Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Agus Hernoto, Legenda Kopassus
April 1962, bertepatan dengan Hari Kopassus. Pasukan gabungan, 30 prajurit Resimen Para Komando Angkatan Darat (kemudian menjadi Kopassus), 18 anggota Pasukan Gerak Tjepat TNI AU, dan dua prajurit Zeni, diterjunkan di sebelah utara Fakfak, Irian Barat. Operasi Banteng I ini dipimpin oleh anggota RPKAD, Letda Agus Hernoto. Agus bergabung dengan RPKAD pada awal tahun 1956. Dia menerima pelatihan langsung dari Mayor Idjon Djanbi. Mantan anggota Korps Speciale Troepen bernama Rokus Bernardus Visser itu ditunjuk sebagai komandan RPKAD pertama. Setelah digembleng untuk menjadi pasukan elite, Agus dan pasukan RPKAD diterjunkan menumpas DI/TII di Jawa Barat. Agus kemudian membuat geger kompleks asrama RPKAD di Batujajar, Jawa Barat. Dia akan menangkap Komandan RPKAD, Mayor Djaelani, karena terlibat dalam Gerakan Zulkifli Lubis. Gerakan yang akan menculik KSAD Kolonel A.H. Nasution itu gagal. Penugasan berikutnya menumpas pemberontakan PRRI/Pesmesta. Agus bergabung dengan Kompi A RPKAD dalam Operasi Tegas. Berhasil dalam operasi itu membuat Agus dianugerahi Satyalancana Saptamarga. Selain itu, saat operasi Agus mendapat jodoh, Wirda, yang memberikan tiga putra: Army Suharyo Hernoto, Bob Heryanto Hernoto, dan Charly Hernoto. Bob menceritakan perjalanan hidup ayahnya sebagai anggota Kopassus dalam biografi Legenda Pasukan Komando: Dari Kopassus sampai Operasi Khusus. Operasi Infiltrasi Misi berikutnya yang dijalani Agus adalah Operasi Banteng I ke Irian Barat. Dia memimpin pasukannya sebagai tim advance atau tim pendahuluan sebelum Operasi Naga di bawah Kapten Benny Moerdani yang diterjunkan di Merauke. Infiltrasi ini dilakukan dengan pertimbangan Belanda tidak akan mengira pasukan Indonesia melakukan penyerangan melalui udara mengingat hutan Irian Barat yang sangat sulit dan berbahaya . Para penerjun kemudian diinstruksikan untuk menyusup ke daerah lawan. Tujuannya mengacaukan situasi dari dalam sekaligus menarik perhatian Belanda agar tertuju ke wilayah daratan (tengah) sehingga pasukan TNI yang akan mendarat di pantai (daerah pinggir) dapat masuk lebih leluasa. Operasi Banteng I sangat berat bahkan menjadi operasi terakhir Agus sebagai anggota RPKAD. Sebelum operasi, Agus mengikuti pendidikan komando di Amerika Serikat. Seluruh anggota tim kemudian menjalani latihan selama tiga bulan di Nusa Kambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Dalam operasi itu, Agus kehilangan banyak anak buah. Dia sendiri tertembak kaki kirinya. Pecahan granat tertancap di punggung kanannya. Anak buahnya berusaha menyelamatkannya. Namun, di tengah situasi krisis itu, Agus memilih jalannya sendiri. Dia memaksa anak buahnya pergi ke tempat yang lebih aman, meninggalkannya sendirian di hutan. Dia tak ingin pergerakan pasukannya menjadi terhambat gara-gara harus membopongnya. Setelah berdebat, akhirnya anak buahnya pergi meninggalkannya sendirian di tengah hutan. Beberapa hari kemudian, pasukan Marinir Belanda yang sedang melakukan pembersihan daerah pertempuran, mendapati Agus tergeletak bersimbah darah. Mereka membawanyake kamp militer Belanda di Sorong,sumber lain menyebut di Hollandia (sekarang Jayapura). “Saat kakinya terluka karena tertembak Belanda, teman-temannya sempat berupaya menyelamatkannya. Namun, karena terdesak, dia ditinggalkann dengan harapan akan dirawat tentara Belanda yang memiliki satuan medis lengkap. Pak Agus kemudian dibawa oleh pasukan Belanda ke Hollandia (sekarang Jayapura),” kata Letjen TNI (Purn) Kiki Syahnakri dalam Timor Timur The Untold Story . Di kamp Belanda, Agus hanya mendapat pengobatan ala kadarnya. Malah terkadang, di tengah interogasi, luka di kakinya ditusuk bayonet agar dia mau membocorkan posisi prajurit TNI lainnya. Dia juga diinterogasi soal kapan pasukan TNI akan menyerang Irian Barat. Agus memegang teguh prinsip “lebih baik mati daripada membocorkan rahasia negara!” Kaki kiri Agus yang hancur karena peluru masih bersarang mulai membusuk hingga muncul belatung. Tentara Belanda memutuskan untuk mengamputasinya. Amputasi kedua untuk merapikan dilakukan di RSPAD Gotot Subroto. Agus Hernoto dan Presiden Soeharto dalam suatu acara. (Dok. Bob H. Hernoto) Presiden Sukarno memberikan penghargaan Bintang Sakti kepada para pejuang pembebasan Irian Barat pada 19 Februari 1963 di Istana Merdeka Jakarta. Namun, Agus tidak mendapatkan Bintang Sakti karena tertangkap pasukan Belanda. Selain mendapatkan kenaikan pangkat dua tingkat dari letnan dua menjadi kapten, dia juga mendapat Satyalancana Satya Dharma yang disematkan oleh Jenderal TNI A.H. Nasution. Agus baru menerima Bintang Sakti pada 5 September 1987, tiga tahun setelah dia meninggal. Ida, istri Agus, menerima Bintang Sakti dari Presiden Soeharto dalam sebuah upacara khusus di Istana Negara. “Dia pantas mendapat penghargaan ini. Saya tahu betul dia sudah berjuang secara tulus dan ikhlas untuk Republik Indonesia,” kata Ida. Penghargaan militer tertinggi ini diberikan kepada Agus setelah Panglima ABRI Jenderal TNI Benny Moerdani berkunjung ke Belanda dan bertemu Kolonel (Purn.) Jan Willem de Leeuw, pemimpin pasukan Belanda yang melawan Agus dan pasukannya di hutan Irian Barat. Dia mengungkapkan rasa hormatnya kepada Agus. “Dia orang yang tidak pernah menyerah. Kami sangat kagum dan menghormati sikapnya yang tidak mau kompromi kendati sudah menjadi tawanan kami. Dia pantas mendapat bintang penghargaan di negara Anda,” kata De Leeuw. “Pak Agus saya kenal dan dikenal banyak orang sebagai perwira yang mendapat anugerah Bintang Sakti. Satu anugerah yang bagi saya sebagai sesama pejuang sangat saya pandang tinggi. Sebab hanya mereka yang menunjukkan pengabdian dan jasa dalam pertempuran yang luar biasa yang akan memperoleh anugerah itu. Jumlah orang yang mendapat anugerah Bintang Sakti sangat sedikit. Sebagai seorang anggota TNI saya amat bangga bahwa salah seorang anak saya kemudian menjadi menantu seorang pemegang Bintang Sakti,” kata Letjen TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprojo. Anaknya, Umi Riyanti menikah dengan Bob Heryanto Hernoto. Agus itu Opsus Sebagai tentara invalid (cacat tubuh), Agus ditawari pensiun dini. Namun, dia menolak dan masih ingin mengabdi di RPKAD. Namun, Komandan RPKAD, Kolonel Moeng Parhadimoeljo mengeluarkan kebijakan untuk mengeluarkan semua anggota yang invalid. Benny Moerdani membela Agus dengan menentang keras kebijakan itu. Akibatnya, Benny juga dikeluarkan dari RPKAD. Benny masuk Kostrad, sementara Agus bergabung dengan Resimen Tjakrabirawa, pasukan pengawal Presiden Sukarno. Resimen Tjakrabirawa terdiri dari satu batalion prajurit terbaik dari tiap-tiap angkatan: RPKAD, Korps Komando (KKO) Angkatan Laut, Pasukan Gerak Tjepat (PGT) Angkatan Udara, dan Brigade Mobile (Brimob) Angkatan Kepolisian. “RPKAD dipimpin oleh Soetaryo. Dia kemudian mengajak Agus bergabung dengan Tjakrabirawa. Agus bertugas seperti Dandenma (Komandan Detasemen Markas) untuk mengurusi tamu, mobil, dan lain-lain,” kata Letkol Cdm. (Purn) dr. Joseph Halim, perwira kesehatan dan anggota Opsus. Agus tak betah di Tjakrabirawa. Dia dan Benny kemudian bergabung dengan Operasi Khusus (Opsus) yang dipimpin oleh Ali Moertopo dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Soeharto. Sebagai Dandenma, Agus memegang peran penting dalam mengatur dan menyediakan berbagai kebutuhan untuk operasi-operasi rahasia. Di Opsus, Agus menjadi orang kepercayaan Ali dan Benny. Bahkan siapa pun yang ingin bertemu dengan Ali dan Benny harus melalui Agus sehingga ada ungkapan: "Agus itu Opsus, Opsus itu Agus." “Begitu istimewanya Opsus, semua instansi meminta bantuan Pak Agus, sampai ada ungkapan Agus itu Opsus,” kata Joseph Halim. Setelah Peristiwa Malari 15 Januari 1974, Opsus dibubarkan. Agus dan semua rekannya di Opsus ditarik ke Bakin di mana Ali menjabat sebagai Deputi Kepala Bakin. “Opsus itu bubar karena saking berkuasanya, orang menganggap Opsus sebagai pemerintah dalam pemerintah,” kata Joseph Halim. Pada akhir 1970-an, Agus terkena kanker hati. Dia rutin menjalani pengobatan di rumah sakit di Singapura. Sampai akhirnya dia meninggal dunia pada 4 September 1984. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
