top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Saat Suara Bung Karno Berkumandang di Los Angeles

    ANGIN di Los Angeles State Historic Park, Amerika Serikat hari itu tengah bersahabat. Embusannya nan sepoi-sepoi mengibarkan tiga bendera dwiwarna, Merah-Putih yang tengah diusung 17 anak Indonesia di atas panggung. Lantas sayup-sayup lagu kebangsaan “Indonesia Raya” syahdu terdengar dinyanyikan Niki membuka penampilannya. Sekira 25 ribu penonton Head in The Clouds Festival di Los Angeles, Sabtu (17/8/2019) jadi saksi. Bagaimana Niki, salah satu performer 88 Rising asal Indonesia begitu bangga pada negerinya yang tengah berulangtahun ke-74 di hari itu. Memang Niki tak menyanyikannya lengkap, namun setidaknya 25 ribu fans di Negeri Paman Sam itu menjadi sangatsadarakan sebuah negeri di belahan bumi lain yang tengah berulang tahun. Penghayatannya lebih terasa saat nyanyian “Indonesia Raya” dari Niki itu dibarengi rekaman suara pembacaan teks proklamasi Sukarno. Niki juga tampil dengan busana stylish , seksi, namun sangat “Indonesia” dengan perpaduan warna merah dan putih. Tidak hanya Niki bintang asal Indonesia yang tampil di panggung utama festival, ada Rapper Rich Brian yang tak mau kalah unjuk identitas ke-Indonesia-annya. Rich Brian tampil menutup puncak acara dengan tembang-tembang andalannya. Di lagu terakhir, Rich Brian menampilkan sejumlah cuplikan kehidupan di Jakarta. Tak lupa sebelum berpamitan dengan penonton, ia menampilkan sang dwiwarna di videotron raksasa yang jadi latar panggung utama. Rich Brian di penutupan Head in the Clouds Festival Festival itu sendiri diprakarsai 88Rising yang selama ini juga menaungi sejumlah musisi Indonesia, seperti Niki dan Rich Brian. Selain keduanya, sedianya 88Rising juga memberi panggung pada empat musisi muda lainnya, meski tak di panggung utama: Devinta, Moneva, Arta dan Marcello. Tampilnya mereka tak lain buah kerjasama 88Rising dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) RI yang meluncurkan program akselerasi ICINC (Indonesia Creative Incorporated): Indonesia Rising. Melihat reaksi 25 ribu penonton yang “khusyuk” kala “Indonesia Raya” berkumandang dan heboh ketika dwiwarna nongol di videotron, nampak pengusungan indentitas kebangsaan cukup berhasil. Pasalnya selain para musisi Indonesia, Head in the Clouds Festival ini juga memberi panggung untuk tampilnya sejumlah musisi mancanegara lain: Jepang, China, Korea Selatan dan Malaysia. Memang hanya para penampil Korea (iKON) dan China (Higher Brothers) yang berani membawa musik dengan bahasa sendiri. Para musisi lain tampil membawakan musik dengan bahasa Inggris tanpa menampilkan visual identitas negeri mereka. Namun hanya para musisi Indonesia yang berani turut menampilkan visual dan bahkan lagu kebangsaannya sendiri di festival bertaraf internasional itu.

  • Superhero Indonesia dari Komik ke Jagat Sinema

    Jagat Sinema Bumilangit telah resmi diumumkan oleh Bumi Langit Studios, Minggu, 18 Agustus 2019. Tokoh-tokoh superhero dalam Jagat Sinema Bumilangit diadaptasi dari komik-komik Indonesia dari karya Ganes TH hingga Wid NS. Sutradara Joko Anwar, mengungkapkan bahwa film-film ini akan berbeda dengan garapan studio seperti Marvel maupun DC. “Ciri khasnya, latar belakang ceritanya sesuai dengan kondisi Indonesia saat ini; kegelisahan dan topik-topik yang sedang dihadapi rakyat Indonesia. Indonesia banget ,” kata Joko. Joko Anwar juga mengatakan bahwa dia tidak berperan sebagai sutradara untuk semua film tersebut. Tiap film akan mempunyai sutradara dan penulis skenario sendiri. Namun, dia akan tetap turut berperan sebagai creative producer . “Saya akan terus jadi creative producer di semua film tersebut. Akan tetap menjaga kesinambungan cerita, karakter dan plot,” jelas Joko. Beberapa film tersebut merupakan Jilid 1 dari Jagat Sinema Bumilangit yang terdiri dari dua era yakni era Jawara dan Patriot. Sri Asih diperankan Pevita Pearce . (Twitter Joko Anwar). Era Jawara berisi tiga judul yaitu Sri Asih, Mandala Golok Setan, dan Si Buta dari Gua Hantu . Sri Asih merupakan tokoh karya R.A. Kosasih yang terbit tahun 1954. Pahlawan perempuan yang bisa terbang iniakan diperankan oleh Pevita Pearce. Sedangkan Mandala Golok Setan berangkat dari komik karya Mansyur Daman dan pernah difilmkan dengan judul Golok Setan pada 1983. Dalam cerita perebutan pedang sakti kuno ini, Mandala akan diperankan oleh Joe Taslim . (Gambar 2 29780539870541119348) Mandala diperankan Joe Taslim. (Twitter Joko Anwar) Sementara itu, Si Buta dari Gua Hantu , pendekar silat karya komikus Ganes TH yang terbit pada 1967 masih dirahasiakan pemainnya. Era Patriot yang telah diawali Gundala, akan diramaikan oleh Godam & Tira yang akan diperankan oleh Chicco Jerikho dan Chelsea Islan. Godam merupakan karya komikus Wid NS dan pertama kali muncul pada 1969. Sedangkan Tira, karya Nono GM pertama muncul pada 1975. Godam diperankan Chicco Jerikho. (Twitter Joko Anwar) Aktor dan aktris lain yang tergabung dalam Jagat Sinema Bumilangit Jilid 1 antara lain, Tara Basro (Merpati), Bront Palarae (Pengkor), Lukman Sardi (Ridwan Bahri), Asmara Abigail (Desti Nikita), Hannah Al Rashid (Camar), Kelly Tandyono (Bidadari Mata Elang), Vanesha Prescilia (Cempaka), Della Dartyan (Nila Umaya), Nicholas Saputra (Aquanus), Dian Sastro Wardoyo (Dewi Api), Tatjana Saphira (Mustika Sang Kolektor), Zara JKT48 (Virgo), Daniel Adnan (Tanto Ginanjar) dan Aryo Bayu (Gani Zulfam). Beberapa superhero kemungkinan akan tergabung dalam dua film lain yakni Patriot Taruna dan Patriot . Sedangkan ke depan, Gundala mendapat satu judul lagi yakni Gundala Putra Petir. Soal film perdana, Abimana Aryasatya, pemeran Gundala, mengatakan bahwa tantangan film ini adalah soal bagaimana memenuhi ekspektasi beberapa generasi soal Gundala. Gundala diperankan Abimana Aryasatya. (Twitter Joko Anwar). “Gundala itu melewati beberapa generasi, mulai dari generasi komiknya, tahun 60-an, 69 ke 70, generasi film dari 81 ke 82 yang punya mazhab berbeda lagi soal Gundala, dan generasi milenial yang harus dijelaskan ulang soal Gundala. Jadi tanggung jawabnya gede ,” jelas Abimana. Abimana menambahkan, hal itu menjadi salah satu prioritas dan dia enggan membuat banyak pihak kecewa. “Jangan sampai mengecewakan mereka. Karena yang di tahun 60, 80, pasti punya memori soal Gundala. Yang sekarang, mereka pengen punya superhero sendiri yang punyanya mereka. Jagoan punya mereka,” kata Abimana.

