Hasil pencarian
9592 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Nama Anak dari Nama Anak Buah
Nama adalah doa. Setiap orang tua akan memberikan nama terbaik untuk anaknya. Nama yang diberikan mengandung makna yang diharapkan membawa kebaikan bagi anak. Nama itu juga bisa jadi memiliki cerita sendiri bagi orang tua, seperti Pranoto Reksosamodra memberikan nama untuk anak pertamanya. Pada September 1947, Mayor Pranoto Reksosamodra menjabat komandan Resimen XXI, Yogyakarta. Dalam pertempuran di Semarang barat, dia berpangkalan di garis pertahanan dari perkebunan karet Rembes ke selatan lewat daerah Gemuh, Biting, sampai Candiroto. Daerah hutan itu sulit mendapatkan air. Untuk mandi saja harus turun ke jurang yang ada sumber air jernih dengan kolam bercadas. Pada sore hari, Pranoto mandi ke sumber air itu dengan dikawal oleh Prajurit Untung dan Kopral Wardoyo. "Sedang di tengah mandi aku mendengar suara ilalang bergemerisik, seperti ada orang-orang yang datang mendekatiku," kata Pranoto dalam memoarnya, Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra dari RTM Boedi Oetomo sampai Nirbaya . Wardoyo berbisik pada Untung, "Awas, patroli Belanda datang." Tanpa pikir panjang, Untung memberondongkan tembakan sten gun ke arah suara gemerisik itu. Wardoyo mencari posisi ke samping Untung. Sewaktu dia meloncat ke samping kiri, kakinya tersambar peluru dari sten gun Untung yang menembak membabi buta. Ternyata tidak ada balasan tembakan dari arah suara gemerisik yang dikira tentara Belanda. Malahan sekawanan babi hutan yang mencari minum terpaksa kembali karena tembakan itu. Tak berapa lama kemudian, terdengar suara Wardoyo mengerang kesakitan. " War, War, kowe kejungkel ana jurang apa ? (War, War, kamu terjatuh ke jurang?)" tanya Untung. "Kejungkel gundulmu, aku kena sasaran pelurumu," kata Wardoyo. "Geli rasanya aku menyaksikan kedua pengawal itu berceloteh," kata Pranoto. Pranoto memeriksa kaki Wardoyo, benar saja peluru sten gun Untung menembus kulit sepatu dan kakinya. Pranoto dan Untung kemudian memapah Wardoyo yang pincang karena terluka. Sampai di markas batalion di Biting, Wardoyo mendapat perawatan dari perwira kesehatan, Letnan Sukiman. Tiba-tiba telepon berdering dan diangkat oleh perwira bagian perhubungan. Dia melaporkannya kepada Pranoto bahwa istrinya telah melahirkan seorang putra pada pagi, 15 September 1947. Malam itu juga, Pranoto yang suka cita karena kelahiran anak pertama, berangkat ke Yogyakarta. Dia membawa serta Wardoyo untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di Rumah Sakit Militer di Magelang. Dalam perjalanan dari Magelang, Pranoto melajukan mobil Chevrolet Super de Lux tahun 1945, dengan tenang dan memungkinkannya mencari nama yang pantas untuk anaknya. Dia pun teringat pada peristiwa menggelikan yang dilakukan anak buahnya pada petang hari tadi. "Aku meminjam nama kedua pengawalku. Anakku kuberi nama Untung Wardoyo," kata Pranoto. Istrinya, Soeprapti Poerwodisastro, melahirkan di Rumah Sakit Bethesda. Bayi laki-laki bernama Untung Wardoyo itu berambut kriting, hidung mancung, dan kulitnya kuning. Setelah istrinya selesai dirawat, Pranoto kembali ke markasnya di Biting untuk mempertahankan daerah Semarang barat. Buah hati Pranoto-Soeprapti itu berumur pendek. Sejak dalam kandungan, dia telah terpengaruh oleh kesehatan ibunya yang sakit-sakitan. Ketika lahir dia menjadi bayi yang kurang sehat, jantungnya lemah. Dr. Suwondo dan dr. Suharsono telah berusaha merawatnya. Namun, Tuhan mengambilnya. Untung Wardoyo, bayi berumur 35 hari, meninggal di Rumah Sakit Panti Rapih pada 21 Oktober 1947. Enam bulan kemudian, Soeprapti kembali mengandung. Bahkan, sepanjang hidupnya, Pranoto-Soeprapti dikaruniai 12 anak. Karier militer Pranoto sampai menjabat caretaker Menteri/Panglima Angkatan Darat pada 1965 dengan pangkat Mayor Jenderal. Namun, dia dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965 dan dipenjara oleh Orde Baru selama 15 tahun (16 Februari 1966–16 Februari 1981). Pranoto Reksosamodra meninggal di Jakarta pada 9 Juni 1992.
- Ritual Persumpahan Desa Bebas Pajak
Hadirin khidmat. Di hadapan mereka pemimpin upacara mulai mengucapkan sumpah. Sambil menyumpah, ia memotong leher seekor ayam. Lalu membanting sebutir telur di atas sang hyangkalumpang . "Seperti tubuh ayam yang telah mati, tak dapat hidup lagi. Seperti telur yang telah remuk berkeping-keping, takkan kembali utuh. Seperti pula kayu yang terbakar api, menjadi abu, hilang diterbangkan angin," katanya. Sumpah itu diucapkan dengan jelas agar didengar oleh hadirin. Barang siapa yang berani meng g anggu ketetapan tanah perdikan akan mendapat petaka, berakhir seperti sumpah yang telah mereka dengar. Kutukan bagi pelanggar biasanya kejam. Mereka yang melanggar kepalanya terbelah, perutnya robek, ususnya terburai, hati dan dagingnyadimakan, serta darahnya diminum oleh makhluk halus. Masyarakat meyakini kutukan itu pasti terjadi. Tindakan memotong ayam dan memecahkan telur serta menabur abu dimaksudkan agar sumpah itu diamini oleh kekuatan gaib. Tujuannya agar ritual itu terhubung dan berefek secara magis. Mencegah Penyalahgunaan Timbul Haryono, arkeolog Universitas Gadjah Mada (UGM), menjelaskan bahwa ritual penetapan tanah perdikan yang disebut manusuk sima diperlukansupaya tidak terjadi penyalahgunaan di kemudian hari. Dibuatkan pula piagam keputusan berupa prasasti. "Diharapkan di kemudian hari tak ada orang yang melanggar. Pada prinsipnya tanah sima berlaku selama-lamanya," tulis Timbul dalam "Sang Hyang Watu Teas dan Sang Hyang Kulumpang: Perlengakapan Ritual Upacara Penetapan Sima pada Masa Kerajaan Mataram Kuna" yang terbit di jurnal Humaniora No. 12 September-Desember 1999. Hampir 90 persen prasasti Jawa Kuno membicarakan sima. Status ini diberikan kepada seseorang yang telah berjasa kepada raja. Sering pula diberikan kepada masyarakat untuk mengelola bangunan keagamaan. Status sima ditetapkan pada sebidang tanah sawah atau kebun atas perintah raja atau pejabat tinggi, yakni seorang bergelar rakai atau pamgat. Jika sudah berstatus sima , petugas pajak dilarang melakukan kegiatan di wilayah itu. Sejak itu pertanggungjawaban penduduk berubah. Itulah mengapa penetapan tanah menjadi sima merupakan peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Jawa Kuno. "Semula penduduk bertanggung jawab kepada raja atau rakai, setelah tanahnya ditetapkan menjadi sima maka mereka bertanggungjawab kepada kepala sima, "tulis Timbul. Ritual Persumpahan yang Utama Ritual persumpahan menjadi bagian terpenting dalam upacara penetapan sima . Bermacam sajian disiapkan, di antaranya kepala kerbau, seekor ayam jantan, sebutir telur, air, jarum, pemotong kuku dandang, seperangkat alat untuk makan dan minum, dan peralatan untuk membuka tanah dan persawahan. Ahli epigrafi, Boechari menjelaskan seperangkat alat untuk makan dan minum yang disebutkan di antara sesaji itu masih belum jelas benar fungsinya. Mungkin hanya diisi dengan makanan dan minuman yang disajikan kepada dewa. Sementara hadirin tidak menggunakannya sewaktu makan minum bersama. "Yang jelas ialah bahwa waktu makan mereka menggunakan daun," tulis Boechari dalam "Epigrafi dan Sejarah Indonesia" ter muat