- Connie Sutedja Si Singa Betina dari Marunda
SI Mirah, jagoan cantik yang lihai “maen pukulan” alias silat, beraksi lagi. Cerita rakyat tentang perempuan pendekar berjuluk “Singa Betina dari Marunda” yang populer di masyarakat Betawi itu dipentaskan kembali oleh Sanggar Margasari. Adalah Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta yang mengangkat kisah yang pernah populer saat difilmkan tahun 1971 itu untuk memperingati Hari Kartini pada Sabtu, 13 April 2019. Dalam dongeng-dongeng rakyat Betawi, sosok Mirah laiknya sosok Si Pitung, jawara silat yang acap diceritakan memberantas kesewenang-wenangan. Gelaran yang dipentaskan Sanggar Margasari itu seolah memutar kembali ingatan akan sosok Mirah yang diperankan Connie Sutedja dalam film Si Mirah racikan sineas Sofia WD, istri aktor WD Mochtar. Dalam film itu pula nama Connie Sutedja untuk kali pertama melejit di belantika perfilman nasional –sebelumnya, Connie sudah main di film Anak-Anak Revolusi garapan sutradara Usmar Ismail (1964) namun hanya sebagai pemeran pembantu. Di film Singa Betina dari Marunda, Connie tampil sebagai pemeran utama, memainkan karakter si Mirah. Perannya dalam film-film bertema silat Betawi sudah dirintisnya di film Si Pitung (1970) dan Banteng Betawi (1971) sebagai pemeran pembantu. “Iya, Singa Betina dari Marunda itu film saya yang paling meledak. Itu saya dapat (honor) Rp500 ribu. Heboh rasanya, sampai saya bisa beli rumah walau kecil di Polonia (Jakarta Timur). Di film itu jadi peran utama perempuan pertama. Biasanya kan peran utama (film bertema silat) itu laki-laki,” ujar Connie kala ditemui Historia di kediamannya di Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis, 11 April 2019. Connie dipilih sutradara Sofia WD lantaran sudah tampil di dua film yang mengangkat kisah jagoan Betawi, Si Pitung. Selain karena paras cantiknya yang natural, Connie juga sudah fasih berlogat Betawi meski lahir di Tasikmalaya, 10 November 1944. “Saya banyak belajar saat ikut lenong, termasuk di TVRI. Ya karena lenong ngomongnya (dialognya) harus Betawi sesuai tuntutan skenario,” sambungnya. Mengutip Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage, Volume 3 , film yang diproduksi PT Sumandra Film itu berkisah tentang sosok si Mirah yang keahlian silatnya menurun dari ayahnya, Bodong. Bersama ayahnya, Mirah rutin menjaga kampung Marunda dari berbagai gangguan keamanan yang dilakukan para bandit jago silat. Lantaran berwajah cantik, si Mirah ditaksir banyak pria. Namun, Mirah hanya mau dipersunting pria yang mampu mengalahkannya. Akibatnya, banyak pria datang melamar tapi harus gigit jari lantaran keok saat beradu silat oleh Mirah. Connie Sutedja mengisahkan pengalamannya syuting film Singa Betina dari Marunda. (Randy Wirayudha/Historia.ID) Behind the Scene Singa Betina dari Marunda Connie masih ingat betul kala ia harus memerankan Mirah. Lantaran sama sekali tak punya bekal beladiri, Connie lebih dulu mesti mempelajarinya. Hampir sebulan dia dilatih praktisi pencak silat sebelumsyuting. “Belajar silat khusus. Gurunya itu Octav Dirgantara (Setiadji). Sejak 1980 dia buka sekolah silat di Jerman. Kita diajari gerakan-gerakan silat kombinasi, enggak silat Betawi justru. Karena saya diperlukan fighting- nya saja. Jadi yang penting kuda-kudanya harus mantap. Fighting- nya juga dicampur karate,” ungkap Connie. Selain dengan Oktav Dirgantara, beberapakali juga Connie berkonsultasi dengan salah satu seniornya, Raden Mochtar. “Dia juga berjasa mengajari saya karena rumahnya tetanggaan sama saya di Polonia. Dia mengajari saya agar kuda-kuda dan bagian di sini nih , harus kuat juga karena ada adegan saya harus ‘ ngelempar’ WD Mochtar,” sambungnya sambil menunjuk pundak dan leher bagian belakangnya. Di film itu pun Connie mendapat pengalaman pertama film action tanpa pemeran pengganti. Semua adegan, termasuk adegan berbahaya, dilakoni Connie sendiri sesuai permintaan Sofia WD. “Ada adegan saya terjun dua meter, itu dilakukan sendiri, enggak pakai stand-in (pemeran pengganti) untuk diambil gambar pakai kamera low angle . Sofia WD kalau merayu saya untuk melakoni,’ Aduh Connie, kamu cantik, geulis , enggak apa-apa. Di bawah kan ada Om Parya (staf art ) dijagain pakai kasur’. Saya gilanya, nekat saja, hahahaha,” ujarnya sambil tertawa lepas. Lantaran melakukan adegan berbahaya itulah Connie sampai terluka di bagian kaki. Tapi itu bukan halangan, Connie tetap melanjutkan syuting dengan kaki diperban. “Waktu ada adegan di kali, saya juga kena celaka. Kaki saya kena paku dan beling. Akhirnya dibawa ke dokter, suntik tetanus. Dikasih libur hanya sehari, besoknya syuting lagi. Ya syutingnya pakai perban tapi didampingi dokter. Ya itulah bedanya dengan layar lebar sekarang ya. Lebih enak, semuanya juga lebih canggih. Kalau adegan-adegan berbahaya sekarang mah bisa pakai (efek visual) komputer,” tutupnya.
- Kriteria Pemimpin Ideal Menurut Konghucu
SEBELUM dalam debat terakhir calon presiden (capres) Indonesia yang dihelat pada Sabtu (13/4) malam kemarin menyeru “kita harus contoh ... Republik Rakyat Tiongkok”, Prabowo Subianto pernah mengakui bahwa “dalam menjalankan kepemimpinan, saya banyak sekali dipengaruhi oleh sejarah Tiongkok, oleh filosofi Tiongkok, oleh pelajaran-pelajaran Tiongkok.” Demikian dinyatakan capres nomor urut 02 itu di hadapan para pengusaha Tionghoa yang mengundangnya makan malam bersama pada penghujung tahun 2018 silam.
- Omar Dani, Kisah Tragis Panglima Sukarnois
DI kalangan perwira tinggi AD (Angkatan Darat), Menteri/Panglima AU Omar Dani kerap kali dirundung. Namanya dijengkali sekaligus disegani. Dani dijengkali karena dianggap masih perwira belia. Di jajaran panglima angkatan perang, Dani adalah yang termuda. Meski demikian, reputasi Dani tetap diperhitungkan sebab dia panglima pilihan Presiden Sukarno. “Sejak saya di Kalimantan Timur, saya tidak senang pada orang itu (Dani). Saya selalu berpikir tentangnya (sebagai) ‘anak kemarin sore sudah mau memimpin kita’,” demikian pendapat Soemitro kepada Ramadhan K.H. dalam Soemitro: Dari Panglima Mulawarman sampai Pangkopkamtib . Soemitro adalah salah satu jenderal AD yang punya pengalaman tidak enak terhadap Dani. Waktu itu, Soemitro menjabat Panglima Mulawarman di Kalimantan Timur. Di saat yang sama, Omar Dani ditunjuk sebagai Panglima Komando Siaga (KOGA) dalam rangka konfrontasi ganyang Malaysia. Sebagai panglima di wilayah perbatasan dengan Malaysia, Soemitro harus menyokong rencana operasi KOGA. “Omar Dani, bocah kemarin sore, masih belum punya pengalaman perang,” kata Soemitro. “Tetapi malah disuruh memimpin kami-yang sudah bongkel-bongkel , yang sudah sejak zaman revolusi 45 sampai tua masih terus diajak perang.” Digembosi Oknum AD Penujukan Omar Dani sebagai Panglima KOGA cukup menohok bagi pihak AD. Perasaan itu sudah mengakar sejak Presiden Sukarno mendapuk Dani selaku Panglima AU. Menurut mereka, masih banyak perwira AURI lain yang jauh lebih senior ketimbang Omar Dani. Dan lagi, Dani dikenal sebagai panglima Sukarnois yang mendukung Sukarno tanpa reserve. Dalam perkembangannya, AD menampilkan sikap antagonis terhadap AU. “Mereka yang berada di luar sering lupa, Omar Dani memang seorang komandan yang handal, berpendidikan