Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mula Kedatangan Telepon Umum
KETIKA melakukan perjalanan dinas ke London, Inggris, beberapa karyawan Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel) melihat baiknya layanan dan ketersediaan telepon umum di negeri tersebut. Pengalaman itu menginspirasi mereka untuk meniru dan menerapkannya di Indonesia. Begitu kembali ke tanah air, mereka langsung mengusulkan agar Perumtel membuat layanan telepon umum jenis kartu. Namun Direktur Utama Perumtel Willy Moenandir meragukan terwujudnya gagasan mereka. Pasalnya, ketersediaan dan persebaran kartu akan jadi PR baru untuk perusahaan plat merah tersebut. Dus, masyarakat masih awam dengan telepon umum. Sebagai jalan tengah, pada 1981 Perumtel meluluskan ide mereka membuat layananan komunikasi telepon umum namun dengan jenis berbeda. “Akhirnya telepon umum pertama itu yang koin. Di eranya Pak Cacuk jadi dirut, dibangun besar-besaran tahun 89, dimasukkan juga dalam proyek pembangunan,” kata Setyanto P Santosa, kepala Bagian Pemasaran Jasa Telekomunikasi periode 1980, kepada Historia . Lewat proyek Telekomunikasi Nusantara, penyediaan telepon umum ( publicpayphone ) dilakukan besar-besaran bersamaan dengan peningkatan layanan pos. Pembiayaannya dilakukan lewat bantuan Bank Dunia. Oleh karenanya, teknologi telepon umum yang beredar di Indonesia tergantung negara pemberi bantuan. Sebagian besar telepon umum generasi pertama, misal, keluaran Belgia Telephone Manufacturer yang dirakit di PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI). “Dari Jerman dan Jepang juga ada. Tergantung dari negara asal bantuan utang,” kata Setyanto. Lantaran banyaknya telepon umum yang terpasang, Telkom punya unit khusus yang mengurusi telepon umum meski kini unit itu telah tiada. Para petugas di unit layanan telepon umum bertugas untuk merawat perangkat dan mengangkut koin-koin yang memenuhi kontainer telepon. Koin-koin itu lantas ditukar di Bank Indonesia. Pernah suatu kali saking banyaknya koin yang terkumpul, Telkom kewalahan. Setyanto sempat mengeluh pada Gubernur BI Joseph Sudrajad Djiwandono. Tiap hari pasti ada petugas yang berkeliling mengecek kondisi telepon sebab bukan hanya rusak karena dipakai, tapi juga rusak karena dijahili. Ada yang ditempeli permen karet, dimasukkan koin yang sudah dilubangi untuk kemudian ditarik lagi. Ada juga orang yang mencuri koin dengan merogoh dari tempat koin kembalian. Gara-gara kejahilan itulah Telkom merugi, termasuk beberapa telepon umum rusak. Ketika Setyanto menjabat Dirut Telkom, dia meminta bantuan ibu-ibu Dharma Wanita untuk segera memberitahu suami mereka bila mendapati telepon umum rusak. “Ada banyak kejahilan. Tapi kalau yang kartu relatif sulit untuk diakali,” kata Setyanto. Namun, kisah tentang telepon umum –yang setelah jenis koin dilanjutkan dengan jenis kartu– kini sudah berhenti. Telepon umum sudah ditinggalkan. Telepon umum berwarna biru di pinggir Jalan Praja Dalam, Gandaria Utara, misalnya, perangkat beserta tudung pelindungnya masih ada. Namun, gagang teleponnya raib, terputus dari kabel. Besi penutup koinnya pun hilang. Kondisi telepon umum semacam ini jamak ditemui. Kadang malah perangkat teleponnya sudah tak ada, hanya tersisa tudungnya saja. Beberapa telepon umum bernasib baik, masih utuh terpasang. Di Bintaro Plaza, misalnya. Namun, sudah tidak berfungsi. Unit yang mengurusi telepon umum pun sudah ditiadakan dari Telkom. Telepon umum hadir sebagai media komunikasi populer hanya berlangsung dari dekade 1980-an hingga 1990-an. Realita itu berbeda dari realita di beberapa negara. “Di Singapura dan Amerika, masih ada. Kehadiran telepon umum intinya adalah pelayanan untuk masyarakat,” kata Setyanto menjelaskan kebijakan beberapa negara tersebut yang tetap dipertahankan kendati eranya sudah era ponsel. Meski ponsel menjadi barang “wajib” punya, menurutnya, tak semua orang memilikinya. Pun, bila pengguna ponsel mengalami keadaan darurat, seperti hilang, habis daya, atau hilang sinyal, telepon umum bisa menjadi andalan. “Kalau menurut saya, layanan telepon umum harus tetap ada. Itu bagian dari PSO ( public service obligation ).”
- Onani di Balik Jeruji Besi
SEJUMLAH publik figur kedapatan melakukan masturbasi dalam video yang menyebar di twitter baru-baru ini. Beberapa diantaranya adalah artis dan seorang atlet bulutangkis nasional. Entah apa motifnya yang jelas rekaman itu kini ramai jadi pemberitaan . Masturbasi merupakan pemuasan seksual secara mandiri. Sebutan lainnya untuk perbuatan serupa bagi kalangan pria adalah onani. Aksi merancap penis dengan tangan ini dilakukan oleh pria yang ingin melampiaskan birahi tanpa pasangan. Di masa lalu, kegiatan onani cukup akrab bagi mereka yang hidup di balik jeruji besi. Sewajarnya, laki-laki dewasa yang sehat punya hasrat untuk memenuhi kebutuhan biologis bersama pasangannya. Dalam penjara, kebutuhan tersebut mustahil ditunaikan. Seorang istri tak diperkenankan tinggal bersama suaminya yang berstatus tahanan. Maka merancaplah yang menjadi jalan keluarnya. Bung Karno yang kelak menjadi presiden pertama negeri ini punya pengalaman soal “kegiatan” ini. Antara 1929—1931, Sukarno pernah dipenjara oleh pemerintah kolonial dengan tudingan subversif. Sewaktu mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung, Sukarno prihatin menyaksikan para tahanan melakukan onani karena tidak ada pelampiasan lain. “Aku menyaksikan kejadian-kejadian yang memilukan hati. Aku menyaksikan kawanan setahanan menjadi gila karena syahwatnya. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat mereka melakukan onani. Pemuasan nafsu terhadap diri sendiri. Aku mengetahui dan telah menyaksikan akibat yang menakutkan daripada pengasingan terhadap laki-laki yang normal,” tutur Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat yang dituturkan kepada Cindy Adams. Menurut Sukarno, onani adalah aktivitas seksual yang menyimpang. Namun itu terjadi akibat kejamnya kehidupan penjara yang ikut memasung jiwa narapidana. Penjara menjadi pengasingan yang dapat menggoncangkan dan membelokkan kehidupan seorang tahanan. Ketika Sukarno berkuasa, Mochtar Lubis, jurnalis Indonesia Raya yang kritis terhadap pemerintah dipenjara. Mochtar dipenjara di Rumah Tahanan Madiun dari 1956 sampai 1966. Di sana, Mochtar pun menyaksikan pemandangan yang sama. Dalam memoarnya selama di penjara Madiun, Mochtar mencatat seputar kebiasaan orang-orang tahanan, salah satunya adalah melakukan onani. “Masalah seksual orang tahanan; banyak mengaku melakukan onani, tapi tidak homo,” tulis Mochtar Lubis dalam Catatan Subversif . Berlanjut ke era Orde Baru, tersebutlah nama Andi Mappetahang Fatwa atau AM Fatwa. Pemerintah memenjarakan Fatwa, politisi muda dari kalangan Islam dan salah satu penandatangan Petisi 50. Rezim Soeharto yang berkuasa saat itu menyebut Fatwa berada di balik aksi pemboman gedung BCA di Jakarta Kota bersama Letjen (Purn.) H.R. Dharsono. Selama 14 tahun, Fatwa menghabiskan hidupnya di penjara. Dalam kurun waktu itu, Fatwa berpindah penjara mulai dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang (Jakarta), Cirebon, Sukamiskin (Bandung), hingga Palendang (Bogor). Pengalaman suka dan duka dalam penjara tersua dalam kumpulan suratnya yang dibukukan Menggugat dari Balik Penjara: Surat-surat Politik A.M. Fatwa . Dalam salah satu surat yang ditujukan kepada sahabatnya, Mahmud Djunaidi, sastrawan dan politisi NU, Fatwa secara jujur menuturkan pergumulannya akan kebutuhan seksual. Bermula ketika Fatwa mengomentari tulisan Mahmud yang dimuat majalah pria Matra tentang seorang tukang becak di Aceh yang memotong alat vitalnya. Fatwa yang merefleksikan tulisan itu ke dalam dirinya merasakan getir soal hasrat batin ini. “Soalnya alat vital yang saya pelihara betul-betul dipenjara yang selama 4 tahun ini praktis tidak terpakai – kecuali sekali-sekali masturbasi menunggu mimpi basah tidak datang-datang – tetap saya dambakan bisa ampuh dipakai kelak setelah saya merdeka kelak,” tulis Fatwa dalam suratnya kepada Mahmud Djunaidi bertanggal 13 September 1988 yang ditulis di Penjara Palendang, Bogor. Fatwa berharap, kewajibannya sebagai seorang suami dapat tersalurkan secara layak selepas bebas. Fatwa juga menitip pesan kepada Mahmud agar Fikri Jufri, pemimpin redaksi Matra berkenan mewawancarainya. Soal apa? “Bagaimana cara memelihara dan memanfaatkan alat vital di penjara,” demikian celoteh Fatwa dalam surat yang sama. “Apalagi setelah saya bergaul dengan macam-macam napi dari penjara ke penjara, maka sudah banyak ilmu keampuhan menggunakan alat vital. Ya Allah, semoga saja masih bisa dipraktikkan nanti,” kata Fatwa penuh harap.
- Orang Indonesia di Palagan Pasifik
SUATU hari jurnalis Hanna Rambe mendapat informasi menarik dari salah seorang kawannya. Sang kawan bercerita bahwa dia mengenal seorang pensiunan perwira tinggi Komando Pasukan Sandi Yudha (sekarang Kopassus) yang pernah menjadi prajurit US Army (Tentara Amerika Serikat) dalam Perang Dunia ke-2. Namanya Raden Soedirmo Boender. “Dia sekarang menjadi tenaga ahli sekuriti sebuah pabrik semen di Cibinong,” ujar kawan Hanna. Hanna tertarik mengangkat kisah hidup sang veteran ke dalam tulisan. Lewat perantara kawannya itu, dia lantas menemui Soedirmo. Alih-alih disambut baik, Hanna malah dicurigai dan diserang berbagai pertanyaan oleh calon narasumbernya tersebut. “Sambil bicara, matanya tajam menyelidik. Di awal-awal, beliau memang sangat tidak kooperatif,” kenang eks wartawan majalah Mutiara itu. Namun sebagai penulis yang sudah makan asam garam, Hanna membalas kecurigaan itu justru dengan kesabaran. Dia sangat maklum jika calon narasumbernya ini mengalami trauma akibat pengalaman pahit dalam perang. “Saya perlu “sebuah teknik pendekatan khusus” supaya beliau mau saya wawancarai,” ungkap Hanna. Setelah berhari-hari bergaul akrab, lelaki itu mulai mempercayai Hanna. Dia mulai terbuka kepada gagasan untuk membuat buku yang mengisahkan pengalaman hidupnya. Terlebih saat dia berpikir untuk menghadiahkan sesuatu yang abadi kepada putri sulungnya yang akan menikah. Singkat cerita, berlangsunglah wawancara-wawancara penting itu. Setiap melakukan wawancara, Hanna tak jarang memutuskan untuk sejenak berhenti mengingat Soedirmo begitu sangat emosional. Kadang dia bersemangat, kadang dia bicara terbata-bata. “Matanya memerah dan suaranya kerap parau menahan tangis,” ungkap Hanna Lantas seperti apakah perjalanan hidup Soedirmo hingga membuat jiwanya begitu terluka? Lari ke Batavia Soedirmo lahir di Yogyakarta pada 12 Februari 1920. Dia merupakan putra dari pasangan priyayi Jawa yang tinggal di kawasan Bintaran. Dalam bukunya yang disusun Hanna Rambe, Terhempas Prahara ke Pasifik , Soedirmo tak pernah menceritakan secara jelas tentang masa lalunya, termasuk nama lengkap ayah dan ibunya. Dia hanya berkisah bahwa ayahnya seorang priyayi berkumis tebal yang dingin, tak banyak bicara dan sangat kaku pendiriannya. Sang ayah memberlakukan disiplin yang sangat ketat kepada Soedirmo kecil. Dia pun dididik dalam tradisi pantang menonjolkan diri dan taat kepada Tuhan. Semua itu membentuk Soedirmo menjadi lelaki yang berwatak keras. Karena kekakuan sifat sang ayah itu pula, suatu hari Soedirmo bertengkar hebat dan menjadikannya terusir dari Bintaran. Itu terjadi karena soal masa depan Soedirmo sendiri. Sang ayah ingin putra sulungnya itu meneruskan sekolah di Jawa saja, sedangkan Soedirmo kukuh menginginkan lanjut ke fakultas kedokteran yang ada di AS (Amerika Serikat). “Kebencianku kepada penjajah Belanda menjadikanku pantang mendapatkan gelar dokter berijazah Belanda,” ujar Soedirmo. Silang pendapat itu tak menemukan titik temu. Dengan marah, sang ayah lantas memberikan pilihan kepada Soedirmo untuk mewujudkan sendiri cita-citanya tanpa bantuan keluarga. Darah muda Soedirmo menggelegak. Harga dirinya membuhul. Tanpa banyak bicara, dia pun pergi dari rumahnya menuju Batavia. Setelah lama terlunta-lunta dan menjadi gelandangan di Batavia, Soedirmo ditemukan oleh seorang lelaki Amerika bernama Bowen. Dia kemudian diangkat anak dan disekolahkan ke AMS-Bagian B. Karena kecerdasannya, keluarga Bowen lantas mengabulkan permintaan Soemardi untuk melanjutkan sekolah ke fakultas kedokteran di AS. Terkena Wamil Di Amerika Serikat, Soedirmo