerintah yang berwenang belum menaruh perhatian ke sana (ranah kebudayaan)," sebut Minggu Pagi . Berdasarkan arsip Sinematek, dekade 1950-an menjadi tahun paling produktif bagi Mustajab. Ia muncul dalam film Djembatan Merah (1950), Ajah Kikir 1951), Si Mintje (1952), Lagu Kenangan (1953), Kasih Sajang (1954), hingga Kasih dan Tjinta (1956). Setidaknya, 32 film telah ia bintangi pada dekade ini. Mustajab tetap aktif pada 1960-an dengan membintangi D jakarta By Pass (1962), Kami Bangun Hari Esok (1963), dan empat film lainnya. Sedangkan pada 1970-an ia juga mendapat peran dalam film Ratu Amplop (1974). Salah satu anak Mustajab, yakni Endang Kusdiningsih, mengikuti jejak ayahnya sebagai artis. Sebelumnya, Endang juga pemain drama dan sandiwara seperti ayahnya. Endang membintangi film Tarmina (1954) dan terpilih sebagai aktris pendukung terbaik dalam Festival Film Indonesia yang pertama pada 1955. Endang kemudian berperan dalam film Hadiah 10.000 (1955) dan Kasih dan Tjinta (1956). Namun, karier Endang tak sepanjang ayahnya yang masih aktif hingga 1977. Endang pensiun dari dunia perfilman selepas bermain di film Malam Tak Berembun (1961). Film Manager Hotel (1977) menjadi film terakhir Mustajab sebelum meninggal dunia pada tahun yang sama. Tepatnya pada 12 September 1977, Mustajab Budrasa meninggal dunia di rumahnya di Jakarta. Tak banyak yang mengetahui berita duka ini dari kalangan pekerja film. Hanya dua orang artis film, yakni aktor Darussalam dan istrinya, Netty Herawaty, yang hadir pada hari pemakamannya.
- Rezim Kopi Menak Guntur
Ketika tiba di tanah Jawa pada 5 Januari1808, Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808—1811) mengemban tugas berat dari Lodewijk Napoleon, adik Kaisar Prancis Napoleon Bonaparte yang menjadi Raja Belanda. Itu terjadi karena pada 1806 Belanda jatuh ke tangan kekuasaan Prancis. “Semasa pemerintahan Daendels, Pulau Jawa dan seluruh bekas wilayah VOC merupakan representasi kekuasaan Prancis di wilayah Asia,” ungkap Prawoto Indarto dalam The Road to Java Coffee . Selain harus memperbaiki sistem administrasi di Pulau Jawa yang kacau balau, penganut ide-ide Revolusi Prancis yang fanatik itu wajib pula mendongkrak eknomi di tanah Jawa demi pemasukan kas Kerajaan Belanda. Salah satu yang harus dibenahi oleh Daendels adalah bisnis kopi. Menurut Prawoto, sang gubernur jenderal memberi perhatian khusus terhadap pengelolaan kopi di Jawa karena barang itu merupakan komoditas dunia yang tengah meroket harganya saat itu. Di masa sebelumnya, kopi juga telah memberi begitu banyak masukan bagi kas Belanda. Lantas langkah apa yang dilakukan oleh Daendels? Hal yang paling awal dilakukan Daendels adalah membentuk Inspektur Jenderal Tanaman Kopi pada 9 Juni 1808. Institusi yang dipimpin oleh C. van Winkelman itu bertugas mengatur semua yang berhubungan dengan bisnis kopi di Jawa: mulai dari pembukaan lahan perkebunan kopi hingga penyetoran biji kopi ke seluruh gudang pemerintah di Jawa. Dalam tesisnya yang berjudul Bupati Priangan, Kedudukan dan Peranannya Pada Abad ke-19 , sejarawan U. Sobana Hardjasaputra menyebutkan bahwa setiap tahun Winkelman wajib melaporkan daftar tanaman kopi di seluruh Jawa kepada Daendels. Dia juga yang bertanggungjawab terhadap peraturan yang mewajibkan setiap keluarga di Jawa untuk menanam 500 pohon kopi. “Padahal pada waktu sebelumnya hanya diwajibkan menanam 200 pohon kopi,” tulis Hardjasaputra. Pewajiban itu diikuti dengan pengangkatan tenaga pengawas perkebunan yang diberi pangkat militer sederajat dengan kapten. Seorang Kapten Kopi diharuskan menyetor 300 pikul kopi (perpikul=126 pon) kepada pemerintah Hindia Belanda. Andaikan dia tidak bisa memenuhi target tersebut, maka penurunan pangkat menjadi Letnan Pertama akan menantinya. Begitu seterusnya hingga dia berhasil kembali memenuhi kuota 300 pikul. Masalah harga kopi juga diurusi oleh Daendels. Pada 4 April 1809, dia menetapkan harga kopi perpikul seberat 225 pon adalah 4 ringgit uang perak bagi orang biasa. Sedangkan khusus untuk kopi yang berasal dari tangan para bupati, perpikulnya (seberat 126-128 pon) dihargai dengan uang seringgit. Guna memudahkan identifikasi, pada 1808-1809 Daendels pun membagi wilayah Priangan menjadi dua: wilayah penghasil kopi dan wilayah bukan penghasil kopi. Produsen tradisional kopi seperti Cianjur, Sumedang, Bandung dan Parakanmuncang tentu saja dimasukan dalam kelompok pertama. Sedangkan wilayah-wilayah lainnya seperti Limbangan, Sukapura dan Galuh dimasukan dalam kelompok kedua. Daendels pun berupaya mengeliminasi peran para pelaku tradisional yang utama dalam bisnis kopi. Para menak Sunda yang terdiri dari bupati dan santana dijadikan Daendels hanya sebagai bawahannya dan secara resmi merupakan bagian dari struktur pemerintahan Hindia Belanda. “Untuk menghilangkan hak-hak istimewa penguasa tradisonal, Daendels menerapkan sistem gaji buat mereka,” ujar sejarawan Bondan Kanumoyoso. Menurut Bondan, efesiensi birokrasi itu semata-mata bukan karena soal ekonomi. Sebagai penganut garis keras ide-ide Revolusi Prancis, Daendels sangat membenci sistem feodal yang sudah mendarahdaging di kalangan para menak Sunda. Karena itu, dia berupaya memberantasnya. Pemberlakuan peraturan itu dilaksanakan secara tegas oleh Daendels. Dia tak segan memecat para bupati yang membangkang terhadap perintahnya. Itu terjadi kepada Bupati Parakanmuncang Tumenggung Aria Wira Tanureja yang menolak untuk menanam 300.000 pohon kopi di wilayahnya. Begitu galaknya Daendels, hingga masyarakat Priangan menjulukinya sebagai Menak Guntur. Itu mengacu kepada, suara sang gubernur yang jika dalam keadaan marah bisa mengeluarkan suara yang keras laiknya guntur. Namun rezim kopi di bawah Sang Menak Guntur juga mengupayakan pembangunan infrastruktur di Jawa seperti jalan raya pos ( groote postweg ). Selain untuk memudahkan surat menyurat antar pejabat Hindia Belanda dan melancarkan jalur logistik jika terjadi penyerangan Inggris ke Jawa, upaya itu juga ditujukan untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi (termasuk kopi) dari pelosok ke pelabuhan-pelabuhan besar. Kendati Daendels sudah mengupayakan berbagai langkah radikal untuk memajukan bisnis kopi, namun di masa dia berkuasa bisnis kopi justru terjun bebas. Sebagai perbandingan saat awal Daendels berkuasa pada 1808, ekspor kopi dari Jawa berjumlah 7.289 ton. Jumlah itu menurun tajam ketika akhir kekuasaannya: hanya 1.224 ton. Bisa jadi penurunan produksi kopi Jawa asal Priangan terjadi karena soal politik. Hubungan buruk antara para menak Sunda dengan Daendels menjadikan dukungan pengembangan bisnis kopi tersendat. “Citra Daendels memang buruk di kalangan para penguasa tradisional karena kebijakan-kebijakannya dinilai tidak populis,” ungkap Bondan Kanumoyoso. Kesalahan itu kemudian diperbaiki pada era Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch (1830—1833). Malah di masa sang pencipta Cultuur stelsel (sistem kultivasi) itu, keluar surat edaran dari pemerintah Hindia Belanda yang mewajibkan para residen agar bersikap sopan dan hormat kepada para bupati, lengkap dengan sanksi yang mengikutinya jika tidak dijalankan. Kebijakan itu terbukti efektif. Sejak 1834, kopi Jawa secara perlahan mulai menuju kejayaannya kembali. Sembilan tahun kemudian, seiring dengan melonjaknya permintaan dunia, kopi Jawa berhasil memasok 56.940 ton ke pasaran dunia. Itu setara dengan 27 persen jumlah kopi yang dibutuhkan dunia saat itu.
