Hasil pencarian
9581 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kelezatan Bakteri
SEJAK ratusan atau ribuan tahun lalu yogurt diyakini sebagai nutrisi kesehatan. Banyak orang mengkonsumsinya secara rutin. Selain meningkatkan daya tahan tubuh, yogurt berkhasiat menurunkan kadar kolesterol jahat dan menyembuhkan radang sendi. Tak ada yang tahu pasti kapan dan bagaimana yogurt ditemukan. Neil R. Gazel dalam Beatrice: From Buildup Through Breakup mencatat apa yang sekarang dikenal sebagai yogurt mungkin sudah dikenal sejak zaman batu. Ia sudah disebutkan dalam Iliad karya Homerus dan Injil. Sementara Don Tribby dalam “Yogurt”, dimuat dalam buku The Sensory Evaluation of Dairy Products karya Stephanie Clark, Michael Costello, Floyd W. Bodyfelt, dan Maryanne Drake menyebut yogurt sudah ada sejak zaman Mesopotamia sekira tahun 5000 SM, tanpa kesengajaan.
- Wilders Kejepit Hitler dan Wagner
PERUPA Belanda Jasper de Beijer, 37 tahun, bikin kejutan. Dia membuat lukisan Geert Wilders muda dalam tampang aslinya. Tampang asli? Iya, karena ketika masih muda, pada usia awal 20-an, Wilders belum berambut pirang seperti sekarang. Politikus anti Islam pemblonda rambut itu masih berambut warna kelam, sesuai latar belakang indisch- nya. Wilders, seperti kita tahu, memang punya nenek moyang yang berasal dari Hindia Belanda, cikal bakal Indonesia.
- Siapa Peluk Istri Belanda alias Guling
SETIAP malam, sebagian dari kita terbiasa tidur dengan memeluk “istri Belanda” (Dutch wife) alias guling. Tanpanya tidur tak terasa nyaman. Tapi di masa lalu, tak semua orang bisa memilikinya. Hanya kalangan atas atau priyayi. Kisah dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer, menyentil kebiasaan itu. Dalam sebuah percakapan sesama mahasiswa School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Pendidikan Dokter Pribumi, Wilam membicarakan lelucon-lelucon dari kehidupan tuan tanah bangsa Inggris kepada sahabat-sahabatnya, termasuk Minke. “Tahu kalian apa sebab di dalam asrama tidak boleh ada guling?”
- Pembuka Jalan Gerakan Perempuan
USIANYA 87 tahun. Tapi kesehatannya terbilang masih baik. Dia masih suka minum kopi. Bicaranya masih lancar. Hanya kaki kirinya saja lumpuh. Dia pun hanya bisa berbaring di ranjang, di sebuah kamar berukuran 3 x 4 meter, di rumah anak seorang teman di Jalan Tegalan, Matraman, Kampung Melayu, Jakarta Pusat. Awal Februari lalu, bersama beberapa teman, saya menjenguknya. Walau sakit, dengan bersemangat dia menjawab tentang gerakan perempuan saat itu. Bahkan dia sempat menantang begini, “Ayo mau tanya apa lagi?”
- Mengabadikan Cinta Melalui Surat Cinta
KATA-KATA tertulis membekukan momen-momen cinta; bergejolak penuh harap atau menyerah kalah. Ketika penyair Roma, Ovid, menjalani masa pembuangan di Tomis, Laut Hitam, karena dianggap membahayakan moral bangsa Roma, surat cintanya bagi istri ketiganya penuh nada penyesalan dan kerinduan: “Semoga Tuhan mengizinkanku kembali melihatmu. Jika itu terjadi, aku akan mencium kedua pipimu; dan memeluk tubuhmu yang menjadi kurus sambil berkata, “ini semua akibat kegelisahan, yang aku sebabkan,” serta menangis tersedu-sedu mengingat kembali semua kesedihanku langsung di hadapanmu…”
- Perempuan dan Sabuk Hijau
KENYA, musim dingin 1999. Seorang perempuan tua menanam pohon di hutan rakyat Karuna di Nairobi sebagai bentuk protes atas kerusakan hutan. Namun, tak lama kemudian, sejumlah orang yang bekerja pada pengembang real estate menebangnya. Petugas keamanan pengembang lalu menyerang perempuan itu dan kelompoknya. Kepalanya kena bacok. Beberapa orang terluka.