  • Pertemuan Terakhir Sukarno-Hatta

    WAJAH Meutia Hatta tetiba berubah menjadi sayu. Tetiba saja ia terkenang kembali momen pertemuan dirinya dengan Sukarno untuk terakhir kali saat menemani sang ayah. Ada kesedihan dan kerinduan yang dia rasakan menohok ulu hatinya. “Sudah lama sekali, sejak Sukarno tak terekspos lagi kepada masyarakat, Hatta tidak pernah bertemu dengan kawannya itu,” kata perempuan berusia 72 tahun itu.  Bukan rahasia lagi jika hubungan dua bapak pendiri bangsa ini sempat meregang pasca Indonesia berdiri sebagai sebuah negara, terutama dalam kurun masa 1950-an sampai 1960-an. Masalah utamanya adalah perbedaan pandangan mengenai masa depan revolusi Indonesia, di samping soal prioritas pembangunan negeri. Dalam sebuah buku, Mengenang Bung Hatta , yang memuat pengalaman-pengalaman pribadinya selama mendampingi Mohammad Hatta sebagai sekretaris, Iding Wangsa Widjaja memastikan bahwa keduanya tidak pernah saling mendendam. “Hal itu tidak sampai merusak hubungan pribadi beliau berdua. Ini saya ketahui persis, terutama yang menyangkut sikap Bung Hatta terhadap Bung Karno di balik pertentangan-pertentangan pendapat beliau.” “Salah satu bukti yang dapat saya utarakan, bahwa Bung Hatta tidak menaruh dendam dan tidak memusuhi Bung Karno, ialah peristiwa menjelang wafatnya Bung Karno,” lanjut Widjaja. Pada Jumat pagi, 19 Juni 1970, Hatta dikirimi sepucuk surat oleh Masagung, salah satu kawan Sukarno yang bernama asli Tjio Wie Tay. Ia diberitahu bahwa Sukarno masuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat karena kondisinya yang semakin gawat dan harus dirawat intensif. Masagung menegaskan bahwa saat-saat seperti ini harus cepat dimanfaatkan oleh Hatta untuk menemui Sukarno. Sebagaimana diketahui ketika itu Sukarno menjadi tahanan rumah yang tidak boleh dihubungi oleh sembarang orang, tidak terkecuali oleh Hatta. Setelah mendapat kabar itu, Hatta segera meminta Wangsa Widjaja untuk menghubungi pihak-pihak tertentu agar diberi izin menjenguk Sukarno. Tidak lama, sekretarisnya itu menghubungi Sekretaris Militer, Letjen Tjokropranolo dan menjelaskan keinginan Hatta tersebut. Tjokropranolo lantas melanjutkan maksud Hatta itu kepada Presiden Soeharto. Beberapa saat kemudian, melalui sambungan telepon, Tjokropranolo mengabari Wangsa Widjaja jika Soeharto telah memberi izin. Mereka pun dijadwalkan akan menjenguk Sukarno pada pukul lima sore. Setelah semua persiapan selesai, rombongan yang terdiri dari Hatta, Wangsa Widjaja, Tjokropranolo, putri pertama Hatta, Meutia, dan putri kedua Hatta, Gemala segera bertolak ke rumah sakit. “Kita yang ada di rumah saja berangkat. Adek saya yang kecil (Halida Hatta) sedang sakit jadi tidak bisa ikut. Ibu (Rachmi Hatta) juga tidak bisa ikut,” kata Meutia. Setiba di sana, rombongan tersebut langsung menuju ruangan tempat Sukarno dirawat. Hanya Tjokropranolo saja yang menunggu di luar ruangan. Di dalam ruangan kecil itu, Hatta menemukan sosok yang ia kenal terbaring tak sadarkan diri. Terlihat jelas raut sedih di wajahnya. Perawat di ruangan menjelaskan jika sudah beberapa hari Sukarno dalam kondisi demikian. Setelah menunggu kurang lebih 10 menit, Wangsa Widjaja mengajak Hatta pulang karena kawannya itu tidak menunjukkan tanda-tanda akan siuman. Tanpa memberikan jawaban, Hatta pun perlahan melangkah ke arah pintu. Geraknya yang berat menunjukkan kekecewaannya. Sesekali ia menoleh ke belakang berharap kawannya sadar sebelum ia pergi dari ruangan itu. Saat akan membuka pintu, Hatta masih mengarahkan pandangannya kepada Sukarno. Beruntung ia masih melihat ke arah Sukarno karena sesaat setelah itu Sukarno membuka matanya. Bergegas ia menghampiri kawannya itu. “Ah No (panggilan akrab Hatta kepada Sukarno) bagaimana keadaanmu?” tanya Hatta. Sukarno tidak menjawab. Kondisinya membuat ia sulit untuk berbicara. Namun menurut Meutia samar-samar terdengar Sukarno mengucapkan “ hoe gaat het (apa kabarmu)?” sambil mencoba meraih tangan Hatta. Baik Meutia, maupun Wangsa Widjaja dalam bukunya, mengatakan bahwa ada kata-kata lain yang diucapkan Sukarno. Tetapi keduanya tidak mengerti. Hanya Hatta yang paham dengan maksud Sukarno itu. Hatta kemudian menjawab: “Ya, sudahlah. Kuatkan hatimu, tawakal saja pada Allah. Saya doakan agar lekas sembuh.” Meutia menggambarkan suasana di ruangan saat itu yang baginya sangat mengharukan. Hatta berdiri persis di samping tempat tidur Sukarno. Meutia dan Gemala berada sedikit di belakang Hatta, dekat kaki Sukarno. Sementara Wangsa Widjaja berdiri di sisi lain tempat tidur. “Saya melihat ini sebagai pertemuan yang amat mengharukan antara dua orang sahabat yang cukup lama dipisahkan oleh suatu tirai yang tidak tampak, walaupun tidak berarti beliau berdua telah memutuskan hubungan persahabatan itu,” ungkap Wijdaja. Sukarno kemudian berusaha menggapai-gapai sesuatu. Semua orang di sana tidak mengerti apa maksud Sukarno. Wangsa Widjaja akhirnya menyadari bahwa ia sedang mencari kaca matanya. Suster lalu memakaikan kaca mata tersebut untuk Sukarno. Dalam posisi tertidur, terlihat tetesan air mata jatuh dari mata Sukarno. Hatta pun mencoba menghibur dengan memegang tangan dan memijat pelan kakinya. Tidak ada pembicaraan apapun di antara keduanya. Hanya pandangan mereka yang berbicara. “Sebetulnya itu hati yang berbicara. Tidak ada lagi kata-kata, tidak tersedu-sedu. Mungkin keduanya saling memaafkan karena memang itu adalah tahap terakhir dari kehidupan Sukarno,” ucap Meutia. “Kami semua tidak bisa berkata apa-apa. Kami hanya bisa mendoakan. Namun saya bersyukur bisa berada di sana. Menyaksikan kedua proklamator berpisah untuk terakhir kalinya.” Tidak diketahui dengan pasti berapa lama Hatta dan rombongannya menemani Sukarno. Setelah itu, Hatta pamit pulang, keluar dari ruangan perawatan tersebut. Mereka pun kemudian diantar pulang oleh Tjokorpranolo kembali ke kediamannya. Hatta dan siapapun yang hari itu menjenguk Sukarno tidak mengetahui bahwa itulah pertemuan terakhir mereka dengan sang proklamator. Dua hari kemudian, tepatnya Minggu 21 Juni 1970, Sukarno mengembuskan napas terakhirnya. Saat mendapat kabar duka itu, Hatta hanya bisa termenung. Nampak sekali dia merasa kehilangan.*

