Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kisah Putra-Putri Bung Karno dalam Peristiwa Cikini
CIKINI, 30 November 1957. Sedari siang kesibukan terjadi di Perguruan Cikini. Para guru dan siswa tengah bersiap menyambut kedatangan Presiden Sukarno ke sekolahnya. Hari itu adaah hari istimewa bagi Perguruan Cikini. Sekolah yang dibangun pada masa Jepang tersebut akan merayakan hari jadi ke-15.
- Kisah Sedih dari Peristiwa Cikini
POTONGAN peristiwa malam itu teramat jelas di ingatannya. Kata demi kata ia rangkai untuk menggambarkan bagaimana pilunya situasi 63 tahun lalu, saat sebuah granat meledak tepat dua meter di depannya. Ledakan yang sebenarnya diarahkan kepada presiden pertama RI itu ternyata malah berujung pada kisah sedih baginya dan ratusan orang yang hadir dalam perayaan hari jadi ke-15 Perguruan Cikini pada 1957.
- Riwayat Buah Emas di Tanah Hindia
KELAPA sawit punya julukan yang mentereng: buah emas. Disebut demikian lantaran tanaman keras dengan nama latin Elaeis guineensis ini bernilai ekonomi tinggi. Minyak yang diperoleh dari pengolahan biji sawit merupakan bahan baku minyak nabati yang lazim digunakan untuk mengolah berbagai bahan makanan. Untuk soal kelapa sawit ini, Indonesia boleh berbangga karena sekarang tercatat sebagai negara produsen minyak sawit terbesar di dunia.
- Manis Pahit Kelapa Sawit
KEBAKARAN hutan dan lahan (karhutla) melanda Sumatra dan Kalimantan sejak awal September 2019. Jerebunya bergerak ke Singapura dan Malaysia. Puluhan ribu orang terkena infeksi saluran pernapasan atas. Banyak sangkaan tertuju ke pengusaha perkebunan kelapa sawit sebagai biang onar karhutla. Tapi pengusaha kelapa sawit membantahnya.
- Jejak Kelapa Sawit di Kebun Raya Bogor
TANAMAN kelapa sawit ( Elaeis guineensis ) menjadi salah satu komoditas penyumbang devisa terbesar di Indonesia. Bersama dengan Malaysia, Indonesia masuk dalam daftar negara penghasil sawit terbesar di dunia. Walau begitu, kelapa sawit bukanlah tanaman asli Indonesia. Tanaman ini mulai hadir pada zaman kolonial Belanda. Kelapa sawit belum muncul dalam katalog ke-2 Kebun Raya Bogor tahun 1844, yang disusun oleh J.K. Hasskarl. Elaeis guineensis mulai disebutkan pada halaman 73 dalam katalog J.E. Teysmann dan S. Binnedijk yang terbit tahun 1866. Menurut Dr. F.W.T. Hunger dalam De oliepalm (Elaeis guineensis) , kelapa sawit mulai dikenal di Hindia Belanda tahun 1848. Pada Februari 1848, Kebun Raya Bogor menerima dua tanaman kelapa sawit dari Bourbon, Mauritius melalui perantara Mr. D.T. Pryce di Batavia, dan pada Maret di tahun yang sama, dua spesimen dari spesies yang sama dikirim oleh Hortus di Amsterdam, Belanda. Dalam laporan selanjutnya, Johannes Elias Teijsmann (J.E. Teysmaan), seorang ahli botani Belanda yang pernah menjabat Direktur Kebun Raya Bogor, melaporkan bahwa tanaman yang ia perkenalkan di Jawa telah berumur setidaknya satu tahun. Sejumlah ahli botani meneliti keempat tanaman kelapa sawit yang diterima Kebun Raya Bogor. Salah seorang ahli botani, P.J.S. Cramer menyebut dalam Teysmannia , jilid 28, hal. 448 (1917), bahwa ia telah mencari informasi mengenai asal-usul kelapa sawit pertama yang diterima di Bogor. Direktur Pertanian Mauritius saat itu, Dr. Stockdale, memberitahukan kepadanya bahwa Elaeis guineensis tidak ditemukan di alam liar di pulau-pulau di kepulauan Maskarenes. “Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa Mauritius atau Bourbon hanyalah tempat transit atau aklimatisasi bagi kelapa sawit yang pertama kali diimpor ke koloni kami,” sebut Cramer. Sementara itu, ada pula yang menyebut sangat mungkin kelapa sawit yang diterima