cukup bagus, berpengalaman tempur serta mempunyai prestasi bagus sebagai komandan skuadron,” ujar mantan tokoh AU Marsekal Madya (Purn.) Boediardjo dalam Siapa Sudi Saya Dongengi . Ketika menangani konfrontasi Malaysia, disitulah Dani “dihajar” oleh oknum petinggi AD. Semula yang membantu Dani adalah Laksamana Muda Mulyadi, deputi operasi AL (wakil I) dan Brigjen Achmad Wiranatakusuma, kepala staf Kostrad (wakil II). Pada awal 1965, konflik dengan Malaysia kian memanas. KOGA diganti menjadi Komando Mandala Siaga (Kolaga). Susunan pembantu Dani diganti lagi. Mayjen Soeharto, panglima Kostrad menjadi wakil I sementara Laksamana Mulyadi turun menjadi wakil II. Kabarnya, Soeharto begitu menginginkan posisi dalam jajaran tertinggi Kolaga sehingga dia menggeser Achmad Wiranatakusuma. Menurut Omar Dani, sebenarnya kinerja Achmad Wiranatakusuma cukup memuaskan. Achmad cukup berjasa menyusun organisasi dan rencana operasi KOGA. Selain itu, Dani dan Achmad membentuk staf yang kompak dengan sinergi kerjasama lintas angkatan. Kedatangan Soeharto membawa perubahan organisasi, mengutak-atik rencana, dan mengacaukan strategi dasar Kolaga sehingga meruwetkan suasana. “Segala apa yang diminta Jenderal Soeharto, tidak ada seorangpun yang berani menolaknya,” ujar Omar Dani dalam biografinya Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani yang disusun Benedicta Surodjo dan J.M.V. Soeparno. Kepemimpinan Omar Dani dalam Kolaga gagal mencapai sasaran. Rencana operasi kerap kali tidak berjalan di lapangan karena AD punya agenda tersendiri untuk mengakhiri konfrontasi. Soeharto secara diam-diam menjalankan operasi khusus berupa aksi penyelundupan pangan ke pihak musuh. Gerakan klandestin ini dijalankan anak buah Soeharto di Kostrad: Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Mereka mengerahkan 200 speedboat yang dipakai melintasi Sumatra, Malaysia dan Singapura. Keduanya juga berperan melakukan lobi-lobi rahasia terhadap pejabat politik Malaysia yang bertentangan dengan kebijakan Omar Dani. Selain itu, ada lagi Brigjen TNI Kemal Idris, panglima komando tempur I yang enggan melaksanakan perintah komando untuk melakukan infiltrasi. Puncaknya, dalam rapat pimpinan KOTI, Soeharto mengatakan kepada Presiden Sukarno bahwa Omar Dani kurang pantas menjadi panglima Kolaga. Omar Dani sendiri tidak mengambil tindakan atau mengadu ke mana-mana atas perlakuan yang menyudutkan dirinya itu. Hanya dengan Brigjen Soepardjo, panglima komando tempur II, Omar dani dapat bekerja sama dengan baik. Menurut sejarawan Humaidi, pembangkangan terhadap komando Omar Dani merupakan suatu petunjuk bahwa AD tidak sepenuhnya mendukung upaya Konfrontasi Malaysia. AD beranggapan konfrontasi adalah suatu langkah provokasi PKI menarik dukungan masyarakat dan memperkeruh situasi politik. Sehingga keberlangsungannya harus dihindari. “Keikutsertaan Angkatan Darat dalam Konfrontasi Malaysia adalah suatu tindakan yang kontra-produktif, karena isu konfrontasi hanya menguatkan dukungan bagi kaum komunis yang menjadi pendukung politik gagasan tersebut,” tulis Humaidi dalam tesisnya di Universitas Indonesia “Politik Militer Angkatan Udara Republik Indonesia dalam Pemerintahan Sukarno 1962-1966.” Rontok Setelah Gestok Hari laknat itu tiba: 1 Oktober 1965. RRI mengumandangkan berita terjadinya operasi militer Gerakan 30 September (G30S) yang telah menyelamatkan Presiden Sukarno. Gerakan yang dipimpin Letkol Untung itu menciduk sejumlah jenderal AD yang diduga akan melancarkan kudeta Dewan Jenderal. Omar Dani menganggap kejadian itu bagian dari konflik internal AD. Segera dia mengeluarkan surat perintah harian yang mengatakan: AURI tidak turut campur dalam G30S dan AURI setuju dengan tiap gerakan pembersihan yang diadakan dalam tubuh tiap alat revolusi sesuai garis Pemimpin Besar Revolusi (Presiden Sukarno). Namun setelah perintah harian itu tersiar, baru diketahui Gerakan 30 September didalangi oleh biro politik yang dipimpin oleh D.N. Aidit, pemimpin PKI. Jelas, Dani mengambil langkah tergesa-gesa yang berakibat fatal dalam hidupnya. “Perintah harian itu kemudian menjadi persoalan besar di mata kelompok Soeharto,” demikian catatan sejarawan Asvi Warman Adam dalam Menguak Misteri Sejarah . “Perintah itu dianggap oleh kelompok Soeharto sebagai bukti keterlibatan Omar Dani dalam mendukung G30S.” Situasi politik menggoyahkan kepemimpinan Presiden Sukarno. Secara perlahan, kekuasaan beralih ke tangan Jenderal Soeharto. Dengan dalil pemulihan keamanan yang diperoleh lewat Surat Perintah 11 Maret, Soeharto mulai menangkapi orang-orang yang dicurigai, termasuk Omar Dani. Tudingan yang memberatkan Dani adalah kawasan Pangkalan AU Halim Perdana Kusumah yang kerap dijadikan tempat latihan Pemuda Rakyat, organ pemuda PKI. Selain itu, beberapa anggota AURI diduga terlibat dalam G30S. Pada April 1966, Omar Dani ditahan untuk dihadapkan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Jurnalis kawakan Julius Pour dalam G30S: Fakta atau Rekayasa mencatat, Omar Dani menyadari dirinya bakal diajukan ke depan sidang peradilan yang penuh fitnah, tekanan serta campur tangan penguasa. Di depan sidang Mahmilub, dengan sikap gagah Omar Dani memberi penegasan: “Segala macam tindakan dari anggota AURI selama berlangsungnya Peristiwa G30S, semuanya tanggung jawab saya, sama sekali bukan tanggung jawab mereka.” Pengadilan Mahmilub pada akhirnya menyatakan Omar Dani bersalah. Panglima Sukarnois ini dijatuhi vonis hukuman mati. Namanya pun dinista selama rezim Orde Baru.*
- Connie Sutedja Si Ratu Vespa
PARAS geulis khas priangan itu masih saja tampak. Kerutan-kerutan di wajah yang mengiringi usia yang menginjak 74 tahun sama sekali tak menghilangkan kharismanya. Sesekali, ia menyibakkan kipas yang dipegangnya saat memutar kembali kaset ingatan di kepalanya. Connie Sutedja, aktris kawakan lintas zaman itu hingga sekarang masih eksis di seni peran. Masyarakat awam mungkin mengenalnya sebagai “Bu Hebring”. Sebagian penikmat film bisa jadi paling kenal dengan karakternya sebagai wanita judes bermulut tajam yang acap jadi lawan main Benyamin S. Kesan ini mungkin yang paling ditangkap generasi sekarang lantaran film-film Benyamin S masih acap diputar di stasiun-stasiun TV swasta. Beberapa pemerhati film juga mengenalnya sebagai si Mirah, karakter jagoan utama dalam film Singa Betina dari Marunda . Connie memang berkiprah di dunia layar lintas genre. Hampir semua tema film dengan bermacam karakter yang diperankannya selalu dinikmatinya. “Horor ada, drama juga ada. Ya kalau saya tergantung dikasih apa saja suka. Walau kalau boleh pilih, saya senang genre komedi meski komedi itu enggak gampang. Di luar layar lebar, saya juga pernah main lenong di TVRI. Mereka (seniman-seniman lenong, red. ) itu kaya dengan improvisasinya. Saya jadi banyak belajar juga,” tutur Connie saat ditemui Historia di kediamannya di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, Kamis 11 April 2019. Bermula dari Kontes Ratu Vespa Lahir di Tasikmalaya pada 10 November 1944 dari pasangan Sutedja dan Hadijah, sosok bernama asli Sukarni itu mengaku tak pernah bercita-cita jadi publicfigure . “Karena memang dulu ibu saya senang sosok Bung Karno (Presiden Sukarno), makanya namanya Sukarni. Mungkin kalau saya lahirnya laki-laki, pasti dikasih nama sama, Sukarno,” sambungnya. Connie Sutedja sejak belia sudah acap ikut ajang-ajang kecantikan (Dok. Connie Sutedja) Sedari belia, dia memang sudah senang dengan film. “Dulu awalnya bersentuhan dengan film itu karena senang sekali nonton Tarzan itu di Bioskop di Tasik. Saya jadi suka membayangkan ikut gelantungan gitu, ‘Auoooooo’, hahahaha …,” lanjutnya diiringi gelak tawa. Beranjak remaja, Connie gandrung ikut ajang-ajang unjuk