top of page

Hasil pencarian

9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Ha...Ha...Ha... Buat Sukarno

    ADIAN Napitupulu, politisi nyentrik dari PDIP menolak jabatan menteri yang ditawarkan Presiden Joko Widodo. Adian merasa dirinya belum cukup mampu mengemban tanggung jawab tersebut. Presiden Jokowi menatap dengan sorot mata yang tajam kala mendengar Adian mengatakan tidak bersedia jadi menteri. Penolakan juga pernah dialami oleh Sukarno, Presiden RI yang pertama. Kali ini bukan soal tawaran jabatan menteri tapi soal tawaran konsepsi bernegara. Yang berperkara dengan Bung Karno ialah Ignatius Joseph Kasimo, Ketua Umum Partai Katolik. Pada 21 Februari 1957, Sukarno memanggil semua pimpinan partai politik ke Istana. Kepada mereka semua, Sukarno melontarkan gagasan yang kemudian dikenal sebagai Konsepsi Presiden. Melalui konsepsi itu, Sukarno menyarankan pembentukan kabinet “empat kaki” yang terdiri dari partai-partai pemenang pemilu: PNI, Masjumi, NU, dan PKI. Sepekan berselang, 28 Februari 1957, Sukarno memanggil kembali pimpinan partai politik. Agenda pertemuan meminta persetejuan masing-masing pimpinan partai terhadap Konsepsi Presiden.  PKI, Murba, PNI, PRN, Baperki, Persatuan Pegawai-pegawai Kepolisian menyatakan menerima. NU, PSII, Parkindo, IPKI, dan PSI ragu-ragu dan menyatakan mempertimbangkan kembali. Sementara itu, Masjumi dan Partai Katolik dengan tegas menyatakan penolakan. Pimpinan Masjumi, Mohammad Natsir menguraikan penolakannya dengan berpidato panjang lebar. Lalu tibalah giliran Kasimo. Sebelum berbicara, Kasimo punya kebiasaan unik: suka tertawa sambil mengurai senyum lebar. Ciri khas inilah yang melekat pada diri Kasimo. Dia dikenal sebagai politisi senior gaek namun berhati periang. Ketika bersua Bung Karno, seperti biasa Kasimo memulai dengan senyuman khasnya. Sewaktu Bung Karno menanyakan bagaimana sikap Partai Katolik terhadap konsepsinya, Kasimo malah tertawa. Kasimo bukan berarti meremehkan pertanyaan Sukarno. Begitulah caranya mengumpulkan keberanian menyatakan pendapat yang bertentangan dengan kemauan presidennya. “Namun Bung Karno rupanya merasa diejek oleh Kasimo,” sebagaimana terkisah dalam biografi I.J. Kasimo: Hidup dan Perjuangannya yang disusun Threes Nio. Secara singkat dan padat, Kasimo menyatakan tidak setuju dengan konsep Sukarno. Penolakan Kasimo yang terutama sehubungan dengan dilibatkannya PKI dalam kabinet. Merujuk pengalaman sejarah di Eropa Timur, Kasimo beranggapan pengikutsertaan orang-orang komunis akan menyebabkan sebuah negara menjadi komunis. Ini terjadi pada negara Cekoslovakia. Bagi Kasimo, sikap terhadap PKI tidak dapat ditawar-tawar. Sebagai mantan murid Romo van Lith (pelopor missie Katolik di Jawa), Kasimo mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap golongan lain. Namun toleransi ini terkecuali terhadap golongan komunis yang dalam pandangan Kasimo anti-agama dan kebebasan beragama.   Selesai pertemuan di Istana, para wartawan menanyakan pendapat Kasimo tentang Konsepsi Presiden. “Ha-ha-ha-ha…” itu saja yang keluar dari mulut Kasimo. Sejak saat itulah Sukarno menunjukkan rasa kurang senang terhadap Kasimo. Ketersinggungan Sukarno berbuntut panjang. Dua bulan kemudian, pada April 1957, beberapa petinggi partai dipanggil lagi ke Istana. Dari Partai Katolik yang dipanggil ialah Prof. Mr. A.A. Soehardi, A.B. de Rozari, dan Ir. Soewarto. Kasimo selaku ketua partai tidak diberi tahu. Sebagai akibat dari sikap Kasimo, Partai Katolik tidak diikutsertakan dalam Kabinet Karya yang dipimpin Perdana Menteri Djuanda. Demikian pula dalam kabinet-kabinet berikutnya. Partai Katolik baru masuk dalam kabinet ketika Kasimo tidak lagi menjabat ketua. “Karena berani melawan mainstream politik, ia harus mengundurkan diri dari kepemimpinan partai dan segala kemungkinannya yang melekat pada jabatan tersebut untuk masa itu. Ia menjadi persona non grata untuk sistem masa itu,” tulis J.B. Sudarmanto dalam Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo . Pada 1960, Kasimo mengundurkan diri sebagai Ketua Partai Katolik setelah memimpin partai itu selama kurang lebih 30 tahun. Tampuk kepemimpinan selanjutnya diserahkan kepada Ketua DPP Partai Katolik Frans Seda. Baru pada 1964, Frans Seda. menduduki kursi Menteri Perkebunan dalam Kabinet Dwikora.