- Mereka yang Diincar APRA
Sersan Mayor Soedarja masih ingat rumor yang beredar pada awal Januari 1950. Tersebutlah orang-orang Belanda yang tak puas dengan kesepakatan Konfrensi Meja Bundar (KMB). Mereka bermaksud membentuk gerakan tersendiri guna memanjangkan kembali kekuasaan Belanda di Indonesia. “Kelompok itu bernama APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) yang dipimpin oleh eks komandan Korps Pasukan Khusus (KST), Kapten R.P.P. Westerling,”ujar eks anggota intelijen Divisi Siliwangi itu. APRA akan memulai gerakan dari Bandung. Selain sebagian anggota Baret Hijau dan Baret Merah yang tergabung dalam KST, kelompok ini juga diperkuat oleh mantan prajurit-prajurit KNIL dan anggota polisi federal yang dipimpin oleh Van der Meulen. Mereka kemudian akan merangsek ke Jakarta dan merencanakan menguasai gedung parlemen RIS. Namun sebelum rencana itu diwujudkan, Westerling telah membuat rencana penyingkiran sejumlah tokoh militer dan sipil di Bandung. Menurut Soedarja, APRA berkepentingan menghilangkan orang-orang itu karena dianggap akan menghalangi gerakan mereka di Bandung. Soal rencana APRA itu, dibenarkan oleh Kolonel (Purn) Mohamad Rivai. Dalam otobiografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dia menyebut sejatinya Westerling mengicar 7 tokoh Jawa Barat. Mereka adalah Kolonel Sadikin (Panglima Divisi Siliwangi), Mayor Mohamad Rivai (Kepala Penerangan Militer Gubernur Militer IV Jawa Barat), Letnan Kolonel Soetoko (Wakil Kepala Staf Divisi Siliwangi), Letnan Kolonel dr.Errie Sudewo (Kepala Staf Divisi Siliwangi), Letnan Kolonel Sentot Iskandardinata, Mayor CPM Roehan Roesli dan Sudjono (anggota Parlemen Negara Pasunda yang pro RI). Aksi itu rencananya akan diwujudkan pada 5 Januari 1950. Caranya dengan memberikan racun kepada mereka. Demikian menurut pengakuan Abdul Karim bin Djamin, seorang eks anggota Laskar Rakyat Djawa Barat (LRDR) yang kemudian bergabung dengan gerakan bawah tanah-nya Kapten Westerling. Dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Komisaris Polisi Kelas II M. Saud Wirtasendjaja (sebagai Kepala Bagian Pidana di Kejaksaan Tinggi Jawa Barat) pada 8 Maret 1950 terbuhullah pengakuan dari Abdul Karim. Dia menyebutkan bahwa pada 5 Januari 1950, dirinya dan seorang overste (letnan kolonel) berkebangsaan Belanda bernama Cassa mendatangi salah seorang tangan kanan Westerling di Bandung, Sersan Mayor KNIL Herman Louis. “Di sana Cassa menyerahkan masing-masing 1 botol racun kepada saya dan Lois untuk membunuh ketujuh orang itu,” ungkap Abdul Karim seperti dikutip Mohamad Rivai dalam bukunya. Adapun cara menggunakan racun tersebut adalah dengan mencampurkan cairan maut itu dengan minuman yang pahit atau makanan yang panas. Namun rencanan jahanam itu tak bisa terwujud karena ketujuh orang itu keburu mengetahuinya. Itu disebabkan oleh kegagalan Cassa saat akan meracun Panglima Divisi Siliwangi Kolonel Sadikin di Hotel Savoy Homan. Selanjutnya APRA merubah cara pembunuhan dengan rencana penembakan langsung. Pada malam 22 Januari 1950, Westerling sudah mengatur pembunuhan terhadap Mayor Rivai dalam suatu rapat antara TNI, KNIL dan Batalyon Pengawal Pasundan (VB). “Rencana itu gagal karena dihalangi oleh Kapten S. Manopo, perwira KNIL yang setia kepada kesepakatan KMB,” ujar Rivai. Begitu juga rencana pembunuhan terhadap Letnan Kolonel Soetoko dan lain-lainnya gagal pula. Jika Soetoko berhasil meloloskan diri dari penyerbuan APRA pada 23 Januari 1950 di Markas Besar Divisi Siliwangi, maka Mayor CPM Roehan Roesli dan Letnan Kolonel dr. Errie Sudewo masing-masing sedang ada Yogayakarta dan Subang pada saat tim pembunuh itu datang. Begitu pula dengan ketiga sasaran yang lain: sedang tidak ada di tempat masing-masing. Justru yang ketiban nasib sial adalah Letnan Kolonel A.G. Lembong (Kepala Pendidikan Angkatan Darat) dan ajudannya Letnan Satu Leo Kailola. Tanpa merasa curiga, pada saat penyerbuan APRA ke Markas Besar Divisi Siliwangi itu, mereka menghentikan mobilnya di depan markas. Begitu turun, alih-alih disambut pasukan penghormatan, mereka malah langsung diberondong ratusan peluru hingga tewas di tempat.
- Mencari Penghuni Awal Natuna
Syahdan, Sultan Johor Alaudin Riayat Syah mempunyai seorang putri bernama Tengku Fatimah. Tapi sultan malu karena sang putri lumpuh. Tengku Fatimah pun diasingkan ke Pulau Serindit. Di sana, ia bertemu dengan Demang Megat, pemuda asal Phatani yang terdampar. Mereka lalu menikah. Keduanya membentuk pemerintahan baru di Pulau Serindit. Demang Megat digelari Orang Kaya Serindit Dina Mahkota. Perkampungan pertama yang mereka dirikan disebut Mahligai. Rumah-rumah dibangun dari Kayu Bungur. Dari nama kayu inilah kemudian Pulau Serindit berganti nama menjadi Pulau Bunguran, salah satu pulau di Natuna. Begitulah cerita rakyat yang dikenal di Natuna. Kisah itu disampaikan oleh Sonny C. Wibisono, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam acara Diskusi Sambil Ngopi Kita bertema "Ada Apa dengan Natuna" di gedung Puslit Arkenas, Jakarta, Kamis (30/1). "Mereka tahunya Johor. Tapi apakah baru masa Johor saja (Natuna, red. ) dihuni?" tanya Sonny memancing diskusi. "Ceritanya selalu tentang Demang Megat. Masyarakat tahunya begitu. Jadi ada gap antara fiksi dan fakta. Yang mana sejarahnya?" tanyanya lagi. Riwayat Natuna tak cukup dipelajari hanya lewat legenda dan dongeng. Apalagi untuk mengungkap identitasnya. Dalam sejarahnya, Natuna memang pernah menjadi bagian dari daulat wilayah besar Johor-Riau. Kelangsungan pemerintahannya di bawah Orang Kayo, di tengah budaya Islam yang berkembang. Namun, riwayat masyarakat Natuna mungkin bisa ditarik lebih jauh ke belakang. Di Pulau Bunguran, pulau terbesar di Natuna, memiliki banyak situs arkeologi. Khususnya di sepanjang pantai. Ada satu situs bernama Batu Sindu, bukit di Semenanjung Senubing, pantai timur Bunguran. Di sinilah jejak hunian awal di Natuna ditemukan. Bukti-bukti artefak didapatkan di antaranya beliung batu dan pecahan tembikar berslip merah polos. Tembikar jenis ini mencirikan peralatan penutur bahasa Austronesia. Ada pula yang berhias tatap bercap atau berukir. Corak ini dikenal sebagai corak Batu Melayu. Biasanya ditemukan di situs-situs Asia Tenggara Daratan dan di Borneo, seperti di Gua Sireh. Pertanggalannya dari sekira 5.000 tahun lalu. Ditemukan juga pecahan tembikar berhias geometris pola tumpal dan garis. Tembikar seperti ini populer di kawasan Sahuyn, Vietnam, dan Kalanay, Filipina. "Ini tempat-tempat yang berhadapan dengan Natuna," kata Sonny. "Jadi ada satu kelompok besar yang tinggal di peradaban Laut Cina Selatan." Temuan-temuan itu mengindikasikan adanya interaksi Natuna dengan kawasan perairan Laut Cina Selatan. "Belum ada data pertanggalan yang mendukung, jadi belum tahu kapan interaksi terjadi," kata Sonny. Beralih dari Batu Sindu, masih di pulau yang sama, di Desa Setapang, sebelah utara Kota Ranai ditemukan sisa permukiman dan keranda kayu. Keranda kayu ini berupa perahu lesung. Diduga ia dijadikan peti kubur. Keranda semacam ini juga ditemukan di Batu Bayan, selatan Kota Ranai. Bentuk kerandanya mirip dengan temuan di Sulawesi Selatan dari Bulukumba sampai Pulau Selayar. Keranda kubur juga ditemukan di Vietnam dan diidentifikasi sebagai bagian dari budaya Dong Son. "Tak jauh dari peti kubur (di Setapang, red. ), pada kedalaman yang sejajar ditemukan mangkuk. Tampaknya bagian dari bekal kubur dari peti kubur. Rangka atau tulangnya tak lagi bersisa," jelas Sonny. Arkeolog Puslit Arkenas, Naniek Harkantiningsih dalam Arkeologi Perbatasan Natuna: Perlintasan Budaya dan Niaga menulis, warga pernah mendapatkan keramik utuh di sekitar lokasi ini. Keramik itu bergaya Dinasti Yuan dari abad ke-13 sampai ke-14. Keramik memang menjadi komoditas impor di kawasan Natuna. Berdasarkan catatan Naniek yang dipublikasikan dalam “Natuna: Jalur Pelayaran dan Perdagangan Jarak Jauh”, termuat dalam Di Balik Peradaban Keramik Natuna, sebagian besar adalah keramik yang berasal dari Tiongkok abad ke-9 sampai ke-20, mencakup era Dinasti Song, Yuan, Ming, dan Qing. Keramik yang bukan dari Tiongkok baru ada mulai abad ke-14. Temuan keramik Vietnam, misalnya, berasal dari abad ke-14 hingga ke-15. Ditemukan juga keramik Thailand dari sekira abad ke-15 sampai ke-16, keramik Belanda dari abad ke-19-20, keramik Jepang dari abad ke-19-20, keramik Inggris dari abad ke-20, dan keramik Singkawang dari abad ke-20. "Temuan ini membuktikan bahwa Pulau Natuna merupakan salah satu pusat dan perlintasan niaga, dari sekira abad ke- 9 sampai ke-20," tulis Naniek. Sementara itu, menurut Sonny, temuan di Natuna memiliki kesamaan dengan di Situs Kota Cina di Sumatra Utara, Muarojambi di Jambi, dan Palembang. Ini memperlihatkan adanya jaringan pelayaran. Dari banyaknya temuan, terlihat kejayaan perniagaan yang melibatkan Pulau Natuna dimulai dari abad ke-9 sampai ke-10. Pada masa itu Sriwijaya tengah berkembang. Perniagaan terus meningkat pada abad ke-11 sampai ke-13. Selanjutnya ada Situs Sepempang. Ditemukan kubur yang bagian kepalanya di arah barat laut, dan bagian kaki di tenggara. Namun tak ditemukan bekal kubur. Rangka manusia ditemukan pula di Situs Tanjung. Di tangan kirinya ditemukan gelang perunggu. Sama seperti sebelumnya, posisi kepala berada di arah barat daya, kakinya di timur laut. “Kalau begini sudah pasti bukan muslim. Kuburan Islam arahnya utara,” kata Sonny. Rangka manusia lain yang ditemukan di situs itu memiliki barang-barang berupa senjata besi, seperti pisau dan keris. Dari sini terlihat, jenis bekal kubur di situs-situs kuno Natuna berbeda-beda. "Apakah masing-masing mewakili suatu etnis tertentu? Jadi, Natuna tidak hanya satu jenis etnis. Ada banyak etnis di Natuna? Karena Natuna bisa dilewati banyak pelayaran," kata Sonny. Hingga kini, para peneliti masih mencari penanggalan pasti kapan penghuni paling awal di Natuna. "Kami sempat mengajak Bu Hera (Herawati Supolo Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, red. ) untuk mengetes DNA-nya tapi belum dapat hasilnya," kata Sonny. Sayangnya, banyak situs yang sudah tak utuh. Kebanyakan karena ulah pemacok atau pemburu benda kuno yang mencari dengan cara menusuk-nusuk tanah menggunakan tongkat besi. Akibatnya kini para arkeolog kesulitan mengamati bukti cara hidup manusia pada masa lalu. "Kita keduluan 20 tahun. Sudah banyak yang hilang," kata Sonny. Sementara hubungan Natuna dengan Johor bukan cuma sebatas legenda. Sumber sejarah dan arsip tentang Kesultanan Johor memperjelas hubungan keduanya. Kebesarannya berlangsung sejak abad ke-16 hingga abad ke-18. Naniek menjelaskan, Kesultanan Johor-Riau menerima sumpah setia dari masyarakat di kawasan yang membentang dari bagian selatan jazirah Melayu, Kepulauan Riau termasuk Singapura masa kini, Kepulauan Anambas, Tambelan, dan Kepulauan Natuna, kawasan sekitar Sungai Sambas di Kalimantan barat-daya dan Siak di Sumatra tengah-timur. "Kesultanan Johor-Riau juga menyatakan bahwa orang-orang yang diperintah para penguasa Kampar, bendahara Pahang, dan Trengganu adalah kawulanya," jelas Naniek. Jejak pemerintahan Melayu di Natuna terlihat di pesisir Selatan seperti Segeram, Sedanau, dan Pulau Tiga. Ada peninggalan kuburan Islam yang orientasinya ke utara. Nisan-nisannya dari batu karang laut. "Temuan-temuan di Natuna mengagetkan kita. Natuna itu kecil, tak pernah menjadi Sriwijaya, tak pernah jadi kerajaan besar,” ujar Sonny. "Temuan-temuan ini menunjukkan ada organisasi besar untuk mengatur perdagangan kala itu."