  • Tirto Adhi Soerjo di Sudut Ingatan

    BUTUH satu helaan nafas nan berat dari mulut Okky Tirto saat mengisahkan masa-masa akhir buyutnya, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo nan tragis. Cicit dari garis istri pertama, Siti Suhaerah itu mengibaratkan Tirto bak Tan Malaka dan Sukarno, di mana kedua tokoh itu juga mengalami masa-masa pengasingan yang memilukan. Mengutip biografi Tirto yang dijahit Pramoedya Ananta Toer dari beragam sumber bertajuk Sang Pemula , Tirto setidaknya dua kali diasingkan ke Teluk Betung, Lampung (1909) dan Pulau Bacan (1912). Tirto dibuang pemerintah kolonial tak lain lantaran beragam tuduhan, hasil dari tajamnya pena Tirto yang menguak borok pejabat-pejabat kolonial lewat suratkabar miliknya, Medan Prijaji dan Soeloeh Keadilan .  “Dia pulang ke Jawa dalam keadaan banyak tuduhan akibat dikriminalisasi. Nah , alhasil…dia enggak punya hak jawab dan patah arang saat di pengasingan,” terang Okky kepada Historia . Lanjut cicit yang punya nama asli RM Joko Prawoto Mulyadi itu, sekembalinya ke Batavia Tirto tak lagi bisa bersinar seperti sediakala. Ia bak dijadikan tahanan rumah di salah satu kamar Hotel Medan Prijaji di Jalan Kramat Raya, jelang mengembuskan nafas terakhirnya. “Dia disediakan satu kamar di hotel itu. Kalau di bukunya Pram (Sang Pemula), kemudian hotel itu dirampas anak buahnya sendiri, Raden Goenawan. Pengkhianatan. Sendiri dia (menghadapinya, red. ). Tragis ya. Tirto ini kan (nasib akhirnya) mirip Tan Malaka. Cuma bedanya Tirto menikah,” katanya menuturkan. Hotel Medan Prijaji itu kini diyakini sudah berubah menjadi kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Jalan Kramat Raya. Makanya ketika pernah muncul usulan mengabadikan Tirto menjadi nama jalan di Bandung, Okky kurang sepakat. Usulan itu sempat mencuat pada 2012 kala Ketua Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia cabang Jawa Barat (MSI Jabar) Nina Lubis menyarankan Pemerintah Provinsi untuk mengabulkan Tirto dijadikan nama jalan di Bandung. Menurut Okky, keluarga besar Tirto akan sangat merasa terhormat jika nama Tirto dijadikan nama jalan di Jakarta, ya tepatnya di jalan bekas Hotel Prijaji itu beralamat. Walau memang kiprah Tirto yang paling mencolok adalah ketika ia masih aktif membela “yang terprentah” terhadap “yang memerentah” di Jawa Barat (Cianjur, Bogor dan Bandung). “Karena seseorang dijadikan pahlawan atau bukan itu, bukan ketika dia lahir. Tapi ketika dia menutup mata. Karena sepanjang hidupnya dia konsisten. Kalau dulu juga ada Bung Karno di-Wisma Yaso-kan, Tirto mengalami itu di hotel miliknya sendiri yang kemudian dirampas itu,” tambah Okky. Hingga pada akhir pekan pertama bulan ke-12 pada 1918, Tirto mengembuskan nafas terakhir. Ia kembali ke Sang Khalik dalam kesendirian dalam usia muda, 38 tahun. Pram menggambarkan momen itu dengan sendu saat memulai pengisahan riwayat Tirto dalam Sang Pemula. “Akhir seorang pemula pada hari suram tanggal 7 Desember 1918 sebuah iring-iringan kecil, sangat kecil mengantarkan jenazahnya ke peristirahatannya yang terakhir di Manggadua, Jakarta. Tak ada pidato-pidato sambutan. Tak ada yang memberikan jasa-jasa dan amalnya dalam hidupnya yang tak begitu panjang. Kemudian orang meninggalkannya seperti terlepas dari beban yang tidak diharapkan,” tulis Pram. Namanya lantas bagai lenyap tak berbekas dalam ombak sejarah yang silih-berganti memunculkan tokoh-tokoh pergerakan nasional lainnya. Namanya baru muncul lagi setelah ditemukan Pram kala meneliti sejarah zaman permulaan nasionalisme Indonesia pada 1956. Bapak Pers & Pahlawan Nasional Perlahan tapi pasti nama Tirto pun mulai dapat perhatian lagi di dunia pers nasional. Sebagaimana Pram menyebut Tirto sebagai “Bapak Pers Nasional”, pemerintah lewat Dewan Pers turut memberi pengakuan dengan menyematkan gelar “Perintis Pers Indonesia” yang diberikan Menteri Penerangan cum Ketua Dewan Pers Mashuri Saleh pada 31 Maret 1973 lewat Surat Nomor 69/XI/1973. Di tahun yang sama, tepatnya 30 Desember 1973 makamnya di Manggadua dipindah ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Blender, Tanah Sareal, Kota Bogor. Berselang kurun 33 tahun, nama Tirto diakui lebih luas dengan dianugerahi status “pahlawan nasional” oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tepatnya 10 November 2006 bersamaan dengan Hari Pahlawan. Sebelumnya, usulan Tirto dijadikan pahlawan nasional, sebagaimana diungkapkan Nina Lubis dalam kata pengantar buku kecil usulannya, R.M. Tirto Adhi Soerjo (1880-1918): Pelopor Pers Nasional , pengajuan nama Tirto untuk dijadikan pahlawan dari provinsi Jawa Barat datang dari MSI Jabar bersama Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Penelitian Universitas Padjadjaran (PPKK Lemlit Unpad), serta  Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jabar. Buku yang meringkas Sang Pemula karya Pram. Dituturkan Okky, kala itu Nina Lubis mengontak ayahnya untuk membicarakan pengusulan itu. Pengusulannya tak lepas dari jejak Tirto yang banyak berpusar di Cianjur, Bandung dan Bogor meski Tirto kelahiran Blora dan berasal dari keluarga priyayi Jawa. “Iya, zaman SBY itu (gelar pahlawan nasional). Sebelumnya Nina Lubis menghubungi ayah saya, RM Dicky Permadi. Kemudian mereka bikin tim untuk mengurus pengajuannya ke Kementerian Sosial dan pada 2006 itu bulan November dianugerahi Pak SBY,” tandas Okky.*

