Hasil pencarian
9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Otto Skorzeny yang Ditakuti
SOROT mata Otto Skorzeny begitu tajam. Codet di pipi kiri sang hauptsturmführer (kapten) dari pasukan komando Schutzstaffel (SS) Jerman itu menambah kesan garang kala mencoba meyakinkan jenderal polisi Italia Fernando Soleti dengan setengah memaksa. Sang jenderal pun “menurut” dibawa ke sebuah misi penting: menyelamatkan Il Duce Benito Mussolini. Sejak ditangkap Carabinieri (polisi militer) Italia pada 25 Juli 1943, posisi Mussolini sebagai perdana menteri telah dilengserkan. Pelengseran dilakukan setelah Gran Cosiglio del Fascismo (Dewan Fasisme Italia) menetapkan mosi tidak percaya terhadap Mussolini pasca-invasi Sekutu ke Pulau Sisilia dan pemboman terhadap ibukota Roma. Raja Vittorio Emanuele I II pun menetapkan Marsekal Pietro Badoglio untuk menggantikan posisi Mussolini. “Perintah untuk membebaskan Mussolini diberikan kepada Skorzeny oleh Hitler sendiri, sekalipun tindakan itu diambil Hitler lebih didorong pertimbangan politik daripada pertimbangan sentimentil,” tulis P.K. Ojong dalam Perang Eropa: Jilid II . Hitler tahu bahwa Badoglio seorang petinggi militer yang anti-Jerman. Hitler khawatir, lanjut Ojong, Italia tanpa Mussolini justru akan membela ke pihak Sekutu. Sementara petinggi fasis Italia lainnya belum ada yang punya reputasi sebesar Mussolini, sekalipun Hitler memandang rendah “seniornya” itu mengingat minimnya prestasi kombatan Italia dalam pihak Poros di medan perang. Baca juga: Menang atau Mati! Ancaman Mussolini untuk Tim Azzurri Itu salah satu faktor Hitler meminta Skorzeny menyelamatkannya. Begitu mendapat perintah, Skorzeny langsung menemui Generaloberst (kolonel-jenderal) Kurt Student, komandan Divisi Fallschirmjäger (lintas udara) ke-1 yang berbasis di Italia. Rencana pembebasan pun dirancang dengan melibatkan 300 pasukan linud dengan komandan lapangan Mayor Harald Mors dan Oberleutnant Georg Freiherr von Berlepsch, ditambah 16 pasukan SS bawaan Skorzeny. Tetapi sebelum berangkat dari Pangkalan Udara Pratica di Mare pada pagi 12 September 1943, Skorzeny lebih dulu menangkap dan memaksa Soleti ikut serta dalam rombongan dengan pesawat-pesawat peluncur yang akan menuju Gran Sasso, sebuah puncak di Pegunungan Apenina tempat Mussolini ditahan di Hotel Campo Imperatore. Soleti dibawa untuk mencegah agar tak terjadi pertumpahan darah dalam misi di sebuah resor ski itu. Kapten Otto Skorzeny membebaskan Mussolini (atas) untuk kemudian diterbangkan dari Gran Sasso ke Jerman (bawah) (Foto: Bundesarchiv) Kabut di sekitar puncak Gran Sasso yang menyelimut sejak pagi mulai menghilang ketika Skorzeny cs. mendarat pada pukul dua siang. Dari halaman hotel, Skorzeny melihat detasemen penjaga Carabinieri sudah siap mengokang beragam jenis senjata. Baku tembak skala kecil pun terjadi, mengakibatkan dua polisi Italia tewas. Saat itulah Skorzeny menemui Mussolini. “Dengan tergesa-gesa, gugup, keringatnya mengucur dari mukanya, Skorzeny masuk ke kamar tahanan Mussolini. Ia pun memperkenalkan dirinya. ‘ Führer yang siang-malam memikirkan bagaimana dapat membebaskan Tuan, menyerahkan tugas ini kepada saya. Hari ini saya merasa girang dan puas bahwa dengan membebaskan Tuan, saya telah menjalankan tugas yang diberikan Führer kepada saya’,” kata Skorzeny, dikutip Ojong. Setelah membawa Soleti ke muka dan Soleti memerintahkan komandan penjaga untuk menurunkan senjata mereka, tak lama kemudian pesawat penjemput Fieseler Fi-156 “ Storch ” datang. Pesawat diterbangkan Kapten Heinrih Gerlach, pilot pribadi Jenderal Student. Selesailah tugas Skorzeny membawa Mussolini dari pengasingannya ke muka Hitler lewat aksi dramatis itu. Bertambah pula pujian Hitler kepada kapten pemberani yang ditakuti lawan akan reputasi-reputasinya itu. Mantan Atlet Kharismatik Reputasi Skorzeny berhulu pada besarnya jiwa kompetitif sejak belia. Sosok kelahiran Wina, Austria pada 12 Juni 1908 dari keluarga blasteran Polandia-Austria itu sejak muda aktif di olahraga anggar. Codet di pipi kirinya pun didapat Skorzeny saat bertanding. Tetapi dia tak meneruskan karier atletnya selepas lulus kuliah. Dia memilih bergabung ke barisan Sturmabteilung (SA), sayap militer Partai Nazi cabang Wina. Ia turut andil menyelamatkan nyawa eks Presiden Austria Wilhelm Miklas ketika Hitler mencaplok Austria pada 1938. Baca juga: Anggar untuk Hitler Keluarga Otto Skorzeny (kiri) & olahraga anggar yang membuat luka codet di wajahnya (Foto: Youtube ORF/ww2gravestones.com) Diungkapkan Stuart Smith dalam Otto Skorzeny: The Devil’s Disciple , pada 12 Maret 1938 datang sekelompok pasukan SA ke Istana Kepresidenan Reisnerstrasse. Skorzeny mendapati sekelompok SA itu bukan dari cabang Wina, melainkan dari Jerman yang tengah memburu Miklas. Miklas sebelumnya menolak tuntutan Hitler untuk menunjuk tokoh Nazi Arthur Seyss-Inquart menjadi kanselir. Tapi ketika Miklas akhirnya menurut, pasukan SA sudah diperintah Hermann Goering menghabisinya. Skorzeny diminta Ketua Asosiasi Olahraga Austria Bruno Weiss, yang juga kolega Kanselir Seyss-Insquart, untuk menyelamatkan Miklas sebelum terlambat dan meluruskan kesalahpahaman. Benar saja. Ketika Skorzeny dan pasukannya datang ke Istana Presiden, kelompok SA Goering sedang menodongkan senjata ke Miklas dan istrinya. Miklas dan istrinya jejeritan saat ditodong. “’Diam!’ teriak Skorzeny. Lantas terdengar perintah ‘Bersiap!’ dari letnan bawahan Skorzeny, seketika 20 mulut senapan diarahkan ke pasukan Nazi itu. Untuk menenangkan situasi, Skorzeny mengatur pembicaraan antara Miklas dan Seyss-Inquart via telepon,” tulis Smith. Selamatlah nyawa Miklas. Tak seperti pejabat pemerintahan lain semisal eks Kanselir Austria Kurt Schuschnigg yang –belakangan selamat dan kabur ke Amerika Serikat berkat bantuan Albert Goering , adik dari Hermann Goering– ditahan di kamp konsentrasi Dachau. Arsitek Operasi Senyap Saat Perang Dunia II pecah pada 1939, Skorzeny sejatinya ingin mendarmabaktikan diri ke Luftwaffe (AU Jerman), namun ditolak. Selain karena posturnya terlalu tinggi, usianya sudah 31 tahun, sehingga tak lolos syarat pelatihan kru penerbang AU. Tapi lewat koneksinya di Partai Nazi semasa jadi kader SA, Skorzeny bisa masuk barisan Leibstandarte SS Adolf Hitler, unit pasukan pengawal Hitler. Sebagai perwira yang cakap merancang rencana-rencana operasi di belakang garis musuh, Skorzeny diperbantukan ke Divisi Panser ke-2 SS “Das Reich” di Pertempuran Moskwa pada Oktober 1941. Tetapi sejak terkena pecahan peluru artileri Uni Soviet pada Desember 1942, Skorzeny dimutasi ke Reichssicherheitshauptamt (RSHA), semacam lembaga ketahanan dan keamanan nasional di Berlin, di bawah pimpinan Ernst Kaltenbrunner. Di departemen intelijen luar negeri RSHA, Skorzeny membentuk komando pasukan khusus SS, Sonderverband zur besonderen Verwendung Friedenthal. “Pasukan komando ini dilatih untuk menjalani operasi-operasi sabotase, spionase, dan teknik-teknik paramiliter. Di kemudian hari, pasukan setingkat batalyon ini berganti nama menjadi SS Jagdverband 502 pada 1943 dan pada November 1944 berganti lagi menjadi Unit Pusat Pertempuran SS yang puncaknya punya personel hingga lima batalyon,” tulis Samuel W. Mitcham dalam Panzers in Winter: Hitler’s Army and the Battle of the Bulge. Skorzeny yang sudah berpangkat letkol kala menginspeksi pasukan pada Februari 1945 (Foto: Bundesarchiv) Setidaknya tujuh misi operasi senyap pernah dirancang Skorzeny sepanjang Perang Dunia II. Selain misi penyelamatan Mussolini, misi kondang yang dirancang Skorzeny adalah Operasi Greif. Operasi khusus untuk mengacaukan pihak Sekutu di Pertempuran Bulge (16 Desember 1944-25 Januari 1945) itu lantas membuatnya dipromosikan menjadi mayor dan kemudian obersturmbannführer (letnan kolonel). Inti misi operasi yang dilakoni pasukan Brigade Panser 150 yang semua anggotanya mahir berbahasa Inggris itu adalah merebut dan menghancurkan jembatan-jembatan di atas Sungai Meuse di belakang garis pertahanan Sekutu. Dengan begitu, pasukan terdepan Sekutu bakal terputus hubungannya dengan pertahanan belakangnya. Baca juga: Hermann Goering, Sang Tiran Angkasa Nazi Jerman Misi sabotase itu sukses menimbulkan kekacauan dan kebingungan di pihak Sekutu. Rumor tentang adanya pasukan Jerman berseragam Sekutu untuk membunuh panglima tertinggi Sekutu Jenderal Dwight Eisenhower pun disebarkan para anak buah Skorzeny. Rumor itu bahkan mengakibatkaan rombongan mobil panglima