Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Utusan Presiden RI Dikerjai Kala Berupaya Ambil Hati Pemimpin PRRI
Ketika mengunjungi pamannya, Bung Hatta, pada awal 1958, Hasjim Ning mendapat reaksi tak biasa dari Bung Hatta yang berpembawaan tenang. Bung Hatta naik pitam karena diberitahu bahwa Kolonel Ahmad Husein ingin memberontak. “Apa A. Husein sudah gila, mau berontak? Apa ia tidak tahu bahwa anak buahnya yang sudah rata-rata berusia 30 tahun itu tidak lagi seampuh pada waktu berusia 20 tahun? Apalagi mereka itu sudah berkeluarga semua,” kata Bung Hatta, dikutip Hasjim dalam otobiografinya Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Apa yang dilakukan Husein merupakan respon lebih lanjut para perwira daerah terhadap jawaban yang diberikan pemerintah pusat tentang permintaan otonomi lebih luas dan pengembalian dwitunggal Sukarno-Hatta. “Pada tanggal 10 Februari 1958 mereka mengeluarkan sebuah ultimatum dari Padang yang menuntut supaya kabinet Djuanda mengundurkan diri dalam tempo lima hari, dan supaya dibentuk kabinet baru oleh Hatta dan Sultan Yogya. Jika tuntutan itu tidak dipenuhi, mereka akan membentuk pemerintah tandingan di Sumatera,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI . Tuntutan itu dijawab PM Djuanda-KSAD Nasution dengan memecat para perwira daerah yang membangkang. “Sikap yang diambil pemerintah pusat itu memaksa kaum pembangkang untuk melaksanakan ancaman mereka. Pada tanggal 15 Februari di Padang dibentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dengan Sjafruddin Prawiranegara sebagai perdana menteri,” sambung Sundhaussen. Rumitnya masalah dan cara penanganan yang mesti diambil itulah isi obrolan Bung Hatta dan Hasjim. Di tengah obrolan itulah Hasjim dipanggil Presiden Sukarno untuk makan malam di Istana Bogor. Hasjim lalu diberi tugas. “Hasjim, temui Husein ke Padang. Katakan kepadanya bahwa aku mau bicara dengan dia di sini. Aku jamin tidak akan terjadi apa-apa atas dirinya. Takkan seorang pun yang boleh dan berani melakukan penangkapan atasnya. Karena dia adalah anakku. Katakan juga kepadanya, kalau pemerintah dan angkatan perang bertekad melakukan tindakan militer, akan sulit bagiku untuk mencegahnya. Ini suatu dilema bagiku. Katakan begitu,” kata Presiden Sukarno memberi perintah sebagaimana dikutip Hasjim. Hasjim tak bisa menolaknya meski tugas itu amat berat. Meski yang akan ditemuinya sesama orang Minang dan dia punya reputasi bagus di sana sekaligus dikenal sebagai keponakan Bung Hatta, Hasjim masih dibayangi kegagalan tugas serupa sebelumnya. Terlebih, utusan-utusan yang berulangkali dikirim Jakarta untuk bernegosiasi dengan A. Husein selalu gagal. Eni Karim, utusan resmi pemerintah pusat; Mr. Hardi, utusan PM Djuanda; Bachtar Lubis, kawan Hasjim yang diutus KSAD Nasution; Mr. Nazir Pamontjak; dan Mr. Zairin Zain merupakan sederet utusan Jakarta yang gagal itu. Maka sebelum berangkat ke Padang, Hasjim kembali menemui Bung Hatta untuk meminta petunjuk. Penjelasan Bung Hatta justru membuat nyalinya ciut. “Aku katakan, Hasjim tidak akan berhasil, karena Husein sedang merasa dirinya di atas angin. Ia pikir rakyat Sumatera Barat mendukungnya. Sebenarnya tidak. Rakyat Sumatera Barat menghendaki daerah otonomi yang lebih luas. Kalau Sukarno mau membicarakan otonomi itu, Husein tidak berarti apa-apa lagi. Karena ia memang tidak berarti apa-apa bagi rakyat,” kata Bung Hatta. Kendati mengkritik cara penyelesaian Sukarno, Hatta tetap menyalahkan Husein. “Tindakan Husein itu sama dengan putsch militer. Itu sangat berbahaya bagi negara dan demokrasi. Penyelesaiannya mesti penyelesaian politik, bukan militer,” sambung Hatta. Hatta sendiri sudah berupaya ikut menyelesaikan persoalan itu dengan mengutus Baharudin Datuk Bagindo dan Bujung Djalil. Keduanya gagal. “Namun,” sambung Bung Hatta, “tidak ada salahnya kalau Hasjim mencoba. Hasjim harus tahu, aku orang partikelir. Beda dengan Sukarno, yang mengutus Hasjim. Karena ia presiden. Kalau Hasjim gagal, A. Husein telah betul-betul menentang pemerintah menurut konstitusi.” Hasjim akhirnya berangkat ke Padang. Di Bandara Kemyoran, dia ketemu Direktur BI Mr. Lukman Hakim. Hasjim dititipi pesan untuk Sjafruddin Prawiranegara yang jabatan resminya presiden Bank Indonesia. “Bung Hasjim, temui Pak Sjafruddin. Katakan kepada beliau, pergilah ke mana saja dalam rangka cuti atas tanggungan Bank Indonesia,” kata Lukman pada Hasjim. Tiba di Padang, Hasjim langsung mencoba menemui Husein namun gagal. Kata orang-orang yang ditemuinya, Husein berada di Bukittinggi. Maka Hasjim langsung menemui Wowo, perwakilan dari Djakarta Motor Company, perusahaan otomotif milik Hasjim, untuk diantar ke Bukittinggi. Hasjim dan Wowo berangkat selepas magrib diantar seorang driver . Dalam keadaan hujan lebat di daerah menjelang Kayutanam, Wowo menghentikan bus dari lawan arah untuk menanyai keberadaan Husein. “Sopir mengulangi pertanyaan itu kepada penumpang. Aku mendengar penumpang berteriak mengatakan bahwa A. Husein tidak ada di Bukittinggi,” kata Hasjim mengisahkan kelakuan supirnya. “Aku sudah mulai curiga pada Wowo. Dahulu ia seorang perwira, kini ia seorang pengusaha. Kok ia menanyakan A. Husein kepada orang banyak. Seolah-olah ia tidak memahami sekuriti militer lagi.” Kecurigaan Hasjim bertambah ketika tiba-tiba mobil yang ditumpanginya mogok dalam perjalanan setelahnya. Hasjim menganggap janggal tindakan Wowo yang, sebagai orang paham mesin, langsung mengatakan perjalanan tak bisa dilanjutkan alih-alih mengecek mesin mobil terlebih dulu. Lantaran dongkol, Hasjim menyerahkan perjalanan selanjutnya kepada Wowo yang kemudian memilih putar arah ke Padang. Setelah keduanya basah kuyup mendorong mobil agar mengarah ke Padang, perjalanan dilanjutkan dengan mobil bergerak di jalan menurun dalam kondisi mesin mati. Atas perintah Hasjim, supir memasukkan persneling ke gigi empat dan mesin pun hidup. Namun, mesin mobil hanya hidup sampai Lubuk Buaya. Kali ini, mobil mogok karena kehabisan bensin. “Aku bertambah dongkol. Masa untuk perjalanan jauh, Wowo tidak menyuruh tangki mobilnya diisi penuh,” kata Hasjim. Hasjim dan Wowo akhirnya menyewa bendi untuk mencapai Padang. Mobil dan supir mereka tinggalkan di tempat. Setelah itu Hasjim tak pernah mau ditemui Wowo meski Wowo dua kali berupaya menemuinya dengan mendatangi hotel. Hasjim berpaling kepada Ketua IPKI –partai politik yang Hasjim ikut dirikan bersama AH Nasution– Padang Mustafa Kamal untuk upayanya menemui Husein. Namun alih-alih membantu, Mustafa justru menasihati Hasjim. “Percuma saja menemui A. Husein. Bung bisa ditangkap dan dikenai tahanan rumah seperti Bujung Djalil yang diutus Bung Hatta baru-baru ini,” kata Mustafa, dikutip Hasjim. Atas saran Mustafa agar segera kembali ke Jakarta sebelum hari ultimatum Husein tiba, Hasjim akhirnya kembali ke Jakarta tanpa bisa menemui Husein. Sempat tanpa sengaja bertemu Sjafruddin Prawiranegara dan menyampaikan pesan dari Lukman Hakim, Hasjim menumpang pesawat Garuda Indonesia untuk kembali esoknya. “Aku pikir, nasihatnya itu benar juga. Ternyata, pada hari keberangkatanku itu A. Husein dan kawan-kawannya mengumumkan pembentukan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Jadi, aku benar-benar berangkat dengan pesawat terakhir,” kata Hasjim yang akhirnya membenarkan prediksi Bung Hatta sebelum berangkat.
- Kisah Hoegeng dan Anak Menteri
Kapolri Jenderal Hoegeng Iman Santoso sekali waktu kedatangan tamu tak diundang. Ceritanya, pada suatu malam, anggota polisi dan petugas bea cukai mengantarkan seorang remaja tanggung ke hadapannya. Hoegeng membatin dalam hati seperti ada sesuatu yang tidak beres. Benar saja demikian. “Siapa dia?” tanya Hoegeng. “Pengisap ganja, Pak,” demikian dijawab. “Bapaknya orang penting, Pak, mau diapakan?” Hoegeng menatap anak muda itu dengan perasaan heran. Dalam hatinya, Hoegeng kembali bertanya mengapa anak ini sampai terjebak dalam dunia gelap. Menurut laporan, remaja tanggung ini tertangkap tangan tengah mengisap ganja ditempat yang sudah lama dicurigai kepolisian. “Kalau saya tak salah ingat, seorang pedagang rokok yang diam-diam menjual ganja kecil-kecilan,” kata Hoegeng kepada Abrar Yusra dalam otobiografi Hoegeng, Polisi: Idaman dan Kenyataan yang disusun Ramadhan K.H . Mulanya Hoegeng menerka, remaja pengisap ganja ini barangkali anak pejabat Pemda DKI. Jika bukan demikian, mungkin anak pejabat departemen di bawah dirjen. Betapa malunya anak itu ketika diinterogasi sehingga tidak mau menyebutkan siapa orang tuanya. Namun dengan pendekatan kebapakan, Hoegeng berhasil menguak identitas anak tersebut. “Masya-Allah, saya benar-benar terperanjat: anak seorang menteri!” kenang Hoegeng. Setelah diusut, Hoegeng tidak serta merta menjebloskan anak itu ke dalam tahanan. Menurut pengakuan si bocah, ayahnya tidak mengetahui bahwa dirinya mengisap ganja. Hoegeng membayangkan dirinya sejenak sebagai seorang menteri yang sibuk mengurus tugas-tugas negara. Dengan pemikiran demikian, Hoegeng tidak dapat mengatakan sang menteri bersalah secara langsung karena anaknya mengisap ganja. Maka, saat itu juga Hoegeng segera menghubungi bapak menteri bersangkutan via telepon. “Mas, puteranya ditangkap, mengisap ganja. Mas mau urus sendiri atau kami tindak?” kata Hoegeng. Kendati disampaikan dalam nada bersahabat, Hoegeng tetap mengultimatum sang menteri. Apabila tidak mampu mengurus anaknya, maka kepolisian yang akan bertindak. Kasus itupun selesai tanpa mengemuka ke publik. Hoegeng sendiri mengakui terlambat menyadari betapa berbahayanya zat psikotropika pada ganja. Semula Hoegeng hanya mengetahui, ganja atau mariyuana lazim dipakai sebagai bumbu masakan gulai orang Aceh. Pandangannya terhadap ganja berubah setelah mengikuti Interpol Conference pada September 1970 di Brussel, Belgia yang turut membahas ancaman narkotika. Sejak itulah Hoegeng menggencarkan operasi pemberantasan peredaran narkotika.