  • Kekerasan Seks Serdadu Belanda

    TIGA tahun lalu, media-media di Belanda memberitakan kemenangan gugatan Temiri atas pemerintah Kerajaan Belanda. Di pengadilan tinggi Den Haag, nenek berusia 86 tahun itu dapat membuktikan bahwa dirinya adalah salah satu korban pemerkosaan sejumlah prajurit KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Belanda) di Peniwen, Malang pada 19 Februari 1949. Seperti dilansir Dutchnews , atas kemenangan tersebut, Temiri berhak mendapatkan ganti rugi sebesar € 7.500 (tahun 2016 sama dengan Rp114 juta), sesuai putusan yang dibacakan oleh Pengadilan Den Haag pada 27 Januari 2016. Namun, uang ganti rugi itu tidak akan bisa menebus penderitaan batin Temiri sepanjang hidupnya. Sejatinya aksi brutal yang dilakukan serdadu Belanda tidak hanya terjadi di Peniwen. Beberapa kesaksian sempat terekam dalam pengalaman beberapa tentara Belanda dan Indonesia. Salah satunya diungkapkan oleh J.C. Princen, serdadu Belanda yang membelot ke TNI. Sekira pertengahan tahun 1947, Princen bertugas di Bogor. Laiknya anak muda, saat bertugas di kota hujan itu, dia terlibat hubungan asmara dengan remaja perempuan bernama Asmuna, yang tinggal persis di belakang pasar dekat Kebun Raya Bogor. Suatu hari Asmuna datang mencari Princen ke markasnya yang terletak persis depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak). Alih-alih diantarkan menemui Princen, perempuan itu malah ditembak mati karena melawan saat dilecehkan oleh para petugas jaga. “Ketika terdengar tembakan, aku langsung berlari ke depan sambil membawa sten. Betapa terkejut dan marahnya aku ketika melihat Asmuna terbaring di ruangan jaga dengan tubuh setengah telanjang dan dipenuhi lubang peluru,” kenang Princen. Rupanya saat tiba di pos penjagaan, Asmuna dipaksa untuk melayani nafsu bejat tiga serdadu Belanda. Tentu saja gadis Bogor itu menolak dan berusaha lari. Karena panik, salah seorang serdadu lalu menembak mati Asmuna. Kasus Asmuna ini tidak pernah ditindaklanjuti oleh pihak militer Belanda. Alih-alih mendapat keadilan, Asmuna yang sudah meninggal justru dituduh sebagai mata-mata Republik yang akan menyelinap ke markas tentara Belanda dan terpaksa ditembak mati. “Aku merasa muak dengan fitnah keji itu dan sejak itulah kebencianku terhadap perilaku negaraku yang tidak adil terhadap orang-orang Indonesia semakin menguat,” ujar Princen. Aksi kekerasan seks juga pernah disaksikan secara langsung oleh Mayor Soegih Arto, Komandan Batalyon 22 Djaja Pangrerot Divisi Siliwangi. Tahun 1948, pada suatu malam menjelang subuh, dari balik semak-semak di sebuah bukit dekat Gunung Halu (sebuah kecamatan yang sekarang masuk wilayah Bandung Barat), dia menyaksikan para prajurit  KST mengumpulkan sejumlah perempuan lalu memperkosanya secara terbuka dan beramai-ramai. “Rasanya masih terdengar jelas jeritan dari para perempuan yang diperkosa itu,” ujar Soegih Arto dalam biografinya, Sanul Daca. Soegih Arto sendiri mengaku tidak bisa berbuat apa-apa. Selain jumlah pasukannya lebih sedikit dan kalah persenjataan, dia pun lebih mengkhawatirkan keselamatan ratusan orang kampung lainnya yang tengah ditawan pasukan Baret Hijau tersebut. Menurutnya posisi orang-orang kampung lainnya, termasuk anak-anak dan orang tua, persis ada di tengah kumpulan para prajurit KST. Aksi pemerkosaan yang dilakukan tentara Belanda juga dilaporkan oleh seorang komandan gerilyawan di Sumatera Barat bernama Taswar Akip. Dalam buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan Jilid III terbitan LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia), Taswar menyebut bahwa seorang wakil dari penduduk Muara Labuh, Solok Selatan meminta pasukannya untuk melindungi desanya dari keganasan serdadu Belanda. “Mereka sering datang untuk membunuh dan memperkosa para perempuan di desa kami,” ungkap orang Muara Labuh itu. Dalam Insiden Sulawesi Selatan pada 1947, selain pembunuhan massal, serdadu Belanda juga memerkosa perempuan-perempuan yang terlibat dalam aksi bawah tanah melawan militer Belanda. Salah satu korban adalah Sitti Hasanah Nu’mang. Selain mendapatkan penyiksaan, penghinaan dan pelecehan, Sitti juga diperkosa oleh seorang perwira tinggi militer Belanda bernama Mayor De Bruin. “Dalam kesendirian, saya meratapi nasib. Ayah ditembak, saya tercemar dan tidak berdaya,” ujar Sitti seperti dikisahkannya dalam Seribu Wajah Wanita Pejuang dalam Kancah Revolusi 45  suntingan sejarawan Irna H.N. Hadi Soewito. Di Peniwen sendiri, Temiri bukanlah satu-satunya korban pemerkosaan. Menurut A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan: Perang Gerilya Semesta II Jilid X , ada tiga perempuan aktivis Gereja Protestan di Peniwen yang juga mengalami nasib yang sama. Bahkan mereka lebih malang lagi, setelah diperkosa kemudian dibunuh secara kejam oleh prajurit KST.*