Inggris Marsekal Bernard Law Montgomery nyaris ditembaki petugas jaga tentara Amerika di salah satu pos di Malmédy gara-gara paranoia. Setelah hinggap di Mesir dan Irlandia, Skorzeny (kiri) jadi penasihat Presiden Argentina Juan Domingo Perón (tengah) (Foto: Wikipedia) Pasca-kapitulasi Jerman, Skorzeny ditahan dan diseret ke Pengadilan Dachau, persidangan untuk mengadili penjahat perang. Namun sebelum divonis, pada 27 Juli 1948 dia berhasil melarikan diri dari kamp penahanan di Darmstadt. Ia kabur ke Paris, Madrid, lantas ke Mesir. Di Mesir, Skorzeny direkrut jadi penasihat militer oleh pemerintahan Mohamed Naguib yang banyak merekrut eks-perwira Jerman untuk melatih tentara Mesir. “Skorzeny juga melatih para pengungsi Palestina dengan dasar-dasar kemiliteran. Satu di antara para pengungsi yang dilatih untuk menyusup dan menyerang Israel di Jalur Gaza itu adalah Yasser Arafat (kemudian jadi Ketua Organisasi Pembebasan Palestina 1969-2004),” singkap Glenn B. Infield dalam Skorzeny: Hitler’s Commando. Dari Mesir, petualangan Skorzeny berlabuh di Argentina, tempat dia kemudian menjadi salah satu penasihat Presiden Juan Péron. Hingga hari kematiannya pada 5 Juli1975 karena kanker paru-paru, Skorzeny memanfaatkan jabatannya untuk membantu banyak pelarian Nazi dari Eropa ke Argentina via Madrid. Baca juga: Stauffenberg, Opsir "Judas" Kepercayaan Hitler
- Martin Aleida dan Penjara Tak Bertepi
21 Oktober 1966. Malam itu, Nurlan Daulay dengan bangga menenteng 50 tusuk satai yang dibeli dari upah pertama sebagai tukang batu. Ia berjalan dua kilometer menuju sebuah rumah persembunyian di Jalan Mangga Besar 101. Di rumah itu, Putu Oka Sukanta, Arifin, Mujio, Zaini, dan T. Iskandar A.S., bernaung dari pengejaran Operasi Kalong. Sepiring satai beralas daun pisang yang tandas malam itu tampaknya menjadi perjamuan terakhir mereka. Ketika mereka telah berbaring di sudut tidur masing-masing, Burhan Kumala Sakti, seorang tukang tunjuk militer menodongkan pisau ke leher Nurlan. Di luar, kiranya satu jeep tentara telah menunggu. Malam itu juga mereka digelandang ke kamp konsentrasi. Kisah penangkapan itu mengawali memoar Martin Aleida, Romantisme Tahun Kekerasan . Sebuah memoar tentang pemuda Tanjung Balai yang merantau ke Jakarta, menjadi wartawan, dan terjebak peristiwa G30S 1965. Tentang orang-orang di sekitarnya, yang bernasib getir dan tentang penjara yang tak bertepi. Kamp Konsentrasi Martin Aleida masih berusia 22 tahun ketika diminta redaksi Harian Rakjat untuk bertugas sebagai wartawan istana pada Januari 1965. Kala itu, ia masih bernama Nurlan, pemuda yang baru tiga tahun merantau ke Jakarta dari Tanjung Balai, Sumatra Utara. Sempat masuk Akademi Sastra Multatuli yang membawanya menjadi “anak bawang”, seperti dikatakannya sendiri, di lingkaran Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Kiranya tujuh bulan lamanya ia meliput orang nomor satu di Indonesia itu. Pengalaman-pegalaman yang boleh dibilang romantis sebagiannya ada pada masa ini. Setelah ia keluar dari Harian Rakjat pada Juli 1965 , dua bulan kemudian badai G30S datang, mengantarnya ke dalam tahun-tahun kekerasan. Nurlan ditangkap pada 21 Oktober 1966 malam, digelandang bak pesakitan dan mendekam di kamp konsentrasi Operasi Kalong yang terletak di Jalan Budi Kemuliaan, Jakarta Pusat. Di tempat inilah, ia menyaksikan kekejaman militer terhadap orang-orang yang dituduh terlibat G30S. Ia menyaksikan misalnya, bagaimana Putu Oka Sukanta harus berhadapan dengan cambuk dari ekor pari. Yang ketika terkena punggung, lumat sudah kulit dan darah. Penyiksaan demi penyiksaan menjadi pemandangan sehari-hari dalam kamp. Sementara itu, para tahanan perempuan dikurung di dalam dapur. Sutarni, istri Njoto, bersama anak-anaknya termasuk yang masih bayi berada dalam penyekapan itu. Juga Sri Sulasmi, kekasih Nurlan, harus mengepel lantai penuh darah di ruang interogasi. Tapi Nurlan juga bersaksi tentang Uyan, seorang sersan mayor yang kemudian turun menjadi wakil komandan kamp konsentrasi, yang berempati terhadap penyiksaan di dalam kamp. Uyan menjadi satu keajaiban di tengah kejinya kekuasaan bersenjata, yang disebut Nurlan, sebagai perwujudan dari seorang prajurit sejati. Kiranya setahun Nurlan mendekam di kamp konsentrasi. Pada hari ia dibebaskan, entah karena surat wasiat orang tuanya yang hendak menunaikan haji atau surat dari kekasihnya di dalam saku celana, Nurlan ternyata tidak mendapati kebebasan yang nyata. Keluar dari kamp, ia merasa masuk ke kamp lain yang lebih besar. “Berdiri di tepi Jalan Thamrin, saya merasa seperti memasuki sebuah kamp konsentrasi yang lebih besar. Sebuah penjara tak bertepi, dilingkung langit. Karena saya yakin tak seorang kawan pun yang tertinggal di dunia bebas ini. Semua sudah diringkus sampai timpas,” tulisnya. Dari Nurlan ke Martin Kebebasan yang diidamkan Nurlan tentu saja bukan seperti yang ia dapati kala itu. Wajib lapor seminggu sekali, terus dimata-matai dan bahkan dicurigai sebagai mata-mata militer. Juga yang lebih berat baginya, ia tak lagi berada di dunia bebas di mana ada kawan secita-cita dan kekasih hati. Keluar dari kamp, Nurlan menumpang di rumah seorang sesama bekas tahanan bernama Rudewo. Ia bekerja di tambak di pagi hari lalu siangnya berjalan menyusuri rel kereta barangkali takdir mempertemukannya pada seorang kawan. Pada masa-masa sulit ini, ternyata nasib membawanya kembali kepada Sri Sulasmi, kekasihnya. Ia menikah dengan Sri di Surakarta. Tanpa ramai-ramai acara pernikahan umumnya tentu saja. Bahkan pengantin muda itu, harus tidur di jembatan bambu di atas Ciliwung karena ditolak saudara setiba di Jakarta. Sempat menjadi pedagang pakaian di pinggir jalan dan menjaga kios, Nurlan akhirnya kembali ke dunia jurnaslime mengikuti nasihat Mula Naibaho, mantan pemimpin redaksi Harian Rakjat . Awalnya, ia mulai menulis cerita pendek dan mengirimkannya ke majalah Horison . Kemudian masih dalam bayang-bayang stigma komunis, ia melamar ke Ekspress . Tak lama ia keluar. 14 Januari 1971, ia bergabung dengan majalah Tempo yang baru berdiri. Saat itu namanya sudah menjadi Martin Aleida, yang ia gunakan dalam cerpen-cerpennya. Tempo menjadi tempatnya kembali pada jurnalisme yang sulit ia bayangkan sebelumnya, kembali menulis di tengah kuasa Orde Baru. Ia menjadi wartawan majalah pimpinan Goenawan Mohammad itu selama 13 tahun. Martin Aleida tidak menulis autobiografi, ia menulis memoar yang berjejalin dengan kisah orang-orang yang bernasib pahit, tapi kadang manis, juga tentang kedai kopi di Tanjung Balai dengan bualan-bualannya. Ia menulis tentang Charles Bidien sang pahlawan kliping hingga Dr. Gunawan dan cerita obat kanker yang diselundupkan dari Meksiko. Lelaki jangkung berusia 77 tahun itu menutup memoarnya dengan puisi pendek Zawawi Imron yang dibacakan di depan dua perempuan muda di kafetaria Taman Ismail Marzuki. “Perkenalkan, ini Martin Aleida, sahabat Gusdur, Gusdurian. Dia Lekra, komunis, tapi relijius.”
- Ketika Soeharto Marah pada Menteri
Pada 1975, sebagai wakil ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), A.R. Soehoed diangkat menjadi ketua tim perunding dengan Jepang untuk Proyek Asahan.
- Ketika Sumatra Menjadi Pusat Peribadatan Tantrayana