  • Didi Kempot, Makin Tua Makin Ambyar

    Malam itu Istora Senayan, Jakarta, ramai. Anak-anak, remaja, dan orang tua bersemangat menuju salah satu panggung dalam acara Pekan Kebudayan Nasional (PKN) 2019 minggu lalu (7-13 Oktober 2019). Ada beragam sajian seni di panggung PKN. Salah satunya pergelaran musik campursari dari pria berambut gondrong kelahiran Surakarta. Dialah Didi Prasetyo atau Didi Kempot. Didi Kempot saat menunggu giliran naik pentas di Senayan. (Fernando Randy/Historia). Sebelum Didi naik ke atas panggung, Historia  sempat berbincang pendek dengannya. Dari obrolan tersebut diketahui bahwa asal usul nama Kempot adalah Kelompok Penyanyi Trotoar. “Yah dulu saya itu penyanyi jalanan alias ngamen, akrab sama trotoar,” ujar adik dari almarhum pelawak Mamiek Prakoso, yang tenar dengan mengecat sebagian rambutnya dengan warna keemasan.  Ekspresi ribuan fans Didi Kempot yang memadati Istora Senayan. (Fernando Randy/Historia). Didi Kempot saat membawakan berbagai hits dari album-albumnya. (Fernando Randy/Historia). Didi mulai aktif bermusik sejak 1989. Dia memilih musik campursari sebagai jalan hidup berkeseniannya. Campursari adalah musik yang muncul dari perpaduan instrumen gamelan Jawa dan Barat. Diperkenalkan kali pertama oleh R.M. Samsi dari kelompok musik RRI Semarang pada 1953. Campursari menggabungkan nada pentatonik dan diatonis. Sebuah percampuran antara tradisionalitas dan modernitas.  Salah satu fans Didi Kempot menangis terharu di tengah keseruan konser tersebut. (Fernando Randy/Historia). Tua dan muda semua bergembira bersama saat Didi Kempot bernyanyi. (Fernando Randy/Historia). Panggung Didi Kempot yang selalu penuh oleh para fansnya di seluruh Jakarta. (Fernando Randy/Historia) Melalui campurasari, Didi membuat ratusan lagu. Kebanyakan lagunya bertema tentang cinta, patah hati, dan kehilangan orang tersayang.  Karena tema-tema itulah fans Didi Kempot menamakan diri mereka sebagai Sad Bois dan Sad Girls. Ada juga yang menamakan diri mereka Sobat Ambyar (hancur). Fans juga menjuluki Didi Kempot, pria yang juga terkenal di Suriname itu, sebagai The Godfather of Broken Heart .  “Ya, mungkin karena tema patah hati mengena di anak-anak masa kini. Itu buktinya tiap saya nyanyi mereka selalu berjoget,” kata Didi. Fenomena tersebut memang bukan isapan jempol belaka. Begitu Didi Kempot naik panggung, ribuan penggemarnya langsung histeris bahkan sampai menangis.  Berbagai atribut kaos bergambar Didi Kempot pun tak luput digunakan oleh para Sobat Ambyar. (Fernando Randy/Historia). Semua Sad Bois dan Sad Girls larut dalam alunan lagu-lagu sang Godfather. (Fernando Randy/Historia) Di panggung PKN, Didi tampil sekira pukul 20.00 WIB. Dia menyapa penggemarnya. “Sobat Ambyar, sing penting aja jotos-jotosan yo  (Sobat Ambyar, yang penting jangan berkelahi, ya).” Salam pembukanya disambut riuh oleh ribuan Sobat Ambyar. Kemudian pria berusia 52 tahun tersebut melantunkan lagu-lagu andalannya: Cidro, Stasiun Balapan, Banyu Langit, dan Pamer Bojo. Orang-orang turut bernyanyi.  Ekspresi Didi Kempot di panggung dalam gelaran PKN Kebudayaan. (Fernando Randy/Historia). Ribuan fans Didi Kempot bernyanyi dan berjoget bersama tanpa henti bersama sang legenda campursari. (Fernando Randy/Historia). Di tengah jeda lagu, Didi berucap, “Wah ternyata di Jakarta pun kalian masih menghargai musik tradisional. Terima kasih!” Tanpa basa-basi lagi, Lord Didi, julukan lainnya, kembali menggempur panggung. Malam itu benar-benar milik Sobat Ambyar. Mereka merayakan patah hati daripada meratapinya. Ditemani langsung oleh sang  Godfather . Salam Ambyar!   Didi Kempot mengucapkan terima kasih kepada semua Sobat Ambyar yang telah hadir di Senayan. (Fernando Randy/Historia).

