Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Prasangka Pada Pasien Jiwa Pribumi
SEORANG lelaki muda dari Yogyakarta yang berprofesi sebagai asisten juru tulis diantar keluarganya ke Rumahsakit Jiwa (RSJ) Magelang. Sebelumnya, ia terserang demam. Kemungkinan besar, demamnya berasal dari stres. Selama bekerja, ia terus meragukan kemampuannya sendiri hingga stres dan membuatnya menderita gangguan jiwa. Selain stres, faktor lain yang dianggap memicu gangguan jiwa ialah kemiskinan. Pasien lain yang berobat ke RSJ Magelang merupakan mantan kuli kontrak di perkebunan Deli. Orang di sekitarnya menganggap si mantan kuli orang bingung. Begitu masuk RSJ, mantan kuli itu langsung ditanya petugas kesehatan tentang apa yang dirasakan, melihat sesuatu, atau mendengar hal-hal aneh. Diagnosis dokter, seperti dikutip Sebastiaan Broere dalam tesisnya “In and Out Magelang Asylum”, menyatakan si kuli menderita delusi parah. Mendiagnosis pasien pribumi di era kolonial tak mudah. Kebanyakan pasien menjawab tidak tahu ketika ditanya tentang kondisinya. Di RSJ Malang, mayoritas pasien dideskripsikan mengalami “bingung” atau linglung yang disebabkan oleh stres. Kebingungan para pasien itu menyebabkan para psikiatris Belanda ikut kebingungan lantaran kendala bahasa dan prasangka kolonial mereka. Psikiatris Belanda PHM Travaglino mengalaminya ketika berjaga di RSJ Malang pada 1920-an. Alhasil, Travaglino kerap kesulitan mendiagnosis pasiennya. Saking bingungnya, ia pernah membuat lelucon tentang kelompok pasiennya. Ada tiga: kelompok yang selalu menjawab tidak tahu, tidak mau, dan kelompok pasien yang belum diperiksa kejiwaannya. Travaglino percaya bahwa alam pikir orang Eropa dan pribumi berbeda. Menurutnya, kaum pribumi masih berada dalam tahap awal perkembangan evolusi sehingga kondisi psikologisnya amat emosional. Ia menganggap orang pribumi sering membuat keributan karena emosi yang meledak-ledak dan berpotensi 10 kali lebih tinggi membuat kerusuhan dibanding orang Eropa. Kebingungan dan prasangka rasial yang dialami psikiatris Eropa sudah menjadi pembahasan sejak permulaan abad ke-20. Pada 1906, Inspektur Layanan Medis Sipil AG Vorderman menyarankan Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri JH Abendanon untuk membentuk satuan tugas dokter pribumi yang khusus menangani gangguan jiwa. Pendapat Vorderman mengacu pada pengakuan Raden Soemeroe, seorang dokter Jawa, yang mengatakan pekerjaannya di RSJ Bogor amat berguna selain sebagai penerjemah juga memandu psikiatris Eropa memahami latarbelakang kultur para pasien pribuminya. “Misalnya, kata baik-buruk atau pintar-bodoh bermakna berbeda bagi orang Eropa dan pribumi. Penilaian tentang ketidaknormalan juga berbeda,” kata Soemeroe seperti dikutip Liesbeth Heeselink dalam Healers on the Colonial Market. Soemeroe lebih jauh berpendapat, pemahaman dokter Jawa pada karakter, bahasa, budaya, dan kondisi lingkugan pribumi memudahkan mereka untuk bersimpati pada pasien pribumi. Hal itu sulit dilakukan para dokter Eropa meski sudah mendapat pelatihan penanganan pasien pribumi. Pejabat layanan medis sipil agaknya mengamini pengakuan Soemeroe. Alhasil, satu atau dua orang dokter Jawa selalu dipekerjakan di RSJ Bogor dan Lawang, Malang untuk mendampingi dokter jiwa Eropa. Di sisi lain, kebijakan itu juga amat ekonomis lantaran meminimalisir anggaran untuk mempekerjakan dokter Eropa. Menurut Liesbeth, alasan ekonomilah yang paling mendorong Komite Kesehatan Kolonial menyepakati ide Soemeroe alih-alih penjabaran sosio-kulturalnya. Pada 1912, anggaran untuk RSJ makin ditekan. Alhasil, pasien pribumi lebih banyak dipegang oleh dokter Jawa dengan pengawasan rutin dokter Eropa. Padahal, seperti ditulis Hans Pols dalam NurturingIndonesia, para pendukung Politik Etis berpendapat bahwa psikologis pribumi dan orang Eropa sebenarnya serupa. CF Engelhard, pengawas kesehatan yang bertugas di Surakarta dan tinggal di Jawa hingga pasca-kemerdekaan, berpendapat bahwa perbedaan kondisi terjadi karena faktor eksternal. “Dengan penuh hormat pada budaya mereka, symptom, perkembangan, dan psikosis orang Jawa tidak berbeda dengan apa yang saya temui di Eropa,” kata Engelhard. Engelhard menyadari bahwa cara pandang semacam ini berkebalikan dengan apa yang diamini para psikiatris di era kolonial seperti Travaglino. Alih-alih menggarisbawahi persamaan, psikiatris Travaglino lebih menekankan pada perbedaan mendasar antara kondisi kejiwaan pasien pribumi dan Eropa.
- Mencintai Indonesia dalam Suka dan Duka
AGNES Monica alias Agnez Mo bikin heboh. Dalam wawancaranya dengan Build Series by Yahoo, penyanyi kelahiran Indonesia yang tengah go-international itu mengaku tak punya keterkaitan apapun dengan Indonesia. “Sebenarnya aku enggak punya darah Indonesia atau apapun itu. Aku (berdarah) Jerman, Jepang, China dan aku hanya lahir di Indonesia. Aku juga Kristen dan mayoritas di sana Muslim. Aku tidak bilang bahwa aku tidak berasal dari sana karena saya merasa diterima. Tetapi saya merasa tidak seperti yang lain,” cetusnya. Pernyataan itu sontak memancing respon netizen Indonesia. Banyak yang mengecam ia seolah jadi kacang lupa pada kulitnya atau mengutuk betapa tak bersyukurnya Agnes yang memulai kariernya dari penyanyi cilik di Indonesia. Pun begitu dengan sejumlah media yang ramai-ramai memberitakan pernyataan kontroversial Agnes dengan menitikberatkan pada “saya enggak punya darah Indonesia.” Alhasil, sejumlah tokoh maupun politisi ikut mengkritik Agnes. Padahal, bukan seperti itu maksud Agnes. Ia merasa pernyataannya disalahpersepsikan hingga dipelintir sejumlah pihak. Lewat akun Instagram -nya, Agnes memberi klarifikasi. “Orang-orang yang hanya ingin menyebar kebencian dengan memelintir pernyataan dan niat saya harusnya malu. Saya hanya mengatakan hal baik, bahkan ketika saya seorang minoritas, saya turut menyebarkan perbedaan yang luar biasa yang saya pelajari di negeri saya. Saya tak bisa memilih darah atau DNA saya, namun saya selalu berdiri untuk negara saya,” kata Agnes di akunnya, @agnezmo. Baginya, Indonesia tetap negeri yang dicintainya, terlepas baik atau buruk pengalaman hidup dalam keragaman yang pernah dirasakannya. Nama besar Indonesia tetap ingin diusungnya di pentas internasional manapun dia berkiprah sebagaimana dilakukan Luis Leeds, pembalap mobil milenial blasteran Indonesia-Australia. Luis Leeds bermimpi tampil di ajang F1 dengan bendera Indonesia (Foto: luisleeds96.com ) Belakangan, Leeds “pulang” ke Indonesia, tanah kelahiran ibunya, karena menjatuhkan hati pada Indonesia ketimbang Aussie . Leeds mendambakan jadi pembalap Formula One (F1) dengan bendera merah-putih melekat di mobilnya. Dia tak peduli minimnya infrastruktur pendukung kariernya. “Saya bisa duduk seharian dan berbicara tentang mengapa saya mencintai Indonesia dan mengapa saya terinspirasi untuk pulang ke rumah. Dalam karier balap saya selalu memiliki bendera Indonesia tapi saya tidak pernah berdiri di podium dengan bendera Indonesia di belakang. Saya menyelesaikan musim 2018 (Formula 4) sebagai juara Australia. Jadi sekarang saatnya saya memberikan pengakuan kepada Indonesia bahwa saya merasa layak dan di sinilah saya,” ungkapnya saat diwawancara Kumparan , Jumat (22/11/2019). Hidup-Mati untuk Indonesia Harus diakui, hingga kini pengakuan dunia kepada Indonesia lebih banyak berasal dari bidang olahraga dibanding bidang musik yang dijalani Agnez Mo. Mayoritas pengakuan internasional itu datang dari