kecantikan. Di salah satu ajang itulah Connie mendapat ajakan main film untuk kali pertama, Anak-Anak Revolusi . Sebagaimana dimuat dalam Apa dan Siapa Orang Film Indonesia , Connie menang kontes Ratu Vespa tahun 1964 dan segera menarik perhatian Usmar Ismail yang tengah menggarap film kolosal bertema perang kemerdekaan itu. “Sebenarnya waktu masih sekolah juga sudah ikut drama-drama gitu, walau belum ada pikiran akan jadi artis. Hobi dan bakat sudah ada dan sesudah dewasa saya suka ikut kontes kebaya, kontes kacamata, dan kontes Ratu Vespa. Itu di Bandung dalam rangka HUT Divisi Siliwangi 1964. Alhamdulillah menang,” kata Connie. Tak hanya bermodal cantik, kontes yang sudah digelar sejak 1962 itu juga mengharuskan para pesertanya terampil menunggangi skuter khas Italia itu. “Pakai vespa punya sendiri, lalu saya pakai kebaya naik vespa, bergaya-gaya, terus atraksi muter-muter dengan vespanya. Saya kebetulan pakai kebaya khas mojang priangan dan mungkin di situ poinnya saya menang, walau yang lain juga pakai baju-baju daerah. Tapi mungkin juga karena lagi musimnya lagu ‘Mojang Priangan’, jadi saya menang,” ujarnya lagi. Dari situlah awal kariernya bermula. Salah satu asisten Usmar, Marsito Sitorus, melacak keberadaan Connie yang kembali ke kampung halamannya usai mengikuti Kontes Ratu Vespa. Connie segera ditawari main sebagai serdadu Laswi (Laskar Wanita) di film produksi Perfini itu berjudul Anak-Anak Revolusi . “Ya, jadi itu film pertama saya, bukan Madju Tak Gentar . Saya diundang datang ke Hotel Preanger di Bandung. Di sana saya ketemu langsung dengan Pak Usmar. Ya di- interview lah, ditanya yang umum-umum. Yang paling saya ingat, Pak Usmar berpesan, bisa enggak, ngomongnya pakai bahasa Indonesia karena bahasa Sunda saya kok tebal banget katanya,” terang Connie. Debut di Layar Lebar Hanya sekali interview , Usmar Ismail langsung sreg dengan sosok Connie. Parasnya sangat khas priangan dan tak punya dandanan aneh-aneh cocok untuk peran pembantu yang dibutuhkan sang sineas legendaris itu. “Ya dilihat mungkin rambut saya panjang natural, kuku-kuku saya enggak dicat. Mungkin memang dia waktu itu butuhnya sosok yang Sunda banget. Karena di film itu ada satu lagi Armand Effendi yang dari Garut. Mungkin ya supaya atmosfer priangannya terasa,” sambungnya. Alih-alih menggunakan nama aslinya, dia sudah pakai nama Connie di film itu. Pasalnya, itu nama panggilan sehari-hari di keluarganya sejak kecil. Connie pun menjalani debutnya bersama para pemain yang sudah senior macam Sukarno M. Noer, Rahmat Hidayat, Rita Sahara, dan Wahab Abdi. “Itu kita syutingnya di Ciwidey, Soreang. Tapi sebelum mulai kita dilatih dulu, saya tentara dari Batalyon Cendrawasih selama satu bulan di Situ Patenggang. Personel-personelnya kan ikut main juga. Diajari menembak juga pakai pistol dan senapan karena karakter saya kan juga akan membawa senjata,” jelasnya. “Di film pertama itu saya dapat honor Rp150. Lumayan banyak di masa itu. Kan perannya juga capek ya, lari-lari juga. Waktu itu honor pertama saya belikan emas, karena saya hobi beli mas, kalung, ya namanya orang kampung dulu.” Kendati masih belum punya bayangan apakah akan terus berkiprah di dunia perfilman usai film perdananya itu, Connie serius di dunia akting. Keluarganya pun mendukung. “Hanya saja, ayah berpesan, jangan sembarangan. Jaga nama besar keluarga,” ungkapnya. Connie Sutedja hingga kini masih setia di seni peran lewat beragam sinetron dan FTV (Randy Wirayudha/Historia) Connie betul-betul merasakan “mitos” tangan emas seorang Usmar Ismail. Terbukti sampai saat ini Connie tercatat sudah terlibat dalam 50 produksi layar perak. Belum lagi eksistensinya yang masih berkibar di beragam judul serial drama, sinetron, dan FTV. “Orang bilang, siapa artis yang didapatkan Usmar Ismail, bakal jadi, bakal terus (berkiprah). Saya mah waktu itu enggak hirau. Saya juga berpikirnya satu film, sudah selesai. Tapi ternyata dari Sarinande menawarkan di film Madju Tak Gentar (1965). Makanya orang paling berjasa buat saya dalam perfilman itu Pak Usmar Ismail yang menemukan saya,” kata Connie menutup pembicaraan.
- Katie dan Margaret yang Berjasa dalam Riset Antariksa
KATIE Bouman membuat gebrakan. Berkat algoritma yang disusunnya, foto lubang hitam bisa terwujud pertamakali dalam sejarah. “Saya sangat senang akhirnya kami dapat membagikan apa yang telah kami kerjakan selama beberapa tahun terakhir. Gambar yang ditampilkan hari ini adalah kombinasi dari gambar yang dihasilkan oleh berbagai metode,” tulis Katie dalam akun Facebook -nya. Gambar yang dirilis NASA menunjukkan bayangan lubang hitam supermasif di pusat galaksi Messier 87 (M87), sebuah galaksi elips berjarak sekitar 55 juta tahun cahaya dari Bumi. Lubang hitam M87 punya masa 6,5 miliar lebih berat dari Matahari. Pengambilan foto lubang hitam tersebut menggunakan delapan teleskop radio (Event Horizon Telescope, EHT). Kedelapan teleskop tersebar itu berada di Hawaii, Meksiko, Arizona, Sierra Nevada Spanyol, Gurun Atacama Chili, dan Antartika. Semuanya beroperasi secara bersamaan untuk menagkap foto lubang hitam. Katherine Louise Bouman lahir di Indiana, 9 May 1989. Ahli komputer itu menyelesaikan studi doktoralnya di Massachusetts Institute of Technology (MIT). The Guardian menyebut, Katie bergabung dengan tim proyek penyusunan algoritma enam tahun lalu, ketika usianya masih 23 tahun. Ia duduk sebagai peneliti muda, mengembangkan alogaritma untuk menyusun data dari teleskop menjadi satu gambar yang koheren. Setelah tiga tahun membangun kode pencitraan, Katie bekerja dengan puluhan peneliti EHT selama dua tahun untuk mengumpulkan pencitraan lubang hitam. Pada Juni 2018 semua data teleskop akhirnya terkumpul. Katie bersama peneliti lain lalu menguji alogaritma yang sudah mereka susun di Harvard, sampai akhirnya foto lubang hitam itu rilis Rabu, 10 April 2019. Dalam sejarah penelitian antariksa, Katie tak sendiri. Ada juga Margaret Hamilton, perempuan yang berjasa dalam pendaratan tim Neil Amstrong di bulan pada 1969. Margaret lahir di Indiana, 17 Agustus 1936. Lulusan jurusan matematika Universitas Michigan tahun 1955 itu kala berusia 24 tahun bergabung sebagai programmer di MIT. Dari MIT ia bergabung dengan proyek Apollo 11 –yang dicetuskan Presiden John F Kennedy pada 1961– sebagai peneliti. Keikutsertaannya terjadi lantaran program pendaratan manusia di bulan merupakan kolaborasi pemerintah dengan MIT. Margaret bekerjasama dengan 400.000 peneliti lain. Ia duduk sebagai kepala Divisi Rekayasa Perangkat Lunak dari Laboratorium Instrumentasi MIT. Margaret bertugas mengembangkan sistem bimbingan dan navigasi untuk Apollo 11. Sebagai ahli komputer, ia memimpin tim yang mengembangkan perangkat lunak dengan pengujian ketat. “Tidak ada kesempatan kedua. Kami semua tahu itu,” kata Margaret seperti dimuat dalam situs NASA. Progam yang disusun Margaret berhasil. Amstrong yang menjajal software bikinan Margaret berhasil mendarat di bulan pada 20 Juli 1969 bersama dua rekannya, Michael Collins dan Edwin “Buzz” Aldrin. Perangkat lunak panduan Apollo 11 bikinan Margaret sangat mutahir dan tidak terjadi kesalahan atau kemacetan sistem. Kesuksesan program itu kemudian dipakai pula untuk roket Skylab, Space Shuttle, dan sistem fly-by-wire digital di pesawat (sistem yang membantu pilot mengoreksi kendali terbang pesawat). Atas temuan pentingnya ini, NASA memberikan penghargaan khusus untuk Margaret pada 2003. “Penghargaan tersebut termasuk penghargaan finansial terbesar yang pernah diberikan NASA kepada individu mana pun hingga saat itu.” Ia kembali mendapat penghargaan pada 22 November 2016 ketika Presiden Barack Obama memberi Presidential Medal of Freedom untuk kontribusinya atas pendaratan sukses Apollo 11.