  • Perburuan di Layar Perak

    DUA film yang diadaptasi dari novel Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia (2019) dan Perburuan (2019) telah rilis pada 15 Agustus lalu. Berkat novel Bumi Manusia yang memang sudah terkenal sebelumnya, film adaptasinya pun menjadi perbincangan luas dan menuai pro kontra. Sedangkan film Perburuan garapan Richard Oh, berangkat dari novel  Perburuan (1950) tidak setenar tetralogi Pulau Buru. Berbeda dengan novelnya, film Perburan tidak dimulai 16 Agustus 1945 ketika Hardo untuk pertama kalinya muncul di Desa Kaliwangan. Richard Oh memulai film ini dengan memperkenalkan suasana markas Daidan pada hari-hari sebelum pecah pemberontakan tentara Pembela Tanah Air (Peta). Sekitar enam bulan sebelum Proklamasi. Tak lama, Richard kemudian menyusun adegan pemberontakan para tentara Peta. Hardo (Adipati Dolken), Dipo (Ernest Samudra) dan para shodan telah bersiap, namun shodanco Karmin (Khiva Ishak) tak kelihatan batang hidungnya. Karmin berkhianat. Rencana pemberontakan bocor, para pembangkang Jepang itu dicegat lalu diserang di jalanan tengah hutan. Dalam adu senjata singkat itu, beberapa shodan gugur. Sedangkan Hardo, Dipo dan mereka yang tersisa berhasil menyelamatkan diri ke dalam hutan. Sejak itu perburuan Hardo dimulai. Dialog yang Hilang Bagi mereka yang sudah membaca novel Perburuan, satu hal yang ada di benak ketika menonton film adaptasinya adalah "dialognya dipotong-potong!" Novel Perburuan ditulis Pram dalam empat bab. Tiga bab didominasi oleh dialog Hardo dengan beberapa tokoh. Bagian pertama merupakan dialog Hardo dengan Lurah Kaliwangan, calon mertuanya sendiri. Di mana bagian itu sedikit banyak menceritakan mengenai latar belakang Hardo sebelum menjadi buruan Jepang. Dalam film, dialog yang berlatar jalan desa di tengah kebun jagung itu hanya sepotong. Hanya menampilkan usaha Lurah Kaliwangan merayu Hardo untuk pulang. Padahal, dialog itu penting untuk mengenalkan tokoh-tokoh lain di sekitar Hardo dan hubungan mereka dengan Hardo. Bagian ini, oleh Richard nampaknya ditampilkan dalam adegan kilas balik. Namun, potongan-potongan kilas balik itu didominasi dengan cerita Hardo dan Ningsih (Ayushita), tunangannya. Beberapa penegenalan tokoh cukup penting menjadi terlewat di sini. Dialog antara Hardo dan ayahnya yang pada bab kedua novel juga banyak terpotong. Dari bagian ini, alam pikiran Hardo dapat terbaca melalui percakapan dengan ayahnya di dalam gubuk itu. Sedangkan dalam film, percakapan mereka hanya untuk menjelaskan peristiwa penggerebekan Hardo dan seputar kematian ibu Hardo. Sedangkan bab ketiga di mana terjadi dialog antara Hardo dan Dipo, yang dapat menjadi pengantar ke puncak cerita, Richard membuatnya seperti dialog nasionalisme yang kaku. Semangat anti-Jepang seperti yang diungkapkan Pram sendiri juga tak nampak. Meski demikian, beberapa adegan terutama dalam teknik pengambilan gambar cukup menarik. Adegan monolog Hardo di dalam gua nampak dramatis karena menampilkan wajah Hardo yang hanya diterangi korek api. Hal itu juga bisa ditemukan dalam dialog di dalam gubuk yang hanya diterangi cahaya bulan dari celah-celah gubuk. Meski terpotong, adegan dialog terasa lumayan intim. Penggambaran jalan desa yang sunyi di tengah kebun jagung begitu realistis. Adegan yang terjadi di jalan itu, tidak memaksa Richard harus membuat jalan itu terang benderang agar para pemain terlihat jelas. Suara Adipati Dolken sebagai Hardo kere juga membantu membangun suasana seperti yang digambarkan dalam novel. Namun, hal lain yang cukup mengganggu adalah latar musiknya. Sudah terpotong cukup banyak, dialog-dialog dalam film Perburuan terganggu oleh latar musik. Suasana sunyi yang ditulis Pram dalam novel ketika Hardo berada di tengah kebun jagung menjadi pecah oleh alunan musik bernuansa patriotik. Padahal sebelum adegan itu, Pram menulis, “Bulan waktu itu belum timbul dan bintang-bintang berkedipan tenang di atas awan-gemawan berarak. Tenang saja dusun Kaliwangan … suatu dusun di tepi kota Blora.” Kesunyian dan ketenangan. Itulah yang menyelimuti novel ini dan yang menemani perjalanan Hardo sebagai buruan. Bukan musik patriotik yang disisip-sisipkan. Sedangkan beberapa adegan yang seharusnya menampilkan kejadian kacau malah terasa sebaliknya, seperti pada akhir film ini. Ketika kabar kekalahan Jepang mulai terdengar, suasana mulai riuh, oleh desah kerata, oleh hiruk pikuk stasiun, oleh ringkik kuda dokar. “Terdengar sorak lagi. Hore … Peta dan Heiho dibubarkan!” tulis Pram. Richard membuat adegan itu begitu lambat dan rapi. Tidak terasa atmosfir yang menandakan sebuah peristiwa kemerdekaan. Hal yang sama terjadi pada kematian Ningsih. Yang seharusnya kacau, sekali lagi, dibuat lambat dan rapi. Bukan Sejarah Hitam Putih Angga Okta Rahman, cucu Pram, pertama kali membaca novel Perburuan pada 2002, ketika menginjak kelas tiga sekolah dasar. Baginya, novel Perburuan hendak menceritakan tentang narasi perjuangan kemerdekaan yang tidak selalu hitam putih. Tidak selalu soal penjajah dan terjajah, tetapi juga persoalan di antara sesama anak bangsa. “Ada suatu masa di mana banyak orang berjuang untuk kemerdekaan, untuk keadilan terhadap bangsanya, tapi di satu sisi ada orang-orang yang ingkar hal itu. Seperti Karmin yang ingkar karena alasan dirinya sendiri. Atau seperti lurah Kaliwangan yang ingkar karena alasannya pada keluarga. Tapi di satu sisi kita bisa melihat seperti Hardo, di mana dia tetap berjuang terhadap kemerdekaan walaupun kehidupan keluarganya hancur. Walaupun kehidupan pribadinya juga hancur, tapi ia tetep berjuang, demi kemerdekaan, demi keadilan terhadap bangsanya, demi kepentingan terhadap bangsanya,” terang Angga kepada Historia. Narasi yang ditangkap Angga itu memang muncul dalam film Perburuaan . Namun, Angga menyayangkan bahwa hal itu kurang ditonjolkan. “Apakah hal itu muncul dan mendapat ruang yang cukup dalam film, muncul ya, menurut saya muncul. Cuma memang tidak mendapatkan ruang yang lebih. Saya berharap tentang hal yang saya sampaikan tadi itu akan menjadi lebih disorot,” kata Angga. Angga menambahkan bahwa hal itu mungkin memang terjadi karena banyak dialog yang dipotong, yang dampaknya mengurangi pesan seperti pada novel. “Padahal kalau misalkan tidak sebanyak ini dipotongnya, mungkin akan lebih mempertegas ke pendapat saya itu. Tidak mendapat ruang yang cukup mungkin karena dialognya terlalu banyak dipotong,” jelas Angga. Dalam film ini, Angga menyukai color grading dan beberapa spot editing yang menurutnya sangat bagus. Selain itu, “yang paling bikin menarik menurut saya dimasukannya tokoh Supriyadi. Itu kan nggak ada di dalam Perburuan , tiba-tiba dimasukan di situ dan ini menurut saya hal yang bagus,” ujarnya. Masuknya Supriyadi dalam film nampaknya berangkat dari adanya pemberontakan Peta di Blitar pada 14-15 Februari 1945 yang menginspirasi Perburuan . A Teeuw dalam tulisannya Revolusi Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Ananta Toer membenarkan hal itu. “Realistisnya latar cerita ini tidak hanya jelas dari tempatnya, melainkan juga dari waktunya. Peristiwa-peristiwa dalam cerita berlangsung pada tanggal 16/17 Agustus 1945; ketiga protagonis laki-lakinya dahulu adalah shodancho , bintara dalam Peta, Pembela Tanah Air, tentara pembantu yang didirikan Jepang. Mereka nampaknya terlibat pemberontakan Peta terhadap Jepang. Benarlah anggapan Aveling bahwa ini merupakan rujukan pada pemberontakan Peta Daidan Blitar, pada malam 15 Februari 1945,” tulisnya. Terakhir, Angga menyoroti make up pemain yang menurutnya kurang maksimal. “Buat saya yang paling mengganggu itu brewok dan dekil-dekil tokohnya sih. Intinya sih menurutku kurang maksimal aja,” katanya. Meskipun demikian, menurut Angga, interpretasi terhadap novel Pram sangat bebas. “Karena setiap orang kan punya pendapat yang berbeda tentang bukunya sendiri, tentang apa yang ingin disampaikan dan filmnya,” jelas Angga.*