bulutangkis, olahraga yang semua gelar kejuaraan prestisius internasionalnya pernah dijuarai atlet Indonesia. Dari sekian banyak “pahlawan” yang mengharumkan nama bangsa lewat bulutangkis itu, banyak yang beretnis Tionghoa, beragama minoritas, dan punya pengalaman pahit soal diskriminasi. Pun begitu, mereka hanya mengakui Indonesia sebagai negerinya. Tak pernah ada pernyataan “sekadar numpang lahir di Indonesia” dari mereka. Lie Ing Hoa alias Ivana Lie, contohnya. Kendati status kewarganegaraannya lama tak diakui, dia berulangkali memberi kebanggaan pada negeri dengan menjuarai berbagai kejuaraan internasional. “Lima tahun bertanding di luar negeri, (saya, red .) pakai selembar kertas seperti surat jalan yang menyatakan saya warga negara Indonesia. Jadi sebenarnya lima tahun itu saya stateless . Sedih rasanya. Secara manusia perlu pengakuan ya. Saya merasa bahwa saya lahir di Indonesia, saya berbudaya, berbahasa, merasa sebagai bangsa Indonesia dan sudah membuktikan dengan bertanding bawa nama Indonesia,” kata Ivana kepada Historia. Ivana baru mendapat kewarganegaraan pada 1982 dengan keluarnya SBKRI. Selepas pensiun pada 1990, ia tetap mendarmabaktikan diri menjadi pelatih tim bulutangkis Indonesia hingga kemudian dipercaya jadi staf ahli Menpora Andi Mallarangeng dan Roy Suryo. Kisah serupa juga dialami Liang Tjiu Sia, pelatih yang melahirkan banyak srikandi bulutangkis tingkat dunia seperti Susy Susanti. Sia lahir di Cirebon 69 tahun lampau. Kendati merintis karier di China akibat diskriminasi rasial pada 1966 membuat sekolah Tionghoa yang diikutinya bubar, ia kembali ke Indonesia pada 1985 untuk menjadi pelatih pelatnas putri PBSI. SBKRI didapatnya baru empat tahun kemudian. Kiri ke kanan: Ivana Lie, Christian Hadinata, Liang Tjiu Sia, Alan Budikusuma (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Kepelatihan Sia berjalan hingga 2003. Meski China meminta servisnya kembali setelah itu, Sia menolaknya. “Separuh hidup saya sudah di sana (Cina). Saya inginnya menghabiskan umur di sini. Saya kan lahir di sini. Mati juga inginnya di sini,” ujarnya kepada Historia . Kebanggaan pada Indonesia sebagai “tanah tumpah darah” juga lekat di diri Tjhie Beng Go’at alias Christian Hadinata. Pria kelahiran Kebumen, 11 Desember 1949 ini enggan “menggadaikan” negerinya demi apapun. Setelah jadi langganan juara di mancanegara sebagai pemain, ia memilih jadi pelatih Indonesia. Pantang ia menerima tawaran melatih negeri lain. “Bulutangkis Indonesia sudah membesarkan nama saya. Masak sih enggak mau mengembalikan sesuatu untuk bulutangkis nasional? Saya kepingin mengembalikan, dalam arti tenaga, pikiran, waktu, untuk bisa tetap membangun prestasi bulutangkis Indonesia seperti yang sudah dibangun para senior saya,” ujar Christian. Kebanggaan pada Indonesia sebagai tanah-air yang tak kalah besar tentu terdapat dalam diri Susy Susanti (Wang Lianxiang). Ketika ia berlaga di Uber Cup 1998 di Hong Kong yang berbarengan dengan huru-hara 1998, Susy tetap mati-matian memperjuangkan nama baik negerinya di lapangan meski rumah orangtuanya di Tasikmalaya sempat dibakar massa. Kebanggaan pada Indonesia itu tercermin dari jawabannya ketika diwawancara reporter CNN, apakah dirinya akan meminta suaka ke pemerintah Hong Kong dan apakah dia masih menganggap orang Indonesia. “Saya tidak menganggap diri saya orang Indonesia. Saya tidak perlu menganggap begitu. (Karena) saya orang Indonesia. Dan akan selalu menjadi orang Indonesia,” jawab Susy. Alan Budikusuma (Goei Renfang), suami Susy yang kala itu masih jadi pacar, setali tiga uang dengan Susy. Saat ingin menikahi Susy pada 1997, keduanya kesulitan mengurus dokumen pernikahan gegara perkara SBKRI. Betapapun demikian, cintanya pada Indonesia tak luntur. “Saya mempertanyakan kenapa SBKRI harus ada? Kenapa saya dipertanyakan tidak nasionalis, padahal saya bangga dengan Indonesia. Saya lahir di Indonesia (Surabaya, 29 Maret 1968). Orangtua saya juga lahir di Indonesia. Kita pun ingin meninggal di Indonesia, bukan di luar (negeri). Saya orang Indonesia walaupun saya orang Tionghoa,” tutur Alan. Ragam Indonesia dalam DNA Kisah-kisah mereka hanya seujung kuku dari sejumlah orang Indonesia lain yang bangga mengakui Indonesia sebagai negerinya kendati pernah didera perlakuan diskriminatif. Isu rasial memang masih jadi “penyakit” yang belum kunjung sembuh. Penyakit sosial warisan kolonial Belanda itu menyisakan kepahitan pada golongan minoritas. Celakanya, banyak orang tak paham terhadap konsep Indonesia sehingga seringkali berlaku rasis, seperti yang dilakukan dalam merespon pernyataan Agnes. Fenomena ini membuat sejarawan Bonnie Triyana mengatakan bahwa apa yang disampaikan Agnes esensinya sudah betul karena Indonesia dibangun dari konsensus beragam orang dengan latar belakang ras, etnik, politik, dan agama berbeda. Indonesia tidak dibangun dari keterikatan ras yang homogen. Namun, cara penyampaian Agnes saja yang kurang tepat sehingga menimbulkan misinterpretasi dari masyarakat, terutama di dumay. “Identitas kebangsaan Indonesia tidak dibentuk berdasarkan darah (biologis). Kalau Agnes mau menjelaskan dia secara biologis bukan orang Indonesia, padahal untuk jadi orang Indonesia enggak butuh pembuktian biologis, ya dia enggak bisa membedakan konsep ras (biologis), etnis (non-biologis) dengan kebangsaan (sosiologis-politis),” cetus Bonnie. Najwa Shihab dan Grace Natalie yang turut mengikuti tes DNA dalam rangka Pameran Asal Usul Orang Indonesia (Foto: Dok. Historia) Ketidakpahaman masyarakat akan keindonesiaan itulah yang mendorong Historia . id bersama Kemendikbud menggelar pameran Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) melalui proyek tes DNA. Sejumlah relawan yang dites ternyata memiliki nenek moyang beragam darah dari berbagai penjuru dunia. Hasil tesnya menjadi bukti bahwa apa yang disebut orang Indonesia menggugurkan konsep pribumi-nonpribumi, warisan kolonial yang menguat sejak beberapa tahun ke belakang. Bukti heterogenitas individu Indonesia antara lain, hasil tes DNA presenter kondang Najwa Shihab . Di ranah publik ia disebut berdarah Arab. Namun hasil tes DNA-nya menyatakan mayoritas DNA-nya berasal dari Asia Selatan, yakni 48,54 persen. DNA Timur Tengahnya hanya 3,48 persen. Sementara, di tubuhnya bercampur banyak DNA mulai dari Afrika Utara, Asia Timur, hingga Eropa Selatan. “Di tengah begitu banyak perbedaan yang ada di dalam diri kita, sesungguhnya ini juga menguatkan bahwa satu hal yang menjadikan kita Indonesia adalah niat bersama untuk menjadikan ini rumah bagi semua. Indonesia adalah rumah bersama dan merah-putih jadi tujuan kita sama-sama,” kata Najwa. Hasil tes DNA Grace Natalie , ketua Partai Solidaritas Indonesia, juga menjadi bukti bahwa Indonesia merupakan percampuran banyak ras. Kendati penampakannya sangat Tionghoa, yang membuatnya acap jadi korban diskriminasi, hasil tes DNA- Grace adalah: 76,92 persen Asia Timur, 21,98 persen Diaspora Asia, 1,11 persen Asia Selatan, dan 0,01 persen Afghanistan. "Yang menyatukan kita adalah kesamaan nilai, kesamaan visi, kesamaan cita-cita,” kata Grace.
- Awal Mula Barang Plastik di Indonesia
RISET International Pollutant Elimination Network (IPEN), jaringan lembaga swadaya masyarakat internasional untuk lingkungan hidup, menyebutkan telur ayam di dua desa di Jawa Timur berbahaya bagi manusia. Telur itu mengandung dioksin, senyawa hasil pembakaran sampah atau limbah plastik. Demikian rilis IPEN seperti diberitakan bbc.com .