- Awal Modernisasi Perekonomian Mangkunegaran
BISING kendaraan seolah lenyap begitu memasuki Mangkunegaran. Luasnya kompleks keraton seolah membuat suara kendaraan-kendaraan tak mampu memasukinya. Sebagai gantinya, yang terdengar hanya suara desis angin, kicau burung, dan tawa riang anak-anak yang berlarian. Siang 18 Maret 2019 itu, Mangkunegaran tak ramai. Selain serombongan turis asing, hanya ada satu-dua keluarga dan beberapa mahasiswa yang berkunjung. “Kalau musim liburan, dari berbagai kota itu banyak ke sini. Satu sekolah kadang-kadang 10 bus, 15 bus. Ya dari berbagai kota,” ujar Supriyanto dari Dinas Urusan Istana Mangkunegaran kepada Historia. Para turis itu terlihat kagum terhadap bangunan maupun benda-benda antik koleksi Museum Puro Mangkunegaran. Mayoritas kondisinya masih terawat baik. “Ada kewajiban turun-temurun untuk memelihara. Memelihara biar generasi berikutnya tidak kehilangan sumber, kehilangan arah. Nah itu diupayakan tetap terpelihara,” sambungnya. Modernisasi Ekonomi Kesadaran para penguasanya memelihara warisan leluhur berperan penting dalam memajukan Mangkunegaran. Dipadukan dengan pengetahuan baru yang diperoleh dari luar, kesadaran itu membuat Mangkunegaran memulai banyak hal baru di zaman banyak kerajaan di Nusantara belum mengenalnya. Di bidang ekonomi, Mangkunegaran mempelopori penggunaan sistem perekonomian modern. Hal itu dimulai oleh Mangkunegara IV. “Untuk menopang keuangan praja, ia tidak hanya mengandalkan pajak secara tradisional sebagaimana yang umumnya berlaku di kerajaan Jawa, tetapi mengembangkan perusahaan-perusahaan perkebunan dan industri pengelolaannya untuk menopang perekonomian praja,” tulis Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944 . Untuk itu, langkah pertama yang diambilnya setelah naik takhta adalah langsung mengambil kembali tanah-tanah apanage (tanah lungguh). Sebagian besar tanah apanage itu telah disewakan pemegangnya kepada para pengusaha swasta Eropa. “Penarikan tanah dimulai dari kalangan keluarga raja yang berlangsung dari tahun 1862-1871. Setelah itu baru dilanjutkan dengan para patuh lainnya, termasuk para anggota Legiun Mangkunegaran. Tindakan ini mendapat dukungan dari residen Nieuwenhuizen. Pada tahun 1871, tanah lungguh yang telah ditarik mencapai luas 121,25 jung atau 485 bau yang berasal dari lungguh yang diberikan kepada delapan putra Mangkunegara II, dua putra Mangkunegara III, tiga putra Mangkunegara IV, dan seorang saudara dari Mangkunegara IV,” tulis Wasino dalam buku lainnya, Kapitalisme Bumiputra: Perubahan Masyarakat Mangkunegaran . Para pemegang tanah apanage kemudian digaji dengan uang setiap bulan, bukan lagi menerima bayaran dari hasil pengusahaan tanah itu. “Perubahan dari sistem gaji tanah apanage menjadi uang merupakan suatu loncatan yang luar biasa dari sebuah praja tradisional di Jawa,” tulis Wasino dalam buku lainnya. Selain digaji, para pemegang apanage yang tanahnya ditarik juga mendapat ganti rugi yang jumlahnya berbeda-beda tergantung luas dan kualitas tanah. Setiap jung diganti f 120 per tahun. Mereka juga mendapatkan pembagian keuntungan bila bekas tanah mereka menguntungkan setelah diusahakan. Selain mengambil kembali apanage yang dipegang kalangan keluarga, tulis Vincent JH Houben dalam Keraton dan Kompeni: Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870 , “Mangkunegara IV mencoba mendapatkan kembali kekuasaan atas tanah-tanah yang telah disewakan kepada orang-orang Eropa. Dua kali usaha yang dilakukanya untuk itu, pada tahun 1856 dan 1877, gagal.” Tanah-tanah yang telah kembali itu oleh Mangkunegara IV lalu digunakan untuk pertanian dan perkebunan secara modern seperti yang dilakukan pemerintah kolonial atau perusahaan swasta Eropa. Selain perkebunan kopi dan tebu yang jadi andalan, tanah-tanah itu digunakan untuk penanaman padi boga, kina, kapas, tembakau, dan lain sebagainya. Mangkunegaran juga mendirikan pabrik gula modern, yakni Colomadu (1861) dan Tasikmadu (1871). Memakan biaya sebesar 400 ribu gulden, pendirian PG Colomadu dilakukan setelah ada pinjaman dana dari pemerintah dan Mayor China di Semarang Be Bin Coan. Untuk mendukung perniagaan itu, Mangkunegara IV memprakarsai pembangunan Stasiun keretaapi Balapan sebagai bagian dari jalur keretaapi Solo-Semarang. Besarnya modal yang dikeluarkan Mangkunegaran sebanding dengan hasil yang didapatkan darinya. “Perusahaan perkebunan kopi serta perkebunan tebu dan pabrik gula yang paling besar sumbangannya bagi pendapatan Praja Mangkunegaran. Pada kurun waktu 1871-1881, Praja Mangkunegaran menerima laba dari hasil penjualan kopinya sebesar f 13.873.149, atau f 1.261.195, suatu jumlah penerimaan yang cukup besar bagi sebuah kerajaan tradisional,” tulis Wasino. Ketika mangkat, Mangkunegara IV mewariskan kekayaan sebesar 25 juta gulden.
- Jasa Sang Insinyur Teknik Sipil Pertama Indonesia
Pada masa pendudukanJepang didirikan Bandung Koo Gyoo Dai Gaku tahun 1944. Perguruan tinggi ini sebagai kelanjutan dari Technische Hoogeschool yang ditutup pada 1942. Setelah Indonesia merdeka pada 1945, Bandung Koo Gyoo Dai Gaku diambil alih dan diubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik (STT) Bandoeng yang dipimpin oleh Prof. Ir. Roosseno. Tak lama berjalan, STT Bandoeng mengungsi ke Yogyakarta karena terjadi perang kemerdekaan melawan Sekutu dan Belanda. STT Bandoeng dibuka kembali di Yogyakarta pada 17 Februari 1946 (ditetapkan sebagai Hari Perguruan Tinggi Teknik). Pemrakarsanya adalah Ir. Wreksodiningrat, insinyur teknik sipil pertama Indonesia lulusan Belanda. Dia kemudian menggantikan Roosseno sebagai pemimpin STT Bandoeng pada 1 Maret 1947. Selain itu, kata R.A. Endang Kusumaningsih, cucu Wreksodiningrat, pada saat perang kemerdekaan melawan Belanda, “Bapak Wreksodiningrat aktif memberi arahan strategi perang rakyat semesta melalui perencanaan rute jalan, pelumpuhan jembatan untuk mendukung tindakan penyerangan oleh para pejuang.” Dalam profil ft.ugm.ac.id disebutSTT Bandoeng kemudian diubah menjadi STT Jogjakarta. Agresi Militer Belanda kedua pada 1948 membuat STT Jogjakarta dan Balai Perguruan Tinggi Swasta Gadjah Mada (cikal bakal UGM) ditutup. Setelah sempat digabungkan dengan Sekolah Tinggi Kedokteran, STT Jogjakarta kemudian menjadi Fakultas Teknik UGM. Menurut Teuku Ibrahim Alfian, dkk. dalam Biografi Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta, Wreksodiningrat termasuk tokoh yang berperan penting dalam persiapan pendirian UGM. Pada 20 Mei 1949, dia sebagai pemimpin STT Jogjakarta mengikuti rapat persiapan pendirian UGM di pendopo kepatihan. Rapat yang dipimpin oleh Prof. Soetopo itu dihadiri Sultan Hamengkubuwana IX,Prof. Dr. Prijono, Prof. Dr. Sardjito, Prof. Ir. Harjono, dan lain-lain. Setelah STT Jogjakarta bergabung dalam UGM, Prof. Ir. Wreksodiningrat diangkat menjadi dosen, pengurus/ketua,dan guru besar bidang teknik sipil Fakultas Teknik UGM (1947-1951). Dia juga menjadi anggota senat pertama dan anggota dewan kurator pertama UGM serta anggota panitia penaksir harga tanah untuk pembangunan gedung pusat UGM. Sebagai dosen, kata Endang, Wreksodiningrat mengajar mata kuliah teknik pengairan, konstruksi kayu, teknik jembatan, dan konstruksi jalan raya. Dalam mengajar dia tidak hanya memberi rumus-rumus dan teori, tetapi juga menceritakan pengalaman-pengalamannya dalam bidang konstruksi. “ Prinsip dalam mengajar nya : disiplin dan serius, mencintai para mahasiswanya dan kepada mahasiswa terdekat, orang tuanya selalu ditanyakan keadaannya. Dijuluki ‘Baladewa’ karena bisa mendadak marah, tapi maksudnya adalah baik untuk mahasiswanya,” kata Endang. Menurut Alfian, dkk., Wreksodiningrat mempunyai peninggalan yang tak dapat dihapuskan dalam sejarah. Pertama, pada masa mudanya di samping giat dalam Indonesische Vereeniging (Perhimpunan Hindia) di Negeri Belanda, dia juga aktif dalam kepengurusan Wegen Vereeniging (Wegenraad) dan anggota Wegen Commisi untuk Jawa dan Madura. Kedua, Wreksodiningrat mempunyai hasil karya berupa pembuatan bangunan-bangunan antara lain: pengairan di Gebong, Kera, Sakra Pulau Lombok; pembuatan jalan raya dari Mataram ke Tanjung dan ambur-ambur dengan jembatannya; pekerjaan penyehatan lingkungan pelabuhan di Pulau Lombok. Pada 1939, dia membuat makam Pakubuwono X di Kompleks Astana Imogiri; membangun pintu gerbang (gapura) makam Pakubuwono X yang kemudian hancur karena gempa; serta membangun jaringan air bersih dantembok keliling di pemakaman Imogiri. Pada 1940, Wreksodiningrat membuat penangkapan air minum dari mata air Babon untuk disalurkan ke daerah Solo dan Surakarta. Di samping itu , dia membuat jembatan besar dan kecil seperti Jembatan Serayu, Jembatan Bantar Kulonprogo , dan Jembatan Gawan Sragen, serta Terowongan Ijo Gombong . Endang mengungkapkan Wreksodiningrat menguasai bahasa Belanda, Inggris, Jerman, Italia, Prancis, Spanyol, dan Jawa Kuno. Dia juga memiliki hobi bermain musik dan mengumpulkan perangko.Dia bisa memainkan alat musik Cello. Ketika belajar di Negeri Belanda, dia menjadi anggota chamber kampus Technische Hogeschool Delft. Dia suka memainkan musik-musik klasik Barat danlagu-lagu Jawa. Dalam laku spiritual, dia kental dengan kejawen. Prof. Ir. KRMT Wreksodiningrat menikah dengan BRA Siti Amirin, putri Paku Alam VI. Mereka dikaruniai tujuh anak dan 15 cucu. Dia wafat pada 9 Oktober 1969 dan dimakamkan di Astana Giribangun, Wates.