terdaftar sebagai mahasiswa fakultas kedokteran St. Anthony College, San Francisco. Sebagai mahasiswa perantau, dia memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan bekerja serabutan, mulai menjadi buruh pemetik buah hingga penyaji makanan dan minuman di restoran. Pada 7 Desember 1941, ratusan pesawat pembom Kekaisaran Jepang menyerang Pearl Harbor. Sekitar 3000 orang Amerika menjadi korban dan pangkalan militer kebanggan militer AS itu pun hancur lebur. AS pun berang dan menantang perang Jepang. Inilah awal yang menjadikan AS terseret secara langsung dalam Perang Dunia II. Pernyataan perang AS terhadap Jepang diikuti dengan munculnya berbagai kebijakan militer yang dikeluarkan pemerintahnya. Salah satu kebijakan itu adalah diberlakukannya wamil (wajib militer) kepada kaum muda AS yang mampu berperang. Soedirmo tidak termasuk dalam kekecualian. Setelah menjalani latihan militer yang sangat berat, dia pun bergabung ke Divis Infanteri Angkatan Darat ke-42 yang lebih termasyhur dengan nama Rainbow Division, sebuah kesatuan pasukan infanteri yang berasal dari berbagai latar belakang bangsa. Dia kemudian diterjunkan di palagan Pasifik. Sejak itulah Soedirmo ikut menyabung nyawa melawan militer Jepang, mulai dari Rabaul hingga Okinawa. Sebagai serdadu dia termasuk alat perang yang terampil dan berani. Karena itu, Soedirmo lantas didapuk menjadi komandan peleton dan terlibat aktif memimpin operasi-operasi pemusnahan gua-gua pertahanan Jepang di Pasifik. Sepanjang palagan, Soedirmo menjadi saksi betapa kejamnya perang. Dia yang tadinya bercita-cita ingin memelihara nyawa manusia justru harus terlibat dalam pemusnahan brutal sesama manusia. Hatinya yang dulu penuh cinta, sejak itu harus terbiasa menghujamkan bayonet ke tubuh lawan atau mencekik sampai mati seorang prajurit Jepang dalam pertarungan satu lawan satu. “Kami seperti dipaksa masuk dalam hari-hari yang penuh dengan mimpi buruk,” ujar Soedirmo kepada Hanna. (Bersambung)
- Bertukar Kata Lewat Kamar Bicara
LANTAI dasar Gedung Telkom di Jakarta Pusat penuh pengunjung. Di dekat ruang tamu, tempat layanan Kantor Telepon berada, orang-orang duduk mengantri untuk menggunakan Kamar Bicara Umum (KBU). Antrian cukup panjang, kadang membuat orang-orang menunggu hingga larut. “Kalau lihat dari lantai atas, Kantor Telepon di Gambir ramai sekali dulu. Biasanya sampai malam masih ramai,” kata Setyanto P Santosa, Direktur Utama Telkom periode 1992-1996, kepada Historia . KBU merupakan Layanan keluaran Telkom yang jadi cikal-bakal wartel. Setyanto terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan wartel. Mulanya, Telkom hanya menyediakan KBU di Kantor Telepon. Tiap KBU berisi kursi, perangkat telepon, kipas angin, serta monitor durasi dan biaya. Namun, Kantor Telepon hanya terdapat di kantor-kantor Telkom sehingga ketersediaannya masih terbatas. Rekan Setyanto, Benny Nasution (Kepala Wilayah Telekomunikasi 8 Denpasar periode 1980-an), menemui kendala mengurusi kebutuhan komunikasi di Denpasar yang banyak turis. Ia pun mengusulkan agar Telkom bikin kios telepon supaya ketersediaan layanan telepon umum lebih luas. Usul itu disambut baik Telkom Pusat. Kios telepon pun, menurut Setyanto, pertama muncul di Kuta, Bali pada 1982. Setelah itu pada 1984-1988, wartel-wartel mulai dibangun meski jumlahnya baru 48 buah. “Setelah diskusi, kita kasih nama Warung Telekomunikasi disingkat wartel. Waktu itu dibahas dengan saya, karena saya di Kantor Telkom Pusat yang membidangi regulasi. Jadi Wartel itu perpanjangan KBU,” kata Setyanto. Melihat konsep dan pelaksanaannya yang baik, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Soesilo Soedarman sangat senang dengan proyek ini. Digencarkanlah pembangunan wartel di seluruh Indonesia sejak 1988. Pada 1989 jumlah wartel meninggat jadi 128 buah dan melonjak pada 1993 sampai 1190 wartel. Pihak swasta mulai dilibatkan. Orang-orang bisa menjalin kerjasama dengan Telkom sebagai agen penyedia layanan komunikasi. Syaratnya, mereka harus menyediakan minimal dua alat dan bilik. Urusan sambungan dan teknis disediakan oleh Telkom. Sebagai agen jasa komunikasi, pengelola wartel mendapat komisi dari tiap keuntungan yang didapat Telkom. Usaha ini rupanya laris-manis, model komunikasi telepon makin bisa dinikmati masyarakat luas. “Melalui wartel, swasta mulai berperan dalam bidang telekomunikasi. Laris sekali dulu, kalau pakai kelamaan, digedor-gedor pintunya,” kata Setyanto. Ramadhan KH dalam Dari Monopoli Menuju Kompetisi menulis, kebijakan wartel keluar karena Telkom masih kesulitan memenuhi kebutuhan sambungan telepon di daerah. Rusli Hariyanto, kini pebisnis rental kendaraan di Yogyakarta, menceritakan pengalamannya sebagai pelanggan wartel saat dia nyantri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, tahun 2002. “Dulu belum bawa HP. Semua di pesantren pakai wartel,” ujarnya kepada Historia . Sayangnya, antrian berjubel, padahal waktu yang disediakan untuk istirahat hanya 30 menit, mulai ba’da isya sampai waktu belajar tiba. Maka, sambungnya, “Rebutan itu.” Lantaran KBU yang disediakan wartel di pesantren hanya sedikit, Rusli kadang nekad. “Kadang sih keluar cari wartel karena saking penuhnya, walaupun sebetulnya nggak boleh ya keluar pesantren.” Begitu masuk bilik, dia langsung menghubungi nomor telepon rumahnya. Sebelum di rumahnya ada telepon, Rusli biasa menggunakan telepon umum koin di dekat pertigaan rumahnya di Situbondo, Jawa Timur. Kalau telepon umum koin itu berdering, biasanya teman sekampung yang nongkrong dekat situ akan mengangkat. Rusli lantas minta temannya untuk memanggilkan ibunya. Ketika ibunya meraih gagang telepon, di situlah rindu tuntas terbalas. “Halo, Bu, ini Rusli…”
- Nasution dan Buku Terakhirnya