- Terbunuhnya Mitra Dagang VOC
MAKAM tua berukuran sekira 1x2 meter itu tersudut di Komplek Pemakaman Pamoyanan, Cianjur. Permukaanya yang dibeton seolah pintu raksasa yang terhampar di tanah. Ada nama tertera di nisannya: Raden Kanjeng Dalem Aria Wiratanu Datar IV (Dalem Dicondre). “Beliau ini bupati ke-2 Kabupaten Cianjur,” ujar Pepet Johar, salah seorang pemilik sekaligus pengelola Museum Bumi Ageung Cianjur. Berbeda dengan keterangan di nisan tersebut, sumber-sumber tertulis mengenai Cianjur menyebutkan bahwa Dalem Dicondre adalah Aria Wiratanu Datar III bukan Aria Wiratanu Datar IV. Keterangan tersebut misalnya disebutkan dalam buku berbahasa Sunda, Sejarah Cianjur sareng Raden Aria Wira Tanu Dalem Cikundul Cianjur karya Bayu Surianingrat. Aria Wiratanu Datar III sejatinya bernama Raden Astramanggala. Dia merupakan putra sulung (dari 14 anak) Aria Wiratanu Datar II (Bupati Cianjur pertama). Raden Astaramanggala naik tahta menggantikan sang ayah pada 1707. “Pada era pemerintahan Aria Wiratanu III, ibu kota Kabupaten Cianjur dipindahkan dari Pamoyanan ke Kampung Cianjur,” ungkap Reiza D. Dienaputra dalam Cianjur: Antara Priangan dan Buitenzorg. Distributor Kopi Terbesar Dalam beberapa catatan sejarah, Aria Wiratanu Datar III tersohor sebagai mitra dagang VOC yang paling setia. Adalah komoditas kopi yang menjadi andalannya untuk berbisnis dengan Maskapai Dagang Hindia Timur tersebut. Begitu puasnya VOC dengan pelayanan Aria Wiratanu Datar III hingga dua gubernur jenderal VOC yakni Christoffel van Swol (1713--1718) dan Hendrick Zwaardecroon (1718--1725) menghadiahinya wilayah-wilayah baru: Distrik Jampang dan Distrik Sagara Kidul. “Dia pun mendapat gelar bekende grooten koffi leverancier (distributor besar kopi yang termasyhur),”tulis Otto van Ress dalam Overzigt van de Geschhiedenis der-Pranger Regentschappen (Sejarah Para Bupati Priangan). Berbeda dengan pandangan para pejabat VOC, sebagian besar rakyat (terutama para petani kopi) justru menyimpan kebencian kepada Aria Wiratanu Datar III. Rupaya sikap keras Aria Wiratanu Datar III terhadap para petani kopi menjadi sebab kebencian itu muncul. “Dalam prakteknya, VOC bekerjasama dengan bangsawan lokal (menak dan sentana) untuk menekan massa di bawah,” tulis Jan Breman dalam Keuntungan Kolonial dalam Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870. Selain itu, dalam menjalankan bisnis kopinya, Aria Wiratanu III dinilai tidak jujur dengan mengambil laba yang terlalu banyak dari para petani. Menurut sejarawan Gunawan Yusuf, harga kopi perpikul yang disepakati adalah 17.50 ringgit.Namun nyatanya, Aria Wiratanu Datar III hanya membayar 12.50 ringgit perpikul. Uang 5 ringgit yang seharusnya menjadi hak para petani kopi itu dimasukannya ke kantong pribadi. “Karena soal itulah, rakyat lantas tidak puas...,”tulis Gunawan Yusuf dalam Sejarah Cianjur Bagian ke-7. Amuk Petani Kopi Suatu senja di tahun 1726, seorang penyusup berhasil memasuki pendopo kabupaten Cianjur. Setelah berhasil menemukan Aria Wiratanu Datar III yang tengah bersantai di katil, secepat kilat dia menancapkan sebilah condre (pisau kecil yang biasa difungsikan sebagai konde rambut) ke lambung sang bupati. Mendengar teriakan majikannya, seorang pengawal datang. Lantas terjadilah perkelahian seru yang berakhir dengan terbunuhnya sang penyusup. Namun akibat luka tiga tusukan di lambungnya, Aria Wiratanu Datar III sendiri mengalami luka parah dan beberapa jam kemudian (tepatnya setelah magrib), dia menghembuskan nafasnya yang terakhir. Demikian dikisahkan oleh sejarawan Gunawan Yusuf. Menurut Jan Breman, terbunuhnya Aria Wiratanu Datar III secara tidak langsung terjadi karena adanya keputusan VOC. Pada tahun itu, VOC yang sudah mulai dililit masalah keuangan, menurunkan secara drastis harga beli kopi dari 21 rijksdaalder (ringgit) menjadi hanya 5 rijksdaalder. “Penghematan itu memancing perlawanan petani,” ungkap Breman. Tidak cukup mengirimkan pembunuh untuk Aria Wiratanu Datar III yang dianggap pro kompeni (VOC), para petani pun secara spartan melakukan perusakan tanaman kopi. Aksi itu dilakukan tentu saja sebagai bentuk protes mereka secara langsung kepada pihak kompeni. Tidak jelas benar, apakah selanjutnya pemberontakan kaum petani itu cepat ditumpas. Yang jelas usai insiden pembunuhan tersebut (1729), para bupati di Priangan menggunakan cara-cara yang lebih keras untuk mengerahkan penduduk dalam proses penanaman kopi. Tetapi kerugian di kalangan rakyat tetap saja tidak berbanding lurus dengan kerugian di kalangan para bupati dan VOC. Menurut sejarawan Saleh Danasasmita dalam Sejarah Bogor Bagian I , dalam kenyatannya, dari perdagangan kopi tersebut kas keuangan para pebisnis Belanda tetap mendapat laba besar bahkan hingga masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808—1811). Begitu juga dengan kondisi para bupati. “Pada waktu meninggal, Bupati Cianjur (Aria Wiratanu Datar III) masih berhak mendapat 26.000 ringgit gulden berikut bunga atas jumlah itu,” ungkap Breman. Karena Cinta Hingga kini, kisah terbunuhnya Aria Wiratanu Datar III masih dikenang oleh orang-orang tua di Cianjur. Namun berbeda dengan versi penuturan sejarah yang terdapat dalam arsip-arsip lama, insiden pembunuhan sang bupati itu lebih mengarah kepada motiv cinta sebagai sebabnya. Adalah Tjoetjoe Soendoesijah (74), salah satu penduduk Cianjur yang meyakini versi tersebut. Menurut nenek dari 6 cucu tersebut, Aria Wiratanu Datar III terbunuh karena faktor kecemburuan seorang pemuda yang calon istrinya akan dinikahi sang bupati. “Cerita itu saya dapatkan dari nenek saya yang disampaikan secara turun temurun,” ujar Tjoejoe. Dikisahkan, suatu hari Aria Wiratanu Datar III melakukan perburuan ke daerah Cikembar, Sukabumi. Di sebuah desa terpencil, dia bertemu dengan seorang dara elok bernama Apun Gencay. Sang bupati yang sudah memiliki beberapa istri itu lantas jatuh cinta dan “meminta” Apun Gencay kepada orangtuanya. Tentu saja Apun dan orangtuanya tidak bisa menolak permintaan Kanjeng Sinuwun Bupati itu. Sebagai cacah kuricah (rakyat kecil) adalah terlarang untuk mengatakan tidak kepada penguasa. Padahal secara pribadi Apun telah memiliki tambatan hati. Singkat cerita, beberapa hari kemudian saat matahari nyaris tenggelam di sebelah barat, Apun datang ke pendopo kadaleman Cianjur. Namun tidak sendiri. Dia ditemani oleh seorang pemuda yang diakunya sebagai saudara. Begitu sampai di pintu rumah Aria Wiratanu III, nampak sang dalem tengah duduk di katil dalam wajah yang cerah didampingi seorang pengawalnya bernama Ki Purwa. “ Yap kadieu (ayo mendekatlah)…”,”panggil sang dalem. Dengan kepala menunduk, Apun mendekat ke arah Aria Wiratanu Datar III. Sementara Apun mendekat, seolah tersihir kecantikan Kembang Cikembar itu, kedua mata sang bupati tak berkedip menikmati kemolekan wajah Apun Gencay. Dalam situasi itulah, sang pemuda yang ada di sebelah Apun tetiba menyeruak ke arah Aria Wiratanu Datar III. Sebilah condre terhunus di tangan kanannya. Demi menghadapi serangan tiba-tiba itu, tentu saja sang bupati terkejut. Namun dia terlambat untuk melakukan tangkisan hingga perutnya menjadi sasaran tusukan condre. Gerakan kilat sang pemuda membuat Ki Purwa juga terkesima. Barulah setelah dia mendengar jerit Apun dan teriakan majikannya, dia bereaksi. Namun sang pemuda sudah kabur. Maka diikuti oleh beberapa pengawal, Ki Purwa mengejar Lantas terjadilah perkelahian tak seimbang hingga menyebabkan mundurnya sang pemuda ke wilayah alun-alun. Di area terbuka menghadap masjid agung inilah, Ki Purwa berhasil memenggal kepala sang pemuda, yang tak lain adalah tunangan Apun Gencay. “ Saurna mah dugi dicacag diwalang-walang,dagingna di sebar dugi ka tungtung alun-alun palih kaler (Katanya sampai dicincang habis dan dagingnya di sebar sampai ke ujung alun-alun sebelah utara),” tutur Tjoejoe. Potongan-potongan daging itulah yang konon kemudian dipungguti satu persatu oleh Apun Gencay. Sang Kembang Cikembar memungguti potongan daging kekasih nya seraya meratap. R atapan itulah yang kemudian mengilhami pujangga Sunda kenamaan Yus Rusyana menulis naskah drama monolog dan cerita pende k berjudul Apun Gencay .