- Kejanggalan Operasi Mapenduma
KALA Kopassus yang dipimpin Brigjen Prabowo Subianto bersiap untuk misi pembebasan sandera Tim Ekspedisi Lorentz ‘95 di Papua, seorang anak buahnya malah bikin ulah. Peristiwa itu terjadi sebulan sebelum operasi militer dilancarkan. Insiden berdarah telah menyeret nama Letnan Sanurip. Pada 15 April 1996, Sanurip, seorang penembak runduk Kopassus, menembaki orang-orang di lapangan terbang Timika. Atas aksinya, sepuluh tentara – termasuk Letkol Adel Gustinigo, Komandan Den-81 yang saat itu menjadi perwira kepercayaan Prabowo - , empat warga sipil, dan seorang pilot maskapai Twin Otter berpaspor Selandia Baru tewas. Sementara korban yang mengalami luka sebanyak sepuluh tentara dan tiga warga sipil. Sanurip sejatinya adalah seorang instruktur penembak runduk yang akan diterjunkan dalam operasi. Namun kemudian dia tidak dilibatkan. Pihak ABRI mengatakan, Sanurip stres dan berlaku laiknya koboy lantaran kecewa namanya tak masuk rencana operasi. Proses pengadilan Sanurip sarat keganjilan. Pihak Kopassus terkesan menutupi pemeriksaan. Ada indikasi Prabowo khawatir Sanurip akan mengungkapkan hal-hal yang dapat membuka aibnya. Tak berapa lama, tiba tiba terdengar kabar kalau Sanurip meninggal bunuh diri di dalam sel. Kisah tragis nan aneh Sanurip itu mengawali keganjilan dalam operasi pembebasan sandera di Mapenduma. Heli Jatuh Kasus Sanurip berlalu. Operasi penyelamatan sandera tetap harus jalan. Perintah eksekusi masih menunggu perintah dari Panglima ABRI, Jenderal Feisal Tanjung yang sedang berada di Jawa Timur. Jawaban yang ditunggu tak kunjung datang. Letjen Soeyono, Lepala Staf Umum ABRI meminta jaminan Prabowo berapa persen kemungkinan keberhasilan operasi. “80 sampai 90 persen,“ jawab Prabowo dengan yakin. Mendengar itu, Soeyono mengizinkan operasi dilancarkan. Pada 9 Mei 1996, Kopassus akhirnya diturunkan ke Mapenduma. Namun pada menit pertama, Soeyono mendapat laporan bahwa helikopter yang mengangkut pasukan mengalami kecelakaan fatal. Heli naas yang diterbangkan Lettu CPN Agus Riyanto dan Lettu CPN Tukiman jatuh terjerembab. Ekornya menghantam pohon dan terbalik. “Laporan 80 sampai 90 persen ternyata omong kosong belaka dan merupakan suatu kecerobohan,” tukas Soeyono dalam biografinya Soeyono: Bukan Puntung Rokok yang disusun Benny Siga Butar-butar. Pengakuan lain dituturkan Markus Warib, salah seorang sandera yang selamat. Menurut Markus, ketika heli TNI AU jenis Bolco sedang mencari-cari tanah lapang untuk menurunkan pasukan, tetiba diberondong gerilyawan Organisasi Papua Merdeka. (OPM) . Helikopter tersebut jatuh ditembak oleh seorang pemuda yang memegang sebuah senjata berat. Akibat penembakan tersebut, sebanyak 12 penumpang menjadi korban. Lima orang tewas dan sisanya mengalami luka-luka. Korban yang meninggal, Kapten Penerbang Agus (pilot), Sertu Parlan (AU), dan tiga prajurit Kopassus yakni, Lettu Umar, Serda Pitoyo, dan Pratu Sudiono. Keterlibatan Pasukan Asing Kejanggalan lain menyangkut sandera yang gagal diselamatkan. Keterangan resmi menyebutkan Yosias Lasamahu dan Navy Panekanan terbunuh di tengah hutan dengan luka bacokan di tubuh. Kematian dua sandera ini belum diketahui persis siapa pelakunya. “Selama kami disandera para penyandera telah bersumpah untuk tidak menghilangkan nyawa para sandera, sebab menghilangkan nyawa berarti harga yang harus dibayar mahal atas kritikan dan hilangnya simpati dunia terhadap perjuangan OPM,” kata Markus Warib kepada Decki Natalis Pigay dalam wawancara yang termuat di Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik di Papua . Menurut Letkol I Nyoman Cantiyasa, komandan Tim Kilat II Kopassus yang terlibat dalam operasi, kedua sandera itu berusaha menyelamatkan diri ketika terjadi baku tembak antara gerombolan OPM dan pasukan penjejak Kopassus dari Tim Kasuari I. Untuk menutup ruang gerak OPM, pasukan penyerbu Tim Kilat Kopassus meminta bantuan tim penutup Pandawa dari Kostrad untuk menghadang gerombolan. Baku tembak terjadi cukup ramai. "Beberapa anggota gerombolan penyandera tewas tertembak dan sebagian melarikan diri, Dua orang sandera tewas dibacok dan yang lain luka-luka ketika mencoba kabur," tutur Nyoman dalam "Pembebasan Tim Lorentz di di Mapenduma" termuat di Kopassus untuk Indonesia suntingan Iwan Santosa dan E.A. Natanegara. Upaya pembebasan itu sendiri menyisakan tanda tanya seputar keterlibatan pasukan asing. Pasukan komando Kerajaan Inggrs, Special Air Service (SAS) dan para serdadu bayaran dari perusahaan keamanan ternama Executive Outcomes (EO) yang berpengalaman dalam operasi intelijen anti-teror diduga ikut serta dalam operasi. Decki Natalis Pigay menulis, CEO Commander EO, Nick van den Bergh mengakui bahwa timnya yang beranggotakan lima orang telah diterjunkan untuk mengatasi krisis di Irian Jaya. Dugaan ini diperkuat laporan Jawa Pos , Juli 1997 yang mengutip keterangan seorang sandera bernama Daniel Start. Kesaksian itu menyebutkan, para anggota OPM yang tewas tidak lain merupakan korban dari pasukan SAS dan EO yang menyamar sebagai petugas International Red Cross (Palang Merah Internasional). Namun yang umum tersiar ke publik adalah keberhasilan pasukan Kopassus yang dipimpin Prabowo. “Upaya pembebasan ini menjadi misteri,” tulis Pigay. Jurnalis sejarah militer Iwan Santosa, menyebut keterlibatan pemerintah Inggris bukanlah suatu hal yang mustahil mengingat begitu sibuknya kedutaan besar mereka di Jakarta saat itu. Menurut sebuah artikel yang diturunkan oleh bisnis.com , saat kejadian atase militer Kedutaan Besar Inggris di Jakarta Kolonel Ivan Helberg (yang merupakan alumni SAS) langsung turun didampingi oleh tiga anggota Unit Negosiasi Penyaderaan (HNU) dari Kepolisian Inggris serta sejumlah anggota SAS. Soal kehadiran tentara bayaran dari EO pun adalah sebuah keniscayaan karena saat itu salah satu perusahaan kemanan terkemuka di dunia tersebut tengah memiliki "proyek" di Papua Nugini. Mereka, disebutkan tengah terlibat kontrak kerja dengan pemerintahan Perdana Menteri Julius Chan untuk menghadapi pemberontak Tentara Revolusiener Bougainville yang secara sepihak menyegel sekaligus menutup tambang emas Bougainville "milik" Rio Tinto (pemilik sebagian besar Freeport McMoran). "Kalaupun ada personil EO yang terlibat di Mapenduma bisa saja, karena saat itu EO lagi ada di Papua Nugini guna menangani para pemberontak di Bougainville" ujar Iwan kepada HISTORIA.ID. Keterangan Iwan berkelindan dengan paparan Pacific Journalism Review (edisi Januari 2000). Dalam jurnal terkemuka itu, Peter Cronau menyebutkan bahwa sejumlah instruktur tempur berpengalaman dari EO digunakan jasanya oleh Kopassus. Bukan saja berperan sebagai penasehat militer, bahkan mereka ikut terjun langsung dalam operasi penyerbuan para penyandera dari OPM di Desa Geselema, Mapenduma pada 9 Mei 1996. Salah satu helikopter yang terlibat dalam serangan terhadap Geselema terlihat membawa tanda Palang Merah sambil membawa para prajurit Kopassus dan sejumlah tentara berkulit putih. Soal kehadiran "serdadu bule" dalam helikopter berwarna putih ini dikonfirmasi dalam program Mark Davis's Four Corners di ABC TV yang kali pertama ditayangkan pada 12 Juli 1999 di Australia.