A.H. Nasution merupakan jenderal yang sangat produktif menulis. Dibantu Moela Marboen, dosen Universitas Indonesia, dan beberapa perwira Dinas Sejarah TNI AD, Nasution menerbitkan buku Sekitar Perang Kemerdekaan sebanyak sebelas jilid. Bahan-bahannya dikumpulkan pada 1953-1955. Setelah pensiun pada 1972, Nasution menulis memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas sebanyak tujuh jilid. Semangat Nasution dalam menulis terus menyala bahkan ketika dia terbaring sakit dan di pengujung usianya. Pada 1986, Nasution menjalani operasi katup jantung di RSAD Pusat Walter Reed di Washington DC Amerika Serikat. Kesehatannya sebagai manula semakin mudah terkena segala macam penyakit. Yang paling gawat sering terjadi pendarahan yang berasal dari kelenjar prostat akibat obat pengencer darah yang harus diminumnya setelah operasi katup jantung. Menurut dr. Frits Kakiailatu yang merawat Nasution, kejadian yang sangat mengkhawatirkan waktu pendarahan hebat dan berulang kali terjadi sumbatan bekuan, hingga dia tidak bisa buang air kecil. Secara darurat dilakukan tindakan sistoskopi dengan bius spinal ditambah terapi penenang. Pertolongan itu berhasil menghentikan pendarahan tetapi dia setengah sadar. “Pak Nas menjadi sulit berkomunikasi. Masalahnya, meski berada di rumah sakit, beliau sedang merampungkan bukunya yang terakhir,” kata Frits dalam Pak Harto, Pak Nas, dan Saya . Seorang pencatat selalu berada di samping Nasution untuk mencatat ucapan-ucapannya. “Tetapi, tampaknya orang tersebut sulit dan bingung menangkap ucapan dan pikiran Pak Nas. Apa yang didikte Pak Nas sering kacau atau berulang-ulang. Selain itu, pekerjaannya ini sering terhalang kalau kepada pasien harus dilakukan tindakan bius,” kata Frits. Hari-hari berikutnya, syukurlah keadaan Nasution sedikit pulih dari efek bius. Lamanya kira-kira satu setengah bulan. Dia bisa diajak bicara dan pendiktean bukunya bisa diteruskan sampai selesai. Buku tersebut baru diterbitkan setelah Nasution meninggal dunia pada 6 September 2000. Pada 2008 Yayasan Kasih Adik bekerja sama dengan Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat (Disbintal AD) menerbitkannya dalam tiga jilid: Kenangan Masa Purnawirana (jilid terakhir memoarnya), Kepemimpinan Nasional dan Pemimpin Bangsa , dan Bersama Mahasiswa , Aset Utama Pejuang Nurani .
- Mula Kristen di Sri Lanka
HARI Paskah yang mestinya damai berubah duka. Korban tewas mencapai 310 orang akibat serangkaian aksi terorisme di sejumlah gereja dan hotel di Sri Lanka, Minggu (21/4/2019). Para pemimpin dunia turut berbelasungkawa, tak terkecuali Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). “Indonesia mengecam keras serangan bom di beberapa tempat di Sri Lanka, hari ini. Atas nama seluruh rakyat Indonesia, saya juga menyampaikan duka cita yang mendalam kepada Pemerintah Sri Lanka dan seluruh keluarga korban. Semoga korban yang luka-luka dapat segera pulih,” ungkapnya via akun Twitter @jokowi, Minggu malam, 21 April 2019. Aksi biadab itu jadi catatan kelam bagi umat Nasrani di Sri Lanka yang jejaknya sudah ada berabad-abad lampau. Lembaran sejarah berbicara bahwa negeri-pulau di selatan India itu sudah bersentuhan dengan agama Nasrani sejak abad pertama dan Nasrani jadi agama ketiga yang dikenal masyarakat setempat selain Buddha dan Hindu. Leonard Pinto dalam Being A Christian in Sri Lanka: Historical, Political, Social and Religious Considerations mengungkapkan, agama Nasrani pertamakali dibawa Santo Thomas Rasul, satu dari 12 rasul Yesus Kristus, pada tahun ke-52 Masehi ketika negeri itu di bawah Kerajaan Anuradhapura. “Ada bukti bahwa para pengikut Kristen Santo Thomas telah tinggal di Sri Lanka pada abad pertama (Masehi). Sejumlah ukiran tiga salib (Salib Anuradjapura) terlihat di Mutwal, Kotte, dan (kota) Anuradhapura. Salah satunya disimpan di Museum Anuradhapura,” kata Pinto, kendati tak dipaparkan detail jumlah masyarakat Sinhala yang menganut Kristen saat itu. Salib Anuradhapura itu sendiri penemuannya baru terjadi pada sebuah proyek ekskavasi di Anuradhapura tahun 1912. Salib itu merupakan salah satu warisan Portugis yang diwariskan oleh Komisioner Arkeologi Ceylon (nama lama Sri Lanka) Edward R. Ayrton. Salah satu relic yang dipercaya merupakan warisan Kristen Santo Thomas Rasul (Foto: Wikipedia) Suksesornya, Arthur Hocart, dalam catatannya pada 1924, Memoirs of the Archaelogical Survey of Ceylon , meyakini salib itu berasal dari masa lebih tua, yakni peninggalan Kristen Nestorian. Tapi sejumlah pakar lainnya mempercayai salib itu berasal dari masa Santo Thomas lantaran catatan sejarah berbicara bahwa Portugis tak pernah menjejakkan kaki di Anuradhapura. Pada masa Taprobane, istilah bahasa Yunani untuk menyebut Sri Lanka di masa itu, penganut Kristen yang disebarkan Santo Thomas Rasul disebutkan berkembang pesat di negeri yang masih didominasi pemeluk Buddha dan Hindu itu. Bahkan, lanjut Pinto, selama periode 479-497 M di Sri Lanka sempat muncul seorang ratu beragama Kristen, sejumlah prajurit Kristen asal India Selatan yang dipimpin Panglima Kristen asal Sinhala. Sebelum masuknya kolonialis Portugis, disebutkan pula pernah tinggal satu komunitas Kristen Nestorian yang disebarkan para pendeta Nestorian asal Mesir. Pada abad ke-13, para penganut Nestorian ini meleburkan diri ke agama Kristen Santo Thomas Rasul. Di abad ke-16, keduanya “terpaksa” dileburkan ke agama Katolik yang dibawa kolonialis Portugis. Kristen Warisan Portugis Kurangnya informasi mengenai Kristen dan gereja pertama di masa Santo Thomas Rasul pada abad pertama merupakan imbas dari latinisasi para penganut Kristen Santo Thomas Rasul yang jadi proses penyebaran agama Katolik oleh Portugis. Klimaksnya terjadi pada 1599, 94 tahun setelah penjelajah Portugis pertama, Laurenço de Almeida, bersama armadanya menginjakkan kaki di Sri Lanka. Kedatangan De Almeida sedianya merupakan ketidaksengajaan. Ia sampai ke Kolombo gegara badai dalam perjalanannya di Samudera Hindia. Negosiasinya dengan Raja Dharma Parakramabahu IX, penguasa Kerajaan Kotte, membolehkan De Almeida untuk tidak hanya tinggal dan berdagang, namun juga membangun Kapel Santo Laurensius, rumah peribadatan Katolik pertama di Sri Lanka. Di kapel ini pula tercatat digelarnya kebaktian pertama yang dipimpin Franciscan Friar Vicente, pastor yang turut dalam perjalanan armada De Almeida. Kaum Katolik lalu bersinggungan dengan para penganut Kristen Santo Thomas di berbagai wilayah. “Bertemunya para penjelajah Katolik dan pemeluk Kristen Santo Thomas itu terlibat