- Chairul Saleh dan Laut Teritorial Indonesia
OKTOBER 1957. Mochtar Kusumaatmadja, pegawai di Biro Devisa Perdagangan (BDP), didatangi Menteri Veteran Chairul Saleh. Dengan gaya blak-blakannya Chairul “menyemprot” Mochtar. “Mana ini, hasil panitia belum ada? Lambat betul kerjanya” kata Chairul, dikutip Mochtar dalam testimoni berjudul “Sekelumit Pengalaman Bersama Bung Chairul Saleh”, dimuat di Chairul Saleh Tokoh Kontroversial. Panitia yang dimaksud Chairul merupakan Panitia Rancangan UU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang dibentuk PM Ali Sastroamidjojo pada 1956. Panitia tersebut dibentuk dengan tujuan menciptakan UU Laut Teritorial baru untuk menggantikan Territorial Zee en Maritiem Ordonantie yang diterapkan sejak masa kolonial. Mochtar ikut menjadi anggota panitia itu atas perintah Chairul. Namun, hingga pemerintahan Ali Sastroamidjojo II turun, panitia itu belum berhasil merampungkan pekerjaannya. Ketika Djuanda naik memimpin kabinet, panitia tetap dipertahankan. Mochtar tetap di dalamnya. Kinerja lamban panitia membuat Chairul, yang sejak muda gandrung mewujudkan kedaulatan Republik Indonesia, prihatin. Dia melihat kedaulatan negerinya, terutama di laut, masih terus dikangkangi banyak bangsa asing. “Ini kapal perang Belanda kok mondar-mandir saja di Laut Jawa. Ini Laut Jawa apa tidak bisa dijadikan laut pedalaman?” kata Chairul bertanya. “Nggak bisa dong. Bagaimana?” jawab Mochtar. “Pokoknya bikin supaya bisa. Jangan bilang tidak bisa!” “Wah, ini bertentangan dengan hukum internasional.” “Kamu ini masih muda ngomongnya kayak apa, tidak revolusioner. Kalau dulu waktu proklamasi kita mendengarkan orang-orang yang terlalu yuridis, proklamasi juga tidak jadi. Kamu harus merubah cara berpikir. Pokoknya mesti bisa!” kata Chairul. Perintah Chairul itu dilaksanakan Mochtar kendati dia belum tahu cara apa yang mesti ditempuh untuk meluluskannya. Mochtar merasa terlecut oleh pernyataan Chairul. Untuk itu, dia meminta kompensasi agar diberi cuti guna menyusun konsep yang diinginkan lantaran saat itu statusnya masih tetap pegawai BDP. Permintaan itu dikabulkan Chairul dengan memerintahkan Usman, atasan Mochtar, agar mengeluarkan surat cuti. “Jadi bulan Oktober itu saya mengambil perlop 2 minggu beristirahat di Bandung untuk menyiapkan konsep, yang menjadikan semua perairan (laut) antar-pulau-pulau Indonesia menjadi perairan pedalaman. Demikian lahirnya Konsepsi Nusantara dalam hukum laut itu,” kata Mochtar. Setelah diselesaikan, konsep itu dibahas dalam rapat kabinet pada 13 Desember 1957 di kantor PM Djuanda di Pejambon (kini Gedung BP-7). Agenda rapat sebetulnya membahas RUU yang dibuat panitia INTERDEP, panitia yang dibentuk pemerintah untuk mempersiapkan RUU tentang wilayah maritim. “Tetapi ada juga RUU tidak resmi dari Menteri Veteran, di mana saya menjadi penasihat sekaligus pembuat konsepnya. Sebetulnya bukan RUU tetapi deklarasi tentang konsepsi Negara Kepulauan Indonesia,” tulis Mochtar. Ketika akan memasuki ruang rapat, Mochtar dicegat Chairul yang langsung memberondong dengan beberapa pertanyaan. “Mochtar, ini yang mau diukur dari pangkal laut teritorial lebarnya berapa?” “Dua belas mil,” jawab Mochtar. “Kenapa tidak 17? Sebab 17 adalah angka keramat,” kata Chairul yang tak dihiraukan Mochtar. Konsepsi laut itu akhirnya diadopsi pemerintah. Hari itu juga PM Djuanda mendeklarasikan konsep yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Djuanda itu. Indonesia mulai saat itu menyatakan seluruh perairan yang mengelilingi atau menghubungkan pulau-pulaunya sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya dan berada di bawah kedaulatan Indonesia alias perairan nasional. Seluruh kekayaan yang ada di dasar laut dan tanah di bawahnya milik Indonesia. Akibat deklarasi itu, Indonesia kehujanan protes dari banyak negara. “Beberapa negara ada yang segera mengirim surat penentangan, di antaranya nota protes diplomatik itu berasal dari Amerika Serikat (30 Desember 1957), Ingris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Prancis (8 Januari 1958), dan Selandia Baru (11 Januari 1958),” tulis Eko A. Meinarno, Adhityawarman Menaldi, dan Prayogo Triono dalam “Andai PM Djuanda Masih Hidup: Studi Persepsi Wilayah NKRI”, dimuat dalam Membangun Kedaulatan Bangsa Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila: Pemberdayaan Masyarakat dalam Kawasan Terluar, Terdepan, dan Tertinggal . Protes banyak negara itu menjadi pemberitaan banyak media. Mochtar yang kalang-kabut dibuatnya pun mendatangi Chairul sambil menunjukkan sebuah koran. Alih-alih kaget, Chairul justru merespon santai. “Ooo mereka protes? Kalau negara-negara besar imperialis itu protes, itu artinya kita di jalan yang benar.” Deklarasi Djuanda menjadi landasan Indonesia memperjuangkan perairan nasionalnya baik di Konferensi Hukum Laut PBB pertama di Jenewa, Februari 1958, maupun forum-forum internasional setelahnya. “Pada waktu itu saya selalu dijadikan ketua Delegasi Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan itu,” kata Mochtar. UU tentang Perairan Indonesia yang kemudian menjadi UU No.4/Prp juga dibuat berdasarkan Deklarasi Djuanda. Jauh setelah Chairul tiada, perjuangan Indonesia mendapatkan laut teritorialnya akhirnya membuahkan hasil dengan ditandatanganinya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) oleh 159 negara pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika. “Jadi saya merasa beruntung mendapatkan tantangan dan dorongan dari Uda Chairul, dari permulaan tidak adanya sampai tercipta dan berhasil diterimanya Wawasan Nusantara sekaligus diterimanya konsepsi baru ini di konvensi internasional tentang Hukum Laut di Montego Bay itu,” kata Mochtar.
- Soedirman, Guru Kecil Jadi Panglima Besar
Ketika muda, Soedirman aktif berorganisasi di Muhammadiyah. Dia pernah menjadi pemimpin Hizbul Wathan, kepanduan Muhammadiyah daerah Banyumas. Selain itu, dia juga aktif di Pemuda Muhammadiyah. Bahkan, dia terpilih menjadi Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah cabang Banyumas, kemudian Jawa Tengah. Bagi Soedirman, berorganisasi adalah pengabdian, bukan tempat mencari penghidupan. Dia kadangkala mengutamakan kepentingan organisasi daripada keluarga. Karena itu, kendati menjadi pemimpin, rumah tangganya serba kekurangan. Orang pun heran. Namun, baginya itu wajar saja. “Bukankah yang besar itu adalah organisasi. Besarnya dan mekarnya organisasi bukan berarti harus besar dan mewahnya si pemimpin. Untuk mencukupi biaya hidupnya, dia aktif sebagai guru di HIS Muhammadiyah di Cilacap,” demikian tertulis dalam biografi Sudirman Prajurit TNI Teladan . HIS ( Hollandsch Inlandsche School) adalah sekolah dasar dengan masa belajar tujuh tahun. Sebagai guru, Soedirman mendapat gaji f.3 (tiga gulden Belanda) per bulan. Dia menjadi guru bukan semata karena kekurangan. Dia bisa saja mencari pekerjaan lain yang gajinya lebih besar, mengingat saat itu dia cukup populer sebagai pemimpin Pemuda Muhammadiyah. “Apakah artinya uang sebanyak itu (f.3) untuk hidup dalam jangka waktu satu bulan? Jelasnya bagi Soedirman pekerjaan sebagai pengajar didasarkan atas keikhlasan dan kesadaran serta rasa tanggung jawab akan pentingnya pendidikan bagi generasi muda,” demikian disebut dalam buku terbitan Dinas Sejarah TNI AD itu. Soedirman menyadari kekurangannya sebagai guru karena hanya lulusan sekolah menengah pertama, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Wiworotomo. Dia tak memiliki ijazah sekolah guru, HIK ( Hollandsch Inlandsche Kweekschool ). Untuk mengatasi kekurangannya, dia memilih les kepada guru-gurunya di MULO Wiworotomo. Dia juga mendapatkan pengetahuan keguruan dari R. Mokh. Kholil yang memimpin Muhammadiyah Cilacap dan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah. Kendati tak berijazah guru, Soedirman memiliki bakat sebagai pendidik. Dia punya pengalaman dalam membimbing anak-anak pandu Hizbul Wathan. Bahkan, ketika di MULO Wiworotomo, dia dijuluki “guru kecil” karena diandalkan gurunya untuk membantu teman-temanya yang kesulitan dalam pelajaran. Tak hanya disukai murid-muridnya karena mengajarnya mudah dimengerti, Soedirman juga disenangi guru-guru lain. Bahkan, kepercayaan dari para pengajar membuat Soedirman terpilih menjadi kepala sekolah HIS Muhammadiyah. Gajinya naik menjadi f.25,50. Baginya kenaikan gaji itu cukup membantu kekurangannya dalam rumah tangga. Namun, yang lebih penting adalah kepercayaan yang diberikan rekan-rekannya dan pimpinan Lembaga Pendidikan Muhammadiyah. Tentu saja, kenaikan pangkat menjadi kepala sekolah berkat ketekunan dan kesungguhannya sebagai pendidik. Ada pengalaman unik ketika Soedirman masih menjadi guru. Dia menceritakannya kepada Pak Kholil. Suatu hari, ketika sedang mengajar, dia didatangi seorang Tambi (orang Keling dari Bombay). Setelah becakap-cakap, orang beragama Hindu itu melihat telapak tangan Soedirman dan berkata: “kelak engkau menjadi orang yang besar, tabahlah.” Soedirman menganggap ramalan itu biasa saja. Jadi Panglima Besar Menjelang pendudukan Jepang, Soedirman terpaksa melepaskan pekerjaan yang dicintainya sebagai kepala sekolah HIS Muhammadiyah. Saat itu situasinya tak memungkinkan menjalankan pendidikan karena semua orang terpusat pada serangan Jepang. Dia bahkan menjadi ketua sektor LBD (Lucht Besherming Dienst) atau Dinas Perlindungan Bahaya Udara yang dibentuk Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, Soedirman menjadi anggota Syu Sangikai (semacam dewan perwakilan), kemudian anggota Jawa Hokokai Karesidenan Banyumas. Setelah mengikuti pelatihan Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor, dia ditempatkan sebagai daidancho (komandan batalion) Daidan III di Kroya, Banyumas . Setelah Indonesia merdeka, Kolonel Soedirman menjabat komandan Divisi V TKR Purwokerto. Saat itulah, dia mengatur strategi melawan Sekutu di Ambarawa. Karier militernya mencapai puncak setelah dia terpilih menjadi panglima besar tentara Indonesia –inikah maksud "orang besar" yang diramalkan orang Tambi itu? Ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua, Soedirman dalam keadaan sakit melawan dengan bergerilya dari 19 Desember 1948 sampai 10 Juli 1949. Jenderal Soedirman, guru yang jadi panglima besar, meninggal dunia pada 29 Januari 1950.