Di tepi Sungai Batang Hari terhampar gugusan percandian Muaro Jambi. Tak jauh dari Sungai Kampar Kanan di Riau ada lagi kompleks percandian Muara Takus. Semuanya menunjukkan kesamaan latar belakang agama, yakni Buddha Mahayana aliran Vajrayana. Jika diperluas hingga ke Sumatra Utara, ada pula tinggalan yang punya kesamaan latar belakang kepercayaan, yaitu di kawasan PadangLawas dekat aliran Sungai Sirumambe, Sungai Batang Pane, dan Sungai Barumun. “Pada rentang waktu yang sama di Pulau Sumatra ini ada pusat-pusat peribadatan yang dilatarbelakangi agama Buddha Vajrayana,” kata Ery Soedewo, peneliti Balai Arkeologi Sumatra Utara, dalam diskusi via zoom tentang “Candi Muara Takus: Dulu, Kini, dan Esok, yang diadakan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Sumatra Barat beberapa waktu lalu. Berkembangnya Sekte Ery menjelaskan, Vajrayana atau Tantrayanamerupakan salah satu sekte dalam Buddha Mahayana. Tantrayana merupakan sekte utama di Sumatra sejak abad ke-8. Waktu keberadaannya bersamaan dengan di Jawa. Menurut John Miksic, arkeolog dan sejarawan Asia Tenggara dari National University of Singapore dalam “The Buddhist-Hindu Divide in Premodern Souhteast Asia” yang terbit di Nalanda-Sriwijaya Centre Working Paper Series No.1 (September 2010) pengaruh Buddha Mahayana sudah tampak dalam Prasasti Talang Tuo dari tahun 684 yang ditemukan di Palembang. Isi prasasti itu tentang harapan penguasa semua yang ada di kebun, termasuk kelapa, pinang, aren, sagu, buah-buahan, bambu, kolam, dan bendungan bisa membawa kesejahteraan semua makhluk. “Keinginan agar pemikiran Bodhi akan lahir pada semua orang, lalu penyebutan tiga permata ( ratna ) dan tubuh intan mahasattva , diakhiri dengan harapan bahwa semua akan mencapai pencerahan, konsep ini dapat dihubungkan dengan Vajrayana atau Tantrayana yang muncul di Nalanda dari sekolah Yogacara tidak lama sebelum tahun ini,” tulis Miksic. Miksic menyebut walaupun pada abad ke-11 hingga ke-13 aliran Theravada terlihat di Situs Kota Cina, timur laut Sumatra, aliran ini tidak berdampak besar. “Arca-arca Buddha, Wisnu, dan Siva lingga ditemukan di sana. Gambar-gambar Buddha menyerupai gaya dari Sri Lanka dan India Selatan, memungkinkan kehadiran Theravada di situs Pelabuhan itu,” jelasnya. Sebaliknya, lanjut Miksic, aliran Vajrayana berkembang di Sumatra selama beberapa abad berikutnya. Selama periode ini, kecuali untuk Kota Cina, semua biara dan kompleks candi yang terkenal dibangun di Sumatra. Sisa-sisa nya memberikan banyak indikasi evolusi lokal. Kendati tetap ada hubungan dengan wilayah India Selatan, ditandai dengan prasasti Tamil. Maraknya aliran itu pun membawa Sumatra sebagai salah satu pusat studi Tantrayana pada masanya. Hingga seorang tokoh penting dalam penyebaran Tantrayana di Tibet, Atisa Dipankara, datang ke Sumatra pada abad ke-11. Atisa berlayar ke Sumatra untuk berguru pada seorang pakar dalam tradisi Boddhisatva yang dikenal sebagai Guru Suvarnadvipa. Seusai menamatkan pendidikannya, Atisa diundang penguasa Tibet untuk meluruskan kesalahpahaman berkaitan dengan ajaran Hinayana, Mahayana, dan Tantrayana. Di Tibet, India Utara, Nepal, dan Bhutan, Buddhisme Tantrayana masih dipraktikkan hingga saat ini. Percandian di Padang Lawas Menurut Miksic, salah satu daerah yang sangat penting untuk melacak jejak ajaran Buddha di Sumatra adalah Padang Lawas. Banyak pakar purbakala sepakat bahwa kepurbakalaan di PadangLawas adalah peninggalan dari peradaban yang banyak dipengaruhi aliran Vajrayana. Sukawati Susetyo, arkeolog Pus at Pene lit ian Arke ologi Nas ional (Puslit Arkenas) yang pernah meneliti Padang Lawas, menjelaskan bahwa stupa, stambha, arca-arca Dhyani buddha, dan Dhyani Boddhisatva di situs itu menunjukkan percandian bernapas ajaran Buddha. L ebih khusus lagi ditemukan Prasasti Tandihat yang bersisi mantra upacara Tantra. Lalu di halaman biaro -nya ditemukan arca raksasi bertaring dengan mata melotot. “Ini mengindikasikan ada unsur Tantra,” kata Sukawati dalam diskusi via zoom tentang “Percandian di Padang Lawas Potensi Budaya Untuk Kemajian Bangsa” yang diadakan BPCB Aceh. Prasasti Si Sangkilon juga menyebut pemujaan terhadap arca Yamari, tokoh yang sangat dipuja dalam Buddha Tantrayana.Ditambah lagi arca Heruka di Biaro Bahal II. Heruka adalah dewa terpenting dalam Buddha Tantrayana yang dipuja saat upacara Bhairawa. Sementara itu, relief Yaksha menari berbentuk manusia berkepala hewan di Biaro Pulo saat ini masih dijumpai dalam festival keagamaan di Bhutan, Nepal, dan Tibet. “Di Buthan juga terdapat tarian yang menggambarkan pengadilan setelah meninggal. Malaikatnya ada yang digambarkan berkepala hewan,” kata Sukawati. Penduduk di Sepanjang Sungai Batanghari Napas kepercayaan yang sama juga teridentifikasi di situs-situs arkeologi di sepanjang Sungai Batanghari, mulai dari hilir hingga hulu di Dharmasraya, Sumatra Barat. Hampir semua situs menunjukkan masyarakatnyapenganut ajaran Buddha, khususnya Vajrayana. Menurut arkeolog Puslit Arkenas, Bambang Budi Utomo,konon aliran Buddha di sini dipercaya sebagai aliran yang kemudian berkembang di Kepulauan Jepang. Keberadaannya seiring dengan aktivitas pelayaran niaga dengan Tiongkok. Dari Tiongkok, aliran ini dibawa oleh para biksu dalam rombongan saudagar melalui jalan darat, menyebrang ke Kepulauan Jepang. “Keberadaan aliran ini terlihat pada arca-arca Buddha yang ditemukan di DAS Batanghari, terutama arca-arca logamnya,” tulis Bambang dalam Rumah Peradaban Sriwijaya di Muarojambi: Persinggahan Terakhir . Di Muaro Jambi terdapat Candi Gumpung, Candi Tinggi, Candi Gedong I dan II, Candi Kedaton, Candi Astano, dan kepurbakalaan lainnya. Hariani Santiko, arkeolog Universitas Indonesia, dalam “The Structure of Stupas at Muara Jambi” termuat di majalah arkeologi Kalpataru , Vol. 23 No. 2, November 2014,menjelaskantemuan sisa-sisa bata dengan inskiripsi “bija-mantra”, torehan-torehan bunga padma ,dan beberapa arca,menunjukkan Muaro Jambi bernapaskan ajaran Buddha. Khususnya pada Candi Gumpung, ahli epigrafi Boechari pada 1985 pernah membaca inskripsi yang menjadi peripih candi itu. Ia berpendapat bahwa peripih itu berupa susunan dewa-dewa dalam Vajradhatu-mandala. Artinya , Candi Gumpung bersifat Buddha Vajrayana . Entah siapa yang memulai, sekira abad ke-13, penduduk Batanghari rupanya menjalin hubungan dengan Kerajaan Singhasari di Jawa. Pada 1286, Raja Singhasari, Sri Maharaja Kertanegara yang juga menganut Tantrayana mengutus pejabat tingginya untuk membawa dan mempersembahkan arca Amoghapasa sebagai hadiah kepada rakyat Dharmasraya. Menurut Bambang, persahabatan ini tampaknya terjalin cukup lama. Terindikasi dari gaya seni arca Prajnaparamitha yang ditemukan di reruntuhan Candi Gumpung. Prajnaparamitha adalah dewi ilmu penetahuan dalam ajaran Buddha Mahayana. Gayanya mirip dengan arca tokoh yang sama dari Candi Singhasari. Artefak Vajrayana dari Muara Takus Aliran Vajrayana juga dianut oleh penduduk yang berabad lalu menghuni wilayah sekitar Sungai Kampar Kanan, Riau. Tampak dari hasil penggalian oleh Ery Sadewo dan tim Balai Arkeologi Medan pada 2013. Dari gundukan tanah di kawasan sekitar candi utama Muara Takus, mereka menemukan artefak perunggu berwujud manusia berkepala gajah yang di identifikasi sebagai Ganapati atau Ganesha. Selain itu, cermin perunggu yang salah satu sisinya dilapisi emas dengan presentasi mencapai 83 persen, artinya hampir 24 karat. Temuan lain, vajra adalah alat upacara khas agama Buddha aliran Tantrayana. Bentuknya serupa dengan yang ditemukan di sekitar Candi Borobudur, Jawa Tengah dan di muatan kapal karam di pantai utara Cirebon. Lalu temuan bata bertulis yang secara paleografis menunjukkan pertanggalan antara abad ke-11 hingga ke-13. Isinya mantra Buddha berbunyi: “ om ah bighnanta kr hum phat svaha ”. Menurut Ery, mantra itu adalah varian suatu mantra Amrtakundali(n) , sosok dewa pelindung yang berkaitan dengan Kuvera maupun Vinayaka (Ganesha). Dalam suatu mandala atau diagram magis Buddha Amrtakundali(n) berada di arah mata angin utara. “Nah , artefak-artefak tadi fungsinya apa dalam konsep Buddha Vajrayana?” kata Ery. Ery menjelaskan makna artefak-artefak itu dalam Buddha Vajrayana: cermin adalah simbol kebersihan hati dan vajra (petir atau berlian) adalah simbol pencerahan, sama dengan tokoh Ganapati atau Ganesha. “Dalam tradisi Buddha Mahayanan sosok ini adalah salah satu Boddhisatva yang mendampingi Avalokitesvara,” kata Ery. Maka, jelas candi yang oleh pihaknya disebut sebagai Candi Vajra di Kompleks Percandian Padang Lawas itu adalah candi yang dilatarbelakangi Buddha Mahayana, khususnya sekte Vajrayana. Berdasarkan data arkeologis yang ada di situs-situs tadi, belum bisa dipastikan apakah ada hubungan secara langsung. Namun , situs-situs itu diperkirakan berasal dan punya rentang waktu yang kurang lebih sama. Berdasarkan pertanggalan Candi Vajra di Muara Takus misalnya, diketahui aktivitas di sana terjadi sejak abad ke-10 hingga abad ke-17. Lalu biaro-biaro di Padang Lawas kemungkinan besar sudah ada sejak abad ke-11 hingga abad ke-14. “Apakah (Candi Muara Takus, red. ) difungsikan sebagai rumah ibadah sepanjang masa itu, ini belum bisa ditentukan. Muaro Jambi pun sama, sejak abad ke-10 akhir atau ke-11 awal sampai abad ke-14 M,” kata Ery. Begitupula latar belakang agamanya yang sama. Menurut Ery, ketika masa dibangunnya situs-situs itu, Buddhisme aliran Vajrayana atau Tantrayana memang tengah populer. “Nanti pada masa yang lebih muda lagi itu lebih Tantris lagi sifatnya, lebih demonic , muncul penggambaran-penggambaran raksasa dan sebagainya. Seperti yang di Sumatra Barat di Pulau Sawah, di D h armasraya, kemudian Singhasari di Jawa,” kata Ery.