- Suromo DS, Maestro Seni Cukil Indonesia
Pada awal 1950-an, seni cukil belum diminati secara serius oleh para seniman. Para pelukis dan pematung biasanya hanya membuat cukilan kayu untuk mengisi waktu luang. Peralatan dan bahannya pun sederhana. Misalnya menggunakan kentang atau ubi jalar yang digores seperti membuat stempel, maupun menggunakan batang bambu yang dicukil kemudian dicapkan ke atas kertas merang atau kertas padi. Saat itu, menurut Mustika dalam Seni Rupa Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei , seni cukil hanya dianggap sebagai latihan untuk memperlancar atau mengembangkan teknik atau cara melukis. Namun, dengan ketelatenan yang lebih, seorang seniman asal Surakarta, Suromo DS berhasil menghidupkan nyawa seni cukil di kancah seni rupa Indonesia. Suromo Darpo Sawego lahir pada 11 Oktober 1919 di Surakarta. Pria lulusan sekolah menengah pertama Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) ini mulai belajar menggambar pada pelukis Pirngadi di Jakarta pada 1937. Suromo juga belajar keramik, melukis kaca timah, dan tata dekorasi pada arsitek Robert Deppe. Pada tahun yang sama, ia mulai melukis dan bergabung dengan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). “Pada masa sesudah Persagi ia tetap dikenal sebagai pelukis yang aktif, dengan sifat sebagai een geboren schilder (pelukis berbakat), yang lebih suka bekerja dengan produktif daripada berdebat dalam wacana,” tulis M. Agus Burhan dalam Perkembangan Seni Lukis Mooi Indie sampai Persagi di Batavia, 1900-1942. Suromo Darpo Sawego. (Repro Perjalanan Seni Rupa Indonesia). Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya pada 1943, Suromo bergabung dengan organisasi kebudayaan bentukan Jepang, Keimin Bunka Sidosho dan Putera (Pusat Tenaga Rakyat) Jakarta. Kemudian pada 1945, dia turut serta dalam aksi corat-coret poster di Jakarta dan Surakarta. Setahun pasca Proklamasi, ia bersama Affandi menyelenggarakan pameran perjuangan seni lukis di Universitas Indonesia. Pada 1946, Suromo bersama Sudjojono dan pelukis lain pindah ke Surakarta. Mereka mendirikan organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM). Berpusat di Surakarta, SIM memiliki cabang di Yogyakarta dan Madiun. “Ia kemudian belajar grafis kepada seorang tukang klise. Dengan itu ia bisa memenuhi pesanan pelukis Sudjojono yang memintanya membuat ilustrasi dengan teknik cukil kayu untuk majalah SIM,” tulis FX Mulyadi, Hari Budiono, dan Ipong Purnama Sidhi dalam Setengah Abad Seni Grafis Indonesia . Di SIM, Suromo bertanggung jawab mengelola cabang seni keramik dan seni grafis dan secara khusus mengajar seni cukil kayu. Namun, SIM bubar pada 1949 karena agresi militer Belanda. Ia kemudian bergabung dengan kepengurusan Himpunan Budaya Surakarta (HBS). Lingkaran putih menunjukan wajah Suromo DS menurut Mikke Susanto, pengajar di Fakultas Seni Rupa ISI Yogyakarta. Mia Bustam dalam Sudjojono dan Aku menyebut Suromo memimpin seksi seni rupa HBS, serta menjadi pengajar di ASRI pada 1952. Ia juga merupakan anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) cabang Yogyakarta. Menurut Mia, wajah Suromo turut dilukis Sudjojono dalam lukisan Kawan-Kawan Revolusi (1947). Kaboel Suadi dalam Perjalanan Seni Rupa Indonesia , sejak awal Suromo membuat sendiri peralatan dan perlengkapan cukilnya dan seringkali mengangkat tema-tema perjuangan dan revolusi. “Bermodalkan peralatan sederhana yang dibuatnya itu, dia mengerjakan karya cukil kayu. Objek yang menarik tentu saja kehidupan hangat sehari-hari yang diliputi suasana perjuangan. Di antara karyanya yang berjudul Penghadangan Gerilya dan Pertempuran Gerilya ,” tulis Kaboel. Kaboel menyebut ketelitian kerja pada karya cukil kayu Suromo hampir mendekati teknik engraving . “Biasanya teknik engraving dipergunakan orang bagi perwujudan yang amat terikat pada gambar, khususnya tuntutan gambar yang sifatnya realistis. Demikian pula karya grafis Suromo yang beranjak tidak jauh dari realisme,” tulisnya. Selain melakukan berbagai pameran, salah satu pencapaian besar Suromo ialah mengikuti pameran biennale di Italia untuk seni cukilan kayu pada 1954. Karya cukil kayu Suromo berjudul "Persiapan". (Repro majalah Seni No.11 November 1955). Keseriusan Suromo dalam mengembangkan seni cukil mendapat perhatian cukup besar dari para seniman lain yang baru mengenal seni cukil yang saat itu terbilang baru. Meski demikian, gagasan realisme dalam seni cukilnya tidak banyak diikuti. “Cukil kayu Suromo hampir tidak ada yang mengikuti, tidak juga para mahasiswa dari ASRI. Realisme Suromo membutuhkan ketelitian kerja yang terikat disiplin. Teknik cukil kayunya hampir menjadi wood-engraving ,” jelas Kaboel. Sejak Suromo giat membuat cukil kayu, cukup banyak seniman yang mulai membuat karya-karya cukil seperti Mochtar Apin, Baharuddin Marahsutan, Oesman Effendi, dan Zaini. Rino Wijaya, anak keempat Suromo mengatakan bahwa ayahnya melarang anak-anaknya menggeluti dunia seni. “Sama almarhum diberi pesan tidak boleh jadi seniman. Beliau bilang kalian cari makan apapun terserah. Jangan jadi seniman, jadi seniman itu susah hidupnya. Yang sangat kami ingat di situ,” kata Rino Wijaya kepada historia.id . Karya cukil kayu Suromo berjudul "Rapat". (Repro majalah Seni No.11 November 1955). Pasca peristiwa 1965, banyak seniman yang terafiliasi dengan Lekra dipaksa tiarap. Sejak 1966, Suromo kemudian memilih menjadi wiraswasta. Namun, ia tetap berkarya baik lukisan, keramik maupun cukil kayu, meski tidak lagi mengadakan pameran. “Tidak lepas dari berkarya, baik itu di keramik, lukisan, atau seni cukil kayu. Pokoknya tidak jauh dari urusan seni. Sampai beliau menjelang meninggal pun masih sempat pegang (membuat karya seni) apapun yang bisa dipegang,” ujar Rino. Suromo meninggal dunia pada 23 Januari 2003. Pada hari kematiannya, ribuan pelayat memenuhi rumah Suromo di Bausasran, Yogyakarta. Beberapa seniman termasuk pelukis kawakan Djoko Pekik juga meminta Suromo dimakamkan di Makam Seniman Girisapto Imogiri. “Tapi ibu tidak membolehkan, alasannya kalau di Imogiri nanti menengoknya jauh. Sudahlah pokoknya dekat sini saja kalau aku menengok bapak nggak jauh-jauh,” ungkap Rino.
- Penculikan Kepala Stasiun CIA
PADA pertengahan 1983, Letnan Kolonel William Francis Buckley menjabat Kepala Stasiun CIA dengan menyamar ( cover ) sebagai pejabat urusan politik di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Beirut, Lebanon. Buckley ditugaskan untuk membantu Lebanon mengembangkan metode menghadapi terorisme. Dia juga berusaha membangun kembali intelijen Amerika Serikat setelah pemboman Kedutaan Besar Amerika Serikat beberapa bulan sebelumnya. Serangan itu menewaskan 17 orang Amerika, termasuk Robert C. Ames, kepala analis CIA Timur Tengah, dan beberapa petugas CIA.