friksi. Mulanya kedua komunitas Kristen ini saling ketergantungan, namun lama-lama perbedaan keduanya memisahkan mereka. Klimaksnya ketika para penganut Kristen Santo Thomas dipaksa bergabung ke gereja Katolik Portugis. Sejumlah dokumen dan catatan dihancurkan,” tulis Klaus Koschorke dkk dalam A History of Christianity in Asia, Africa and Latin America 1450-1990: A Documentary Sourcebook . Penyebaran Katolik oleh Portugis kian intens sejak 1543 dipimpin Santo Francis Xavier, atas titah Raja João III. Raja Kotte, Dharmapala, bahkan lantas menganut Katolik, memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk Santo Francis menyebarkan agama Katolik. Tapi “masa jaya” Portugis di Sri Lanka berakhir pada 1658 kala Belanda datang. “Penjajah baru itu melarang Katolik berkembang di Sri Lanka. Masyarakat Sinhala dipaksa beralih kepercayaan dari Buddha dan Katolik menjadi Protestan,” tulis Paul Hattaway dalam Peoples of the Buddhist World: A Christian Prayer Diary . Walau termasuk minoritas, agama Katolik merupakan agama tertua ketiga di Sri Lanka (Foto: nccsl.org) Agama Katolik tetap bertahan secara diam-diam meski sempat tiga dekade tak memiliki satupun pastor. Pada 1687, Pastor Joseph Vaz diam-diam datang dari Goa, India, untuk menghimpun para penganut Katolik yang tersisa. Mereka eksis secara klandestin di bawah perlindungan Raja Kandy dari Sinhala. Kebebasan beragama baru kembali di tanah Sri Lanka saat Inggris mendepak Belanda pada 1769. Bersamaan dengan itu, Kristen Anglikan masuk. Hingga kini, gereja-gereja beragam aliran Kristen muncul. Tidak hanya Katolik, Protestan dan Anglikan, Kristen Luther juga eksis di Sri Lanka walau tak banyak penganutnya. Mengutip laman Kementerian urusan Kristen Sri Lanka, pada 1838 tercatat jumlah penganut Kristen mencapai 74.787 jiwa, 72.870 di antaranya Katolik. Sementara, menurut sensus demografi pemerintah Sri Lanka pada 2012, hingga kini penganut Kristen tercatat 7,4 persen dari total 22.409.381 penduduk. Gereja tertua yang masih berdiri di Sri Lanka hingga kini adalah Gereja Santo Thomas di Kotahena, dekat Kolombo. Gereja para penganut Kristen Anglikan ini didirikan Gubernur Jenderal Ceylon Sir Robert Brownrigg pada 1816.
- Ketika Presiden Naik KRL
Presiden Joko Widodo naik Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta bersama sejumlah figur publik pada Sabtu, 20 April 2019. Dia melakukannya setelah menghadiri sebuah pertemuan di pusat perbelanjaan Grand Indonesia. Sebelumnya, dia telah beberapa kali menjajal MRT. Dia juga pernah menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) untuk pulang ke Bogor pada 6 Maret 2019. Saat itu jam sibuk sehingga dia harus berdesakan dengan penumpang lain. Selain Presiden Jokowi, presiden lain yang pernah menjajal transportasi publik berbasis rel di dalam kota adalah Soeharto. “Penggunaan KRL untuk pertama kali dilakukan Presiden Soeharto dalam rangka peninjauan dan peresmian rumah sederhana di Depok Baru pada 12 Agustus 1976,” tulis Tri Wahyuning M. Irsyam dalam Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950—1990-an. Perjalanan Presiden Soeharto ke Depok, Jawa Barat, menandai penghidupan kembali layanan KRL. Moda ini berhenti melayani warga sejak 1965. KRL hidup kembali lantaran penerapan konsep Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi). Jabotabek bertujuan menciptakan pusat pertumbuhan baru di wilayah penyangga Jakarta demi mengurangi beban Jakarta. Salah satu caranya dengan membangun perumahan di Depok (selatan), Bogor (selatan), Tangerang (barat), dan Bekasi (timur). Penduduk di wilayah penyangga Jakarta memerlukan moda transportasi aman, nyaman, dan cepat untuk pergi ke Jakarta dan pulang kembali ke rumah. Pemerintah berkeputusan menyiapkan moda transportasi berupa KRL. Tapi armadanya berbeda dari KRL sebelumnya. Naik KRL Baru Seluruh armada KRL tahun 1965 ke bawah berasal dari peninggalan Belanda. Badannya terbuat dari kayu dan ditarik oleh lokomotif listrik. Sebagian besar sudah rusak dan ketinggalan zaman. Sejak 1976, KRL berganti rupa dan teknologi. Bahannya dari besi karbon ( mild steel ) dan tanpa lokomotif penarik. “Pemerintah mendatangkan KRL baru kelas ekonomi sebanyak 56 unit jenis reostatik dari Jepang,” catat Akhmad Sujadi dalam Si Ular Besi Antar Jonan Jadi Menteri . Armada baru KRL ini mengantarkan Presiden Soeharto ke Depok. Sepuluh tahun kemudian, 5 Juli 1986, Presiden Soeharto naik KRL lagi. Kali ini dari Manggarai (selatan) ke Tanah Abang (pusat) sejauh 6,6 kilometer. Dia menumpang KRL mutakhir buatan Jepang. Bahannya baja tahan karat ( stainless steel ). Perjalanan Presiden Soeharto bersama KRL berlangsung singkat. Hanya 11 menit. Kalau menggunakan mobil, makan waktu 40 menit. Dengan waktu secepat itu, dia berharap warga tertarik naik KRL. Uji coba KRL baru ini juga bertujuan mengetahui rencana perbaikan prasarana dan sarana KRL. Di stasiun Manggarai, Presiden Soeharto memperoleh penjelasan tentang rencana pengembangan layanan KRL hingga tahun 2000. Antara lain mutu rel kereta, pembuatan rel ganda Depok—Gambir, elektrifikasi jalur barat dan timur, pembangunan jalur layang rute tengah (Manggarai—Kota), perbaikan sarana stasiun, dan pembelian kereta. Presiden Soeharto sempat turun sebentar di Stasiun Dukuh Atas, 2,5 kilometer dari Manggarai. “Dalam uji coba itu presiden sempat memerika Stasiun Dukuh Atas yang telah ditingkatkan kualitasnya dan bentuknya sehingga nyaman bagi masyarakat,” catat Soeharto.co , mengutip Berita Buana, 7 Juli 1986. Setibanya di stasiun Tanah Abang, Presiden Soeharto memeriksa kereta pengangkut besi, baja, dan batu bara. Beberapa rencana perbaikan layanan KRL berhasil terwujud. Misalnya pembangunan jalur layang rute tengah dan perbaikan sarana stasiun. Dikerjakan mulai 1988 dan selesai pada 1992. Melewati Permukiman Kumuh Presiden Soeharto kembali naik KRL untuk ketiga kalinya demi meresmikan operasional jalur layang rute tengah pada 5 Juni 1992. Dia mulai perjalanan dari stasiun layang berlantai tiga, Gambir. Gambir stasiun baru yang megah pada masanya. Sebelumnya stasiun ini berada di permukaan tanah. Kumuh, tua, dan kewalahan mengikuti perkembangan