  • Sultan Syahrir dan Ragam Muasal Manusia Indonesia

    SULTAN Syahrir punya keyakinan bahwa dia masih punya darah keturunan Nabi Muhammad SAW. Mayor TNI AD itu sejak kecil sudah dikisahkan silsilah keluarganya yang darahnya masih berkelindan dengan Sayid Jalaluddin. Pria asal Palu, Sulawesi Tengah itu keluarga besarnya berasal dari suku Kaili. Para pendahulunya sampai membuat pohon silsilah untuk mengaitkan darah keluarganya dengan Rasulullah SAW. “Menurut kepercayaan orangtua, kami berasal dari Arab. Jadi ada keturunan dari Sayid Jalaludin yang menikah di Cikoang. Intinya menurut beliau-beliau (para pendahulu Sultan), Sayid Jalaluddin ini keturunan Rasulullah yang berperjalanan sampai ke Palu, Sulawesi Tengah,” kata Sultan kepada Historia. Kedatangan Sayid Jalaludin ke Sulawesi, menurut Sultan, tak lepas dari upaya penyebaran Islam lewat pernikahan dengan putri bangsawan setempat. “Nah akhirnya mungkin gennya menang ke saya itu gen lokalnya, jadi enggak kelihatan sama sekali Arabnya (di wajah Sultan). Tetapi perkara sah atau tidaknya keturunan Rasulullah, itu di luar pengetahuan saya,” sambungnya. Beragam literatur, semisal Islam and Colinialism: Becoming Modern in Indonesia and Malaysia karya Profesor Muhamad Ali, pakar studi Islam di University of California, menyebutkan adanya ulama Islam bernama Sayid Jalaludin al-Aidit. Menurut Ali, Sayid Jalaluddin adalah ulama Syiah dari Jazirah Arab. “Sayid Jalaluddin al-Aidit datang dari Arabia melalui Aceh dan Banjar (Kalimantan) ke Cikoang pada abad ke-17. Al-Aidit dikatakan berlabuh di Cikoang karena di Makassar sudah terlalu dominan pedagang Sunni Syafii,” tulis Ali. Namun lantaran wajah Sultan tak menampakkan ciri Arab, ia tak pernah kena rundung ( bully ). “Yang menarik sebenarnya bully itu bukan kepada suku saya, tetapi budaya yang ada di keluarga saya. Di keluarga saya perkawinannya ke dalam. Tidak boleh seorang wanita menikah dengan di luar darah keluarganya. Jadi bapak saya sendiri dengan ibu saya, istilahnya sepupu satu kali,” terang Sultan. Perundungan itu baru dirasakan Sultan setelah ia masuk asrama di SMA-nya di Magelang, Jawa Tengah yang tentu didominasi orang Jawa. “Saya mengalami culture shock. Bayangkan, saya sebagai perantauan lulusan SMP masuk lingkungan asrama SMA yang baru dengan berbahasa yang bahasanya tidak saya pahami. Apalagi buat mereka yang orang Jawa, katanya juga tidak baik menikah satu sepupu. Katanya kalau dalam pelajaran biologi, nanti anaknya down syndrome . Saya merasa ter- bully di situ,” tambahnya. Namun, perlahan ia bisa berbaur dan kawan-kawannya pun saling mengerti budaya satu sama lain. Begitu pula ketika Sultan masuk akademi militer di kota yang sama. Bercampur dengan para taruna dari Aceh hingga Papua, ia merasa perbedaan adalah kekayaan dan bisa jadi kekuatan di antara mereka sendiri. Oleh karena itu, kondisi sosial-masyarkat belakangan yang mulai diwarnai pengkotak-kotakan antara pribumi dan non-pribumi membuat Sultan prihatin. Hal itu jadi salah satu faktor yang mendorongnya ikut tes DNA ( Deoxyribonucleic acid) yang diselenggrarakan Historia.id dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI lewat Proyek DNA Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) . “Apa sih pribumi dan non-pribumi? Saya miris melihat kita, terutama beberapa tahun belakangan ini, memfragmentasi diri kita sendiri,” ujar Sultan. Dominan DNA Asia Timur Apa yang diyakini tak selalu berbanding lurus dengan fakta. Hal itulah yang dialami Sultan ketika mengetahui hasil tes DNA-nya tak sama dengan yang dia yakini selama ini. Gen Asia Timur justru mendominanasi dirinya. “Saya terkejut. Kok saya 83 persen itu Asia Timur? Pengertian saya kan Asia Timur itu Tiongkok. Padahal saya enggak ada roman-roman (ciri wajah) Tiongkok,” cetus Sultan. Herawati Supolo-Sudoyo (kanan) pakar genetika Lembaga Biologi Molekuler Eijkman memaparkan hasil tes DNA Sultan Syahrir (Foto: Dok. Historia) Rincian hasil tes DNA-nya: Asia Timur 83,04 persen, Asian Disperse (Diaspora Asia) 13,11, dan Asia Selatan 3,78 persen. Sementara, gen Timur Tengah-nya hanya 0,07 persen. Menurut pakar genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Profesor Herawati Supolo-Sudoyo, nenek moyang Sultan bagian dari migrasi Austronesia sejak empat milenium (4.000 tahun) lampau. “Gelombang migrasi ini dari Yunan (Cina Selatan) turun ke bawah. Yang sebagian besar dari orang Indonesia, terutama mereka yang tinggal di Sulawesi, adalah yang pertamakali menerima latar belakang Austronesia. Jadi Pak Sultan sesuai sekali presentasenya, 83 persen Asia Timur yang asalnya dari migrasi Austronesia dari Yunan itu,” kata Herawati. Sementara, 13,11 persen gen Diaspora Asia merupakan orang-orang dari Asia Timur yang merantau sampai ke Amerika Utara. “Kan Pak Sultan asalnya (moyangnya) dari Asia daratan tadi, nah sebagian dari yang di situ menyeberang Selat Bering masuk ke Amerika,” sambung Herawati. Sedangkan 3,78 persen gen Asia Selatannya, kata Herawati, berasal dari keturunan Bengali. “Terus yang terakhir, Middle East -nya (0,07 persen) dari Oman. Dari keturunan Bedouin (Badui). Jadi memang Pak Sultan ini genetiknya Austronesia tapi rupanya ada percampuran sedikit dari Bengali dan Bedouin.” Bedouin adalah salah satu masyarakat di Jazirah Arab yang hidup nomaden mengikuti sumber ketersediaan sumber air. Bedouin terbagi dua, satu berdiam di utara dan tengah Jazirah Arab. Mereka lantas menyebar ke Afrika Utara. Adapun kelompok kedua mengembara di wilayah selatan Jazirah Arab (Yaman, Oman), hingga kemudian menyebar hingga Asia Selatan dan Asia Tengah. Meski terkejut, Sultan bisa menerima fakta yang ada. “Saya makin yakin kita semua justru bukan berasal dari Indonesia. Jadi buat apa menganggap diri kita lebih Indonesia dari yang lain. Kalau kita mau lihat mana yang lebih Indonesia, kita bisa lihat dari dua hal: Pertama , bagaimana dia mengisi kemerdekaan? Mungkin itu klise karena seragam saya. Kedua , bagaimana dia merawat keindonesiaan kita?” sambung Sultan. Baginya, mengisi dan merawat keindonesiaan tidaklah rumit. “Apakah kita sudah manusiakan mereka dengan adil dan beradab dalam bingkai persatuan?” tandasnya.

  • Nasihat Istri untuk Soeharto dan Kemal Idris

    KOLONEL Soeharto frustrasi berat kala dicopot dari jabatannya sebagai Pangdam Diponegoro. Markas Berkas Angkatan Darat (MBAD) mendakwanya bersalah karena melakukan bisnis ilegal. Untuk menambah pundi-pundi, Soeharto nekat berdagang dengan cara barter hasil bumi yang diselundupkan ( smuggling ). Sayangnya perbuatan itu terlarang dalam peraturan ketentaran.