di Melacak Sekarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Pun fungsi kepala kerbau hanya dapat dikira-kira berdasarkan kebiasaan masyarakat sekarang. Kepala kerbau ditanam di suatu tempat di dalam tanah yang ditetapkan sebagai sima . "Di dalam beberapa prasasti, di antaranya Prasasti Mantyasih, dikatakan juga kalau semua sesaji itu bisa dibayar dengan emas ( inmas )," tulis Boechari. Perlengkapan utama dalam ritual penetapan sima adalah sang hyang watu teas dan sang hyang kulumpang. MenurutTimbul, sang hyang watu teas atau sang hyang watu sima adalah batu yang kemungkinan berbentuk lingga. Pemimpin upacara bergelar sang (pamgat) makudur menanam dan menempatkan batu itu di tengah tempat upacara ( witana ). "Sampai sekarang telah ditemukan beberapa batu lingga semu yang bertulis," tulis Timbul . Sementara itu, sang hyang kulumpang adalah batu lumpang yang kemungkinan besar berbentuk yoni. Sang hyang watu sima dan sang hyang watu kulumpang memiliki fungsi utama dan sakral. Keduanya menjadi pusat proses upacara. Setelah upacara, hadirin menyembah sang hyang watu sima. Setelah ritual utama selesai, hadirin makan dan minum bersama. Sajian dalam selamatan itu sering disebutkan dalam prasasti. "Ada dendeng celeng, berbagai macam nasi; ada yang masih bisa diidentifikasikan, ada yang sudah tidak tahu. Ada nasi hunung , apakah itu tumpeng? Ikan asin ( greh ), sayur-sayuran, mereka juga minum tuak," kata Mimi Savitri, arkeolog UGM. Usai makan dan minum bersama, sang makudur mulai mengucapkan kutukannya. Kutukan ( sapatha ) disampaikan bagi orang-orang yang mengubah ketentuan prasasti. Menurut Boechari, sang makudur meminta bantuan kepada dewa-dewa dan makhluk halus yang menghuni berbagai tempat. Seperti dalam Prasasti Mantyasih (907) disebutkan nama-nama raja Mataram Kuno yang memerintah sebelum Rakai Watukura Dyah Balitung (899–911). Semua raja yang telah meninggal itu masuk dalam deretan dewa yang dimintai bantuan oleh sang makudur. "Keterangan itu menunjukkan bahwa nenek moyang kita masih berpegang teguh kepada pemujaan arwah nenek moyang," tulis Boechari. Sebagai penutup upacara sekaligus bukti penetapan sima telah dikukuhkan, hadirin "menambah daun masing-masing". "Mungkin yang dimaksud dengan ungkapan itu adalah hadirin membungkus apa yang masih tersisa dari hidangan-hidangan yang disuguhkan untuk dibawa pulang atau dalam bahasa Jawa, mbrekat, " tulis Boechari.
- Robohnya Patung Edward Colston Si Tokoh Perbudakan dan Rasisme
KEMATIAN George Floyd (46) di Minneapolis, Amerika Serikat pada 25 Mei 2020 memantik badai demonstrasi di berbagai belahan dunia. Sejumlah simbol rasisme jadi sasaran, salah satunya patung Edward Colston di Bristol, Inggris. Rasisme bukan barang baru di bumi sisi Barat, utamanya Amerika. Kematian George Floyd, seorang Afro-Amerika, akibat kekerasan oleh sejumlah polisi Minneapolis memicu bara rasisme yang telah lama terpendam. Ia meledak lewat gerakan demonstrasi bertajuk “Black Lives Matter”. Di Inggris, yang banyak warganya berkulit hitam, kematian Floyd memicu unjuk rasa di kota Bristol pada 7 Juni 2020. Para demonstran menyasar patung tokoh rasis dan saudagar perbudakan abad ke-17, Edward Colston. Menukil The New York Times , Selasa (9/6/2020), patung itu mulanya dikelilingi massa yang kemudian mencorat-coret badan patung berusia 125 tahun itu dan diakhiri dengan merobohkan dan menyeret patung untuk dibuang ke perairan di Pelabuhan Bristol. Aparat keamanan yang kalah jumlah dari massa demonstran tak bisa mencegahnya. Colston yang patungnya dirobohkan itu merupakan putra Bristol kelahiran 2 November 1636. Ia anak tertua saudagar besar cum Sheriff Tinggi kota Bristol William Colston. Baca juga: Rasis Tak Kunjung Habis Patung Edward Colston dirobohkan dan dibuang ke laut oleh pendemo George Floyd (Foto: brh.org.uk/Twitter @HackneyAbbott) Edward mewarisi bakat bisnis dari ayahnya. Ia memulainya di perusahaan niaga Mercers Company. Dari perusahaan itu, mengutip Matthew Parker dalam The Sugar Barons: Family, Corruption, Empire and War in the West Indies , ia meluaskan jejaring bisnis dengan para saudagar lain yang punya komoditas kain, minyak, buah dan minuman anggur, serta gula. Pada 1680 ia sudah menjadi anggota Royal African Company, sebuah perusahaan niaga yang didirikan Raja Charles II dan adiknya, Duke of York. “Perusahaan itu memonopoli perdagangan di sepanjang pesisir barat Afrika terkait emas, perak, gading, dan perbudakan. Perusahaan itu berkembang pesat sejak Colston mendaki jabatan di dewan perusahaan, hingga menjadi wakil gubernurnya pada 1689 dan 1690,” sebut Parker. “Komoditas” terakhir di atas itulah yang paling mendongkrak keuntungan perusahaan di bawah Colston. Tanpa mempedulikan penderitaan mereka, pada 1680-1692 saja perusahaan itu mengangkut sekira 84 ribu budak baik lelaki, perempuan, maupun anak-anak yang diperdagangkan dari Afrika Barat untuk keperluan para saudagar pemilik perkebunan tembakau dan gula di Karibia dan Amerika Utara. Banyak dari budak itu tak bisa sampai di tempat tujuan karena mati kelaparan atau terpapar penyakit akibat mereka dikungkung di lambung kapal terbawah dengan kondisi buruk. Disebutkan Parker, dalam kurun 1680-1692, ada 19 ribu dari 84 ribu budak yang diangkut Royal African Company tewas di perjalanan dan pastinya jasad mereka dibuang ke laut. Baca juga: Skandal Perbudakan Raffles di Hindia Belanda Kondisi memprihatinkan kapal-kapal pengangkut budak milik Inggris (Foto: Library of Congress) Colston baru pensiun dari bisnis perdagangan budak itu pada 1708. Di kota kelahirannya, ia “mendarmabaktikan” diri di Society of Merchant Venturers, sebuah organisasi amal di Bristol. Dua tahun berselang Colston turut terjun ke dunia politik sebagai anggota parlemen kerajaan dari faksi Tory. David Hughson dalam London: Being An Accurate History and Description of the British Metropolis and Its Neighbourhood mengungkapkan, Colston menghabiskan sisa umurnya sebagai seorang dermawan selain berpolitik. Ia mendirikan Colstons Alm s houses atau rumah singgah untuk tunawisma dan fakir miskin di Bristol. Ia juga jadi donatur tetap Queen Elizabeth’s Hospital dan mendirikan pula Colston’s Hospital. “Colston seorang dermawan besar untuk kota Bristol, di mana sepanjang hidupnya, menyumbangkan lebih dari 17 ribu pounds. Ia dihormati berbagai pihak karena selain menyumbang untuk sosial, ia juga donatur terpandang sejumlah gereja di Bristol,” tulis Hughson. Diabadikan dengan Patung Hingga akhir abad ke-19, sosok Colston tetap dikenang sebagai saudagar kaya yang luar biasa dermawan, utamanya untuk kota Bristol. Untuk menghormatinya, pada 1893 atau 176 tahun setelah ia wafat pada 1721, presiden organisasi amal Anchor Society, James Arrowsmith, mengusulkan figurnya diabadikan dalam bentuk patung. Sebagaimana disitat dari laman National Heritage List for England, pembuatan patung itu memakan dana hingga seribu pounds, yang berasal dari penggalangan dana yang digulirkan Arrowsmith setahun berselang. Pengerjaan patungnya dipercayakan pada pematung kelahiran Irlandia, John Cassidy. Cassidy membuat patung setinggi 18 kaki atau sekitar 5,5 meter di atas sebuah tugu batu Portland itu dari perunggu. Di setiap