top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Gesekan Biola Gandrung

    MELIHAT pertunjukan tari gandrung membuat hati ingin turut menari. Suara sindennya manja. Ditingkahi irama gending gamelan nan rancak dan iringan nada tinggi-rendah biola yang menyayat. Kehadiran biola, yang notabene alat musik gesek dari Barat, membuat pertunjukan gandrung kian menarik. Jarang ditemui sebuah kesenian tradisional menggandeng biola sebagai salah satu unsur dalam pementasan. Dalam pementasan gandrung, biola membantu melodi lagu-lagu yang dinyanyikan sang penari. Biola dan vokal terjalin erat dan isi-mengisi. Keduanya membangun melodi lagu dan menentukan gerak tari. Maka, posisi penggesek biola ( baola ) menjadi sentral. Pemain biola tak melihat usia, tua atau muda. Asalkan mumpuni dalam memainkan biola, bisa ikut terjun dalam pementasan. Beberapa waktu lalu, komunitas Banyuwangi Tempo Doeloe mengunjungi seorang pemain biola gandrung yang sudah senior. Dia adalah Mbah Timbul dari daerah Mangir, sebuah desa di Kecamatan Rogojampi, Banyuwangi. “Saya mulai pegang baolah  sejak tahun 1930-an. Lalu setelah cukup mahir mulai ikut dalam pementasan pada tahun 1940-an. Tidak ada guru. Ya cuma ikut melihat pas latihan lalu coba-coba sendiri. Hasilnya dulu tidak mesti, kadang dapat 15 rupiah, kadang sampai 100 rupiah,” ujarnya kepada tim Banyuwangi Tempo Doeloe, yang diunggah di laman Youtube dengan nama BTD channel. Pengaruh Eropa Gandrung merupakan salah satu kesenian asli dan tertua Banyuwangi. Kemunculan gandrung berkaitan erat dengan seblang, ritual suku Osing di Banyuwangi untuk keperluan bersih desa dan tolak bala. Sementara tari seblang mirip dengan tari sang hyang di Bali, yang di masa lalu ditemui juga di Banyuwangi dengan sebutan tari sanyang.  “Lintasan gerak dan pose-pose dasar ketiga tarian tersebut pun masih menunjukkan banyak kesamaan,” tulis Sal M. Murgiyanto dan A.M. Munardi dalam Seblang dan Gandrung . Perubahan dan adaptasi pun mengiringi perkembangan kesenian gandrung. Gandrung, yang awalnya dibawakan penari laki-laki, kemudian diisi penari perempuan. Begitu pula dengan penggunaan instrumen musiknya. “Susunan orkes gandrung berubah lagi sejak Mak Midah mulai menyelenggarakan pertunjukan gandrung dengan Semi sebagai penari gandrung putri yang pertama pada tahun 1895. Kala itu, mulai menggunakan instrumen diatonik biola,” tulis Bambang Sularto dalam Kesenian Rakyat Gandrung dari Banyuwangi . Semi kerap disebut-sebut dalam lahirnya kesenian gandrung. Tapi apakah Semi pula yang kali pertama menggunakan biola butuh penelitian lebih jauh. Murgiyanto dan Munardi menuturkan kisah masuknya biola dalam pertunjukan gandrung. Konon, seorang pemain musik Barat, belum jelas apakah dari Prancis atau Belanda, secara kebetulan menyaksikan pertunjukan gandrung. Mendengar nyanyian dan musik pengiringnya yang erotis, dia tertarik. Diambilnya biola miliknya dan dia pun ikut bermain. Ternyata dihasilkan suara “baru” yang dianggap enak. “Masyarakat Banyuwangi pun agaknya sangat terpesona akan barang baru ini, dan selanjutnya menggunakannya di dalam pertunjukan gandrung mereka,” tulis mereka. Jaap Kunst dalam Music in Java (1937) menyebut penggunaan dua biola sebagai musik pengiring gandrung terjadi belum begitu lama. Biola menggantikan alat musik yang disebutnya sebagai “ shawms ” –sebuah alat musik kuno dengan dua buluh, yang merupakan bentuk mula dari oboe . Murgiyanto dan Munardi menduga alat musik itu sejenis serunai, terompet, atau bahkan seruling. Dalam tari sanyang, musik pengiringnya terdiri dari seruling, kendhang, dan gong. Seruling berfungsi sebagai pembentuk melodi. Tapi pada pertunjukan gandrung, posisinya diambil-alih biola sebagai pengganti seruling. Seblang, yang mempergunakan kendhang, gong, dan kenong untuk memperjelas pola irama, kemudian ikut menggunakan biola –terutama seblang di Bakungan. “Agaknya orang lebih suka memainkan alat musik yang baru (biola) daripada harus menghabiskan napas semalam suntuk untuk meniup seruling. Memainkan biola nampaknya juga lebih ‘maju’ daripada meniup seruling dan gesekannya pun mampu mengatasi vokal manusia,” tulis Murgiyanto dan Munardi. Penambahan biola tentu saja membuat iringan musik gandrung semakin tajam dan berwarna. Improvisasi Secara fisik, biola yang digunakan dalam gandrung tidak berbeda dengan biola Barat. Tapi cara dan teknik memainkannya berbeda. Ini disebabkan sistem penggunaan senarnya. “Pada instrumen biola barat senar yang digunakan untuk biola sopran adalah senar G-D-A-E dengan ukuran terbesar hingga senar E yang terkecil. Dalam seni pertunjukan gandrung, biola tidak menggunakan senar G-D-A-E tetapi menggunakan sistem senar G-D-D-A dan tidak menggunakan senar yang paling terkecil yaitu senar E,” tulis Irfanda Rizki Harmono Sejati dalam “Biola dalam Seni Pertunjukan Gandrung Banyuwangi”, dimuat jurnal Harmonia , Desember 2012. Selain itu, untuk cara memakainya, biola gandrung diletakkan di atas siku kanan sebelah kiri. Kemudian ada teknik-teknik khusus, dengan istilah lokal, untuk menghasilkan nada-nada improvisasi dari melodi aslinya seperti rageman , ngrangin , ngembat . Kini, seiring kemeriahan Banyuwangi Festival yang rutin digelar setiap tahun, kesenian gandrung semakin ramai dan digemari pengunjung. Implikasinya banyak orang bisa menikmati dan ikut merawat kesenian ini. Pun kesejahteraan pemain gandrung menjadi semakin baik. Apalagi, mulai muncul generasi-generasi muda di bawah Mbah Timbul yang giat dan menyenangi seni tradisi.*

  • Mohammad Sardjan dan Islam Hijau

    SEBELUM meletakkan batu pertama pembangunan Gedung Fakultas Pertanian Universitas Indonesia tahun 1952, Presiden Sukarno membacakan pidato yang cukup terkenal, Soal Hidup atau Mati . Sukarno berpendapat produksi pertanian di Indonesia harus ditingkatkan. Alasannya, impor makanan cukup mahal dan akan lebih baik bila Indonesia berdikari. Menurut Sukarno, dalam sebuah “masyarakat adil dan makmur” tidak boleh ada orang-orang yang merasa lapar.