zaman. Atas bantuan konsultasi dan pinjaman lunak dari pemerintah Jepang, stasiun Gambir menjadi bersih, segar, dan tangkas menghadapi perubahan zaman. Lantai beralaskan porselin mengkilap berwarna hijau lumut. Terdapat fasilitas penunjang berupa 13 loket penjualan karcis, papan petunjuk manual dan elektronik, eskalator, toilet, dan telepon umum sistem kartu dan koin. “Gambir barangkali kini menjadi stasiun kereta api paling apik di Indonesia,” tulis Kompas , 6 Juni 1992. Dalam stasiun megah ini, Presiden Soeharto terlihat antre paling depan. Dia membeli karcis seharga Rp1.200 PP untuk dua orang. Dia bersama istri, Menteri Perhubungan Azwar Anas, duta besar negeri sahabat, dan pejabat kereta api dan dinas perhubungan. Setelah pegang tiket, Presiden Soeharto beranjak naik ke lantai tiga. Serangkaian KRL reostatik telah menunggunya. KRL itu berwarna keperakan dengan ornamen strip biru putih. Pintunya bekerja otomatis. KRL mulai berjalan. Soeharto sesekali berdiri dari kursinya, melongok keadaan di sekitar jalur layang melalui jendela. Tersua barisan permukiman padat dan kumuh. Begitu kontras dengan warna-warni cerah tujuh stasiun layang. Perjalanan sejauh 17,8 kilometer tuntas dalam waktu 15 menit. Beda jauh jika berkendara pakai mobil. Habis waktu sekira 90 menit. Soeharto turun sebentar di stasiun Kota. Dia berbicara dengan sejumlah pejabat dan menteri. Kemudian naik KRL lagi untuk kembali ke stasiun Gambir. “Presiden merasa puas dengan peningkatan fasilitas baru ini,” kata Soejono, Dirjen Perhubungan Darat. Inilah kali terakhir Presiden Soeharto naik KRL. Enam tahun berikutnya, dia lengser.
- Peran Connie Sutedja di Dunia Nyata
DI masa jayanya, Connie Sutedja merupakan primadona. Paras geulis mojang Tasikmalaya itu membuat banyak kaum Adam yang kepincut padanya. “Ya banyak dulu yang naksir, sih . Tapi jangan disebut ah , enggak enak sama orangnya. Ada yang sejawat, pernah juga sutradara,” ujarnya saat ditemui Historia di kediamannya di Cilandak, Jakarta Selatan, 11 April 2019. Beberapa di antara yang kesemsem itu pernah menjalin kisah asmara dengan Connie. Sayangnya, tak satupun dari mereka berhasil mengajak Connie naik ke pelaminan. “Banyak yang serius. Kadang saya pacaran sama orang, begitu orang itu mau serius, langsung saya putusin. Sadis banget memang waktu itu saya. Kalau sudah serius ngajak nikah, saya pilih putus saja. Enggak tahu kenapa. Enggak ada angin enggak ada hujan, bingung gitu,” lanjut Connie yang sampai usia 74 tahun ini memilih tetap sendiri. Tapi sejatinya, tidak banyak orang tahu bahwa Connie pernah menikah di usia dini, bahkan sebelum menjalani debutnya di perfilman pada 1964. “Justru ini yang belum pernah dibongkar. Saya itu terjun ke (perfilman) itu istilahnya sudah janda. Dulu di kampung menikah masih muda banget, jadi saya punya anak juga usia muda banget. Makanya orang enggak percaya kalau saya sudah punya anak. Masih ingat saat ketemu Nani Wijaya. Nani, kenalin ini anak saya. ‘Anak dari kuping?’, katanya kaget dia. Ih Nani, ini bener anak saya. Jadi orang pikir saya masih gadis,” ujarnya. Seingat Connie, saat di usia SMA dia dijodohkan dengan pria yang masih kerabat jauh keluarganya. “Iya, saudara jauh, Karsana namanya. Ya namanya di kampung, kalau usia 16-17 tahun kalau belum nikah kan gimana ya pandangan orang. Jadi ya dijodohkan. Kebetulan waktu itu saya juga mau tapi dalam hati saya, enggak lama nih jodohnya,” sambungnya. Suara hati Connie benar menjadi kenyataan. Usia pernikahannya dengan Karsana tak panjang kendati pernikahan itu membuahkan seorang putra, Agus Sutedja. “Akhirnya kemudian pisah dan ya enggak menyalahkan siapa-siapa juga. Waktu ikut (ajang) Ratu Vespa pas saya sudah pisah. Sekarang sudah meninggal orangnya,” sambung Connie. Lama sendiri, Connie kembali pernah jatuh ke pangkuan seorang pria lain yang lama naksir padanya. Adalah Moeslim Taher, Rektor Universitas Jayabaya periode 1962-1988 yang mampu menaklukkan hatinya. "Memang awalnya saya enggak ingin serius sampai menikah. Tapi akhirnya saya bersedia dipersunting pada 1983. Tapi pernikahan keduanya itu pun hanya seumur jagung dan belum sempat memiliki keturunan lagi. "Dua tahun kemudian bercerai lagi. Karena awalnya enggak boleh aktif lagi dan kembali ke dinia film. Padahal di era itu sedang masa puncak karier saya. Awalnya dibilang saya boleh tapi kemudian tidak. Setelah bercerai saya merasa merdeka aja gitu. Tetapi sampai sekarang masih berhubungan baik dengan keluarganya," lanjutnya. Connie akhirnya keukeuh tak menikah lagi setelah gagal dua kali dan menjatuhkan hatinya pada dunia perfilman. “Saya sudah puas sampai saat ini walau enggak dapat (piala) Citra. Cukup satu penghargaan kesetiaan profesi dari Departemen Penerangan. Saya sendiri sudah cinta sekali dunia (film) ini. Apapun kata orang soal dunia film, ini adalah pelengkap kebudayaan Indonesia.” Diguncang Prahara Penipuan Nama besar di dunia film dipupuk Connie dari nol. Sembari menjadi single-parent , dia menapaki tangga demi tangga popularitas hingga akhirnya jadi primadona. Hingga kini pun, Connie masih setia tampil di layar kaca dalam beragam sinetron dan film televisi (FTV), sembari terkadang berbisnis barang antik. Seiring dengannya, keuangan “Ibu Hebring” pun makin menggelembung. Namun pada 2010, ketika dia masih berkibar, pernah tetiba jatuh menghujam bumi. Connie jadi korban penipuan hingga hampir “gulung tikar”. Mengutip Kompas , 29 Maret 2010, Connie ditipu temannya, Syukriani Yunus (SY), yang mengaku seorang pengusaha batubara. Sang pelaku mengajak Connie berbisnis bareng membuka tambang batubara di Maros, Sulawesi Selatan dengan iming-iming keuntungan menggiurkan. Connie setuju. Alhasil, Connie tertipu. Deposito, uang penjualan rumah dan berlian pun raib dengan kerugian mencapai Rp2,6 miliar. Connie Sutedja emosional ketika mengisahkan kasus penipuan yang menerpa dirinya (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Stres saya di situ. Enggak mau syuting, enggak mau apa. Sampai sempat sakit, bolak-balik dirawat ke rumahsakit. Kalau sekarang kasusnya sudah selesai. Dia (SY, pelaku) sudah dipenjara. Tapi ya boro-boro