- Stadion Rizal Memorial Dulu dan Kini
SEJAK bertolak ke Manila, Filipina pada Kamis, 21 November 2019, Timnas U-23 Indonesia langsung bersiap guna meladeni Thailand di Grup B cabang sepakbola SEA Games 2019, lima hari berselang. Sebagaimana dikutip situs PSSI , timnas asuhan Indra Sjafri itu langsung menyesuaikan diri dengan kondisi lapangan di Stadion Rizal Memoriam yang bersama Biñan Football Stadium di Provinsi Laguna akan jadi satu dua venue cabang sepakbola. “Kondisi lapangan cukup baik. Bahkan lebih bagus dibanding lapangan C Senayan dan Kamboja. Kami memang perlu adaptasi dan A lhamdulillah latihan pertama cukup memuaskan,” cetus Indra. Yang dimaksud PSSI dalam lamannya tentu Rizal Memorial Stadium, karena ada typo dalam penulisan sehingga menjadi Rizal Memoriam. Stadion itu mungkin venue olahraga paling legendaris di “Negeri Pinoy. Ia berdiri gagah di tengah-tengah Rizal Memorial Sport Complex (RMSC) yang diarsiteki Juan Marcos Arellano y de Guzmán pada 1933 dan rampung setahun berikutnya. Proyek Amerikanisasi di Filipina Sejak 1901, Filipina dikuasai Amerika Serikat lewat pemerintah insularnya. Gabriel Victor Caballero, sejarawan cum pakar International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) Filipina, mengungkapkan, pemerintah insular Amerika mulai “memetakan” modernisasi kota Manila lewat rancangan arsitek Daniel Burnham sejak 1905. Modernisasi itu lebih bernuansa Amerika, yang ditandai salah satunya dengan menggalakkan olahraga berikut infrastrukturnya. “Salah satunya untuk mengganti hiburan rakyat seperti sabung ayam, untuk kemudian mengalihkannya ke olahraga, untuk menjadi cerminan yang lebih baik akan kultur Amerika. Untuk meningkatkan standar hidup masyarakat Filipina menjadi lebih maju,” sebut Caballero dalam artikelnya di Modern ASEAN Architecture Project: 2015-2020, “The Role of Sports Facilities in Metro Manila’s Urban Living from the 1930s to 1970s”. Pada 1908, salah satu infrastruktur yang sudah tersedia adalah Manila Carnival Grounds (MCG). Kompleks hiburan itu pada 1913 dialihfungsikan menjadi venue Far Eastern Championship Games (FECG). Pesta olahraga multicabang pendahulu Asian Games itu diprakarsai Filipina pada 31 Januari 1913. Selain tuan rumah, event itu diikuti Republik Cina dan Kekaisaran Jepang. Pada 1924, Gubernur Jenderal Leonard Wood mencanangkan Manila Carnival Grounds untuk dijadikan kompleks olahraga. Keputusan itu muncul setelah lahan MCG disumbangkan ke pemerintah oleh keluarga Vito Cruz selaku pemilik. “Kompleksnya didesain Juan Arellano yang populer mengarsiteki bangunan-bangunan bergaya neo-klasik dan art deco di masa itu. Pembangunannya dimulai pada 1927 dan tujuh tahun kemudian diresmikan dan dibuka seiring FECG ke-10 pada 1934,” sambung Caballero. Rancangan Rizal Memorial Sport Complex jelang dibangun pada 1927 (Foto: Repro "American Colonisation and the City Beautiful") Di antara venue-venue bisbol, tenis, dan atletik, stadion sepakbolanya menjadi yang paling ikonik. Stadion itu diberi nama Rizal Memorial Stadium untuk menghormati “bapak” revolusi Filipina José Protasio Rizal Mercado y Alonso Realonda alias José Rizal. “Stadion Rizal Memorial berkapasitas 30 ribu penonton. Seperti stadion-stadion olahraga lain di dunia, bangunannya terdiri dari beton tebal dengan banyak motif berbahan kaca bergaya art deco . Sebelum 1941, stadion beserta kompleksnya merupakan kompleks olahraga tertua di Asia,” ungkap novelis cum veteran Perang Dunia II Atilano Bernardo David dalam End of the Trail: A Novel of the Philippines in World War II . Gelaran FEGC 1934 jadi ajang besar terakhir yang digelar di stadion itu. Pasalnya sejumlah bagian bangunan stadion ikut rusak akibat Perang Dunia II. Perbaikan stadion dan venue lain di kompleks RMSC baru bisa dilakukan pada 1953, dalam rangka Asian Games 1954. Sebagaimana Stadion GBK, Stadion Rizal Memorial acap jadi tempat pagelaran banyak akvititas di luar olahraga. Yang paling melekat di ingatan publik Filipina adalah konser The Beatles pada 4 Juli 1966. Rizal Memorial Stadium pada 1960 (kiri) dan arsiteknya Juan Arellano (Foto: Repro "The Role of Sports Facilities in Metro Manila’s Urban Living from the 1930s to 1970s") Hingga 2019, stadion Rizal sudah enam kali direnovasi. Kapasitasnya kini menciut jadi 13 ribu penonton. Pengurangan kapasitas itu untuk menyesuaikan jenis kursi berstandar AFC. Rumput lapangannya pun kini sudah berganti menjadi rumput sintetis. Sejak 2015, stadion ini mulai ditinggalkan timnas Filipina. Terlebih setelah eksisnya sejumlah stadion anyar macam Panaad Stadium di Bacolod, atau Philippine Sport Stadium (kini Philippine Arena) di Bocaue. Bila di Asian Games 1954, Kejuaraan Asia Yunior 1966 dan 1970, dan SEA Games 1981 dan 1991 Stadion Rizal Memorial menjadi lokasi utama, kini hal itu tidak lagi disandangnya. Di SEA Games 2005, stadion ini hanya dijadikan venue atletik. Untuk SEA Games tahun ini, ia hanya sekadar jadi venue cabang sepakbola. Pembukaan SEA Games 2019 bakal digelar di Philippine Arena dan penutupannya di New Clark City Athletics Stadium.