- Sulitnya Menghadapi Wabah
KASUS penularan virus korona di Indonesia terus naik. Per Juli 2020, jumlah kasus di Indonesia sudah melampaui China. Syahrizal Syarif, ahli epidemiologi Universitas Indonesia, menilai tingginya kasus baru dikarenakan pemerintah tidak serius dalam menangani wabah dengan melonggarkan pembatasan wilayah di saat kondisi belum terkendali. "Harus ada langkah ekstrem dan berani dalam situasi yang sangat longgar saat ini," kata Syahrizal seperti dikabarkan Tempo . Syahrizal juga menilai pemerintah menganggap enteng pandemi yang seolah akan berakhir seiring waktu. Saran dari para ahli kesehatan dan wabah seperti karantina wilayah, penerapan protokol kesehatan, pemeriksaan, dan pelacakan tidak dijalankan secara serius. Sikap pemerintah tersebut juga menyebabkan kelengahan masyarakat dalam menjalankan protokol kesehatan pencegahan covid. Beberapa bahkan mengaggap pandemi ini bukanlah situasi genting atau tidak separah yang diberitakan. Kondisi serupa juga terjadi dalam sejarah wabah yang terjadi di Indonesia. Kala wabah tifus menyerang Jawa, pemerintah kolonial tidak sepenuhnya mendengarkan saran dari ahli kesehatan. Gubernur Jenderal J.J. Rochussen mulanya meminta nasihat Kepala Dinas Kesehatan Koloni dokter Willem Bosch, 1847. Pada 13 April 1847, giliran Sekretaris Jenderal C. Visscher meminta Bosch memberi usulan langkah kesehatan yang bisa diambil pemerintah kolonial untuk menangani wabah. Bosch meresponnya dengan melakukan riset kesehatan tentang penyebab wabah. Bosch menemukan: wabah terjadi karena penduduk kurang gizi setelah gagal panen, musim yang tidak menguntungkan, akomodasi buruk, pakaian tidak memadai, dan makanan tidak mencukupi. Ia juga menekankan penduduk membutuhkan bantuan segera agar tak makin banyak korban. Bosch mengusulkan pemerintah memberi bantuan dana, pembagian selimut, karantina wilayah, dan penyediaan obat dan layanan kesehatan. Usulan Bosch pada 25 April 1847 diteruskan Gubernur Jenderal Rochussen kepada Menteri Koloni JC Baud. Namun dalam memonya, Rochussen berkomentar sinis pada usulan Bosch. Rochussen menilai usulan Bosch sebagai sebuah pemborosan besar-besaran. Rochussen menganggap enteng masalah wabah itu dan meyakini Bosch hanya melebih-lebihkan kondisi yang ada. “Saya ingin percaya bahwa epidemi memang terjadi dengan banyak nyawa hilang, tetapi saya tidak percaya bahwa wabah ini seburuk yang dikatakan orang,” kata Rochussen seperti ditulis Liesbeth Hesselink dalam bukunya Healers on the Colonial Market. Liesbeth mencatat, beberapa bupati menjalankan saran Bosch meski Rochussen berkomentar negatif. Sementara kala wabah pes menyerang Jawa, kenaifan penduduk tidak hanya berakibat pada rendahnya kepatuhan pada aturan karantina tetapi juga sempat memicu konflik dengan petugas medis. Dalam tesisnya “Dukun dan Mantri Pes”, Martina Safitry menceritakan kala wabah pes melanda pada awal abad ke-20, tiap desa terjangkit dijaga dua-tiga petugas atau polisi desa saat penduduk diungsikan ke barak karantina. Namun, penduduk sering kucing-kucingan dengan menyelinap keluar kamp karantina pada sore hari. Mereka menjaga rumah masing-masing pada malam hari agar tak kemalingan. Paginya, penduduk kembali ke kamp karantina. Penolakan juga terjadi kala petugas kesehatan hendak mendeteksi penyebab kematian penduduk. Biasanya aktivitas itu dilakukan dengan pengambilan jaringan limfa pada jasad korban oleh mantri. Jaringan limfa kemudian diteliti untuk menentukan penyebab kematian, pes atau bukan. Namun, ketidaktahuan warga seringkali menyulitkan mantri yang bertugas. Mereka menolak prosedur tersebut dan mengusir petugas kesehatan, bahkan melemparinya dengan batu. Menurut Liesbeth, petugas disinfektan bahkan ada yang dibunuh oleh warga. Mereka mengira petugas tersebut dikirim pemerintah kolonial untuk memasang sihir. Proses disinfektasi demi mencegah wabah dikira mereka sebagai ritual ilmu hitam untuk mencelakai desa. Keawaman penduduk terhadap layanan medis juga dijumpai dalam pencacaran di abad ke-19. Sebagaimana diceritakan Baha’Udin dalam “Dari Mantri Hingga Dokter Jawa” yang dimuat jurnal Humaniora Oktober 2006, para orang tua di Madiun enggan mencacarkan anaknya pada 1831. Kabar burung yang tersebar menyatakan bahwa vaksinasi hanya akal bulus residen yang ingin menjadikan anak-anak kampung sebagai makanan untuk buaya peliharaannya. Beredarnya kabar ini membuat para ibu langsung melarikan anak mereka dengan bersembunyi ke hutan. Penolakan vaksin juga terjadi di Pulau Bawean. Seluruh penduduk tidak mau menerima vaksin karena tidak disetujui ulama. Namun ada pula alasan penolakan layanan kesehatan yang bisa diterima akal. Beberapa warga meragukan efektivitas vaksin karena ada anak yang tetap tertular cacar meski sudah divaksin. Mereka tidak tahu di masa itu vaksin rentan rusak bila terpapar panas dan tidak segera digunakan. Maka meski para ilmuwan dan ahli kesehatan terus berupaya memperbarui vaksin dan memberikan layanan kesehatan, penolakan tetap hadir di depan mata.
- Adam Malik Hilangkan Sketsa-sketsa Karya Sudjojono
Pada masa revolusi kemerdekaa, pelukis S. Sudjojono turut bergerilya di tengah pertempuran-petempuran melawan Belanda. Meski tak bisa menembak, ia memiliki senjata untuk berjaga-jaga. Namun, perannya yang lebih penting pada masa ini adalah menggambar sketsa-sketsa yang menjadi sumber sejarah dalam bentuk visual. Dosen FSRD ITB, Aminudin TH Siregar dalam dialog sejarah “Seni dan Politik: Riwayat Sudjojono dan Karya-karyanya” di saluran Facebook dan Youtube Historia.id , Selasa, 21 Juli 2020, menyebut bahwa banyak sketsa yang dibuat Sudjojono merekam berbagai peristiwa di sekitar revolusi. Aminudin mencontohkan, kala itu Sudjojono sering mengisi ilustrasi dalam majalah Suluh Tentara. Tema-tema revolusi seperti situasi gerilya dan keadaan para prajurit banyak ia abadikan dalam sketsa. Sketsa-sketsa itu kemudian ia buat versi lukisannya setelah revolusi fisik usai. Sayangnya, sketsa-sketsa penting periode 1946-1949 itu kini telah tiada. “Nah ini kita kehilangan, karena menurut pengakuan Sudjojono sendiri di tahun 1980-an, dalam satu wawancara dia mengatakan bahwa sebenarnya sketsa-sketsa itu pernah dibeli oleh Adam Malik,” ungkap Aminudin, kandidat doktor Universitas Leiden, Belanda. Sementara itu, Tedjabayu Sudjojono, anak pertama Sudjojono, mengaku sebagai pemilik sketsa-sketsa itu. Sketsa itu diberikan Sudjojono kepadanya. Namun suatu ketika dipinjam lagi untuk keperluan Adam Malik. “Betul sekali dan saya sakit hati karena seluruhnya sketsa-sketsa itu milik saya, Bung. Diberikan kepada saya, lalu dipinjam oleh Sudjojono. Lalu ketika saya tanyakan lagi tahun ‘65 beliau tidak mengaku. Bung Adam Malik saya tanya juga tidak mengaku,” kata Tedjabayu. Tedjabayu menerangkan bahwa sketsa-sketsa tersebut merupakan rekaman peristiwa pada periode ketika keluarga Sudjojono mengungsi di Desa Senden, Yogyakarta. Sketsa-sketsa itu kebanyakan menggambarkan taruna-taruna serta kadet-kadet Militer Akademi (MA) Yogyakarta. Menurut Aminudin, sketsa itu hilang karena kesibukan Adam Malik sebagai seorang diplomat. Adam Malik banyak melakukan perjalanan ke luar negeri yang menyebabkan barang-barangnya sering berpindah-pindah tempat. Hal inilah yang memungkinkan salah satu koper yang berisi sketsa-sketsa itu terselip dan hilang. “Jadi dia bolak-balik dan itu ada terselip dalam satu koper. Menurut pengakuan Pak Djon, Pak Djon juga nanyain ke Adam Malik sketsa-sketsa beliau di mana saat itu. Kata Adam Malik, wah sudah keselip di koper,” kata Aminudin. Hilangnya karya-karya Sudjojono juga tak hanya kali itu terjadi. Aminudin menyebut bahwa pada masa revolusi, sekitar 40 lukisan Sudjojono hilang. Kehilangan besar itu terjadi ketika Sudjojono tengah menyiapkan pameran tunggal. Namun, sebelum pameran terlaksana, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Pameran dibatalkan, Sudjojono dan keluarga lalu mengungsi. Sementara itu, lukisan-lukisannya sempat disembunyikan di bawah tanah namun ketahuan oleh Belanda. “Lukisan itu disimpan, kemudian ditemukan dan dihancurkan oleh tentara-tentara Belanda, ditembak-tembak,” kata Aminudin. Selain lukisan, patung-patung pahatan Sudjojono juga tak luput dari amukan serdadu Belanda. Patung-patung itu dibuat ketika berada di Bogem, Yogyakarta, di mana ia banyak memahat batu-batu dari pinggir sungai sebagai bentuk eksplorasi media baru kala itu. Hilangnya karya-karya Sudjojono tentu sangat disayangkan. Selain merupakan bagian dari sumber sejarah dalam bentuk visual, karya-karya itu juga merupakan bagian penting yang bisa melengkapi timeline jejak Sudjojono sebagai seorang seniman.