uang balik. Tapi Alhamdulillah , Allah (SWT) baik sekali sama saya. Pas sedang sakit lagi ditemani anak, saya buka-buka Alquran. Tiba-tiba saya ditelefon (rumah produksi) SinemArt. Ditawari peran di drama seri Tukang Bubur Naik Haji pada 2013,” kata Connie. Tapi, Connie tak langsung menerima tawaran itu. Dia belum berniat kembali main di layar kaca sehingga beberapa lama mendiskusikan tawaran itu dengan anaknya. Namun salah seorang utusan SinemArt berhasil membujuknya comeback. Kebetulan, Connie bakal main bareng salah satu sohibnya, Nani Wijaya. “Masih ingat saya, Mbak Nining namanya dari SinemArt yang membujuk saya. Katanya perannya bagus, sudah jalan setahun, menemani Bu Nani juga. Enggak sangka itu anugerah dari Allah. Empat tahun kemudian saya hampir 2000 episode di situ. Keganti! Alhamdulillah…Allah yang ganti, Allah yang ganti, Alhamdulillah malah lebih,” ujar Connie sambil emosional saat menceritakan titik balik hidupnya itu. “Sekarang kalau belum ada calling lagi dari SinemArt, saya milih nunggu. Tawaran lain sih banyak. Tapi kok saya merasa utang budi banget ya sama SinemArt. Enggak apa-apa lah, nunggu, walau makin tua juga makin dikit perannya. Selagi saya mampu, saya enggak pernah merencanakan masa pensiun. Selagi masih ada yang mau pakai saya (untuk peran di layar kaca), saya oke aja,” tutupnya.
- Prabowo dan Kertanagara
Prabowo Subianto tak percaya hasil quick count (hitung cepat) semua lembaga survei yang memenangkan Jokowi-Ma'ruf Amin. Dia juga tak menunggu hasil akhir penghitungan manual KPU yang diumumkan selambatnya 22 Mei 2019. Dia mengklaim menang berdasarkan hasil quick count, exit poll , dan real count yang dilakukan tim internal. Sehingga dia mendeklarasikan diri sebagai presiden. Bahkan sampai empat kali deklarasi.
- Dialog Lewat Tubuh Penari Lengger
LEWAT karya terbarunya, Kucumbu Tubuh Indahku , Garin Nugroho mengajak penonton untuk berdialog dengan sejarah lewat perjalanan seorang penari lengger. Ide cerita itu terinspirasi dari kisah hidup Rianto, penari dan koreografer internasional asal Banyumas, Jawa Tengah. “Garin melihat tubuh saya, yang seorang penari, sebagai perpustakaan budaya,” kata Rianto pada Historia. Dalam Kucumbu Tubuh Indahku, Garin menggambarkan kehidupan seorang penari lengger yang harus menampilkan sisi maskulin dan feminin. Tokoh utamanya, Juno, dikisahkan dalam tiga masa: kecil (diperankan Raditya Evandara), remaja (Muhammad Khan), dan dewasa (Rianto). Bagian yang paling sulit, kata Garin, adalah menggambarkan Juno remaja yang mulai terlihat sebagai lelaki gemulai. Garin bersama timnya berusaha menangkap momen bagaimana sisi feminin hadir dalam tubuh lelaki Juno dan bagaimana ia menjadikan tubuh lelaki (lewat tokoh petinju) sebagai pusat perhatian. Muhammad Khan, pemeran Juno remaja, bekerja keras untuk dapat menampilkan hal tersebut. Khan, begitu ia di sapa, melakukan diskusi panjang dengan Rianto yang mementorinya. Selama syuting, Khan tinggal sekamar dengan Rianto untuk lebih menyatukan tokoh Juno remaja dan Juno dewasa. Untuk mendalami karakter femininnya, Khan pernah mejajal tidur dengan penuh make up dan mengenakan pakaian perempuan. “Aku mau merasakan terbangun sebagai perempuan. Karena dalam akting, teknik bisa dipelajari tapi rasa harus dibangun. Kalau tidak bisa menemukan rasa feminin itu, dalam gerak tubuh pun tidak akan keluar,” kata Khan pada Historia. Kisah penari lengger dipilih untuk menjadi contoh keberagaman ekspresi seksual. Lengger merupakan kesenian yang ditarikan lelaki dengan berdandan ala perempuan. Kesenian ini sudah hadir di tengah masyarakat Banyumas sejak lama dan tercatat dalam Serat Centhini yang keluar pada 1814. Pengambilan cerita ini tentu menjadi kontras di tengah konservatisme sebagian kelompok masyarakat. Rianto mencontohkan, beberapa rekannnya mantan penari lengger terkenal urung kembali menari karena mendapat tekanan dari masyarakat. Pun, lewat tokoh warok yang menjadikan Juno sebagai gemblaknya, Garin membuat pernyataan bahwa hubungan sesama jenis bukan hal baru dalam budaya Indonesia. Pemilihan lengger dan reog merupakan usaha Garin mendekatkan tema-tema tersebut pada penonton. Menurutnya, tema serupa seringkali ditampilkan dengan latar belakang masyarakat urban, bukan di pedesaan yang sebenarnya lebih terhubung dengan penonton. “Harus ada penghormatan pada cultural diversity , tidak ada diskriminasi, kekerasan, dan sejenisnya. Saya mencoba menemukan dialog lewat sejarah tubuh seniman,” kata Garin pada Historia . Lebih jauh, Garin tidak hanya memaknai tubuh semata wujud fisik. Ia juga merupakan metafora tentang sebuah bangsa. Ada banyak persoalan yang diangkat Garin dalam film kesembilan belasnya itu. Selain tentang gender dan seksualitas, ia juga menyinggung perihal memori sebuah bangsa yang dikubur dan enggan dibicarakan karena menimbulkan trauma. Garin Nugroho. Foto Nur Janti/Historia Padahal, menurut Garin, trauma bangsa justru harus dibicarakan dengan tuntas agar tidak melulu berulang. Isu G30S yang sengaja dihadirkannya, misal, merupakan salah satu kasus sejarah yang hingga kini masih berlarut-larut dan jauh dari selesai. “Karena trauma terbesar bangsa ini adalah masalah tahun 1965. Memang tentang metafora, bahwa tubuh kita terperangkap dalam trauma yang tidak dipecahkan,” kata Garin. Ia mencontohkan, keluarga-keluarga yang tersangkut masalah politik besar, seperti peristiwa 1965, berusaha bertahan hidup dengan menutup diri dan harus hidup dengan diri sendiri. Representasi itu ditampilkannya lewat tokoh Bibi si penjual ayam yang diperankan Endah Laras dan pakdhe penjahit (Fajar Suharno) yang hidup sendiri lantaran trauma politik yang tidak dipecahkan. Dengan banyaknya pesan yang dibawanya, Kucumbu Tubuh Indahku menyabet enam penghargaan internasional pada 2018. Dua di antaranya yakni Best Cultural Diversity Award dari Unesco dalam Asia Pasific Screen Awards, Australia dan di Venice Independent Film Critic, Italia. Film teranyar Garin ini pun sudah diputar di 31 festival film internasional di berbagai negara. Di bioskop Indonesia, film yang punya judul lain Memories of My Body ini rilis sejak 18 April 2019.