  • Leluhur Kasta Tertinggi India pada Orang Indonesia

    Aryatama Nurhasyim membuka amplop berisi hasil tes DNA-nya. Dalam diagram lingkaran, ia melihat komposisi genetika leluhur Asia Timur paling dominan. Ia punya 80,85 persen gen leluhur dari wilayah Tiongkok, Korea, Hongkong, Taiwan, dan Jepang. Sementara sebanyak 18,81 persen adalah DNA moyang orang-orang Asia Timur yang menjelajah ke Amerika utara. Lalu 0,02 persen DNA leluhur Timur Tengah. Sisanya, 0,32 persen menunjukkan jejak genetis leluhur dari India-Brahmana. “Lumayan mengejutkan. Menarik yang  Brahmin  ini,” kata Arya. Sebelum tes DNA, Arya sudah tahu asal-usul leluhurnya memang gado-gado. Ia lahir di Jakarta. Ayahnya berasal dari Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Ibunya orang Riau, Kabupaten Indragiri Hulu. “Terus terang saya ini krisis identitas,” kata Arya. Menurut Arya, kakek dari pihak ayahnya masih keturunan Tionghoa di Surabaya. Sementara keluarga neneknya keturunan Bugis yang menetap di Bima selama ratusan tahun. “Tapi waktu saya tanya, bilangnya kalau di kampung itu disebut orang Gowa. Ini  nggak  cocok karena orang Gowa itu Makassar, Bugis bukan orang Gowa. Jadi bingung orang Bugis atau orang Makassar,” kata Arya. “Beliau (ayahnya,  red. ) waktu kecil  nggak  pernah ketemu kakek neneknya karena sudah wafat.” Arya lalu bercerita juga kalau ibunya adalah orang Melayu Riau. Sembari mengingat, dia mengatakan, kakeknya, ayah ibunya, tinggal di Kota Rengat, Indragiri Hulu, Riau. Tepatnya, di Jalan Narasinga II. Menurut penuturan sang kakek, Narasinga II adalah salah satu moyang mereka. “Narasinga adalah salah satu raja Kerajaan Indragiri. Ada makamnya juga di sana (di Jalan Narasinga II,  red. ),” jelas Arya. Berdasarkan penelusurannya, Kerajaan Indragiri adalah kelanjutan dari Kerajaan Keritang yang masih punya hubungan dengan Kesultanan Malaka. “Legendanya, Sultan Malaka itu raja pertamanya Parameswara. Parameswara asalnya dari Sriwijaya di Palembang,” kata Arya. “Jadi , mungkin dari situ (DNA leluhur Brahamana didapat,  red . ).” Arya bisa sedikit yakin karena melihat keluarga ibunya mempunyai profil muka yang mirip orang dari Asia Selatan. “Cenderung tulang hidungnya tinggi,” kata Arya. Seingat Arya, di rumah sang kakek ada beberapa foto dan kitab tua. Dia menduga di dalam kitab-kitab itu mungkin ada keterangan silsilah keluarganya yang lebih jelas. Sayangnya, hanya sebatas perkiraan karena buku itu tak tersentuh sejak ratusan tahun silam. “Tulisannya juga pakai huruf Jawi. Itu pun sudah tak jelas. Jadi silsilah pastinya kami  nggak  tahu,” katanya. Asal-Usul Genetik Brahmana di India Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia menjelaskan, sebagaimana umumnya masyarakat yang mendiami wilayah barat Indonesia, muasal gen moyang Asia Timur dalam hasil tes Arya bisa didapat dari dua kemungkinkan. Itu bisa dari para penutur Austronesia, yang bermigrasi dari Formosa. Bisa pula dari para penutur Austroasiatik yang bermigrasi dari Asia Daratan ke Nusantara. “Nah, tapi ini yang menarik banget. Ada genetik Asia Selatan, itu dari India. Tapi Brahmin, jadi Brahmana, kasta yang paling tinggi, ya,” ujar Hera. Mengenai asal usul Brahmana di India telah lama dibicarakan para ahli. Salah satunya yang menyebut adanya berbagai gelombang imigran yang mempengaruhi struktur genetika India. Michael Bamshad, peneliti dari Departement of Pediatrics, University of Utah, dalam “Genetic Evidence on the Origins of Indian Caste Populations” termuat di Jurnal Genome Research, menyebutkan bahwa yang terbaru diperkirakan kalau orang-orang berbahasa Indo-Eropa dari Eurasia Barat memasuki India dari Barat Laut dan menyebar ke seluruh anak benua. Para imigran itu konon bercampur dengan orang-orang Dravida. Kedatangan mereka diperkirakan juga menggusur populasi penduduk asli berbahasa Dravida dari India utara ke selatan. “Mereka mungkin telah mendirikan sistem kasta Hindu dan menempatkan diri mereka pada kasta yang tinggi,” tulis Bamshad. Untuk memastikan dugaan itu, Bamshad dan timnya membandingkan DNA orang-orang Eurasia dan DNA populasi kasta di India kontemporer. Hasilnya, mereka yang berkasta tinggi memiliki kecend e rungan yang lebih dekat secara genet i k dengan orang Eropa daripada dengan orang Asia. Orang-orang berkasta tinggi secara signifikan lebih mirip dengan orang Eropa daripada mereka yang kastanya lebih rendah. Pun dari sisi bahasa. Menurut Bamshad, bahasa Indo-Eropa yang digunakan bersama, yaitu bahasa Hindi dan sebagian besar bahasa Eropa menunjukkan orang India Hindu kontemporer adalah keturunan dari orang-orang Eurasia Barat yang bermigrasi dari Eropa, Timur Dekat, Anatolia, dan Kaukasus pada 3.000-8.000 tahun lalu. Para migran nomaden itu kemungkinan memperteguh kedudukan mereka, bergabung dengan penduduk asli proto-Asia yang berbahasa Dravida. Dari sana mereka lalu mengontrol akses regional ke tanah, tenaga kerja, dan sumber daya. Kemudian mereka mendirikan Hindu dan hierarki kasta untuk melegitimasi dan mempertahankan kekuatan ini. “Masuk akal kalau para imigran Eurasia Barat ini juga menunjuk diri mereka sendiri ke dalam kasta-kasta yang berpangkat lebih tinggi,” tulis Bamshad. Jejak Brahmana India di Nusantara Tak heran jika kemudian sejarah India kuno dipenuhi oleh contoh raja-raja Brahamana. Pun Brahmana sebagai pejabat administrasi dan militer, pejuang, penyair, peramal, filsuf, penyair, dramawan, dan pemilik tanah. Padahal, tradisi membuat mereka terkesan eksklusif dan tak tersentuh urusan duniawi. Upinder Singh, mantan kepala jurusan sejarah di University of Delhi, dalam “Brahmana Settlements in Ancient and Early Medieval India” termuat di A Social History of Early India, menjelaskan bahwa Brahmana adalah orang yang melafalkan doa, memformulasikan ritual atau mantra. Namun, Brahmana India kuno adalah sosok yang enigmatik. “Ini sampai batas tertentu karena sering ada kebingungan antara Brahama ideal, yaitu ketika ia disajikan dalam teks-teks tradisi Brahmanis, dan Brahamana ketika ia menjalani kehidupannya di dunia nyata,” tulis Bamshad. Dalam tradisi  veda , Brahamana muncul sebagai seorang  rsi,  penggubah puji-pujian dan sebagai imam upacara. Brahmana dalam Kitab  Dharmasastra  berdiri di puncak tatanan kasta ( varna ). Kenyataannya, Brahmana di dunia nyata lebih fleksibel. Sebagaimana dalam cerita  Jataka  dari kepercayaan Buddhis. Di sana bisa ditemukan seorang Brahmana yang petani, penggembala hewan, penjaja, tukang kayu, penebang pohon, pengemudi kereta, dan pembuat roda. Karenanya, tak aneh kalau para Brahmana India bisa mudah berhubungan dengan masyarakat Nusantara. Seperti kata Hera, motif kedatangan mereka bisa jadi lebih beragam. Kendati utamanya tetap sebagai pemuka agama. “Mereka juga mengajarkan pertanian, perairan,” katanya. Sedangkan menurut Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, dalam  Mitra Satata: Kajian Asia Tenggara Kuna , kedatangan Brahamana bisa jadi via jalur perdagangan. Hubungan ini diperkirakan sudah terbentuk sejak awal Masehi. “Sudah tentu kaum agamawan itu sampai ke Asia Tenggara dengan menaiki perahu para pedagang,” tulis Agus. Para niagawan India tentu singgah di pantai dan daerah tertentu. Mereka kemudian menetap sementara waktu demi mencari angin baik untuk melanjutkan pelayaran.  Di tempat-tempat persinggahan sementara itulah mereka sempat mendirikan bangunan, terutama bangunan suci. “Berdasarkan asumsi itu maka dapat dipahami mengapa pada awal tarikh Masehi banyak ditemukan peninggalan arkeologi yang bercorak budaya India,” lanjut Agus. Bukti keberadaan brahmana pada masa-masa awal masuknya kebudayaan India contohnya ada di dalam beberapa prasasti yupa  dari abad ke-5 di Kutai, Kalimantan Timur. Bahasanya Sanskerta, aksaranya Pallawa. Jelas, Sanskerta bukanlah bahasa rakyat sehari-hari melainkan bahasa resmi keagamaan. Dengan demikian tentu telah ada golongan masyarakat yang menguasai bahasa itu, yaitu para Brahmana. Menurut Suwardono, pengajar pendidikan sejarah di IKIP Budi Utomo Malang, dalam  Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha, kaum Brahmana telah menjadi golongan tersendiri di dalam masyarakat Kutai Kuno. Golongan ini diberitakan dalam salah satu prasasti  yupa  bahwa Raja Mulawarman memberi sedekah 20.000 ekor sapi kepada para Brahmana. Dalam prasasti lain, golongan itu mengadakan kenduri emas yang sangat banyak. Hampir semua prasasti menjelaskan golongan Brahmana yang mendirikan  yupa  sebagai peringatan kebaikan budi sang raja. Entah mereka Brahmana yang didatangkan langsung dari India atas undangan para penguasa Nusantara atau Brahamana yang diangkat dari orang-orang lokal. Sebab, menurut sejarawan Belanda, FDK Bosh, dalam teori arus balik, kedatangan Brahamana India menarik agamawan lokal berangkat ke India. Dari sana mereka kembali ke negeri asalnya dengan membawa pengetahuan baru. Kisah berabad-abad itu menunjukkan bahwa bangsa ini telah begitu lama membuka diri terhadap pendatang dan pengaruh yang dibawanya. Bahkan berkarib pula dengan mereka yang berkasta tertinggi di India. “Bagus juga tahu (DNA leluhur,  red . ). Ini untuk membangun kesadaran. Orang Indonesia banyak yang  nggak  sadar bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat yang lebih luas,” kata Arya.