- Menanti Reuni Tyson vs Holyfield
ANDAI samsak hijau yang bergantung pada seutas rantai atau punching ball oranye bisa bicara, mungkin ia akan teriak minta ampun setelah bertubi-tubi jadi sasaran pukulan petinju legendaris Mike Tyson. Walau usianya tak lagi muda, 54 tahun, berjuluk “si Leher Beton” itu sejak April 2020 sedang intens latihan di sasana Kings MMA, Huntington Beach, California, Amerika Serikat. Pukulan-pukulan kombinasi Tyson juga terus menerjang sepasang mitt tinju yang dikenakan pelatihnya kala sesi sparring . Derasnya peluh yang mengucur dari kepala dan tubuhnya kian memacu keganasannya “menembak” sasaran-sasaran itu dengan pukulannya, sebagaimana yang terlihat lewat video yang ia unggah di media sosial Instagramnya, @miketyson , Selasa (21/7/2020). Tyson sedang merencanakan serangkaian pertarungan. Tentu bukan pertarungan kompetitif, melainkan eksebisi untuk tujuan amal yang akan disalurkan lewat yayasan amalnya, TYSON Cares Foundation. Beberapa nama petinju dimunculkan untuk jadi lawannya di atas ring. Mulai dari Tyson Fury, Riddick Bowe, hingga Evander Holyfield yang telinganya digigit Tyson dalam pertarungan 23 tahun lampau yang populer sebagai “Bite Fight”. Evander Holyfield & Michael Gerard 'Mike' Tyson bersahabat di masa tua (Foto: Instagram @miketyson) Baca juga: Ada Trump di Sudut Ring Mike Tyson Jika keduanya bersua di atas ring kembali untuk kali ketiga, akan jadi momen bersejarah. Toh sejak Mei 2020, Holyfield yang kini berusia 57 tahun juga membuka diri menyoal pertarungan eksebisi Tyson vs Holyfield jilid III. “Mike dan saya sudah membicarakan tentang (eksebisi) ini dan sejak itu perwakilan saya dan dia juga sudah saling diskusi. Kami memang belum mencapai kata sepakat tapi yang pasti sudah ada pembicaraan ke arah sana,” kata Holyfield, disitat Essentially Sports , 19 Mei 2020. “Banyak orang-orang besar dari negara-negara berbeda ingin kami menggelar pertarungan. Saya pribadi, ya, jika ada cara untuk kami bertarung lagi, saya bersedia. Saya yakin akan jadi ajang besar. Lagipula takkan ada yang mendapat keputusan menang atau kalah atau tersungkur KO. (Hanya) eksebisi,” tambahnya. Di Balik Tyson vs Holyfield MGM Grand Garden Arena di Paradise, Nevada, Amerika Serikat pada malam 9 November 1996 jadi saksi pertarungan pertama Tyson dan Holyfield. Keduanya tengah dalam puncak karier kedua. Baik Tyson maupun Holyfield sebelumnya sama-sama mati-matian bangkit dari penurunan performa di tinju kelas berat dunia. Namun, itu bukan pertemuan pertama mereka. Menurut James J. Thomas II, pengacara yang turut jadi manajer Holyfield di karier profesionalnya, dalam biografi The Holyfield Way: What I Learned about Courage, Perseverance, and the Bizarre World of Boxing , keduanya bertemu untuk pertamakali saat meniti karier di tinju amatir. “Evander dan Tyson bertemu di ring pada awal 1984, sebagai dua dari beberapa petinju amatir teratas Amerika Serikat yang berkumpul di Colorado Springs, sebuah fasilitas pelatihan jelang Olimpiade 1984 di Los Angeles. Sosok Tyson di usia 18 tahun sangat berotot, powerful , cepat, dan bertalenta. Ia jadi perhatian di antara peserta seleksi dan tak heran tiada seorangpun yang mau berisiko cedera jika sparring dengan petinju ganas asal Brooklyn, New York itu,” tulis Thomas. “Kecuali Evander, petinju kelas berat-ringan berprospek dari Atlanta, Georgia yang pendiam, sopan, dan khas laiknya bocah dari Selatan. Ketika pelatih Pat Nappy kesulitan mencari lawan latih tanding dengan Tyson, Evander mengajukan diri. Pelatih sempat menolak karena mereka beda kelas dan Tyson berbobot 25 pound (11,3 kg) di atas Evander. Namun Evander bersikukuh dan Nappy akhirnya mengizinkan dengan syarat, pertarungannya half speed (tidak 100 persen serius),” imbuhnya. Baca juga: Jalan Berliku Judoka Krisna Bayu ke Olimpiade Tetapi ketika lonceng dibunyikan, Holyfield justru bertarung dengan 100 persen kemampuannya. Keduanya sampai terlibat pergulatan sengit yang memaksa pelatih Nappy menghentikan sparring . Singkat cerita, Tyson gagal lolos seleksi tim Amerika, sementara Holyfield terpilih dan di olimpiade ia merebut medali perunggu. Keduanya lalu memilih jalan berbeda ketika masuk tinju profesional. Tyson tetap di kelas berat, sementara Holyfield dari kelas berat-ringan masih “bertualang” lagi di kelas jelajah sebelum masuk kelas berat di tahun 1989. Keduanya baru bertemu lagi 12 tahun setelah sparring di “pelatnas” tinju Amerika itu. “Holyfield dan saya sudah kenal lama. Kami berteman baik di (pelatnas) yunior Olimpiade. Dia memang selalu mendukung saya saat bertarung dan sebaliknya. Di tinju amatir dia sering kalah di mana semestinya dia bisa menang. Saat kami masih muda, kami takkan menyangka akan berhadapan dan sama-sama mendulang banyak uang,” ujar Tyson dalam otobiografinya, Undisputed Truth . Holyfield dan Tyson berkawan sejak masa muda di "pelatnas" tinju Amerika, di mana Holyfield berkalung perunggu Olimpiade 1984 (Foto: Instagram @miketyson/@evanderholyfield) Tyson saat itu belum lama keluar dari penjara akibat kasus pemerkosaan pada 1992. Karena campur tangan Donald Trump, pebisnis yang kini jadi presiden Amerika, Tyson bebas bersyarat pada 1995 meski hakim memvonisnya enam tahun penjara. Sekembalinya ke atas ring, Tyson merebut sabuk gelar kelas berat WBC setelah menganvaskan Frank Bruno hanya dalam tiga ronde pada Maret 1996. Di tahun yang sama, Tyson sukses meraih gelar WBA pada September setelah menyungkurkan Bruce Seldon lewat kemenangan TKO. Adapun Holyfield yang sempat pensiun pada 1995, comeback untuk mendaki tangga WBA agar bisa jadi penantang gelar. Debutnya gemilang meski menang lewat keputusan RTD (Referee Technical Decision) atas Bobby Czyz pada Mei 1996. Baca juga: Presiden Jago Tinju, Gulat Hingga Jiu-Jitsu Bagi Holyfield, bisa menantang Tyson akan jadi “jalan pintas” untuknya menggapai masa keemasan keduanya. Tak lama setelah melawan Czyz, Holyfield meminta Thomas manajernya untuk mengikat kesepakatan pertarungan dengan Tyson meski saat itu Tyson sudah dijadwalkan bertarung melawan Seldon pada September. “Dia bilang sangat yakin bisa mengalahkan Tyson jika saya bisa membuat kesepakatan pertarungannya. Saya tanya, kenapa dia berpikir bahwa dia akan mengalahkan petinju berjuluk ‘ The Baddest Man on the Planet ’ ketika tiada satupun petinju kelas berat top bisa bertahan sekian ronde. Evander mengoreksi saya dan bilang bahwa dia tak berpikir, namun dia tahu akan mengalahkannya,” sambung Thomas. Holyfield (kanan) saat melawan Bobby Czyz (Foto: boxinghalloffame.com ) Holyfield lantas mengatakan, sejak ia berhadapan dengan Tyson di tinju amatir, ia merasa suatu saat akan kembali berhadapan di arena profesional dan di tahun itu adalah saat yang tepat. Tiada rasa gentar karena Holyfield selalu melihat celah atas keuntungan psikis terhadap Tyson. “Tiada alasan untuk takut pada Mike Tyson. Dia petinju hebat dan sangat powerful , namun dia hanya manusia seperti saya. Ibu saya mengajarkan hanya takut pada Tuhan. Lagipula saya yakin benar Mike takkan melukai saya separah kakak saya Eloise saat kami kecil. Mike memang punya power yang besar, tetapi begitupun saya,” tutur Holyfield, dikutip Thomas. Baca juga: Tinju Kiri Ali di Jakarta Pada April dan Mei 1996, Thomas menjajaki rencana itu dengan promotor kondang Don King. Rencana itu nyaris batal lantaran Don King dianggap Holyfield tak adil dalam pembagian pendapatan pertarungan. Di muka, Don King menawarkan Holyfield mendapat USD5 juta, sementara Tyson USD30 juta dari pertarungan itu. Negosiasi alot berjalan sampai Don King bersedia menaikkan tawaran USD10 juta untuk Holyfield, serupa dengan yang diterima Seldon ketika melawan Tyson pada September 1996. Tyson vs Holyfield I pada November 1996 (Foto: Youtube @ElTerribleProductions/Instagram @lesboxeursdudimanche) Sementara, Holyfield bersikeras setidaknya ia bisa mendapat USD15 juta. Tetapi akhirnya Holyfield sudi menerima USD10 juta dengan opsi rematch jika menang dan akan mendapatkan kenaikan hingga USD20 juta. Tyson pun tak butuh waktu lama untuk menyatakan kesediaannya meladeni Holyfield. Dia “pede” bisa mengalahkan kawan lamanya itu. “Holyfield sedang tak dalam performa baik dalam beberapa pertarungan sebelum pertarungan kami. Saya menonton dia saat melawan Czyz dan Czyz benar-benar menghajarnya sebelum dia kalah (dari Holyfield) di ronde kesepuluh. Jadi saya tak latihan serius jelang lawan Holyfield. Saya juga tak menetapkan