sudut tugunya dihiasi patung lumba-lumba dan plakat dengan ukiran bergaya art nouveau yang menggambarkan kisah hidup Colston sebagai pelaut dan saudagar. Sosok Edward Colston, saudagar yang kaya dari memeras darah budak kulit hitam (Foto: Bristol City Council) Patung itu lantas ditempatkan di Colston Avenue dan diresmikan pada 13 November 1895. Peresmiannya dihadiri walikota, uskup kota Bristol, serta para alumni Colston’s School. Dalam peresmian itu sekaligus diumumkan bahwa hari peresmian itu ditetapkan sebagai “Colston Day”. “Satu lagi plakat yang ditempatkan di sisi selatan terukir tulisan berbunyi: ‘Didirikan oleh warga Bristol sebagai peringatan atas putra asli Bristol yang bijaksana dan berbudi luhur,’ di samping juga terukir nama pematungnya,” demikian bunyi tulisan di plakat tersebut. Baca juga: Di Balik Patung Jenderal Ahmad Yani Namun, reputasi Colston sebagai tokoh dermawan akhirnya terbuka topengnya hingga melahirkan kontroversi. Pada 1920, John Henry Wilkins dalam risetnya yang dibukukan, Edward Colston: 1636-1721, A Chronological Account of His Life and Work, membongkar borok Colston bahwa warga kota Bristol selama ratusan tahun tidak tahu kedermawanan Colston berasal dari kekayaannya yang bermula dari perdagangan budak. “Kita tidak bisa menggambarkan sosoknya dengan obyektif, kecuali dengan melihat latarbelakang historisnya. Walau memang keterlibatan Colston dalam perdagangan budak terjadi lama sebelum pergerakan abolisi pada 1807. Keterlibatannya dalam bisnis itu berlangsung ketika perbudakan masih dimaklumi di Inggris dan seantero Eropa, termasuk oleh golongan terpelajar maupun gereja,” tulis Wilkins. Patung Edward Colston karya John Cassidy saat belum lama diresmikan pada 1895 (Foto: Bristol Archives) Kontroversi sosok Colston itu namun tetap tak menggoyahkan posisi patung tersebut yang masih gagah berdiri di lokasinya hingga 2013. Di tahun inilah Walikota Bristol George Ferguson mengungkit isu sensitif itu lagi. Setahun kemudian, suratkabar Bristol Post melakukan polling terhadap 1.100 responden. Hasilnya, 56 persen menghendaki patungnya tetap berdiri, hanya 44 persen yang ingin mengenyahkannya. Keberadaan patung itu tetap “membelah” warga kota Bristol hingga pada 7 Juni 2020 ketika patung tersebut diturunkan paksa dan dibuang oleh demonstran “Black Lives Matter” ke perairan Bristol. Kini pengabadian sosok Colston yang tersisa hanya berupa beberapa institusi yang menyandang namanya. Antara lain, Colstons Almshouses, Colston Tower, Colston Hall, Colston Avenue, Colston Street, dan Colston’s Girls’ School. Hingga kini isu penggantian nama institusi tersebut masih jadi pertimbangan dewan kota dan walikota Bristol. Baca juga: Perbudakan di Nusantara
- Misteri Kematian Kahar Muzakkar
Jakarta, pertengahan 1980-an. Malam sebentar lagi akan mencapai puncaknya, saat telepon berdering di rumah Anhar Gonggong. Begitu diangkat, seseorang di seberang telepon meminta bicara langsung dengan sejarawan ternama itu. Dialek Bugis sangat kental terasa dalam nada bicaranya. “Andi Anhar?” “Ya saya sendiri,” jawab Anhar. “Kau mau bertemu dengan Pak Kahar Muzakkar?” “Buat apa? Dia sudah meninggal,” Tut tut tut. Tetiba telepon pun terputus. Bagi Anhar Gonggong, wajar jika masih ada orang-orang yang meyakini Kahar Muzakkar masih hidup. Sebagai tokoh kharismatik dan berpengaruh di wilayah Sulawesi, tak sedikit para pengagumnya yang “tetap menginginkannya” hidup. “Padahal saya meneliti kehidupan Kahar itu cukup lama sekali dan semua orang yang saya wawancarai termasuk keluarganya sudah meyakini bahwa Kahar Muzakkar sudah meninggal,” ujar Anhar. Baca juga: Beberapa Kesaksian Tentang Kahar Muzakkar Anhar benar. Sejarah Indonesia hingga kini memang menuliskan bahwa Kahar Muzakkar sudah tamat hidupnya sejak 2 Februari 1965. Saat itu Peleton I Kompi D Yon 330/Kujang I pimpinan Peltu Umar Sumarsana berhasil mengidentifikasi posisi persembunyian pasukan DI/TII pimpinan Kahar di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara. Kehadiran Kahar dipastikan, dengan terdengarnya alunan lagu pop Malaysia “Terkenang Masa Nan Lalu” dari sebuah radio transistor di salah satu dari 8 gubuk milik pemberontak yang berada tepat dekat sungai. “Sebelum peleton berangkat, memang telah diberi penjelasan bahwa satu-satunya radio yang ada di hutan itu adalah milik Kahar Muzakkar,” ungkap buku Siliwangi dari Masa ke Masa Edisi ke-3 karya Dinas Sejarah Kodam Siliwangi. Saat penyerbuan dadakan, Kahar sendiri muncul dari gubuk no.5 untuk melarikan diri. Menyaksikan itu, Kopral Dua Ili Sadeli yang tadinya akan meringkus hidup-hidup Kahar, akhirnya membatalkan niatnya saat melihat buruannya itu tengah menggenggam sebuah granat tangan. “Tanpa mau ambil resiko, Kopda Ili langsung melepaskan tembakan-tembakan ke arah dada Kahar Muzakkar hingga menyebabkannya tewas seketika,” demikian menurut Siliwangi dari Masa ke Masa . Baca juga: Jenazah Kahar Muzakkar Dikenali dari Celana Dalam Jasad Kahar kemudian dibawa ke Makassar. Beraneka macam respon dari masyarakat Sulawesi Selatan termasuk yang tidak mempercayai bahwa jasad yang berpetimati itu adalah Kahar Muzakkar. Menurut sejarawan Universitas Hassanuddin, A.Suriadi Mappangara, ketidakyakinan itu sejatinya wajar-wajar saja. Beberapa waktu sebelum Insiden Sungai Lasolo, Kahar pernah menyampaikan pesan kepada orang-orang terdekatnya bahwa dia akan pergi jauh. “Jadi dia pernah bilang: jangan cari saya…” ujar Mappangara. Hingga kini, kata Mappangara, masih banyak orang Sulawesi Selatan yang tak meyakini bahwa orang yang ditembak Kopda Ili di tepi Sungai Lasolo itu adalah Kahar Muzakkar. Salah satu sebabnya: ketidakjelasan makam Kahar hingga kini. Baca juga: Pemberontakan Kahar Muzakkar “Orang-orang bertanya-tanya jika memang dia sudah meninggal di mana makamnya. Terlebih beberapa waktu lalu pernah beredar isu bahwa Kahar masih hidup dan kini tinggal di Filipina Selatan,” kata Mappangara. Tentu saja pihak Kodam Siliwangi sangat menyangkal anggapan itu. Kopda Ili Sadeli sendiri meyakini bahwa orang yang ditembaknya adalah Kahar setelah mengaku telah puluhan kali meneliti foto Kahar yang dibekalkan oleh atasannya kepada setiap anggota Peleton I. “Saya sependapat dengan Pak Ili, kepada saya, Ibu Corrie Von Stenus juga mengakui bahwa yang tertembak di Sungai Lasolo itu ya suaminya,” ungkap Anhar Gonggong. Baca juga: Operasi Penyelamatan Seorang Pastor dari Kahar Muzakkar Kematian Kahar sempat menjadi berita yang mengegerkan di jagad media Indonesia. TVRI yang saat itu mengirimkan Hendro Subroto, salah satu watawan perang andalannya, menyiarkan secara eksklusif proses evakuasi jasad Kahar dari tepi Sungai Lasolo ke Makassar. Termasuk penayangan secara dekat jasad Kahar Muzakkar. Dalam memoir-nya, Perjalanan Seorang Wartawan Perang , Hendro Subroto pernah mendapat cerita langsung dari Brigjen. M. Yusuf. Ketika Panglima Operasi Kilat itu menyampaikan laporan kepada Presiden Sukarno di Istana Merdeka, Si Bung Besar yang pernah dekat secara pribadi dengan Kahar, menyatakan tak ragu lagi bahwa orang yang ditembak Siliwangi itu adalah Kahar Muzakkar. “Ya tak salah lagi. Saya tahu pasti, itu Kahar. Saya melihat jenazahnya di siaran TVRI,” ujar Sukarno.