- Tentang Ketuhanan yang Berkebudayaan
1 Juni 1945. Di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Sukarno menyampaikan gagasannya mengenai dasar negara Indonesia. Dalam pidato yang disaksikan puluhan peserta sidang itulah kemudian Pancasila lahir. Pada kesempatan itu, Sukarno menawarkan lima sila sebagai dasar negara: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan yang terakhir, Ketuhanan. Lima sila itu kemudian dinamai Pancasila. Sukarno kemudian menawarkan lagi, “Atau, barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka akan bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja.” Tiga sila itu adalah socio-nationalisme, socio-demokratie, dan ketuhanan. Dan jika ingin satu sila, kata Sukarno, maka tiga sila tersebut jika diperas menjadi satu kata yakni gotong-royong. Polemik RUU HIP Apa yang disampaikan Sukarno 75 tahun yang lalu itu belakangan muncul lagi dalam Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP). Yang disebut Sukarno sebagai Trisila dan Ekasila itu muncul dalam Pasal 7 RUU HIP. Merujuk draft RUU HIP pada laman resmi DPR, pasal 7 ayat (1) berbunyi, "Ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial dengan semangat kekeluargaan yang merupakan perpaduan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan/demokrasi politik dan ekonomi dalam satu kesatuan". Kemudian pada ayat (2) disebutkan bahwa, "Ciri Pokok Pancasila berupa Trisila, yaitu: sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, serta ketuhanan yang berkebudayaan". Sementara ayat (3) berbunyi, "Trisila sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terkristalisasi dalam ekasila, yaitu gotong-royong". Pasal 7 RUU HIP ini kemudian menimbulkan polemik. Beberapa ormas Islam khawatir pemakaian frasa "Ketuhanan yang Berkebudayaan" akan membuat Indonesia menjadi sekuler. Frasa itu dianggap mengesampingkan sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa. Frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan" itu awalnya muncul dalam pidato Sukarno pada 1 Juni 1945. Setelah ia menjabarkan empat sila yakni Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi dan Kesejahteraan sosial, maka sampailah ia menjelaskan sila kelima. "Prinsip Ketuhanan!" seru Sukarno. Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, lanjutnya, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri. Ia menyebut bahwa yang beragama Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang beragama Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad Saw, dan orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab agamanya. "Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada 'egoisme-agama'. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!" sebutnya. Dalam mengamalkan dan menjalankan agama, sambung Sukarno, juga hendaknya secara berkeadaban. Yakni dengan saling menghormati antaragama. Ia mencontohkan bahwa Nabi Muhammad Saw dan Nabi Isa juga telah memberi bukti yang cukup tentang verdraagzaamheid , tentang menghormati agama-agama lain. "Marilah kita di dalam Indonesia Merdeka yang kita susun ini, sesuai dengan itu, menyatakan: bahwa prinsip kelima dari pada Negara kita, ialah Ketuhanan yang berkebudayaan, Ketuhanan yang berbudi pekerti yang luhur, Ketuhanan yang hormat-menghormati satu sama lain. Hatiku akan berpesta raya, jikalau saudara-saudara menyetujui bahwa Negara Indonesia Merdeka berazaskan Ketuhanan Yang Maha Esa!” jelasnya. Kekaburan Makna Seturut dengan apa yang dikatakan Sukarno dalam pidato 1 Juni 1945, Yudi Latif, mantan Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), menyebut bahwa frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan" dipakai Sukarno sebagai semangat untuk mengembangkan asas Ketuhanan yang Maha Esa. Sama halnya dengan frasa "Ketuhanan yang berkeadaban". "Dengan ungkapan tersebut, bisa dipahami bahwa dalam pandangan Sukarno, asas Ketuhanan yang Maha Esa itu, dalam relasi politis-muamalahnya, hendaknya dikembangkan dengan semangat Ketuhanan yang berkebudayaan," kata Yudi Latif kepada Historia . Dalam tulisannya "Ketuhanan yang Berkebudayaan" dalam buku Negara Paripurna : Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila , Yudi Latif menyebut bahwa asas Ketuhanan telah melalui perdebatan panjang para pendiri bangsa. Yang kemudian memunculkan mufakat pada sila pertama Pancasila, Ketuhanan yang Maha Esa. Ketuhanan dalam kerangka Pancasila, jelas Yudi Latif, menyerupai konsepsi agama sipil atau civic religion yang melibatkan nilai-nilai moral universal agama. Namun, juga secara jelas dibedakan dari agama. Nilai moral Ketuhanan menjadi landasan pengelolaan kehidupan publik-politik dalam masyarakat multikultur-multiagama. Yang mana tidak menjadikan salah satu agama atau unsur keagamaan mendikte negara. Ketuhanan dalam kerangka Pancasila juga merupakan usaha pencarian titik temu dalam semangat gotong-royong untuk menyediakan landasan moral yang kuat bagi kehidupan politik berdasarkan moralitas Ketuhanan. "Dalam kerangka pencarian titik-temu ini, Indonesia bukanlah negara sekuler yang ekstrem, yang berpretensi menyudutkan agama ke ruang privat karena sila pertama Pancasila (sebagai konsensus publik) jelas-jelas menghendaki agar nilai-nilai Ketuhanan mendasari kehidupan publik-politik," tulis Yudi Latif. Namun, Pancasila tidak menghendaki perwujudan negara agama. Karena hal itu akan memunculkan tirani keagamaan yang bertentangan dengan pluralitas kebangsaan serta menjadikan penganut agama dan kepercayaan lain sebagai warga negara kelas dua. Lebih lanjut, perihal memeluk agama maupun menganut kepercayaan lain juga dijamin kebebasannya. Yudi Latif mencontohkan Wonsonegoro, seorang anggota BPUPKI adalah seorang teolog yang percaya kepada Tuhan yang Maha Esa ( supreme being ) namun tidak otomatis memeluk atau menganut agama tertentu. "Lebih dari itu, kepedulian Pancaila lebih tertuju pada moralitas publik, tidak mencampuri moralitas (keyakinan) pribadi," jelasnya. Namun, menurut Yudi Latif, kekaburan dalam melihat hubungan antara agama, Pancasila, dan negara kemudian menjadi salah satu penyebab timbulnya berbagai masalah. Misalnya mengenai kecemasan bahwa Pancasila bisa menggantikan peran agama. Dalam konteks ini, Sukarno pernah berpidato pada peringatan lahirnya Pancasila di Istana Negara pada 5 Juni 1958. Pada kesempatan itu, Sukarno membantah pernyataan bahwa Pancasila merupakan perasan dari nilai-nilai Buddhisme. Demikian, ia juga tidak ingin Pancasila dipertentangkan dengan agama. "Saya minta janganlah menaruhkan Pancasila ini secara antagonistis terhadap kepada misalnya agama Islam, dan janganlah pula meletakkan Pancasila ini secara congruentie yang sama dengan misalnya agama Buddha, janganlah ditaruhkan secara antagonistis kepada agama Islam, jangan ditaruh secara congruentie kepada Agama Buddha. Jangan!" Hentikan Perdebatan Sementara itu, sejarawan Anhar Gonggong menyebut bahwa frasa "Ketuhanan yang berkebudayaan" memiliki maksud yang sederhana. Seperti yang sudah disampaikan Sukarno dalam pidatonya, supaya tidak ada egoisme agama yang menimbulkan pertentangan antaragama. "Itu yang dia maksud. Cuma menurut saya ya memang agak terlalu melenceng pemahaman itu karena untuk apa itu digunakan (dalam RUU HIP) wong sudah diterima Ketuhanan yang Maha Esa. Ya selesai kan," kata Anhar kepada Historia . Menurut Anhar, setelah pidato disampaikan dan Pancasila kemudian dibahas sebagai dasar negara, baik Trisila maupun Ekasila tidak lagi diperdebatkan. "Dan tidak pernah dibicarakan lebih lanjut. Begitu selesai bicara kan yang dibicarakan Pancasila. Nggak pernah ada yang dibicarakan Trisila, Ekasila," sebutnya. Anhar juga melihat misalnya, apa yang ditulis dalam RUU HIP itu berbeda dengan isi pidato Sukarno. Ia membandingkan kata "diperas" yang ada dalam pidato dengan kata "ciri" dalam RUU HIP. Keduanya berbeda. "Trisila dan Ekasila bukan ciri," kata Anhar. Anhar menambahkan bahwa pidato Sukarno 1 Juni 1945 merupakan konsep. Setelah konsep dibahas dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan Pancasila dalam alinea ke-4 diterima, konsep tersebut sudah tidak dipersoalkan lagi. "Kita udah selesai kok. Lalu kapan kita bekerja dengan baik, kapan kita saling menutupi apa yang pernah kita hadapi ketika kita masih berkelahi sebelum semua apa yang dimiliki, yang dikerjakan oleh pemimpin kita masa lampau, kita sudah warisi seperti sekarang?" ujarnya.
- Kehangatan Bung Karno dan Keluarga Dalam Kamera
Indonesia ibarat rumah besar bagi Sukarno. Dia membangunnya dengan pikiran, tindakan, dan pengorbanan. Ke sinilah waktu hidupnya dicurahkan. Jika Indonesia adalah rumah besar, maka keluarga menjadi rumah kecilnya. Ke sinilah dia selalu kembali, memperoleh kelapangan setelah sumpek dengan urusan bangsa. Foto-foto mengungkapnya. Foto Keluarga Bung Karno. ( Foto : Wikimedia Commons ) Sukarno tak sungkan memperlihatkan ekspresi kecintaannya pada keluarga. Dalam sebuah foto, misalnya, Sukarno tampak mencium pipi anak anaknya di depan umum. Penuh cinta dan kehangatan. Dia tahu fotografer memotretnya, tapi membiarkannya. Momen saat Bung Karno mencium anak-anaknya. ( Foto : Wikimedia Commons ) Bung Karno saat mencium salah satu anaknya Megawati.( Foto : Wikimedia Commons ) Pada lain kesempatan, Sukarno terlihat menghabiskan waktu bersama keluarga dengan berjoget. Tampak salah satu putri mereka, Megawati Soekarno Putri, sosok yang kelak mengikuti jejak beliau menjadi Presiden Indonesia. Bung Karno tampak berjoget bersama Megawati. ( Foto : Wikimedia Commons ) Bung Karno tampak tersenyum saat berfoto bersama anak dan istrinya. ( Foto : Wikimedia Commons ) Ketika kunjungan kenegaraan ke luar negeri, terekam pula bagaimana Sukarno tidak lupa berbahagia bersama keluarnya. Dalam kamera yang ketika itu masih analog dan belum digital,dia terekam bersama Guntur Soekarno Putra sedang menaiki salah satu wahana di Disneyland, Amerika Serikat. Mereka tampak ceria. Bung Karno saat mengunjungi Disneyland bersama Guntur. ( Foto : Wikimedia Commons ) Bung Karno dan Megawati. ( Foto : Wikimedia Commons ) Tentang anak-anak, Bung Karno punya gagasan yang hampir mirip dengan pandangan orang Indonesia masa lampau : banyak anak, banyak rezeki. Ini tertuang dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat . Di situ Sukarno mengenang obrolannya dengan salah satu istrinya, Fatmawati yang dinikahinya saat Sukarno diasingkan di Bengkulu. Saat mereka sedang berjalan bersama, Sukarno berkata, “Saya menyukai perempuan yang merasa berbahagia dengan anak banyak. Saya sangan mencintai anak-anak.” Fatmawati pun menjawab singkat, tapi penuh makna. “Saya Juga.” Bung Karno bersama anak dan istrinya saat terekam oleh kamera fotografi. ( Foto : Wikimedia Commons ) Sarapan ala Bung Karno dan Bu Fatmawati. ( Foto : Wikimedia Commons ) Kelak Sukarno memperoleh lima anak dari perempuan yang juga akrab disapa Bu Fat tersebut. Mereka adalah, Guntur, Megawati, Rachmawati ,Sukmawati, dan Guruh. Semuanya pernah terekam kamera menikmati waktu dengan penuh kehangatan. Fotografi sekali lagi berhasil memainkan perannya, menangkap sisi-sisi kemanusiaan yang jarang terungkap. Bung Karno bersepeda bersama Fatmawati di India. ( Foto : geheugen.delpher/Charles Breijer )
- Mengenal Pak Dal, Pencipta Lagu Bintang Kecil