- Lebaran dan Natalan Terakhir Bersama Wiji Thukul
FAJAR Merah terduduk di sebuah lahan berumput. Meski badannya menghadap ke kamera yang dipasang Yuda Kurniawan sang sutradara, matanya seringkali melengos ke kanan-kiri. Butuh satu helaan nafas panjang baginya sebelum bisa menjawab satu pertanyaan sulit yang dilontarkan Yuda. “Sejauh apa aku mengenal bapakku? Gimana ya,” cetus Fajar berupaya menjawab pertanyaan tentang Wiji Thukul ayahnya. Scene itu jadi salah satu inti cerita dokumenter Nyanyian Akar Rumput karya Yuda Kurniawan, yang diputar sejumlah bioskop mulai 16 Januari 2020. Kegagapan Fajar menggambarkan Wiji Thukul bisa dimaklumi lantaran sang ayah tak bisa berperan sebagai ayah sebagaimana umumnya di sebuah keluarga akibat aktivitasnya sebagai aktivis HAM di masa Orde Baru yang anti-kritik. Fajar baru berusia lima tahun kala Wiji Thukul jadi korban penghilangan paksa pasca-Tragedi Mei 1998. Fajar hanya bisa mengenal ayahnya setelah remaja lewat puisi-puisi sang ayah yang dia musikalisasi bersama tiga rekannya dalam band Merah Bercerita. “Sebagai anak, ya bingung untuk mengucapkan selamat ulangtahun. Hanya bisa melalui musikalisasi puisi ini. Hal paling sederhana ya itu. Dengan musik aku seolah bisa bicara dengan bapak, untuk bilang bahwa apa yang bapak lakukan tidak sia-sia,” sambung Fajar. Wahyu Susilo berkisah masa-masa kecil ia mengenal Wiji Thukul (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Meski sudah turun layar sejak 23 Januari 2020, Nyanyian Akar Rumput setidaknya mengingatkan publik dan pemerintah bahwa kasus-kasus semacam kasus Wiji Thukul masih jadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan negara. Selain itu, menurut Wahyu Susilo yang juga adik Wiji Thukul, film kedua tentang kakaknya itu –yang pertama, drama Istirahatlah Kata-Kata (2017) karya Yosep Anggi Noen– juga menyingkap beberapa sisi tentang Wiji Thukul yang jarang diperhatian orang. “Dari film ini kan juga diungkapkan bahwa keluarga merasa bahwa Thukul juga bersalah. Dia melarikan diri, menghilang, enggak urus keluarga, macam-macam. Dalam konstruksi keluarga yang normal, (Thukul) tak menjalankan tugasnya sebagai kepala keluarga,” ujar Wahyu kala ditemui Historia di sebuah rumah makan di gedung toko buku ternama di Matraman, Jakarta Timur. “Ini juga penting ya bagi orang yang selama ini selalu mendewa-dewakan aktivis demokrasi macam-macam, tapi juga ada nilai keluarga yang saya kira juga penting untuk disajikan,” sambungnya. Natal dan Lebaran Terakhir Rumah makan di gedung toko buku itu berseberangan dengan sebuah restoran masakan Padang. Dalam perbincangan dengan Historia , tetiba Wahyu terdiam kala menengok ke jendela besar yang menghadap restoran masakan Padang itu. “Kira-kira di situ. Dulu di situ rumah makan Padang juga, tapi enggak sebesar ini. Di situ dulu saya ketemu Mas Thukul. Salah satu momen terakhir ketemu dia,” ujarnya yang kemudian berdiri ke dekat jendela dan menatap restoran Padang itu. Seingat Wahyu, pertemuan dengan Wiji Thukul di restoran Padang itu terjadi medio Oktober 1997. Seetahun sebelumnya, sang kakak dituduh sebagai dalang Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 27 Juli) 1996 oleh rezim Soeharto. “Jadi ketika disebutkan dalang peristiwa 27 Juli itu, ada lima orang aktivis PRD (Partai Rakyat Demokratik). Mas Thukul salah satunya. Kemudian dia menyingkir. Berpindah-pindah sebagai statusnya buron. Sempat bersembunyi sampai ke Kalimantan, sampai akhirnya balik ke Jakarta dan ketemu saya di restoran Padang itu,” kata Wahyu. Wahyu Susilo menatap restoran Padang seberang jalan di mana pada Oktober 1997 ia bertemu kakaknya, Wiji Thukul (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Keterbatasan waktu dan kewaspadaannya membuat Wiji Thukul tak bisa bicara banyak dengan Wahyu. “Masih diskusinya tentang perkembangan politik. Sedikit juga bicara tentang keluarga. Mas Thukul menanyakan bagaimana kabar Mbak Sipon (Siti Dyah Sujirah, istri Wiji Thukul) dan anak-anak,” tambahnya. Nada bicara Wahyu berubah, suaranya bergetar, dan matanya berkaca-kaca ketika mengisahkan tentang kumpul keluarga besar lengkap dengan Wiji Thukul yang terakhir. “Di keluarga kami kan ada yang Katolik dan ada yang Muslim. Biasanya kumpul bareng itu di Yogya untuk Natalan sekaligus lebaran. Karena kan akhir tahun 1997 dan awal 1998 itu Natal sama lebaran harinya dekat. Itu juga sembunyi-sembunyi ketemunya. Itu Desember 1997 terakhir ketemu fisik dengan mas-ku. Jadi Natalan dan lebaran berikutnya akhir tahun 1998 sudah mulai enggak lengkap,” tuturnya lirih. Keluarga di Belakang Wiji Thukul Selain keluarga dan rekan aktivis seangkatannya, mungkin banyak yang tak mengenal dari keluarga seperti apa Wiji Thukul tumbuh sampai menjadi penyair yang kata-katanya ibarat peluru buat rezim Soeharto. Keluarga itulah yang jadi kisah Wahyu selanjutnya. Wiji Thukul merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Di antara Wiji dan Wahyu sebagai si bungsu, ada Nasri Nugroho. Orangtua mereka, Sayem dan Kemis Harjosuwito, orang biasa dengan ekonomi pas-pasan. “Dulu ceritanya kakek saya orang Karanganyar, dari utaranya Solo. Kemudian mereka jadi transmigran awal di Metro Tanggamus, Lampung. Bapak dan ibuku menikah di sana, tapi kemudian jadi urban ke Solo sekira tahun 1955-1956, setelah jual sawah untuk beli becak. Pekerjaan bapak ya penarik becak. Kalau ibu, ikut cari nafkah dengan jadi pembatik,” ungkap Wahyu. Wiji Thukul (kanan) bersama ayah-ibunya, Sayem dan Kemis Harjosuwito (Foto: Dok. Wahyu Susilo) Sejak kecil, kata Wahyu, Wiji Thukul sudah getol dengan banyak kesenian. “Seingat saya bapak ya pernah ikut kesenian di desa. Ya mungkin di zaman lalu, berkesenian di desa itu biasa selain narik becak,” sambungnya. Ketiga bocah sering diajak ayah mereka menyaksikan gamelan di Masjid Agung Solo saat Sekatenan. “Waktu Maulid-an, dulu biasanya selalu ada gamelan Kiai Guntur Madu dan gamelan Kiai Guntur Sari. Biasanya selepas (waktu salat) Isya’ sampai tengah malam diajak sama bapak,” tutur Wahyu. Di usia sekolah dasar sampai SMP, Wiji Thukul mulai tumbuh jadi anak yang kreatif dan relijius. Selain rajin ibadah, Thukul sering terlibat dalam banyak kegiatan seni di gereja. “Aktivitas seninya sebenarnya karena pengaruh gereja. Dia anggota paduan suara, anggota teater paroki, sampai dia masuk ke Sekolah Menengah Karawitan Indonesia,” ujarnya. Namun Thukul tak sampai menamatkan sekolah itu. Ia memilih putus sekolah agar biaya pendidikan yang ditanggung kedua orangtuanya dialihkan untuk kedua adiknya. “Ya itu. Dia orangnya baik, enggak pernah jahil sama adik-adiknya. Selalu ngalah orangnya sama adik-adiknya,” kata Wahyu yang kembali terdiam setelahnya. Meski putus sekolah, kegiatan teater Wiji Thukul jalan terus. Ia ikut ke Teater Jagat, lalu mendirikan perkumpulannya sendiri, Teater Suka Banjir. “Saya ketemu Mas Thukul di Teater Jagat. Kemudian kita dekat sampai menikah. Tapi karena di Teater Jagat ada aturan anggotanya enggak boleh menikahi sesama, akhirnya Mas Thukul keluar dan membuat Sanggar Suka Banjir,” ungkap Sipon dalam salah satu cuplikan di Nyanyian Akar Rumput. Kolase kebersamaan Sipon dan Wiji Thukul yang menikah pada 1988 (Foto: Dok. Wahyu Susilo) Wiji Thukul mulai menyentil rezim Orde Baru dengan puisi-puisinya kala sudah terlibat di Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker), perkumpulan seniman dan budayawan yang kemudian menjadi salah satu sayap organisasi di PRD. “Sebelumnya dia nulis puisi-puisinya di masa awal-awal, ya semacam puisi gelaplah. Puisi yang abstrak begitu. Sempat dibacakan di RadioPTPN Solo tahun 1979-1980-an, waktu saya masih SD. Mulai isu-isu politik di puisinya sejak di Jakker itu. Dia yang jadi kepala seksi budaya dan seni di PRD itu dengan Jakker-nya,” sambung Wahyu. Imbas dari aktivitasnya itu, kediaman keluarga Wiji Thukul acap menerima teror. Namun, lanjut Wahyu, keluarga akhirnya terbiasa. Tetapi ketika sudah sampai puncaknya, saat Wiji Thukul dan 12 aktivis HAM lain dihilangkan paksa, sampai detik ini keluarga belum mau menyerah walau mulai lelah setelah 21 tahun. “Harapan kita (keluarga) itu, dulu dia ngumpet atau apa, tapi ternyata kan enggak pulang-pulang. Hasil investigasi KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, red .) bahwa ternyata menjelang kejatuhan Soeharto ada gerakan-gerakan yang, enggak tahu terkomando atau tidak, dari militer melakukan penculikan,” sambungnya. Pada 2000, KontraS menyatakan 13 aktivis HAM yang hilang itu jadi korban penghilangang paksa, termasuk Wiji Thukul. Tidak hanya Sipon dan kedua anaknya, Wahyu dan kedua orangtuanya pun turut memendam pedih. Rona kepedihan itu dihadirkan Yuda Kurniawan dalam Nyanyian Akar Rumput lewat footage Sayem dan Kemis Harjosuwito turut hadir dalam penyerahan penghargaan Yap Thiam Hien 2002 untuk Thukul yang diterima keluarga. Footage itu didapat Yuda dari Lexy Rambadeta, videografer-aktivis yang sering mengikuti aktivitas keluarga Wiji Thukul semasa memperjuangkan pencarian sang akvitis. “Dari ceritanya Mas Lexy, Mbah Sayem dan Mbah Kemis di situ berpikirnya dia akan ketemu Wiji Thukul, tapi ternyata enggak ada. Setelah acara selesai, mereka menanyakan terus, ‘ Dadi piye iki , Wiji Thukul iki ? Kapan sido mulih ?’ (Jadi bagaimana Wiji Thukul? Kapan jadinya dia pulang),” kata Yuda pada Historia di tempat berbeda. Yuda Kurniawan, sutradara dokumenter "Nyanyian Akar Rumput" (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Adegan lain yang tak kalah mengharukan adalah ketika Fajar menginap di rumah Wahyu di Depok. Kebetulan Yuda berhasil merekam momen Mbah Sayem membangunkan Fajar yang tidur di sofa depan rumah Wahyu. Seraya mengucek mata, Fajar menyambut pelukan Mbah Sayem yang pecah tangisnya. “Kangen aku, le ,” (Kangen aku, Nak). “Ngopo, Mbah? Kalo ketemu pasti nangis,” jawab Fajar. Sayem mengira Fajar adalah Wiji Thukul, anaknya yang hilang lebih dari dua dasawarsa lalu. “Karena mungkin perawakannya Fajar mirip ya sama bapaknya. Rambutnya ikal, badannya kurus, wajahnya juga mirip banget. Sampai dicubit-cubit pipinya Fajar,” sambung Yuda. Kemis dan Sayem Harjosuwito tak pernah mendapatkan jawaban sampai keduanya menutup usia. Kemis wafat pada 2005, sementara Sayem pada 2017. “Mereka (Kemis dan Sayem) selalu tanya. Kadang-kadang kita enggak tahan juga, kan, baik saya maupun Mbak Sipon. Kita hanya bisa bilang, ya (Thukul) belum pulang, begitu terus. Kita juga enggak ingin menyampaikan anaknya hilang karena politik. Bapak dan ibu enggak pernah berhenti tanya sampai hari terakhirnya,” tandas Wahyu.