- Petualangan Intelektual Gus Dur di Luar Negeri
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sejak remaja dikenal haus akan ilmu pengetahuan. Buku bacaannya begitu banyak, tidak hanya soal teologi tetapi juga filsafat, politik, hingga tema ideologi. Berhasil menamatkan sekolahnya, Gus Dur merasa masih banyak hal yang tidak ia ketahui. Dia pun segera merencanakan studi lanjutan, tidak di dalam negeri melainkan di luar negeri. Memulai Petualangan Petualangan Gus Dur di luar negeri dimulai pada 1962. Tertulis di dalam buku Leadership Secrets of Gus Dur and Gus Miek karya M.N. Ibad, dirinya berhasil memperoleh beasiswa dari Kementerian Agama RI untuk studi di Kairo, Mesir. Gus Dur memanfaatkan kesempatan itu untuk belajar sebanyak mungkin nilai-nilai keislaman modern dari para tokoh cendekiawan Muslim Mesir. Seperti diketahui pada tahun-tahun tersebut Mesir sedang mengalami perkembangan yang pesat di bawah pimpinan Gamal Abdul Nasser, utamanya di bidang pendidikan Islam modern. Salah satu alasan Gus Dur mengambil kesempatan bersekolah di Mesir adalah dia berusaha mencari jawaban atas kondisi keislaman di Republik yang kian mengkhawatirkan. Greg Barton dalam Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of KH. Abdurrahman Wahid menyebut Gus Dur begitu gelisah ketika melihat ada banyak persoalan yang dihadapi umat Islam di Indonesia. Kemiskinan, penindasan, dan ketidakadlian selalu menghiasi kehidupan kaum muslimin di sini. Saat berlabuh di Kairo, dia berharap menemukan jawaban yang tepat atas kegetirannya. Baca juga: Gus Dur dan Buku “Meskipun pada awalnya Gus Dur sangat bersemangat dengan studinya di Al-Azhar, namun ia kemudian merasa sangat kecewa oleh karena masa keemasan Al-Azhar telah mencapai puncaknya beberapa dasawarsa sebelumnya,” tulis Barton. Kekecewaan lain dirasakan Gus Dur ketika pihak universitas menyuruhnya mengikuti kelas bahasa Arab untuk mereka yang benar-benar pemula. Dia dianggap tidak cukup mengetahui pengetahuan tentang bahasa tersebut. Gus Dur, kata Barton, sebenarnya mahir berbahasa Arab. Semasa bersekolah di Jombang, Jawa Timur, dia telah lulus studi yurisprudensi Islam, teologi, dan pelajaran lain yang memerlukan pengetahuan bahasa Arab sangat baik. Sayangnya tidak ada ijazah yang menunjukkan bahwa dia telah lulus kelas bahasa Arab ketika di Jombang. Sebagai raksi penolakan, Gus Dur memilih tidak mengikuti kelas tersebut. Itu berarti sepanjang tahun 1964 dia tidak mengikuti studi formal apapun. Gus Dur kemudian menghabiskan waktunya membaca di perpustakaan-perpustakaan besar, menonton film-film Prancis, mengikuti diskusi-diskusi, serta menonton banyak pertandingan sepakbola di Kairo. “Walaupun kecewa dengan sistem pendidikan di Al-Azhar sebagai institusi, tetapi Abdurrahman Wahid sangat senang dengan kehidupan kosmopolitan di kota Kairo,” tulis Syamsul Bakri dan Mudhofir Abdullah dalam Jombang-Kairo, Jombang Chicago: Sintesis Pemikiran Gus Dur dan Cak Nur dalam Pembaruan Islam di Indonesia . Akhir 1964, Gus Dur lulus ujian bahasa Arab dengan mudah. Kepercayaan dirinya seketika muncul bahwa ia bisa melompati kelas-kelas di dalam studinya di universitas. Ketika melihat bahan pelajaran yang akan diikutinya selama program sarjana tidak beda membosankannya dengan kelas bahasa Arab, Gus Dur kembali mengulangi kegiatannya: menghindari pelajaran formal. Baca juga: Dahsyatnya Humor Gus Dur Dia merasa telah memperoleh pengetahuan yang cukup untuk studi di tahun peratama. Gus Dur yakin walau mengikuti pelajaran secara asal-asalan, di akhir tahun akademik tetap akan membuatnya lulus ujian. Namun keputusannya itu malah berujung petaka. Pihak universitas yang memberinya beasiswa tidak menyukai catatan kehadirannya. Dia juga dianggap terlalu meremehkan sistem pendidikan di Al-Azhar. Kondisi politik di Indonesia yang memburuk setelah peristiwa 30 September 1965 ikut menambah beban kehidupan studi Gus Dur di Kairo. “Seorang mahasiswa yang lebih disiplin barangkali akan bisa menciptakan suasana belajar lagi, akan tetapi Gus Dur terlambat melakukan usaha itu dan juga karena usahanya memang asal-asalan. Oleh karena itu, ia gagal lulus salah satu dari dua objek inti dan diberitahu bahwa ia harus mengulang tahun itu, dan sangat mungkin sekali tanpa menerima beasiswa,” tulis Barton. Gus Dur menghabiskan sebagian besar waktunya di Kairo untuk membaca. Setiap harinya dia akan mengunjungi perpustakaan Universitas Amerika, perpustakaan Prancis, atau perpustakaan Universitas Kairo. Berbeda dengan di Jombang, di Kairo dia bisa membaca apa saja dan di mana saja, bahkan bisa di sekeliling rumah atau di tempat menunggu bus. Meski tidak berhasil menamatkan studinya, Gus Dur merasa di kota inilah pemikiran-pemikirannya diasah. Dia mampu mengembangkan pengetahuan pada tingkatan lebih tinggi. Berkat kebebasan yang secara relatif dimilikinya, juga penolakan atas pelajaran bahasa Arab untuk pemula, Gus Dur bisa menyerap pengetahuan sebanyak yang diinginkannya. “Oleh karena Gus Dur bisa memperoleh bermacam-macam buku baru, demikian kenangnya, ia merasa bahwa cita rasanya dalam membaca cepat meluas dengan adanya penemuan-penemuan baru,” ungkap Barton. Kehidupan Baru Menerima kegagalan di Kairo, Gus Dur tidak langsung putus asa. Dia segera mengusahakan kembali keberlangsungan studinya. Pada 1966 kabar baik itupun datang, Gus Dur mendapatkan tawaran beasiswa studi di Fakultas Seni, Universitas Baghdad, Irak. Tawaran ini menjadi kesempatan kedua Gus Dur untuk memulai segalanya dari awal. “Abdurrahman Wahid mengakui bahwa sistem pembelajaran di Universitas Baghdad dirasakan lebih dinamis dan dalam banyak hal lebih mirip dengan sistem pendidikan di universitas-universitas Eropa dibandingkan dengan Al-Azhar,” tulis Bakri dan Abdullah. Kala itu, Universitas Baghdad memiliki banyak dosen lulusan Eropa. Itulah mengapa penerapan standar Eropa mulai dirasakan Gus Dur saat pertama kali tiba di sana. Sebagai mahasiswa dia dituntut untuk berpikir kritis dan banyak membaca. Sebuah hal yang agaknya tidak terlalu sulit bagi Gus Dur. Namun di sini dia tidak bisa main-main seperti sebelumnya. Kehadiran di kelas menjadi syarat wajib mengikuti studi. Mahasiswa di sini dipantau secara ketat. Baca juga: Sinta Nuriyah Berkisah tentang Gus Dur Demi menunjang studinya, setiap sore Gus Dur akan mampir ke perpustakaan universitas. Dia merasa tidak boleh lalai seperti di Kairo agar beasiswanya tetap dipertahankan. Hampir setiap hari juga akan ada tugas makalah yang dibawa pulang. Gus Dur tidak pernah menyelesaikannya di rumah, perpustakaan selalu menjadi pilihan terbaik baginya untuk belajar. Di Baghdad, Gus Dur memiliki jawal yang lebih padat daripada ketika masih di Kairo. Dia tidak bisa bebas berjalan-jelan di kota karena waktunya habis dipakai untuk studi. Meski demikian, kata Barton, Gus Dur masih menyisihkan sebagian waktunya guna menonton film-film Prancis dan membaca buku kegemarannya. Bahkan pada malam-malam tertentu, Gus Dur menyempatkan diri untuk menikmati secangkir kopi di tepi Sungai Tigris, sambil terlibat di dalam diskusi-diskusi. “… Baghdad merupakan kota magis bagi Gus Dur dan ia pun menghabiskan waktu senggangnya guna mencari tempat-tempat baru untuk dikunjunginya,” kata Barton. Gus Dur berhasil menyelesaikan pendidikan di Universitas Baghdad pada pertengahan 1970-an. Memakan waktu kurang lebih empat tahun untuk dia meraih gelar sarjananya. Studi yang Tertunda Keinginan Gus Dur mengenyam studi di Eropa sebenarnya ada sebelum ia memutuskan memilih Kairo. Berbagai buku karya sastrawan-sastrawan Eropa, serta tema-tema pemikiran tokoh Eropa yang dibacanya sejak masih belajar di Yogyakarta membuat keinginan terbang ke Benua Biru itu begitu meluap-luap. Selesai dengan Baghdad, Gus Dur pun kemudian pindah ke Eropa. Mula-mula dia tinggal di Belanda. Pamor Negeri Kincir Angin tersebut sebagai destinasi pendidikan menjadi pilihan utama Gus Dur. Dia melabuhkan dirinya di sana dengan harapan dapat memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi pascasarjana di bidang perbandingan agama. Baca juga: Gus Dur dan Keberagaman Pada bulan-bulan pertama Gus Dur lebih banyak mengumpulkan informasi terkait universitas mana yang cocok bagi studinya. Jika harus memilih, dia lebih senang melanjutkan di Universitas Leiden. Namun rasa kecewa mesti dihadapi Gus Dur. Ketika tengah mencari informasi, dia memperoleh kenyataan bahwa di Leiden dan di seluruh Eropa, studinya di Universitas Baghdad tidak memperoleh pengakuan. Jika Gus Dur tetap ingin melanjutkan studi di Eropa, beberapa universitas akan menerimanya. Tetapi mereka menetapkan prasyarat yang mengharuskannya mengulang studi tingkat sarjana. Gus Dur tidak menerima hal itu. Dia pun tidak memaksakan keinginannya dan memilih menghabiskan waktu untuk berkeliling Eropa, mempelajari banyak hal secara informal. Setelah berkelana hampir setahun, Gus Dur memutuskan kembali ke Indonesia pada pertengahan 1971. “Walaupun Gus Dur tidak memperoleh kualifikasi formal dari studinya di Eropa, namun pengelamannya di Eropa itu adalah cita-cita yang ia inginkan bertahun-tahun sebelumnya,” tulis Barton.