Malam kian larut. Seorang lelaki menuju kamar mandi rumahnya. Dari celah-celah genting, dia melihat bintang-gemintang berpendar di langit. Satu bintang menarik perhatiannya. Sinarnya lebih cerlang daripada lainnya. Keluar dari kamar mandi, dia mengambil alat tulis dan kertas. Dia menuliskan sesuatu sembari bersenandung. Sebuah lagu tercipta. Bintang kecil di langit yang tinggi Amat banyak menghias angkasa Aku ingin terbang dan menari Jauh tinggi ke tempat kau berada Lagu tadi berjudul “Bintang Kecil”. Liriknya asyik, nadanya sederhana, dan pesannya kuat. “Lagu yang menceritakan tentang keindahan alam semesta dan keagungan Tuhan dan sebagai fantasi anak terhadap dunia dan cita-cita masa depan,” kata Mbah Wiro Kribo, pemerhati musik dari Solo, Jawa Tengah. Lagu “Bintang Kecil” sangat populer. Semua orang pasti pernah tahu dan menyanyikannya semasa kecil. Tapi mungkin tak banyak orang tahu tentang pencipta lagunya, Raden Gerardus Joseph Daldjono Hadisudibjo atau akrab dengan panggilan Pak Dal. Memperkenalkan Not Balok Pak Dal termasuk pendidik sekaligus pencipta lagu anak-anak segenerasi dengan Ibu Sud dan Pak Kasur. Mereka sama-sama produktif dan mencurahkan hampir seluruh hidupnya untuk kebaikan pertumbuhan anak-anak. Tapi tak seperti dua rekannya, nama Pak Dal relatif kurang bergaung di telinga banyak orang. Pak Dal lahir di Playen, tak jauh dari Gunung Kidul Yogyakarta, pada 11 Juli 1909. Itu menurut K. Usman dalam Komponis Indonesia yang Kita Kenal . Sedangkan menurut catatan wikipedia , lahirnya di Surakarta pada 21 Januari 1912. Pak Dal menempuh pendidikan keguruan (Kweekschool setingkat SMA) di Muntilan, Jawa Tengah pada 1928. Di sini pula dia mempelajari musik melalui kelompok koor di gerejanya. Dia tampil sebagai soloist, kemudian berminat pada biola. Gurunya bernama Pater J. Awiek S.J. Berkat dorongan gurunya, Pak Dal terus mengakrabi dunia musik. Selepas lulus dari Kweekschool Muntilan, Pak Dal mengajar musik di tiga sekolah dasar. Cara mengajarnya sangat berterima di benak anak-anak. Dia memperkenalkan not balok kepada mereka dengan cara yang mudah dicerna. Kegiatan mengajar di sekolah mempertemukan Pak Dal dengan Siti Purnami. Keduanya menikah pada 1933. Kelak anak mereka, A. Riyanto, menjadi salah satu komponis mumpuni di Indonesia. Mengisi Radio Ketika Jepang menjajah Indonesia, Pak Dal mendapat kerja tambahan sebagai pengisi radio dalam sesi siaran musik. Kebijakan Jepang membolehkan penggunaan bahasa Indonesia mendorong Pak Dal menciptakan lagu berbahasa Indonesia untuk acaranya. "Ia menciptakan lagu anak-anak untuk siaran radio di Solo, Yogyakarta, dan Jakarta," kata A. Riyanto dikutip K. Usman dalam Komponis Indonesia Yang Kita Kenal. K. Usman menyebut Pak Dal sebagai perintis-penyiaran lagu-lagu Indonesia di radio zaman Jepang. Sementara itu, Kompas, 2 Oktober 1972, menulis, “Dalam siaran lagu-lagu, Pak Dal sering menyelipkan lagu-lagu Indonesia di antara lagu-lagu Jepang.” Tapi seiring melemahnya kekuatan Jepang, Pak Dal sedikit demi sedikit menghilangkan lagu-lagu berbahasa Jepang. Seluruh acaranya berisi lagu-lagu berbahasa Indonesia. Pak Dal terhitung sangat produktif menciptakan lagu semasa penjajahan Jepang. Pernah dia bisa sampai menciptakan enam lagu dalam sehari. Apa rahasianya? “Yah, memang demikian. Setiap komponis atau seniman, pasti pernah mengalami masa subur. Dalam masa subur ini, segala sesuatu yang tertangkap indra, ingin cepat-cepat saya curahkan dalam susunan nada,” terang Pak Dal. Di sisi lain, Pak Dal juga merasa dalam masa subur itu kadangkala terburu-buru menciptakan lagu. Sekadar mengisi kekosongan siaran lagu-lagu berbahasa Indonesia. Lagu itu bukan dari inspirasi yang mendalam sehingga hasilnya kurang baik. “Transpirasi (cucuran keringat) saja,” ungkap Pak Dal. Ini menjadi tekanan bagi Pak Dal. Karena itu, dia belajar menahan diri sembari terus memperbaiki lagu-lagu ciptaannya pada kemudian hari. Cara ini terbukti jitu. Pak Dal menciptakan lagu “Bintang Kecil” dengan sempurna. “Memperlihatkan kekuatan Pak Dal dalam penguasaan konsep penciptaan lagu anak-anak,” catat Karsono dalam “Nyanyian Melintas Zaman: Kajian Musikalitas Lagu Anak-anak dalam Dunia Pendidikan di Indonesia” termuat di jurnal Kumara Cendekia, Volume 2, Nomor 2 Tahun 2014. Hubungan dengan Murid Pak Dal tak lelah untuk belajar. Meski sudah menciptakan “Bintang Kecil” dengan sempurna, dia masih memperdalam teori musik demi penyempurnaan lagu anak-anak. Dia melakukannya seraya mengajar siswa-siswi Sekolah Pendidikan Guru (SPG) –setingkat SMA– di Yogyakarta. Dalam pandangan Pak Dal, SPG paling berperan dalam mempopulerkan lagu anak-anak. Karena itu, dia mempersiapkan siswa-siswi SPG dengan matang. Kelak mereka akan bersentuhan langsung dengan anak-anak dan membawakan lagu anak-anak ciptaannya sendiri. Seperti saat mengajar di sekolah dasar, Pak Dal memperoleh tempat istimewa di kalangan siswa-siswi SPG. “Enak cara mengajarnya,” ungkap seorang mantan anak didik Pak Dal kepada Kompas . Dia mengisahkan Pak Dal kerap membawa gambang kecil ke kelas untuk melatih siswa-siswinya agar lebih teliti mengenal nada. Ini membentuk ikatan erat antara mereka. Hasilnya, hubungan Pak Dal dengan siswa-siswinya tak terputus setelah mereka berpisah. Banyak siswa-siswinya mengunjunginya untuk meminta saran dan nasihat dalam mendidik anak-anak. Tak jarang, mereka juga meminta diktat lagu-lagu ciptaan Pak Dal. “Saya jilid sendiri, saya kumpulkan sendiri, dan saya kasihkan,” kata Pak Dal. Diktat itu berisi lebih dari seratusan lagu ciptaan Pak Dal sejak zaman Jepang. “Lagu-lagunya selalu berisi pendidikan,” tulis Tempo , 29 Oktober 1977. Sebut saja lagu “Berlabuh”, “Peramah”, dan “Sopan”. Kepada siswa-siswinya, Pak Dal selalu mengingatkan jurus utama menciptakan lagu anak-anak. “Sederhana, lincah, dan gembira,” ujar Pak Dal. Praktik, Praktik, dan Praktik Meski belajar teori musik secara mendalam, Pak Dal mengkritik keras sistem pendidikan yang menekankan teori. Pendidikan harus ada praktiknya. Dia mendorong siswa-siswinya untuk berani menciptakan sendiri lagu anak-anak sebagai bagian dari praktik sebelum mereka mengajar di sekolah dasar. Selama siswa-siswinya belum bisa menciptakan lagu anak-anak, Pak Dal mengizinkan mereka menggunakan lagu dirinya dan orang lain. Tapi siswa-siswinya sering bingung. Sebab tak banyak lagu anak-anak yang berkualitas baik. Pak Dal membantahnya. Lagu anak-anak yang berkualitas baik itu banyak. Tapi mereka jarang muncul di TV ataupun radio. Keduanya lebih suka memutar lagu anak-anak bercita rasa pop. Sebab lagu itulah yang menguntungkan buat mereka. Ini berakibat pada pilihan hidup para komponis. Mereka terpaksa ikut arus dengan menciptakan lagu anak-anak bercita rasa pop. Seperti itulah lingkaran setan penciptaan lagu anak-anak pada 1970-an. Di tengah gempuran lagu anak-anak bercita rasa pop, Pak Dal wafat di Yogyakarta pada 15 Oktober 1977. Setelah itu, nama Pak Dal mulai dilupakan walau karyanya tetap bergaung. Dia sempat bercerita dukanya menjadi komponis. Anak-anak mengingat lagu dan namanya, tapi para orangtua lupa menatapnya.
- Haji Agus Salim di Mata Natsir
Pada 1950, Indonesia kembali mengubah bentuk pemerintahannya dari Republik Indonesia Serikat (RIS) ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ketua Masyumi Mohammad Natsir ditunjuk oleh Presiden Sukarno sebagai perdana menteri. Jabatan itu menjadi yang tertinggi bagi Natsir sekaligus yang pertama. Kabinet Natsir mulai menjalankan aktivitas kenegaraannya pada September 1950. Dalam Biografi Mohammad Natsir , Lukman Hakiem menyebut ada tiga tokoh yang mempengaruhi alam pikir seorang Natsir, yakni: Ahmad Hassan (pendiri Persis), Syaikh Ahmad Soorkati (pendiri Al-Irsyad Al-Islamiyah), dan Haji Agus Salim. Jika Ahmad Hassan adalah guru di bidang keagamaan, Agus Salim diakui Natsir sebagai guru di bidang politik. “Dalam mata rantai generasi kepemimpinan umat Islam Indonesia, M. Natsir adalah penerus kepemimpinan H.O.S. Tjokroaminoto (1882-1934) dan H. Agus Salim (1884-1954). Karena itu dapatlah dikatakan bahwa sikap dan jejak langkahnya adalah kelanjutan sikap dan jejak langkah umat terdahulu,” tulis Thohir Luth dalam M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya . Pemikiran Agus Salim cukup besar mempengaruhi kegiatan berpolitik Natsir. Sejak masih aktif di Jong Islaminten Bond (JIB), pandangan-pandangan The Grand Old Man telah dikenal Natsir. Selain karena usia keduanya terpaut cukup jauh (24 tahun) pengalaman-pengalaman Agus Salim juga telah memberi pengaruh signifikan kepada seorang Natsir. “Kalau kita hendak menggunakan kualifikasi intelektual brilian pada salah seorang putra Indonesia, maka saya rasa paling pertama tepat adalah pada Haji Agus Salim,” kata Natsir seperti dikutip Dharma Setyawan dalam Haji Agus Salim: The Grand Old Man . “…dia itu seorang politikus, seorang diplomat yang ulung, seorang ilmuwan, dan pejuang.” Pernah pada suatu kesempatan, semasa menjabat pengurus JIB, Natsir dan beberapa kawan datang membawa satu masalah ke hadapan Agus Salim. Mereka pun terlibat perbincangan panjang. Setelah mendengar penjelasan Natsir, Agus Salim melontarkan pandangannya tentang kesulitan yang dihadapi juniornya itu secara jelas. Natsir dan para pengurus JIB mendengarkan dengan seksama penjelasan Agus Salim dan berharap mendapat solusi yang baik atas permasalahan mereka. Meski telah lengkap berbicara, namun gurunya itu tak kunjung memberikan jawaban, hingga seseorang berani menanyakannya. Dengan cepat Agus Salim menyela: “Jawaban permasalahan itu ada pada saudara-saudara, karena ini persoalan generasi saudara, bukan persoalan saya. Lihat anak saya yang masih kecil, jikalau saya terus menggendongnya kapan ia berjalan? Biarlah ia mencoba berjalan. Terjatuh ia, tetapi ia akan beroleh pengalaman dari itu,” ucap Agus Salim. Bagi Natsir, Agus Salim selalu ingin melihat generasi setelahnya memecahkan persoalan sendiri. Jika memang telah berusaha tetapi kesulitan itu sulit dipecahkan, barulah dia ikut ambil bagian. Tapi itupun tidak secara langsung. Dengan cara begitu Agu Salim yakin akan tumbuh keberanian dan kedewasaan yang akan melahirkan corak kepemimpinan baru. Natsir dan Agus Salim sendiri pernah bekerjasama. Keduanya pernah duduk di kabinet yang sama sebanyak tiga kali: Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946-2 Oktober 1946), Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946-27 Juni 1947), dan Kabinet Hatta I (29 Januari 1948-4 Agustus 1949). Natsir bertindak sebagai Menteri Penerangan, sementara Agus Salim dipercayai memimpin Kementerian Luar Negeri. Mereka kerap terlibat dalam diskusi-diskusi soal kenegaraan. Kedekatan Natsir dan Agus Salim di dalam kabinet disaksikan langsung oleh sejarawan George Mc Turnan Kahin saat mengunjungi Yogyakarta pada Agustus 1948. Ditulis H. Azmi dalam “Mohammad Natsir Nasional Sejati” termuat 100 Tahun Mohammad Natsir: Berdamai dengan Sejarah , Kahin yang hendak menemui Natsir di kantor kementerian penerangan terlebih dahulu berbincang dengan Agus Salim. Bagi Menteri Luar Negeri itu Natsir adalah sosok yang sederhana, tetapi memiliki budi pekerti baik. “Dia tidak bakal berpakaian seperti seorang menteri. Namun demikian dia adalah seorang yang cakap dan penuh kejujuran…,” kata Agus Salim.