  • DNA Yahudi pada Orang Indonesia

    Farida Yuniar membaca empat lembar kertas hasil tes DNA. Salah satu kertas menggambarkan diagram lingkaran berisi komposisi DNA Farida. Masing-masing irisannya berbeda ukuran dan warna. Yang terbesar berwarna hijau, 67,12 persen. Irisan ini menunjukkan asal usul leluhurnya lebih dominan dari wilayah Asia Timur. Farida berusia 21 tahun, kelahiran Surabaya. Ayahnya lahir di Jakarta dari orangtua berdarah Jawa Tengah dan Sumatra. Melalui jalur ibu, darah Flores mengalir dalam dirinya. Silsilahnya menunjukkan keberagaman leluhur. Hasil tes DNA memperkuatnya. “Ibaratnya kalau benang, sudah kusut. Gak karu-karuan,” kata Farida. Komposisi DNA Farida secara berturut-turut adalah Diaspora Asia 30,41 persen, Asia Selatan (Bangladesh) 2,13 persen, dan Timur Tengah 0,34 persen. “Ini yang dari Timur Tengah itu orang Samaritan. Seperti orang Arab, orang-orang Assyria,” kata Herawati Supolo Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia. Dia memandu Farida memahami asal-usul gennya. Orang Samaritan lahir dari percampuran orang Yahudi dan Assyria pada abad ke-7 SM. Kala itu, orang Assyria menduduki wilayah orang Yahudi di Kerajaan Israel Utara. Sebagian besar orang Yahudi terusir, sisanya menetap dan kawin campur dengan orang Assyria. DNA Samaritan juga terdapat pada Budiman Sudjatmiko dan Hasto Kristiyanto, politisi PDI Perjuangan. Akhmad Sahal, kandidat doktor University of Penninsylvania, menanyakan bagaimana orang Samaritan menyusup ke DNA orang Indonesia. Dia curiga jangan-jangan yang dimaksud Samaritan dalam hasil tes DNA adalah orang Yahudi. “Tapi kalau disebut Yahudi kan kontroversial,” kata Sahal. Yahudi di Nusantara Kemungkinan DNA orang Yahudi masuk ke Indonesia sangat besar. Kehadiran orang Yahudi di kepulauan Nusantara bersanding dengan kemunculan jaringan perdagangan antara Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Tiongkok. Abu Zayd Hasan al-Sirafi, seorang pelancong Muslim, menyebutkan peristiwa pembantaian oleh pemberontak Dinasti Tang, Huang Chao, pada abad ke-7 di Pelabuhan Guangzhou, Tiongkok. Sasarannya tak hanya pendukung Dinasti Tang, melainkan juga orang Muslim Arab, Persia, dan Yahudi. Pelabuhan Guangzhou menghubungkan perdagangan Timur Tengah, India, Asia Tenggara, dan Tiongkok. Jika ada rombongan dagang dari sini ingin menuju Timur Tengah, India, dan wilayah Asia Tenggara, mereka harus melewati Semenanjung Malaya. Di sini rombongan dagang akan tinggal sementara waktu untuk menunggu angin muson ke arah barat. Lamanya sekira enam bulan. Peluang penciptaan komunitas-komunitas berbasis etnik di Semenanjung Malaya pun mengada. “Jadi, kehadiran Yahudi bisa jadi sudah cukup lama di perairan ini sekalipun belum ada bukti-bukti sejarah yang konklusif,” ungkap Leonard C. Epafras dalam “Yahudi Nusantara Realitas Sejarah dan Dinamika Identitas” termuat di Jurnal Religio Volume 03 Nomor 02 Tahun 2013. Bukti kehadiran Yahudi di Kepulauan Nusantara secara terang termaktub dalam catatan Buzurg ibn Syahriyaar al-Ramhurmuzii, kapten kapal Persia pada abad ke-10. “Dalam jurnalnya yang berjudul Kitaab ‘Ajaaib al-Hind (Buku Keajaiban Hindia), menceritakan tentang aktivitas seorang pedagang Yahudi dari Oman yang bernama Ishaq ibn al-Yahuudii, ‘Ishaq si Yahudi’,” tambah Epafras. Ishaq sempat singgah di Sribuza atau Sriwijaya, sekarang wilayah Sumatra Selatan. Ishaq hendak menuju Tiongkok. Tapi dia bermasalah dengan penguasa tempatan. Buzurg tak menyebut secara jelas apa masalahnya. Dia hanya menceritakan bahwa Ishaq kena denda 20.000 dinar sebelum melanjutkan perjalanannya. Ishaq enggan membayar. Penguasa tempatan naik pitam dan membunuhnya. Catatan Buzurg tadi belum menggambarkan tentang percampuran orang Yahudi dengan penduduk tempatan. Tapi catatannya telah menegaskan tentang adanya interaksi orang Yahudi dengan penduduk Nusantara. Dan Sumatra adalah pintu gerbangnya. Ini ditegaskan lagi oleh Rusmin Tumanggor dalam Gerbang Agama-Agama Nusantara: Hindu, Yahudi, Ru-Konghucu, Islam, Nasrani: Kajian Antropologi Agama dan Kesehatan di Barus. “Dalam kurun waktu yang lama kota Barus telah banyak dikunjungi oleh berbagai suku bangsa dari berbagai negara. Mereka adalah pengembara dari Cina, Yahudi, India dan Arab,” catat Rusmin. Barus merupakan kota pelabuhan dagang di Sumatra Utara. Ekspornya bernama Kapur Barus yang berguna sebagai pengawet jenazah. Sohor hingga mancanegara sejak seribu tahun lalu. Percampuran Yahudi dengan penduduk Nusantara mulai terlihat pada abad ke-15. Thigor Anugrah Harahap, alumnus Program Studi Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, menyatakan orang-orang Yahudi telah menetap di wilayah Sulawesi. “Di wilayah ini, dipercaya terdapat banyak menetap orang-orang Yahudi Marrano ,” kata Thigor yang pernah meneliti Komunitas Yahudi di Indonesia. Hasilnya dia tuangkan dalam Menelusuri Komunitas Yahudi di Indonesia . Thigor menambahkan, orang-orang Yahudi Marrano di Sulawesi bahkan masih ada keturunannya hingga sekarang. Yahudi Marrano adalah orang Yahudi beragama Katolik dari Spanyol atau Portugis. Mereka meninggalkan agama Yudaisme tersebab paksaan dari pengadilan Gereja Katolik Roma. Masa pemaksaan ini dikenal dengan sebutan Masa Inkuisisi. Meski telah memeluk Katolik, diskriminasi dan tekanan tetap menyasar ke Yahudi Marrano. Yahudi Marrano tidak betah tinggal di Spanyol atau Portugis. Mereka memilih ikut rombongan para penjelajah Samudra ke wilayah Asia Tenggara. Di sini mereka membangun kehidupan baru dan beranak-pinak. Sebagian kembali menganut Yudaisme, lainnya tetap memilih Katolik. Ada juga keturunan Yahudi pemeluk Islam. Diaspora Yahudi Keberagaman agama keturunan Yahudi