  • Melahirkan Max Havelaar di Korea

    KEBAHAGIAN terpancar di wajah Ubaidilah Muchtar, Kepala Museum Multatuli Banten. Ia diundang oleh IKCS (Indonesia Korean Cultural Studies) untuk menghadiri kegiatan peluncuran novel Max Havelaar karya Eduard Douwes Dekker (Multatuli) yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Korea pada Sabtu, 10 Agustus 2019 di Korean Cultural Center, Sudirman, Jakarta Pusat. Acara yang dihadiri oleh mayoritas orang Korea ini memberi kesan tersendiri bagi Ubaidilah. Sebagai seorang yang fokus dalam pelestarian karya-karya Multatuli di Indonesia, Ubaidilah merasa senang dengan adanya perhatian masyarakat Korea terhadap sastra dari Hindia ini. “Penerbitan buku Max Havelaar bagi saya sangat menggembirakan karena sudah jarang sekali para pembaca yang mau kembali pada bacaan sastra kelas dunia,” ucap Ubaidilah saat menanggapi peluncuran novel Max Havelaar berbahasa Korea tersebut. Max Havelaar merupakan karya terkemuka Multatuli yang pertama kali diluncurkan pada 15 Mei 1860 oleh penerbit De Ruyter, Amsterdam. Novel yang pengerjaannya hanya membutuhkan waktu satu bulan, September-Oktober 1859, itu ditulis berdasarkan salinan surat-surat ketika Multatuli menjabat asisten residen di Lebak, Banten. Multatuli hanya menetap kurang lebih selama tiga bulan di Lebak. Datang pada Januari 1856 dan meninggalkan kota kecil itu pada April tahun yang sama dengan membawa luka dan kecewa. Ia meradang, sekuat tenaga berusaha membongkar praktik busuk tanam paksa yang dijalankan pemerintah kolonial. Multatuli pun menggugat ketidakadilan yang ditemuinya. Multatuli menulis Max Havelaar di penginapan Au Prince Belge di Bergstraat No. 80, Brusel, Belgia. Dalam secarik surat bertitimangsa 22 September 1859 yang ditujukan kepada istrinya, Everdine Huberte van Wijnbergen, Multatuli menyebutkan bahwa dia sedang menulis sebuah naskah buku. Pada 13 Oktober 1859, buku tersebut selesai ditulis. Beberapa waktu sebelum karyanya diterbitkan, Multatuli mengirim secarik surat kepada Raja Willem III, penguasa negeri Belanda. “Apakah yang mulia tahu ada 30 juta lebih rakyat di Hindia yang disiksa atas nama yang mulia?” katanya dalam surat tersebut. Tetapi raja bergeming. Novel Max Havelaar diakui sebagai salah satu karya sastra dunia. Keberadaan novel karya Multatuli ini bahkan mampu mengusik perhatian rakyat Belanda tentang tindakan-tindakan kriminal yang dilakukan pemerintahan mereka di negeri jajahannya. Dalam buku Die Welt Bibliothek , penyair, novelis, dan pelukis berdarah Jerman-Swiss yang juga peraih Nobel Sastra, Hermann Hesse, menjadikan Max Havelaar salah satu buku bacaan wajib yang sangat dikaguminya. Terjemahan dari bahasa aslinya, Belanda ke dalam bahasa Indonesia dilakukan pada 1972 oleh H.B. Jassin. Berkat itu, setahun kemudian Jassin mendapat penghargaan dari Yayasan Prins Bernhard. Ia juga berkesampatan tinggal selama satu tahun di Belanda. Sementara bahasa Korea sendiri menjadi terjemahan ke-47 bagi novel Max Havelaar di seluruh dunia. Menurut sejarawan Korea Bae Dong Sun, orang Korea tidak terlalu mengenal karya sastra dari Belanda, termasuk yang berlatar belakang kolonialisme di Hindia. Mereka lebih tertarik membaca karya-karya dari sastrawan Inggris atau Amerika. “Meski tidak terkenal, buku ini begitu bagus. Itulah sebabnya kami menerjemahkan novel Max Havelaar ke dalam bahasa Korea,” kata Bae Dong Sun kepada Historia. Penerjemahan novel Max Havelaar ke dalam bahasa Korea memakan waktu yang tidak sebentar. Para penerjemah, Bae Dong Sun, Sagong Gyeong, dan Mr. Kang, melakukan persiapan selama 2 tahun, terhitung sejak Desember 2016. Ubaidilah menyebut jika antusias para peneliti Korea terhadap Multatuli ini cukup besar. “Sejak ide pendirian Museum Multatuli di Banten, teman-teman Korea ini sudah nongkrong di museum. Sebelum pembukaan juga mereka sudah bertanya banyak hal tentang Multatuli,” kata Ubaidilah kepada Historia . Akhirnya, Ubaidilah menyarankan penerbitan novel Max Havelaar berbahasa Korea, karena memang saat itu belum ada terjemahan dalam bahasa tersebut. Sagong Gyeong setuju dengan usulan itu. Ia pun mulai membentuk tim yang terdiri dari sejarawan dan sastrawan. Demi mendapat terjemahan yang sesuai dengan karakter Multatuli, Bae Dong Sun dan tim mengunjungi tempat-tempat yang dahulu pernah ditempati sang penulis ketika berada di Indonesia. Mereka mencoba merekonstruksi pribadi Multatuli melalui peninggalannya. Salah satu tempat yang dikunjungi adalah bekas kediaman Multatuli dan Tugu Kunskring Paleis. Untuk proses terjemahannya, para peneliti Korea menggunakan novel berbahasa Indonesia dan Belanda. Mereka memilih keduanya karena dirasa lebih dekat dengan penulis aslinya, serta isinya pun lebih mudah dipahami. “Agar dapat mengetahui Indonesia sekarang, kita perlu mengetahui Indonesia di masa lalu. Bukan dari orang Indonesia semata, melainkan perlu pandangan orang Belanda. Buku ini menjadi salah satu sumber penting untuk mengungkapnya,” pungkas Bae Dong Sun.*

  • Lima Hal Menarik Seputar Malam Perumusan Naskah Proklamasi

    SUASANA 17 Agustus 1945 sangat terasa di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No.1, Menteng, Jakarta Pusat. Bangunan yang dahulu dipakai oleh Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo untuk menulis konsep ( klad ) naskah Proklamasi ini tetap mempertahankan kondisi asli sejak 74 tahun silam. “Berdasarkan foto-foto, kemudian penelitian, serta buku-buku yang dibuat oleh para tokoh yang datang pada malam perumusan, maka dibuatlah replika sesuai dengan aslinya,” kata Wahyuni (42), educator Museum Perumusan Naskah Proklamasi, kepada Historia . Terjadi beberapa peristiwa unik yang mungkin tidak banyak diketahui masyarakat selama detik-detik perumusan naskah Proklamasi di tempat yang pernah menjadi gedung Kedutaan Besar Inggris ini. Mesin Tik Militer Jerman Klad naskah Proklamasi yang telah dibacakan dan disetujui oleh semua orang yang hadir di rumah Laksamana Maeda akhirnya diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik. Namun, masalah muncul: di rumah itu hanya ada mesin tik berhuruf kanji. Sayuti kesulitan karena tidak ada huruf latin di sana. Menurut penuturan Satzuki Mishima, ajudan Laksamana Maeda, yang diwawancarai tim Museum Perumusan Naskah Proklamasi, untuk mengantisipasi hal tersebut dia kemudian pergi dengan mengendarai mobil Jeep menuju kantor perwakilan militer Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) di Indonesia (sekarang Gedung Armada Barat di bilangan Pasar Senin) untuk meminjam mesin tik berhuruf latin. Dengan mesin tik Korvetten-kapitan Dr. Hermann Kandeler itu, Sayuti akhirnya dapat menjalankan tugasnya menyalin rancangan teks Proklamasi. Ditandatangani di Atas Piano Setelah selesai merumuskan klad naskah Proklamasi, Sukarno, Hatta, dan Subarjo, pergi ke ruang tengah untuk menemui semua orang yang sedari tadi menunggu mereka. Tepat di samping piano yang letaknya dekat dengan tangga dan dapur (kini menjadi ruang pengetikan naskah), ketiganya berdiri membacakan hasil buah pikir mereka. Meski dibumbui sejumlah perdebatan, klad naskah Proklamasi itu akhirnya disetujui. Sebagai bukti pengesahannya, Sukarno dan Hatta diminta untuk membubuhkan tanda tangan mereka. Tanpa beranjak dari tempatnya dan dalam posisi berdiri, Sukarno dan Hatta memanfaatkan piano di samping mereka sebagai alas. Walau hanya replika, letak piano tersebut masih dapat dilihat di Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Menurut penuturan Wahyuni posisi piano sekarang ditentukan berdasarkan kesaksian orang-orang yang hadir pada saat proses perumusan terjadi, seperti B.M. Diah dan asisten rumah Laksamana Maeda. Naskah Asli yang Terbuang Dalam biografinya, Butir-Butir Padi B.M. Diah: Tokoh Sejarah yang Menghayati Zaman karya Dasman Djamaludin, B.M. Diah pernah menceritakan pengalamannya hadir saat penyusunan naskah Proklamasi pada 16 Agustus 1945. Saat Sayuti Melik diminta untuk mengetik klad Proklamasi tulisan tangan Sukarno, Diah ikut menemaninya. Setelah selesai, naskah tulisan tangan Sukarno itu diremas dan dibuang ke tempat sampah oleh Sayuti. Kebetulan B.M. Diah melihatnya, dia lalu mengambil dan menyimpan teks asli tersebut. Namun, sumber lain menyebut kalau naskah itu tidak dibuang Sayuti, melainkan hanya disimpan di meja saja. Kemudian saat B.M. Diah akan kembali ke kediamannya, dia mengambil naskah itu. “Saya tidak menyangka bahwa kertas tersebut menjadi dokumen penting di kemudian hari,” kata B.M. Diah. B.M. Diah sendiri saat itu diberi tugas oleh Hatta untuk segera memperbanyak naskah Proklamasi dan menerbitkannya di berbagai surat kabar agar berita kemerdekaan diketahui oleh semua orang. Dalam buku Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik , Nugroho Notosusanto menulis jika teks Proklamasi yang ada pada B.M. Diah diterbitkan pada Oktober 1945 di surat kabar Merdeka . Debat Pengesahan Naskah Setelah selesai membacakan konsep ( klad ) naskah Proklamasi, Sukarno menyarankan semua orang yang hadir bersama-sama membubuhkan tanda tangan di kertas itu. Sukarno ingin semuanya berperan menjadi wakil bagi bangsa Indonesia untuk proses kemerdekaan tersebut. Namun saran itu mendapat penentangan dari golongan pemuda. Mereka tidak rela jika orang-orang yang telah menjadi "budak Jepang" ikut mengesahkan naskah Proklamasi. Yang dimaksud "budak Jepang" adalah tokoh-tokoh dari golongan tua yang mereka nilai tidak memiliki andil dalam pergerakan nasional. “Mereka dinilai sebagai oprotunis-oportunis belaka dan memperoleh ‘kursi’ karena pengabdiannya kepada pemerintah balatentara Dai Nippon,” tulis Nugroho. Akibat pernyataan tersebut, mereka yang tertuduh merasa marah. Perdebatan antara golongan tua dan golongan muda pun tak terhindarkan. Di dalam situasi yang panas tersebut, Sukarni, salah seorang tokoh golongan muda, mengusulkan agar penandatangan naskah Proklamasi hanya Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Sukarno dan Hatta telah dikenal luas sebagai tokoh penting dalam perjuangan kemerdekaan sehingga pilihan tersebut dianggap paling baik oleh semua orang yang hadir. Akhirnya, usul Sukarni itu diterima oleh semua orang. Beberapa Kata yang Berubah Setelah diminta oleh Sukarno, Sayuti Melik, ditemani B.M. Diah segera mengetik naskah Proklamasi di ruangan bawah tangga dekat dapur. Ia mengetik naskah Proklamasi dengan perubahan: “tempoh” menjadi “tempo”; kalimat “wakil-wakil bangsa Indonesia” diganti “Atas nama Bangsa Indonesia” dengan menambahkan “Soekarno-Hatta”; terakhir dia juga mengganti “Djakarta, 17-8-05” menjadi “Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05”. Angka 05 adalah singkatan dari 2605 tahun showa Jepang, yang sama dengan tahun 1945. “Saya berani mengubah ejaan itu adalah karena saya dulu pernah sekolah guru, jadi kalau soal ejaan bahasa Indonesia saya merasa lebih mengetahui daripada Bung Karno,” kata Sayuti Melik dalam Wawancara dengan Sayuti Melik karya Arief Priyadi.*