- Mimpi Buyar Ekonomi Terpimpin
“TENTANG ekonomi aku tidak mengerti apa-apa.” Itu kata-kata Sukarno kepada Prof. Jan Tinbergen dari Belanda. Tinbergen beberapa kali bertandang ke Indonesia untuk memberikan saran kepada pejabat bidang ekonomi. Suatu hari dia bertemu Sukarno saat ekonomi Indonesia terlilit inflasi pada 1960-an.
- Kyai Haji Abdul Halim
Kyai pesantren yang khatam soal masalah politik, siasat gerilya, dan tentu saja soal agama.
- Bung Karno Si Salesman yang Selalu dalam Pengawasan
Meskipun hanya memiliki pemasukan amat sedikit dari aparat kolonial, Bung Karno tetap bisa survive saat menjalani pembuangan di Ende, Flores. Dapur rumahnya yang “dikomando” Inggit istrinya tetap bisa “ngebul” tiap hari. “Sekalipun kami hanya punya uang sedikit, kami berhasil mencukupi diri sendiri. Aku orang yang sederhana. Kebutuhanku sederhana. Makananku terdiri dari nasi, sayur, buah-buahan, terkadang ayam atau telor dan ikan asin kering sedikit. Sayuran diambil dari yang kutanam di pekarangan samping rumah. Ikan kudapat dari kawan-kawanku para nelayan,” kata Bung Karno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . Namun, jatah kurang dari10 dolar tiap pekan yang diberikan pemerintah kolonial jelas tak cukup untuk mendukung kegiatan-kegiatannya. “Karena itulah aku mencari uang tambahan dengan menjualkan bahan pakaian dari sebauh toko tekstil di Bandung. Mereka memberikan komisi 10% pada setiap barang yang kujualkan,” sambungnya. Baca juga: Sukarno: Wartawan Pekerjaan Gawat Setelah barang contoh itu tiba dari Bandung, Bung Karno pun berkeliling menawarkannya dari rumah ke rumah. Begitu mendapat sejumlah pembeli, dia langsung mengirim wesel ke pihak toko yang dagagannya dia pasarkan. Barang akan datang kembali beberapa bulan kemudian. Meski hanya sebagai salesman, Bung Karno tetap diawasi oleh aparat kolonial. Pengawasan tak hanya dilakukan sejumlah polisi tapi juga dengan tindakan yang membuat penduduk, terutama ambtenaar setempat dan kalangan terpelajar, takut mendekat padanya. Situasi itu membuat Bung Karno amat tersiksa. “Di Endeh aku dibatasi bergerak, juga untuk menikmati kesenangan yang kecil-kecil. Aku juga boleh berkeliaran dalam batas lima kilometer dari rumah. Akan tetapi lewat satu langkah saja, aku jadi sasaran hukuman. Di Flores semangatku berada dalam kurungan. Di sini aku diasingkan dari masyarakat, diasingkan dari orang-orang yang dapat mempersoalkan tugas hidupku. Orang di sini yang mengerti, takut untuk berbicara,” kata Bung Karno. Maka, dia pun berpaling untuk mendapatkan perkawanan. “Kalau begitu keadaannya, aku akan bekerja tanpa bantuan orang-orang terpelajar yang tolol ini. Aku akan mendekati rakyat jelata yang paling rendah. Rakyat-rakyat yang terlalu sederhana untuk bisa memikirkan soal politik. Aku mendekat kepada rakyat jelata, karena aku melihat diriku sendiri di dalam orang-orang yang melarat ini. Aku membentuk masyarakatku sendiri dengan pemetik kelapa, supir, bujang yang tidak bekerja – inilah kawan-kawanku,” sambungnya. Baca juga: Bung, Saudara Serevolusi Pergaulan dengan masyarakat lapisan bawah tak hanya memberikan Bung Karno kawan, tapi juga memberinya pandangan lebih jelas mengenai kehidupan bangsanya dari mata sendiri. Dia akhirnya bisa mengorganisir anak-anak dengan membentuk grup sandiwara Kelimutu. Aktivitas itu jelas mendapat perhatian dari pemerintah kolonial. Lewat kaki-tangannya yang terus mengawasi dan aparat-aparatnya yang selalu menguntit Sukarno, pemerintah terus membatasi ruang-gerak sang “Singa Podium”. “Di kota ini ada delapan polisi, jadi sungguhpun berpakaian preman aku mengenal mereka itu. Di samping itu, hanya mereka yang memakai sepeda hitam dengan merek ‘Hima’. Yang terlalu jelas adalah bahwa mereka berada pada jarak yang tetap waktu mengiringkanku. Kalau seorang Belanda yang misterius selalu berada pada jarak 60 meter di belakangku, maka tahulah aku,” kata Sukarno. Pengawasan itulah yang pada suatu sore membuat Sukarno tertawa karena mendapat hiburan gratis. Ketika sedang bersepeda menuju sebuah sungai, Sukarno dikuntit seorang polisi berpakaian preman yang juga bersepeda. Pada saat polisi itu berhenti dan terus mengawasi gerak-gerik Sukarno, tiba-tiba dua ekor anjing melompat ke arahnya dengan geram. Baca juga: Sukarno dan Anjingnya “Pemaksa hukum yang tinggi kejam ini karena kagetnya memanjat ke atas sepedanya dan berdiri di ats tempat duduk-duduk dengan kedua belah tangannya berpegang erat ke pohon. Sungguhpun aku kepanasan dan dalam keadaan kotor di waktu itu, namun pemandangan ini lebih menyegarkan badanku daripada air sungai yang sejuk,” kata Sukarno.