- Nasib Tragis Kapal Inggris
BERT “Curly” Harris selalu ingat hari ketika peristiwa yang merenggut nyawa Edwin, kakaknya, dan juga nyaris merenggut nyawanya terjadi. Peristiwa itu terjadi perairan Norwegia, Laut Utara, awal Perang Dunia II. Bert merupakan personil AL Inggris yang –diterima pada 14 Februari 1938– bertugas sebagai stoker di kapal perusak (destroyer) HMS Glowworm . Di kapal itu pula Edwin berdinas sebagai stoker . Menyusul pecahnya Perang Dunia (PD) II, Glowworm bersama beberapa destroyer lain ditugaskan mengawal kapal penjelajah berat HMS Renown melancarkan Operasi Wilfred pada 5 April 1940. Operasi penebaran ranjau di perairan Norwegia itu bertujuan untuk menutup jalur distribusi impor bijih besi Jerman dari Swedia. Inggris menggelarnya setelah gagal mendapat izin dari Swedia dan Norwegia untuk menempatkan pasukan di kota-kota utara dua negeri netral itu, terutama kota pelabuhan Narvik, Norwegia. Dari kota pelabuhan itulah bijih besi, bahan pembuat baja beragam peralatan militer Jerman, Swedia dikirim ke Jerman. Dengan menutup jalur perairan itu, Inggris berharap mematikan industri Jerman. Pasalnya, Swedia jadi satu-satunya pemasok bijih besi ke Jerman setelah terhentinya pasokan bijih besi dari Prancis menyusul pecahnya PD II. Bijih besi itu bisa dikirim langsung Swedia ke Jerman lewat pelabuhan Lulea hanya pada musim panas. Namun, perairan di pelabuhan itu membeku saat musim dingin sehingga bijih besi untuk Jerman hanya bisa dikirim menggunakan keretaapi ke pelabuhan Narvik untuk kemudian dibawa kapal-kapal Jerman lewat Laut Utara. Dengan menebar ranjau di laut itu di lepas perairan Norwegia, Inggris berupaya untuk menggiring kapal-kapal pengangkut bijih besi Jerman masuk ke perairan internasional. Di perairan internasional, kapal-kapal AL Inggris bisa menenggelamkan atau menangkap kapal-kapal Jerman. Misi itulah yang diemban Glowworm ketika berlayar mendampingi HMSRenown pada 5 April 1940. Pelayaran itu terasa berat lantaran kabut tebal, gelombang tinggi mengguncang-guncang kapal, dan udara sangat dingin. “Begitulah yang terjadi sampai pagi 6 April ketika alarm berbunyi memperingatkan bahwa seorang pelaut tercebur ke laut, dia petugas bagian torpedo,” kata Harris, dimuat hmsglowworm.org.uk . Setelah mengirimkan sinyal ke Renown dan mendapat balasan, Glowworm putar balik untuk melakukan pencarian. Renown dan kapal-kapal lain tetap melanjutkan perjalanan. “Itu membuat kami sendirian. Kami tak pernah melihat mereka lagi,” kata Harris. Alih-alih berhasil menemukan awaknya, Glowworm malah terpisah dari konvoinya. Upayanya mencari konvoi sepanjang hari sia-sia. Kesialan itu masih berlanjut hingga keesokan paginya, ketika satu awak lain mengalami nahas terlempar dari dek. Kendati berhasil diangkut kembali ke kapal, awak itu sudah terluka parah. Harris dan beberapa rekannya mengganggap itu sebagai pertanda buruk. Benar saja, pagi 8 April, Harris yang sedang tidur di ranjang gantungnya dikagetkan oleh bunyi alarm keras. Dia langsung bergegas menuju tempat tugasnya –yang berada di bagian belakang; tempat para stoker memasok peluru atau peledak lain ke kru senjata ( gun crew ) guna ditembakkan– sebagaimana awak lain menuju tempat tugas masing-masing. Dalam perjalanan, Harris melihat sebuah destroyer di kejauhan dan bertanya-tanya kapal siapa itu. “Kapten kami, Lt. Cdr. Roope, mengirim sinyal yang menanyakan kebangsaan dan tak mendapat balasan. Momen berikutnya kapal (destroyer, red .) itu menjawab dengan sebuah salvo dari meriam-meriamnya,” kata Harris. “Kesenangan pun dimulai.” Destroyer itu merupakan Bernd von Arnim (Z11) dan Hans Ludemann (Z18) milik Kriegsmarine (AL Jerman). Destroyer-destroyer itu mengawal kapal penjelajah berat Admiral Hipper dari Grup 2 naval detachment dalam Operasi Weserubung, operasi penyerbuan Denmark dan Norwegia oleh Jerman. Glowworm langsung membalas dengan kanonnya. “Setelah saling berputar, ia berbalik dan menjauh bersama kami yang mengejarnya,” kata Harris. Destroyer-destroyer meminta bantuan Admiral Hipper . “Beberapa saat kemudian, kami diberi tahu bahwa kami mengejarnya ke posisi skuadron armada kami yang bisa dilihat dari kejauhan. Namun, kami segera mendapati kesalahan karena itu adalah skuadron Jerman yang kami masuki.” Pukul 9.50, Glowworm bertemu Admiral Hipper yang panjangnya dua kali lipat darinya. Alih-alih kabur, komandan Glowworm Letnan Komander Gerard Broadmead Roope memilh melawan. “Selama kampanye Norwegia, kapal-kapal Inggris berulangkali menunjukkan tekad bunuh diri. Salah satu alasannya adalah, peraturan angkatan laut; yang lain adalah sikap umum para perwira angkatan laut negara-negara yang berperang, yang mengharapkan bertempur dengan gagah melawan musuh dan tenggelam dengan kibaran bendera, dan penghormatan pantas bila terjadi,” tulis buku yang dieditori Holger Afferbach dan Hew Strachan, How Fighting Ends: A History of Surrender . Meski selamat dari tiga tembakan kanon 8 inci Hipper , Glowworm akhirnya terbakar setelah dihantam kanon keempat Hipper . “Sementara kami terus memasok senjata, rasanya semua kacau. Ia ( Hipper ) sepertinya memukul kami dengan keras saat kami mengejar,” kenang Harris. Dalam “lindungan” kabut dan asapnya sendiri, Glowworm menjauh dari Hipper . Upaya itu sia-sia karena persenjataan Hipper telah dipandu radar. Beberapa saat kemudian, beberapa kanon 4,1 inci Hipper kembali menghantam Glowworm. Ruang radio, bridge , kanon 4,7 inci Glowworm langsung hancur. Sementara, kanon 4,7 inci Hipper memporak-porandakan ruang mesin, ruang kapten, dan menara Glowworm . Di tengah kondisi parah itu, Glowworm menembakkan lima torpedonya. Sayang tak satupun dari lima torpedo itu menyentuh Hipper . Glowworm terus bermanuver untuk menghindari senjata-senjata lawan. Begitu kabut menipis, Roope memerintahkan nahkoda untuk mengarahkan Glowworm menabrak Hipper . “Saya masih di magazine (kompartemen senjata) ketika Glowworm memberi dorongan ekstra ke depan dan ada tabrakan dan bergetar. Lampu padam, kapal berguling dan terombang-ambing,” kata Harris. Glowworm berhasil menabrak Hipper tepat di atas jangkarnya. Selain kehilangan seorang awak yang terbentur akibat tabrakan, Hipper kehilangan jangkar dan sebuah torpedo depan-kanan. Tabrakan juga membuat lambung depan Hipper bolong sehingga mengalami kebocoran kendati tak parah dan bisa ditangani para awaknya. Glowworm sendiri terbakar hebat dan terapung-apung di lautan. “Kami baru saja membuat permainan besar terakhir. Kemudian datang perintah untuk meninggalkan kapal,” kata Harris. Evakuasi dimulai. Saat melintasi tempat kakaknya ketika akan menuju dek atas, Harris sempat berhenti dan mencari kakaknya. Tak berhasil. Dia melanjutkan ke dek atas. Suasana amat kacau lantaran para personil Hipper masih menembaki awak Glowworm yang hendak menyelamatkan diri menggunakan senapan mesin maupun pistol. Sementara Glowworm telah terbalik ke kanan dan mulai tenggelam, Harris ragu apakah akan melompat atau tetap di kapal sebagaimana banyak dipilih stoker lain meski sudah mengenakan pelampung. Selain ombak besar, tumpahan minyak amat tebal dan dinginnya air bisa membekukan. Dia akhirnya melompat ke laut setelah diperintahkan Roope yang berkeliling untuk memastikan evakuasi berjalan baik. “Itu terakhir kali saya melihat Lt.Cdr Roope,” kata Harris. Harris terombang-ambing oleh ombak. “Saya hanya hanyut, berenang atau tidak tak ada bedanya,” kenangnya. “Lalu tiba-tiba saya melihat kapal Jerman di depan saya. Saya berenang sekuat mungkin, karena saya pikir jika saya tak mencapainya saya akan hilang selamanya.” Awak Hipper akhirnya ikut menyelamatkan awak Glowworm . “ Admiral Hipper menunggu setidaknya satu jam untuk mengambil orang yang selamat,” tulis Henry Buckton dalam Retreat: Dunkirk and the Evacuation of Western Europe . Dari perahu Jerman, Harris dipindahkan ke Hipper . “Saat saya pindah, salah satu dari mereka memberi rokok dan bertanya apakah saya baik-baik. Saya berada di bawah pancaran lampu yang mereka pasang untuk menghangatkanku. Kata-kata pertamaku adalah menanyakan kabar kakakku, tapi tak ada,” kata Harris yang akhirnya merelakan kepergian kakaknya bersama 109 awak Glowworm lain yang tenggelam. Sebanyak 29 – versi lain menyebut 31– awak Glowworm akhirnya selamat setelah dinaikkan ke Hipper . Sayang Roope tak berhasil diselamatkan. Lukanya terlalu parah sehingga dia tak sanggup menggapai tali yang dilemparkan oleh awak Hipper . Para awak Glowworm di kapal Hipper akhirnya dibawa ke Jerman dan dijadikan tawanan. Selama pelayaran, mereka diperlakukan dengan baik. “Saya mengatakan mereka adalah pelaut Jerman terbaik yang pernah saya kenal. Mereka menjaga kami sebaik mungkin. Kapten mereka mendatangi kami dan memberitahu bahwa kapten kami adalah orang yang sangat pemberani,” kata Harris. Kekaguman Hellmuth Heye, komandan Hipper , akan keberanian Roope lalu dilanjutkannya dengan meminta Kementerian Angkatan Laut Inggris agar menganugerahi Roope sebuah penghargaan. Permintaan itu disampaikannya lewat pesan yang dikirim ke palang merah. “Raja (George VI) dengan senang hati menyetujui pemberian Victoria Cross kepada mendiang Letnan Komander Gerard Broadmead Roope atas keberaniannya,” tulis The London Gazette yang dikutip Buckton.