menunjukkan bahwa identitas Yahudi bisa memadat, mencair, mengental, bercampur, menghilang, atau berganti identitas baru. “Identitas seseorang atau sekelompok orang juga tidak tunggal melainkan jamak dan berlapis. Pemaknaannya bergeser sesuai dengan konteks zaman, tempat, dan kondisi relasi antar-kelompok,” ungkap Epafras. Pergerakan identitas orang Yahudi bertaut erat dengan sejarah diaspora dan migrasi mereka. Diaspora beririsan dengan migrasi, tetapi tidak sepenuhnya sama. “Tidak semua orang yang bermigrasi dapat dikatakan berdiaspora. Ada tiga kriteria khusus yang membedakan diaspora dengan migrasi manusia,” kata Thigor. Kriteria pembeda diaspora dan migrasi adalah dispersion , homeland orientation , dan boundary maintenance . Dispersion berarti bertebaran di tempat berbeda. Homeland orientation bermakna adanya ingatan khusus tentang kampung halaman mereka sebagai sumber nilai, loyalitas, dan identitas. Boundary maintenance berhubungan dengan segala upaya merawat budaya atau tradisi kampung halaman di tempat baru. Diaspora dan migrasi orang Yahudi bermula dari serangan pasukan Nebuchanedzzar dari Babilonia ke Kerajaan Yehuda pada 587 SM. Kerajaan Yehuda merupakan bagian dari Kerajaan Israel Selatan. Pendirinya suku Yehuda, keturunan Solomon dan David. Serangan itu memaksa sebagian suku Yehuda bermigrasi. Ketika Cyrus Agung dari Persia menguasai Babilonia pada 539 SM, suku Yehuda beroleh izin pulang ke tanah kelahirannya. “Kerajaan anak-anak Israel lahir kembali dan mereka kali ini menyebut diri mereka sebagai orang-orang Yehuda atau Yahudi yang kita kenal saat ini,” terang Thigor. Masa itu orang-orang Yahudi masih memiliki ciri fisik spesifik. Menurut Carl C. Seltzer dalam The Jew-His Racial Status , perawakan orang Yahudi berbadan cenderung pendek, pigmen kulit berwarna coklat, rambut hitam atau kecoklatan, mata coklat, kulit beragam dari putih hingga coklat muda, rambut bergelombang dan keriting, kepala panjang dan melancip, hidung mancung agak menungging ( the jewish nose ), dan wajah berbentuk oval. Komposisi biologis orang Yahudi berubah seiring kedatangan orang-orang Yunani pada 400—104 SM. Serentang itu terjadi banyak pernikahan silang. Sementara suku Yehuda di perantauan pun juga menikah silang. Keturunannya jelas memiliki ciri fisik berbeda dari leluhurnya. Juga tradisi dan agama yang tidak lagi sama dengan suku Yehuda di Israel. Serangan terhadap kerajaan Israel berulang kembali pada 70 M. Kali ini orang-orang Romawi mengusir Yahudi dari kampung kelahirannya. Sejak itulah orang Yahudi bertebaran dari wilayah Asia Minor, utara Afrika, hingga Eropa. Orang Yahudi mendekam lama di wilayah tersebut, di bawah kuasa pelbagai dinasti dan kekaisaran. Dari Islam, Katolik Roma, Arab, Mameluk, sampai Spanyol. Hingga muncul masa pemikiran modern tentang negara dan bangsa. Mereka pun mengkreasi ulang ke-Yahudi-annya. Misalnya keturunan Yahudi di Utara Amerika mengakui dirinya sebagai warga negara Amerika Serikat setelah 13 negara bagian mendeklarasikan negara Amerika Serikat pada 1776. Begitu pula ketika meletus Revolusi Prancis pada 1789. Keturunan Yahudi memperoleh kewarganegaraan Prancis. Di Hindia Belanda pada abad ke-19, keturunan Yahudi termasuk golongan Eropa. Kebangsaannya beragam. “Mereka itu terdiri dari Yahudi Belanda, Yahudi Jerman, Yahudi Belgia, Yahudi Turki, Yahudi Portugis, Yahudi Polandia, Yahudi Austria, Yahudi Rusia, Yahudi Rumania, Yahudi Hungaria, dan Yahudi Armenia,” catat Romi Zarman dalam Di Bawah Kuasa Antisemitisme Orang Yahudi di Hindia Belanda (1861—1942 ).   Semua kenyataan di atas menunjukkan kompleksitas orang Yahudi dan keturunannya. Tak pernah ada identitas tunggal pada orang Yahudi. Ketidaktahuan Sejarah Yahudi Sikap anti-Semitisme atau kebencian mendalam terhadap orang Yahudi lahir dari ketidaktahuan tentang sejarah mereka. Di Indonesia, anti-Semitisme juga mewabah. Bahkan orang Yahudi kerap salah diidentifikasi. Identitas mereka tumpang tindih dengan Zionisme, Yudaisme, Israel, dan tarekat Freemason . Padahal kelimanya berbeda. “Lahirnya gerakan Zionisme tidak ada sangkut pautnya dengan agama Yahudi. Faktor pendorong utama adalah keberadaan Yahudi hanya sebagai golongan etnis berstatus pariah,” tulis Martin van Bruinessen dalam “Yahudi Sebagai Simbol dalam Wacana Islam Indonesia Masa Kini”. Seseorang bisa mendukung atau menolak Zionisme tanpa harus dia punya hubungan sebagai Yahudi atau tidak. Yudaisme merupakan agama monoteis dan muncul pada masa Abraham, moyang orang Yahudi, 4000 tahun lalu. Yudaisme memang salahsatu pembentuk ke-Yahudi-an. Seseorang yang tidak berdarah Yahudi bisa memeluk agama ini. Setelah melalui serangkaian upacara, mereka akan ditahbiskan sebagai orang Yahudi. Israel adalah negara yang muncul di atas fondasi Zionisme, sedangkan Freemason merupakan organsasi rahasia dengan penekanan lebih pada nilai kemanusiaan universal ketimbang nilai religius tradisional. Anggota Freemason terdiri atas aneka rupa bangsa dan pemeluk agama. Organisasi ini berulangkali dituding memiliki serangkaian rencana untuk menguasai dunia. Dan tokoh dibaliknya sering disebut sebagai orang Yahudi. Kemunculan Zionisme dan Freemason mendorong sebilangan orang membuat Teori Konspirasi tentang kejelekan dan kejahatan orang Yahudi. Ketidakmampuan mengidentifikasi Yahudi sekaligus mencampuradukannya dengan hal-hal di luar Yahudi membuat sesuatu yang bersangkutan dengan Yahudi menjadi kontroversial di Indonesia. Entah itu orang Yahudi, keturunan Yahudi, atau seseorang yang punya DNA Yahudi. Sejarah menunjukkan bangsa ini telah berkarib lama dengan orang Yahudi. Orang Yahudi pun memiliki keberagaman identitas. Sama seperti penduduk Nusantara.