strategi khusus, sekadar maju dan memukul saja. Lagipula saya diunggulkan 25:1,” kata Tyson mengenang. Sebaliknya, Holyfield menyiapkan diri dengan sangat serius. Dia merekrut eks-jawara WBA Mike Weaver sebagai asisten pribadi dan eks-jawara WBC David Tua sebagai lawan latih tanding yang punya style bertarung mirip Tyson. Tandukan Dibalas Gigitan Pertarungan Tyson vs Holyfield jilid I memperebutkan gelar kelas berat WBA akhirnya dimenangi Holyfield secara TKO di ronde kesebelas. Sesuai kontrak dengan Don King sebelumnya, rematch digelar karena Hollyfield menang. Tyson sangat menantikan tarung ulang itu lantaran ia merasa dicurangi oleh wasit yang mengabaikan serangkaian tandukan kepala Holyfield. Tim pelatih Tyson juga mencurigai Holyfield menggunakan steroid. “Croc (Steve ‘Crocodile’ Fitch, red. ) yakin bahwa Holyfield mengonsumsi steroid. Salah satu petinju mantan atlet olimpiade Lee Haney juga menggunakannya. Dia bilang Holyfield terlihat normal ketika timbang berat badan namun saat dia masuk ring, dia tampak seperti Goliath,” singkap Tyson. “Saya ingin melawan Holyfield lagi, saya sangat marah. Walau masih nyeri, saya sudah mulai latihan lagi malam setelah pertarungan. Saya marah mengingat kehilangan gelar, namun saya tak ingin menengok ke belakang,” lanjutnya. Baca juga: SAMBO, Seni Beladiri dari Negeri Tirai Besi Tyson vs Holyfield II pada Juni 1997 (Foto: Instagram @mistahprince/@boxinglegacy) Tyson belajar dari pengalaman sehingga menyiapkan diri dengan lebih serius. Ia beralih pelatih dari Jay Bright ke Richie Giachetti. Meski begitu, di pertarungan itu Tyson harus kembali merelakan gelar WBA gagal direbutnya. Ia dinyatakan kalah lewat keputusan diskualifikasi. Arena MGM Grand Garden kembali jadi medan pertarungan Tyson Holyfield II, 28 Juni 1997. Di ronde ketiga ketika pertarungan sengit, Tyson berulang-kali terkena tandukan Holyfield. Alhasil pipi dekat mata kanan Tyson sobek. Tiap kali insiden itu terjadi, Tyson protes namun wasit Mills Lane selalu menyatakan tandukan itu tidak disengaja. Tyson yang kesal lantas membalas dengan menggigit kuping kanan Holyfield ketika lawannya kembali “bermanuver” menunduk dan hendak menyundul Tyson lagi. “Saya akan melakukannya lagi jika terprovokasi dan sedang berada dalam situasi yang sama. (Wasit) Mills Lane tak melindungi saya dari tandukan-tandukan Holyfield,” ketus Tyson. Baca juga: Ronde Terakhir Roger Mayweather Telinga kanan Holyfield setelah digigit Tyson (Foto: Instagram @evanderholyfield) Holyfield yang mengerang kesakitan berlari ke sudut ringnya dan dikejar Tyson. Ketika wasit sukar memisahkan Tyson, petugas keamanan pun naik ring untuk melerai keributan dan pertarungan dihentikan. Holyfield dinyatakan menang lewat putusan diskualifikasi dan Tyson disanksi larangan bertarung serta denda USD3 juta oleh Nevada State Athletic Commission, walau setahun kemudian sanksi itu dicabut. “Tetapi itu sudah berlalu. Hari-hari berikutnya sangat hebat. Saya juara dunia yang mendapat penghasilan USD33 juta. Jeleknya memang kuping saya jadi berbentuk runcing walau tentu ada hikmah di balik itu,” ujar Holyfield. Namun seiring keduanya pensiun dari tinju profesional, tiada rasa dendam di benak masing-masing legenda tinju dunia itu. Terlebih pada 16 Oktober 2009 dalam program TV “The Oprah Winfrey Show”, Tyson meminta maaf secara langsung pada Holyfield dan Holyfield dengan tulus memaafkan Tyson. Baca juga: Melacak Jejak Pencak Silat
- Awal Mula Orang Nusantara Mengenal Gorengan
Prasasti Rukam yang ditemukan di Temanggung dari sebelas abad lalu menyebutkan hidangan yang disajikan usai penetapan sima (tanah bebas pajak). Makanan itu diolah dengan cara diasinkan dan dipanggang. Beragam ikan dan daging tak dijelaskan proses pengolahannya. Prasasti-prasasti dari masa Jawa Kuno maupun Bali Kuno lebih sering mencatat makanan yang diolah dengan cara dikeringkan, diasinkan, diasap, direbus, dan dipepes (dikukus). Eny Christyawaty, peneliti Balai Arkeologi Medan, mencontohkan orang Mentawai yang masih mengolah makanan dengan cara seperti itu. Mereka mengolah daging dengan diasap atau direbus; mengasinkan makanan dengan air laut; serta mengolah sagu, keladi, pisang, dan ikan dengan dibakar. “Di kalangan orang Mentawai yang masih sangat tradisional tidak dikenal cara memasak dengan menggoreng,” tulis Eny dalam Jejak Pangan dalam Arkeologi. Cara mengolah makanan dengan menggoreng belum lama dikenal masyarakat Nusantara. Diperkenalkan Orang Tionghoa Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Jaringan Asia menyebut teknik menggoreng diadopsi dari orang Tionghoa. Kuali dan penggorengan pun adalah alat memasak yang dibawa oleh orang-orang Tionghoa. Sinolog Thomas O. Hӧllmann dalam The Land of the Five Flavors: a Cultural History of Chinese Cuisine menyebut bahwa menggoreng adalah salah satu dari banyak metode memasak yang sudah lama dikenal oleh orang Tionghoa. Di dalamnya termasuk teknik stir-fry ( jian chao ) dan deep-fry ( zha ). Zha dilakukan dengan mencelupkan makanan ke genangan minyak panas. Teknik ini membutuhkan wajan atau penggorengan yang cukup dalam agar bahan makanan bisa tercelup dengan baik di dalam minyak panas. Di Nusantara, cara ini digunakan khususnya ketika membuat kudapan gorengan. Sementara itu, Jian chao atau tumisan dilakukan dengan sedikit minyak goreng yang dipanaskan di atas api bersuhu tinggi, lalu diaduk dengan cepat. Rongguang Zhao, ahli sejarah dan budaya makanan Tiongkok di Zhejiang Gongshang University, d alam A History of Food Culture In China , mengatakan bahwa metode ini adalah yang utama dalam mengolah masakan tradisional Tiongkok. Sejarah kuliner Tiongkok mengungkap bahwa teknik menumis berkembang dari penggunaan peralatan masak besi. Hӧllmann menjelaskan peralatan besi menjadi semakin penting untuk mengolah makanan sejak abad ke-3 dan seterusnya. “Orang Tiongkok sudah memanfaatkan teknologi pengecoran untuk membuat peralatan masak jauh sebelum teknologi itu tiba di Eropa,” catat Hӧllmann. Menurut Hӧllmann, bentuk awal wajan, wajan cekung yang dalam, mungkin telah dikembangkan ketika itu juga. Kata wok (wajan), yang berasal dari pelafalan kata pot ( guo ) dalam bahasa Kanton, telah umum di dunia Barat. Karenanya, di Tiongkok masakan yang ditumis atau digoreng kemungkinan besar sudah mulai dikenal antara abad ke-3 dan ke-6, selama Dinasti Wei, Jin, Utara dan Selatan. “Sebelum peralatan masak dari logam ditemukan, teknik ini tidak digunakan dalam masakan Tiongkok. Orang Tiongkok kuno tak melakukannya karena bisa merusak kuali gerabah,” tulis Zhao. Penggunaan Minyak Di Nusantara, keterangan mengenai makanan yang digoreng baru ditemukan pada masa yang lebih muda. Salah satunya dalam Serat Centhini karya bersama para pujangga Keraton Surakarta yang dipimpin Sunan Pakubuwono V, dan diselesaikan pada 1814. Di naskah itu diceritakan tentang sesaji dalam upacara. Ceritanya beragam masakan lauk pauk lengkap dalam acara kendurian upacara pernikahan. Di antaranya masakan berbahan daging. Ada yang ditusuk, disapit, dibakar, digoreng, direbus, maupun dikukus. Disebut juga menu sayuran yang ditumis. Tampaknya, orang Nusantara mulai terbiasa menggoreng makanan didorong oleh pemanfaatan buah kelapa sebagai minyak dan masuknya kelapa sawit pada abad ke-19. Pada awal abad ke-20, minyak kelapa menjadi hasil utama dari budi daya kelapa. Dari keperluan domestik, minyak kelapa kemudian menjadi komoditas perdagangan. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Rucianawati dalam “Usaha Kelapa Rakyat di Daerah Jawa Timur pada Awal Abad ke-20” yang terbit di Lembaran Sejarah Volume 4 2001 , mencatat kala itu juga sudah ada beberapa pengusaha Eropa dan Tionghoa yang mengolah buah kelapa dengan mesin modern. Sedangkan rakyat membuat minyak kelapa langsung dari buah kelapa yang masih segar secara tradisional. Ragam penganan yang digoreng pun menjadi banyak diperjualbelikan. Seperti disaksikan Justus van Maurik, seorang pengusaha cerutu, ketika melancong ke Jawa pada abad ke-19. Dalam Indrukken van een totok (1897), ia bercerita tentang keberadaan para penjual makanan di warung pinggir jalan. Mereka menjual nasi, sayur, dan gebakken vischjes (ikan goreng) yang dibungkus bladeren (daun pisang). Di perkampungan orang Tionghoa, Maurik juga menjumpai beberapa warung kecil yang menjajakan berbagai hidangan, seperti nasi, ikan goreng dan asap, dendeng, sambal, kopi, buah-buahan, kembang gula, dan aneka macam kue.