- Didi Kartasasmita dan Pengkhianatan Seorang KNIL
Anhar Gonggong berang. Dia tak pernah bisa menerima jika Sultan Hamid II ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional. Menurut sejarawan terkemuka itu, Sultan Hamid II terlalu banyak memiliki “dosa” kepada Republik Indonesia (RI). Salah satunya adalah menjadi bagian dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) di kala bangsa ini berhadapan dengan Belanda yang ingin kembali berkuasa. “Dia bahkan mau menjadi ajudan khusus Ratu Belanda Wilhelmina pada 1946,” ujarnya. Situasi sebaliknya justru terjadi pada R. Didi Kartsasmita, senior Sultan Hamid II di Akademi Militer Kerajaan Belanda (KMA) Breda. Ketika mengetahui RI sudah berdiri pada 17 Agustus 1945, Didi justru menghadap Menteri Penerangan sekaligus Menteri Pertahanan add interim Amir Sjarifuddin untuk menawarkan diri. “Saya lulusan KMA Breda dan pernah menjadi letnan satu pada kesatuan KNIL. Saya merasa terpanggil untuk membantu perjuangan RI. Apa kiranya yang bisa saya kerjakan?” ujar Didi Kartasasmita seperti ternukil dalam otobiografinya Pengabdian bagi Kemerdekaan (disusun oleh Tatang Sumarsono). Amir sendiri menyambut baik tawaran Didi. Di tengah banyaknya para eks anggota KNIL yang bergabung dengan Pemerintah Sipil Hindia Belanda (NICA) pimpinan H.J. van Mook pasca menyerahnya Jepang kepada Sekutu, keinginan Didi untuk mengabdi kepada Republik merupakan suatu hal yang menggembirakan. “Memang, saudara diharapkan dapat membantu kami. Tentu banyak yang saudara dapat kerjakan,” jawab Amir. Dalam kesempatan itu, Amir juga bercerita bahwa pemerintah RI memang sudah merencanakan akan segera membentuk tentara. Untuk mengisinya, sudah ada kesedian dari beberapa mantan perwira Pembela Tanah Air (PETA), sebuah kesatuan yang dibentuk bala tentara Jepang untuk menghadapi Sekutu. “Tapi alangkah baiknya jika para mantan opsir KNIL pun turut serta di dalamnya,” ujar Amir Sjarifuddin. Sejarah mencatat, Didi kemudian berkeliling Jawa untuk menghimpun dukungan kepada RI dari eks opsir-opsir KNIL. Setelah ditandatangani 20 eks opsir KNIL (termasuk eks Mayor Oerip Soemohardjo) dan disetujui Presiden Sukarno, maklumat tersebut diumumkan ke khalayak lewat corong Radio Republik Indonesia (RRI) selama sepuluh hari berturut-turut sejak 11 Oktober 1945. * Berdasarkan keputusan rapat kabinet 15 Oktober 1945 yang dipimpin Wakil Presiden Mohammad Hatta, Didi diberi pangkat mayor jenderal. Dia kemudian ditugaskan untuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jawa Barat. Otomatis tugas tersebut menjadikannya sebagai Panglima Komandemen Jawa Barat. Di lain pihak, bergabungnya 20 eks perwira KNIL ke TKR membuat marah eks anggota-anggota KNIL yang lain. Mereka dicerca sebagai “pengkhianat” yang telah melanggar sumpah setia kepada Ratu Belanda. Bahkan begitu berangnya mereka, hingga Panglima KNIL Letnan Jenderal S.H. Spoor (eks instruktur Didi di KMA Breda) menyebut Didi sebagai “bajingan”. Demikian menurut J.A. de Moor dalam Jenderal Spoor, Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia. Namun Didi memiliki hujah sendiri terkait soal tersebut. Dia meyakini bahwa sejak Panglima KNIL Letnan Jenderal Hein ter Poorten menyatakan KNIL bubar pada 9 Maret 1942, secara otomatis kewajiban untuk “setia kepada Ratu Belanda” gugur. Dan ketika dihadapkan kepada dua pilihan: berada di pihak NICA yang ingin menjajah kembali Indonesia atau berada di pihak RI yang sudah menjadi negara merdeka, tentu saja sebagai orang Indonesia dirinya akan berdiri di belakang RI. Didi membuktikan baktinya kepada RI saat TKR harus berhadapan dengan tentara Inggris. Kendati dia tidak pernah menyetujui perintah Jakarta supaya pasukannya di Bandung “mengalah” kepada Inggris, namun pada akhirnya dia tetap menarik mundur TKR ke luar Bandung pada Maret 1946. Kepatuhan Didi kepada pemerintah RI ternyata tidak berbalas. Ketika Komandemen Jawa Barat dibubarkan, nama Didi justru tergeser oleh juniornya Kolonel A.H. Nasution yang kemudian menjadi panglima di Divisi I Siliwangi (nama pengganti Komandemen Jawa Barat). Padahal di Jawa Barat saat itu masih banyak senior-senior Nasution semasa di KNIL. Selain Didi pun, ada Kolonel Hidajat Martaatmadja, perwira Sunda yang juga alumni KMA Breda. Didi menyebut Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin lebih munyukai para juniornya. Itu disebabkan para senior eks KNIL seperti dirinya dan Hidayat dianggap “kurang revolusioner”. Dia juga tak menafikan bahwa di antara eks KNIL sendiri terdapat friksi antara kelompok tua (sebagian besar alumni KMA Breda) dengan kelompok muda (lulusan KMA Bandung dan CORO, sekolah perwira cadangan KNIL). “Situasi tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah pusat,” ujar Didi. Nyatanya karier Nasution sendiri semakin meroket. Ketika pemerintahan Amir Sjarifuddin jatuh dan digantikan oleh Mohammad Hatta, Nasution didapuk sebagai Kepala Staf TNI, menggantikan Suryadi Suryadarma. Menurut Didi, langkah para tokoh sipil itu sudah sangat keterlaluan dan membuatnya kecewa. Terlebih saat Hatta mencopot Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dari jabatan Kepala Staf TNI dan digantikan justru oleh Nasution. “Tindakan itu betul-betul melukai hati saya,” ungkapnya. Didi bisa menerima jika pengganti Oerip adalah Suryadarma, teman seangkatannya di KNIL. Namun, jika pemerintah mengangkat Nasution sebagai Kepala Staf TNI, itu menyalahi prosedur ketentaraan. Kata Didi, seorang opsir yang “dilompati” juniornya otomatis dia harus mengundurkan diri, karena dianggap sebagai opsir yang tidak becus melaksanakan tugas. “Itulah yang menyebabkan saya minta mundur dari TNI,” ujarnya. Presiden Sukarno sendiri tak pernah mengizinkan Didi untuk keluar dari TNI. Usai melayangkan surat pengunduran dirinya yang kesekian kali, Sukarno pernah mengutus Kolonel T.B. Simatupang untuk mengurungkan niatnya dengan alasan dia akan dijadikan salah satu delegasi khusus ke Amerika Serikat. Alih-alih merasa tersanjung dengan ajakan itu, Didi malah sudah terlanjur mutung. “Ketika dulu saya membentuk tentara, saya lakukan demi pengabdian. Karena itu kalau pun hari ini saya akan mundur, tak ada seorang pun yang bisa menghalangi saya,” jawabnya kepada Simatupang. * Usai mundur dari TNI, Didi ditangkap oleh tentara Belanda di wilayah sekitar Purwokerto. Setelah beberapa bulan ditahan, dia dilepaskan atas jaminan langsung dari Spoor. Menurut de Moor, Panglima KNIL itu sangat bergembira begitu tahu Didi telah keluar dari TNI. “Dalam suratnya kepada Kepala Staf Umum Tentara Kerajaan Belanda Jenderal H.J. Kruls , Spoor memuji dirinya sendiri yang telah berhasil mengusir salah satu “bajingan” itu dari meja perundingan yaitu Mayor Jenderal Raden Didi Kartasasmita…”ungkap sejarawan militer Belanda tersebut. Usai dibebaskan, Didi pulang ke Bandung. Seterusnya dia hidup sebagai seorang sipil dan bekerja di lingkungan Kementerian Kesehatan Negara Pasundan. “Itu saya lakukan untuk sekadar bertahan hidup,” ujar Didi. TNI tentu saja berang dengan keputusan Didi. Secara terbuka, Nasution sendiri pernah menyebut Didi sebagai “tukang menyebrang” dan orang yang pro federalisme. “Penyebrangan-penyebrangan terakhir seperti dilakukan Didi Kartasasmita cs. tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap pemerintahan RI,” ungkap Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 9 . Untuk yang kedua kali, Didi menampik bahwa dia telah melakukan pengkhianatan terhadap RI. Jika mau, katanya, selepas dari tahanan Belanda dia bisa saja bergabung kembali dengan KNIL atau menerima tawaran menjadi Komandan Batalyon Pertahanan Negara Pasundan. “Tapi itu tak pernah dilakukan karena saya masih mencintai Republik Indonesia,” ujarnya. Sebagai catatan, usai menolak masuk kembali KNIL, Didi diberi surat pemecatan dari KNIL terhitung sejak 17 Agustus 1945. Namun, surat itu baru diberikan pada awal 1949. Bisa jadi jika Didi menerima tawaran tetap meneruskan karier di KNIL, surat pemecatan tak akan pernah sampai kepadanya. Berbeda dengan Didi, Nasution sendiri tak termasuk dalam daftar anggota KNIL yang dipecat karena keberpihakannya kepada RI. Menurut Manai Sophian dalam Apa yang Masih Teringat , hanya Didi Kartasasmita, Oerip Soemohardjo, Suryadarma dan beberapa eks perwira tinggi Republik lainnya yang dinyatakan dikeluarkan secara tidak hormat dari KNIL.