  • Hamka dan Maag Berjamaah

    PADA September 1975, bertepatan dengan bulan suci Ramadan, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerima undangan Muktamar Masjid se-Dunia di Makkah, Arab Saudi. Sebagai ketua, Buya Hamka mendapat kesempatan untuk berangkat mewakili pemerintah Indonesia. Dalam perjalanan ke Tanah Suci umat Islam tersebut, dia didampingi Sekjen MUI Kafrawi, dan putra sulungnya Yusran Rusydi. Ketiganya dijadwalkan berangkat pertengahan bulan. Pada 17 September 1975, rombongan Hamka dijadwalkan akan terbang ke Jeddah. Pagi harinya, Hamka dipanggil ke Istana oleh Presiden Soeharto. Presiden ingin secara khusus menyambut MUI yang baru terbentuk pada permulaan tahun itu. Terjadi pembicaraan ringan yang cukup serius di antara Hamka dan Presiden. Terutama soal ketegasan MUI akan penyebaran Kristenisasi di tengah umat Islam Indonesia. Menurut cerita Hamka, seperti dituturkan Yusran Rusydi dalam Buya Hamka: Pribadi dan Martabat , Presiden mendukung berbagai gagasannya, termasuk usulan agar pemerintah membeli Rumah Sakit Baptis di Bukittinggi yang dianggap Hamka telah secara terang-terangan menukar iman dan kepercayaan orang Minangkabau melalui sistem pengobatan. “Perjalanan kami dipenuhi dengan rasa suka cita,” tulis Rusydi. Setelah melalui malam di udara, sekira pukul 6 pagi, Hamka tiba di Karachi, Pakistan. Mereka sama sekali tidak sempat untuk makan sahur. Beberapa orang staf kedutaan Indonesia, yang sebelumnya telah mendengar kabar perjalanan Hamka, kemudian menemui mereka untuk membantu segala keperluan selama di Karachi sebelum kembali mengudara pada tengah malamnya. Seorang staf kedutaan lalu meminta kesediaan Hamka untuk berbuka puasa di kediaman salah seorang di antara mereka. “Oh kami musafir (orang yang sedang dalam perjalanan), tak perlu repot-repot karena kami tidak puasa,” ucap Rusydi. “Tidak puasa?” tanya seorang staf kedutaan dengan gembira. “Kalau begitu siang ini makan di rumah saya.” Hamka sempat menolak undangan tersebut. Tapi keinginan mereka disinggahi oleh ketua dan sekjen MUI, membuat ketiganya tidak bisa mengelak. Sekira pukul satu siang, rombongan itu tiba di kediaman penanggung jawab kedutaan wilayah Karachi. Mereka disambut para staf kedutaan beserta istri-istrinya. Ketika tiba waktu makan, semua orang bergegas ke ruang makan, menempati kursinya masing-masing. Tanpa ragu mereka mengisi piring dengan makanan di hadapannya. Rombongan Hamka hanya terdiam. “Oh rupanya di sini lebih banyak orang-orang yang bukan Islam,” Hamka mencoba membuka pembicaraan. “Tidak Buya, kami Islam. Bahkan saya dan istri berniat hendak menunaikan haji tahun ini,” ucap salah seorang. Kafrawi dan Rusydi saling bertatap kebingungan. “Tapi saya sakit maag,” kata orang itu lagi. “Saya pun maag Buya,” terdengar suara perempuan. “Dan suami saya ini juga maag.” Menunjuk laki-laki di sebelahnya yang hanya mengangguk dan tersenyum. Pendeknya, tulis Rusydi, semua orang yang ada di depan meja makan pada hari itu adalah penderita maag (sejenis sakit lambung), sehingga tak seorang pun yang menjalankan ibadah puasa. Tapi di atas meja tidak ada menu makanan khusus bagi penderita maag. Hidangan yang tersaji didominasi santan dan cabai rawit. Sungguh aneh. Begitu kembali ke hotel, Hamka mengeluarkan seluruh unek-uneknya. Dia tidak habis pikir dengan kelakar para staf kedutaan itu. Hari itu seolah-olah baru saja rombongan Hamka diberi sajian lakon yang amat menggelikan. Sampai di pesawat pun ketiganya tidak berhenti membicarakan pengalaman unik tersebut. “Demikianlah kami ke Mekkah diliputi oleh kegembiaraan, dan gelak tawa,” ujar Rusydi.*

  • Jalan Seorang Arief Budiman

    ARIEF Budiman alias Soe Hok Djin baru saja pergi beberapa jam yang lalu. Parkinson yang sudah berlarut akhirnya menjadi jalan bagi dia untuk menggenapi takdirnya sebagai manusia: bertemu dengan kematian. Tak perlu disebutkan bagaimana dia begitu mencintai negeri ini. Lewat caranya, berpuluh tahun dia mengupayakan Indonesia supaya bergerak ke arah yang lebih baik, terutama yang terkait dengan kehidupan rakyat kecil. “Ketika orang-orang memuji-memuji Pak Harto di awal Orde Baru berdiri, dia tampil sebagai salah seorang pengeritik paling keras,” ujar almarhum Rudy Badil, wartawan senior sekaligus kawan Arief Budiman. Badil memang benar. Tahun 1970, ketika Orde Baru mulai dijadikan sarang untuk menangguk keuntungan pribadi oleh para akademisi dan tentara, Arief dan dan kawan-kawannya eks demonstran 1966 menjadi gerah. Mengatasnamakan gerakan “Mahasiswa Menggugat”, mereka melakukan aksi long march  dari Kampus Universitas Indonesia di Salemba menuju Lapangan Banteng. “Sepanjang jalan menuju Lapangan Banteng, mahasiswa membagikan selebaran berisi kecaman terhadap perselingkuhan antara  para jenderal dengan para profesor,” tulis wartawan cum aktivis politik, Jopie Lasut dalam Kesaksian Seorang Jurnalis Anti ORBA: MALARI Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal ORBA. Setelah aksi itu, agen-agen Opsus (Operasi Khusus) mulai menyusup ke kampus-kampus. Dewan Mahasiswa dikooptasi, para aktivis bersuara keras dieliminasi. Situasi tersebut menjadikan Arief dan kawan-kawannya kecewa. Mereka kemudian mendirikan Balai Budaya yang terus bersuara keras terhadap segala penyelewengan cita-cita semula Orde Baru. Sejarah mencatat, Arief terlibat dalam berbagai gerakan oposisi. Dia menjadi aktor utama dalam aksi menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme itu. Juga dalam gerakan Golongan Putih (Golput) yang menentang segala macam monopoli politik menjelang Pemilu 1971, Arief ada di garis terdepan. Ketika ada perhelatan sepakbola nasional di Stadion Utama Senayan (sekarang Stadion Gelora Bung Karno) yang dihadiri puluhan ribu orang, para aktivis Golput membentangkan spanduk raksasa berbunyi: “Golput Menjadi Penonton yang Baik”. Pemerintah Orde Baru berang. Lewat Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto yakni Ali Moertopo, disebutlah Golput sebagai gerakan yang tak ada artinya. “Golput itu kentut,” ujar Ali kepada media. Apa yang menyebabkan Arief menjadi begitu keras? Padahal menurut sejumlah kawan-kawannya, di era sebelum Soeharto berkuasa penuh, Arief lebih cenderung santai dan berlaku layaknya seorang akademisi tulen? Rudy Badil memiliki sebuah cerita. Ketika sang adik Soe Hok Gie meninggal karena kecelakaan di Puncak Mahameru, Arief terlihat sangat bersedih. Kendati kesedihan itu diperlihatkannya secara wajar, namun saat dia menjemput jenazah Soe Hok Gie di Malang, orang tahu dari wajahnya dia terlihat sangat kehilangan. “Dia terus mendampingi jenazah Hok Gie, seolah enggan meninggalkannya,” kenang Rudy. Bisa jadi selama dalam proses penjemputan jenazah Soe Hok Gie itulah, Arief banyak merenungi hubungan pribadi antara dirinya dengan Soe Hok Gie, sejak mereka kecil hingga dewasa. Dalam kata pengantar untuk buku Catatan Seorang Demonstran , Arief pun menulis agak sentimentil tentang adiknya itu. Dia mengisahkan perasaannya saat duduk termenung di samping peti mati jenazah Soe Hok Gie, beberapa menit menjelang akan terbang dengan sebuah pesawat angkut milik Angkatan Udara RI ke Jakarta. “Tiba-tiba saya melihat sebuah gambaran yang menimbulkan pelbagai macam perasaan di dalam diri saya. Ketidakadilan bisa merajalela, tapi bagi seorang yang secara jujur dan berani berusaha melawan semua ini, dia akan mendapat dukungan tanpa suara dari banyak orang,” tulisnya. Menurut John Maxwell, sulit dikatakan seberapa besar kematian Soe Hok Gie mempengaruhi keputusan Arief untuk mengambil peran sebagai pemimpin aktif dalam demonstrasi-demonstrasi menentang penyelewengan Orde Baru. “Arief jelas sangat terpukul dengan kematian adiknya sekaligus bangga dengan keteguhannya berbicara terus terang mengenai isu-isu politik yang ganjil dan sensitif,” ungkap Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani . Yang jelas, kata Maxwell, sebelum bersahabat dekat, Arief dan Soe Hok Gie pernah tidak bertegur sapa selama kurang lebih sepuluh tahun. Tak jelas benar apa yang menjadi sebab awal namun pertengkaran itu memicu pertengkaran-pertengkaran lebih lanjut hingga mereka memasuki Universitas Indonesia: Soe Hok Gie kuliah di Fakultas Sastra (jurusan sejarah) sedangkan Arief kuliah di Fakultas Psikologi. “Ya masalahnya sebenarnya mungkin remeh temeh, terkait soal-soal remaja-lah, misalnya saya kesal Hok Gie kadang malas mengurus piaran-piarannya yang sebenarnya itu adalah kewajibannya,” kenang Arief kepada Rudy Badil pada suatu hari. Tiga tahun menjelang kematian Soe Hok Gie, kakak-adik itu mulai memperlihatkan niat untuk memperbaiki hubungan. Memang tak ada kata “resmi” dari mulut mereka masing-masing, namun sejak mereka aktif dalam berbagai diskusi-diskusi tentang situasi tanah air, Arief dan Soe Hok Gie merasa mereka berdua memiliki kesamaan sikap. Mereka berdua akhirnya menjadi “sahabat dekat”. Soe Hok Gie sering curhat tentang kehidupan pribadinya kepada Arief. Begitu juga sebaliknya. Kakak-adik itu bahkan secara sadar tak sadar saling mempengaruhi dalam gerak langkah dan sikap politik mereka masing-masing. Salah satu yang sering disebut Soe Hok Gie adalah mengenai gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral. Dalam sebuah surat kepada Boediono (sahabatnya) pada 5 Maret 1967, Soe Hok Gie pernah mengutip pendapat Arief mengenai ideal-ideal sebuah gerakan mahasiswa. “Boedi… Lu  masih ingat karangan kakak gue  tentang cowboy  yang basmi bandit-bandit di suatu kota? Setelah tugasnya selesai dia pergi begitu saja, tanpa minta balas jasa… Gue  mau agar mahasiswa-mahasiswa sekarang juga bermoral seperti cowboy  itu,” tulis Soe Hok Gie seperti dikutip Stanley Adi Prasetyo dalam Soe Hok Gie, Sekali Lagi: Buku, Pesta, dan Cinta di Alam Bangsanya  suntingan Rudy Badil, Luki Sutrisno Bekti, dan Nessy Luntungan R. Sebaliknya, Arief juga tampaknya banyak terinspirasi oleh Soe Hok Gie. Berbagai keputusannya saat menjadi oposisi buat Orde Baru seolah meneruskan apa yang dulu sering mereka diskusikan. Arief paham jalan yang Soe Hok Gie ambil adalah (seolah) jalan penuh kesunyian. Setidaknya itu dirasakan Arief ketika suatu hari Soe Hok Gie memperlihatkan surat dari Ben Anderson, seorang sobatnya dari Amerika Serikat. “Gie, seorang intelektual yang bebas adalah seorang pejuang yang sendirian. Selalu…” demikian tulis Ben. Arief menyimpulkan Soe Hok Gie sudah siap menghadapi apa yang diingatkan Ben. Dia memang tidak keliru. Ketika menulis surat kepada Riandi (salah seorang sahabatnya) pada 10 Oktober 1967, Soe Hok Gie seolah menegaskan kesiapannya itu. “Mochtar Lubis bilang pada saya bahwa kalau seorang memilih jalan jujur, hidupnya akan berat sekali. Dia akan kesepian, dijauhi kawan dan dibenci banyak orang. Mungkin sampai kita mati, kita akan terus seperti ini. Beranikah kita berdiri sendiri? Kalau kita berani, majulah menuju dataran yang sepi dan kering. Tetapi di sana ada kejujuran…Kadang saya takut sekali. Tetapi selama saya bisa mengatasi ketakutan itu, saya akan maju terus. Sampai akhirnya saya patah.” Arief pada akhirnya mengambil jalan yang sama dengan Soe Hok Gie. Dia seolah telah menempati suatu “wilayah” yang pernah ditunjukan sang adik dalam sebuah puisi yang ditulisnya, Kepada Pejuang-Pejuang Lama: Tempat kita, petualang-petualang masa depan dan pemberontak-pemberontak rakyat Di sana… Di tengah rakyat, membina kapal-kapal baru untuk tempuh gelombang baru… “Gie, kamu tak sendirian,” bisik Arief di sebelah peti mati berisi tubuh Soe Hok Gie, 51 tahun yang lalu. Ya, orang-orang seperti Arief dan Soe Hok Gie (sebenarnya) tidak akan pernah sendirian. Mereka akan selalu hadir, memenuhi panggilan zaman.*

  • Nusantara Terdampak Wabah Penyakit yang Melanda Dunia

    DUNIA beberapa kali diserang wabah penyakit. Sejak masa prasejarah, wabah penyakit menyerang Tiongkok pada 3000 SM. Tifus menghantam Athena pada abad ke-5 SM. Memasuki masa sejarah, wabah penyakit yang tercatat lebih banyak. Wabah Yustinianus (pes) menyerang Kekaisaran Romawi Timur pada abad ke-6, kusta di Eropa pada abad ke-11, Maut Hitam di Eurasia pada abad ke-13, cacar di Amerika dan Pasifik pada abad ke-16, kolera pada abad ke-19, serta flu Spanyol dan polio pada awal abad ke-20. “Sementara di Indonesia, apakah ada korelasinya yang terjadi di global juga terjadi di Indonesia,” kata Sofwan Noerwidi, peneliti Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam diskusi Puslit Arkenas lewat aplikasi zoom  yang berjudul “Eksistensi Wabah: Fakta Masa Lampau Hadir pada Masa Kini”, pada Selasa, 21 April 2020. Jejak penyakit paling awal diderita oleh Homo erectus, pendahulu Homo sapiens . Pada fosil tengkorak Sangiran 38 dari 700.000 tahun yang lalu, di sisi kanan kiri tulang parietal (tulang ubun-ubun) ada beberapa tanda yang mungkin disebabkan infeksi suatu penyakit. “Kita belum bisa memastikan jenis penyakitnya karena keterbatasan konservasi fosil itu,” kata Sofwan. Sedangkan pada fosil tulang paha Homo erectus dari Situs Trinil 500.000 tahun lalu, tampak adanya inflamasi atau cedera otot yang menyebabkan perkembangan tulang tak lazim. “Jenis penyakit ini bahkan berlangsung hingga sekarang, banyak Homo sapiens  menderita penyakit ini,” kata Sofwan. Dari bukti yang ada, menurut Sofwan, manusia pada masa prasejarah lebih banyak menderita penyakit yang bersifat fisik. Penyakit-penyakit tidak menular itu, seperti cedera lengan, tulang paha, dan penggunaan gigi yang sangat ekstrem akibat pola diet. Makanan mereka tak diolah sampai lebih lembut sebagaimana dilakukan manusia pada masa kini. Kendati begitu bukan berarti pada masa prasejarah tak ada indikasi penyakit menular. Jejaknya ditemukan pada Homo sapiens dari Gua Harimau 2.800 tahun lalu. Ada beberapa indikasi penyakit yang kemungkinan disebabkan bakteri tuberkulosis atau bakteri penyebab lepra. Pun ada jejak radang persendian pada tulang punggung. Ini mungkin disebabkan oleh rematik atau tuberkulosis. Indikasi cedera fisik juga masih dijumpai berupa patah tulang. “TBC, lepra, bahkan mungkin sifilis jauh sudah ada pada zaman prasejarah. Beberapa kita lihat buktinya,” kata Sofwan. Ditemukan pula peralatan dari masa prasejarah yang kemungkinan fungsinya tidak hanya untuk memproses makanan tapi juga untuk mengolah obat-obatan. Alat itu berupa batu gandik dan pipisan. “Dibuktikan dari beberapa penyakit yang diidap masyarakat prasejarah, seperti patah tulang itu sembuh,” kata Sofwan. “Tapi adakah wabah (pada masa prasejarah, red. )? Jejaknya sangat samar.” Penggambaran Wabah Menurut Sofwan, kita juga hanya bisa menerka adanya wabah pada masa sejarah seperti lewat relief candi. Dalam relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur, bangunan dari akhir abad ke-8 dan awal abad ke-9, terdapat penggambaran serangan hama tikus di sebuah lahan pertanian. “Apakah tikus-tikus itu membawa wabah? Pes? Atau penyakit lainnya? Belum tahu pasti. Tapi indikasi adanya serangan wabah mungkin saja terjadi pada masa itu,” kata Sofwan. Selain dari relief candi, prasasti juga menyebutkan beberapa jenis penyakit, seperti Prasasti Wiharu II (929) pada masa Mataram Kuno. Dari masa Majapahit terdapat Prasasti Balawi (1305), Prasasti Sidateka (1323), Prasasti Bendosari (1360), Prasasti Biluluk (1350–1389), dan Prasasti Madhawapura dari abad ke-14. Sumber naskah kuno juga mengungkapkan berbagai macam penyakit dan pengobatannya. Misalnya, Kidung Sudamala dari abad ke-13. Naskah ini berisi kisah Sadewa, anak Pandawa terakhir, yang meruwat Durga. Ia kemudian diberi nama Sudamala, yang artinya Suda (bersih) dan  Mala (kotoran, penyakit). Kemudian kisah Sri Tanjung dari abad ke-13 tentang cerita tokoh Sidapeksa yang diutus kakeknya untuk mencari obat. Informasi lainnya ditemukan dalam Kitab Rajapatigundala dari abad ke-14. Disebutkan adanya penyakit akibat kutukan, seperti kusta, buta, cacat mental, gila, dan bungkuk. Dari abad ke-14 terdapat Kitab Korawacrama yang menyebutkan   adanya penyakit fisik. Pada masa Islam, informasi tentang macam-macam penyakit ditemukan dalam Babad Tanah Jawi yang ditulis pada abad ke-18. Serat Centhini (1814–1823) berisi ensiklopedia penyakit dan obat. Begitu juga Serat Kawruh Jampi Jawi (1831) berisi daftar penyakit dan jamu. “Saya yakin di beberapa daerah di Nusantara mereka juga mengenal naskah-naskah sejenis. Ada pula catatan Eropa yang meneliti tentang obat-obatan di Nusantara seperti Rumphius,” kata Sofwan. Sumber-sumber kuno itu banyak mencatat macam-macam wikara atau penyakit. Di antaranya bubuhên dan wudunen (bisul), belek (sakit mata) dan bulêr (katarak), gondong (leher membengkak), umis (pendarahan), humbêlên (flu), wudug (lepra), panastis (malaria), ulêrên (cacingan), dan apus (kehilangan tenaga) .  Ada pula beberapa penyakit kulit seperti ampang, amis antem, dan apek. Soal sakit yang mewabah pada masa Jawa Kuno, mungkin naskah Calonarang hingga sekarang adalah satu-satunya bukti yang paling jelas. “Ada satu cerita tentang masa Kerajaan Airlangga di mana ada serangan wabah yang menelan banyak korban. Kalau pagi sakit, sore meninggal. Sore sakit, pagi meninggal,” kata Sofwan. Nusantara di Tengah Pandemi Menurut Sofwan penyebaran penyakit sampai ke Nusantara berkaitan dengan bencana alam dan perang. Misalnya, pada abad ke-13 terjadi letusan gunung yang sangat besar hingga menyebabkan perubahan iklim. Kebetulan kala itu terjadi migrasi pembawa penyakit pes di Asia Daratan bersamaan dengan invasi Mongol dari Asia Daratan ke Eropa. “Kalau pernah dengar istilah Black Death, kira-kira terjadi masa itu. Apakah ketika Mongol menginvasi Jawa mereka juga membawa pes? Ini menarik, belum banyak dikaji,” kata Sofwan. Penyebaran penyakit juga terjadi setelah perluasan pengaruh Eropa pada awal abad ke-16. Selain mencari kekayaan dan kekuasaan, mereka juga menyebarkan penyakit. Penyakit cacar yang dibawa orang Eropa hampir memusnahkan masyarakat Indian di Amerika Utara dan Selatan. Pun masyarakat di kawasan Pasifik, bahkan masyarakat di beberapa pulau punah sama sekali. “Ternyata cacar juga sampai ke Ternate dan Ambon, kemudian tersebar ke seluruh Nusantara ketika Belanda datang ke Batavia,” kata Sofwan. Bencana alam sebelum masa Perang Jawa juga berdampak pada timbulnya penyakit. Pada 1815, letusan Gunung Tambora yang sangat besar mengakibatkan perubahan iklim. Panen gagal terutama di Jawa dan Bali sehingga harus mengimpor beras. Ternyata, beras itu terkontaminasi bakteri kolera. Akibatnya, penyakit kolera menyebar di Jawa dan Sumatra. Setelah kolera berlalu, Perang Diponegoro juga sudah berakhir, terjadi lagi wabah pes. “Dibawa oleh tikus karena perdagangan dunia semakin menggeliat setelah periode perang itu,” kata Sofwan. Sulitnya Data Primer Melihat data yang ada, artinya masyarakat di kepulauan Nusantara telah beberapa kali ikut terjangkit wabah yang merebak di berbagai belahan dunia. Karenanya mempelajari sejarah terjadinya wabah pada masa lalu penting untuk dilakukan. Khususnya tentang apa yang dilakukan masyarakat masa lampau. Bagaimana mereka menghadapi wabah dan mencari jalan keluar. “Ini belum banyak dilakukan, riset obat tradisional juga tampaknya belum optimal,” kata Sofwan. Sayangnya, kini peneliti kekurangan data primer langsung dari rangka yang berasal dari periode sejarah. Mungkin, kata Sofwan, itu disebabkan oleh keterbatasan konservasi data. Jika pun tidak, mungkin pula pada masa lalu terdapat tradisi tentang tata cara masyarakat memperlakukan jenazah. “Misal di Bali ada tradisi ngaben . Apakah waktu dulu juga begitu? Jadi korban-korban wabah itu dikremasi massal. Jadi kita ini memang jarang sekali menemukan data primer,” kata Sofwan. Kalaupun ada, misalnya temuan rangka dari Situs Liyangan di Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah dari sekira abad ke-9. Namun, temuan rangka ini konservasinya sangat buruk. Akibatnya proses observasi apakah manusia ini pernah menderita suatu penyakit menjadi sulit dilakukan. “Mengapa rangka prasejarah awet? Itu karena mereka ditemukan pada tempat tertentu dan terendapkan di kondisi tertentu. Rangka dari periode selanjutnya saya belum banyak menemukan,” kata Sofwan.*

  • Manis-Pahit Petualangan SS Conte Verde

    DARI tepian dek, ribuan orang terus melambaikan tangan kepada sanak-saudara dan para handai taulan yang juga melambaikan tangan di pinggiran pelabuhan Genoa, Italia. Di hari yang cerah itu, 21 April 1923, para konglomerat Italia hingga penumpang golongan proletar menjadi saksi pelayaran perdana kapal transatlantik SS Conte Verde dengan rute Genoa-New York. Conte Verde dibuat galangan kapal William Beardmore & Co di Dalmuir, Skotlandia, atas pesanan perusahaan pelayaran Lloyd Sabaudo Line yang berbasis di Genoa. Meski sudah rampung pada 21 Oktober 1922, finishing interior-nya memakan waktu hingga lima bulan berikutnya. Lloyd Sabaudo Line sampai mengirim seniman-seniman asal Firenze untuk mendekorasi bar-bar dan sejumlah lounge kelas satu. Mengutip suratkabar The Times (kini The New York Times ) edisi 25 Juni 1923, dinding di bagian tangga utamanya dihiasi sebuah lukisan besar karya Cavalieri. Langit-langit di dek-dek kelas satu yang berhias lukisan dari para seniman Firenze membuatnya bak istana khas Italia era renaissance . Semua itu dilakukan karena Lloyd Sabaudo Line ingin Conte Verde menjadi “istana berjalan” dengan segala kemewahannya, sesuai namanya yang diambil dari julukan Amadeus VI, Count of Savoy, yang dijuluki Il Conte Verde atau Pangeran Hijau. Pelepasan pelayaran perdana SS Conte Verde pada 21 April 1923 (Foto: Library of Congress/loc.gov) Kapasitas maksimal kapal dengan 10 dek itu mencapai 2.830 orang yang terbagi dalam 450 penumpang kelas satu, 200 penumpang kelas dua, dan 1.780 penumpang kelas tiga yang biasanya merupakan imigran, serta 400 kru. Bobot kotornya 18.761 ton dengan postur 180,1 x 22,6 meter. Ditenagai dua turbin uap, Conte Verde bisa berlayar dengan kecepatan hingga 18,5 knot. “ Conte Verde tiba kemarin (24 Juni 1923) pada pelayaran perdananya dari Genoa dan Napoli membawa 95 penumpang kelas satu, 374 penumpang kelas dua, dan 703 penumpang kelas tiga,” lanjut laporan The Times. Mengantar Rombongan Piala Dunia Medio Juni 1930 jadi salah satu jadwal pelayaran terpenting Conte Verde. Sejumlah akomodasi kelas satunya disewa panitia pelaksana Uruguay sebagai tuan rumah Piala Dunia pertama dan Presiden FIFA Jules Rimet. Ia jadi bagian negosiasi Uruguay dan Rimet agar tim-tim Eropa mau datang menyeberangi Samudera Atlantik sejauh 11 ribu kilometer untuk berpartisipasi. Berkat lobi Rimet, Piala Dunia 1930 urung diboikot seluruh negara Eropa. Dari belasan negara yang diundang, hanya Prancis, Belgia, Rumania, dan Yugoslavia yang –datang dengan kapal pesiar lain, MS Florida– berkenan hadir. Kapal Conte Verde berlayar membawa tiga tim Eropa juga sekaligus presiden FIFA dengan trofinya, Coupe du Monde, dan tiga wasit: Jean Langenus (Belgia), Henri Christophe (Belgia), dan Thomas Balvay (Prancis). Timnas Prancis, Belgia, dan Rumania di atas geladak kapal SS Conte Verde (Foto: Repro "Le livre official de l'equipe de France") Dinukil dari 100+ Fakta Unik Piala Dunia karya Asep Ginanjar dan Agung Harsya, Conte Verde mulai lepas jangkar dari pelabuhan Genoa pada 20 Juni, di mana baru ditumpangi rombongan tim Rumania. Sehari kemudian ia merapat ke Villefranche-sur-Mer untuk menjemput tim Prancis, Presiden FIFA, serta tiga wasit, sebelum keesokannya berlabuh di Barcelona untuk menjemput tim Belgia. “Selama perjalanan di atas Conte Verde , para pemain Belgia, Prancis, dan Rumania tak henti menjaga kondisi tubuh. Conte Verde memang sengaja diubah menjadi arena olahraga terapung. Selain tersedia tempat kebugaran, ada juga kolam renang, dan meja ping-pong. Bahkan para pemain sempat-sempatnya main bola di sana! Hal itu baru terhenti ketika sejumlah bola jatuh ke laut,” tulis Asep dan Agung. Presiden FIFA Jules Rimet (kiri) tiba di Montevideo pada 4 Juli bersama para ofisial dan tiga tim peserta Piala Dunia 1930 (Foto: fifa.com ) Selain rombongan Piala Dunia, Conte Verde juga ditumpangi beberapa selebriti dunia yang turut serta dalam total 15 hari pelayaran itu. Di antaranya penyanyi opera Rusia Fyodor Chaliapin, penari beken Amerika Josephine Baker, fotografer dan petualang Italia Fosco Maraini, penulis Italia Dacia Maraini, serta pengusaha kafe ternama Caffe Trieste, Giovanni Giotta. “Setelah berlabuh lagi di Lisbon dan Kepulauan Canary, tim-tim seperti Belgia, Rumania, dan Prancis mulai menyeberangi Atlantik. Kapalnya baru merapat lagi di Rio de Janeiro pada 29 Juni untuk menjemput tim Brasil, sebelum akhirnya tiba di Montevideo pada 4 Juli. Hampir 15 ribu warga Uruguay datang menyambut mereka,” tulis Gregory Reck dan Bruce Allen Dick dalam American Soccer: History, Culture, Class. Mengangkut Pengungsi Yahudi hingga Dibom Sekutu Trayek Conte Verde yang lazimnya menyeberangi Atlantik ke barat (New York hingga Buenos Aires), berganti pada 1932 kala kapal itu diakuisisi Italian Line (kini Italia Marittima) dari Lloyd Sabaudo Line. Conte Verde dijadikan satu dari empat kapal dalam armada Lloyd Triestino di bawah Italian Line yang trayeknya mengarah ke timur jauh: Genoa-Trieste-Bombay-Colombo-Shanghai-Hong Kong-Singapura via Terusan Suez. Interior dan dekorasinya pun banyak diubah. Ia tak lagi jadi “istana terapung”, namun semata kapal transport. Untuk memperluas ruang kelas ekonomi, Italian Line memperkecil kapasitas kelas satu menjadi hanya 250, kelas dua 170, dan kelas tiga 220 penumpang. Per November 1938, Conte Verde bersama tiga kapal Lloyd Triestino lainnya dijadikan kapal penyelamat bagi belasan ribu Yahudi Eropa yang mencari selamat ke Shanghai. “Sejak mulanya periode Nazi sudah mulai ada imigran Yahudi dari Jerman ke Shanghai. Kelompok pertama berjumlah 12 orang yang terdiri dari para dokter, guru, atau pebisnis. Mereka menganggap Shanghai jadi surga suaka yang menarik. Hingga enam tahun kemudian gelombang besar pengungsi Yahudi datang mengikuti,” tulis Alvin Mars dalam A Note on the Jewish Refugees in Shanghai. “Lalu setelah invasi Nazi ke Austria ( Anschluß, 12 Maret 1938), dua kapal transport pertama yang tiba di Shanghai dengan para pengungsi Yahudi adalah kapal Conte Biancamano dan Conte Rosso dari Lloyd Triestino. Seiring bertambahnya pengungsi, dua kapal lain ( Conte Verde dan Conte Grande ) dikerahkan. Rutenya Genoa-Port Said-Suez-Colombo-Singapura-Manila-Shanghai,” lanjutnya. SS Conte Verde pada 1932 setelah diakuisisi oleh Lloyd Triestino (Foto: ibi.org ) Conte Verde sendiri pertamakali membawa pengungsi Yahudi pada 29 Oktober 1938 yang berbondong-bondong datang ke pelabuhan Trieste. Mengutip Roman Malek dalam From Kaifeng to Shanghai: Jews in China , kapal itu ditumpangi 187 pengungsi Yahudi Jerman dan Austria yang menyelamatkan diri 12 hari sebelum geger Kristallnacht atau “Malam Kaca Pecah”, 9-10 November 1938, yakni malam ketika para simpatisan Nazi menghancurkan rumah, pertokoan, hingga membantai Yahudi yang mereka temui. “Setelah hampir sebulan pelayaran, pada 24 November 1938 Conte Verde merapat di Shanghai pada pukul 2 siang. Dari 350 penumpang, terdapat 187 pengungsi Yahudi Jerman dan Austria. Ini adalah rombongan pengungsi terbesar pertama, di mana dalam delapan bulan berikutnya gelombang pengungsian kian meningkat,” tulis Malek. Hingga Juni 1940, total sudah 17 ribu pengungsi Yahudi yang menggunakan kapal-kapal milik Lloyd Triestino. Namun setelah itu, jalur pengungsian Conte Verde dkk terhenti lantaran Italia nyemplung ke dalam Perang Dunia II. Sebagai imbasnya, Conte Verde yang tengah berlabuh di Shanghai ditahan untuk sementara waktu oleh otoritas konsensi Inggris-Amerika di Shanghai International Settlement. Setelah lama nongkrong di Shanghai, nasib nahas menghampiri Conte Verde pada 3 September 1943 bersamaan dengan Armistice of Cassibile atau perjanjian gencatan senjata antara Italia dan Sekutu. Agar Conte Verde tak direbut Jepang yang sudah menguasai Shanghai, termasuk konsensi asingnya sejak 8 Desember 1941, dengan berat hati para krunya berusaha menenggelamkannya. SS Conte Verde yang sejak November 1938-Juni 1940 bolak-balik Trieste-Shanghai membawa pengungsi Yahudi (Foto: ushmm.org ) Tapi ketika kapal belum sepenuhnya tenggelam, upaya itu gagal karena para krunya keburu ditangkap serdadu Jepang. Conte Verde lantas diselamatkan dan diperbaiki Jepang, disulap jadi kapal kargo bernama Teikyo Maru meski tulisan Conte Verde di lambungnya tak diubah. Ia sempat dihantam pembom B-24 Liberator Amerika pada 8 Agustus saat tengah berlayar di Sungai Huangpu. Total enam bom menimpa Teikyo Maru yang membuatnya oleng ke kanan sebelum akhirnya karam di perairan dangkal itu. Sebulan kemudian Teikyo Maru coba diperbaiki dan ketika sudah bisa mengapung lagi, ia ditarik kapal lain untuk dibawa ke galangan kapal Mitsubishi Konan di pelabuhan Sungai Huangpu. Selesai diperbaiki, ia diubah menjadi kapal angkut personil pasukan pada awal 1945 dan berganti lagi namanya menjadi Kotobuki Maru . Namun nasib apes kembali menimpanya pada 25 Juli 1945. Saat sedang berlabung di Pelabuhan Maizuru, Kyoto, ia diserang oleh pesawat pembom Sekutu. Usahanya untuk kabur gagal dan setelah terkena beberapa bom, Kotobuki Maru terdampar di pesisir Teluk Nakata. Ia lantas terbengkalai begitu saja hingga pada 13 Juni 1949 datang keputusan dari otoritas Jepang agar ia dikanibal dan dibesituakan.

  • Kartini dan Sekolah Bidan

    DALAM tur keliling Jawanya untuk memulai pendirian sekolah bagi kaum putri, Direktur Departemen Pendidikan, Agama, dan Industri Hindia Belanda Jacques Hendrij Abendanon sempat mampir ke rumah Bupati Jepara Sosroningrat. Kunjungan Abendanon itu atas usulan penasihat pemerintah kolonial Christian Snouck Hurgronje. Menurut Hurgronje, putri Bupati Sosroningrat cukup terkenal karna berani melanggar feodalisme Jawa dan punya ide untuk menyediakan pendidikan bagi anak perempuan. Saran Hurgronje terbukti. Dalam pengantarnya di buku surat-surat Kartini, Door Duisternis tot Licht,  Abendanon mengaku perkenalan dan keramahan keluarga Sosroningrat membuatnya cukup tercengang. Pada kesempatan berikutnya, Abendanon mengundang Kartini dan keluarganya ke Batavia. Dalam sebuah pertemuan Kartini berbincang dengan direktur HBS untuk perempuan Van Loon. Hasilnya, Van Loon bersedia membantu Kartini bila ia hendak meneruskan pendidikan di sekolahnya. Pertemuan ini lantas dikisahkan Kartini pada sahabat penanya, Estella Zeehandelaar. Dalam surat bertanggal 11 Oktober 1901, Kartini mengisahkan betapa bahagianya ketika tawaran bantuan untuk melanjutkan pendidikan berdatangan. “Dengan kehendaknya sendiri menawarkan kepada kami apabila mau, untuk mendidik kami menjadi bidan dengan cuma-cuma,” kata Kartini dalam suratnya. Kartini juga mengatakan keberadaan bidan di Hindia Belanda masih amat sedikit, padahal mereka amat dibutuhkan. Tiap tahun di Jawa atau seluruh Hindia Belanda, sekira 20 ribu perempuan meninggal kala melahirkan. “Dan 30 ribu anak lahir meninggal karena pertolongan bagi perempuan bersalin yang kurang memadai,” sambungnya. Pertolongan persalinan saat itu umumya diberikan oleh dukun beranak karena bidan amat jarang. Padahal, upaya pelatihan bidan sudah dilakukan sejak awal abad ke-19. Dinas Layanan Medis Sipil pada 1809 mengeluarkan aturan, dokter-dokter di kota besar seperti Batavia, Surabaya, dan Semarang ditugaskan melatih perempuan pribumi dan Eropa menjadi bidan. Tugas serupa juga dibebankan pada bidan-bidan Eropa mulai 1817. Pada 1825, sekolah bidan didirikan di Batavia. Sayangnya, sekolah ini sepi peminat. Keinginan pemerintah kolonial menghadirkan praktik kebidanan di negeri jajahan berbenturan dengan amat minimnya antusiasme penduduk pribumi. “Dulu sekolah bidan di Hindia Belanda amat sedikit peminatnya. Sempat buka-tutup dan dievaluasi karena banyak lulusannya tidak terserap di pasar kolonial,” kata Martina Safitry, dosen IAIN Surakarta, dalam webinar Bincang Sejarah Masyarakat Sejarawan Indonesia bertajuk “Membaca Kartini”. Ide pelatihan bidan pribumi kembali dibicarakan pada 1836 untuk mengisi kekosongan posisi bidan di tingkat kota. Menurut Kepala layanan medis EA Fritze, mengajarkan perempuan pribumi untuk memenuhi kebutuhan bidan hingga ke luar Pulau Jawa harusnya tidak sulit. Pemerintah kemudian getol mengajak anak gadis pribumi untuk mau masuk sekolah bidan. Mereka dijanjikan akan mendapat pekerjaan, sekolah gratis, bahkan biaya hidup, persis seperti yang ditawarkan pada Kartini kemudian hari. Hillary Marland menyebutkan dalam artikelnya “Midives, Missions, and Reform” yang termuat dalam buku Medicine and Colonial Identity , pada 1875 sekolah bidan terabaikan karena ongkos yang terlalu mahal. Untuk meyakinkan pemerintah Hindia Belanda akan perlunya peningkatan jumlah bidan di negeri jajahan, dokter Van Buuren yang berugas di Kediri memberi gambaran tentang kasus-kasus yang pernah ia temui. Seperti dicatat Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market, Van Buuren mengaku sering  dipanggil untuk menangani persalinan sulit yang gagal ditangani dukun beranak. Setiap tahun, sebagaimana dicatat Ven Buuren, ada 9000 perempuan meninggal saat melahirkan; 6000 dari mereka bisa diselamatkan bila upaya penambahan bidan kembali dilakukan. “Setelah dievaluasi dan dibuka kembali, sekolah banyak mengirim surat ke kepala daerah agar mengirimkan anak-anak perempuan untuk dilatih menjadi bidan,” kata Martina. Pada April 1898 Direktur Pendidikan, Agama dan Industri, O. van der Wijck mendirikan sekolah untuk bidan. Ia juga memerintahkan agar tiap dokter setidaknya melatih enam calon bidan. Setelah ia digantikan Abendanon, ahli etika yang bertugas menjalankan kebijakan Politik Etis, tahun 1900, upayanya tetap berlanjut. Abendanon juga menaruh perhatian pada layanan persalinan oleh bidan. Abendanon jugalah yang menjanjikan Kartini tentang kesempatan untuk masuk sekolah medis bagi anak perempuan. Pada November 1902 Abendanon meminta para administrator daerah mengumumkan program pelatihan untuk para bidan di wilayah masing-masing. Dia kembali mengirim surat kepada administrator daerah agar mengadakan pelatihan kebidanan dan merekrut banyak siswa pada Agustus 1904. “Pada zamannya, Kartini mengemukakan bahwa tidak banyak sekolah untuk perempuan pribumi, khususnya sekolah kesehatan. Pada waktu itu Kartini dan adik-adiknya tertarik untuk masuk sekolah bidan di samping keinginannya sekolah di Belanda,” kata Martina. Namun apa daya, keinginan mereka tak sejalan dengan kondisi zaman. Untuk mewujudkan keinginannya bersekolah, Kartini memerlukan izin ayahnya. “Stella, maafkanlah seorang ayah yang bimbang melepaskan anak-anaknya kepada nasib yang tidak tentu,” kata Kartini, yang juga dibebani oleh kondisi kesehatan ayahnya. Kartini tak tega meninggalkan ayahnya dalam kondisi lemah. “Saya tidak akan dapat tenang sekejap pun apabila saya tahu ayah menderita dan memerlukan pertolongan,” katanya. Pada akhirnya, Kartini tak jadi memenuhi harapannya untuk melanjutkan sekolah. Ia meninggal pada 1904, empat hari setelah melahirkan putra pertamanya dengan bantuan dokter Ravesteijn.*

  • Om Kacamata di Banda Neira

    SUATU sore di Teluk Neira, Maluku, tahun 1936, sekumpulan bocah laki-laki tengah sibuk bermain menikmati mentari senja. Des Alwi Abubakar, kala itu usianya belum genap 10 tahun, ada di antara mereka yang memanjakan diri berenang menembus ombak laut khas Banda. Kelak nama Des Alwi akan dikenal sebagai seorang sejarawan, advokat dan diplomat. Kesenangan bocah-bocah itu terganggu saat seorang penjaga pelabuhan memperingatkan akan datangnya kapal yang berlabuh ke arah mereka. Kapal putih berbendera Belanda tiba. Dua orang tidak dikenal, mengenakan stelan jas (krem) lengkap dengan sepatu putih, turun. “Tuan-tuan itu berwajah pucat,” kenang Des Alwi seperti diungkapkan dalam Hatta: Jejak yang Melampaui Zaman . Dua orang itu kemudian mendekati Des dan kawan-kawan. Tuan yang tubuhnya lebih pendek menanyakan rumah Tjipto Mangoenkoesoemo, sementara tuan berkacamata hanya diam tersenyum. Berhubung rumah Tjipto jauh, Des menunjukkan rumah Iwa Koeseomasoemantri. Posisinya tepat di depan dermaga. Rupanya tuan-tuan pucat itu adalah Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Mereka baru saja dipindah dari Boven Digul, sebuah tempat pembuangan orang-orang republik yang anti pemerintah kolonial Belanda. Bung Hata dan Bung Sjahrir akan bergabung dengan Tjipto dan Iwa yang sudah sejak 1928 dibuang ke Pulau Banda. Hari-hari mereka di pembuangan tidak sesepi yang dibayangkan. Des dan kawan-kawannya sering bermain di sekitar rumah Hatta-Sjahrir sehingga meramaikan kediaman besar itu. Bocah-bocah Banda ini cepat dekat dengan keduanya. Bung Sjahrir mendapat sapaan “Om Rir”, sedangkan Bung Hatta akrab disapa “Om Kacamata”. Sapaan Om Kacamata ada karena Bung Hatta tidak pernah melepas benda itu, kecuali ketika tidur. Anak-anak menilai Bung Hatta orang yang kaku, pendiam, dan sangat bertolak belakang dengan sifat kawannya Om Rir. Banyaknya koleksi buku juga membuat hari-hari Om Kacamata hanya diisi dengan membaca dan berdiskusi. Dari pertemuannya dengan Om Kacamata dan Om Rir, Des Alwi menerima pengetahuan yang begitu luas. Ia belajar bahasa Belanda, Inggris, dan Prancis, di samping berbagai pelajaran ilmu politik yang memang menjadi keahlian dua tokoh pendiri bangsa tersebut. Tak lupa, Des dan anak lain diajarkan tentang berhitung, sejarah, serta etika. Kedekatan itu belakangan membuat dua Bung akhrinya meminta izin kepada Raja Baadilla, tokoh Banda keturunan Arab, untuk menjadikan Des dan yang lainnya sebagai anak angkat. Raja Baadilla dan keluarga anak-anak pun setuju. Des, Does, Lily, Mimi, dan Ali resmi menjadi anak angkat Bung Hatta dan Bung Sjahrir. “Om Kacamata dan Om Rir membunuh rasa bosan yang mengigit dengan bermain gundu, sepakbola, mendaki gunung, memetik kembang anggrek, atau menikmati bulan putih di langit malam Banda.” Pada 31 Januari 1942, turun perintah untuk memulangkan dua Bung ke Jakarta. Pesawat kecil jenis Catalina disiapkan dekat Dermaga Neira. Sebelum berangkat, Bung Hatta mengajukan satu syarat kepada pemerintah Hindia Belanda: membawa serta anak angkatnya ke Jakarta. Permintaan itu dikabulkan. Namun menjelang keberangkatan, pesawat tidak mampu menahan berat semua penumpangnya. Akhirnya disepakati, Des tinggal dulu untuk menjaga peti-peti buku Bung Hatta yang belum sempat terangkut. Satu anak lagi yakni Does batal ikut karena orangtuanya keberatan. Tiga bulan kemudian, Des menyusul ke Jakarta. Ia lalu tinggal di kediaman Om Kacamata.*

  • Benarkah R.A. Kartini Dipengaruhi Freemason?

    R.A. KARTINI sohor karena surat-suratnya. Goresan pena kepada para sahabat di Belanda memperlihatkan beragam pemikiran yang modern pada zamannya. Namun, tak sedikit pula yang mencemoohnya bahwa ia hanyalah alat politik kolonial. Bahkan, belakangan ia juga disebut dipengaruhi oleh Freemason.

  • Aksi Nommensen di Tanah Batak

    MALAPETAKA yang terjadi akibat epidemi kolera di Tanah Batak sungguh mengerikan. Saat itu, angka kematian pada anak-anak sangat tinggi. Kampung-kampung yang tercemar wabah terasa mencekam bahkan ada yang ditinggalkan penghuninya. Sebagian besar keluarga memiliki lebih banyak anak di kuburan daripada di rumah. Diperkirakan, tiga perempat dari populasi anak yang dilahirkan telah meninggal sebelum usia delapan tahun. Demikianlah catatan Ludwig Ingwer Nommensen dalam suratnya tertanggal 5 Juli 1875 yang menggambarkan situasi di kawasan Batak Toba, Tapanuli Utara. Nommensen adalah misionaris zending  utusan dari Seminari  Rheinische Missionsgesellschaft  (RMG) di Wupertal-Barmen, Jerman. Dia bertugas menjadikan Tanah Batak sebagai ladang penginjilan. Ketika Nommensen memulai pekabaran Injil, penyakit menular yang disebut rakyat setempat “ Begu Atuk”  tengah mewabah. Selain Nommensen, koleganya Peter Henrich Johannsen juga menyaksikan keadaaan yang sama pilu. Johannsen melaporkan sekira 20–30 orang meninggal setiap hari di Lembah Silindung. Orang tua yang depresi bahkan melakukan bunuh diri karena kehilangan anak-anak mereka. Apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Batak? Krisis Kesehatan Menurut sejarawan Belanda Sita van Bemmelen yang meneliti surat-surat Nommensen, epidemi kolera 1875 mungkin sangat ganas tetapi penyakit lain juga datang silih berganti. Wabah disentri, tipus, dan cacar terjadi secara teratur dan sering mengamuk selama berbulan-bulan. Krisis kesehatan itu ternyata bertemali dengan gejolak agresi yang memasuki Tanah Batak Invasi pasukan Padri sekitar 1839 dan pendudukan tentara Belanda pada 1878, 1883, dan 1889 berdampak negatif terhadap situasi kesehatan. Hal ini dikarenakan persediaan makanan di kampung-kampung sering disita oleh musuh. Banyak orang mengalami demam terus menerus, mengurangi resistensi mereka terhadap penyakit. “Anak-anak remaja sangat rentan. Di samping penyakit yang disebutkan di atas, mereka juga meninggal karena campak, batuk rejan, dan cacar air,” tulis Sita dalam Christianity, Colonization, and Gender Relations in North Sumatra . Nommensen melihat langsung betapa buruknya tingkat kesehatan orang Batak. Pada 1866, di seluruh Lembah Silindung, ribuan anak sekarat karena cacar air. Banyak dari mereka yang sakit itu mencari pertolongan ke Huta Dame, kampung Kristen yang dibangun Nommensen. Sang misionaris menyadari Batakmission  yang dirintisnya mesti berpartisipasi dalam menghadapi krisis itu. Untuk itu, sekolah Kristen Batakmission  yang didirikannya beralihfungsi menjadi balai kesehatan. “Dia terbukti sebagai seorang diakon Kristen sejati dalam pelayanannya kepada orang sakit, mengorbankan waktu tidur yang sangat dibutuhkan untuk merawat mereka agar kembali sehat,” tulis Martin E. Lehman dalam Biographical Study of Inger Ludwig Nommensen 1834--1918: Pioneer Missionary to The Bataks Sumatra . Mengobati Orang Sakit Nommensen menggunakan terapi homeopati dalam pelayanan kesehatannya. Metode homeopati merupakan pengobatan alternatif yang menggunakan larutan dari bahan alam, baik berasal dari hewan maupun tumbuhan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. Dalam surat-menyuratnya yang diterbitkan berkala RMG, Nommensen menjelaskan bagaimana cara mengatur distribusi obat homeopati  di wilayah Silindung. “Nommensen, yang sangat tertarik dalam perawatan kesehatan dan ahli dalam perawatan homeopati, melaporkan bahwa kematian yang tinggi juga disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang perawatan anak yang tepat dan perawatan orang sakit,” tulis Sita van Bemmelen. Perawatan ala Nommensen bukan tanpa hasil. Menurutnya angka kematian diantara kampung Kristen lebih rendah daripada populasi Batak tradisional. Perbandingan ini dapat ditilik dari catatan daftar kelahiran dan kematian. Yang menarik, pelayanan kesehatan juga telah memberikan dampak sosial perihal kemanusiaan. Orang-orang dari Toba ikut berdatangan ke Silindung lantaran daerah itu telah bebas dari praktik perbudakan. Dalam misi penginjilannya, Nommensen memang aktif menebus hatoban  (budak ) untuk disekolahkan. Ketika kolera mewabah pada 1870-an, Nommensen tetap menggiatkan pelayanan medis. Dalam bukunya Tuanku Rao Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar mencatat, Nommensen ditemani Raja Pontas Lumbantobing –raja Batak pertama yang memeluk Kristen– berkelliling menjalankan sanitasi kontrol di Huta Dame dan Sait ni Huta. Di Toba dan Silindung, hanya dua kampung itu saja yang bebas dari wabah kolera. “Ribuan orang-orang Silindung, Humbang, dan Toba, mendadak datang kepada Pendeta Nommensen untuk mencari perlindungan terhadap kolera. Oleh Pendeta Nommensen tidak satu pun yang ditolak,” tulis Parlindungan Siregar. Epidemi kolera memberi ruang bagi para misionaris Batakmission  turut serta dalam aktifitas pelayanan kesehatan. Mereka merawat orang sakit, menyalurkan obat-obatan, dan mengajarkan pengetahuan kesehatan. Menurut Guru Besar Teologi Jan Sihar Aritonang, para misionaris mulai melihat bahwa pelayanan kesehatan adalah salah satu kegiatan terbesar mereka. Pelayanan ini sekaligus membendung pengaruh datu  (dukun Batak) yang oleh misionaris dianggap keliru, baik dari sudut pandang kedokteran maupun iman Kristen. “Untuk itu, di Seminari Pansur Napitu, dan sebelumnya di Sikola Mardalan-dalan (di Silindung), para siswa diberikan studi medis agar mereka dapat memberikan beberapa layanann kesehatan di tempat kerja mereka,” tulis Jan Sihar Aritonang dalam Mission School in Batakland, 1861—1940 . Begitu banyak orang-orang Batak yang merasakan manfaat dari pelayanan kesehatan. Dengan demikian, mereka bersedia pula dibaptis. Pada masa-masa gejolak epidemik kolera, Martin Lehman mencatat, cukup banyak tokoh berpengaruh, seperti raja-raja lokal maupun tetua adat yang berpindah keyakinan dari agama tradisional menjadi Kristen. Misi Kristen rintisan Nommensen kian maju dan meluas. Sekolah dan gereja semakin banyak menghimpun orang-orang Batak sebagai jemaat. Pada 1901, rumahsakit pertama di wilayah Batak Toba didirikan oleh Batakmission  di Pearaja, Silindung. Tanah Batak yang tadinya dilanda banyak wabah penyakit itu kini memulai abad baru menuju peradaban modern.*

  • Di Balik Lambatnya Kasus Covid-19 di Bali

    ALKISAH di dalam pewayangan, tersebutlah sebuah Kerajaan Amarta yang sedang mengadakan upacara selamatan. Kresna hendak menghadirinya. Di tengah perjalanan, ia bertemu dengan pasukan raksasa, balatentara Durga. “Hey, kamu para tentara Durga hendak ke mana?” tanya Kresna. Rupanya para raksasa itu dalam perjalanan menuju Kerajaan Chedi. Orang-orang di kerajaan itu sudah lupa bersembahyang dan melakukan upacara. “Kami diperintahkan oleh Durga untuk menghancurkan kerajan itu dan membuat mereka sakit,” jawab raksasa. “Berapa kamu minta penduduk di sana untuk kamu buat sakit dan mati?” tanya Kresna lagi. “Hanya seribu,” jawab raksasa. Kresna lalu melanjutkan perjalanan ke timur, ke arah Amarta. Sementara pasukan raksasa juga berangkat untuk melaksanakan tugasnya. Selesai acara di Amarta, Kresna kembali ke kerajaannya. Para raksasa juga pulang setelah selesai menunaikan perintah Bhatari Durga. Mereka bertemu lagi di jalan. “Hey raksasa, mengapa kalian membunuh 5.000 orang? Katanya hanya 1.000?” tanya Kresna. “Sebenarnya kami tetap membunuh 1.000. Tetapi 4.000 lainnya mati karena lari ketakutan. Mereka mati karena tak mengikuti perintah dari raja,” jawab raksasa. Kisah itu dituturkan oleh dalang I Gede Wiratmaja Karang yang juga dosen Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar dan guru SMKN I Bangli, dalam diskusi “Eksistensi Wabah: Fakta Masa Lampau Hadir pada Masa Kini”, yang diadakan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) melalui aplikasi Zoom di Jakarta, Selasa (21/4/2020). Di balik cerita itu, mungkin tersimpan jawaban mengapa kasus Covid-19 di Bali relatif lebih lambat dibandingkan wilayah lain. I Gede Wiratmaja Karang menjelaskan bagi orang Bali, ada empat guru utama ( catur guru ) yang harus dipatuhi, yaitu pendeta sebagai guru pengajian , pemerintah sebagai guru wisesa , apa yang termuat dalam kitab sebagai guru swadhyaya , dan orangtua sebagai guru rupaka . “Itu ( catur guru , red.) patuhi saja. Kita tetap waspada, tidak usah dibesar-besarkan, hadapi dengan tenang, ikuti aturan yang sudah ditetapkan pemerintah, pasti berhasil,” katanya. Selama hampir tiga bulan pandemik Covid-19, pada 21 April 2020 di Bali tercatat 150 orang postif, 42 orang sembuh, dan tiga orang meninggal dunia. Minimnya kasus Covid-19 di Bali bahkan sempat menjadi perhatian media asing. John Mcbeth memberitakannya lewat tulisan berjudul “Bali’s mysterious immunity to Covid-19” di asiatimes.com. “Dua kematian Covid-19 di pulau itu sejauh ini adalah orang asing, termasuk seorang perempuan Inggris dengan masalah kesehatan yang mendasarinya,” tulisnya. Sementara itu, per 21 April 2020 di seluruh Indonesia tercatat 7.135 orang positif, 842 orang sembuh, dan 616 orang meninggal dunia. Mcbeth menulis keheranannya melihat di Bali tak ada cerita luapan pasien di rumah sakit. Peningkatan jumlah yang tajam di krematorium atau bukti lainnya yang bisa menunjukkan merajalelanya virus ini di pulau itu juga tak tampak. Padahal dari 4,2 juta populasi di Pulau Dewata, ribuannya adalah warga negara asing. Lambatnya kasus Covid-19 di Bali pun disebut sebagai fenomena “kekebalan yang misterius” oleh media asing itu. Bagaimana cara orang Bali mempertahankan diri dari wabah penyakit menjadi menarik. Mengingat pulau itu adalah tujuan wisata dari seluruh dunia. Ditambah lagi, berdasarkan keterangan Mcbeth, jumlah kedatangan wisatawan Tiongkok ke Bali meningkat sebesar 3 persen pada Januari 2020. Itu adalah bulan yang sama ketika Wuhan menetapkan kebijakan lockdown.   Kepercayaan tentang Wabah I Gede Wiratmaja Karang menjelaskan bagaimana orang Bali pada masa lalu dan kini menyikapi dan melawan wabah. Wabah oleh orang Bali disebut dengan sasab atau grubug.   Istilah sasab  diambil dari bahasa Sanskerta yang artinya terkunci dan tersembunyi. Jadi, penyakit yang ditimbulkan pun adalah penyakit yang tertutup. Pengobatannya juga sangat rahasia dan tertutup, susah untuk diselesaikan secara akal sehat. Ada banyak mitologi yang dipercayai orang Bali untuk menjelaskan awal mula terjadinya wabah penyakit. Di antaranya tertulis di dalam beberapa lontar yang diwarisi hingga kini. Salah satunya yang menjelaskan kalau wabah berjangkit akibat Durga turun ke bumi. Setelah 12 tahun berada di dunia, Siwa pun turun menyusulnya dalam wujud ugra -nya. Keduanya pun bertemu di dunia. Mereka lalu berkasih-kasihan. Saat keduanya bersenang-senang menghadap ke arah timur, ketika itulah terjadi grubug . “Saat keduanya menghadap timur, konon banyak orang yang sakit, biasanya muntah-muntah,” ujarnya. Lalu ketika menghadap selatan, penduduk sakit terkena virus. “Sakitnya kena sasab  dan merana,” katanya. Saat sepasang dewa itu menghadap ke barat, penduduk akan terkena muntaber. Ketika menghadap ke utara, penduduk akan sakit seluruh badannya atau disebut gering lumintu . “Kalau berada di tengah, biasanya penduduk sakit organ dalam, sakit telinga, hidung, dan tenggorokan yang diserang. Ini berdasarkan mitologi sakit di Bali,” jelasnya. Dalam lontar lain juga ada cerita kisah Dewi Sri yang turun ke bumi karena dikejar dua raksasa kembar. Konon, inilah yang kemudian menyebabkan wabah penyakit atau sasab.   “Jadi banyak mitologi zaman dulu yang terwarisi di Bali, terkait dengan sasab ,” ujarnya. Tradisi Pengobatan Sasab sudah dibicarakan oleh orang Bali Kuno sejak abad ke-11 berdasarkan Prasasti Pura Kehen yang tersimpan di Pura Kehen. Isinya menguraikan, kala itu di Desa Bangli merebak wabah penyakit yang disebut kegeringan  atau grubuh. Banyak penduduk meninggal dunia. “Karena banyak yang meninggal, desa di Bangli ini akhirnya di  lockdown oleh raja,” jelas I Gede Wiratmaja Karang. Sementara budaya pengobatannya, secara tradisional orang Bali mengenal dua kelompok lontar: kelompok usadha dan tutur. Tutur berisi tentang aksara gaib, anatomi tubuh manusia, falsafah sehat dan sakit, cara mendiagnosis penyakit. Sementara usadha berisi pengobatan, baik secara umum maupun dengan rajah atau benda bertuah. Orang yang menjalankan usadha disebut balian. Istilah ini dalam sebutan baliyan atau prabaliyan  disebut dalam beberapa prasasti yang dikeluarkan oleh Sri Haji Jayapangus (1177–1181). “Dikeluarkan oleh Wangsa Warmadewa juga ada. Ini menandakan pada masa Bali Kuno sudah ada penanganan penyakit,” katanya. Dalam naskah keagamaan, seperti Rig-veda , ditemukan pula cara menangani penyakit. Di antaranya mengkonsumsi makanan sehat dan bernapas dengan baik. “Napas itu sumber kehidupan. Mengapa? Dalam hitungan orang Bali jantung adalah unsur utama kehidupan, selanjutnya napas, hati, usus, pankreas, empedu, dan diafragma, semua itu yang mengatur kehidupan manusia,” jelasnya.   Semua unsur dalam tubuh adalah simbol dari Tuhan, kehidupan, dan alam. Jadi, bagi orang Bali kalau sudah bisa menyeimbangkan alam kecil yang ada di tubuh dengan alam besar yang ada di dunia ini, kehidupan akan selalu berjalan aman dan bahagia. Tak akan sakit. Bagi orang Bali, pengobatan cara tradisional ini masih relevan dengan masa kini. Bahkan, banyak orang Bali menjadikannya pilihan pertama alih-alih mereka menjalani pengobatan medis modern. “Kita jangan berpandangan secara modern saja, karena banyak contoh tradisi yang sangat ampuh menghadapi permasalahan modern,” ujarnya. “Di Bali tradisi masih dijaga, masih dimanfaatkan, masih kami gunakan.” Pun dalam menangani penyakit, selain berobat ke seorang baliyan , pendeta atau dokter, biasanya orang Bali selalu mengiringi prosesnya dengan doa. “Manusia itu beragama karena takut mati dan sakit. Jadi pendekatan agama dan budaya sangat diperlukan dalam menangani pandemi sekarang,” katanya.*

  • Akhir Riwayat Freemason di Indonesia

    KEHADIRAN Freemason di Indonesia sudah melewati jalan yang panjang sejak loji mason pertama didirikan di Batavia pada 1762. Perkembangannya makin pesat sejak 1870 ketika loji-loji bermunculan di pusat-pusat komunitas Eropa di Jawa, Sumatra, dan Sulawesi. Namun, seabad kemudian senjakala Freemason di Indonesia tiba bersamaan dengan pendudukan Jepang.

bottom of page