- Sukarno vs Majalah Time
Di masa kekuasannya, Presiden Sukarno acap kali diberitakan secara miring oleh media asing. Dari sekian banyak, majalah terbitan Amerika Time dan Life menjadi media asing yang masuk daftar hitamnya. Sukarno mencurahkan kejengkelannya kepada Presiden John F. Kennedy ketika berkunjung ke Amerika Serikat pada April 1961. “Majalah Tuan, Time dan Life terutama sangat kurang ajar terhadap saya,” ujar Sukarno kepada Kennedy sebagaimana dituturkan dalam otobiografi Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat karya Cindy Adams. Siapa nyana, Time sebagai salah satu majalah ternama Amerika pernah menulis berita utama tentang Sukarno yang sumbernya berasal dari kabar isapan jempol. Ganis Harsono, juru bicara Departemen Luar Negeri (Deplu) menjadi saksi bagaimana kekeliruan itu bisa terjadi. Dalam memoarnya, Ganis mengakui kelalaiannya meneruskan gosip belaka berbuah petaka. Baca juga: Ketika Sukarno dan Kennedy Berdebat Sebagai juru bicara Deplu, Ganis adalah figur yang cukup dekat dengan wartawan. Para juru warta dalam negeri maupun asing kerap kali mendatangi Ganis untuk meminta siaran pers. Tentu saja berita yang berkaitan dengan hubungan luar negeri Indonesia. Sekali waktu pada 1958, Ganis menyambangi kediaman Menteri Luar Negeri Soebandrio untuk menyiapkan bahan-bahan siaran pers. Karena Soebandrio masih menerima beberapa orang di ruangan tamu, Ganis masuk melalui jalan lain menuju ruang makan. Di sana, Ganis bersua dengan Ma’ruf, wartawan suratkabar Keng Po. “Saya cukup mengenal Ma’ruf. Dia adalah salah seorang kader inti Partai Sosialis Indonesia, dan di kalangan wartawan dia lebih dikenal sebagai seorang politisi,” kenang Ganis dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno . Ma’ruf bertanya kepada Ganis, apakah ada siaran pers yang dapat diberitakan. Ganis menyarankan Ma’ruf agar meminta keterangan lengkap kepada Menteri Soebandrio saja. Tiba-tiba, Ma’ruf melontarkan berita aneh yang berasal dari Nyonya Suprapti. “Siapa Nyonya Suprapti itu?” tanya Ganis. “Nyonya Suprapti adalah seorang dukun yang meramalkan akan segera terjadi perang antara Amerika dengan Republik Rakyat Cina (RRC), dan katanya RRC akan menang,” terang Ma’ruf. Baca juga: Sepuluh Teori Konspirasi Amerika yang Terbukti Benar Mendengar itu, Ganis cuek saja. Dia hanya percaya fakta bukan gosip murahan. Namun untuk menyenangkan Ma’ruf, Ganis berjanji akan membicarakan gosip itu di tempat minum kopi. Sekadar main-main, dalam benak Ganis. Pertemuan dengan Ma’ruf maupun urusan di kediaman Soebandrio pun selesai begitu saja. Ganis kembali ke kantor Departemen Luar Negeri di Jalan Pejambon. Pada siang harinya, Ganis kedatangan wartawan Time J. Bell bersama dengan pembantunya – penerjemah bahasa – S.T. Hsieh, seorang Cina nasionalis yang tinggal di Jakarta. Mereka hanya membicarakan hal-hal yang ringan. Ganis mengatakan pada Bell bahwa tidak ada keterangan pers hari itu. Saat bercengkrama, Ganis melihat Hsieh sedang membaca sebuah buku. Ternyata itu buku horoskop yang biasa dipakai untuk meramal. Mendengar itu, ingatan Ganis terbawa kepada celotehan Ma’ruf tadi pagi. Begitulah, Ganis menyampaikan cerita Ma’ruf kepada Hsieh tanpa ditambah maupun dikurangi. Beberapa bulan berselang, Agustus 1958, Time muncul dengan berita utama mengenai Presiden Sukarno. Dalam sampul depan majalah itu, wajah Bung Karno ditampilkan seperti drakula yang memandang dengan tatap penuh ancaman. Mengenai potret Sukarno dalam sampul, bukanlah masalah berarti. Yang jadi persoalan, Time dalam laporannya memuat ramalan Nyonya Suprapti bahwa RRC akan mengalahkan Amerika Serikat. Dengan demikian. Sukarno akan bersorak-sorai. Baca juga: Sukarno, Majalah Playboy, dan CIA Ganis segera menelepon Hsieh. Dia mengatakan betapa bahaya menyiarkan berita isapan jempol dalam negara yang sedang keadaan darurat perang. Hsieh berkilah dengan mengaku bahwa Bell-lah yang menulis berita setelah memaksa dirinya menerjemahkan pembicaraan dengan Ganis. Sepekan setelah kejadian itu, Hsieh ditangkap. Dari Hongkong, Bell mendatangi kantor Deplu untuk minta pembantunya, Hsieh dibebaskan. Ganis yang menghadapinya keburu berang dan mengusir Bell. Namun Bell berdalih, katanya, keterangan tambahan itu bukan darinya melainkan editornya di New York. Jadi, Bell menolak bertanggung jawab namun bersikukuh membebaskan Hsieh dari tahanan. Time kemudian mengirim orang lain sebagai pengganti Bell di Indonesia. Seorang berkebangsaan Kanada dengan postur tinggi tegap bernama Paul Hermuses. Untuk mengurus pembebasan Hsieh, Hermuses melobi ke Istana. Melalui ajudan presiden Letkol Sugandi, Ganis mendapat informasi “sumber dari laporan utama Time itu tidak lain ialah juru bicara Departemen Luar Negeri Indonesia sendiri, dan karena itu pembantu Time S.T. Hsieh harus segera dibebaskan.” Baca juga: Sukarno dan Majalah Playboy “Saya harus menyalahkan diri sendiri karena telah menjadi korban tipu muslihat Ma’ruf yang telah menyebarkan gosip di ibukota,” ujar Ganis. Pada akhirnya semua pihak dirugikan akibat berita itu. Hsieh, pembantu Time tersebut tetap mendekam di penjara. Majalah Time , Bell, dan Hermuses dilarang masuk ke Indonesia. Di sisi lain, Bung Karno menuai kesan negatif dalam pergaulan internasional gara-gara liputan sensasional Time . Sementara itu, Ganis Harsono dinyatakan persona non grata alias orang yang tidak disukai di Istana, walaupun tidak secara resmi. Sukarno sendiri, kata Ganis, tidak pernah memperlihatkan kemarahannya terang-terangan. Meski demikian, selama dua tahun antara 1958—1960, Ganis diperlakukan dengan dingin setiap kali hadir dalam upacara-upacara resmi di Istana. Menteri Soebandrio juga “menghukum” Ganis dengan membebas-tugaskannya dari pekerjaan humas kepresidenan dalam perjalan Sukarno ke luar negeri. Baca juga: Bentakan Menlu RI Buat Diplomat AS Dalam disertasinya yang dibukukan Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963 , Baskara Tulus Wardaya menelusuri ihwal sikap antipati media Amerika pada Sukarno. Menurut sejarawan Universitas Sanata Dharma ini, banyak kalangan di Amerika merasa gusar saat mengetahui sepulangnya dari kunjungan ke Amerika pada Mei 1956, Sukarno melakukan kunjungannya ke Uni Soviet dan RRC. Bung Karno yakin bahwa banyak rakyat Amerika yang melihat kunjungannya ke kedua negara komunis tersebut sebagai “balasan yang tidak sopan” atas keramah-tamahan mereka. “Media massa Amerika mulai mencercanya, dan ‘mulai mengatakan bahwa orang yang ngakunya percaya pada Tuhan itu ternyata adalah seorang dedengkot Komunis,’” tulis Baskara. Sejak itulah media massa Amerika doyan melancarkan serangannya kepada Sukarno dengan berita-berita bernada provokatif.
- Sudjojono, Proklamator Seni Rupa Modern Indonesia
Pelukis Sindudarsono Sudjojono hidup dalam empat zaman berbeda. Dari zaman kolonial Belanda, pendudukan Jepang, Orde Lama, hingga Orde Baru. Perannya dalam dunia seni rupa Indonesia juga cukup penting. Ia sudah menulis wacana-wacana seni rupa Indonesia sejak muda dan melahirkan gagasan seni rupa Indonesia modern. Peneliti seni Aminudin TH Siregar dalam dialog sejarah “Seni dan Politik: Riwayat Sudjojono dan Karya-karyanya” di saluran Facebook dan Youtube Historia.id , Selasa, 21 Juli 2020, menyebut bahwa berkat perannya itu, Sudjojono diibaratkan sebagai proklamator seni rupa modern Indonesia. “Pak Djon ini harus kita tempatkan sebagai, kalau dalam konteks politik, beliau itu seperti seorang proklamator. Beliau itu Sukarnonya seni rupa Indonesia. Dia yang pertama memproklamasikan keberadaan seni lukis Indonesia. Itu dia lakukan di tahun 1939,” kata Aminudin. Menggantikan Mooi Indie Tulisan-tulisan Sudjojono sejak 1939 terhimpun dalam buku Seni Lukis, Kesenian, dan Seniman yang terbit pada 1946. Buku ini kemudian menjadi rujukan para sejarawan untuk memahami konteks lahirnya seni rupa modern Indonesia. Lebih jauh, jika Raden Saleh didapuk sebagai pelopor, melalui manifestonya Sudjojono adalah proklamator. Dalam tulisannya yang terbit dalam Majalah Keboedajaan dan Masjarakat pada Oktober 1939, Sudjojono mengimbau pelukis-pelukis Indonesia untuk tidak melukis dengan gaya mooi indie . Mooi indie sendiri kala itu tengah populer dan memiliki corak yang khas yang menggambarkan pemandangan Hindia Belanda yang molek. Sebagai gantinya, laki-laki kelahiran Kisaran, Sumatera Utara pada 1913 ini menganjurkan para seniman fokus pada persoalan-persoalan kebangsaan. Tentang kesadaran bahwa saat itu rakyat berada dalam penjajahan. “Sudjojono saat itu mengatakan bahwa kita harus keluar dari gaya ini ( mooi indie ). Itu menjadi sangat terkenal sekali karena tulisan ini seperti manifesto atau seperti proklamasi,” kata Aminudin. Namun, menurut Aminudin, hal ini seringkali disalahpahami oleh para sejarawan. Banyak yang mengira Sudjojono memaksakan atau mengharuskan realisme. Padahal, Sudjojono justru menawarkan gagasan tentang bagaimana membangun corak seni lukis Indonesia baru. Bukan Melawan Barat Kesalahpahaman tenyata tak hanya sampai di situ. Aminudin menyebut bahwa seringkali mooi indie sendiri sering diidentikkan dengan seni rupa Barat. Hal ini kemudian memunculkan kesimpulan bahwa Sudjojono melawan seni rupa Barat. Menurut Aminudin, kesalahan awal para sejarawan ini disebabkan oleh pembacaan terhadap Sudjojono tanpa melihat konteks. Padahal, tiap tulisan Sudjojono yang berbeda-beda tahun terbitnya memiliki konteks masing-masing. “Ada dua artikel ditulis di zaman Jepang. Itu sudah beda. Kemudian ada beberapa artikel ditulis di zaman Belanda. Satu artikel ditulis tahun 1946. Sudjojono sudah berubah cara berpikirnya. Nah , tapi sejarawan atau siapapun seringkali menyamaratakan, seakan-akan buku ini satu (bagian) sekaligus,” kata Aminudin. Jika dibaca konteksnya, Sudjojono sendiri tidak pernah bermasalah dengan seni rupa Barat. Pasalnya, menurut Aminudin, seniman Indonesia saat itu tidak bisa memberikan alternatif artistik untuk melawan seni lukis Barat atau Eropa yang dominan di Hindia Belanda khususnya Batavia saat itu. “Melawan dengan apa? Melawan dengan gambar wayang? Nggak mungkin. Sudjojono nggak mau itu. Sudjojono itu nggak mau banget menggambar wayang. Dia justru megatakan bahwa keindonesiaan dalam seni lukis hanya bisa dihasilkan dengan cara kita mempelajari Barat,” kata Aminudin. Menangkap Modernitas Sudjojono menegaskan bahwa dengan mempelajari Barat, seniman Indonesia akan memahami apa itu Timur. Sementara itu, menganggap Timur itu otentik justru akan berbahaya. Kala itu, seringkali seniman-seniman Barat di Batavia mendatangi museum untuk melihat karya-karya seni Nusantara dan menjadikannya inspirasi. Hal ini yang juga ditentang Sudjojono jika dilakukan oleh seniman-seniman Indonesia. Menurutnya, meski karya-karya itu warisan kesenian Indonesia, perlu adanya kekinian sebagai representasi zaman. “Kekontemporeran kita itu hanya bisa didapat, kata dia, kemodernan kita itu kalau kita melihat realitas itu sendiri. Apa realitas itu, yaitu kata dia, para pemuda yang ada di jalanan, sepatu orang kaya, mobil. Itu scenery modern saat itu di Hindia Belanda. Itulah kemodernan yang mau dia tangkap,” kata Aminudin. Visi modernitas itu kemudian juga dibarengi dengan semangat belajar yang tak membedakan mana Barat dan Timur. Aminudin mencontohkan, dalam lukisan yang berjudul Cap Go Meh, Sudjojono terpengaruh oleh lukisan Carnival in Flanders dan Intrigue karya pelukis Belgia James Ensor. Kedua lukisan Ensor itu pernah dipamerkan oleh kolektor Maurice Raynal antara tahun 1935 hingga 1940-an di Kunstkring, Batavia. “Dia (Sudjojono) melihat pameran itu dan kemudian dia mencoba meramu. Saya kira itu yang dia bilang, kita jangan segan-segan belajar sama Barat untuk menemukan ini (identitas) kita,” kata Aminudin. Sudjojono juga percaya, tema-tema yang diangkat oleh pelukis Barat akan tetap berbeda jika dibuat oleh pelukis-pelukis Indonesia. Hal inilah yang terlihat dalam lukisan Cap Go Meh yang dilukis dengan cara dan warna khas Sudjojono sendiri. Sudjojono juga mengagumi pelukis Jerman, Marc Chagall. Lukisan Sudjojono berjudul Di Depan Kelambu Terbuka disebut Aminuddin terinspirasi secara artistik dari lukisan Bella in Green karya Chagall. Modernitas yang ditawarkan Sudjojono serta anjurannya untuk belajar dari Barat agar dapat menemukan identitas seni lukis Indonesia inilah yang kemudian hari melambungkan nama Sudjojono. Namun , perjalanannya sebagai pelukis masih panjang melalui zaman Jepang, Revolusi, Orde Lama , dan Orde Baru kelak.