di Bogor berasal dari Réunion, bukan Bourbon. Réunion, sebuah region Prancis di Samudra Hindia, yang terletak di sebelah barat daya Mauritius. Keempat tanaman kelapa sawit yang diterima Kebun Raya Bogor tumbuh dengan baik. Tanaman itu memiliki batang setinggi 5 hingga 6 kaki, kecuali mahkota dengan daun, yang ukurannya mirip dengan capercaillie , tetapi daunnya lebih padat, tidak tegak tetapi lebih melengkung dan jumlahnya lebih banyak. Sekelompok bunga juga mulai muncul secara teratur, baik jantan maupun betina. Meski begitu, dalam surat yang dikirim kepada Kepala Kantor Pemerintah pada 1858, Teysmann menulis bahwa sebagian besar tandan bunga betina gagal dan tidak menghasilkan buah jika tidak dibuahi secara artifisial, karena tandan bunga jantan muncul sangat tidak beraturan di antara tandan bunga betina dan bahkan tidak membuahi dalam jarak yang dekat. “Inseminasi buatan dilakukan di sini, seperti pada pohon kurma di Arab, dengan memotong tangkai bunga jantan, yang akan digunakan untuk menyerbuki bunga betina pada waktu yang tepat. Jika pembuahan dilakukan dengan baik, sehingga semua tandan bunga menghasilkan buah, pohon ini dapat menghasilkan buah dalam jumlah yang cukup banyak setiap tahun,” tulis Teysmann. Pada 1853, banyak buah kelapa sawit yang diperoleh membutuhkan waktu beberapa bulan untuk berkembang, tetapi segera setelah mereka menghasilkan daun pertama, lebih banyak lagi yang segera menyusul, dan setelah 5 hingga 6 tahun tanaman sudah cukup berkembang untuk menghasilkan buah, yang muncul di antara daun pada ketinggian 3 hingga 4 kaki di atas tanah. Seiring berjalannya waktu, pengembangbiakkan kelapa sawit mulai dilakukan di luar Kebun Raya Bogor. Antara tahun 1854–1858, bibit-bibit pohon ini disediakan dan ditanam di Ciomas, Ciogrek, serta tanah Pamanukan dan Ciasem. Surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië , 22 Mei 1920, melaporkan bahwa bibit pohon kelapa sawit juga ditanam di Banyumas tahun 1859. Penanaman bibit pohon itu bahkan dilakukan di bawah kepemimpinan Teysmann. Selanjutnya, pada 1871 beberapa ratus tanaman sawit disediakan. Dari tahun 1854 dan seterusnya, bibit kelapa sawit telah dipasok ke beberapa perusahaan perkebunan swasta, terutama yang berlokasi di Jawa Barat. Untuk sementara waktu keterlibatan Kebun Raya Bogor dengan kelapa sawit tidak berlanjut lebih jauh sampai pada 1857 Dewan Tertinggi di Belanda memberikan perhatian khusus pada manfaat kelapa sawit. Setelah dekade pertama diperkenalkan di Hindia Belanda, kelapa sawit sudah ditemukan di beberapa perkebunan swasta di Jawa Barat, misalnya di distrik Bogor, Batavia, Karawang, dan tanah Pamanukan dan Ciasem. Lebih dari satu dekade kemudian, penanaman baru dimulai di Bogor di tanah Nuripan dan di Banten di Cikande Udik. Di Jawa Tengah, menurut Hunger, sekitar tahun 1867 terdapat penanaman kelapa sawit dalam jumlah kecil di sejumlah tanah milik Tuan Weynschenk yang luas di kawasan Yogyakarta, yang dimaksudkan untuk menyediakan bahan baku pembuatan sabun. Di Jawa Timur, Tuan Perret di Lawang menjadi orang pertama yang mulai merintis perkebunan kelapa sawit. Pada masa itu penanaman bibit sawit mulai dilakukan dalam skala cukup besar, baik di lahan pribadi, lahan sewa maupun di pekarangan rumah penduduk.*
- Chipko, Gerakan Memeluk Pohon di India
SEJAK berabad-abad, penduduk desa di India, terutama di wilayah perbukitan dan pegunungan, menggantungkan hidup pada hutan. Hutan menyediakan makanan, bahan bakar, pakan ternak, serta menjaga kelangsungan sumberdaya tanah dan air. Kekeselarasan dengan alam sangatlah penting. Hutan adalah segala-galanya.