- Misi Pemeradaban, Akal Bulus Leopold II
SETELAH gagal mendapatkan daerah jajahan di Filipina, Raja Belgia Leopold II berusaha mencari daerah jajahan baru untuk meningkatkan prestis dan kekuatan Belgia. Dicarinya tempat yang tidak memakan banyak biaya atau mengerahkan kekuatan besar untuk ditundukkan. Ia lantas menemukan Congo di Afrika Tengah yang luasnya hampir 70 kali Belgia sebagai daerah jajahan yang tepat. Namun, Leopold II tahu bahwa ia harus berhati-hati menundukkan Congo dan berusaha mendapat pengakuan dari kekuatan Eropa lain sebelum penjajahan dilakukan. Ia kemudian melancarkan akal bulus, membungkus kolonialismenya dengan wajah kampanye filantropis dan upaya pembukaan pasar bebas di sana. Leopold II kemudian mendirikan Asosiasi Internasional Congo pada 1879 untuk menunjukkan kepada dunia bahwa dia ingin membawa misi kemanusiaan dan membangun peradaban Eropa di Congo. Pencitraan ini cukup efektif menipu Eropa. Ia juga mengirimkan Henry Morton Stanley, wartawan dan penjelajah terkenal berkebangsaan Inggris, untuk memetakan Congo. Sejak Agustus 1879 hingga Juni 1884, Stanley berada di Congo untuk membangun jalan dari dataran rendah Congo ke Stanley Pool (kini The Pool Malebo). Stanley juga diperintahkan untuk menguasai tanah sebanyak mungkin. Selain dipersenjatai dengan pasukan ekspedisi, ia juga diperintahkan untuk menyuap dan mengintimidasi para kepala suku agar menyerahkan tanah mereka. Seluruh perjanjian ditulis dalam bahasa Prancis dan membuat para kepala suku tak memahami isi perjanjian tersebut. Padahal, tanda tangan para kepala suku dalam perjanjian tersebut memegang peran penting. Bermodal perjanjian dari tipu muslihatnya tersebut, di dalam pengundian wilayah Afrika yang dibahas Konferensi Berlin 1884-1885, Leopold II berhasil meyakinkan para pemimpin Eropa bahwa dialah yang pantas melebarkan sayap ke Congo. Steven P Johnson menyebutkan dalam tesisnya “King Leopold II’s Exploitation of The Congo from 1885 to 1908 and Its Consequences”, dengan persetujuan Jerman, Amerika Serikat, dan negara-negara besar lainnya, Leopold menciptakan Negara Bebas Congo (NBC) yang berlangsung dari 1885 hingga 1908. Alih-alih mempromosikan perdagangan bebas dan membangun peradaban Eropa di Congo seperti janjinya, Leopold Ii justru melancarkan eksploitasi besar-besaran di Congo. Untuk mempercepat eksploitasi, Leopold II memberikan tanah kepada perusahaan swasta pemegang konsesi dan menggunakan segala paksaan untuk memaksimalkan keuntungan. Dalam “Colonial Streets and Statues: Postcolonial Belgium in the Public Space”, sejarawan Universitas Leuven Idesbald Goddeeris menyebutkan, secara resmi NBC mengizinkan perdagangan bebas tanpa pajak. Dalam praktiknya, Leopold II mengklaim semua wilayah kosong, memerintah Congo sebagai wilayah pribadinya (tidak melalui pemerintah Belgia), dan mengeksploitasi sumberdaya alam, terutama pohon karet. Kerakusannya menyebabkan jutaan rakyat Congo meninggal karena penyiksaan dan kelaparan. Kebrutalannya bisa digambarkan lewat foto terkenal yang menampilkan seorang lelaki terduduk di teras memandangi potongan tangan dan kaki dari anak perempuannya yang berusia 5 tahun. Anak perempuan tersebut meninggal disiksa aparat Belgia setelah desanya gagal memenuhi target panen karet. Seorang ayah memandangi potongan tangan dan kaki anak perempuannya di Congo 1904. (Alice Seeley Harris, Don’t Call Me Lady: The Journey of Lady Alice Seeley Harris ). Kekejaman Leopold II menjadikan NBC salah satu skandal internasional terbesar pada awal abad ke-20. Pada 1908, setahun sebelum Leopold II meninggal, ia dipaksa menyerahkan Congo ke pemerintah Belgia. NBC kemudian menjadi Congo-Belgia. Profesor sejarah di Berry College Matthew Stanard mencatat dalam bukunya, Selling the Congo: A History of European Pro-Empire Propaganda and the Making of Belgian Imperialism , Leopold II kemudian digantikan oleh keponakannya yang bergelar Albert I (anak dari adik bungsu Leopold II). Pada masa kepemimpinan Albert I bersama Perdana Menteri Jules Renkin, mereka menyadari kesalahan masa lalu. Berbeda dari pamannya yang memerintah dari Belgia tanpa pernah sekali pun menginjakkan kaki di sana, Albert mengunjungi Congo dan menghabiskan banyak waktu di sana beberapa bulan sebelum kematian Leopold II pada Desember 1909. Dalam pidato pengangkatannya, Renkin dan Albert merenungkan kesalahan-kesalahan masa lalu dan berusaha membentuk pemerintahan Congo yang lebih baik. Maksudnya, bukan memerdekakan wilayah tersebut, melainkan penjajahan atas Congo tidak lagi dilakukan atas kuasa pribadi raja, tapi lewat pemerintah Belgia. Albert dan Renkin juga mengungkapkan perlunya memberi tahu rakyat Belgia tentang misi peradaban di Afrika. Pemerintah Belgia yakin bisa memerintah Congo sebagai model koloni. Pembangunan ekonomi, infrastruktur, perawatan kesehatan, pendidikan dasar, dan evangelisasi dilakukan besar-besaran. Namun, menurut Goddeeris, masih banyak aspek dari pemerintahan Belgia yang menunjukkan kesinambungan dengan NBC masa Leopold II. Ekonomi NBC masih didominasi perusahaan swasta besar yang menguras sumber daya dan masyarakat Afrika. Misi pemeradaban digunakan untuk menyembunyikan penjajahan. Stanard mencatat, propaganda citra baik untuk menutupi kebusukan ini dilakukan pula oleh Jerman untuk legitimasi Hitler dan Prancis untuk memoles penjajahannya di Indocina. Upaya whitewashing penindasan Leopold II di Afrika jadi jalan keluar untuk mendukung penjajahan dan meniadakan kebutuhan untuk mempertanyakan penjajahan di Afrika serta masalah kekejamannya. “Sejarah digunakan keluarga kerajaan untuk melegitimasi perilaku mereka. Setelah Perang Dunia I, pembangunan patung Leopold II di Belgia merupakan upaya untuk meningkatkan dukungan bagi Kerajaan Belgia,” tulis Stanard. Pembangunan citra Leopold II lewat patung-patung menyebabkan amnesia sejarah yang bertahan selama beberapa dekade. Pada awal abad ke-21, monumen-monumen tersebut mendapat banyak kritikan. BBC menyiarkan dokumenter karya Peter Bate berjudul White King, Red Rubber, Black Death pada awal April 2004 dan memicu protes. Pada malam 20 April, aksi protes terjadi di Ostend, Belgia. Mereka menggergaji tangan patung orang kulit hitam yang bersorak di dekat patung berkuda Leopold II. Aksi ini mengacu pada kekejaman Leopold II yang menerapkan hukuman potong tangan pada rakyat Congo. Para aktivis menawarkan pengembalian potongan tangan itu dengan syarat dewan kota mau memasang gambar orang Congo dengan tangan terputus di dekat patung. Dewan kota menolak tawaran itu dan tetap membiarkan tangan patung itu terputus. Para pendemo lalu melakukan tindakan baru terhadap monumen kerajaan lainnya di Ostend, seperti menuangkan cat merah di atas patung Raja Baudouin pada malam 17 Januari 2005 sebagai peringatan 44 tahun kematian pemimpin gerakan kemerdekaan Congo, Patrice Hemery Lumumba. Kampanye itu ditiru di kota-kota lain. Para pengunjuk rasa, mayoritas anonim, menggunakan grafiti atau cat merah untuk menolak kehadiran patung Leopold II. Penolakan dilakukan pada patung-patung Leopold II di Tervuren pada Desember 2009, sebuah monumen yang didedikasikan untuknya di Namur pada Juni 2011, dan patung berkudanya di Brussels pada September 2008, Juli 2010, dan Desember 2013. Patung Leopold II di Ekeren dekat Antwerp juga disiram cat merah pada Desember 2006, Juni 2007, November 2009. Namun, setiap kali dirusak, patung-patung tersebut kembali dibenahi otoritas terkait, seolah meremahkan protes sebagai aksi individu yang anti-pemerintahan. Baru pada awal Juni 2020 protes tentang keberadaan patung Leopold II didengar seiring aksi global Black Lives Matter. Setelah dibakar, disiram tinta merah, dan diberi petisi untuk menyingkirkannya, patung Leopold II di Antwerp akhirnya disingkirkan.
- Lima Fakta Tentang Sultan Hamid II
Nama Sultan Hamid II banyak diperbincangan belakangan ini. Berbagai kalangan memperdebatkan, apakah Sultan Hamid pahlawan atau pengkhianat? Bernama lengkap Sjarif Hamid Alqadrie, Sultan Hamid II lahir di Pontianak pada 12 Juli 1913. Hamid merupakan putra sulung Sultan Sjarif Muhammad Alqadrie. Sedari kecil, putra mahkota keturunan Arab-Melayu ini telah dipersiapkan untuk melanjutkan tahta Kesultanan Qadriyah Pontianak. Maka pada 29 Oktober 1945, secara resmi Hamid dinobatkan sebagai penguasa ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak bergelar Sultan Hamid II. Sultan Hamid II meniti namanya dengan melalui jalan berliku. Keberpihakannya kepada Belanda ditandai dengan kesediaan menjadi ajudan istimewa Ratu Belanda. Selain itu, Hamid secara tegas lebih mendukung sistem negara federalis ketimbang negara kesatuan. Di sisi lain, Hamid juga disebut punya jasa bagi Republik Indonesia (RI). Dia ikut terlibat dalam Konfrensi Meja Bundar (KMB) sebagai pimpinan Badan Permusyawaratan Federal (BFO) sehingga Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949. Hamid jugalah yang disebut-sebut merancang simbol Garuda Pancasila, yang menjadi lambang RI sampai hari ini. Sayangnya, Hamid mencoreng sendiri reputasinya karena berkolaborasi dengan eks perwira KNIL (Kapten R.P.P. Westerling) dalam pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Kini. wacana untuk merehabilitasi nama Sultan Hamid menguar ke publik. Adalah Yayasan Sultan Hamid II yang giat mengajukan Sultan Hamid II sebagai pahlawan nasional. Usulan ini memantik polemik setelah A.M. Hendropriyono angkat bicara. Dia mengatakan Sultan Hamid II tak pantas menjadi pahlawan nasional karena pernah berkhianat kepada RI. Terbaru, sejarawan senior Anhar Gonggong mengecam pengajuan Hamid sebagai pahlawan nasional karena berada di pihak Belanda ketika kaum sebangsanya berjuang dalam perang mempertahankan kemerdekaan. “Kita sedang dikejar-kejar Belanda, mau dibunuh Belanda, Sultan Hamid menerima jabatan itu (ajudan istimewa Ratu Belanda). Patriotisnya dimana?” kata Anhar Gonggong . Apakah gelar pahlawan nasional memang tidak pantas disematkan kepada Sultan Hamid II? Berikut fakta sejarah mengenai Sultan Hamid II yang dirangkum Historia . Ajudan Istimewa Ratu Wilhelmina Hamid merintis kariernya sebagai perwira Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Selama karir militernya, Hamid pernah bertugas di Malang, Bandung, Balikpapan, dan