- Komik Strip Panji Koming Merekam Zaman
“Menulis apa Lul?” tanya Panji Koming kepada Pailul yang sedang memahat batu. “Sejarah,” jawab Pailul singkat. “Sejarah Majapahit?” tanya Panji Koming lagi. “Bukan, ini sejarah lima abad mendatang,” ujar Pailul. “Tentang apa Lul?” Panji Koming penasaran. “Tentang janji untuk tidak melupakan,” kata Pailul. Setelah selesai, barulah diketahui Pailul memahat kalimat, ‘Selamat jalan Pak Swan.’ Pailul kemudian pergi sambil berkata, ”Asyik lho menulis sejarah.” Begitulah percakapan Panji Koming dan Pailul dalam komik strip Panji Koming edisi Minggu, 18 Agustus 2019. Edisi itu dibuat untuk mengenang Polycarpus Swantoro, salah satu pendiri harian Kompas yang meninggal dunia pada 11 Agustus 2019. Pecakapan Panji Koming dan Pailul soal sejarah itu ternyata sekaligus menjadi karya terakhir Dwi Koen yang meninggal dunia pada 22 Agustus 2019. Panji Koming edisi 18 Agustus 2019, karya terakhir Dwi Koen. (Fernando Randy/Historia). Dwi Koendoro Brotoatmodjo atau akrab disapa Dwi Koen, lahir di Banjar, Jawa Barat, pada 13 Mei 1941. Ayahnya, R. Soemantri Brotoatmodjo merupakan seorang insinyur teknik. Sedangkan ibunya, R.R. Siti Soerasmi Brotopratomo adalah seorang perias pengantin. Pada 1965, Dwi Koen bergabung dengan Televisi Eksperimen Badan Pembina Pertelevisian Surabaya. Kemudian pada 1972, di Jakarta ia bekerja sebagai ilustrator dan kartunis pada penerbit PP Analisa, majalah Stop dan Senang . Dwi Koen kemudian pindah ke biro iklan Intervisa Advertising. Karier Dwi Koen semakin dikenal ketika ia mulai bekerja sebagai ilustrator di PT Gramedia pada 1976. Sejak 1979, ia mulai ditugaskan membuat komik strip untuk harian Kompas edisi Minggu. Maka, pada 14 Oktober 1979, lahirlah Panji Koming. Bersama Pailul, Ni Dyah Gembili, Ni Woro Ciblon, Mbah Kakung, Kirik, dan Denmas Aryo Kendor, Panji Koming telah menjadi komik ikon harian Kompas . Komik strip berlatar Kerajaan Majapahit ini sebenarnya bukan hanya konten hiburan. Panji Koming telah menjadi media satir, kritik maupun penyampai kegelisahan yang berangkat dari kehidupan rakyat miskin. Efix Mulyadi mengenang Dwi Koen dan Panji Koming dalam Bincang-Bincang Menyoal Panji “Dwi Koen” Koming , Jumat, 22 November 2019 di Bentara Budaya Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Efix Mulyadi, kurator Bentara Budaya, pada Bincang-Bincang Menyoal Panji “Dwi Koen” Koming , Jumat, 22 November 2019 di Bentara Budaya Jakarta menyebut bahwa Panji Koming selalu peka terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat. Isu-isu tersebut kemudian diangkat ke dalam komik strip dengan gaya khas Dwi Koen. “Selain dia menjadi bagian dari produk industri surat kabar, dia juga berada di wilayah perbincangan para pembacanya. Dekat sekali dengan para pembacanya. Ketika media masa sedang ramai kasus korupsi, muncul di situ dia. Ketika ada kasus heboh yang lain, tentang artis atau tentang tokoh politik yang lain, dia ada di situ. Dengan caranya sendiri,” ujar Efix. Kedekatan dengan isu-isu yang relevan dengan kehidupan sehai-hari itulah yang membuat Panji Koming selalu dinantikan setiap Minggu. “Banyak sekali yang membayangkan menjadi bagian yang sangat penting dari cerita Panji Koming. Saya menduga cukup banyak juga pembaca artinya rakyat Indonesia yang mengidentifikasi dirinya dengan kisah Panji Koming. Mereka akan ikut senang ketika apa yang menjadi kegundahan mereka terlampiaskan di kolom-kolomnya Panji Koming,” kata Efix. Panji Koming telah bertahan selama 40 tahun di harian Kompas edisi Minggu. (Fernando Randy/Historia). Efix mengungkapkan bahwa Panji Koming memiliki semangat yang sama dengan Panakawan. Tokoh-tokoh Panakawan merupakan perwujudan dari rakyat kecil dan hanya ada pada cerita wayang Indonesia. Rakyat kecil, baik dalam Panakawan maupun Panji Koming, memiliki suara yang harus didengar oleh penguasa. Menurut Efix, Dwi Koen memiliki mental pemberani karena Panji Koming pertama kali terbit ketika rezim Orde Baru berkuasa. Pada edisi pertama, Dwi Koen menggambarkan seorang raja atau penguasa yang ditandu oleh dua pembantu. Meski harus melewati sungai hingga membuat mereka tenggelam, sang raja tetap bergeming. Panji Koming edisi pertama ini merupakan jeweran yang keras terhadap penguasa dan rakyat sekaligus. “Ketika pemerintah otoriter sedang kuat-kuatnya, tidak ada yang pernah berani menantangnya. Tiba-tiba muncul kartun seperti itu. Saya kira itu bagian yang harus dihormati. Luar biasa,” sebutnya. Beng Rahadian, dosen DKV IKJ menyebut Panji Koming mewakili citra Nusantara. (Fernando Randy/Historia). Beng Rahadian, dosen Desain Komunikasi Visual (DKV) Institut Kesenian Jakarta (IKJ) menyebut Panji Koming sebagai salah satu komik strip yang bertahan lama di surat kabar, yakni 40 tahun. “Saya kira ini prestasi yang sulit dicapai siapapun. Bertahan di surat kabar dengan topik yang berbeda setiap Minggu, dan selalu mengungkapkan hal baru,” kata Beng. Beng menyebut Panji Koming merupakan salah satu komik strip yang mewakili kenusantaraan. Panji Koming tidak hanya berlatar kerajaan, tapi juga mengakat isu-isu masa kini yang dikemas dalam versi masa lalu. “Pak Dwi Koen dengan Panji Komingnya memberikan citra Nusantara yang established , yang tetap, yang tidak bisa dibandingkan dengan negara lain. Saya kira itu kelebihan kita,” sebut Beng. Pada 1986, Dwi Koen menjalankan rumah produksi film dokumenter, animasi, dan iklan bernama PT Citra Audivistama. Kemudian pada 1990, ia membuat komik Sawung Kampret yang dimuat secara berseri di majalah HumOr . Komik Sawung Kampret kemudian diadaptasi ke dalam sinetron yang ia sutradarai sendiri pada 1996. Pada 1999, karakter Panji Koming diterbitkan dalam bentuk perangko oleh PT. Pos Indonesia. Selang tiga tahun, pada 2002, Dwi Koen mendirikan Dwi Koen Studio untuk memproduksi kartun dan komik animasi. Dwi Koen telah 40 tahun merekam zaman melalui Panji Koming, Pailul, dan kawan-kawan . Melewati rezim Orde Baru hingga Reformasi, Dwi Koen juga mencatatkan sejarahnya lewat komik strip satir itu.
- Mengapa PKI Berjaya?
MENJELANG Kongres Nasional ke-VI, PKI menggiatkan program amal kepada rakyat. Wongso, buruh tani DesaTombol, Klaten, Jawa Tengah, menyambut kongres dengan antusias. Resort (organisasi tingkat desa) PKI setempat saat itu sedangmengadakan kerja bakti di desanya. “Saya ini sehidup semati dengan Palu Arit. Waktu pemilihan (1955) yang lalu, saya dengan penuh keyakinan mencoblos Palu Arit,” kata Wongso. “Pekarangan ini,” lanjutnya, “merupakan hasil perjuangan PKI. Orang-orang PKI di daerah saya adalah orang yang selalu memikirkan nasib rakyat,” ujar Wongso dilansir Harian Rakjat , 10 Agustus 1959. Hasil amal rakyat cukup membanggakan. Dari kegiatan sosial itu, Bintang Merah , Nomor Spesial Jilid I, (1960),mewartakan fasilitas umum yang telah dibangun: jalan raya, selokan, rumah, sekolah, bendungan, jembatan, kakusumum, pemakaman umum, pemberantasan hama tikus, dan kursus Pemberantasan Buta Huruf (PBH). Selain itu, ataspermintaan rakyat setempat telah dibangun berbagai fasilitas publik lainnya mulai dari balai rakyat, lapanganolahraga, hingga masjid dan gereja. Mulai dari buruh tani di Bireun, Aceh hingga nelayan kawasan laut Sawu di Nusa Tenggara Timur merasakandampaknya. Disisihkan Politik Dagang Sapi Meski tercatat sebagai partai pemenang Pemilu 1955, PKI tidak mendapat kuasa untuk memerintah. Koalisi PNI, Masjumi dan NU, menolak bekerja sama dengan PKI dalam satu kabinet. Alasannya: perbedaan ideologi. Presiden Sukarno tetap ingin menyertakan PKI. Dalam memoarnya Tonggak-tonggak di Perjalananku , Ali Sastroamidjojo yang menjadi formatur kabinet dan kemudian perdana menteri kena teguran keras. Sukarno mengecam kabinet yang dirancang Ali dalam Kabinet Ali II karena tidak mencerminkan semangat gotong-royong. Namun, sistem Demokrasi Parlementer saat itu tidak memberikan otoritas lebih bagi kepala negara mengintervensi kebijakan partai-partai. “Politik dagang sapi,” tulis Njoto, Wakil Sekretaris Jendral PKI, dalam editorial Harian Rakjat , 16 Maret 1956, “telah menyisihkan PKI dari lingkaran kekuasaan.” Meski kecewa, PKI tidak serta merta menjadi radikal merongrong pemerintah. Program-program kabinet Ali II tetap didukung sembari menyandarkan oposisinya pada suara rakyat. PKI Menuai Para kader PKI di daerah berperan besar dalam menyukseskan program partai. Akar ideologi yang kuat membuat mereka terampil menerjemahkan kebijakan partai dengan menyuarakan aspirasi tiap-tiap daerah. Selain faktor ideologi, menurut Boyd Compton kader PKI di daerah adalah organisator yang digaji lebih baik di banding partai manapun. Selain PKI, “agaknya tidak ada partai lain yang sanggup menggaji begitu besar para pegawai pentingnya di tingkat rendahan,” tulis Compton dalam surat-suratnya yang diterbitkan Kemelut Demokrasi Liberal . Compton, peneliti politik Amerika yang pada 1955 menyaksikan jalannya pemilihan umum di Indonesia. Menurutnya, PKI menjadi salah satu kekuatan anyar yang gencar melancarkan propaganda dengan cara-cara populis. Partai ini juga mendayagunakan kadernya secara optimal untuk menggaet pemilih. “PKI telah mencurahkan biaya besar dalam kampanye yang penuh rayuan dan gertakan ini. Dari semua penampilannya, kelihatan bahwa ia merupakan partai terkaya di Jawa Timur. Mungkin juga yang paling sukses,” tulis Compton. Memasuki tahun 1960, hasil kerja keras dituai. Hampir di tiap penjuru negeri, panji Palu Arit berkibar. Pimpinan PKI, D.N Aidit mengklaim massa PKI di seluruh Indonesia telah mencapai 1,5 juta anggota. Di sejumlah daerah tingkat II (Cirebon di Jawa Barat, Surabaya di Jawa Timur, Surakarta, Magelang, Salatiga, dan Boyolali di Jawa Tengah), kader PKI menduduki kursi bupati atau walikota. PKI semakin di atas angin ketika kepercayaan rakyat di daerah runtuh terhadap Masjumi dan PSI akibat keterlibatan dalam PRRI-Permesta. PKI semakin jumawa. “Bagi rakyat daerah, PKI adalah partai konkret. Tidak umbar janji-janji palsu dan tidak ada dominasi individu,” ujar Arbi Sanit, sosiolog Universitas Indonesia kepada Historia . Itulah, kata Arbi, yang menyebabkan jumlah anggota PKI membludak.