- Joseph Goebbels, Setia Nazi Sampai Mati
MESKI wajah kakunya tampak tenang, pikiran Dr. Joseph Goebbels tengah berkecamuk. Pagi itu, 29 April 1945, situasi kota Berlin kian mencekam mengingat pasukan Uni Soviet kian mendekati Führerbunker atau bunker di kompleks Reichkanzlei (Kekanseliran Jerman). Di hari itulah untuk pertamakali Goebbels menolak perintah Hitler. Setelah mengikuti sarapan “pesta” pernikahan Hitler dengan Eva Braun, Goebbels diminta Hitler untuk berusaha keluar dari kota Berlin. Hitler merasa harus menjadi kapten yang ikut tenggelam bersama kapalnya. Traudl Junge, sekretaris pribadi Hitler, masih ingat betul ketika Goebbels masuk ke ruangannya. Kala itu, Junge sedang mengalihwahanakan wasiat Hitler yang ditulis tangan ke mesin ketiknya. “Tiba-tiba Goebbels masuk tanpa saya sadari. Wajahnya tampak pucat seputih kapur. Air mata mengalir di pipinya…suaranya yang biasanya jernih menjadi bergetar. ‘ Führer ingin saya keluar dari Berlin, Nona Junge. Saya diperintah memimpin pemerintahan baru di utara. Tetapi saya tak bisa meninggalkan Berlin dan Führer ! Saya Gauleiter (kepala distrik) Berlin dan di sinilah tempat saya. Jika Führer mati, hidup saya tiada artinya’,” kata Junge dikutip T. Thacker dalam Joseph Goebbels: Life and Death. Baca juga: Pernikahan dan Kematian Hitler Anak-anak Joseph Goebbels yang turut dibawa bunuh diri, kecuali Harald Quandt (berseragam Luftwaffe/AU Jerman), putra tirinya karena sedang bertugas di medan perang (Foto: Bundesarchiv) Goebbels lantas mendiktekan wasiatnya pula dan minta diketikkan Junge. “Untuk pertamakalinya dalam hidup saya, saya harus menolak menaati perintah Führer. Begitupun istri dan anak-anak saya. Hati saya tak bisa membiarkan Führer sendirian di saat yang ia butuhkan…bersama istri saya, lebih baik mengakhiri hidup di sisi Führer ,” demikian bunyi potongan wasiat Goebbels. Keesokan harinya, Goebbels turut menanti akhir hayat Hitler. Dari ujung pintu kamar, Goebbels mendengar sendiri dua kali bunyi letupan pistol dari balik pintu. Ia hanya bisa berdiri kaku saat jasad Führer dibawa ke halaman luar bunker untuk dibakar dengan bensin. Sehari setelahnya, 1 Mei 1945, Goebbels bersama istri dan keenam anaknya menyusul sang Führer ke alam baka. Bocah Penyakitan dan Katolik yang Taat Paul Josep Goebbels, itulah nama yang diberikan kepada bayi yang dilahirkan Katharina Odenhausen, wanita blasteran Jerman-Belanda, di Rheydt, sebuah “kecamatan” di Mönchengladbach, pada 29 Oktober 1897. Anak keempat dari enam bersaudara itu hidup di tengah keluarga menengah ke atas, di mana ayahnya mengais nafkah sebagai klerek di sebuah pabrik. Mengutip keterangan Goebbels, sejarawan Peter Longerich dalam Goebbels: A Biography mengungkapkan, Goebbels di masa kecilnya menjadi bocah penyakitan. Selain mengalami masalah pada paru-parunya, dia punya kelainan CTEV ( Congenital talipes equinovarus ) pada kaki kanannya, membuat kaki kanannya lebih tebal namun lebih pendek dari kaki kirinya. Alhasil, Goebbels pun pincang dan mesti selalu mengenakan sepatu khusus yang beda ukuran. Kelainan itu pula yang membuatnya ditolak masuk kemiliteran di kala Perang Dunia II berkecamuk. Tetapi ia tak patah arang. Ia tetap jadi pemuda Katolik taat dan rajin ke gereja. Goebbels di usia 12 saat masih jadi pelajar Rheydt Gymnasium pada 1910 (kiri) dan usia 18 tahun saat mulai berkuliah (Foto: Archivo Storico Thule/spartacus-educational.com) Orangtuanya berharap ia menjadi pastur. Namun, Goebbels lebih menggemari sastra dan sejarah dunia. Maka jurusan itulah yang diambilnya ketika ia mendapat beasiswa Albertus Magnus Society dan diterima di Prinzenuniversität (kini Universitas Bonn). Goebbels mahasiswa yang cemerlang. Dia menyelesaikan studi di Julius-Maximilians-Universität Würzburg, Albert-Ludwigs Universität Freiburg, Ludwig-Maximilians-Universität München, hingga Ruprecht-Karls-Universität Heidelberg. Gelar doktor diraihnya setelah menyelesaikan disertasi mengenai tokoh sastrawan Wilhelm von Schütz. Ia memilih topik itu atas saran Max Freiherr von Waldberg, profesor berdarah Yahudi yang jadi dosen pembimbingnya. Baca juga: Hitler Seniman Medioker Goebbels tak keberatan dibimbing seorang Yahudi karena masa mudanya tak pernah bersentuhan dengan hal-hal berbau antisemit. Masa mahasiswa Goebbels hanya dipenuhi oleh kerakusannya melahap beragam buku, termasuk buku-buku kiri karya Karl Marx, Friedrich Engels, Rosa Luxemburg, August Bebel, dan Gustav Noske. “Tetapi mulai 1924, Goebbels mulai kepincut dengan kharisma Adolf Hitler. Terutama ketika Hitler duduk di kursi terdakwa pada Februari 1924 atas insiden Beer Hall Putsch (8-9 November 1923). Persidangannya jadi berita hangat di koran-koran dan Goebbels mulai membangun kekagumannya pada Hitler,” singkap Longerich. Antek Nazi sampai Mati Dari kekagumannya itu, Goebbels menganggap Hitler sebagai mentornya ketika Goebbels memilih terjun ke politik dan bergabung ke Nationalsozialistische Deutsche Arbeitpartei (Partai Pekerja Nasional Sosialis Jerman) yang populer dengan sebutan Nazi. Goebbels mulai jadi kader pada Desember 1924, setelah Hitler keluar penjara. Tugas pertama Goebbels sebagai kader adalah di kantor sekreariat Partai Nazi cabang Distrik Rhine-Ruhr di bawah Gauleiter (kepala cabang) Karl Kaufmann dan Gregor Strasser. Baru dua tahun kemudian dia bertemu Hitler untuk kali pertama. Itu terjadi dalam Konferensi Bamberg, 14 Februari 1926, di mana Hitler memanggil semua kepala cabang partai. “Saya sungguh mencintainya… Dia punya pikiran yang mencakup segala hal. Pemikirannya sungguh cemerlang. Saya tunduk pada sosok hebat ini, seorang politikus jenius,” kata Goebbels menyanjung dalam catatan hariannya, dikutip Ian Kershaw dalam Hitler: A Biography. Joseph Goebbels bersama Adolf Hitler pada 22 Januari 1933 atau sepekan sebelum pengangkatannya sebagai kanselir (Foto: Bundesarchiv) Dalam pertemuan itu Hitler juga merasa Goebbels sebagai orator ulung seperti dirinya. Hitler kemudian mempromosikannya sebagai Gauleiter Berlin per Agustus 1926. Sejak saat itu, Goebbels dan Hitler tak terpisahkan. Dari sekian perombakan yang dilakukan Goebbels, di mana ia hanya melapor langsung pada Hitler, ada dua hal yang jadi faktor utama penopang kelanggengan kekuasaan Hitler sebagai ketua partai. Pertama , Goebbels merombak keanggotaan partai. Sebagai pilot project , di distrik Berlin yang dipimpinnya, Goebbels menetapkan iuran keanggotaan dan mewajibkan setiap anggota membayar lagi untuk bisa ikut rapat-rapat partai. Itu dilakukan untuk konsolidasi dan membersihkan partai dari anggota-anggota yang berpotensi menggembosi Hitler. Perombakan itu menghasilkan berkurangnya anggota distrik Berlin dari sekira 1.000 menjadi 600 anggota yang komit. Langkah itu kemudian diikuti semua distrik lain. Baca juga: Stauffenberg, Opsir "Judas" Kepercayaan Hitler Kedua , Goebbels memberi masukan pada Hitler untuk memfilmkan setiap parade partai dan pidato-pidato Hitler. Goebbels melihat media film tengah booming di Jerman saat itu. Ia juga memprediksi film-film itu nantinya bisa ditayangkan dan akan menjangkau simpatisan yang lebih luas. Manuver-manuver Goebbels turut menyukseskan langkah Hitler hingga bisa bertakhta sebagai kanselir pada 30 Januari 1933. Untuk merayakan bertakhtanya Hitler, Goebbels mengotaki digelarnya pawai obor di jalan-jalan kota Berlin yang mengikutsertakan 60 ribu kader paramiliter Sturmabteilung (SA) dan Schutzstaffel (SS). Perayaan megah itu disiarkan radio dan difilmkan. “Tetapi ia sempat kecewa karena dalam kabinet baru yang dibentuk Hitler, ia tak diberikan posisi menteri kebudayaan. Jabatan yang ia idam-idamkan. Baru pada 14 Maret, Goebbels diberi posisi di kementerian yang baru dibentuk, Kementerian Negara bidang Penerangan dan Propaganda,” sambung Longerich. Kolase parade akbar Partai Nazi di Nürnberg (Foto: Bundesarchiv) Dengan posisi inilah Goebbels membuat ajang-ajang akbar seperti Parade Nürnberg 1934 yang kemudian difilmkan oleh sineas Leni Riefenstahl dengan tajuk Triumph des Willens. Film itu bahkan memenangi medali emas Festival Film Venezia pada 1935. Dengan posisi ini pula Goebbels mengarsiteki doktrin-doktrin antisemit. Dia memulainya dengan merangkum sebuah dekrit terkait pemboikotan bisnis-bisnis kaum Yahudi, yang ditandatangani Hitler pada 1 April. Goebbels juga ikut menggerakkan pengajuan Jerman sebagai tuan rumah Olimpiade 1936 . Pentas global itu baginya bisa dimanfaatkan sebagai promosi atas hegemoni rezim Nazi di tanah Jerman. Itu dilakukan demi menutupi sejumlah doktrin dan kebijakan antisemit Nazi. Salah satu kebijakan rasis Goebbels yang kondang adalah mewajibkan setiap orang Yahudi mengenakan tanda bintang Daud berwarna kuning. Baca juga: Erwin Rommel yang "Dipaksa" Hitler Bunuh Diri Bukan hanya kaum Yahudi, rezim Nazi juga sempat clash dengan kaum agamawan, baik dari Gereja Katolik maupun Protestan. Akibatnya, banyak agamawan yang dipersekusi. Protes dari Paus Pius XI lewat eksikliknya, “Mit brennender Sorge”, dibalas Goebbels dengan pidato di hadapan 20 ribu massa Nazi di Berlin, 28 Mei 1937 yang mengkampanyekan bahwa Gereja Katolik baik di Jerman maupun di Vatikan secara moral sudah korup. Lebih lanjut, Goebbels menggunakan wewenangnya untuk melarang ceramah-ceramah di gereja yang berkaitan dengan kritik rezim Nazi. Sesudah Hitler memulai Perang Dunia II, Goebbels bertanggungjawab menyensor semua kabar dari medan perang. Propaganda kemenangan dari garis depan sudah barang pasti jadi kabar-kabar yang boleh berseliweran di siaran-siaran radio. Joseph Goebbels (kiri) memberikan hormat Nazi kepada barisan Volkssturm pada apel dan parade pada 12 November 1944 (Foto: Bundesarchiv) Memasuki 1944, ketika Jerman sudah mendekati kekalahan, Goebbels menginisasi pembentukan Volksstrum, semacam laskar rakyat, pada 18 Oktober 1944. Perekrutan di Volksstrum mulanya sukarela, tetapi ketika Uni Soviet mulai mengepung Berlin, semua warga diwajibkan angkat senjata, tak peduli masih bocah ingusan atau sudah renta. Kondisi Berlin yang makin mencekam pada April 1945 membuatnya berpikir bahwa tak mungkin ia dan keluarganya hidup di Jerman tanpa Naziisme. Goebbels pun menolak diperintah Hitler untuk keluar dari Berlin. Pada 1 Mei 1945, Goebbels dan istrinya, Magda Rietschel, menjejali kapsul sianida kepada enam anaknya: Helga, Hildegard, Helmut, Holdine, Hedwig, dan Heidrun. Lantas pada pukul 20.30, Goebbels dan Magda keluar ke halaman bunker. Dengan sepucuk pistol di tangan, Goebbels menembak Magda untuk kemudian menembak kepalanya sendiri. Jasad keduanya disiram bensin dan dibakar oleh ajudan Goebbels, Kapten Günther Schwägermann, persis seperti Hitler yang sehari sebelumnya duluan menuju alam baka. Baca juga: Empat Upaya Pembunuhan Hitler yang Gagal
- Lasmidjah Hardi, Perempuan Pejuang yang Menggemari Sejarah
BERSAMA rekan-rekannya sesama perempuan pejuang di masa revolusi, Lasmidjah Hardi mendirikan Yayasan Wanita Pejuang pada 24 Februari 1977. Selain Lasmidjah, anggotanya antara lain SK Trimurti, Sujatin Kartowidjono, Siti Djauhari Sudiro, Soekanti Soerjotjondro, Utami Soerjadharma, dan Amini Sutari Abdulgani. Yayasan ini mereka maksudkan sebagai wadah untuk mewariskan nilai-nilai perjuangan kepada generasi penerus. Langkah tersebut diwujudkan lewat upaya penghimpunan dan pembukuan kisah-kisah perjuangan para para wanita. Yayasan ini megeluarkan lima jilid buku berjudul Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi . Diungkapkan dalam prawicara Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi I, ide pembuatan bukunya bermula dari obrolan dalam reuni Wanita Pejuang pada Mei 1981. Akhirnya dibuatlah lima jilid buku yang memuat 54 cerita para perempuan pejuang. Tokoh yang mengisahkan perjuangannya di buku tersebut diambil dari beragam latar belakang, daerah, budaya, agama, dan organisasi agar mencerminkan kebhinekaan Indonesia. “Sejak bangkitnya pergerakan nasional, wanita merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan untuk kemerdekaan tanah air,” kata Lasmidjah dalam prawicara Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi IV. Ia juga mengajak para perempuan untuk menyadari hak-haknya yang sudah diperjuangkan di masa sebelumnya. Lasmidjah menyadari, tak semua perempuan pejuang dapat diwawancarai atau bisa menuliskan kisah perjuangan mereka. Ada yang sudah meninggal, ada pula yang amat sibuk dengan kegiatannya. Buku lain yang diterbitkan yayasan ini, bekerjasama dengan Departemen Penerangan RI, ialah Perjuangan Wanita Indonesia 10 Windu setelah Kartini 1904-1994 . Lewat buku itu mereka menghimpun kisah-kisah perempuan pejuang yang ikut dalam usaha kemerdekaan baik di garis depan maupun di garis belakang. Langkah tersebut merupakan pengabadian perjuangan perempuan di tengah heroisme perjuangan yang didominasi tokoh lelaki. “Akan ada goresan dalam sejarah sebagai bukti kehadiran mereka (perempuan pejuang, red. ) dalam perjuangan bangsanya. Biarpun sekilas, peristiwa perjuangan itu harus dibuatkan ‘ snap shot moment opname’ sebelum kenangan itu hilang seolah tanpa kesan, tanpa bekas,” kata Lasmidjah. Sayangnya, makin lama anggota Yayasan Wanita Pejuang terus berkurang. Banyak para anggota yang sudah sepuh, meninggal. Akibatnya, yayasan makin tidak aktif hingga mandek sama sekali. Namun nasib baik tak akan lari. Ketika menghadiri sebuah pertemuan di rumah Radius Prawiro pada 1990-an, Lasmidjah bertemu dengan banyak pejuang. Ia berbicara dengan Sulasikin Murtopratomo, mantan Menteri Negara Urusan Peranan Wanita. Dari pertemuan inilah hasrat untuk mengumpulkan kembali para perempuan pejuang terpantik. Hasilnya, setelah beberapa kali rapat, dibentuklah Paguyuban Wanita Pejuang pada 18 Oktober 1995. Hampir mirip dengan Yayasan Wanita Pejuang, paguyuban ini dibentuk sebagai wadah agar para perempuan yang pernah berjuang dapat bertemu dan bertukar pikiran. Kegiatannya pun serupa, yakni menerbitkan buku-buku yang mengisahkan perjuangan perempuan. Lewat dua organisasi ini, Lasmidjah dan rekan-rekannya menyumbangkan khasanah lain dalam sejarah Indonesia yang begitu maskulin. Dalam autobiografinya, Lasmidjah Hardi Perempuan Tiga Zaman, ia mengisahkan kecintaannya pada sejarah tak terbatas pada kisah perempuan. Lasmidjah juga bergabung dalam Yayasan 19 September 1945 bersama Soejono Martosewojo, Daan Anwar, Akip Suganda, SK Trimurti, Siti Djauhari Sudiro, Yos Masdani, dan Treen Radjasa. Yayasan ini juga menerbitkan buku Samudra Merah Putih yang mengisahkan perjuangan pemuda di Lapangan Ikada. Kecintaan Lasmidjah pada sejarah juga mendorongnya mendirikan Yayasan Pencinta Sejarah bersama Sidik Gondowarsito, Sejarawan UI Lily Manus, dan Nana Nurliana. Lewat yayasan ini pula ia turut andil dalam penerbitan buku Jakarta-ku, Jakarta-mu, Jakarta Kita dengan dukungan Gubernur DKI Jakarta R Soeprapto. “Kami, para pejuang yang sudah sepuh, sudah uzur ibarat matahari sudah condong ke barat dan siap untuk masuk ke peraduan. Kami tak punya apa-apa selain semangat dan cita-cita yang ingin kami wariskan kepada generasi muda,” kata Lasmidjah.
- Masuknya Aksara Pallawa ke Nusantara
PARA brahmana dari India mengawali tradisi menulis di Nusantara dengan memperkenalkan aksara Pallawa. Pallawa merupakan dinasti di India Selatan yang berkuasa dari abad ke-4 hingga abad ke-8. Aksara Pallawa menyebar ke Asia Tenggara, seperti Burma, Laos, Kamboja, Thailand, Vietnam, dan Indonesia di Kalimantan, Sumatra, Jawa, dan Bugis. Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Mimi Savitri, mengatakan di wilayah lain, aksara Pallawa tidak banyak berubah, sedangkan di Nusantara mengalami perubahan. Di tempat asalnya, Pallawa berbahasa Sanskerta. Sedangkan di Nusantara, ketika Pallawa berubah jadi Jawa Kuno, bahasanya Jawa Kuno. Walaupun ada juga Jawa Kuno berbahasa Sanskerta. Aksara Jawa Kuno banyak digunakan dalam prasasti-prasasti pada masa Mataram Kuno hingga Majapahit. "Karena masyarakat Nusantara bisa mengubah Pallawa ke Jawa Kuno dan kadang bentuk aslinya tak tampak, apakah sebelumnya mereka sudah bisa menulis tapi tidak terdokumemtasi?" kata Mimi dalam diskusi "Mengenal Aksara Jawa Kuno" via aplikasi zoom yang diadakan Balai Arkeologi Yogyakarta dalam rangkaian acara Hari Purbakala 14 Juni 2020. Dihubungi secara terpisah, Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, menjelaskan, tulisan dalam prasasti di Sumatra dan Kalimantan sama dengan di Jawa. Bedanya dalam pemakaian bahasa dan cara menulis. "Itu aja. Nanti kita bisa tahu, ini tulisan dari Sumatra Kuno bukan Jawa Kuno," kata Titi. Sejauh ini, bukti tradisi menulis tertua di Nusantara ditemukan di Kalimantan bagian timur dari abad ke-4, yaitu Prasasti Yupa yang dikeluarkan Kerajaan Kutai. Prasasti sezaman ditemukan di Jawa bagian barat, yaitu beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Kerajaan Tarumanagara. Prasasti dari Kutai dan Tarumanagara menggunakan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Menurut Titi, orang-orang di Nusantara mengambil aksara Pallawa berbahasa Sanskerta karena mendatangkan para brahmana dari India. Bahasa Sanskerta hanya dikenal oleh kalangan terbatas, misalnya kaum brahmana Hindu agar ajarannya tak bocor. "Kebiasaan menulis belum banyak. Mungkin yang pertama kali juga brahmana. Di India cuma brahmana yang bisa menguasai bahasa dan tulisan," kata Titi. Aksara Pallawa kemudian berkembang menjadi aksara Jawa Kuno berbahasa Jawa Kuno, seperti digunakan pada prasasti Mataram Kuno, Kadiri (abad ke-12), Singhasari, hingga Majapahit. Kendati demikian, ada pula aksara Jawa Kuno berbahasa Sanskerta, seperti digunakan pada prasasti-prasasti awal Kerajaan Mataram Kuno dan Kanjuruhan. "Lama kelamaan kita bisa menulis menggunakan aksara Jawa Kuno dan masih bahasa Sanskerta, ke sini lagi sudah berbahasa Jawa Kuno. Dari tahun 760-an mulai memakai Jawa Kuno," kata Titi. Aksara Jawa Kuno kemudian berkembang menjadi aksara Bali Kuno (abad ke-8-13) dan Sunda Kuno (abad ke-14-16). Aksara Jawa Kuno berkembang lagi menjadi aksara Jawa Baru atau dikenal dengan hanacaraka. Penanda Masa Perubahan aksara yang dipakai pada masa Mataram Kuno hingga Majapahit juga mengalami perkembangan. Setiap masa memiliki gaya tulisan masing-masing. Ada aksara Kawi (Jawa Kuno, red .) awal standar yang biasanya dipakai pada prasasti masa Mataram Kuno periode Jawa Tengah, yaitu masa pemerintahan Balitung (abad ke-8 sampai ke-9) hingga abad ke-10. "Tulisannya rapi, bagus, jelas," kata Titi. Bentuk tulisannya berubah pada masa Mpu Sindok yang memerintah Mataram Kuno periode Jawa Timur. Tulisannya cenderung persegi. Kemudian ada perkembangan bentuk aksara kwadrat. Cirinya: huruf ditulis besar, memiliki tulisan yang menonjol, dan berbentuk persegi empat. Penggunaaan aksara ini ditemukan di Jawa Timur, ada juga di Jawa Tengah dan Bali. Menurut Titi, aksara kwadrat di Jawa sudah dikenal sejak masa Raja Dharmawangsa Tguh (991–1016 M). Meskipun demikian, gaya ini sudah ditemukan pada dinding Petirtaan Jalatunda di lereng Gunung Penanggungan dari 899 Saka (977). Titi menjelaskan aksara kwadrat dengan detail lewat tulisannya "Perkembangan Aksara Kwadrat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali: Analisis Paleografi", yang terbit dalam Forum Arkeologi Volume 29, Nomor 3, November 2016. Menurut Titi, aksara kwadrat juga dipakai oleh anak-anak Udayana dan Gunapriyadharmmapatni, penguasa Bali Kuno, yaitu Airlangga, Marakatapangkaja, dan Anak Wungsu. Pada masa Airlangga di Jawa (1021–1042), aksara kwadrat ditulis dengan bentuk persegi empat tapi masih polos. Aksara kwadrat mulai diberi ornamen pada masa Anak Wungsu di Bali (1049–1077). Ini yang kemudian berkembang pada masa Kaḍiri dan dikenal dengan aksara kwadrat Kaḍiri. Aksara pada masa ini memiliki ornamen yang sudah kaya. "Era pemerintahan Dharmawangsa Tguh masih sederhana, tapi mulai di Bali jadi ada keriting-keritingnya, biasanya hiasan. Aksara kwadrat ini termasuk yang susah dibaca karena terlalu banyak hiasan," kata Titi. Aksara kwadrat masih digunakan di Jawa Tengah pada masa Majapahit akhir (abad ke-15), seperti ditemukan di Candi Sukuh, Candi Ceto, dan Candi Planggatan. Aksara kwadrat pada ketiga candi ini sangat berbeda dengan aksara kwadrat dari masa sebelumnya. Pada masa Majapahit muncul gaya penulisan lain. "Gaya aksaranya beda lagi karena banyak kadewaguruan (pusat pendidikan agama, red. )," kata Titi. Masing-masing periode pemerintahan memiliki penulis prasastinya sendiri. Ketika pemerintahan berubah, seorang citralekha biasanya akan ikut diganti. "Setiap periode biasanya ganti-ganti. Informasi si penulis disebut juga di akhir prasasti, biasanya satu atau dua orang. Kecuali dalam prasasti pendek," kata Titi. Karenanya gaya menulis aksara juga bisa menentukan kira-kira kapan prasasti itu dibuat, khususnya untuk prasasti yang tak berangka tahun. Namun, untuk memastikannya seorang epigraf akan mencari nama pejabat yang tertera pada prasasti itu. "Itu saja tidak cukup (gaya tulisan, red. )," kata Titi. "Pas saya baca ada nama pejabatnya masa Balitung. Oh, jelas berarti. Pejabatnya kan sama. Pernah juga disebutkan dalam prasasti Balitung lainnya."*






