- Bidan Berjuang di Medan Perang
SAMIARTI Martosewojo, Sulastri, Mardiana Firdaus, Rusdiati Koesmini, Supiah, Sufitah, Kus Adalina, Djoharnin, Maryati, Sumartinah, Clara Lantang, Corrie Probonegoro, Daatje Idris, Murni Kadarsih, dan Soejati tak sedikitpun takut pada suasana perang. Perang mempertahankan kemerdekaan justru membulatkan tekad 15 siswi sekolah bidan itu untuk maju ke medan perang sebagai tenaga medis bagi para pejuang. Kala itu, jumlah tenaga medis di Indonesia amat minim. Di Jakarta misalnya, jumlah dokter yang semula 26 menyusut menjadi 14 orang lantaran ada rumah sakit yang tutup. Dokter-dokter itu kembali ke negaranya atau berpihak pada Sekutu. Jumlah bidan pun amat minim. Di Rumah Sakit Budi Kemulyaan yang sebelumnya terdapat enam biro konsultasi kehamilan, jumlahnya justru berkurang. Sudar Siandes mencatat dalam Profesi Bidan Sebuah Perjalanan Karier, pada pertengahan 1946 beberapa biro harus ditutup lantaran kekurangan bidan dan tenaga medis. Rumahsakit ini pun agak keteteran memberikan bantuan persalinan di awal kemerdekaan. Meski demikian, selama enam bulan dari 1945 hingga pertengahan 1946, Budi Kemulyaan berhasil menangani 1157 persalinan dalam sebulan. Paling sedikit, rumahsakit ini menangani 451 persalinan dalam sebulan. Minimnya jumlah bidan membuat Budi Kemulyaan membuka pelatihan bidan untuk gadis, minimal tamatan SMP atau yang sudah mendapatkan pendidikan keperawatan, antara 1945 hingga 1947. Sebanyak 163 gadis mendaftar sebagai murid sekolah bidan tersebut, 15 di di antaranya dikirim ke palagan Surabaya. Mereka dikirim ke palagan di bawah bendera Palang Merah. Dokter Walter Tambunan bersama O.E. Engelen, asistennya yang seorang mahasiswa kedokteran di Ika Daigaku, memimpin rombongan tersebut. Kala itu, kondisi medis di Surabaya amat memprihatinkan. Hampir seluruh rumahsakit di Surabaya mengalami masalah serupa, yakni pasien membludak, alat medis terbatas, dan kekurangan petugas medis. Untuk menjaring bantuan dari luar daerah, selama pertempuran Surabaya berlangsung, Radio Pemberontak terus menyiarkan berita perang terbaru. Berkat pidato dan popularitas Bung Tomo, obat-obatan, bantuan medis, bahan pangan, tentara, dan beragam dukungan berhasil dikumpulkan dari luar daerah. Dalam siarannya, Bung Tomo acap memaki pasukan musuh dalam bahasa Jawa Surabaya. Frank Palmos dalam Surabaya 1945: Sakral Tanahku lebih jauh mencatat, di medan laga kala itu jumlah korban berjatuhan tak sebanding dengan jumlah tenaga medis yang harus merawat mereka. Beruntung, perawat, dokter, dan bidan baru terus berdatangan dari daerah lain untuk membantu rumah sakit yang masih kebanjiran pasien. Bahkan gedung-gedung sekitar rumah sakit pun dijadikan ruang perawatan. Para relawan ini, kemudian hari dikenal sebagai gadis-gadis P3K. “Relawan baik pejuang maupun tenaga medis datang dari berbagai penjuru Nusantara,” kata Rosihan Anwar, seperti dikutip Frank Palmos. Begitu tiba di Surabaya, para bidan dan dr. Walter Tambunan langsung bergabung dengan relawan medis dari daerah lain. Orang-orang yang terluka langsung dibawa ke RSU Pusat namun semakin hari pasien makin banyak. RS Karangmenjangan yang tadinya RS Angkatan Laut Jepang pun sudah tak mampu menampung pasien. Ketika situasi perang makin memburuk dan pengeboman Inggris dimulai, kaum perempuan Surabaya berbondong-bondong turun tangan sebagai tenaga medis. Semua tim medis yang terkumpul dibagi menjadi beberapa kelompok dan dikirim ke Ngemplak, Plampitan, Kampemen, Kedungdoro, dan Embong Sawo. Merekalah yang membantu para korban untuk dibawa ke rumah sakit. Salah satu perempuan yang bergabung dengan tim medis ialah Truus Iswarni Sardjono. Ia bergabung dengan Palang Merah 45 pimpinan Loekitaningsih. Pada Historia Truus bercerita bahwa ia pernah menyaksikan anak-anak kecil yang tewas terkena bom Inggris. Banyaknya korban membuat tim medis keteteran dan kurang tidur. Mereka harus berjaga secara bergiliran untuk menolong korban-korban perang. “Kita itu 24 jam…. Kalau kita bisa merem, itu sudah hebat,” kata Truus. Lantaran rumah sakit dianggap sebagai wilayah netral untuk keperluan kemanusiaan, para relawan medis bisa keluar masuk daerah perang dengan relatif aman. Biasanya mereka naik mobil ambulans atau kendaraan dengan atap bertuliskan Palang Merah. Selain membawa pasien, truk-truk medis juga membawa obat, bahan farmasi, alat medis, dan bedah. Setelah perang usai, dari seluruh bidan yang berangkat, hanya delapan di antaranya meneruskan sebagai bidan dan bergabung dengan Ikatan Bidan Indonesia yang dibentuk pada 1950.
- 17 Tuan dan Kehancuran VOC
Dibentuknya Heeren Zeventien atau 17 Tuan sebagai dewan tertinggi perdagangan di Belanda terbukti berhasil membawa kejayaan bagi negeri di barat benua Eropa tersebut. Melalui Verenigde Oostindische Compagnie (VOC), Belanda mampu menguasai perdagangan di Benua Biru pada abad ke-17. Mereka menjadi kongsi dagang terbesar yang menjajakan rempah-rempah dari timur, terutama wilayah Hindia Timur (sekarang Indonesia) dan sebagian Asia. Selama lebih dari setengah abad, sejak berdirinya Heeren Zeventien pada 1602, VOC mengalami kemajuan yang sangat signifikan. Dewan yang berisi wakil-wakil dari enam kamar dagang –Amsterdam, Zeeland, Delft, Rotterdam, Hoorn, dan Enkhuizen– ini mengatur manajemen di tubuh VOC dengan sangat baik. Perputaran ekonomi di Belanda juga berjalan lancar, hanya terjadi masalah-masalah kecil yang dengan cepat diatasi. Namun seiring berjalannya waktu, prilaku para pejabat VOC di negeri jajahan semakin tidak terkendali. Dalam Jan Kompeni: Sejarah VOC dalam Perang dan Damai 1602-1799 , CR Boxer menyebut jika sejak pertengahan abad ke-17, Heeren Zeventien kesulitan mengatur anak buahnya. Banyak pelanggaran yang akhirnya membuat 17 Tuan ini menaruh curiga terhadap orang-orang di tanah jajahan. “Mengenai mutu para abdi VOC, entah ini pedagang, pendeta, pelaut atau serdadu, kebanyakan pendapat masa itu mengenai mereka sangat kritis, Heeren XVII sejak mulanya menaruh kecurigaan terhadap bawahan mereka di Timur, terus-menerus. Para pengurus cenderung meragukan kejujuran mereka dan efisiensi mereka,” tulis Boxer. Musabab Kehancuran Kehancuran VOC pada abad ke-18 memang memberi pukulan berat bagi ekonomi Belanda. Mereka kehilangan banyak sekali pemasukan demi keperluan penjajahan di wilayah koloninya. Bahkan kedudukan sebagai pemilik ekonomi terbesar di Eropa pun harus rela mereka lepaskan. Namun runtuhnya kongsi dagang utama milik Belanda ini adalah ulah mereka sendiri. Banyak faktor di baliknya. Dalam hal ini, Heeren Zeventien juga ikut bertanggaung jawab karena membuat keputusan yang keliru. Mereka membiarkan para pejabat VOC menjalankan bisnis pribadi di wilayah koloni. Pada awalnya mereka melarang segala bentuk kegiatan di luar kepentingan negeri Belanda. Tetapi dengan pertimbangan rendahnya gaji para pegawai, larangan-larangan itu akhirnya terabaikan. Akhirnya banyak praktek berjalan tanpa sepengatuan Heeren Zeventien. “Tidak dapat disangkal bahwa banyak mereka yang tidak baik wataknya bekerja pada VOC dengan tujuan memperkaya diri, secepat mungkin, dengan daya apa saja,” ucap Boxer. Sebenarnya kejahatan-kejahatan di tubuh VOC dapat dihindari manakala para pejabatnya membuat pernyataan yang jujur dalam setiap laporannya. Sejarawan Universitas Leiden FS Gaastra dalam De Geschiedenis van de VOC , mengatakan jika surat-menyurat antara Dewan Hindia di Batavia dan Heeren Zeventien di Amsterdam berjalan lancar. Namun mengenai kebenaran isi laporannya itu menjadi soal lain. Saling kirim laporan ini sering dilakukan dengan nada sengit karena baik Heeren Zeventien maupun dewan di negeri jajahan memiliki ego yang sama-sama tinggi. Runtuhnya pondasi VOC juga terjadi akibat Heeren Zeventien dianggap tidak sigap dalam merespon keluhan para pegawainya. Seperti terlihat saat mereka enggan menyediakan