  • Melabuhkan Cinta di Makassar

    KETIKA mengingat Kota Makassar, Luciano Leandro sesekali terdiam sebelum bertutur. Ia mesti memilih momen saking banyaknya pengalaman berkesan di kota terbesar Indonesia Timur itu. Makassar merupakan kota pertama dari kiprahnya dalam persepakbolaan Indonesia. Ia merantau dari Brasil ke Indonesia pada 1995, dibawa agen bola Angel Ionita. PSM Makassar jadi klub pertamanya bareng sesama jogador (pesepakbola) senegaranya, Marcio Novo. Sebelum itu, ia tak kenal Indonesia apalagi Makassar. Ia sempat mengalami culture shock. “Karena sesuatu yang baru, friend . Semua beda. Lain juga kita melihat sesuatu yang belum pernah lihat di hidup kita. Aku di Brasil, hidup kita lain. Waktu datang ke sini kita kaget karena ada beberapa hal lain yang kita hidup di Brasil, itu beda,” kata Luciano mengenang . Perbedaan di luar lapangan, misalnya. Kendala bahasa membuatnya tidak mudah berbaur dengan para pemain lokal. Belajar bahasa Indonesia pun otodidak. Tak jarang ia mesti mengalihbahasakan maksudnya dengan bahasa “Tarzan”. “Ya komunikasi sama pemain-pemain dengan (isyarat) apa saja yang bisa kita bikin untuk mereka bisa mengerti. Misalnya soal makan. Saya suka seafood . Tapi di Makassar selalu (makan) ikan…ikan. Saya ingin makan ayam. Tapi untuk saya bicara, aku harus begini…’Hey, ini’,” cetusnya sambil memeragakan gestur ayam yang diingatnya saat itu, bikin rekan-rekan setimnya ngakak berjamaah. Luciano Gomes Leandro belajar bahasa Indonesia secara otodidak (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Di lapangan, ia juga kaget soal banyak hal. Mulai dari permainan keras menjurus kasar pemain lokal tim lawan, hingga kelakuan barbar suporter. Utamanya suporter tim lawan. “Awalnya saya merasa pertandingan di sini terlalu berat. Kadang-kadang kasar. Kalau main di tempat lawan sulit sekali ke mana-mana. Gara-gara penonton (brutal),” lanjutnya. Hal serupa juga masih dirasakannya kala pindah ke Persija Jakarta pada 2000. Sebelum ke Persija, ia sempat pulang ke Brasil dari Makassar pada 1998 gara-gara terjadi huru-hara Mei 1998 yang berimbas ke sepakbola nasional musim 1997-1998. “Padahal saat itu kita ada di posisi satu (Divisi Timur). Tapi distop gara-gara ada masalah (kerusuhan) 1998. Kita tetap harus selesaikan kontrak, baru setelah itu aku pulang ke Brasil,” kata Luci, sapaan akrab Luciano. Bukti Cinta pada Makassar Saat di Brasil, Luci tak mengetahui masa depannya dalam persepakbolaan Indonesia sampai sesuatu yang tak diduganya ujug-ujug menghampiri. “Waktu 1999 ada telefon dari Persija, dari ibu Diza Rasyid Ali, menawarkan apakah saya mau main di Persija, di Jakarta,” sambungnya. Luci menerima tawaran itu. Mulai tahun 2000, ia berkostum Persija. Sekalipun begitu, Makassar tetap terpatri di hatinya. Selain karena PSM Makassar klub perdananya di Indonesia, ia takkan pernah lupa sambutan hangat masyarakat kota itu kala pertamakali berkiprah. “Dengan suporter Makassar, semua baik. Saya senang melihat dukungan di sana, friend . Saya pun menikah di sana dengan pacar saya, Denise Miranda. Anak saya yang pertama, Jasmine, lahir di sana. Apa saja masyarakat Makassar lakukan bantu ikut. Saya melihat di Makassar seperti di dalam keluarga besar,” tambahnya. Masyarakat Makassar menerima Luci tak hanya karena Luci rendah hati dan hangat. Menurut Mustafa Amri, sekjen The Macz Man (suporter PSM Makassar), keramahan suporter Makassar disebabkan oleh performa apik Luci di lapangan. “Saya pernah bicara sama dia. Dia bilang yang tak bisa dilupakan adalah keramahan orang Makassar. Pernah ada penjual buah di Mappanyuki, saat dia (Luci) lewat, tiba-tiba disodori buah. Andai jalan lagi macet, pasti ada saja yang buka jalan buat dia,” ujar Mustafa kepada Historia. Hotel Makassar milik Luciano Leandro di Macae, Rio de Janeiro (Foto: Facebook Hotel Makassar Macae) Kecintaan Luci pada Makassar lantas dibuktikannya dengan menamakan hotelnya di Macaé, Rio de Janeiro, Brasil dengan Hotel Makassar. “Jadi waktu saya pulang ke Brasil, saya bikin hotel di sana. Saya rasa harus terimakasih pada Kota Makassar, apa saja yang saya dapat di sana. Saya mulai bisnis hotel itu tahun 2003,” tutur Luci. Tidak hanya menamai Hotel Makassar, Luci juga banyak menghiasi interior hotelnya dengan foto-foto dan ornamen-ornamen berbau Makassar. Tak lupa, ia memajang kostum Makassar yang pernah dikenakannya selama sepakterjangnya di PSM. Mustafa turut angkat jempol buat bukti kecintaan Luci pada Makassar meski Luci pernah gagal melatih PSM Makassar pada 2016. “Itulah. Kayaknya sudah sebagian diri dia terkontaminasi dengan hal-hal yang berbau Makassar. Dia buktikan kata-kata bahwa dia tak bisa lupa Makassar. Sayang saat jadi pelatih gagal. Tapi enggak bakalan terhapus kenangannya. Saat jadi pemain, dia tetap diakui legenda oleh orang Makassar,” pungkas Mustafa.