- Petualangan Interniran Jerman di Pulau Nias
Mei 1940, kabar jatuhnya Belanda ke tangan Nazi Jerman menggemparkan seluruh negeri jajahan. Kota Rotterdam hancur lebur digempur pasukan Hitler. Perlawanan tentara Belanda berhasil dimatikan. Ratu Wilhelmina pun terpaksa kabur ke London, Inggris pada 15 Mei 1940. Jatuhnya Negeri Belanda itu menimbulkan keresahan di kalangan pejabat tinggi di seluruh wilayah jajahannya, terutama di Hindia Belanda yang memiliki kekayaan alam melimpah. Menurut Nino Oktorino dalam Nazi di Indonesia: Sebuah Sejarah yang Terlupakan , dalam keadaan seperti itu Gubernur Jenderal A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer langsung mengumumkan keadaan darurat di Hindia Belanda. “Salah satu tindakan pertama yang diambil pemerintah kolonial berkaitan dengan hal itu adalah melakukan tindakan balasan terhadap orang-orang Jerman yang tinggal di Hindia Belanda,” tulis Nino. Aparat Hindia Belanda bergerak cepat menduduki Konsulat Jerman di Batavia. Begitu pula gedung asosiasi dan perkantoran milik orang-orang Jerman. Kapal-kapal Jerman yang berlabung di Sabang, Batavia, Makassar, dan beberapa pelabuhan lain disita. Baik tentara maupun warga sipil Jerman berusaha menyelamatkan diri. Tidak mudah bagi mereka bersembunyi di wilayah yang sepenuhnya telah dikuasai militer Hindia Belanda. “Di seluruh Hindia Belanda, di bawah kata sandi ‘Berlin’, polisi menangkapi dan menahan orang-orang Jerman yang hidup terpencar-pencar,” ungkap Nino. “Beberapa di antara mereka memang merupakan pengikut Nazi, tetapi kebanyakan merupakan orang-orang biasa yang tidak mengerti politik, atau bahkan merupakan penentang rezim Hitler.” Tragedi Kapal Karam Pada 1941, Perang Pasifik pecah. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang (Kaigun) menghajar pangkalan perang Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawaii. Suasana perang berubah cepat di seluruh dunia, termasuk di Hindia Belanda. Jepang yang berusaha mengamankan seluruh Asia-Pasifik merangsak masuk ke Hindia Belanda. Perang besar pun tak terhindarkan. Belanda yang tidak melihat adanya peluang menang dari Jepang memutuskan untuk memindahkan kekuasaannya dari Hindia Belanda. Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: Petite Historie Indonesia menyebut jika sebagian orang Belanda pergi menuju India. Mereka membawa serta ratusan orang Jerman interniran ke wilayah milik Inggris tersebut. Berdasar keterangan yang diperoleh dari Nederlands-Indie 1940-1946 karya sejarawan Jacob Zwaan, dan Batavia Seint: Berlijn karya C. van Heekeren, Rosihan menemukan fakta menarik seputar perjalanan pengangkutan interniran Jerman ke India itu. Pada 19 Januari 1942, kapal penumpang “Van Imhoff” bertolak dari Pelabuhan Sibolga, mengangkut 477 interniran dan sejumlah tentara Belanda. Tidak lama setelah berlayar, sebuah pesawat pengintai milik Kaigun menjatuhkan bom di atas kapal Belanda tersebut. Akibatnya sebagian besar badan kapal hancur dan terbakar. Lebih dari seratus tentara, sebagian kecil interniran Jerman, beserta awak kapal Belanda berhasil menyelamatkan diri menggunakan sekoci-sekoci yang jumlahnya sangat terbatas. Sementara itu ratusan interniran lain yang ada di lambung kapal dibiarkan mati terpanggang. “Kapten kapal, sebelum masuk sekoci, meninggalkan kunci-kunci ruang tahanan kepada komandan Jerman, yang dengan cepat membebaskan para tahanan. Orang Jerman panik, sebab sulit untuk segera menemukan kunci-kunci yang cocok. Mereka membuang ke laut benda apa saja yang bisa mengambang. Laut pasang. Gelombang tinggi. Banyak orang Jerman tenggelam,” tulis Rosihan. Membangun Pemerintahan Petaka kapal Van Imhoff, kata Rosihan, menyimpan luka jiwa begitu dalam. Tercatat hanya 36 orang Jerman saja yang selamat. Itupun berkat kedatangan kapal penyelamat. Hampir tidak ada sisa-sisa barang dari kapal yang hancur itu. Bahkan salah seorang pesakitan pada akhirnya memilih mengakhiri hidup sesaat setelah mencapai daratan. “Para pesakitan itu nantinya akan menjelajah pulau Nias sendirian,” tulis Tom Womack dalam The Allied Defense of the Malay Barrier 1941-1942. Setelah melawati beberapa hari di pedalaman Nias, pada 24 Januari 1942 orang-orang Jerman itu tiba di Kampung Hilisimaetano, bagian selatan Nias. Setelah mendapat perawatan, mereka dibawa ke Gunung Sitoli. Di sana terdapat Asisten Residen Belanda, seorang kontrolir, seorang misionaris, dan beberapa pejabat rendah Belanda. Sehari sebelumnya, sebuah sekoci dari kapal Van Imhoff yang saat tragedi berlayar lebih dahulu, terdampar di pantai Nias. Di dalamnya terdapat 14 orang interniran, dan sejumlah tentara Belanda. Mereka kemudian pergi ke Gunung Sitoli untuk menyerahkan para tahanan ke pejabat setempat. Dua kelompok Jerman yang terpisah dipertemukan di dalam tahanan Sitoli. Setelah hampir dua bulan di dalam tahanan, mereka mendengar kabar bahwa Belanda melalui Ter Poorten menyerah kepada Jepang, Imamura. Kabar baik itu disambut orang-orang Jerman dengan rencana pemberontakan terhadap orang-orang Belanda yang kebingungan. “Di Nias para pejabat Belanda bertanya-tanya apa yang harus mereka perbuat,” tulis Rosihan. Pada 29 Maret 1942, para tahanan Jerman berhasil keluar dari barak-barak tahanan. Mereka sempat terlibat tembak-menembak dengan sisa-sisa tentara Belanda. Hilangnya semangat juang membuat Belanda akhirnya menyerah. Kini giliran mereka, bersama lima orang Inggris, diinternir oleh orang-orang Jerman. Seorang Jerman bernama Fischer yang dipanggil “perdana menteri” menjadi pimpinan resmi pulau Nias. Mereka, kata Rosihan, membuat insinye (lencana) Swastika Nazi sebagai identitas kekuasaan. Fischer kemudian memutuskan mengabari sekutu mereka, Jepang, di Tapanuli tentang jatuhnya Nias ke tangan mereka. Pada 6 April, semua orang Belanda dan Eropa dikirim ke Sibolga untuk diserahkan kepada Jepang. Orang-orang Jepang segera mengirim utusan ke Nias. “Pada 20 April, orang-orang Jerman bersama orang-orang Jepang merayakan hari ulang tahun Fuhrer Adolf Hitler, dengan seruan tiga kali Banzai, tiga kali Sieg Heil ,” ungkap Rosihan. Selepas pemerintahan Jerman yang singkat, seluruh wilayah Nias berada di bawah kekuasaan penuh Jepang. Pekerjaan utama mereka di sana hanya membersihkan sisa-sisa Belanda di Nias dan sekitarnya.