serdadu dan kelasi kapal yang baik mutunya. Pada 1630 para pejabat di Batavia mengirimi Heeren Zeventien surat agar bisa diberi serdadu yang baik kualitasnya. Namun dewan pusat malah memberi mereka serdadu dengan pengalaman serta watak yang buruk. “Lagi-lagi begitu banyak orang yang bejat dan tidak berpengalaman di antara mereka yang baru saja tiba di sini (Batavia) hingga beberapa orang nakhoda dan perwira menyatakan keheranannya bahwa kapal-kapal sempat juga bisa selamat sampai ke mari,” ujar Gubernur Jenderal Carel Reyniersz dalam salah satu suratnya. Ketegangan antara Heeren Zeventien dengan para pejabat di Dewan Hindia juga diyakini sebagai sebab keruntuhan VOC. Dalam kurun masa 1700-an, para pejabat di Batavia telah sering dicap lalai bertugas oleh dewan pusat. Puncaknya, jalur perdagangan dari Batavia ke negeri Belanda ditutup. Bahkan kapal-kapal dari wilayah Asia yang semula singgah di Batavia membuat jalur baru agar dapat langsung menuju Belanda. Seperti jalur dari India dan China. Namun keputusan Heeren Zeventien itu memberikan kerugian yang amat besar bagi VOC. Dari setiap keberangkatan, hanya sebagian kecil kapal yang berhasil tiba di Belanda ataupun sebaliknya. Perjalanan panjang tanpa istirahat, serta kondisi cuaca dan kapal menjadi alasan kapal-kapal itu tidak bisa kembali. Menuju Kematian Memasuki abad ke-18, dewan pusat di Amsterdam mendesak para pejabat di negeri-negeri jajahannya untuk segera menambah pemasukannya. Di Hindia, VOC akhirnya mencari jalan pintas, yakni dengan cara ikut campur dalam urusan politik kerajaan-kerajaan di Nusantara. Hal itu dilakukan agar mereka segera menarik simpati para penguasa daerah sebagai pemilik sumber daya alam. Mereka mulai terlibat dalam urusan pelik di negeri jajahan. Menurut sejarawan Universitas Gadjah Mada Sri Margana, VOC terlibat dalam berbagai peperangan di Jawa, Sulawesi, dan Maluku, yang memakan kas perusahaan dalam nominal yang tidak sedikit. Senada dengan Margana, Gaastra juga menyebut jika perang dengan Inggris paling menguras keuangan VOC. Keadaan tersebut memaksa Heeren Zeventien melakukan peminjaman modal ke berbagai kamar dagang di Belanda. Hutang di tubuh VOC pun semakin membengkak. Dewan menanggung malu dan kepercayaan terhadap penanaman modal di kamar dagang pusat itu perlahan mulai hilang. Reinout VOS dalam Gentle Janus, Merchant Prince: The VOC and The Tightrope of Diplomacy in The Malay World 1740-1800 menyebut jika perang dengan Inggris pada 1780 telah menguras 70% dari seluruh aset VOC. Hal itu telah benar-benar membuat VOC kehilangan kekuataan untuk menjalankan perusahaannya. “Beberapa tahun terakhir (VOC) diliput berbagai pertentangan. Dua faktor utama yang menyebabkan kemerosotan: kehilangan laba dan akumulasi utang,” tulis Reinout. Pada 31 Desember 1799, VOC resmi dinyatakan bangkrut. Ketidakmampuan mempertahankan kondisi keuangan perusahaan memaksa pemerintah Belanda akhirnya mengambil tindakan pembubaran kongsi dagang yang telah berjasa hampir 2 abad tersebut. Heeren Zeventien juga ikut dihilangkan, meski sejumlah kongsi dagang yang ada di bawahnya masih tetap berjalan. Seluruh utang dan aset-asetnya diambil alih oleh Kerajaan Belanda, termasuk bekas wilayah koloninya di Hindia. Sejak 1800, didirikanlah pemerintahan kolonial baru bernama Hindia Belanda.
- Imlek Bersama Presiden Jokowi
Presiden Joko Widodo menjadi magnet dalam perayaan Imlek Nasional 2020 di ICE BSD Tangerang Selatan, Kamis, 30 Januari 2020. Dalam perayaan tahun baru Tionghoa itu, Jokowi menyampaikan pentingnya menjaga keberagaman dan pluralisme. Ia juga sempat berkelakar soal kerja keras. "Selamat memasuki tahun tikus logam. Shio saya kerbau. Katanya tahun ini saya harus kerja keras. Padahal tahun kemarin saya sudah super kerja keras," seloroh Jokowi dalam sambutannya. Presiden ketujuh itu juga menarik perhatian hadirin karena mengenakan baju tradisional Tiongkok, changshan berwarna merah. Baju yang dipakai itu merupakan baju yang dirancang oleh desainer Anne Avantie. "Saya senang sekali hari ini bisa pakai baju ini ( changshan )," kata Jokowi disambut tepuk tangan hadirin. Presiden bersama Susi Susanti dan seorang hadirin ketika hendak membagikan sepeda. (Fernando Randy/Historia). Dalam acara tersebut tampak hadir mantan Wakil Presiden Try Sutrisno dan istri mantan Presiden Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid. Serta hadir pula Menteri Agama Fachrul Razi dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, serta perwakilan dari kerajaan-kerajaan yang masih ada di Indonesia. Darma Ismayanto dalam tulisannya di historia.id , Kala Musim Semi Tiba , menyebut Imlek atau Tahun Baru Cina di negeri asalnya merupakan perayaan menyambut musim semi. Tradisi ini berkaitan dengan sistem penanggalan kalender Tionghoa yang berpatokan pada peredaran bulan berpadu peredaran matahari. Sistem penghitungan ini dikenal sebagai kalender Lunisolar, di mana awal tahun bertepatan dengan masuknya musim semi. Karena itu, di Tiongkok, Tahun Baru Imlek lebih dikenal dengan sebutan Chunjie (perayaan musim semi). Aksi paduan suara di acara Imlek Nasional 2020. ( Foto : Fernando Randy/Historia) Sementara Novi Basuki, mahasiswa doktoral di Sun Yat-sen University, Cina, menyebut perayaan tahun baru Imlek merupakan hari rayanya kaum tani. Kitab Shang Shu dan dan kitab Li Ji telah menyebut adanya perayaan ini pada masa Kaisar Shun berkuasa sekitar 2184 SM. Hal ini juga berkaitan dengan Tiongkok sebagai negara agraris sejak ribuan tahun sebelum kelahiran Khonghucu. "Dengan demikian barangkali bisa dibilang, hari raya Imlek bukanlah monopoli pemeluk agama Khonghucu semata, melainkan seluruh masyarakat Cina, terlepas apa pun agama yang kini diimani atau tidak diimani mereka,” tulis Basuki dalam artikelnya di historia.id : Benarkah Khonghucu Memerintahkan Perayaan Tahun Baru Imlek? Di Indonesia, perayaan Imlek diperkirakan sudah ada sejak orang-orang Tionghoa bermigrasi ke kepulauan Nusantara dan membentuk komunitas-komunitas Tionghoa. Pada masa penjajahan, pemerintah melarang adanya perayaan Imlek. Kemudian pada masa pedudukan Jepang, berdasarkan keputusan Osamu Seiri No. 26 tanggal 1 Agustus 1942 hari raya Imlek menjadi hari libur resmi. Salah satu penyanyi saat menghibur di acara Imlek Nasional 2020. ( Foto : Fernando Randy/Historia) Ini merupakan kali pertama perayaan Imlek di Hindia Belanda diakui secara resmi dan dijadikan hari libur. Hal ini ternyata merupakan cara pemerintah Jepang "membersihkan" masyarakat Tionghoa dari pengaruh budaya Barat. Pada masa pemerintahan Sukarno, Imlek tetap dirayakan. Kala itu, Sukarno mengeluarkan Penetapan Pemerintah 1946 No.2/Um tentang “Aturan tentang Hari Raya” di mana pada Pasal 4 menyebut Hari Raya Tiong Hwa meliputi Tahun Baru, Wafat N. Kong Hu Cu, Tsing Bing dan Hari Lahir N. Khong Hu Cu. Kemudian pada Pasal 5 disebutkan bahwa, "pada hari Raya Tiong Hwa, maka semua kantor pemerintah dibuka setengah hari, kecuali kantor-kantor pejabatan penting yang menurut pendapatan kepalanya harus dibuka sehari, sedangkan pegawai bangsa Tiong Hwa diwajibkan masuk kantor." Barongsai dalam perayaan Imlek Nasional 2020. (Fernando Randy/Historia). Setelah Sukarno lengser dan kekuasaan diambil alih Soeharto, terjadi pelarangan terhadap Imlek. Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967, melarang segala hal yang berbau Tionghoa, termasuk perayaan Imlek. Pada masa ini, perayaan Imlek digelar secara tertutup dan diam-diam. Sejak 2000, Imlek kembali dapat dirayakan secara terbuka oleh masayarakat Tionghoa di Indonesia. Keran bagi ekspresi kebudayaan masyarakat Tionghoa kembali dibuka oleh Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur setelah mencabut Inpres Nomor 14 tahun 1967. Kemudian pada 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 19 tahun 2002. Sejak itu, Imlek kembali digelar dengan semarak.