- Tokek… Tokek… Tokek…
POSTURNYA tinggi, dibalut stelan putih-putih. Dia tampak bugar di usianya yang sudah uzur. Bahasa Indonesianya lancar, meski hampir 30 tahun meninggalkan Indonesia. “Indonesia adalah rumah kedua saya,” kata Horst Henry Geerken, saat menghadiri sebuah acara bedah buku di Jakarta. Geerken pernah tinggal di Indonesia pada 1963. Seharusnya dia hanya tinggal 3-4 tahun, tapi akhirnya sampai 18 tahun (hingga 1981). Dari seringnya melakukan perjalanan dinas dan pribadi, Geerken belajar menghargai Indonesia dan masyarakatnya. Dia lalu menjalin pengalaman pribadinya selama masa kekacauan politik dan rekonstruksi ekonomi Indonesia dalam sebuah buku dengan judul unik: Der Ruf des Geckos atau Panggilan Tokek . Tapi, mengapa tokek?
- Boikot Film
FILM-film impor, Hollywood maupun non-Hollywood, tak tayang lagi di bioskop-bioskop di Indonesia. Ini bagian dari ptotes Motion Picture Association of America (MPAA) dan Ikatan Perusahaan Film Impor Indonesia (Ikapifi) terhadap kebijakan Direktorat Jenderal Bea Cukai yang menerapkan bea masuk atas hak distribusi film impor. Kebijakan pemerintah itu menuai polemik. Ada yang menganggap kualitas film Indonesia masih jauh dari harapan, dan adanya film impor justru bisa membuat para insan film nasional belajar dari segi ide maupun teknik. Sebagian menilai selama ini pajak film impor terlalu kecil; cuma Rp 2 juta per kopi. Sementara besar pajak produksi film nasional saat ini sekira 10% dari keseluruhan pagu anggaran produksi sebuah film. Misalnya, film berbiaya produksi Rp 5 milyar, kena pajak Rp 500 juta. Jadi, ada masalah ketidakadilan, yang sudah lama menghimpit perfilman nasional.
- Di Balik Pembalut
Sri sudah mengenal pembalut modern ketika sekolah menengah pertama. Tapi meski haid datang, dia lebih memilih pembalut bikinan sendiri dari bahan kain “karena orangtua mengajarkannya seperti itu.” Meski tak ada kriteria khusus, biasanya kain yang dipakai adalah handuk atau kain bekas yang berdaya serap tinggi. Tinggal melipat-lipat lalu menaruhnya pada celana dalam. “Layaknya pembalut zaman sekarang aja. Cuma kalo sekarang kan pake perekat, kalo dulu pake peniti,” ujar Sri Wiediati, ibu rumahtangga asal Tangerang berusia 40 tahun.
- Ekonom Bersenjata
PAGI hari, 1 Oktober 1965, Presiden Lyndon Johnson di Gedung Putih menerima laporan singkat dari Central Intelligence Agency (CIA) mengenai perkembangan situasi di Indonesia: “Pergeseran kekuasaan yang mungkin punya dampak luas sedang terjadi di Jakarta.” Penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan penyusutan kekuasaan Sukarno mengubah tataran hubungan Indonesia-Amerika Serikat. Bagi Soeharto dan sekutu militernya, tugas penting mereka bersifat politis: menyingkirkan Sukarnois dari pemerintahan, mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, melanjutkan serangan terhadap sisa-sisa PKI, dan memperkuat cengkeraman tentara atas kekuasaan.
- Manuskrip Paling Misterius di Dunia
SETIDAKNYA sudah seabad para ilmuwan dibuat pusing oleh Manuskrip Voynich, sebuah manuskrip misterius berisi gambar dan tulisan yang maknanya hingga kini belum bisa dipecahkan. Baru-baru ini para ilmuwan Amerika berhasil menentukan bahwa manuskrip itu dibuat pada abad ke-15. Proses penentuan umur manuskrip itu dimulai tahun lalu. Namun kepastian soal usia manuskrip baru diumumkan minggu kedua Februari lalu. Manuskrip itu ternyata seratus tahun lebih tua dari perkiraaan semula, sekaligus mematahkan sejumlah teori tentang asal-muasal manuskrip itu.
