top of page

Sejarah Indonesia

Chairul Saleh Dan Laut Teritorial Indonesia

Chairul Saleh dan Laut Teritorial Indonesia

Laut teritorial Indonesia didapat dari perjuangan panjang berdasarkan Deklarasi Djuanda. Ada peran Chairul di dalamnya.

Oleh :
26 November 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Chairul Saleh (kedua dari kiri) bersama para tokoh lainnya. (Nationaalarchief)

OKTOBER 1957. Mochtar Kusumaatmadja, pegawai di Biro Devisa Perdagangan (BDP), didatangi Menteri Veteran Chairul Saleh. Dengan gaya blak-blakannya Chairul “menyemprot” Mochtar.


“Mana ini, hasil panitia belum ada? Lambat betul kerjanya” kata Chairul, dikutip Mochtar dalam testimoni berjudul “Sekelumit Pengalaman Bersama Bung Chairul Saleh”, dimuat di Chairul Saleh Tokoh Kontroversial.


Panitia yang dimaksud Chairul merupakan Panitia Rancangan UU Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim yang dibentuk PM Ali Sastroamidjojo pada 1956. Panitia tersebut dibentuk dengan tujuan menciptakan UU Laut Teritorial baru untuk menggantikan Territorial Zee en Maritiem Ordonantie yang diterapkan sejak masa kolonial. Mochtar ikut menjadi anggota panitia itu atas perintah Chairul.


Namun, hingga pemerintahan Ali Sastroamidjojo II turun, panitia itu belum berhasil merampungkan pekerjaannya. Ketika Djuanda naik memimpin kabinet, panitia tetap dipertahankan. Mochtar tetap di dalamnya.


Kinerja lamban panitia membuat Chairul, yang sejak muda gandrung mewujudkan kedaulatan Republik Indonesia, prihatin. Dia melihat kedaulatan negerinya, terutama di laut, masih terus dikangkangi banyak bangsa asing. “Ini kapal perang Belanda kok mondar-mandir saja di Laut Jawa. Ini Laut Jawa apa tidak bisa dijadikan laut pedalaman?” kata Chairul bertanya.


“Nggak bisa dong. Bagaimana?” jawab Mochtar.


“Pokoknya bikin supaya bisa. Jangan bilang tidak bisa!”


“Wah, ini bertentangan dengan hukum internasional.”


“Kamu ini masih muda ngomongnya kayak apa, tidak revolusioner. Kalau dulu waktu proklamasi kita mendengarkan orang-orang yang terlalu yuridis, proklamasi juga tidak jadi. Kamu harus merubah cara berpikir. Pokoknya mesti bisa!” kata Chairul.


Perintah Chairul itu dilaksanakan Mochtar kendati dia belum tahu cara apa yang mesti ditempuh untuk meluluskannya. Mochtar merasa terlecut oleh pernyataan Chairul. Untuk itu, dia meminta kompensasi agar diberi cuti guna menyusun konsep yang diinginkan lantaran saat itu statusnya masih tetap pegawai BDP. Permintaan itu dikabulkan Chairul dengan memerintahkan Usman, atasan Mochtar, agar mengeluarkan surat cuti.


“Jadi bulan Oktober itu saya mengambil perlop 2 minggu beristirahat di Bandung untuk menyiapkan konsep, yang menjadikan semua perairan (laut) antar-pulau-pulau Indonesia menjadi perairan pedalaman. Demikian lahirnya Konsepsi Nusantara dalam hukum laut itu,” kata Mochtar.


Setelah diselesaikan, konsep itu dibahas dalam rapat kabinet pada 13 Desember 1957 di kantor PM Djuanda di Pejambon (kini Gedung BP-7). Agenda rapat sebetulnya membahas RUU yang dibuat panitia INTERDEP, panitia yang dibentuk pemerintah untuk mempersiapkan RUU tentang wilayah maritim. “Tetapi ada juga RUU tidak resmi dari Menteri Veteran, di mana saya menjadi penasihat sekaligus pembuat konsepnya. Sebetulnya bukan RUU tetapi deklarasi tentang konsepsi Negara Kepulauan Indonesia,” tulis Mochtar.


Ketika akan memasuki ruang rapat, Mochtar dicegat Chairul yang langsung memberondong dengan beberapa pertanyaan.


“Mochtar, ini yang mau diukur dari pangkal laut teritorial lebarnya berapa?”


“Dua belas mil,” jawab Mochtar.


“Kenapa tidak 17? Sebab 17 adalah angka keramat,” kata Chairul yang tak dihiraukan Mochtar.


Konsepsi laut itu akhirnya diadopsi pemerintah. Hari itu juga PM Djuanda mendeklarasikan konsep yang kemudian dikenal dengan Deklarasi Djuanda itu. Indonesia mulai saat itu menyatakan seluruh perairan yang mengelilingi atau menghubungkan pulau-pulaunya sebagai bagian tak terpisahkan dari wilayahnya dan berada di bawah kedaulatan Indonesia alias perairan nasional. Seluruh kekayaan yang ada di dasar laut dan tanah di bawahnya milik Indonesia.


Akibat deklarasi itu, Indonesia kehujanan protes dari banyak negara. “Beberapa negara ada yang segera mengirim surat penentangan, di antaranya nota protes diplomatik itu berasal dari Amerika Serikat (30 Desember 1957), Ingris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Prancis (8 Januari 1958), dan Selandia Baru (11 Januari 1958),” tulis Eko A. Meinarno, Adhityawarman Menaldi, dan Prayogo Triono dalam “Andai PM Djuanda Masih Hidup: Studi Persepsi Wilayah NKRI”, dimuat dalam Membangun Kedaulatan Bangsa Berdasarkan Nilai-Nilai Pancasila: Pemberdayaan Masyarakat dalam Kawasan Terluar, Terdepan, dan Tertinggal.


Protes banyak negara itu menjadi pemberitaan banyak media. Mochtar yang kalang-kabut dibuatnya pun mendatangi Chairul sambil menunjukkan sebuah koran. Alih-alih kaget, Chairul justru merespon santai. “Ooo mereka protes? Kalau negara-negara besar imperialis itu protes, itu artinya kita di jalan yang benar.”


Deklarasi Djuanda menjadi landasan Indonesia memperjuangkan perairan nasionalnya baik di Konferensi Hukum Laut PBB pertama di Jenewa, Februari 1958, maupun forum-forum internasional setelahnya. “Pada waktu itu saya selalu dijadikan ketua Delegasi Perjuangan untuk mendapatkan pengakuan itu,” kata Mochtar.


UU tentang Perairan Indonesia yang kemudian menjadi UU No.4/Prp juga dibuat berdasarkan Deklarasi Djuanda. Jauh setelah Chairul tiada, perjuangan Indonesia mendapatkan laut teritorialnya akhirnya membuahkan hasil dengan ditandatanganinya United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) oleh 159 negara pada 10 Desember 1982 di Montego Bay, Jamaika.


“Jadi saya merasa beruntung mendapatkan tantangan dan dorongan dari Uda Chairul, dari permulaan tidak adanya sampai tercipta dan berhasil diterimanya Wawasan Nusantara sekaligus diterimanya konsepsi baru ini di konvensi internasional tentang Hukum Laut di Montego Bay itu,” kata Mochtar.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
Cerita dari Pengasingan Bung Karno di Rumah Batu Tulis

Cerita dari Pengasingan Bung Karno di Rumah Batu Tulis

Setelah terusir dari paviliun di Istana Bogor, Bung Karno melipir ke Hing Puri Bima Sakti alias Rumah Batu Tulis sebagai tahanan rumah.
bottom of page