- Kolberg, Film Perang di Tengah Perang
MENGIRINGI derap kaki ribuan serdadu diikuti barisan milisi yang berparade di jalan-jalan, nyanyian itu membakar semangat rakyat di Kota Breslau, Prusia (kini Wrocław, Polandia) pada pagi 17 Maret 1813. Spirit ini yang tengah dimanfaatkan Jenderal August Neidhart von Gneisenau (diperankan Horst Caspar) saat menghadap Raja Prusia Friedrich Wilhelm III (Claus Clausen). “ Und es zittern schon die Lose. (Dan dadu pun dikocok) Und der Würfel fällt. (Dan dadunya jatuh) Wer legt noch die Hände feig’in den Schoß? (Siapa yang berpangku tangan sebagai pengecut?) Das Volk steht auf, Der Sturm bricht los !” (Bangkitlah rakyat, badai akan berlalu). Begitu bunyi potongan nyanyian bertajuk “Das Volk Steht” (Kebangkitan Rakyat) yang menggema sampai ke ruangan istana tempat Raja Friedrich Wilhlem III. Sang raja tengah bimbang untuk menentukan arah dukungan dalam jalannya peperangan lantaran Grande Armée-nya Kaisar Napoléon Bonaparte babak belur di Rusia setahun sebelumnya. Apakah ia akan berkoalisi dengan Rusia dan Swedia untuk menyatakan perang terhadap Napoléon guna membebaskan Prusia dan Jerman dari pengaruh Prancis? Jika begitu, sang raja harus bersiap meladeni peperangan sengit. Sebab, wilayahnya yang terdekat dari Prancis ketimbang Rusia dan Swedia dan peperangan itu akan melibatkan rakyatnya. Tokoh Gneisenau (kiri) saat berbicara dengan Raja Friedrich Wilhelm III di Breslau 1813. ( Youtube @Gneisenau ). Di tengah kebimbangan itu, Gneisenau mengingatkan dua hal. Pertama , tentang Kaisar Romawi terakhir yang berkuasa di Jerman dan Austria Franz II yang dicopot paksa setelah ia melarikan diri dan Jerman dikuasai Prancis pada 1806. “Ia (Franz II) seorang kaisar pengecut yang meninggalkan rakyat Jerman ketika mereka sangat membutuhkan dia,” tutur Gneisenau kepada Friedrich Wilhelm III. Kedua , Gneisenau mengingatkan bagaimana pasukan Prusia yang bahu-membahu dengan rakyat di Kolberg (kini Kołobrzeg, Polandia) bertahan dari pasukan Prancis dan berakhir dengan kemenangan dalam Pengepungan Kolberg (Pertengahan Maret-2 Juli 1807). Peristiwa tersebut masih teringat betul oleh Gneisenau, yang ikut terlibat dalam pertempuran sengit tersebut kala masih berpangkat mayor. Baca juga: Konflik Keluarga Kerajaan dalam Perang Dunia Alur cerita lalu mundur ke tahun 1806, saat Kolberg belum mencekam dikepung pasukan Prancis. Demikianlah preambul film bertajuk Kolberg garapan sineas Veit Harlan. Film yang masuk dapur produksi pada 1943 atas “pesanan” Menteri Propaganda Jerman Nazi Joseph Goebbels dan bertema Perang Pembebasan (1813-1814) itu diproduksi di masa perang untuk tujuan propaganda. Filmnya diangkat dari perpaduan otobiografi Joachim Nettlebeck, walikota Kolberg saat Pengepungan Kolberg, dan naskah drama bertema serupa karangan Paul Heyse. Beberapa dramatisasi ditambahkan oleh sang penulis naskah Alfred Braun dan Goebbels. Walikota Kolberg Joachim Nettlebeck (kiri). ( Youtube @Gneisenau ). Babak-babak film pun berpusar pada kerisauan Nettlebeck (Heinrich George) menyoal proklamasi Napoléon (Charles Schauten) sebagai kaisar Prancis. Kerisauannya disebabkan lantaran beberapa kalangan aristokrat dan militer Prusia memilih tunduk ketimbang berhadapan dengan Napoléon di medan perang. Jenderal Ludwig Moritz von Loucadou (Paul Wegener), contohnya. Nettlebek acap berdebat keras soal mampu-tidaknya Kolberg bertahan jika berperang melawan Grande Armée yang masyhur itu. Terlebih, Napoléon sebelumnya dengan gemilang memenangkan Pertempuran Austerlitz (2 Desember 1805) meski meladeni gabungan pasukan Rusia dan Austria. Nettlebeck yang jengah memutuskan minta Raja Friedrich Wilhelm III mengganti Jenderal Loucadou dengan perwira lain untuk bertanggungjawab atas pertahanan Kolberg. Jawabannya, dikirimlah Mayor Gneisenau, perwira staf kepercayaan Pangeran Hohenlohe Frederick Louis, yang ditemani Letnan Ferdinand von Schill (Gustav Diessl) pada awal 1807. Baca juga: Dari Prusia hingga Nazi Keberhasilan itupun berkat misi Nettlebeck mengirim gadis cantik Maria (Kristina Söderbaum) ke Königsberg (kini Kaliningrad, Rusia) untuk membujuk Raja Friedrich Wilhelm III dan Ratu Louise of Mecklenburg-Strelitz (Irene von Meyendorff) agar mengabulkan permintaan Nettlebeck. Maria memainkan peranan penting dengan menyelinap ke pertahanan musuh untuk bisa bertemu sang ratu. “Seperti inilah aku menempatkan Kolberg dan Prusia di hatiku. Hanya ada sedikit mutiara tersisa di kerajaan kita. Kolberg adalah salah satunya,” ujar sang ratu kala memeluk Maria sebagai bentuk sanjungannya kepada sang gadis jelata yang mempertaruhkan nyawa itu. Grande Armée Prancis jelang Pengepungan Kolberg. ( Youtube @Gneisenau ). Meski mulanya tak akur di Kolberg, Gneisenau dan Nettlebeck sepakat mempertahankan Kolberg begitu ancaman pasukan Prancis makin mendekat. “Kau tak lahir di sini, Gneisenau. Kau hanya ditugaskan di sini. Tetapi kami lahir di sini. Kami tahu setiap batu, setiap sudut rumah di sini. Kami takkan menyerahkannya begitu saja kepada Napoléon. Aku bahkan berjanji pada raja kita: lebih baik terkubur di bawah reruntuhan (Kolberg) daripada menyerah,” ujar Nettlebeck. “Itu yang ingin aku dengar, Nettelbeck. Sekarang kita bisa mati bersama-sama,” jawab Gneisenau memantapkan diri menghadapi pasukan Napoléon. Bersama Gneisenau, Nettlebeck mengumpulkan dan melatih rakyat menjadi milisi. Doktrin “Kolberg, satu-satunya kota yang masih bertahan di Provinsi Pomerania di bawah Kerajaan Prusia, tak boleh menyerah tanpa perlawanan” jadi harga mati. Baca juga: Daendels Napoleon Kecil di Tanah Jawa Poster-poster film Kolberg yang rilis pada 30 Januari 1945. Hari yang dinanti pun tiba pada pertengahan Maret 1807. Pasukan Napoléon datang dengan kekuatan sekira 14 ribu prajurit. Mereka telah dinanti enam ribu serdadu, yang sebagian besar milisi, rakyat Kolberg. Mereka dibantu masing-masing satu kapal meriam Swedia dan Inggris. Pengepungan Kolberg lalu menjadi peristiwa yang amat dikenang Prusia. Alur cerita kembali maju ke tahun 1813 di Breslau, saat peringatan Gneisenau tentang epos itu menumbuhkan kepercayaan diri Raja Friedrich Wilhelm III. Tanpa ragu, sang raja duduk di meja ukirnya untuk menuliskan titah “ An Mein Volk ” (kepada rakyatku). Prusia resmi menyatakan perang terhadap Prancis sebagai permulaan Befreiungskriege, dan disambut gemuruh puluhan ribu warga Breslau. Proyek Propaganda Kolosal Kolberg diproduksi mulai 1943 kala kegelisahan rakyat Jerman mulai meroket gegara pemboman udara Sekutu ke Kassel (Februari 1942) dan Wuppertal (akhir Mei 1943). Untuk mendongkrak moril rakyatnya dengan lebih mudah dan dengan jangkauan lebih luas, Menteri Propaganda Goebbels memilih menggunakan film. Mengutip Linda Schulte-Sasse dalam Entertaining the Third Reich: Illusions of Wholeness in Nazi Cinema , Goebbels sampai menggelontorkan dana 8,5 juta Reichsmarks (RM) atau dua kali lipat dari proyek film kolosal biasanya. Proyek Kolberg sampai mengikutsertakan 187 ribu serdadu darat dan empat ribu prajurit Kriegsmarine (Angkatan Laut Jerman) sebagai talent ekstra yang mungkin lebih dibutuhkan di garis terdepan peperangan sungguhan. Proses syuting juga dilakoni di Kolberg selain di kota-kota lain seperti Königsberg, Seeburg, Neustettin, dan Berlin. Sebagai insentif, setiap pemeran ekstra diiming-imingi RM5 per harinya. Menteri Propaganda Joseph Goebbels (kanan) bersama Adolf Hitler tengah mengamati proses syuting sebuah film. (Bundesarchiv). Sebagai film propaganda, sudah pasti Kolberg penuh pendramatisiran bahkan pembelokan fakta historis. Sosok Gneisenau, misalnya, ditampilkan masih berumur 20-an ketika memimpin pasukan di Kolberg. Faktanya, Gneisenau sudah berusia 47 tahun saat Pengepungan Kolberg. Gneisenau juga tak hadir kala Raja Friedrich Wilhelm III menulis titah “ An Mein Volk ”, apalagi turut menandatangani proklamasi itu sebagaimana dihadirkan dalam film. Lebih runyam lagi adalah pendeskripsian Jenderal Loucadou. Pada saat peristiwa terjadi, ia masih berpangkat kolonel, bukan jenderal seperti dalam film. Loucadou juga digambarkan sudah meninggalkan Kolberg ketika pengepungan berlangsung. Faktanya, ia masih turut memimpin pertahanan kota bersama Gneisenau. Baca juga: Hitler Seniman Medioker Terakhir, ending menggambarkan para milisi gigih di bawah Gneisenau-Nettlebeck sukses membuat Prancis mundur. Faktanya, Pengepungan Kolberg dihentikan Napoléon menyusul kesepakatan Traktat Tilsit, 7 Juli 1807, setelah ia menang di Pertempuran Friedland (14 Juni 1807) melawan pasukan Tsar Alexander I (Rusia) dan Raja Friedrich Wilhelm III. Namun apa boleh buat, Kolberg memang dibuat untuk propaganda. Maka, lupakan dulu fakta! Itu yang dimau Goebbels dan Hitler. “Menurut sutradara Kolberg , Veit Harlan, baik (Adolf, red .) Hitler dan Goebbels sangat yakin bahwa dampak film ini kepada publik akan berpotensi menyaingi kabar-kabar kemenangan militer,” tulis Schulte-Sasse. Veit Harlan (kanan) sutradara film Kolberg. (Österreichischen Nationalbibliothek). Meski begitu, Kolberg baru bisa dirilis pada 30 Januari 1945. Premier- nya dihelat di sejumlah bioskop di Berlin, di bawah bayang-bayang pemboman Sekutu. Khusus untuk Hitler, filmnya juga diputar di Gedung Kekanseliran. Nahas, Kolberg tak bisa ditayangkan reguler di banyak bioskop lantaran Sekutu dan Uni Soviet makin menjepit posisi Jerman dari barat dan timur. Ironisnya, sebulan setelah filmnya dirilis, Kota Kolberg dikepung Uni Soviet dan sekira 70 ribu tentara maupun warga sipil digilas mesin-mesin perang yang tak terbendung dari timur. Baru pada 1965 Kolberg kembali dirilis di bioskop-bioskop umum sebagai sekadar hiburan untuk merasakan atmosfer historis. Saat itu tujuan utama pembuatan Kolberg, sebagai propaganda untuk rakyat Jerman agar manunggal dengan militer memanggul senjata menahan gempuran Sekutu dan Soviet, jelas sudah tak berarti. Baca juga: Kisah Aliansi Amerika-Jerman di Pertempuran Kastil Itter Namun satu nilai lebih yang membuat Kolberg lebih prestisius adalah dibuat berwarna, bukan hitam-putih, dengan menggandeng Agfacolor. Alhasil Kolberg bisa dinikmati hingga era sekarang di berbagai platform media daring maupun DVD meski detail kisahnya sulit ditangkap karena berbahasa Jerman. Atmosfer klasiknya terasa kuat dengan music scoring garapan Norbert Schultze yang bisa membawa penonton, baik di era 1945 maupun di era kekinian, merasakan masa abad ke-19. “Karena (film) Kolberg tak halnya memanfaatkan sejarah masa lalu untuk mengilustrasikan fantasi-fantasi Nasional-Sosialis (Nazi) tentang masyarakat, negara, dan pemimpin,” tandas Mary-Elizabeth O’Brien dalam Nazi Cinema as Enchantment: The Politics of Entertainment in the Third Reich. Data film: Judul: Kolberg | Sutradara: Veit Harlan | Produser: Veit Harlan, Joseph Goebbels | Pemain: Horst Caspar, Heinrich George, Kristina Söderbaum, Gustav Diessl, Paul Wegener, Claus Clausen, Irene von Meyendorff, Charles Schauten, Greta Schröder | Produksi: Ufa Filmkunst GmbH | Durasi: 110 Menit | Rilis: 30 Januari 1945 (Rilis Ulang 1965).