- Sriwijaya dalam Perdagangan Dunia
Untungnya I-Tsing mencatat pengalaman berlayarnya bolak-balik dari Guangzhou sampai India. Sehingga diketahui sebuah negeri bernama Fo-shi, tempat ia mampir dan tinggal selama beberapa tahun di tengah pengembaraannya. Fo-shi adalah nama yang setelah diterjemahkan merujuk pada Sriwijaya. Sang biksu pun menjadi orang pertama yang membuat catatan cukup jelas tentangnya. Hingga seolah kemunculan dan perkembangan pusat keramaian di Sumatra itu muncul begitu tiba-tiba. Pada 671, yaitu ketika I-Tsing tiba di sana, kondisi Sumatra sudah ramai oleh lalulintas kapal. Di sana pun sudah didatangi ribuan biksu yang tengah mendalami ajaran Buddha. Bukanlah kebetulan Sriwijaya muncul sebagai kekuatan maritim yang dominan di kawasan Asia Tenggara. Kondisi ekonomi dan politik kawasan, ditambah keterampilan penguasa Sriwijaya telah memberi jalan bagi dirinya menuju kejayaan selama beberapa abad. Kedatuan Sriwijaya berkuasa dari 683 sampai kira-kira 1183. Mereka cukup diuntungkan oleh letak geografis dan sumber daya alamnya. Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, menjelaskan letak pantai timur Sumatra begitu strategis. Ini masih ditambah angin musim yang bertiup secara teratur menjadikannya jalur perdagangan penting sejak awal abad Masehi. Jalur ini ada di antara rute Samudra Hindia, Laut Cina Selatan, dan Samudra Pasifik. Pun hasil alamnya yang berupa rempah, kayu cendana, kapur barus, kemenyan, besi, timah, emas telah disebut di dalam kitab-kitab sastra dari India sebagai komoditas yang dicari dalam perdagangan. “Sriwijaya mengeluarkan sekira 100-an prasasti dari timah, pasti karena hasil timahnya yang melimpah,” kata Ninie. Keuntungan itu mereka sadari sembari menjalin hubungan dengan pedagang dari India, Arab, dan Tiongkok. Waktu itu India dan Tiongkok merupakan bagian dari kekuatan dunia. Buntutnya pada abad ke-7 Sriwijaya merebut pos luar wilayah baratdaya Semenanjung Melayu. Ini yang kemudian membuatnya berkuasa atas Selat Malaka. “Sriwijaya menguasai sisi Selat Malaka yang merupakan lalu lintas strategis jalur perdagangan masa lalu,” kata Ninie. Namun, bagaimana awal mula keramaian terbentuk sehingga membuat Sriwijaya berjaya? Nyatanya, uraian tentang pendorong perkembangan Sriwijaya awal itu masih dibatasi sumber-sumber yang tak seberapa banyak. Keterbukaan Jalur Kalau melihat peta, letak Sriwijaya tepat berada di tengah, antara Tiongkok dan Timur Tengah yang jalurnya lewat India. Berdasarkan kronik Tiongkok, hubungannya dengan Sriwijaya baru terjadi pada abad ke-5 M. Harus menunggu berabad-abad sebelum kawasan di lautan selatan ini muncul dalam catatan resmi mereka. Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa 2: Jaringan Asia menyebutkan hubungan wilayah laut selatan dengan Tiongkok menjadi lebih jelas sejak abad ke-3 SMdengan terbentuknya kekaisaran Tiongkok dan dikirimkannya ekspedisi-ekspedisi Kaisar Qin, Shi Huangdi, ke arah Kanton. Setelah kekaisaran pertama itu hancur, kerajaan-kerajaan di selatan mulai bermunculan pada abad ke-3. Catatan yang pasti mengenai Asia Tenggara pun mulai ditulis dalam teks-teks mereka. “Pada abad ke-3 terjalinlah hubungan dengan negeri-negeri Indocina, termasuk Funan,” jelas Lombard. Sejarawan Inggris, Oliver William Wolters, dalam Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII, berpendapat bahwa pembukaan pelabuhan Tiongkok berdampak pada masuknya dan menetapnya pedagang asing di wilayah Asia Tenggara. Ramainya pedagang di pasar laut Asia Tenggara menanggapi faktor-faktor politik di ujung barat dan timur dari rute maritim internasional. Menanggapi itu, Kenneth R. Hall, sejarawan Ball State University, yang banyak meneliti sejarah dan budaya Asia Selatan dan Tenggara sebelum abad ke-15, menyebut uraian Wolters itu membuat seolah daerah yang berada di antaranya tak cukup punya banyak aksi atas terjadinya keramaian ekonomi di wilayah mereka sendiri. Dalam “Local and International Trade and Traders in the Straits of Melaka Region: 600-1500” termuat di Journal of the Economic and Social History of the Orient, Hall menyebut pandangan itu mengasumsikan bahwa rute laut tergantung pada pasar di ujung rute, yaitu di Tiongkok, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Artinya, peradaban di kedua ujung rute menawarkan potensi komersial yang cukup untuk mendorong terjadinya perdagangan. Sebaliknya, jika pasar di kedua ujungnya ditutup, maka pedagang internasional tidak punya alasan untuk membuat jalur maritim di sana. Artinya kemunculan pusat perdagangan di Asia Tenggara lebih dikarenakan faktor eksternal. “Tinjauan ini gagal untuk mengenali lokalisasi dalam pengembangan pasar dan peradaban di kawasan yang tidak terletak di ujung rute, tetapi di sepanjang jalur rute, dan kapasitas lokal untuk menjadi kreatif,” ujar Hall. Lewat bukti arkeologis diketahui bahwa sejak awal masehi pun Nusantara sudah terhubung dengan perdagangan internasional. Jejaknya berupa sisa-sisa permukiman yang kompleks dari abad ke-3 di atas lahan berawa ditemukan di Situs Air Sugihan, di pantai timur Palembang. Kemungkinan besar penghuninya telah melakukan kontak dengan wilayah luar. Mereka telah berlayar ke Funan. Agustijanto Indrajaya, ketua tim peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) menjelaskan bahwa di sana ditemukan manik-manik emas, batu, dan kaca, yang mirip dengan temuan di situs Oc-eo, lembah sungai Mekong. “Situs ini adalah pelabuhan yang masuk wilayah Kerajaan Funan yang berdiri pada awal masehi hingga abad 6,” katanya saat ditemui usai diskusi buku Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya karya O.W. Wolters. Tak hanya berhubungan dengan Funan, di kawasan yang diduga pendahulu Sriwijaya itu,ditemukan banyak tinggalan budaya terkait Tiongkok dan India. Seperti tembikar Arikamedu, manik-manik karnelian India Selatan, dan keramik Tiongkok dari Dinasti Sui (abad 5-6). “Kita bisa memperkirakan Ko-ying memang di pantai timur. Ternyata dari bukti arkeologisnya ada kesesuaiannya dengan berita Tiongkok abad 3-4,” lanjutnya. Perkiraannya, situs ini dihuni sampai periode akhir Sriwijaya. Agustijanto melihat permukiman di situs inilah yang dalam catatan Tiongkok disebut Ko-ying dan Kan-t’o-li. Menurut Wolters, Ko-ying disebut dalam catatan Wan Chen, gubernur Wu untuk wilayah Tan, yang tak jauh dari Nanking sekarang. Sedangkan Kang T’ai, utusan pemerintahan Wu di Funan, menyebutnya dengan Chia-ying. Kendati sebutan Ko-ying belum diketahui asalnya, catatan keduanya memberikan gambaran bahwa Ko-ying adalah kerajaan di Nusantara bagian barat, setidaknya berdekatan dengan Selat Malaka. Sementara itu, Wolters menyebut Kan-t’o-li sebagai kerajaan dagang yang muncul pada abad ke-5 dan ke-6. Nama ini sering disebut dalam sumber Tiongkok. Ming Shih atau catatan Sejarah Dinasti Ming (abad 14) menyebut Kan-t’o-li sebagai nama lama Sriwijaya. “Kan-t’o-li pada abad 5-6 sudah kirim duta ke Tiongkok, menjadi besar masuk ke masa Sriwijaya, makanya disebut itu pendahulu Sriwijaya,” kata Agustijanto. Kesempatan Sriwijaya makin terbuka ketika Funan runtuh akibat serangan kerajaan di Kamboja pada abad