- Nangke Lande Punye Cerite
SALING ledek dengan kalimat pedas jadi klimaks persaingan Ratmi (Ratmi B-29) dan Connie (Sutedja), janda tetangga Ratmi. Beny (Benyamin S) yang membela pacarnya, Ratmi, latah ikut mengolok-olok Connie yang tak laku-laku lewat sebuah lagu jenaka nan menggelitik: “Nangke Lande”. “ Nangke Belande diencot-encot jande. Jande kagak laku ketiban nangke lande. Yang mane jande yang mane ikan pede. Gue perthatiin due-duenye same. ” Begitulah bagian reff lagu bertajuk “Jande Tue” yang –lebih populer di kalangan awam sebagai “Nangke Lande”– digunakan Beny untuk mengejek Connie. Lagu ciptaan Benyamin S itu jadi ornamen penting dalam film komedi Ratu Amplop (1974). Salah satu film dari “semesta” komedi Benyamin itu yang tak hanya meledak di pasaran nasional tapi juga di mancanegara. “Sampai ke Malaysia dan Singapura pun diputarnya dulu lama itu di bioskop-bioskop sana karena memang juga sukses besar film-film Benyamin di sana,” kata Connie Sutedja kala mengenang kiprahnya di layar lebar dengan Benyamin, kepada Historia , 11 April 2019. Dianggap Menghina Janda Dalam sebuah kesempatan, Benyamin mendendangkan “Nangke Lande” di sebuah acara malam di TVRI . Nahas, show itu ternyata menuai protes. Soeseno, pemirsa asal Jatinegara, menganggap lagu itu menghina para janda. Pemirsa itu pun melayangkan protesnya lewat surat pembaca di Kompas , 22 Januari 1975. Benyamin yang mengaku tak punya niat menghina para janda, memberi tanggapan juga lewat surat terbuka yang lantas dimuat di Kompas , 3 Februari 1975. “Saya baca surat Sdr. Soeseno, Otista III/Belakang 31 Bonanra (Kebon Nanas Utara) perihal ‘Benyamin S. Jangan Menghina Janda’ dalam lagunya ‘JANDE TUE’. Dengan rasa rendah hati, saya mengucapkan beribu-ribu terimakasih yang ikhlas atas tulisan tersebut, sehingga merupakan kontrol diri saya dalam menempuh karier dan kehidupan,” ungkap Benyamin, sebagaimana dikutip Wahyuni dalam Kompor Mleduk Benyamin S: Perjalanan Karya Legenda Pop Indonesia. Lebih lanjut, Benyamin meminta maaf jika ada janda-janda yang tersinggung. Selebihnya, seniman legendaris Betawi itu juga menguraikan maksud lagu itu khusus merujuk pada karakter janda yang diperankan Connie Sutedja dalam film Ratu Amplop , bukan secara umum kepada para janda. Potongan adegan Benyamin S & Connie Sutedja dalam film Ratu Amplop (Foto: Gambar Tangkap Dailymotion) Benyamin menciptakan lagu itu juga untuk “pembelajaran” bersama agar masyarakat, terutama kaum Hawa, tak mencontoh kelakuan si janda yang diperankan Connie dalam film itu. Karakter janda yang diperankan Connie suka mencela dan menghina orang lain hingga akhirnya jauh dari jodoh. “Begitulah lagu yang saya ciptakan yang sesuai dengan skenario. Jadi bukan semata-mata ditujukan kepada semua janda. Tobat-tobat betul kalau lagu itu saya tujukan kepada semua janda. Saya takut kalau janda-janda tersinggung, saya bisa diboikot semua janda. Padahal ibu saya, kakak saya, adik saya, keponakan saya juga janda yang semoga tidak ikut-ikutan Connie Sutedja di dalam film Ratu Amplop ,” tutup Benyamin dalam suratnya. Dikenang hingga Negeri Tetangga Terlepas dari protes terhadap lagu itu, Connie menikmati anugerah lain ketenaran “Nangke Lande” yang tak hanya punya kesan mendalam di “Negeri +62” namun juga sampai ke negara tetangga. Pengalaman itu dia dapat saat tengah berlibur bersama anak, menantu, dan kedua cucunya ke Singapura pada 2011 silam. “Kita di sana kan menyewa mobil gede, sopirnya orang India, mirip (penyanyi) A. Rafiq. Pas lagi nyopirin kita, dia nengok-nengok terus ke belakang sampai benar-benar mengenali saya. ‘ I know you. You film star, yes ?’ Langsung dia nyanyi itu: ‘ Nangke lande diencot-encot jande, ’ sambil nyetir. Cucu-cucu saya ketawa ngakak,” kenang Connie. Sepanjang jalan, sang sopir pun lantas bercerita bahwa ia fans berat film-film Benyamin. Selain hobi nonton film-film Benyamin, sopir India itu juga mengoleksi album-album Benyamin. “Dia penggemar sudah lama karena memang film-film Benyamin diputar terus di sana, sampai satu bulan (diputar) di bioskop sana. Begitu selesai mengantarkan kita, dia bilang akan kasih diskon, syaratnya hanya diminta berfoto bareng,” tutup Connie yang menikmati potongan harga sewa mobil gara-gara lagu itu.





