  • Dari Bugel Menjadi Hoegeng

    Kapolri Hoegeng Iman Santoso dikenal sebagai polisi yang jujur, bersih, dan sederhana. Dia menjadi polisi sejak zaman pendudukan Jepang. Kariernya terus naik hingga menjadi Kapolri berkat pendidikannya. Pada 1952, Hoegeng bersama 15 orang lulus sebagai angkatan pertama PTIK (Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian). Setelah diwisuda, mereka diundang Presiden Sukarno ke Istana Negara Jakarta. Satu persatu ditanya: nama, asal, sudah punya istri atau belum, dan lain-lain. Tibalah giliran Hoegeng memperkenalkan diri. “Hoegeng, Pak!” Sukarno menatapnya. Namanya aneh. Yang dia tahu nama “Sugeng” bukan “Hoegeng.” Gara-gara soal nama, perkenalan jadi panjang. Menurut Sukarno, nama “Hoegeng” bukan nama Jawa dan tidak ada artinya. Dia pun meminta Hoegeng mengganti namanya dengan mengambil dari cerita pewayangan. “Nama yang baik itu seperti nama saya, Sukarno. Kan, nama wayang itu. Nah, begini saja, mbok ya nama jij (kamu) itu diganti saja. Ya, diganti seperti Sukarno begitu.” Hoegeng menolak. Ternyata Sukarno serius. Dia pun mencari akal untuk mencairkan suasana. “Ya, nama Hoegeng itu saya dapat dari saya punya orang tua. Kalau saya berganti nama, Sukarno pula, sedangkan pembantu di rumah saya namanya juga Sukarno, waaah…” Sukarno mendelik. Orang-orang pada tertawa riuh. “Benar-benar kurang ajar kamu,” kata Sukarno. “Gaya Pekalongan mungkin tak selalu enak. Bisa-bisa dianggap keterlaluan oleh atasan yang tak paham. Tapi Bung Karno sepertinya dapat memahami. Agaknya karena dia orang Jawa Timur dan pernah tinggal di Surabaya,” kata Hoegeng dalam otobiografinya, Polisi: Idaman dan Kenyataan. “Bung Karno tidak marah namanya saya jadikan bahan olok-olok. Malah Bung Karno sendiri akhirnya tertawa keras.” Hoegeng yang lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, memiliki empat nama: Abdul Latif (pemberian teman ayah seorang peramal Arab), Hoegeng Iman Santoso (pemberian ayah), Hoegeng Iman Soedjono (pemberian Eyang Putri), dan Hoegeng Iman Waskito (pemberian nenek buyut, ibu dari Eyang Putri). Dia memilih nama pemberian ayahnya: Hoegeng Iman Santoso. Namun, dia lebih suka memakai nama Hoegeng saja. Ternyata, nama Hoegeng ada asal usulnya. Waktu kecil dia memiliki tubuh sangat gemuk. Maka, dia dijuluki si “bugel” (gemuk) seperti ubi mengeram dalam tanah. Namun, dalam panggilan sehari-hari berubah: dari “bugel” menjadi “bugeng” lalu “hugeng” (ejaan lamanya hoegeng). “Rasanya (Hoegeng) sebuah nama yang meriah sekaligus lucu mengandung ironi,” kata Hoegeng. “Sebab dalam kenyataannya saya tak pernah lagi gemuk dan barang kali tak ingin demikian.”