- Buku "Sejarah Indonesia", Highlight Akar Peradaban hingga Menjadi Indonesia
PENULISAN kembali sejarah Indonesia yang jadi bagian dari perayaan 80 tahun kemerdekaan Indonesia tahun ini, akhirnya tiba pada peluncurannya . Kendati sempat menimbulkan polemik, buku sebanyak 11 jilid itu diluncurkan pada Minggu (14/12/2025) petang di Plaza Intan Berprestasi, Kementerian Kebudayaan RI, Jakarta. Bukunya diberi tajuk Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global. Ditulis oleh 123 penulis dari 34 perguruan tinggi dan 11 penulis dari lembaga non-perguruan tinggi se-Indonesia. Tak lupa diampu 20 editor jilid dan tiga editor umum: Prof. Dr. Susanto Zuhdi (Universitas Indonesia), Prof. Dr. Jajat Burhanudin (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta), dan Prof. Dr. Singgih Sulistiyono (Universitas Diponegoro). “Kita memfasilitasi para sejarawan menulis sejarah. Kalau sejarawan tidak menulis sejarah, lantas bagaimana kita merawat memori kolektif bangsa kita?,” ujar Menteri Kebudayaan RI Fadli Zon dalam agenda peluncuran buku tersebut. K-10 jilidnya meliputi sejarah panjang bangsa Indonesia sedari awal. Menurut editor umum Prof. Singgih, 10 jilid plus 1 jilid “Faktaneka dan Indeks” mencoba menarasikan proses “menjadi Indonesia” yang dimulai dari periode yang sangat awal, tepatnya di Jilid 1 dengan tajuk Akar Peradaban Nusantara. Lalu Jilid 2 bertajuk Nusantara dalam Jaringan Global: Perjumpaan dengan India, Tiongkok, dan Persia yang berkelindan ke Jilid 3 dengan judul Nusantara dalam Jaringan Global: Timur Tengah. “Dari jilid satu terjadi komunikasi dan interelasi di antara berbagai macam suku bangsa di Indonesia. Kemudian juga berinteraksi dengan dunia global yang kemudian akhirnya disusul juga karena kegiatan perdagangan, pelayaran. Akhirnya kita terlibat secara aktif di dalam perdagangan dan pelayaran internasional dengan India, dengan China, dengan Persia. Kemudian juga disusul dengan jejaring pelayaran dan maritim dengan Timur Tengah sehingga menghasilkan kebudayaan Indonesia, kebudayaan Nusantara yang sangat khas dan berbeda dengan kawasan lain,” jelas Prof. Singgih. Lantas disusul Jilid 4 Interaksi Awal dengan Barat: Kompetisi dan Aliansi (IV). Lalu Jilid 5 Masyarakat Indonesia dan Terbentuknya Negara Kolonial 1800-1900 , hingga Jilid 6 Pergerakan Kebangsaan , serta Jilid 7 Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan, dan Jilid 8 dengan tajuk Konsolidasi Negara Bangsa: Konflik, Integrasi dan Kepemimpinan Internasional (1950-1965). “Kita, ada satu jilid yang meneruskan jilid sebelumnya, yaitu bagaimana pemimpin kita pada waktu itu di bawah Bung Karno (Presiden Sukarno, red), melakukan konsolidasi negara bangsa dan mencoba menampilkan diri sebagai pemimpin dunia. Kemudian disusul dengan masa pemerintahan Orde Baru yang dipandang berfokus kepada stabilitas ekonomi, politik, dan keamanan. Meskipun di balik itu ada banyak paradoks yang terjadi sehingga akhirnya nanti ditutup dengan jilid yang terakhir tentang konsolidasi demokrasi,” tambahnya. Yang dimaksud adalah Jilid 9 Pembangunan dan Stabilitas Nasional: Era Orde Baru, (1967-1998). Lantas ditutup dengan Jilid 10 Dari Reformasi ke Konsolidasi: Demokrasi (1998-2024) , serta Jilid 11 Faktaneka dan Indeks. Meski tentunya diakui pula oleh Menteri Fadli Zon bahwa ke-11 jilid buku Sejarah Indonesia itu belumlah sempurna. Makanya ia hanya menegaskan bahwa buku itu seperti sekadar highlight atau pembuka jalan bagi sejarah-sejarah yang lebih detail lagi. “Saya kira ini highlight. Kalau sejarah kita ditulis secara lengkap harusnya 100 jilid. Jadi ini adalah highlight dari perjalanan soal akar peradaban Nusantara. Ada sejarah yang saya kira penting untuk kita tulis dari salah satu jilid ini tetapi harus kita pertajam, perluas karena kroniknya cukup lumayan banyak, dinamikanya banyak, yaitu sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia 1945-1950. Kita juga perlu menulis sejarah tentang Majapahit yang komprehensif, sejarah tentang Sriwijaya, sejarah tentang Pajajaran, tentang kerajaan-kerajaan, kesultanan-kesultanan, maupun perjuangan-perjuangan lainnya,” terang Fadli. Menetapkan Hari Sejarah Selain peluncuran buku, Menteri Fadli Zon juga resmi menetapkan tanggal 14 Desember untuk diperingati sebagai Hari Sejarah. Itu dituangkannya pula lewat Surat Keputusan Menteri Kebudayan No. 206/M/2025 tentang Hari Sejarah, tertanggal 8 Desember 2025. “Ada usulan dari Masyarakat Sejarawan Indonesia tentang penetapan Hari Sejarah. Disesuaikan dengan satu peristiwa seminar sejarah pada tanggal 14 Desember 1957 di Universitas Gadjah Mada (UGM) karena waktu itu kita baru merdeka, lagi melakukan konsolidasi dan menuliskan sejarah dengan cara pandang Indonesia, Indonesia-sentris,” jelasnya. Sebagaimana diketahui, lanjut Fadli, Belanda punya versi berbeda ketika menulis jejak sejarahnya di Indonesia. Sehingga kemudian banyak menimbulkan terminologi-terminologi berbeda dalam sebuah peristiwa sejarah. “Belanda tidak merasa pernah menjajah Indonesia, mungkin, dan apa yang dilakukan merupakan bagian dari modernisasi. Bagi kita apa yang terjadi itu adalah penjajahan. Bagi Belanda Aksi Polisionil. Bagi kita Agresi Militer. Jadi banyak terminologi-terminologi yang berubah dan saya kira ini merupakan satu tuntutan zaman, bagaimana kita memandang sejarah dari perspektif Indonesia dari sisi Indonesia-sentris ini,” lanjutnya. Seperti disebutkan di atas, penetapan tanggal 14 Desember seolah turut memperingati bagaimana tokoh-tokoh sejarah, politikus, cendekiawan, hingga jurnalis berkumpul di UGM dalam Seminar Sejarah Nasional I, 14-18 Desember 1957. Seminar itu bak upaya lanjutan dari dari terbentuknya Panitia Sedjarah Nasional tahun 1951 yang anggota-anggotanya antara lain Mohammad Yamin, Husein Djajadiningrat, dan RM. Ngabehi Poerbatjaraka. Seminar Sejarah Indonesia I di UGM pada 14-18 Desember 1957 turut disokong Kementerian Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Dalam seminar itu, visi dan aspek Indonesia-sentris – sebagaimana yang digaungkan Fadli Zon – sejatinya sudah eksis sejak seminar itu. Soal visi dan aspek Indonesia-sentris hingga periodisasi sejarah, para hadiri sama-sama satu kata. Hanja saja ketika sudah menyangkut konsepsi filsafat, terjadi “pertempuran” argumentasi dan retorika panas antara Moh. Yamin dan Soedjatmoko. Yamin adalah eks-Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1953-1955) dan sudah punya reputasi dengan karya historiografi 6000 Tahun Merah Putih (1951) yang bahkan kata pengantarnya diberikan langsung oleh Presiden Sukarno. Sedangkan Soedjatmoko berasal dari kalangan diplomat dan kaum intelektual Partai Sosialis Indonesia (PSI). Ia hadir untuk mewakili Mohammad Hatta yang sakit dan berhalangan hadir. “Yang satu (Yamin) pacak dan lincah yang lain (Soedjatmoko) agak kaku bicaranya. Yang saut bertubuh lebar, sedangkan yang lain jangkung dan langsing. Yang sastu orator, yang lain esais. Yang satu pandai mengucapkan kata-kata dan semboyan yang saban-saban memancing tepok tangan yang riuh dair pendengar yang berjumlah ratusan orang. Yang lain senantiasa berbicara dengan tenang; paling banyak reaksi di muka pendengarnya berupa senyuman,” tulis mingguan Star Weekly edisi 28 Desember 1957. Pada perdebatan itu, tampak panitia seminar cenderung mendukung Yamin. Akan tetapi tak sedikit komunitas sejarah yang terbatas condong mendukung Soedjatmoko. Hadir pula dalam seminar itu Sartono Kartodirdjo yang masih sejarawan muda. Ia pun mengakui bahwa meskipun seminar itu belum signfikan menghasilkan buku sejarah versi Indonesia-sentris, setidaknya sudah ada kesadaran menuju ke sana dan jadi tonggak penting penulisan sejarah di era berikutnya. “Meskipun seminar tidak memenuhi harapan peseta, tetapi tidak sedikit manfaatnya untuk memperdalam kesadaran akan peranan sejarah nasional sebagai sarana penting untuk pendidikan warga negara Indonesia, terutama untuk menimbulkan kesadaran nasionalnya dengan mengenal identitas bangsanya melalui sejarahnya,” tukas Sartono di kolom prakata buku Sejarah Nasional Indonesia (1975).





