- Ibu Para Pohon
SETELAH bersusah payah melangkah sambil dipapah seorang pengawal presiden, perempuan berusia lebih dari 90 tahun itu akhirnya sampai ke tempat Presiden India Ram Nath Kovind berdiri. Sebuah penghargaan diterimanya dari sang presiden. Naluri keibuannya muncul dengan mengusap kepala sang presiden sebagai bentuk restu tatkala sang presiden memintanya menghadap kamera. Gemuruh tepuk tangan langsung memenuhi seisi ruangan pada 16 Maret 2019 itu. Senyum tipis langsung tersungging di bibir Saalumarada Thimmakka, perempuan tadi. Senyum itu menjadi tanda perjuangannya selama puluhan tahun menjaga lingkungan akhirnya berbuah manis. Thimmakka lahir di Gubbi, Tamakuru, Karnataka, India pada 1 Januari 1926 (sumber lain menyatakan tahun 1927, ada pula 1912) dari pasangan Smt Vijayamma dan Sri Chikkarangayya. Kemiskinan membuat Thimmakka kecil tak pernah mencicipi bangku sekolah. Sedari usia 10 tahun, Thimmakka sudah membantu keluarganya dengan bekerja menggembalakan ternak milik beberapa tetangganya. Beranjak dewasa dia juga menjadi buruh kasar. Kehidupan yang berat tetap menggelayutinya ketika sudah berumahtangga dengan Sri Bikkala Chikkayya. Maklum, pemuda asal Hulikal, Magadi Taluk, Distrik Ramnagar itu juga datang dari keluarga ekonomi lemah. Namun, kemiskinan sama sekali bukan peruntuh semangat hidup Thimmkka dan suaminya. Keluarganya tetap berjalan harmonis kendati mesti berjuang keras untuk sekadar membuat dapur ngebul. Bahu-membahu selalu dilakukan pasangan suami-istri itu untuk mengatasi rintangan. Sekian tahun keluarga itu berjalan, Thimmakka kemudian merasa ada yang kurang pada keluarga mereka. Kesepian selalu menemani mereka karena anak yang dirindukan tak kunjung hadir. Kehidupan Thimmakka semakin berat karena cemoohan orang-orang sekitar. “’Anak-anakmu yang akan mengingatmu hidup.’ Begitulah mitos yang abadi. Di India, mitos ini begitu kuat sehingga pasangan tanpa anak seperti terkutuk. Perempuan yang tidak memiliki anak dianggap tidak memiliki kehidupan. Mitos inilah yang jadi ejekan buat Thimmakka,” tulis laman goodnewsindia.com , Mei 2002. Seiring perjalanan waktu, hinaan itu membuat Thimmakka kian tersiksa. Saking frustrasinya, Thimmakka sampai ingin mengakhiri hidupnya sendiri. Beruntung, sang suami menggagalkannya. Dengan setia sang suami terus membesarkan hati Thimmakka. “Malam hari kami kesepian. Tapi dia pria yang baik. Ada tekanan padanya untuk mencari istri lain tetapi dia menolak. Dia terus memikirkan sesuatu yang harus dilakukan dalam hidup kami,” kata Thimmakka mengenang kebaikan suaminya, dimuat goodnewsindia.com. Keduanya lalu sepakat untuk menanam pohon. Mereka memilih menanam pohon itu bukan di pekarangan rumah tapi di pinggir jalan antara Hulikal dan Kudur yang merentang sepanjang empat kilometer. “Itu jalan yang kering dan panas. Penduduk desa kami harus sering ke Kudur dan takut. Jadi kami pikir akan lebih baik jika pohon-pohon muncul dan memayungi jalan,” sambungnya. Thimmaka dan suami pun menanam 10 bibit pohon beringin di satu sisi tepi jalan itu. “Dia memilih pohon beringin karena spesies itu tersedia secara bebas saat itu. Selain itu, beringin, atau pohon ‘bodhi’, dipuja di India,” demikian majalah Outlook Vol. 5 Th. 1999 memberitakan. Tanpa peduli cemoohan orang akan perbuatannya yang dianggap aneh, setiap hari Thimmakka dan suaminya menyirami pohon-pohon itu dan merawatnya. Lantaran kesukaran mesti menggotong kendi-kendi penampung air setiap hari, Thimmakka lalu membuat tangki air untuk menyirami pohon-pohonnya. Kawat berduri juga dibuat untuk melindungi pohon-pohon itu. Kendati ada beberapa pohon yang rusak oleh cuaca dan orang-orang tak bertanggung jawab, perjalanan waktu akhirnya mengubah bibit beringin itu menjadi pohon rindang. Kerindangan di kedua sisi jalan itu kian bertambah karena Thimmakka dan suaminya menanam 15-20 pohon baru setiap tahun, yang akhirnya membentang sejauh bentangan jalan itu. “Pada 1991, ketika Chikkaiah meninggal, ada 284 pohon beringin sehat yang menyediakan perlindungan bagi banyak burung dan hewan, selain tempat teduh dan tempat peristirahatan bagi para pejalan kaki. Bagi Thimmakka, pohon-pohon itu dulu dan sekarang adalah anak-anaknya,” kata Vinathe Sharma-Brymer, peneliti dan pemimpin Forest School di Brisbane, dalam “Locations of Resistance and Agency: The Actionable Space of Indian Women’s Connection to the Outdoors” yang termuat di The Palgrave International Handbook of Women and Outdoor Learning. Thimmakka tetap melanjutkan merawat pohon-pohonnya dan terus menanam pohon baru selepas kepergian sang suami. Penduduk desa lalu menambahkan Saalumarada, kata dalam bahasa Kannada yang berarti “sebaris pohon”, di depan nama Thimmakka. Upaya itu membuat nama Thimmakka makin dikenal sehingga dia kerap diminta menjadi pembicara atau motivator lingkungan oleh berbagai organisasi lokal maupun internasional. Di California, AS, sebuah organisasi lingkungan sampai menamakan dirinya dengan Thimmakka’s Resources for Environmental sebagai bentuk penghargaan. Lebih dari 45 penghargaan diterima Thimmakka sejak 1995, tahun ketika dia dianugerahi National Citizen Award oleh pemerintah. Pada Maret 2019, pemerintah India menganugerahinya penghargaan sipil tertinggi, Padma Shri. Berbagai penghargaan itu tetap tak mengubah diri Thimmakka sebagai perempuan rendah hati, ulet, setia pada pendirian, dan penyayang. Dia tetap menanam dan merawat pohon. Saat menjadi pembicara dan motivator lantaran diundang berbagai organisasi dalam maupun luar negeri pun Thimmakka terus mengkampanyekan tanam pohon. Lebih dari 8000 pohon telah ditanam perempuan yang juga berjuluk “Ibu para pohon” itu di berbagai tempat sepanjang pengabdian tanpa pamrihnya selama hampir 70 tahun. “[Sekarang] Aku punya cukup banyak anak (mengacu ke 284 pohon yang ditanamnya), sekarang Anda juga harus mencapainya,” kata Thimmakka beberapa tahun silam sebagaimana ditulis BR Srikanth, editor senior, di laman outlookindia.com .*
- Wabah Penyakit Gondok
ADA yang berbeda di Desa Ngepos, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang, tahun 1972. Hampir seluruh warganya menderita penyakit gondok. Di leher mereka terdapat benjolan; bahkan ada yang sebesar kepalan tangan orang dewasa. Orang-orang menyebutnya penyakit gondok, gangguan akibat kekurangan yodium.
- Tak Sekadar Aspirasi Umat
MUNCULNYA Republik Maluku Selatan (RMS) pada April 1950 menarik perhatian Johannes Leimena. Di depan umat Kristen di Maluku, dia menyerukan bahwa yang terpenting bagi warga Maluku adalah tetap memeluk Kristen dan menjadi warga negara Indonesia.
- Setelah Peluit Kapal Berbunyi
KAPAL Hr. Ms. De Zeven Provincien bertolak dari pelabuhan Surabaya pada 2 Januari 1933 untuk keliling Sumatra selama tiga bulan. Dalam pelayaran latihan ini, awak kapal terdiri dari 141 Eropa (30 perwira dan 26 perwira menengah) dan 256 pribumi (tujuh perwira menengah dan 80 siswa KIS atau Kweekschool voor Inlandse Schepelingen atau Pendidikan Dasar Pelaut Pribumi).
- Primbon Wadah Laku Mistik
GERHANA matahari total melintasi sejumlah provinsi di tanah air pada 9 Maret 2016. Beberapa orang antusias menyambutnya. Peristiwa ini juga dijadikan ajang promosi pariwisata. Bagi ilmu pengetahuan modern, gerhana matahari merupakan fenomena alam yang biasa. Tidak demikian menurut primbon Jawa.
- Preman Pasar dan Seniman Algojo
ABU Berto kesohor sebagai jagoan pasar di depan Istana Kedatuan Luwu, Palopo, Sulawesi Selatan. Sekitar 1940-an, bersama kawan-kawannya, Berto membentuk perkumpulan bernama Anak Pasar.






