ke-7. Selama lima abad sebelumnya, negeri itu adalah penguasa unggul atas laut-laut selatan. Sementara yang menjatuhkannya, kata George Cœdès, sejarawan Prancis, dalam Asia Tenggara Masa Hindu-Buddha, bukanlah kerajaan berbasis kelautan. Rakyatnya sudah bisa hidup makmur dengan hasil pertanian. Maka, kejatuhan Funan pun memberikan kebebasan dan kesempatan bagi pelayaran dan perdagangan di sepanjang perairan Asia Tenggara. Kesempatan ini kemudian digunakanan Sriwijaya untuk menggantikan peran Funan. Hall menyebut selanjutnya perkembangan peradaban di Asia Tenggara dan pasar mereka makin menawarkan alternatif yang menarik bagi pedagang-pedagang asing. Ketersediaan Produk Selain sebagai persinggahan pedagang internasional, Wolters berpendapat kalau wilayah Sumatra berperan penting menyediakan berbagai barang penggati. Barang ini muncul untuk menggantikan barang asli yang lebih mahal. Misalnya getah gaharu, yang mungkin berasal dari Sumatra Utara, dijadikan pengganti dupa. Menurut Wolter, perdagangan dupa melalui laut berlangsung pada abad ke-3 hingga puncaknya pada masa Dinasti Sung, ketika dupa diimpor secara besar-besaran. Maka munculah kesempatan untuk mengganti dupa dengan getah gaharu yang lebih murah harganya. Ada lagi getah kemenyan yang dianggap sebagai pengganti mur di Tiongkok Selatan. Pada sekira abad ke-5 kemenyan Nusantara bagian barat umumnya dinamakan damar atau getah kemenyan. Kemenyan dijadikan pengganti bahan obat pengasapan. Pohon-pohon yang menghasilkan kemenyan dengan jumlah yang besar hanya dijumpai di wilayah-wilayah Asia Tenggara dan Bolivia. Di Indonesia, terdapat jenis yang menghasilkan getah terbaik, yaitu jenis Styrax sumatrana. Jenis ini tumbuh terutama di pedalaman Tapanuli. “Latar belakang perkembangan ini adalah zaman permulaan perdagangan Tiongkok-Indonesia pada abad ke-5, yaitu ketika perdagangan dupa mendorong terjadi perdagangan getah gaharu sebagai pengganti,” jelas Wolters. Di sisi lain, Sriwijaya juga mengelola jaringan pasar di pedalaman. Pelabuhan di Selat Malaka yang telah dikuasai Sriwijaya menerima pasokan produk asli dari pedalaman. Berkat itu, pedagang internasional bisa memperoleh produk lokal. Sebagai gantinya mereka meninggalkan komoditas perdagangan mereka sendiri, misalnya tekstil dan keramik. Sriwijaya kemudian menyalurkan permintaan daerah akan komoditas impor itu. Komoditas impor yang biasa diminta daerah pedalaman misalnya besi. Menurut Hall sebagian besar wilayah pedalaman memiliki pasokan besi yang tak memadai. Ada pula tekstil, terutama kapas India yang diproduksi di wilayah Gujarat, India Barat dan di pusat tenun di pantai tenggara India. Lalu ada pula permintaan keramik Cina. Pada masa perkembangan Islam, permintaan batu nisan yang diimpor dari Gujarat juga meningkat. “Pasar Asia Tenggara cukup penting sehingga tekstil India diproduksi dengan spesifikasi Asia Tenggara, misalnya potongan panjang kain ritual produksi penenun Gujarat dengan ukuran dan desain khusus masyarakat Toraja,” jelas Hall. Lengkapnya komoditas dagang di pasar internasional Sriwijaya ini dicatat oleh sumber-sumber Tiongkok. Misalnya dalam catatan Zhao Rugua (Chu Ju-kua) dari abad ke-13. Disebutkan bahwa di Sriwijaya dapat ditemukan barang-barang seperti kayu gaharu, cengkeh, cendana, mutiara, kemenyan, air mawar, gading gajah, barang-barang dari katun, pisau, pedang, porselen, brokat sutra, kancing sutra, kasa sutra, gula, besi, beras, lengkuas kering, samsu dan kapur barus. Barang-barang itu biasanya dibarter dalam emas atau perak dengan harga yang tetap. “Sebagai contoh, satu tong samsu sama dengan satu tael perak, sepuluh tong sama dengan satu tael emas,” jelas Hall. Berdirinya pusat perdagangan di wilayah perairan Sriwijaya menawarkan kepraktisan. Di sini bisa ditemukan berbagai komoditas paling diminati dari manapun. Makin tersohorlah Sriwijaya.
- Soedirman Suka Main Sepakbola
Suatu hari menjelang tengah malam pada 1944. Soedirman menyampaikan rencana bergabung dengan pasukan Pembela Tanah Air (Peta) yang dibentuk Jepang. Dia meminta pengertian istrinya, Siti Alfiah. Namun, Alfiah mengkhawatirkannya karena mata sebelah kiri suaminya itu kurang terang. “Lalu, kaki mas yang terkilir waktu main bola itu…” “Tidak apa-apa, Bu, semua pengalaman ada gunanya. Saya harap ibu berhati mantap,” kata Soedirman. Dialog itu termuat dalam biografi Perjalanan Bersahaja Jenderal Sudirman karya Soekanto S.A. seperti dicuplik buku Soedirman: Seorang Panglima, Seorang Martir garapan tim majalah Tempo . Sepakbola merupakan olahraga kesukaan Soedirman ketika muda. Saat dia aktif di organisasi Hizbul Wathan, kepanduan Muhammadiyah, kemudian Pemuda Muhammadiyah. “Soedirman biasanya main sebagai back . Permainannya cukup baik, akan tetapi kasar,” tulis Solichin Salam dalam Djenderal Soedirman Pahlawan Kemerdekaan . Karena permainan Soedirman cukup baik, catat buku Sudirman Prajurit TNI Teladan ,lebih-lebih kalau sebagai back , maka dia temasuk pemain kelas A. Pada masa itu, istilahnya bukan yunior dan senior, tetapi kelas A dan kelas B. Pemuda pendiam dan terlihat lemah itu, ternyata ketika main bola cukup tangkas dan agak keras dalam mengamankan pertahanan. Sebagai back , nampak sekali ketangkasannya jika musuh telah mengurung bentengnya. Jika barisan depan musuh mulai menyerangnya, dia pun mengeluarkan segala taktik dan teknik untuk memberesihkan semua gerak serangan. “Di sanalah para penonton akan kagum dan tidak menyangka bahwa back yang cekatan itu adalah pemuda yang bernama Soedirman yang biasa digelari kajine (si haji) dalam pergaulan sehari-hari karena alimnya,” demikian tercatat dalam buku terbitan Dinas Sejarah TNI AD itu. Soedirman memimpin kesebelasan Banteng Muda di Cilacap. Klubnya selalu ikut bertanding ketikajambore Hizbul Wathan atau konferensi Pemuda Muhammadiyah di berbagai kota di Karesidenan Banyumas. Sebagai back kuat Banteng Muda, dia pun menjadi pemain bond (perkumpulan, red. ) sepakbola Banyumas. Bahkan, dia kemudian dipilih menjadi Ketua Pesatuan Sepakbola Banyumas. Mokhammad Samingan, adik Soedirman, menceritakan karena dia pemain back yang tangguh, maka sering diancam lawannya. Dalam salah satu pertandingan, dia pernah disikat pemain lawan sehingga kakinya cedera – ada sumber yang menyebut sambungan tulang lutut kirinya bergeser. Cedera itu masih ada sampai dia wafat. Sepakbola juga membuat mata sebelah kanan sedikit cacat. Kendati kaki dan matanya cedera, Soedirman tetap dapat menjadi anggota Peta. Dia mengikuti latihan Peta angkatan kedua sebagai daidancho (komandan batalion) di Bogor. Setelah itu, dia ditempatkan sebagai daidancho Daidan III di Kroya, Banyumas. Setelah Indonesia merdeka, Kolonel Soedirman menjabat komandan Divisi V TKR Purwokerto. Saat itulah, dia mengatur strategi melawan Sekutu di Ambarawa. Karier militernya mencapai puncak setelah dia terpilih menjadi panglima besar tentara Indonesia. Ketika Belanda melancarkan agresi militer kedua, dia dalam keadaan sakit melawan dengan bergerilya dari 19 Desember 1948 sampai 10 Juli 1949. Panglima Besar Jenderal Soedirman meninggal dunia pada 29 Januari 1950.






