  • Sabri dan Jejak Leluhur Asia Timur pada Orang Jawa

    Siapa pun yang mendengar Swastika Noorsabri bicara pasti akan menebak ia berasal dari Jawa. Gaya bicaranya medhok.  Apalagi dia lahir dan besar di Kota Yogyakarta. Begitu pula ayah, ibu, kakek, dan neneknya, berasal dari suku Jawa. “Eyang buyut yang saya ketahui dari ibu itu (asalnya, red. ) Semarang. Itu cerita yang saya dengar. Kalau ayah dari Purworejo,” kata Sabri. Sabri bercerita, kakek dari pihak ayah adalah kepala Desa Wingkoharjo di Purworejo. Namanya Kartowiryo atau biasa disebut Lurah Kartowiryo.Kakeknya menikahi neneknya yang berbeda desa, tetapi masih di wilayah Purworejo. Simbah putrinya itu, dipanggil Sulaibah, berprofesi sebagai pedagang.Sementara kakek dari pihak ibu berasal dari Semarang. Nama kecilnya Basirun. Ayahnya Basirun, atau kakek buyut Sabri, bernama Mbah Delan. Baik Kakek buyut maupun sang kakek, keduanya pegawai Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) pada zaman Belanda. “Memang ada sertifikat semacam itu yang besar ditempel di dinding,” kata Sabri. Kalau nenek Sabri dari pihak ibu berasal dari Solo. “Leluhurnya dari Solo tapi begitu pecah Perang Diponegoro, leluhur saya ini kemudian mengungsi ke Semarang,” ujar Sabri. Kendati seluruh keluarganya hidup di Jawa sejak lama, Sabri cukup heran dengan bentuk hidung dan mata kakeknya. “Ada yang hidungnya mancung. Ini mungkin ada keturunan Arab atau sekitar-sekitar situ,” kata Sabri. “Lalu kalau melihat bentuk mata adik saya dan saya sendiri yang tidak terlalu belo' , saya juga punya pikiran pasti ada campuran dari daerah Asia Timur.” Untuk menyudahi rasa penasarannya, Sabri pun mendaftar tes DNA lewat Proyek DNA Asal Usul Orang Indonesia garapan historia.id . Siapa yang menduga, kalau lebih dari separuh DNA Sabri membawa jejak leluhur dari Asia Timur, yaitu sebesar 78,45 persen. Sisanya sebagian dari DNA orang-orang Asia yang menyebar, dari Timur Tengah, tepatnya Irak-Kurdi, dan sebagian lagi dari Asia Selatan. Migrasi Austronesia Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia, menjelaskan bahwa gen Asia Timur dalam hasil tes DNA Sabri bisa berasal dari Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Korea, Malaysia, atau Macau di Hongkong. “Jika melihat dari perjalanan DNA-nya, kan dari utara. Saya mengira Asia Timur yang dimaksud di sini adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” kata Hera. Austronesia merupakan rumpun bahasa yang mencakup sekira 1.200 bahasa . Dituturkan oleh populasi yang mendiami kawasan lebih dari setengah bola dunia. Sebarannya meliputi Madagaskar di ujung barat hingga Kepulauan Paskah di ujung timur Pasifik, serta dari Taiwan-Mikronesia di batas utara hingga Selandia Baru di batas selatan. Sebaran Bahasa Austronesia di dunia. Menurut Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, para penutur Austronesia muncul 7.000-6.000 tahun yang lalu di Taiwan. Pada 5.000 tahun yang lalu mereka kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia. Itu sambil membawa budaya khas neolitik, yang cirinya hidup menetap, bertani, dan beternak. Di Indonesia, penutur Austronesia hadir sejak 4.000 tahun yang lalu. Secara genetis, menurut Hera, datangnya penutur Austronesia ini adalah gelombang ketiga dari empat gelombang migrasi yang masuk ke Nusantara. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Cina Selatan (Yunan) menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai ke Sulawesi dan Kalimantan. “Ini yang teori Out of Taiwan, termasuk dari Tiongkok daratan masuk Formosa lewat Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” jelas Hera. