top of page

Hasil pencarian

9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Perintah Receh Jenderal Panggabean

    Kolonel Sayidiman Suryihadiprodjo seyogianya merampungkan kunjungan dinasnya di Sulawesi Selatan. Bersama Mayor Jenderal Askari, Panglima Komando Antar Daerah Indonesia Timur (KOANDA-IT), Sayidiman selaku utusan pusat mengadakan sidak operasi penyelesaian sisa-sisa pemberontakan Darul Islam. Namun di tengah perjalanan dari Makassar menuju Paloppo, ada panggilan dari Jenderal Maraden Panggabean yang disambungkan lewat radio. Sayidiman diminta kembali ke Jakarta. Segera. “Memang sudah sejak tahun 1965 ketika beliau diangkat menjadi Deputi Pembina TNI-AD, Pak Panggabean sering kali memberikan penugasan langsung kepada saya,” tutur Sayidiman dalam otobiografinya  Sayidiman: Mengabdi Negara sebagai Prajutit TNI . Selain menjabat Deputi Pembina, Panggabean juga merangkap Deputi Operasi. Sementara Sayidiman merupakan perwira diperbantukan (Paban) bidang operasi. Itu berarti, Panggabean adalah atasan langsung Sayidiman. Perintah dari Panggabean membuat Sayidiman sukar menunaikan tugasnya di Sulawesi. Sayidiman khawatir ada hal serius sehubungan dengan perkembangan di Jakarta. Pun sebelum berangkat, Sayidiman lapor dulu kepada Panggabean untuk izin dinas selama seminggu. Dalam benaknya, tentu terjadi hal yang tidak beres sehingga diperintahkan lekas kembali. Maka tanpa pikir panjang, Sayidiman membatalkan perjalanan ke Palopo.   Setelah pamit kepada Askari, Sayidiman bergegas pulang. Yang jadi persoalan, akses perhubungan di Sulawesi terbilang sulit. Infrastruktur jalan dan kendaraan masih belum banyak. Jumlah penerbangan pun terbatas. Sayidiman menunggu sampai sore hingga seorang perwira Kodam XIV/Hasanuddin yang sedang melintas menuju Makassar bersedia ditumpangi. Keesokan harinya, Sayidiman langsung mengambil rute pesawat tercepat menuju Jakarta. Setiba di Jakarta, Sayidiman menghadap Panggabean ke rumahnya. Ternyata sama sekali tidak ada masalah urgen yang mesti diselesaikan. Menurut Sayidiman, Panggabean kurang percaya dengan orang-orang lain yang bersangkutan dengan pengendalian operasi. Sayidiman mendongkol dalam hati karena hal sepele jadi tidak dapat melaksanakan tugasnya di Sulawesi.  “Akan tetapi begitulah kehidupan tentara mana pun di dunia,” kenang Sayidiman. “Ini masih baik bahwa saya dipanggil karena dipercaya oleh atasan.” Walau begitu, insiden perintah receh ini tidak sampai membuat Sayidiman dan Panggabean berkonflik. Malahan keduanya tetap akur secara pribadi bahkan berlanjut dalam pekerjaan. Ketika Panggabean menjadi Ketua Dewan Jabatan dan Kepangkatan Perwira Tinggi (Wanjakti), Sayidiman mendampingi sebagai sekretaris. Munculah pendapat di kalangan Staf Umum Angkatan Darat (SUAD) bahwa Sayidiman perwira kesayangan Panggabean. “Meskipun saya selalu berusaha untuk bersikap baik terhadap orang lain, namun tak dapat dicegah timbulnya anggapan bahwa saya ‘anak emas’,” ujar Sayidiman mengungkapkan relasinya dengan Panggabean.    Pada 1973, Sayidiman dan Panggabean sama-sama menggapai karier tertinggi mereka sebagai tentara. Panggabean mencapai puncak paripurna sebagai Panglima ABRI yang membawahi semua matra. Sementara itu, Sayidiman menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat.

  • Kisah Anak Langgar dan Mantri Galak

    SAIFUDDIN Zuhri, mantan menteri agama era pemerintahan Sukarno, memiliki pengalaman pahit berurusan dengan pihak keamanan. Sewaktu usianya 12 tahun, Zuhri terlibat cekcok dengan seorang mantri polisi –sebutan untuk penjaga ketertiban di pedesaan yang dipekerjakan oleh pemerintah Hindia Belanda– karena permasalahan sepele. Peristiwa itu terjadi pada 1931 di tempat kelahirannya: Kawedanan Sokaraja, Banyumas. Selepas mengikuti pelajaran Qiraat  Al-Qur’an di Pesantren Musri, Zuhri memutuskan menghabiskan malam di langgar bersama teman-temannya. Dikisahkan Zuhri di dalam biografinya Saifuddin Zuhri: Berangkat dari Pesantren , kegiatan seperti itu memang rutin dilakukannya ketika malam Jumat tiba. Mereka biasa mengisi waktu di langgar dengan menghafal Al-Qur’an, meski lebih sering habis karena keasyikan berbincang. Sekira pukul 10 malam, saat semua orang telah bersiap untuk tidur, sorotan cahaya tetiba memecah kegelapan di langgar tersebut. Zuhri dan kawan-kawannya terkejut dengan sinar yang amat menyilaukan itu. Mereka yang sedang berbaring serentak terbangun sambil membetulkan letak sarungnya. “Hei, matikan sorot lampu itu!” teriak Ahmad Sadeli, jagoan pencak silat di kelompok itu. “Jangan kurang ajar ya!” yang lain ikut berteriak. Cahaya yang ternyata berasal dari lampu senter itu akhirnya dipadamkan. Setelah diperhatikan jelas, orang yang datang ke langgar itu adalah Ndoro Tuan Mantri Polisi. Penduduk kampung mengenalnya sebagai ambtenaar (pegawai pemerintah) Hindia Belanda. Menurut Zuhri mantri polisi ini mempunyai perangai yang keras, lambang kekuasaan yang tak mengenal rakyat. Di kalangan anak-anak muda ia dijuluki “mantri galak”. “Apakah jalan ini menuju ke rumah Karminem?" tanya mantri polisi itu dalam bahasa Jawa. Karminem adalah perempuan pendatang di kampung itu. Ia menyewa rumah di Kauman, sekitar 150 meter dari langgar tempat Zuhri bermalam. Dari kabar yang beredar Karminem merupakan janda muda yang sering menerima tamu laki-laki ke rumahnya. Ia sudah sering dilaporkan ke lurah setempat karena aktifitasnya itu meresahkan. Warga pun pernah melempari rumahnya dengan batu dan memintanya keluar dari Kauman. “ Embuh ora weruh ,” jawab Ahmad Sadeli menyatakan ketidaktahuannya. Mendengar jawaban itu, Si Mantri Polisi naik pitam. Mantri polisi menganggap jawaban Ahmad Sadeli itu tidak sopan karena menggunakan bahasa Jawa ngoko (bahasa sehari-hari) untuk orang yang derajatnya lebih tinggi seperti dirinya. “Haaahh? Ora iso boso ya ?” hardiknya. Boso mengacu pada bahasa Jawa yang lebih sopan. “Kalau seorang mantri polisi sendiri tidak bisa boso  apalagi saya yang cuma orang biasa,” jawab Ahmad Sadeli. Mantri Polisi terkejut. Pernyataan Ahmad Sadeli seolah memukul mentalnya. Tanpa berkata-kata, ia balik badan dan berjalan menuju jalan utama. Sorot lampu senternya mengarah ke rumah Karminem. Zuhri tidak tahu apakah ia berhasil menemukan rumah yang dicari atau tidak. Seketika gelak tawa pecah di antara anak-anak di langgar itu. Mereka saling berpelukan, seperti telah memenangkan suatu pertandingan. Namun suasana gembira itu tidak berlangsung lama. Mereka mulai khawatir dengan konsekuensi dari tindakan mereka mempermalukan seorang pejabat pemerintah Hindia Belanda. Zuhri takut akan ada balasan dari Si Mantri Polisi. Di tengah kekhawatiran itu, Kiai Hudlari, salah seorang guru Zuhri, keluar dari rumahnya yang berada tidak jauh dari langgar. Ternyata ia diam-diam mengikuti peristiwa barusan. “Ahsantum, ahsantum… bagus, bagus…” Kiai Hudlari mendekat. “Maafkan sikap saya tadi kepada Mantri Polisi,” ujar Ahmad Sadeli memberanikan diri. “Tak usah minta maaf,” ucap Kiai, “Bersikap sombong terhadap orang yang sombong itu sedekah. Orang sombong selamanya menganggap bahwa bersikap sombong itu benar. Dia tidak mengerti apa arti sopa santun. Mengira bahwa bersikap sopan itu tanda kelemahan.” “Kepada orang sombong kita dibolehkan sedikit sombong. Sikap ini memperlihatkan suatu ketegasan sambil menangkis kesombongan orang,” lanjut Kiai Hudlari. “Bersikap sedikit sombong pada orang yang sombong itu sedekah artinya memberi pelajaran. Bersikap sombong terhadap orang yang rendah hati adalah kurang ajar; bersikap rendah hati terhadap orang yang sombong adalah kelemahan. Adapun bersikap sopan kepada orang yang sopan santun itu perbuatan utama.” “Tapi dia seorang mantri polisi,” kata salah seorang anak  yang masih dibayangi rasa khawatir. “Biar saja. Seorang kadang-kadang tidak mau dinasihati dengan cara baik-baik. Tetapi dia akan ketanggor dinasihati oleh pengalaman buruknya.” Kiai berusaha menenangkan. “Jangan-jangan Mantri Polisi itu tidak akan tinggal diam begitu saja,” Zuhri nyeletuk. “Kalian tidak usah khawatir. Kalian toh tidak bersalah. Jika kalian mempunyai perasaan khawatir, gelisah atau takut, Mantri Polisi itu juga diliputi perasaan yang sama. Apalagi dia terang bersalah. Dia tentunya juga diliputi kegelisahan karena perbuatannya yang tidak terpuji ini. InsyaAllah tidak apa-apa. Semua hati manusia digerakkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dia Maha Kuasa mengubah pikiran tiap orang disebabkan karena berubahnya isi hati,” tegas Kiai Hudlari. Kekhawatiran Zuhri dan kawan-kawannya ternyata benar-benar terjadi. Dua hari setelah kejadian itu, 14 anak Kauman ditahan di kantor Asisten Wedana. Mereka lalu dihadapkan ke depan Mantri Polisi yang tampak geram melihat anak-anak itu.  Tiba-tiba Si Mantri Polisi berteriak. Ia mengeluarkan kalimat-kalimat dalam bahasa Belanda yang tidak dimengerti. Namun Zuhri yakin ucapannya itu adalah caci maki dan hardikan bagi anak-anak Kauman. Setelah masing-masing anak mendapat satu kali sepakan kaki dari Si Mantri Polisi, mereka digiring ke halaman depan kantor. Zuhri dan kawan-kawannya disuruh mencabuti rumput, menyapu halaman, dan membakar sampah. Tepat tengah hari, anak-anak itu diperbolehkan pulang. “Aku dan teman-temanku kan anak jajahan. Orang terjajah selamanya diperlakukan 'salah' dan 'kalah' meskipun berada di pihak yang benar,” ungkap Zuhri.*

  • Membohongi Presiden Filipina

    SEPERTI Jenderal Panggabean, penerusnya Jenderal M. Jusuf juga pernah memberi perintah aneh. Jusuf yang berasal dari Bone itu merupakan Panglima ABRI periode 1978-1983. Kali ini korbannya ialah Letkol (AL) Soedibyo Rahardjo, asisten Atase Pertahanan Indonesia urusan laut untuk Filipina. Sekali waktu, Soedibyo menerima telepon dari Asisten Intelijen ABRI Mayjen Benny Moerdani. “Dib, itu Raja Bugis mau melakukan courtesy-call  kepada Presiden Marcos. Kamu atur ya,” kata Benny sebagaimana dituturkan Sudibyo dalam otobiografinya The Admiral: Laksdya TNI (Purn.) Soedibyo Rahardjo . Raja Bugis adalah julukan Benny Moerdani kepada M. Jusuf. Keperluan Jusuf berkorespondensi dengan Marcos bertemali dengan kepentingan diplomatik dan pertahanan TNI. Saat itu jalur logistik gerakan separatis Filipina, Moro National Liberation Front (MNLF) kerap kali melintasi perairan Indonesia.      Sudibyo yang bertugas di Manila segera menghubungi pihak Istana Malacanang. Melalui perantaraan Jenderal Fabian Ver, Panglima Angkatan Bersenjata Filipina sekaligus orang kepercayaan Marcos, Sudibyo dapat menghadap Presiden Filipina itu. Marcos meminta jadwal kepada sekretarisnya. Ternyata Marcos punya agenda berkunjung ke provinsi Ilocos Norte dan akan berpidato di sana. Ilocos Norte merupakan kampung halaman Marcos. Kunjungannya ke sana tentu punya nilai penting. Kendati demikian, Marcos berpikir sejenak lalu memberi instruksi kepada stafnya. Di luar dugaan, Marcos bersedia mengganti jadwalnya berpidato di kampung halaman. “Saya akan terima tamu penting dari Indonesia,” kata Marcos. Dengan hati lega Soedibyo mengucapkan terimakasih kepada Presiden Marcos dan melaporkan sukses itu kepada Benny lewat telepon. Petaka datang beberapa hari menjelang kunjungan M. Jusuf ke Manila. Benny menelepon dan menyampaikan kabar buruk. Kejutan bagi Soedibyo.   “Dib, Raja Bugis nggak  jadi datang!” kata Benny. “Tapi Pak Benny, semua sudah diatur bahkan Presiden sampai-sampai membatalkan acaranya,” Soedibyo menyela. “Tidak tahulah, pokoknya kamu atur dan beritahu pembatalannya.” Klik. Benny menutup telepon. Soedibyo kelimpungan. Tidak habis pikir bagaimana rasanya membatalkan acara kunjungan, padahal tuan rumah sudah membatalkan sebuah acara penting. Dia datangi lagi Jenderal Ver memberitahukan pembatalan dadakan tersebut. Ver yang juga terkejut menyarankan agar Soedibyo mengatakan sendiri kepada Presiden Marcos. Saat memasuki ruang kerja Marcos, Soedibyo berkeringat dingin.   Marcos bertanya dengan wajah serius. Apa yang terjadi kepada Jenderla Jusuf sehingga membatalkan kunjungan ke Manila. Soedibyo putar akal mencari alasan. Dalam bahasa Inggris, dia mengatakan bahwa istri sang jenderal, Nyonya Elly Jusuf sedang sakit dan akan dioperasi. Oleh sebab itu, Jenderal Jusuf harus mendampingi istrinya. Mendengar itu, Presiden Marcos memperlihatkan wajah empati. Dia menawarkan untuk mengirimkan dokternya ke Jakarta apabila diperlukan. Soedibyo menolak seraya mengucapkan terimakasih. Dia mengatakan bahwa istri Jenderal Jusuf telah ditangani oleh beberapa dokter. Meski kecewa, Marcos akhirnya dapat menerima pembatalan sepihak kunjungan M. Jusuf. Tidak lupa Marcos menitipkan salam kepada M. Jusuf dan mengharapkan kesembuhan bagi Ny. Jusuf. “Plong hati saya,” kenang Soedibyo. “Meskipun saya berbohong kepada Presiden Republik Filipina, tetapi apa ada alasan lain untuk membenarkan pembatalasan tersebut?” Untunglah inisiden pembatalan sepihak itu tidak sampai mempengaruhi hubungan diplomatik kedua negara.*

  • Menikah di Tanah Merah

    KAMP Tanah Merah, Boven Digul, adalah neraka bagi orang-orang buangan. Namun, pengasingan di tengah belantara Papua itu tak menghalangi dua insan yang ingin menyatukan cinta. Mereka adalah Wiranta dan Nyi Cacih, pengantin pertama di kamp para pembangkang kolonial itu. Wiranta dan Nyi Cacih ikut dalam rombongan pertama yang dikirim pada Desember 1926. Keduanya dari Bandung. Wiranta seorang guru dan wartawan, sedangkan Nyi Cacih adalah anak gadis berusia 14 tahun yang turut dibuang bersama ayahnya, Sukanta Atmaja, seorang pegawai kereta api di Bandung. Bersama sekitar 300 orang mereka berlayar dari Tanjung Priuk menuju Surabaya, transit di Makassar dan Ambon, lalu ke muara Sungai Digul di Merauke. Dari muara, mereka menyusuri sungai hingga ke hulu yang jaraknya 300 km. Barulah mereka sampai di Tanah Merah. Hampir sebulan di atas kapal yang membosankan itu, justru mendekatkan Wiranta dengan Nyi Cacih. Mereka pun saling jatuh cinta. Di Tanah Merah, Wiranta merupakan tahanan yang cukup aktif. Ia memimpin organisasi kesenian, olahraga, dan sepak bola yang diberi nama Kunst, Sport en Voetbal Vereeniging Digoel  (KSDV). Sementara itu, cintanya dengan Nyi Cacih terus bersemi dan tak bisa dibendung lagi. “Delapan bulan setelah berada di Digul, Wiranta menghadap Asisten Residen, meminta izin untuk melangsungkan perkawinan dengan Nyi Cacih. Ternyata Asisten Residen kebingungan karena di sana belum membentuk Dinas Agama (Islam),” tulis Pikiran Rakyat , 6 Agustus 1977. Sebab itu, Harun Al-Rasyid, seorang buangan asal Surakarta yang juga murid Haji Misbach, ditunjuk sebagai penghulu. Sementara itu, dua orang kawan Wiranta, Uton dan Dasri yang juga berasal dari Bandung, menjadi saksinya. Akhirnya, hari itu, 10 Agustus 1927, Wiranta dan Nyi Cacih menjadi pasangan pertama yang menikah di kamp pembuangan Tanah Merah. Menurut Sunaryo Mangunadikusumo dkk. dalam Citra dan Perjuangan Perintis Kemerdekaan Seri Perjuangan Ex Digul , pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada kantor pencatat nikah. Selain karena tidak adanya kantor pencatatan, tindakan itu merupakan salah satu bentuk pembangkangan. “Pernikahan tidak tercatat di kantor pencatatan nikah pemerintah kolonial ini sebenarnya diajurkan dan dilakukan oleh orang-orang Sarekat Islam. Pendirian Sarekat Islam ini terus dilaksanakan oleh pengikut-pengikutnya yang dibuang ke Digul,” tulis Sunaryo dkk. Pernikahan di Boven Digul cukup dilakukan di hadapan kiai sebagai penghulu dan dua orang saksi di muka keluarga pengantin wanita. Cara ini sebenarnya sama dengan yang dilakukan penganut agama Islam sebelum adanya kantor pencatatan nikah. Pernikahan Wiranta dan Nyi Cacih tak hanya sampai di situ. Pada malam harinya diadakan pesta oleh seluruh penghuni kamp. “Asisten Residen mengirimkan satu peti bir dan kue-kue. Ia turut bergembira. Untuk pertama kalinya di Digul berlangsung satu pesta,” tulis Pikiran Rakyat . Saat itu, hanya ada dua alat musik yakni biola dan gitar yang dibawa oleh salah seorang tahanan. Kedua alat musik itu akhirnya digunakan untuk mengiringi seorang tahanan yang merupakan penyanyi asal Medan yang dikenal sebagai Samaudin Kacamata. Lagu Keroncong Kemayoran  menjadi lagu favorit malam itu. Acara pun berlangsung hingga pagi. Akibat acara semalam suntuk itu, Asisten Residen Boven Digul dicopot. Ia dianggap terlalu memanjakan tahanan dan dituduh telah melakukan persekongkolan. Selain itu, anggaran pemerintah kolonial untuk Boven Digul juga terkuras. Sementara itu, rumah tangga Wiranta dan Nyi Cacih bertahan hingga mereka bebas dari Boven Digul. Mereka dikaruniai tiga orang anak dan telah memiliki 17 cucu saat memperingati 50 tahun perkawinan mereka pada 10 Agustus 1977 di Bandung. Wiranta juga masih sempat menulis ketika di Boven Digul. Tulisannya yang berjudul “Antara Hidup dan Mati” atau “Buron dari Boven Digul” diterbitkan dalam Cerita dari Digul  yang disusun oleh Pramoedya Ananta Toer.*

  • Kala Kapal Perang Amerika USS Stark Dimangsa Rudal Irak

    DI tengah tugas patroli di Teluk Persia, pada 15 Mei 1987 Kapten Eric Brindel, komandan frigat Amerika Serikat (AS) USS Stark, rekreasi dengan berlayar bersama Laksamana Harold Bernsen, panglima Middle East Force (MEF) AS. Brindel lalu diberitahu bahwa telah terjadi sebuah insiden di mana militer Irak menyerang sebuah kapal di areal itu, sekira 60 mil dari posisi USS   Stark . Ancaman bahaya terhadap kepentingan AS di tengah Perang Iran-Irak (1980-1988) itulah yang membuat Brindel lalu diperintahkan Bernsen untuk menghadap asisten perwira intelijen MEF keesokan harinya. Sebelum mendapat pengarahan, Brindel diinformasikan tentang kondisi terbaru langkah-langkah yang ditempuh Irak di kawasan tersebut. Salah satunya, pergerakan pasukan Irak yang dikirim beberapa hari sebelumnya dan berpotensi menyerang siapa saja tanpa pandang bulu. Pengerahan pasukan militer Irak ke Teluk Persia meningkat saat itu. Presiden Irak Saddam Husein melakukannya untuk memburu kapal-kapal tanker minyak Iran yang mengangkut minyak ekspornya. Saddam paham betul tanker-tanker minyak Iran merupakan satu-satunya jalur ekspor minyak Iran.  Sementara di sisi lain, militer Iran menyerang kapal-kapal sipil negeri lain, terutama Kuwait, untuk mengamankan ekspor minyaknya dan memegang dominasi di perairan tersebut. Kuwait dijadikan sasaran Iran lantaran dukungannya terhadap Irak. “Dukungan Kuwait pada Irak termasuk memberikan pinjaman besar, mengizinkan penggunaan pelabuhannya untuk membongkar sebagian besar persenjataan Soviet yang ditujukan untuk Irak, dan bahkan mungkin termasuk mengizinkan pesawat Irak melewati wilayah udaranya dalam perjalanan untuk menyerang target-target di Teluk,” tulis Lee Allen Zatarain dalam America’s First Clash with Iran: The Tanker War, 1987-1988. Penyerangan kapal-kapal Kuwait dilakukan Iran untuk memaksa Kuwait menghentikan dukungannya terhadap Irak. Penyerangan itu meningkat pesat setelah Iran menguasai Semenanjung Faw tepat di seberang Pulau Bubiyan, Kuwait, pada Februari 1986. Pada tahun itu juga, tiga kapal tanker berbendera Kuwait dan 10 kapal berbendera lain diserang. “Frustrasi atas dukungan Kuwait terhadap Irak, dan menuntut agar Emir ‘bertaubat’ dengan mengakhirinya (dukungan), Iran berganti-ganti antara mengeluarkan ancaman dan isyarat perdamaian,” sambung Zatarain. Serangan Iran membuat Kuwait merasa tak cukup aman dengan berlindung di balik Irak. “Di bawah tekanan berat, Kuwait yang semakin putus asa beralih ke negara-negara besar untuk (mendapatkan) bantuan. Pada akhir 1986, Kuwait mendekati Amerika Serikat dan Uni Soviet dengan pokok menandai kembali setengah dari 22 kapal tanker milik perusahaan minyak negara Kuwait. Yang lebih penting dari sekadar perlindungan kapal adalah gagasan bahwa komitmen untuk menandai kembali akan menarik satu, dan kemungkinan keduanya, negara adikuasa lebih dalam ke Teluk. Tujuan utamanya adalah menggunakan keterlibatan mereka untuk mengakhiri perang.” Itulah sebabnya banyak kapal perang AS hadir di Teluk, lantaran AS secara resmi “mengabulkan” permintaan Kuwait pada Maret 1987. Di sisi lain, “koalisi” dengan Kuwait memungkinkan AS untuk mengkampanyekan “Kemerdekaan Navigasi” di perairan tersebut. Semenjak Perang Iran-Irak pecah, banyak kapal sipil tak aman memasuki perairan tersebut. Untuk misi itulah, MEF mengeluarkan sejumlah aturan untuk pertahanan diri kapal-kapal perang AS yang dinamakan Rules of Engagement. Antara lain, AS menganggap pesawat-pesawat dua negara yang berperang, Iran maupun Irak, sebagai berpotensi menjadi musuh. Lalu, ketika terjadi kontak dengan pesawat kedua negara yang mendekati posisi kapal AS dalam jarak yang telah ditentukan, pihak AS mesti mengidentifikasi, memperingatkan, dan terakhir mengambil tindakan yang diperlukan jika membahayakan. Tanpa boleh memulai tembakan, kapal-kapal AS diizinkan menembak pesawat-pesawat yang sudah diberi peringatan namun tak mengindahkan. Pada 17 Mei 1987, USS Stark  masih berpatroli di perairan tersebut. Pukul 20.00, Kapten Bridel diberitahu adanya persawat tempur Mirage F-1 Irak yang mendekati kapalnya di jarak 200 mil. Di Combat Information Center (CIC), pukul 20.15 Letnan Basil E. Moncrief, perwira Tactical Action Officer, memberitahu Brindel tentang pesawat tersebut. Lantaran kehadiran Mirage F-1 itu tak tampak di radar, para petugas CIC lalu mengubah mode pencarian radar SPS-49 Stark ke mode 80 mil. Pesawat itu ternyata telah berada di posisi 70 mil dari Stark . Upaya pemberitahuan yang dikirim petugas Stark  tak didengar pilot Irak. Pukul 21.03, operator radar SPS-49 meminta izin Moncrief mengeluarkan peringatan kepada pilot Irak. “Tidak. Tunggu!” kata Moncrief, dikutip Michael Vlahos dalam “The Stark Report”, dimuat news.usni.org . Dua menit kemudian, Mirage F-1 itu memutar arah menuju Stark  di jarak 32 mil. Letnan Moncrief menganggapnya sebagai bahaya dan berupaya meminta komando dari Bridel. Namun, Bridel tak dapat ditemukannya. Ketika pesawat itu mencapai jarak 22,5 mil dari Stark  pukul 21.07, sebuah rudal Exocet dilepaskannya ke arah Stark . Para petugas Weapons Control Officer Stark  langsung meminta identitas pilot. Alih-alih menjawab permintaan itu, pilot Irak malah menjawabnya dengan meluncurkan Exocet kedua, di jarak 15 mil. Langkah-langkah pertahanan pun dilakukan para awak Stark . Selain menyiapkan peluncur sekam ( flare ), mereka menyiapkan senapan anti-serangan udara Phalanx (Close in Weapons System) ke mode siaga. Namun, semua upaya para awak Stark  itu terlambat. Exocet pertama Irak menghantam sisi kiri Stark . Meski gagal meledak, bahan bakar rudal itu menyebabkan kebakaran hebat. “Kebakaran yang dihasilkan merembet ke atas ke pusat informasi tempur kapal itu, menonaktifkan sistem elektrik,” kata Richard S. Gough dalam The Weapon Director . Tak lama kemudian, Exocet kedua menghantam sisi sama Stark  dan meledak hebat. “Rudal kedua meninggalkan lubang di bangunan utama frigat dan kebakaran hebat melintasi seluruh kapal,” sambungnya. Hantaman Exocet kedua itu memadamkan sistem pertahanan misil Stark  sehingga kapal nahas itu tak bisa melakukan pembalasan. Selain membuat Stark  miring dan nyaris tenggelam, serangan oleh pilot AU Irak itu menewaskan 37 awak Stark  dan melukai puluhan lainnya. Lebih jauh, serangan itu mengagetkan para pengamat militer dan awak Stark  yang selamat akan dahsyatnya daya hancur rudal buatan Prancis itu –rudal ini pula yang digunakan AU Argentina ketika menenggelamkan destroyer Inggris HMS Sheffield  yang berukuran lebih besar lima tahun sebelumnya di Perang Malvinas. Kongres langsung melakukan investigasi, yang diikuti Staf Gabungan. Hasilnya yang diumumkan akhir tahun itu juga, menetapkan Bridel dan Moncrief salah karena lalai dalam merespon peringatan dari petugas radar. Akibat kelalaian itu membuat USS   Stark  telat mengambil langkah pengamanan diri. Sementara, penyerangan Stark  membuat rakyat AS marah. Pemerintahan Reagan, yang sedang direpotkan oleh Skandal Iran-Contra, langsung mengirim tim Kementerian Pertahanan yang dipimpin Laksda David N. Rogers ke Baghdad untuk melakukan penyelidikan dan meminta tanggung jawab Irak. Perdebatan serius pun terjadi di antara pemerintah AS dan Irak. Irak akhirnya mengklaim pilotnya melakukan kesalahan teknis dengan radar pesawatnya sehingga mengira USS Stark  sebagai kapal tanker Iran yang berada di wilayah Zona Ekslusifnya. Meski melalui perdebatan alot, kompromi antara pemerintah AS dan Irak akhirnya dicapai. “Irak setuju membayar $ 27,3 juta sebagai kompensasi kepada keluarga para korban Stark, ” tulis Zatarain. “Serangan Stark memberi AL AS pengalaman pertama tentang dampak dari serangan rudal yang sebenarnya di kapal modernnya.”*

  • Pertemuan Ilmuwan Amerika dengan Komodo

    PADA 1926, ilmuwan Amerika Serikat, William Douglas Burden, mendarat di Pulau Komodo, Nusa Tenggara Timur. Pulau yang terletak di antara Sumbawa dan Flores itu menjadi rumah bagi reptil purba yang masih hidup di dunia, yakni komodo ( Varanus komodoensis ). Burden pun memulai perjalanan menemukan keajaiban dunia tersebut.

  • Direktur CIA Terburuk

    PRESIDEN Soeharto menerima Direktur CIA, John Mark Deutch, di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis pagi, 24 Oktober 1996. Dalam pertemuan tersebut, Soeharto didampingi oleh Letjen TNI Moetojib, kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin, sekarang BIN).

  • Melahirkan di Masa Perang

    Meskipun kondisi Jakarta belum aman pada Maret 1947, Herawati Diah rajin ke Rumah Sakit Budi Kemulyaan untuk memeriksanakan kehamilannya. Ia hamil anak ketiga. Anak pertamanya lahir pada 1944 dan anak kedua pada 1945. Ketika usia kehamilannya sudah semakin tua dan waktu melahirkannya sudah dekat, ia diinapkan di paviliun RS Budi Kemulyaan. Paviliun yang ia tempati cukup menampung empat orang: ayah, suami, dan seorang kerabat. Pada sore 30 Maret, ia merasakan mulas yang mencapai puncak hingga berubah menjadi rasa sakit yang datang dan pergi secara berkala. Sejurus kemudian petugas kesehatan dipanggil untuk membantu persalinan Herawati. Datanglah bidan Ainoen dan juru rawat Moehani. Sambil menyiapkan air panas dan haduk bersih, si bidan menemani Herawati dengan sabar. Persalinan, yang ditemani ayah Herawati, pun berhasil dilakukan dengan lancar pada pukul 18.15. BM Diah, suami Herawati, menunggu di luar karena tak berani menyaksikan persalinan. Begitu suara tangis bayi pecah dan dikabarkan bahwa bayinya lelaki, BM Diah langsung masuk ke dalam dan menyambut bayi lelaki pertamanya, Aditya Tedja Nurman. “Air muka suami sudah tidak perlu dilukiskan. Gembiranya nyaris tak tertahankan,” kata Herawati dalam memoarnya, Kembara Tiada Berakhir. Herawati salah satu perempuan yang memilih melahirkan di rumahsakit bersalin ketika persalinan dengan bantuan dukun beranak masih jamak ditemui. Pada persalinan anak kedua, Herawati mengaku tak melahirkan di rumahsakit lantaran sudah telanjur mulas ketika berada di rumah sendirian. Beruntung bantuan segera didatangkan, maka iapun melahirkan anak keduanya di rumah. Namun dalam memoarnya, Herawati tak menyebutkan ibantuan itu dari bidan atau dukun beranak. Melahirkan dengan bantuan dukun beranak juga pernah dialami ibunda BJ Habibie (presiden ke-3). Hal itu dikisahkan Junus Effendi Habibie dalam memoarnya Dari Pare-Pare sampai ke Court of St. James. Dalam Dukun dan Bidan dalam Perspektif Sosiologi,  Muzakir menyebut mayoritas persalinan periode 1945-1950 dilakukan oleh dukun beranak. Pertolongan bidan masih amat minim dan hanya tersedia di kota besar. Lantaran minimnya jumlah bidan, Rumah Sakit Budi Kemulyaan mengurangi enam biro konsultasi kehamilannya. Sudar Siandes mencatat dalam Profesi Bidan Sebuah Perjalanan Karier , pada pertengahan 1946 beberapa biro harus ditutup lantaran kekurangan bidan dan tenaga medis. Rumahsakit tersebut agak keteteran memberikan bantuan persalinan di awal kemerdekaan. Meski demikian, dari akhir 1945 hingga pertengahan 1946, Budi Kemulyaan berhasil menangani 1157 persalinan dalam sebulan. Paling sedikit, rumahsakit ini menangani 451 persalinan dalam sebulan. Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda, perbaikan kesehatan dilakukan. Data Kementerian Penerangan dalam  Republik Indonesia: Kotapradja Djakarta Raja  menginformasikan, pada awal 1950, Dinas Kesehatan Kota Jakarta memiliki tiga layanan persalinan dengan kapasistas 98 tempat tidur. Jumlah persalinan yang dilayani pun meningkat seiring perbaikan fasilitas. Selama 1950, layanan bersalin di seluruh Jakarta sudah menolong 3246 persalianan, pada 1951 sebanyak 3727, dan pada 1952 sebanyak 1787 persalinan. Jumlah biro konsultasi kehamilan pun diperbanyak menjadi sepuluh tempat di berbagai rumah sakit di Jakarta. Antara Januari hingga November 1952, biro konsultasi tersebut telah dikunjungi 29.936 ibu hamil. Pemeriksaan di biro konsultasi itu gratis untuk orang miskin dan pegawai negeri yang bergaji di bawah 100 rupiah. Sementara untuk umum dikenakan biaya satu rupiah. Kesehatan bayi pun diperhatikan dengan membentuk balai pemeriksaan bayi di 11 tempat milik pemerintah kota, satu milik pemerintah pusat, dan 13 swadaya. Namun, jumlah balai pemeriksaan bayi dan biro konsultasi kehamilan tetap masih kurang untuk melayani dua juta penduduk Jakarta. Masih menurut Kementerian Penerangan, untuk cakupan wilayah Jakarta era 1950-an, idealnya dibutuhkan 40 biro dan balai pemeriksaan. Berdasarkan data statistik 1950-an, jumlah angka kematian ibu mencapai 55.000 sementara angka kematian bayi mencapai 600.000 karena kurang perawatan. Maka kehadiran bidan dan biro konsultasi menjadi penting untuk mengedukasi mengenai kehamilan dan perawatan post-natal.

  • Hitler Seniman Medioker

    DENGAN ekspresi pilu, Adolf Hitler terduduk di tumpukan tulang-belulang. Di belakangnya, gejolak perang tampak mulai tak berhenti memakan korban rakyat. Begitulah penggambaran sebuah lukisan yang mendeskripsikan Hitler sebagai Kain dalam kisah ternama di Alkitab Perjanjian Lama. Lukisan itu seolah ingin menegaskan Hitler sebagai Kain yang membunuh Habel sebagai representasi rakyatnya sendiri. Kain dan Habel adalah dua anak pertama Adam dan Hawa yang saling bunuh. Kain yang membunuh Habel, dihukum menjadi pengembara sepanjang hayat. Dalam hal ini, Hitler diibaratkan seperti Kain yang bertualang sebagai penjahat perang. Salah satu mahakarya yang dibuat pada 1944 itu dipamerkan secara permanen di Deutsches Historisches Museum, Berlin per Selasa (4/2/2020). Lukisan itu didapatkan dari keluarga sang seniman yang 75 tahun menyimpannya. Grosz merupakan seniman eksil asal Jerman yang mencari suaka ke Amerika Serikat pada 1930 dan acap menciptakan karya bertema politis. “Bagi saya, penting untuk generasi muda saat ini punya akses terhadap lukisan dan pandangan kritis yang dimiliki sang seniman terhadap Naziisme,” ujar Sekjen Yayasan Kebudayaan Federal Jerman, Markus Hilgert, dikutip AP News , 4 Februari 2020. Grosz tentu hanya satu dari sekian seniman yang pernah menggambarkan sosok Hitler. Terlepas dari itu, Hitler sendiri mulanya juga perupa di atas kanvas. Sejak kecil ia punya ambisi akan seni. Lukisan "Hitler in Hell" karya George Grosz yang mulai dipamerkan di Museum Sejarah Jerman secara permanen (Foto: Twitter @DHMBerlin) Seniman Medioker “Seni akan selalu menjadi ekpresi dan cerminan dari ekspektasi dan kenyataan dari sebuah era,” kata Hitler dalam pidatonya di depan Reichstag (gedung parlemen) pada 23 Maret 1933, dikutip Mary M. Lane dalam Hitler’s Last Hostages: Looted Art and the Soul of the Third Reich . Ungkapan itu menggambarkan bagaimana ia akan mengubah wajah Jerman . Salah satunya lewat seni, h al paling didamba Hitler sejak kecil . Di masa kecil, Hitler merupakan bocah periang, penuh percaya diri, ramah, dan bertanggungjawab. Namun, semua kebaikan itu sirna selepas adik yang disayanginya, Edmund, meninggal karena campak pada 1900. Hitler berubah menjadi bocah pemalu,pemalas, dan sering sakit-sakitan. Ia susah diatur, baik oleh gurunya di Realschule (setara SMP) di Linz, Austria maupun oleh ayahnya, Alois Hitler.Kemalasannya makin parah selepas ayahnya berpulang tiga tahun berselang. “Hitler tak pernah berprestasi dalalm pelajarannya di sekolah. Satu-satunya kepandaiannya hanya menggambar. Sedangkan kesenangannya adalah membaca,” ungkap Agustinus Pambudi dalam Kematian Adolf Hitler. Kolase transformasi Adolf Hitler sejak bayi hingga masa muda yang terlibat Perang Dunia I (Foto: Bundesarchiv) Dari membaca –terutama buku-buku tentang perang dan mitos-mitos Jerman–itupula Hitler makin menikmati hobiseni rupa-nya. Hitler sering tenggelam dalam imajinasinya sendiri kala membaca buku tentang arsitektur-arsitektur bersejarah. Itupula yang mempengaruhi gayanya dalam berkarya di atas kanvas ketika merantau ke Wina kurun 1907-1913. Dengan kuas, cat, dan kanvasnya Hitler senantiasa dipengaruhi karya bergaya romantisme akhir-nya Arnöld Bocklin, gaya monumental neobaroque-nya Hans Makart, lanskap arsitektural-nya Afold Loos, neoklasik-nya Karl Friedrich Schinkel dan Gottgried Semper, dan genre art -nya Eduard von Grützner. “Saat masih muda di Wina saya pernah lihat (karya) Grützner di jendela galeri seni. Saking girangnya saya sampai-sampai tak bisa berhenti melihatnya. Saya masuk dan menanyakan harganya. Oh Tuhan, harganya di luar jangkauan saya. Saya membayangkan ketika sukses akan mampu membeli setidaknya satu (karya) Grützner,” kataHeinrich Hoffmann, fotografer Kekaisaran Jerman yang kemudian jadi fotografer pribadi Hitler, pada sebuah percakapannya dengan Hitler yang ia tuliskan di otobiografinya, Hitler Was My Friend. “Lukisan yang dimaksud adalah lukisan Grutzner bergambar seorang biarawan tua (berjudul Mönch auf dem Weg zur Britzeit , red. ). Dua puluh lima tahun kemudian, Hitler memiliki koleksi sekitar 30 mahakarya Grützner,” lanjutnya. Pelukis Theodor Ritter von Grützner idola Adolf Hitler dalam seni rupa (Foto: Die Gartenlaube) Pada 1907, Hitler muda dengan percaya diri berupaya masuk Akademie der bildenden Künste Wien (AKW) atau Akademi Seni Wina. Dalam manifesto otobiografinya, Mein Kampf , ia yakin bahwa ujian masuknya hanya sekadar formalitas baginya. Nyatanya, Hitler kemudian bak tersambar petir kala namanya tak masuk dalam daftar pengumuman kelulusan ujian masuk itu. “Ketika saya tanya rektor, alasan saya tak lulus masuk sekolah seni rupa di akademi itu, saya diberitahu bahwa hasil karya saya dalam ujian itu bukanlah sebuah hasil karya seni rupa dan bahwa bakat saya mungkin lebih pas untuk sekolah arsitektur,” tulisnya. Hitler mencoba tegar.Setahun kemudian, dia kembali mengikuti ujian masuk akademi itu. Lagi-lagi ia gagaldengan alasan serupa. Lantaran lukisan-lukisannya kering pembeli,ia harus hidup pas-pasan di Wina. Uang warisan ayah-ibunya mulai menipis gegara sering dihabiskannya untuk menonton opera dan orkestra Wagner.Hitler hidup terlunta-lunta dan bergantung pada makanan seadanya yang disediakan di sebuah rumah singgah tunawisma Meidling. Empat dari ratusan karya Adolf Hitler di atas kanvas semasa muda Di tempat itulah ia bertemu Reinhold Hanisch.“Dia (Hanisch) menyarankan melukis di media kartu pos yang nantinya akan dijajakan Hanisch di bar-bar. Hanisch menjanjikan pembagian adil, 50-50, dari hasil penjualan. Modal 50 kronen Hitler pinjam dari bibinya, Hanni, untuk beli peralatan lukis lagi setelah yang lama ia jual,” ungkap Volker Ullrich dalam Hitler: Ascent 1889-1939. K emitraan Hitler-Hanisch itu berjalan mulus . Banyak yang menyukai gambar-gambar lanskap dan arsitektur karya Hitler dalam kartu pos . Terlebih, kartu pos lazimnya laris di musim dingin. Baru sebulan berjalan, mereka sudah bisa menyewa apartemen sederhana di Meldemannstrasse 27. Namun Hitler kemudian ditipu hingga melaporkan Hanisch ke Kantor Polisi Brigittenau. Hanisch lantas dipenjara, sementara Hitler mulai menjual karya-karyanya dalam bentuk kartu pos sendiri, selain tetap menjajakan lukisannya. Salah satunya ke toko frame milik seorang Yahudi, Samuel Morgernstern. Hitler menitipkan lukisannya untuk dijualkan di toko dan hasilnya dibagi dua. Hingga pindah ke Munich pada 1913, Hitler menggantungkan penghasilan dari penjualan lukisandi toko Morgernstern. Ironisnya, ketikaHitler berkuasa, Morgernstern dan istrinya dijebloskan Gestapo ke kamp konsentrasi Auschwitz hingga tutup usia. Adolf Hitler (pertama dari kanan pada baris kedua) saat bertugas di Perang Dunia I sebagai tentara Bavaria (Foto: Bundesarchiv) Di Munich, Hitler tetap berkarya sebagai seniman mediokerhingga Perang Dunia I pecah tak lama kemudian. Hitler enggan kembali dan masuk wajib militer di negeri asalnya, Austria-Hungaria.Ia memilih masuk militer Bavaria dan ditempatkan di Kompi ke-1 dari Resimen Cadangan Bavaria ke-16. K ecintaannya pada seni t e tap terjaga . Buku gambar dan kuas cat tetap dibawanya ke manapun Hitler ditugaskan. S aat teman-temannya ngobrol tentang wanita dan seks , Hitler memilih “bercengkerama” dengan kertas gambar dan kuas catnya. Karya-karyanya kebanyakan tentang apa yang dia lihat sepanjang perjalanan maupun lingkungan dekat tempat dia ditugaskan, seperti tentang rumah-rumah peternakan dan pertanian. Beberapakali ia juga menggambar ilustrasi dan kartun untuk koran-koran militer kekaisaran. Sialnya buku gambar –sebagai portofolio Hitler semasa perang– yang ia simpan di tas kulitnya, dicuri bersamaan dengan hilangnya anjing kesayangannya, Fuchsl. Kala itupasukan tempatnya bertugas, Resimen List, tengah bergerak ke Alsace, Agustus 1917. Kesal, sedih, sakit hati, Kopral Muda Hitler lalu mengambil cuti 18 hari dan ke Berlin. Kala sudah jadi penguasa Eropa, Hitler gemar mengoleksi karya-karya berharga curian dari negeri-negeri yang ia jajah (Foto: The Wiener Holocaust Library) Setelah berkuasa pada 1933 danmenginvasi Polandia enam tahun berselang, Hitler mendapat protes dariDuta besar Inggris untuk Jerman Sir Nevile Henderson. Alih-alih menanggapi dengan pernyataan politis, Hitler justru menjawabnya dengan santai. “Saya ini seorang seniman dan bukan politisi. Setelah masalah Polandia selesai, saya berniat menghabiskan hidup saya sebagai seniman,” ujar Hitler yang dikenang Henderson dalam The British War Blue Book, 1939, yang merupakan himpunan dokumen dan catatan diplomat Inggris di Jerman. Dalih itu tak d itepati Hitler . Bukannya menjadi seniman seperti yang ia katakan, Hitler justru jadi penguasa paling dibenci di Barat . Bukan hanya karena soal holocaust (genosida Yahudi), namun juga gegera pencurian karya-karya berharga dari negeri-negeri Eropa yang ia jajah. Pencurian itu dilakukannya untuk mengumpulkan koleksi karya itu di kompleks kebudayaan bikinannya, Führermuseum.

  • Menjaga Natuna

    Dari 154 pulau di Natuna, hanya 27 pulau yang dihuni. Sudah lama Kepulauan Natuna seakan sendirian di laut lepas. Letaknya pun lebih dekat dengan wilayah Malaysia. “Mereka cerita, sebelum 1995 kalau mencari kebutuhan pokok mereka harus keluar pulau, mereka pakai kapal kayu pinisi atau kapal besi perintis, ditempuh selama tiga hari,” kata Sonny C. Wibisono, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam acara Diskusi Sambil Ngopi Kita bertema “Ada Apa dengan Natuna” di gedung Puslit Arkenas, Jakarta, belum lama ini.  Padahal, Natuna bukannya terpencil. Ia berada di tengah perlintasan perekonomian internasional sejak dulu. Karenanya, sampai sekarang Laut Cina Selatan terutama Laut Natuna menjadi sasaran klaim dari beberapa negara yang berbatasan dengan wilayah itu. “Natuna justru bagian depan. Bukan pulau terluar. Ia yang terdepan dibanding Jakarta. Karena orientasi kita orientasi Jakarta. Justru ini jadi beranda depan,” ujar Sonny.  Hingga kini masih terjadi klaim terhadap Natuna yang dilontarkan negara-negara di Laut Cina Selatan. Kendati pada 2002 negara-negara yang tergabung dalam ASEAN, termasuk Indonesia, telah melakukan perundingan dengan Tiongkok dan telah menandatangani deklarasi pemanfaatan Laut Cina Selatan secara damai. Natuna Dikuasai Johor Kedudukan politik Kepulauan Natuna memang punya cerita panjang. Sejarawan yang juga guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Djoko Marihandono menemukan arsip penyerahan hampir 300 pulau dari Sultan Johor ke Sultan Riau Lingga. Salah satunya Natuna. Dari sejarahnya kedua kesultanan itu masih berkerabat. Status Kerajaan Riau Lingga merupakan wilayah Raja Muda atau perdana menteri dari Kerajaan Johor. Dalam sebuah catatan utusan Belanda di Riau, William Valentyn, pada 1687 disebutkan beberapa wilayah di bawah naungan Johor. Antara lain Trenganu, Pahang, Sedili, Dungun, Rembau, Muar, Bengkalis, Siak, Pulau Pinang, Tioman, Pulau Auer, Pulau Temaja, Siantan, Bunguran, Pulau Laut, Sarasan, Subi, Tambelan, Sundala, dan Lingga. “Berdasarkan sumber tertulis itu, pada 1687, Bunguran (sekarang termasuk Kepulauan Natuna,  red .) sudah masuk dalam salah satu daerah kekuasaan Kerajaan Johor,” kata Djoko.  Namun kemudian ada perjanjian antara Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah dan Residen Riau pada 1 Desember 1857. Di dalamnya disebutkan soal daerah yang masuk ke dalam daerah Kerajaan Melayu Lingga Riau. Di antaranya Pulau Natuna sebelah utara diperintah Orang Kaya Pulau Laut, pulau-pulau Natuna selatan di bawah Orang Kaya Subi, Pulau Serasan di bawah Orang Kaya Serasan, Pulau Tambelan di bawah Petinggi Tambelan. Perjanjian diperkuat lagi antara Sultan Abdurrahman Muazam Syah dan Residen Riau Willem Albert De Kanter pada 18 Mei 1905. Intinya, pulau-pulau Natuna termasuk ke daerah taklukkan Kerajaan Melayu Lingga Riau. “Suatu hal yang biasa bila raja menghadiahkan sebuah pulau dari pulau-pulau yang dimilikinya yang jumlahnya lebih dari 300 pulau itu kepada kerabatnya,” jelas Djoko. Kendati begitu, menurut Djoko, penyerahan hampir sebanyak 300 pulau dari Raja Johor kepada Raja Riau Lingga merupakan bagian dari diplomasi pemerintah Kolonial Belanda dalam melakukan negosiasi dengan Inggris. Ini yang akhirnya dituangkan dalam Traktat Sumatra yang ditandatangai pada 1871. Traktat itu menyerahkan wilayah Inggris yang berada di Bengkulu kepada Belanda. Penyerahan itu tak cukup imbang jika dibandingkan dengan penyerahan Malaka yang berada di bawah kekuasaan Belanda kepada Inggris. “Patut diduga dan perlu diteliti lebih lanjut bahwa penyerahan 300 pulau kepada pemerintah Belanda merupakan bagian dari persiapan dilaksanakan Traktat Sumatra,” jelasnya. Saat dikuasai Belanda, Kesultanan Riau Lingga tak begitu saja menerima keberadaannya. Strateginya, kesultanan tak melarang penduduk melakukan perompakan. Padahal pemerintah kolonial sudah membentuk pengawas agar perompak tak masuk ke pulau-pulau itu. “Ini terkait kepercayaan mereka, Belanda dianggap kafir, karenanya ditentang. Upaya penumpasan perompakan di Riau tak pernah beres. Sultan sendiri yang melindunginya,” kata Djoko. “Ini juga salah satu perjuangan bumiputra melawan kolonialis.” Merawat Pulau Natuna Kenyataannya, arsip-arsip bersejarah mengenainya sudah banyak yang hilang. Kepulauan Natuna menjadi kian rawan dimiliki negara lain.  “Arsip Pulau Tujuh sudah tak ada lagi, harus cari di Belanda. Natuna bagian dari Pulau Tujuh kalau zaman Kolonial Belanda,” jelas Djoko.“Kelemahan kita tidak ada tradisi tulis. Kita kehilangan arah.”  Karenanya, menurut Djoko, perlu untuk merawat pulau-pulau, terutama yang terletak di perbatasan. Kasus Pulau Sipadan dan Ligitan misalnya. Pulau-pulau ini akhirnya jatuh ke tangan Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional. Malaysia dianggap mampu mengembangkan pulau dengan baik. Sementara sebelumnya Pulau Sipadan hanyalah pulau kosong yang tak dimanfaatkan Indonesia. “Pulau-pulau ini (Kepulauan Natuna,  red .) kalau tak dikelola berpotensi hilang. Ligitan karena Malaysia sudah kelola pulau itu. Jadi kata kuncinya jangan membiarkan pulau-pulau itu terlantar,” ujar Djoko. Sementara menurut Sonny, salah satu upaya memanfaatkan Kepulauan Natuna adalah lewat pendekatan kebudayaan. Penelitian arkeologi salah satunya. Ia bersama Puslit Arkenas telah memulai penelitian arkeologi pada 2010. Penelitian itu mengungkap penghunian awal di Natuna dan perannya sebagai persimpangan perdagangan internasional sejak dulu. “Sekarang di Natuna sedang ada pembangunan museum. Kami sengaja mempertontonkan penemuan ini di kabupaten. Menggunakan data arkeologi untuk meng- counter nine dash line ,” jelas Sonny. Nine dash line (sembilan garis putus-putus) adalah wilayah-wilayah yang diklaim Tiongkok di Laut Cina Selatan.

bottom of page