- Klepon, Makanan Istana
Letjen TNI Achmad Yani, Menteri/Panglima Angkatan Darat, mengirim utusan ke Malaysia pada awal 1965 untuk melakukan penjajakan guna mengakhiri Konfrontasi. Setelah Achmad Yani dibunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965, operasi itu dilanjutkan Mayjen TNI Soeharto. Soeharto membentuk tim operasi khusus yang dipimpin oleh Ali Moertopo. Salah satu anggota tim adalah Des Alwi, anak angkat Sutan Sjahrir, yang bersahabat dengan tokoh-tokoh Malaysia, seperti Tun Abdul Razak, Tunku Abdul Rahman, Tan Sri Ghazali Shafei, sejak sama-sama kuliah di Inggris tahun 1947. Ketika liburan kuliah pada 1948, Des Alwi mengajak Tun Abdul Razak ke Indonesia dan memperkenalkannya kepada Soeharto yang saat itu masih berpangkat mayor. Perundingan dilakukan di Malaysia dan Bangkok, Thailand, pada Mei 1966. Setelah itu, Tun Abdul Razak, Menteri Luar Negeri merangkap Deputi Perdana Menteri Malaysia, diundang ke Indonesia. Presiden Sukarno menerimanya sebagai tamu negara. Meski suasana kedua negara masih tegang, selama pertemuan itu tidak ada kesan kaku. “Ada peristiwa menaik, Presiden Sukarno menawarkan kue onde-onde dan klepon, kepada Tun Abdul Razak. Kue ini makanan khas Indonesia yang menjadi menu wajib istana untuk tamu negara. Suasana semakin akrab. Saya hanya tersenyum saja menyaksikan,” kata Des Alwi dalam “Juru Damai Saudara Serumpun” di majalah Tempo , 19–25 November 2007. Dari pertemuan kenegaraan itu, Des Alwi percaya jalan perundingan damai kian terbuka lebar. Soeharto menunjuk Adam Malik mewakili pemerintah Indonesia dalam pertemuan puncak mengakhiri Konfrontasi. Pada 11 Agustus 1966 di Bangkok, Adam Malik dan Tun Abdul Razak menandatangani perjanjian damai. Secara resmi Konfrontasi berakhir dan hubungan Indonesia-Malaysia pulih kembali. Manisnya kue klepon dalam pertemuan Sukarno dan Tun Abul Razak seakan menjadi saksi perdamaian antara negara serumpun. Budayawan Agus Dermawan T. dalam Dari Lorong-lorong Istana Presiden menyebut bahwa masakan di Istana Negara pada semua era presiden ternyata sangatlah Nusantara, meski pernah disela sebentar oleh makanan Eropa kala B.J. Habibie menjabat presiden. “Penganannya pun sederhana dan sangat Indonesia, seperti wajik, nogosari, lemper, lopis, semar mendem, dan klepon,” tulis Agus Dermawan. Makanan yang termasuk menu itu, lanjut Agus, termasuk jagung rebus berurap parutan kelapa, yang syahdan merupakan tanda kenangan kedekatan Sukarno dengan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Berkaitan dengan makanan itu, Sukarno pernah bilang, “ Go to hell , croissant , spekkoek , dan glace !” Bahkan, Sukarno pernah mencanangkan gerakan makan jagung dalam revolusi menu makan orang Indonesia. Gerakan ini gagal karena orang Indonesia sehidup semati bersama nasi. Mingguan Panji Masyarakat , No. 20 Tahun IV, 6 September 2000, melaporkan bahwa jangan anggap remeh jajanan pasar. Kue seperti onde-onde, lemper, atau pukis yang lebih dikenal sebagai makanan rakyat, rupanya disukai juga kalangan Istana. Presiden dan pejabat negara menyukai jajanan tradisional ini. “Hampir semua jenis jajanan pasar disukai keluarga Presiden Durrahman (Gus Dur, red .). Begitu pula Soeharto ketika masih berkuasa. Sementara Habibie lebih suka makanan ala Eropa,” demikian laporan Panji Masyarakat . Panji Masyarakat melanjutkan, biasanya kue-kue itu dihidangkan di bagian belakang ruang utama Istana Negara. Setelah acara resmi seperti pelantikan menteri atau peresmian program pemerintah, para tamu beranjak ke bagian belakang untuk menikmati berbagai jajanan tradisional itu sembari berbincang. Kue-kue tersebut selain dihidangkan pada acara resmi, juga menjadi suguhan sehari-hari keluarga presiden. Ada tiga pemasok hidangan itu untuk Istana Negara, yakni Ibu Nasution, Ibu Supit, dan Kukuh Pudjiantoro. Di antara ketiga pemilik katering itu, kue-kue buatan Kukuh, pemilik Katering Proklamasi, yang paling digemari keluarga presiden. Bahkan, kue buatan Kukuh beberapa kali dipesan khusus untuk hidangan pribadi keluarga Gus Dur di Ciganjur. Gagas Ulung dalam All About Wedding (2010) menyebut bahwa Katering Proklamasi berdiri sejak 1979 dengan spesialis jajanan tradisional khas Jawa, seperti klepon, lunpia, kue mangkok, carabikang, pisang goreng, apem, semar mendem, dan lain-lain. Katering ini berusaha melestarikan dan mengembangkan makanan tradisional. Alhasil, sejak 1987 hingga kini, pihak Istana Negara selalu menunjuk Katering Proklamasi sebagai penyedia hidangan tradisional khas Jawa untuk jamuan kenegaraan. Kue-kue jajanan pasar dihidangkan di Istana Negara, selain untuk melestarikan makanan khas Indonesia, ternyata juga memiliki makna. Agus Dermawan menyebut klepon, tepung berbalut kelapa dengan gula Jawa di dalamnya , dimaknai sebagai “negara yang berhati manis”.
- Dari Kopi hingga Anggur
Kopi Tersebar ke Seluruh Dunia Kopi tersebar ke seluruh dunia secara tak terduga. Selepas tunai berhaji, seorang jamaah haji asal Mysore, India, menyelundupkan tujuh biji kopi ke kampungnya pada abad ke-15. Dia hanya berniat ingin menikmatinya sendiri. O rang - orang kampung mendorongnya lebih jauh. Sejak itu, kopi mulai dikenal di beberapa kota pelabuhan dunia seperti Venezia, Lisabon, dan Amsterdam. Orang-orang pun segera gandrung minum kopi. Melihat permintaan yang tinggi, pedagang-pedagang Eropa mencari cara mendatangkan kopi. Mereka membawa pulang kopi dari wilayah Timur Tengah seperti Israel, Yordania, Libanon, dan Syiria. Belanda kemudian membawa biji kopi dari Yaman ke Ceylon (Srilanka). Di sana, mereka membudidayakannya. Tak puas dengan Ceylon, Belanda meluaskan ekspansinya ke Nusantara. Bersama itu, mereka juga menjadikan Nusantara, terutama Jawa, sebagai tanah budidaya kopi pada abad ke-17. Tak beberapa lama, Belanda berhasil menguasai penjualan kopi dunia. Tradisi Minum Teh Teh memiliki beragam kisah muasal. Salah satunya menyebut berasal dari Tiongkok. Disebutkan seorang Kaisar Tiongkok pada 2737 SM, Shen Nung, tengah duduk di bawah pohon sembari memasak air. Tiba-tiba helai daun teh jatuh dan masuk ke dalamnya. Aroma wangi menyeruak saat daun itu diseduh. Seduhan itu lalu diminum. Rasanya pahit dan sepat. Namun , kaisar menyukainya karena tubuhnya terasa segar. Sekarang daun itu dikena l dengan Camellia sinensis , sedangkan seduhannya disebut teh. Meski telah diminum khalayak sejak lama, pengolahan daun teh baru berkembang pada masa Dinasti Tang (618-906). Teh diolah dengan cara ditumbuk lalu dicetak dalam bentuk bata. Setelah mengering, teh bisa diseduh. Kala itu teh sudah menjadi minuman mewah. Tak sembarang orang bisa menikmatinya. Keluarga kaisar meminumnya sebagai simbol status. Saat upacara pengadilan kekaisaran dihelat, teh wajib dihidangkan. Bersama keluarga kaisar, sastrawan mendapat kehormatan ikut meminumnya. Kebiasaan ini diperkenalkan ke Jepang pada masa Dinasti Song (960-1279). Secara bertahap, teh akhirnya menyebar ke wilayah Eropa dan belahan dunia lainnya. Budidaya teh di Indonesia Awalnya teh hanyalah tanaman hias yang ditanam di beberapa lokasi, termasuk Istana Gubernur Jenderal di Batavia. Harga teh yang tinggi di pasar Eropa mendorong pemerintah Hindia Belanda melakukan percobaan membudidayakan teh. Pada 1826, teh berhasil dibudidayakan di Kebun Raya Bogor. Setahun kemudian penanaman dilakukan di Cisurupan, Garut, lalu dalam skala besar di Purwakarta dan Banyuwangi. Keberhasilan ini mendorong Jacob Isidorus Loudewijk Levian Jacobson, seorang ahli teh, untuk mendirikan perkebunan teh komersial di Jawa. Pada 1835, untuk kali pertama teh dari Jawa diekspor dan sebanyak 200 peti dilelang di Amsterdam. Gubernur Jenderal Johannes van Den Bosch menjadikan teh sebagai salah satu tanaman yang harus ditanam di masa Tanam Paksa. Teh adalah salah satu komoditas ekspor penting. Penemuan dan Pemanfaatan Tuak Minuman keras ini khas Nusantara. Penduduk lokal meracik tuak dengan menyadap pohon aren –sejenis palem. Pohon ini tersebar di beberapa wilayah Nusantara. Air sadapannya disebut nira. Cara menyadap ini bertahan turun-temurun. Catatan historis tertua mengenai minuman ini berasal dari berita Tiongkok masa Dinasti T’ang (618-906 M). Berita itu menyebut penduduk Ho-ling –sebuah kerajaan di Jawa Tengah– gemar meracik minuman keras dari nira kelapa. Sementara itu, Prasasti Taji (901 M), Kembang Arum (902 M), dan Rukam (907 M) mengisahkan pemanfaatan tuak yang dihidangkan saat penetapan suatu sima (tanah perdikan/bebas pajak). Penyulingan Anggur Tertua Sejumlah arkeolog mengungkap beberapa tempat yang diduga sebagai penyulingan anggur tertua. Tempatnya tersebar di pelbagai penjuru dunia. Pada 1963, arkeolog menemukan sebuah penyulingan anggur kuno di Tepi Barat, Palestina. Tempat itu diperkirakan dibangun pada 1650 SM. Temuan lain pada 1996 mengungkap sisa-sisa penyulingan anggur berusia 7400 tahun di desa Neolitik Hajji Firuz, bagian utara Iran. Sedangkan temuan paling mutakhir pada Juni 2010 mengungkap wilayah Areni, selatan Armenia, sebagai penyulingan anggur berusia lebih 5500 tahun.






