beberapa tempat lainnya. Selama pendudukan Jepang, Hamid ditahan di Batavia. Sementara itu, keluarganya di Pontianak dibantai oleh tentara Jepang dalam Peristiwa Mandor 1943--1944. Pada 1946, Sultan Hamid menerima jabatan kehormatan sebagai ajudan istimewa Ratu Belanda, Wilhelmina dengan pangkat mayor jenderal. Ini adalah jabatan tertinggi yang pernah diemban oleh orang Indonesia dalam Angkatan Darat Kerajaan Belanda. Namun pada saat yang sama, Indonesia harus menghadapi Belanda yang berniat menguasai kembali tanah jajahannya yang subur tersebut. Ketua BFO Bersama dengan Belanda yang hendak menegakkan kuasa di Indonesia, Hamid membentuk federasi bernama Daerah Istimewa Kalimantan Barat (DIKB) pada 1947. DIKB terdiri dari negara-negara kerajaan se-Kalimantan Barat sebagai daerah otonom yang menjalin persemakmuran dengan Kerajaan Belanda. Pada 1949, Hamid menjadi ketua BFO menggantikan ketua pertama Mr. Tengku Bahriun dari Negara Sumatra Timur. Hamid dan koleganya di BFO bersepakat dengan RI membicarakan konsep penyatuan bangsa serumpun yang terpecah-belah dalam Konferensi Inter Indonesia. Harian Merdeka, 3 Agustus 1949 mengutip pidato Sultan Hamid II dalam konferensi penutup yang berbunyi, “Beberapa hari lagi kita akan berangkat ke Belanda untuk turut serta dalam KMB dengan semangat yang telah mempengaruhi kita disini semangat persamaan dan persaudaraan.” Dengan demikian, konsensus terjalin antara RI pimpinan Sukarno dengan BFO pimpinan Sultan Hamid untuk menuju KMB yang akan menghasilkan pengakuan kedaulatan. Sejarawan Richard Leirissa dalam penelitiannya menyebut BFO sebagai Kekuatan Ketiga dalam Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. Anshari Dimyati, Direktur Eksekutif Yayasan Sultan Hamid II mengatakan peran Sultan Hamid dalam BFO justru dinafikan. Menurutnya Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terbentuk sejak penyerahan kedaulatan pada KMB itu tidak dilihat secara utuh sebagai mata rantai sejarah terbentuknya Indonesia yang kita kenal sekarang. Perancang Lambang Garuda Pada Januari 1950, Presiden RIS Sukarno menunjuk Hamid sebagai menteri negara tanpa portofolio sekaligus koordinator tim perumusan lambang negara. Dalam sidang kabinet, 10 Januari 1950, Hamid membentuk Panitia Lencana Negara. Kemudian diadakanlah sayembara pembuatan lambang negara. Dua karya terbaik diraih atas nama Muhammad Yamin dan Sultan Hamid. Panitia menolak rancangan Yamin karena mengandung banyak unsur sinar matahari yang mengesankan adanya pengaruh fasis Jepang. Sementara itu, lambang Garuda Pancasila rancangan Hamid ditetapkan sebagai lambang negara RIS pada 11 Februari 1950. Dalam perkembangannya, lambang burung garuda rancangan Hamid mendapat masukan sana-sini. Hamid melakukan beberapa perbaikan dari rancangan semula. Maka jadilah Garuda Pancasila yang menjadi lambang negara RI seperti sekarang ini. Bermufakat dengan Westerling Dua bulan setelah rancangannya ditetapkan sebagai lambang negara, jabatan Hamid sebagai menteri negara dicabut. Pada 5 April 1950, Hamid ditangkap saat berada di Hotel Des Indes Jakarta oleh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX atas perintah Jaksa Agung RIS Tirtawinata. Hamid dituduh sebagai dalang dari penyerangan berdarah dan rencana makar yang dilakukan eks Kapten Westerling dalam pemberontakan APRA. Hamid menjalin mufakat dengan Westerling karena ingin mempertahankan negara federal. Dalam pledoinya, Hamid mengakui telah memberi perintah kepada Westerling dan Inspektur Polisi Frans Najoan untuk menyerang sidang Dewan Menteri RIS pada 24 Januari 1950. Dalam penyerbuan itu, Hamid juga memerintahkan agar semua menteri ditangkap, sedangkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengku Buwono IX, Sekretaris Jenderal Ali Budiardjo dan Kepala Staf Angkatan Perang PRIS (APRIS) Kolonel TB Simatupang harus ditembak mati. Ironisnya, Sultan Hamid II dan Sri Sultan adalah kawan masa kecil sewaktu sama-sama bersekolah di ELS Yogyakarta. Menurut pengakuan Sri Sultan seperti terkisah dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX, selama bersekolah Hamid tidak suka antem-anteman (berkelahi). Berbeda dengan dirinya yang seringkali distrap oleh guru karena berkelahi. Terhukum Dua Kali Karena keterlibatannya dalam aksi Westerling, Sultan Hamid dihadapkan ke pengadilan. Pada 8 April 1953 Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman sepuluh tahun penjara dipotong masa tahanan tiga tahun kepada Hamid. Dasar pertimbangannya adalah adanya “niat” Hamid menyuruh Westerling dan Frans Najoan untuk menyerbu Dewan Menteri RIS dan menembak mati tiga pejabat pemerintah. “Dia pernah dihukum (penjara) 10 tahun. Ada persyaratan undang-undang tidak mungkin dia diterima (pahlawan nasional) karena pernah dihukum 10 tahun disamping menerima jabatan demikian rupa sebagai ajudan (istimewa) dan pangkat yang dibanggakan sebagai tertinggi pada 1946,” kata Anhar Gonggong. Ketika bebas pada 1958, Hamid tidak lagi berpolitik. Namun, setelah empat tahun menghirup udara bebas, dia kembali ditangkap dan dijebloskan ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Madiun, Jawa Timur, pada Maret 1962. Dia dituding melakukan kegiatan makar dan membentuk organisasi ilegal Vrijwillige Ondergrondsche Corps (VOC) dengan wakilnya bernama Pitoy. Anggotanya kebanyakan dari Indonesia Timur seperti Sahetapy, Johannes, dan Ondang sebagai kepala Brigade Penghancuran (Vernielings Brigade). Meski demikian, tuduhan ini tidak dapat dibuktikan karena Hamid ditahan tanpa melalui proses pengadilan. Selepas bebas dari RTM Madiun, Hamid beraktifitas di dunia bisnis. Dia menggeluti bisnisnya itu sebagai Presiden Komisaris PT. Indonesia Air Transport, sejak tahun 1967 hingga tahun 1978. Pada 30 Maret 1978, Sultan Hamid II wafat di Jakarta, tepat pukul 18.15 ketika dirinya sedang melakukan salat Magrib.
- Kesebelasan Brasil dan Hungaria Adu Jotos di Piala Dunia
Hari ini, 27 Juni, 66 tahun silam. Di hadapan 40 ribu penonton yang memadati stadion Wankdorf, Bern, Swiss, wasit Arthur Ellis asal Inggris dengan percaya diri memasuki lapangan didampingi dua hakim garis dan diikuti dua tim yang akan saling berhadapan. Ellis bangga dipercaya memimpin pertandingan yang kemudian dijuluki “Battle of Berne” itu. “Kupikir itu akan menjadi pertandingan terhebat yang pernah aku lihat. Aku berada di puncak dunia,” ujarnya sebagaimana dikutip Guy Hodgson dalam “Footbal: Ellis a Knockout During the Battle of Berne”, dimuat di independent . co . uk . Pertandingan yang dipimpin Ellis itu merupakan partai perempat final Piala Dunia 1954 antara Brasil melawan Hungaria. Tiga partai perempat final lainnya mempertemukan Austria kontra Swiss, Uruguay kontra Inggris, dan Jerman Barat kontra Yugoslavia. Dalam partai yang dipimpin Ellis, Hungaria dijagokan karena performanya sedang berada di puncak. Dua tahun sebelumnya, negeri itu meraih medali emas cabang sepakbola di Olimpiade Helsinki. “Tim luar biasa ini dipimpin Wakil Menteri Olahraga, Gustav Sebes, dan di bawahnya seorang pelatih, Gyula Mandi. Latihannya dilakukan bervariasi dan inventif, dan para pemain didorong untuk berlatih atletik, bahkan mendaki gunung. Tak perlu dikatakan ada penekanan besar pada pelatihan dengan bola –masih, luar biasa, hal yang langka di Inggris yang konservatif– dan 'situasi pertandingan' diciptakan kembali dalam latihan,” tulis Brian Gianville dalam The Story of the World Cup: The Essential Companion to South Africa 2010 . Para pendukung Hungaria jelas tak kecewa. Meski tanpa bintang Ferenc Puskas yang absen karena cedera, Hungaria langsung memimpin dua gol –lewat striker Nandor Hidegkuti dan Sandor Kocsis– ketika pertandingan belum mencapai 10 menit. Brasil memperkecil ketinggalan lewat titik putih yang dengan baik dieksekusi Djalma Santos. Hujan deras yang mengguyur stadion membuat lapangan licin dan bola sulit dikendalikan. Bertahan hingga paruh pertama, skor 2-1 berubah ketika Mihaly Lantos menambah keunggulan Hungaria ketika babak kedua baru berjalan delapan menit. Tensi pertandingan makin tinggi di babak kedua. Pelanggaran demi pelanggaran makin sering dilakukan kedua tim. Perkelahian pun tak dapat dielakkan. Nilton Santos dan Josef Bozsik saling pukul setelah Bozsik tak terima ditekel keras Santos. Wasit Ellis langsung mengusir keduanya dengan kartu merah. Selang beberapa saat kemudian, giliran Djalma Santos mengejar Zoltan Czibor. Empat menit menjelang peluit akhir, giliran striker Brasil Humberto Tozzi yang diusir Ellis karena menendang bek Hungaria Gyula Lorant. Ellis tak peduli meski Tozzi berlutut meminta maaf. Perkelahian baru berhenti ketika Ellis meniup peluit akhir di mana skor 4-2 untuk Hungaria. Namun, ternyata perkelahian berhenti hanya sementara. Puskas yang duduk di pinggir lapangan ogah ketinggalan sehingga ikut berkelahi meski masih cedera. “Dia melemparkan botol ke wajah Pinheiro dan mengakibatkan luka yang perlu dijahit dengan cepat,” tulis Mark Ryan dalam Lowdown: A Short History of the World Cup . Ulah Puskas memicu balas dendam dari tim Brasil. “Tim Brasil menyerbu ruang ganti Hongaria setelah pertandingan untuk melanjutkan pertarungan,” sambung Ryan. Upaya kiper Brasil Castilho menenangkan rekan-rekannya gagal. Botol dan sepatu bola dilemparkan tim Brasil kepada lawan mereka. Para anggota tim Hungaria pun banyak menjadi korban “Gustav Sebes (wakil menteri olahraga Hungaria, red .) pipinya terluka,” tulis Gianville. “Mereka berperilaku seperti binatang. Itu memalukan,” kata Ellis. Tawuran baru berhenti ketika Presiden Komite Piala Dunia Swiss Ernst Thommen turun ke ruang ganti untuk menengahi. Namun upaya itu telat, korban telah berjatuhan. Yang memprihatinkan, panitia tak bertindak tegas meski ada tawuran, bahkan sejak perkelahian antar-pemain kedua tim terjadi di saat pertandingan. Masing-masing ofisial tim pun menolak menghukum para pemainnya yang terlibat. Hebatnya, kata Ellis, badan pengatur sepakbola tidak melakukan apapun. “FIFA menutup mata. Terlalu banyak anggota komite takut kehilangan perjalanan ke tempat-tempat bagus. Itu pertandingan yang mengerikan,” kata Ellis yang kebanggaannya memimpin pertandingan seketika berubah begitu melihat hasilnya di luar dugaan.






