- Mobil Biru yang Ditunggu
MUNIAR, seorang transmigran di Tempuling, Riau, tinggal terpisah dengan anaknya yang kuliah di Yogyakarta. Untuk sekadar berkomunikasi dengan anaknya menggunakan surat, Muniar seringkali harus pergi ke Kantor Pos yang jaraknya cukup jauh. Kala itu warung telekomunikasi (wartel) belum masuk ke daerahnya. Jumlah wartel pada 1991 pun masih 181 unit yang didirikan Telkom dan 176 wartel didirikan swasta. Namun, kesulitan Muniar hilang sejak kehadiran Jasa Telekomunikasi Mobil (Jastel Mobil). Dia tak lagi pakai surat untuk berkirim kabar. Rute keliling Jastel diumumkan di koran maupun radio sehingga masyarakat yang hendak memakai bisa dengan mudah menemukannya. Muniar selalu menanti kehadiran mobil berwarna biru itu. Di bagian pintu depan mobil terpampang logo Telkom. Di dalamnya, seorang petugas layanan akan membantu tiap pelanggan mengoperasikan telepon atau telegram. “Dalam kota max. 3 jam, luar kota max. 5 jam,” demikian peringatan di Warteling itu tertulis. Dari warteling itulah Muniar menelepon anaknya di Yogyakarta. Ilustrasi Jastel Mobil dalam majalah Gema Telekomunikasi, April 1988 Jastel Mobil merupakan –istilah resmi yang dikeluarkan Telkom namun kurang dikenal masyarakat yang lebih suka menyebut Telegrap Keliling atau Wartel Keliling (Warteling)– satu terobosan baru di masanya. Rute yang dilewati merupakan daerah pelosok yang belum terjangkau telepon umum dan wartel. Pasalnya, kabel Telkom baru bisa menjangkau daerah yang berjarak lebih dari 60km dari sentral telepon otomat. Bila ingin menjangkau daerah tersebut, Telkom harus membangun stasiun repeater yang memakan biaya besar. “Kalau wartel keliling itu nggak pakai kabel dan harganya berusaha kita murahkan. Tapi kita nggak punya banyak, seperti wartel atau telepon umum,” kata Direktur Utama Telkom 1992-1996, Setyanto P Santosa, pada Historia. Layanan ini sebenarnya sudah direncanakan sejak akhir 1980-an. Namun, urung dilaksanakan lantaran Telkom belum memiliki teknologinya. Baru setelah Telkom berhasil membeli ultaphone, unit-unit warteling bisa dibuat. Biaya pembuatan dan operasional warteling mencapai 35 juta rupiah per unit. Angka ini jauh lebih efektif dibanding membangun stasiun repeater tiap radius 60km dari sentral telepon otomat di tiap daerah. “Pelayanan ini untuk sementara dikhususkan pada wilayah pinggiran kota Jakarta yang tak terjangkau oleh jaringan kabel,” kata Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Soesilo Soedarman seperti diberitakan Kompas , 11 Oktober 1991. Dengan demikian, kebutuhan percakapan lokal, interlokal, maupun pengiriman telegram dapat dilakukan. Warteling menjadi proyek perintis untuk mendekatkan teknologi komunikasi pada pelanggan yang ada di wilayah pelosok. Selain beroprasi di Riau sejak pertengahan tahun 1991, Warteling juga beroperasi di pinggiran Kota Jakarta pada akhir 1991. Operasi di pinggiran Jakarta lebih ditujukan untuk mencari segmen pasar baru yang belum kenal layanan telepon umum. Kala itu baru lima unit warteling yang dioperasikan untuk berkeliling di sekitar Depok, Tangerang, Bekasi. Dengan adanya Warteling, masyarakat tidak perlu bersusah-payah pergi ke layanan komunikasi yang ada di kota besar. Warteling juga mengurangi antrian telepon umum. “Daripada menunggu antrian telepon umum yang memakan waktu lama,” tulis Gema Telekomunikasi April 1988. Warteling berkeliling ke daerah yang telah ditentukan dan ada beberapa titik pemberhentian, seperti lapangan, dekat pasar, Balai Desa, atau tempat-tempat yang mudah dijangkau masyarakat di pelosok. Tiap mobil warteling dilengkapi telepon dan telegraf. Pengiriman informasi tidak dilakukan melalui kabel seperti cara kerja telepon pada umumnya di tahun 1990-an, melainkan melalui teknologi radio ultraphone. Di warteling inilah, komunikasi nirkabel mulai digunakan. “Selama ini hanya bisa dilakukan lewat surat yang dikirim via pos. Tetapi, sejak dua bulan lalu kami mendapat kemudahan dengan adanya pelayanan baru berupa telegram keliling," kata Muniar seperti dimuat dalam Kompas , 8 September 1991.
- Spesies Baru Manusia Ditemukan
Di bawah lantai berbatu Gua Callao di Pulau Luzon, Filipina, para peneliti menemukan sejumlah fosil yang diyakini sebagai spesies manusia purba yang sebelumnya tidak diketahui. Temuan baru ini pun disebut akan memperbarui lagi teori evolusi manusia yang selama ini dipahami. Dijuluki Homo luzonensis, spesies yang baru diidentifikasi ini mendiami Luzon lebih dari 50.000 tahun yang lalu, selama zaman Pleistosen Akhir. Artinya, mereka berbagai bumi dengan hominin lainnya, termasuk Homo neanderthalensis (Neanderthal) dan Homo sapiens atau manusia modern. Homo luzonensis, hidup di wilayah yang sama dan pada saat yang sama dengan spesies "Hobbit", Homo floresiensis. Fosil tengkorak “Hobbit” sebelumnya ditemukan pada 2004 di Flores. Menariknya, Homo luzonensis diduga juga bertubuh kerdil, bahkan lebih pendek dibanding Homo floresiensis. Diperkirakan tingginya di bawah tiga kaki, yaitu sekira 92 cm. Ini diketahui lewat gigi mungilnya yang ditemukan. Meski sama-sama mungil, dari bentuk gigi dan kakinya, dan juga sifat-sifat lainnya, Homo luzonensis merupakan spesies yang berbeda. Sampai sekira 15 tahun yang lalu, spesies manusia seakan kesepian. Itu bila dibandingkan dengan gorila yang punya dua spesies, simpanse punya dua spesies, dan orang utan punya tiga spesies. Sementara manusia hanya satu jenis. Namun tak selalu begitu. Ada suatu masa ketika Homo sapiens dan Homo Neanderthal hidup berbagi daratan Eropa selama lima milenium lebih. Hasil studi yang dipublikasikan jurnal Nature itu menyimpulkan adanya kemungkinan kalau kantong-kantong kultur Neanderthal bertahan hingga antara 41.030 dan 39.260 tahun lalu. Kemudian, Homo floresiensis menjadi kerabat sezaman manusia yang ketiga. Setelahnya, pada 2010, para ahli genetika menyatakan satu tulang jari ditemukan di sebuah gua di Pegunungan Altai, Siberia barat. Ia membawa genom berbeda yang mengisyaratkan bahwa itu milik kelompok keempat, Denisovans. Lalu studi terbaru kali ini, penemuan baru yang menggambarkan spesies hominin yang sama sekali baru. Seperti dilansir dari History (10/4), para ilmuwan telah lama mengetahui kalau generasi hominin purba menyebut pulau Luzon sebagai rumah di Asia Tenggara. Pada 2007, para arkeolog di Luzon menemukan tulang kaki tunggal (metatarsal) di Gua Callao, dari 67.000 tahun yang lalu. Analisis menunjukkan fosil itu milik anggota genus Homo. Namun tak diketahui spesies mana. Dalam penggalian berikutnya pada 2011 dan 2015, tim peneliti internasional menemukan 12 tulang dan gigi hominin lainnya. Penelitian yang dipimpin Florent Détroit, dari Musée de l'Homme di Museum Sejarah Alam di Paris, dan Armand Mijares, dari Universitas Filipina di Kota Quezon menemukannya di lapisan batu yang sama di mana sebelumnya ditemukan tulang kaki tunggal. Hasil analisis yang diterbitkan di jurnal Nature menguak sisa-sisa jasad itu terdiri dari tiga individu yang berbeda, termasuk satu remaja. Yang terkini, penelitian berhasil menggali beberapa fosil tulang kaki dan tangan, tulang paha dan gigi. Fosil-fosil itu memiliki beberapa ciri morfologis spesies hominin yang lebih primitif, seperti Australopithecus dan Homo erectus, dan yang lebih maju, termasuk Homo sapiens dan Homo floresiensis. “Apa yang membuat mereka sebagai spesies baru sebenarnya adalah kombinasi dari semua fitur yang diambil bersama," kata Détroit, seperti dikutip History . “Jika Anda mengambil setiap fitur satu per satu, Anda tentu akan menemukannya dalam satu atau beberapa spesies hominin. Tetapi jika Anda mengambil secara keseluruhan, tidak ada spesies lain dari genus Homo yang serupa, sehingga menunjukkan bahwa mereka adalah spesies baru.” Sementara, secara khusus, gigi yang ditemukan di Gua Callao berbeda dari yang dimiliki spesies hominin lainnya. Gigi premolar, gigi yang terletak di antara gigi taring depan dan gigi geraham, memiliki dua hingga tiga akar. Padahal Homo sapiens biasanya punya gigi premolar dengan satu atau paling banyak dua akar. Adapun gigi premolar itu, serta enamel gigi dan dentin, jaringan tulang keras yang membentuk tubuh gigi, lebih mirip dengan Australopithecus dan spesies purba dari genus Homo, seperti Homo habilis dan Homo erectus. Di sisi lain, gigi molar (geraham)-nya sangat kecil. Ini mirip seperti milik manusia modern. "Individu dengan karakteristik gabungan semacam ini tidak dapat diklasifikasikan dalam spesies yang dikenal saat ini," kata Détroit. Gigi molar dan premolar milik Homo luzonensis (Dok. Callao Cave Archaeology Project) Tulang kaki yang diidentifikasi sebagai Homo luzonensis juga menonjol. Ini karena kombinasi fitur primitif dan yang sudah berkembang. Tandanya, ia mungkin memiliki cara berjalan yang khas. Sementara bagian phalanx proksimal, tulang yang membentuk pangkal jari kaki, bentuknya melengkung. Itu dengan pelekatan otot pada tulang yang sudah sangat berkembang. "Karakteristik ini tidak ada dalam Homo sapiens," kata Détroit. Bahkan, tulang kaki yang ditemukan di Gua Callao lebih mirip dengan Australopithecus. Sementara Australopithecus diketahui hanya hidup di Afrika sekira 2-3 juta tahun yang lalu. Hal itu menunjukkan, Homo luzonensis mungkin seperti Australopithecus, memiliki kemampuan untuk dengan mudah memanjat pohon. Ia juga sudah berjalan tegak dengan dua kaki meski tak jelas apakah mereka melakukannya. Homo Luzonensis dan Evolusi Manusia Meski spesies Homo lain diketahui telah menghuni pulau-pulau Asia Tenggara, para peneliti berpikir Homo luzonensis adalah satu-satunya hominin yang ada di Luzon pada saat itu. Homo sapiens paling awal yang dikenal di Filipina adalah fosil yang ditemukan di Gua Tabon di Pulau Palawan. Yang paling tua berusia 30.000 hingga 40.000 tahun lalu. Sebaliknya, para arkeolog baru-baru ini menggali alat-alat batu dan tulang-tulang dari badak yang disembelih di lembah dekat Gua Callao. Ini menunjukkan bahwa Homo luzonensis atau leluhurnya berada di Luzon sekira 700.000 tahun yang lalu. Luzon adalah pulau besar. Pulau ini tidak pernah dapat diakses oleh seluruh benua melalui jembatan darat. Akibatnya, banyak flora dan fauna yang endemik di pulau itu dengan keragaman genetik yang relatif rendah. Fenomena itu, menurut para peneliti, dapat meningkat menjadi spesies yang berbeda secara signifikan dari spesies terkait di benua itu. Ini yang menjelaskan mengapa Homo luzonensis mungkin terlihat sangat berbeda dari kerabat hominin daratannya. Setidaknya selusin spesies dalam genus Homo telah diidentifikasi sejauh ini. Homo sapiens adalah satu-satunya yang selamat. Adapun jumlah pasti spesies manusia purba masih menjadi topik perdebatan yang berkembang selama bertahun-tahun. Pada 2012, para ilmuwan mengumumkan fosil yang ditemukan di Tiongkok adalah milik manusia purba yang sebelumnya tidak diketahui. Mereka menyebutnya Red Deer Cave people. Penemuan itu kontroversial. Para ilmuwan pun berspekulasi, fosil dapat mewakili spesies baru tak dikenal atau mungkin mewakili populasi sangat awal dan primitif dari manusia modern, yang telah bermigrasi ke kawasan itu lebih dari 100.000 tahun lalu. Seperti penemuan baru lainnya, terkuaknya keberadaan Homo luzonensis telah memperluas pemahaman ilmuwan tentang evolusi manusia. Homo luzonensis dan pembauran dalam ciri fisiknya menunjukkan evolusi Homo. Détroit mengatakan, lima belas tahun yang lalu, evolusi manusia di Asia sangatlah sederhana. Dikatakan kalau Homo erectus keluar dari Afrika, menetap di Asia Timur dan Tenggara dan tidak ada yang terjadi sampai kedatangan Homo sapiens sekira 40-50.000 tahun yang lalu. "Temuan ini adalah bukti baru yang signifikan untuk meningkatkan pengetahuan kita tentang evolusi manusia, terutama di Asia, di mana evolusi manusia jelas jauh lebih kompleks dan jauh lebih menarik daripada apa yang kita pikirkan sebelumnya,” ujar dia.
- Warisan Si Mbah Buat Jokowi
SEJAK awal kepemimpinannya di Solo, Jokowi (panggilan akrab Joko Widodo) kadung dikenal sebagai pemimpin yang kerap blusukan (masuk ke sana ke mari) untuk mengetahui aspirasi yang beredar di kalangan rakyatnya. Ketika menjadi gubernur DKI Jakarta dan presiden Republik Indonesia, kebiasaan itu tetap dipertahankannya. “Itu saya lakukan untuk mengenali hati rakyat. Mengunjungi dan berdialog dengan rakyat bagaikan nafas yang menghidupkan tubuh pemerintahan,” ujar Jokowi kepada Alberthiene Endah dalam Jokowi Menuju Cahaya . Tradisi blusukan itu tak urung mendapat sambutan baik. Kebiasaan itu dinilai tepat untuk menyerap segala keinginan rakyat di bawah sekaligus menjadikannya sebagai media pengawasan langsung dari pihak pemerintah terhadap suatu program. Sebaliknya, tak sedikit pula pihak yang berpendapat negatif terhadap tradisi blusukan itu. Mereka menilainya hal tersebut tak lebih hanya pencitraan, laiknya dilakukan oleh para politisi untuk mengambil simpati media dan rakyat. Salah satu kritik itu datang dari politisi yang kemudian menjadi gubernur DKI Jakarta: Anies Baswedan. Menurut Anies blusukan bukanlah suatu cara yang efektif karena hanya sekadar mendengarkan keluhan masyarakat tanpa memberikan solusi. "Saya enggak mau pencitraan dengan blusukan. Bukan cuma mendengarkan tapi mengajak berubah. Blusukan itu hanya menonton masyarakat. Hanya hadir lalu kesannya sudah melakukan," ujar Anies seperti pernah dikutip merdeka.com . Lantas dari mana sebenarnya Jokowi mengadopsi kebiasaan itu? Tradisi Sang Kakek Tersebutlah Lamidi Wiryomihardjo, kakek Jokowi dari garis ayah. Dia terpilih sebagai lurah di Desa Kragan (masuk wilayah Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar) pada 1948. Sebagai seorang pemimpin yang terpilih di masa perang, Wiryo harus bisa menjaga desanya agar tetap aman. Kendati demikian, situasi itu tidak menjadikan Wiryo balik badan berpihak kepada Belanda. Boleh saja secara de jure kawasannya dimasukan dalam kekuasaan Belanda namun simpati sang lurah tetap kepada Republik. Itu dibuktikan Wiryo dengan selalu melindungi unit-unit gerilyawan Republik yang berlindung dari kejaran tentara Belanda. Pada 7-10 Agustus 1949 terjadi pertempuran besar antara gerilyawan Republik dengan militer Belanda di Surakarta. Di hari ke-4, sebuah unit pasukan Tentara Pelajar (TP) mundur jauh hingga ke Desa Kragan. Tak mau kehilangan mangsa, tentara Belanda tetap memburu dan menekan Lurah Wiryo untuk memberitahu perlindungan para gerilyawan tersebut. Namun Lurah Wiryo bergeming. Guna memberi kesempatan kepada anak-anak TP untuk meluputkan diri, Lurah Wiryo terus melobi kelompok pasukan Belanda itu untuk tidak meneruskan aksi militer mereka di Desa Kragan. “Saya lurah di sini. Saya tahu betul semua yang ada di sini. Silakan cari. Kalaupun ada satu orang saja Tentara Pelajar tertangkap, silakan tembak saja saya,” ujar Wiryo seperti dikisahkan dalam buku Jadul Kinanti: Jokowi, Dulu, Kini dan Nanti karya Widjiono Wasis. Keberanian Mbah Lurah (panggilan akrab penduduk Desa Kragan kepada Wiryo) membela para pejuang menimbulkan rasa percaya bukan hanya di kalangan rakyatnya namun juga pemerintah Republik Indonesia. Sebagai bukti, pasca revolusi, dia tetap didapuk sebagai lurah hingga 1983. Pada 1955, Wiryo terlibat dalam proses pemilihan umum dan mendukung PNI (Partai Nasional Indonesia). “Mbah Lurah adalah juga tokoh PNI di desanya, yang memiliki kedakatan dengan kekuatan Masyumi di desanya,” demikian menurut Wawan Mas’udi dan Akhmad Ramdhon dalam Jokowi, dari Bantaran Kalianyar ke Istana: Mobilitas Vertikal Keluarga Jawa. Sebagai pemimpin, Mbah Lurah bukan hanya dipercaya juga dicintai oleh rakyatnya. Hal itu terjadi karena selama kepemimpinannya, Mbah Lurah kerap mengedepankan dialog. Segala keinginan dan cita-cita rakyat diserapnya lewat cara mengunjungi langsung orang-orang di desanya. Tak jarang Mbah Lurah pun mengadakan kegiatan dengar pendapat secara massif dengan penduduk Desa Kragan. Tidak hanya sebatas mendengar, apa yang diminta dan dikeluhkan oleh rakyatnya, dia laksanakan atau hindari jika itu memang tidak sesuai keinginan rakyat. Dengan gaya kepemimpinan seperti itu, tak mungkin Mbah Wiryo bisa bertahan sebagai lurah hingga 35 tahun lamanya. Rupanya “blusukan” gaya Mbah Lurah itu diwariskan kepada cucunya yang bernama Joko Widodo. Bukan hanya di tingkat desa, tetapi juga di tingkat kota, provinsi dan bahkan saat ini, di tingkat negara. Berawal dari Kampanye Tahun 2005, Jokowi mencalonkan diri sebagai walikota Solo. Dari ketiga kandidat yang bertarung, hanya dialah yang dinilai memiliki peluang kecil. Itu terbukti dengan hasil survey yang dilakukan oleh tim suksesnya sendiri. Kans Jokowi untuk duduk sebagai walikota Solo hanya 10%. Berdasarkan data tersebut, tim sukses Jokowi yang dipimpin oleh Anggit Noegroho (eks jurnalis Solo Pos ) lantas bergerak cepat. Setelah berdiskusi alot dengan Jokowi, maka diputuskan bahwa mereka harus memiliki gaya tersendiri dalam berkampanye, sesuai dengan keinginan Jokowi yang mau kampanyenya sederhana, mengena dan merakyat. Akhir mereka menemukan solusi untuk lebih menyentuh hati rakyat yakni dengan bersilaturahmi, persis seperti yang dilakukan oleh Mbah Lurah saat memimpin Desa Kragan. Maka masuklah Jokowi ke kampung-kampung, menyusup gang kecil, menghampiri kawasan paling terpencil. Dia juga tak segan berbecek ria di pasar-pasar dan berkeringat di tengah rakyat banyak. “Ya hanya dengan begitu saya bisa 'mengenali rakyat'. Pemimpin harusnya menghampiri mereka, mengenal mereka,” ujar Jokowi dalam biografinya, Jalan Menuju Cahaya . Kegiatan Jokowi itu kemudian mendapat tempat di media massa. Mereka mulai bertanya, apa nama gaya kampanye yang sangat berbeda dari kandidat-kandidat lainnya itu? Maka muncullah istilah blusukan. Sebuah kata yang menurut Jokowi sendiri sangat pas menjadi ciri kepemimpinannya. Jadilah kemudian blusukan populer. Terlebih setelah gaya ini diterapkan pula oleh Jokowi saat memimpin DKI Jakarta dan Republik Indonesia. Tentu saja banyak juga orang yang tidak setuju dan memandang cara ini hanya sebagai strategi politik semata guna memelihara elektabilitas. Namun Jokowi tak peduli. “Yang penting bagi saya adalah bekerja dan bekerja. Kalaupun ada orang yang melihatnya lain ya silakan saja, terserah orang untuk menilai hasil pekerjaan saya,” ujarnya.





