  • Lumbung Padi yang Jadi Kawasan Industri

    KINI, Karawang dikenal sebagai kawasan industri. Ratusan pabrik beroperasi di sana. Padahal, hingga akhir 1980-an Karawang dikenal sebagai lumbung padi Jawa Barat. “Dulunya adalah masyarakat pertanian, mayoritas penduduknya petani namun berubah,” kata Profesor Aiko Kurosawa dalam diskusi “Historical and Land Use Transformation in Industrial Society” di LIPI, Kamis (15/08/2019). Bersama antropolog Makoto Iko dan sosiolog Tagayasu Naito, Aiko sejak tahun lalu melakukan studi peralihan kawasan agraris menjadi industri di Desa Sukaluyu, Teluk Jambe, Karawang. Menurut Aiko, di masa kolonial Tegal Jambe termasuk tanah partikelir yang disebut Tegalwaru Landen. Tuan tanah berkuasa di sana baik secara ekonomi maupun administrasi. Para petani penggarap diwajibkan menyerahkan 20 persen hasil panen. Para tuan tanah juga menentukan siapa saja yang boleh berbisnis di wilayahnya. Setelah merdeka, sawah sebagai tanah partikelir dibagikan sebagai hak milik kepada pengggarapnya (petani). Sedangkan tanah kongsi atau tanah yang tidak digarap oleh rakyat, diambilalih pemerintah dan jadi milik Kementerian Perhutanan. Sawah-sawah yang jadi milik petani itu tetap digarap pemiliknya hingga era Orde Baru. Lantaran arealnya sangat luas, pemerintah menjadikannya kawasan agraris penghasil padi terbanyak Indonesia. Perhatian besar pada pertanian Karawang dicurahkan untuk mencapai swasembada pangan dengan penanaman bibit unggul, penggunaan pestisida, dan pembangunan saluran irigasi. Usaha ini membuahkan hasil dengan produksi yang melimpah pada 1984, yakni 25,8 juta ton. Namun, surplus beras ini tak bertahan lama. Soeharto berubah pikiran. Kawasan agraris ini diubah menjadi kawasan industri. Pembebasan tanah untuk pembangunan kawasan industri dimulai pada akhir 1980-an. Peran spekulan tanah sebagai calo sangat penting dalam pembebasan tanah petani itu. Sebanyak 538 hektare tanah darat di bagian selatan Desa Sukaluyu milik 87 orang petani dijual dengan harga murah. Aturan resmi, Keppres Nomor 53 Tahun 1989 tentang Pengembangan Kawasan lndustri, Kabupaten Karawang, baru keluar kemudian. “Pada 1990-an beberapa kawasan industri muncul di daerah timur Jakarta. Yang paling besar KIIC (Karawang International Industrial City), didirikan oleh Sinar Mas dan perusahaan Jepang Itochu,” kata Tagayasu Naito. Di samping membangun kawasan industri, dibangun pula perumahan nasional (perumnas) Bumi Teluk Jambe sebagai penunjang di bagian utara Desa Sukaluyu. Inilah pembangunan perumnas pertama di wilayah desa. Pembangunan perumnas seluas 186 hektare itu meliputi tiga desa, yakni Wadas, Sukaluyu, dan Sukaharja. Sepanjang 1994-1995, pemerintah mengalihfungsikan 174 hektare sawah menjadi kawasan perumahan. Pembangunan perumnas ini dilakukan secara bertahap sejak 1995, namun tersendat karena krisis moneter. Pengembang lalu mengganti taktik dengan mempromosikan perumahan itu pada pegawai pemerintah dan buruh. Dengan menggandeng BTN, pengembang membuat keringanan dan penghapusan bunga selama 5 tahun. Dengan banyaknya proyek pembangunan, sawah-sawah di Karawang tergusur. Data Dinas Pertanian Kabupaten Karawang mencatat, laju alih fungsi lahan dalam kurun waktu 1989-2007 mencapai 135,6 hektare per tahun.  Pada 1981 terdapat 12,114 hektare sawah di Karawang. Angkanya surut drastis pada tahun 2000, dengan tersisa 2497 hektare. Sementara data yang dihimpun Aiko menunjukkan penyempitan areal sawah di Desa Sukaluyu pada tiga tahun berturut-turut. Pada 2016 jumlah sawah masih 40 hektare, menyusut 17 hektare (2017), dan tersisa 13 hektare pada 2018. Akibat makin sempitnya persawahan, pengiriman beras ditutup. Warga beralih profesi dari petani menjadi pedagang kecil, buruh pabrik, tukang ojek, atau dan kuli. Hanya 20 orang penduduk Teluk Jambe yang berprofesi sebagai petani. Kesenjangan pun terlihat amat jelas antara penduduk kampung dan perumahan yang menurut Makoto amat jarang bersinggungan. “Sejak membuka kawasan industri pada 1990-an karawang mengalami perubahan sosial yang dinamis,” kata Makoto Iko.

  • Cucian untuk Perdana Menteri Kashmir

    Sewaktu menjabat Wakil Komandan Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD), Letnan Kolonel Soegih Arto diajak dalam rombongan Wakil Presiden Mohammad Hatta mengadakan kunjungan kenegaraan ke India, Kashmir, danBurma (Myanmar) pada Oktober-November 1955. Dia ditugaskan menjadi ajudan Bung Hatta. Yang menjadi masalah selama kunjungan adalah pakaian dalam . Mau minta dicucikan malu karena kualitasnya substandar, tidak dicuci kotor, dan mencuci sendiri tak sesuai harkat dan derajat tamu yang dipanggil excellency (yang mulia). Pagi-pagi Soegih Arto dibangunkan oleh pelayan dengan mengatakan, “ Excellency your morning tea. Shall I prepare your bath ?” “Baru seumur hidup disebut excellency dan rasanya enak juga,” kata Soegih Arto dalam memoarnya, Sanul Daca . Oleh karena itu, kata Soegih Arto, “pakaian dalam yang sudah kotor, dimasukkan saja dalam koper, menunggu kesempatan baik.” Acara demi acara di India berjalan dengan baik dan lancar. Acara selanjutnya berkunjung ke Kashmir. Soegih Arto ikut rombongan Angkatan Darat. Sesampainya di Kashmir, rombongan tentara ditempatkan di guesthouse tersendiri yang cukup baik. Masing-masing mendapat satu kamar. Mereka langsung masuk kamar dan beberes karena akan segera dimulai peninjauan ke perbatasan India-Pakistan. Ketika Soegih Arto sedang sibuk, masuklah seorang berpakaian jas panjang dan memakai kopiah tebal menanyakan apakah kamar cukup memuaskan. Soegih Arto tak tahu siapa dia karena tak memperkenalkan diri. “Waktu dia menanyakan apakah ada yang dapat dia dibantu, saya langsung menyerahkan pakaian kotor untuk dicuci,” kata Soegih Arto. “Orang itu tertegun sebentar dan tanpa berkata apa-apa pergi membawa pakaian kotor saya.” Sorenya, Rajpramukh Kashmir mengadakan resepsi menghormati Bung Hatta. Rajpramukh adalah gelar pemimpin administratif di India sejak 1947 hingga 1956. Rajpramukh ditunjuk untuk provinsi dan negara bagian tertentu. Di jajaran yang menerima tamu berdiri Rajpramukh Kashmir dan permaisuri serta seorang yang rasa-rasanya pernah lihat. “Bagaikan kilat yang menyambar, saya ingat bahwa orang yang berdiri itu, tidak lain adalah orang yang saya beri cucian tadi pagi,” kata Soegih Arto. Lho, pembantu rumah tangga mess kok ada di situ? Soegih Arto menanyakan kepada Atase Militer Indonesia untuk India, Letnan Kolonel Thalib, siapa orang yang berdiri dekat raja. Dijawabnya, itu adalah Perdana Menteri. Soegih Arto lemas. Gemetar. Rasanya lutut tak mampu lagi menyangga badannya. “Saya telah menyuruh Perdana Menteri mengantar pakaian kotor ke dobi,” kata Soegih Arto. Dobi adalah penatu, yaitu orang yang pekerjaannya mencuci dan menyetrika pakaian. Soegih Arto langsung meninggalkan barisan untuk menghindari salaman. Dia mencari minum untuk mengembalikan kekuatan. Lama kemudian, setelah semua tamu datang, dia keliling, berjalan kesana-kemari. Celaka tak dapat dielak, petaka tak dapat dihindari. Soegih Arto pun bertemu dan berhadap-hadapan. Perdana Menteri tertawa dan menyalaminya. “Saya ketawa malu-malu, kata orang Belanda, seperti petani sakit gigi padahal pada waktu itu rasanya saya seperti petani tidak punya muka.” Dalam suhu yang dingin di Kashmir, Soegih Arto masih bisa berkeringat. Dia pun berjanji kepada diri sendiri akan lebih berhati-hati di kemudian hari. Dari Kashmir, rombongan Bung Hatta menuju Burma. Kelak, Soegih Arto akan menjadi duta besar untuk Burma. Dan setelah menjabat Jaksa Agung, dia menjadi duta besar untuk India.

bottom of page