- Perjalanan Hidup Ip Man
MENGENAKAN kacamata hitam untuk menutupi air matanya, Bruce Lee (diperankan Danny Chan) berusaha berjalan tegap. Beberapa langkah di hadapannya tampak foto mendiang guru paling dihormatinya, Ip Man, yang wafat pada 2 Desember 1972. Perjalanan Ip Man juga ditampikan dalam beberapa cuplikan di akhir bagian film Ip Man 4: The Finale, seri layar lebar paripurna Ip Man yang diperankan Donnie Yen . Dari empat seri Ip Man yang diperankan Donnie Yen, diakui Sifu Martin Kusuma, pendiri Tradisional Ip Man Wing Chun (TIMWC) Indonesia, bahwa sebagian besar kisah-kisahnya didramatisir. “Kisah aslinya Ip Man enggak seperti itu. Memang banyak sekali dramatisasinya. Kalau diurutin dari seri yang pertama, enggak ada yang benar sebetulnya,” ujar Martin kepada Historia . Sifu Martin Kusuma pendiri Tradisional Ip Man Wing Chun Indonesia yang belajar langsung dari Ip Ching, putra kedua Ip Man (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Keluarga Tuan Tanah Dalam biografi yang dituliskan putra keduanya, Ip Ching, bersama Ron Heimberger, Ip Man: Portrait of a Kung Fu Master , disebutkan Ip Man lahir di Foshan, Provinsi Guangdong, China selatan pada 1 Oktober 1893 dari keluarga kaya raya. Nama lahirnya Ip Kai-man. Ia anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Ip Oip-dor dan Ng Shui. Ip Oi-dor merupakan hartawan pemilik banyak bisnis dan investasi tanah. Kerajaan bisnisnya membentang dari jalan-jalan utama kota Foshan sampai Hong Kong. Dari salah seorang penyewa lahan ayahnyalah Ip Man mengenal wing chun. “Ip Man pertamakali mengenal wing chun dari Chan Wah-shun. Dia orang yang menyewa lahan di belakang rumahnya Ip Man,” sambung Martin. Ip Man kecil tumbuh sebagai anak yang pintar selama belajar pendidikan Khonghucu. Namun sejak Chan Wah-shun membuka kelas wing chun di belakang rumahnya yang disewa dari Ip Oi-dor pada 1905, Ip Man yang baru berusia 12 tahun mulai sering telat pulang. Usai sekolah, biasanya Ip Man lebih dulu menonton guru wing chun itu mengajar beberapa muridnya, di antaranya putranya sendiri Chan Yiu-min dan Ng Chung-so. Di kemudian hari, keduanya jadi guru Ip Man. “Segera ia minta untuk menjadi murid Chan Wah-shun dan permintaan itu membuat Chan berada di posisi sulit. Ia cemas karena kondisi Ip Man yang sering sakit-sakitan, namun di sisi lain ia anak tuan tanah yang tempatnya dia sewa. Chan mencoba melunturkan semangatnya dengan mengatakan bahwa lazimnya anak berpendidikan dan kaya takkan bisa jadi murid beladiri yang baik,” ungkap Benjamin Judkins dan Jon Nielson dalam The Creation of Wing Chun: A Social History of the Southern Chinese Martial Arts. Kolase sosok asli Ip Man di usia senja (Foto: londonwingchun.net/kwokwingchum.com ) Upaya Chan gagal lantaran Ip Man bersikeras ingin belajar wing chun sebagai murid ke-16 alias murid terakhir Chan. Sang guru akhirnya memberi syarat Ip Man membayar uang latihan dengan 20 ons perak murni jika ingin menjadi muridnya. Jumlah itu lebih mahal dari bayaran 15 murid lain yang hanya membayar 20 tael. “Harga 20 ons perak murni di masa itu bisa untuk beli sebuah rumah, membiayai sebuah pernikahan, atau memulai bisnis kecil-kecilan. Keesokan harinya Chan syok melihat Ip Man datang dengan syarat yang diminta. Setelah Chan membicarakannya dengan Ip Oi-dor, Chan insyaf bahwa memang keinginan keluarga untuk Ip Man belajar beladiri dan Chan menerima Ip Man sebagai murid ke-16 dan terakhir,” lanjut Judkins dan Nielson. Ip Man hanya tiga tahun dilatih Chan lantaran kesehatan sang guru menurun dan akhirnya pensiun. Namun, Ip Man tetap bisa terus belajar lantaran Chan mewasiatkan pada Ng Chung-so untuk meneruskan melatih Ip Man hingga usia 15 tahun. Kala itu usia 15 dianggap sudah usia dewasa. Di usia itu pula Ip Man kemudian dikirim orangtuanya ke Hong Kong untuk meneruskan pendidikan. Lewat bantuan kerabatnya, Leung Fut-ting, Ip Man masuk sekolah berbahasa Inggris terbaik di Hong Kong, St. Stephen’s College. Tanpa guru di Hong Kong, Ip Man hanya bisa berlatih wing chun sendiri bermodal ajaran-ajaran teknik chi sao (teknik tempel tangan), dan mok yan jong (boneka kayu). Ip Man berkembang menjadi arogan lantaran tiada satupun teman-temannya yang bisa mengalahkannya. Arogansi itu membuatnya kemudian harus bertarung menghadapi pria paruh baya bernama Leung Bik. Pertarungan itu berawal dari ulah Lai Yip-chi, teman Ip Man. Lai memberi tahu bahwa seorang teman ayahnya yang usianya sudah 50-an merupakan praktisi kungfu. Lai menantang Ip Man untuk menghadapinya. Tantangan itupun diterima Ip Man dengan senang hati. Meski Bik sudah paruh baya, gerakannya lebih cepat dari Ip Man. Gerakan-gerakannya bikin Ip Man tak berdaya. Kiri ke kanan: Chan Wah-shun guru pertama Ip Man, Leung Bik guru ketiga Ip Man, Dr Leung Jan yang merupakan ayah Leung Bik dan guru dari Chan Wah-shun (Foto: dragonwingchun.com ) Ip Man mengaku kalah dan tak berani tarung ulang. “Saya merasa terlalu malu untuk bertemu dia lagi. Saya bukan tandingannya sama sekali,” cetus Ip Man, dikutip Samuel Kwok, salah satu murid Ip Man, dalam The Weapons of Wing Chun . Ip Man baru tahu di kemudian hari bahwa Bik adalah anak dari Dr. Leung Jan, guru Chan Wah-shun si guru wing chun pertama Ip Man. Ip Man lalu minta diri untuk jadi murid Bik dan sang guru menerima Ip Man dengan senang hati. Titik Balik Ip Man baru pulang ke Foshan tahun 1917 atau enam tahun pasca-keruntuhan Dinasti Qing. Namun sepeninggal sang ayah, Ip Man yang mewarisi hartanya, menjual sejumlah aset bisnis di Hong Kong. Ip Man memilih hidup dari hasil penjualan aset-aset bisnis itu ketimbang melanjutkannya. Dengan begitu ia merasa lebih bebas memperdalam wing chun pada Ng Chung-so sekaligus menata reputasi bagi jago-jago kungfu manapun yang menantangnya. Ia juga menikahi anak tuan tanah lain, Cheung Wing-sing, pada 1923. Putra pertamanya, Ip Chun, lahir setahun berselang. “Ip Man itu anaknya ada empat. Selain Ip Chun, ada Ip Ching dan dua lagi perempuan (Ip Nga-sum dan Ip Siu-wah, red. ). Kalau di film Ip Man pertama (2008), Ip Chun yang ditonjolkan. Kalau di Ip Man 4 ini Ip Ching. Tapi di film-filmnya enggak pernah ditonjolkan dua anak perempuannya, mungkin karena memang enggak belajar beladiri,” sambung Martin. Kolase sosok Ip Man yang diperankan Donnie Yen (Foto: Mandarin Films) Sial baginya. Ketika tengah menikmati hidup tenang dengan membuka sekolah wing chun dan melanjutkan beberapa bisnis yang masih berjalan, situasi geopolitik berubah. China diinvasi Jepang pada Juli 1937. Itu jadi awal titik balik kehidupan Ip Man. Rumah mewah dan beberapa bisnisnya diambil paksa tentara pendudukan Jepang. “Orang Jepang tahu Ip Man merupakan ahli kungfu. Selama pendudukan Jepang, Ip Man menerima banyak undangan untuk melatih tentara Jepang. Tetapi ia menolak dan malah memilih mengungsi ke rumah Kwok Fu (salah satu murid Ip Man, red. ) di pedesaan luar kota Foshan,” ujar Robert Hill dalam World of Martial Arts! Selepas Perang Dunia II, yang membuat Jepang angkat kaki dari China, Ip Man tak bisa hidup seperti sediakala. Jaringan bisnis tekstilnya hancur. Harta Ip Man di rumah mewahnya habis sudah banyak dijarah Jepang. Ia hanya bisa mengandalkan reputasinya sebagai guru kungfu untuk menjadi kepala polisi Kuomintang di Foshan. Kondisinya lebih nahas menimpa Ip Man ketika pada 1949 Partai Komunis China (PKC) digdaya di Perang Saudara (1946-1949). Ketika PKC mendirikan Republik Rakyat China, Ip Man yang seorang perwira polisi Nasionalis tak punya pilihan untuk bertahan. Seiring tanah-tanah miliknya direbut kaum Komunis atas nama reforma agraria, Ip Man mengungsi ke Hong Kong via Taiwan dan Makau. Potret Ip Man dan Bruce Lee, salah satu muridnya yang paling populer lintas benua (Foto: kwokwingchun.com ) Kehidupannya tambah menyedihkan lantaran harus berpisah dengan putri dan istrinya. Upaya istri dan anaknya menyusulnya pada 1951 gagal lantaran China menutup perbatasannya dengan Hong Kong. “Fakta itu yang kemudian juga salah di film-filmnya. Padahal istrinya enggak bisa ikut ke Hong Kong, tapi di film ada. Juga terkait Ip Ching, guru saya. Di film (Ip Man 2) disebutkan dia lahir di Hong Kong, padahal dia sudah lahir duluan di Foshan,” tutur Martin lagi. Ip Man tak punya skill lain selain wing chun lantaran ia pilih menganggur setelah lulus dari St. Stephen’s College. Dengan sepicis-dua picis modal yang dia punya, Ip Man pun membuka sekolah wing chun di Castle Peak Road, Distrik Sham Shui Po, dan kemudian pindah ke Lee Tat Street di Distrik Yau Ma Tei. Dari Hong Kong itulah wing chun dipopulerkan oleh beberapa muridnya, seperti Duncan Leung dan Lee Jung Fang alias Bruce Lee, ke seluruh dunia. “Memang yang paling menonjol menyebarkan wing chun itu Ip Man. Katakanlah 90 persen yang ada di dunia itu wing chun-nya Ip Man. Karena sejak 1949 Komunis itu menang, mereka ada Revolusi Budaya. Semua unsur agama dan budaya dibubarkan, termasuk kungfu. Jadi para guru kungfu itu menyebar keluar China. Dan yang beraliran wing chun hanya sedikit dan kurang berkembang selain Ip Man,” tandas Martin.






















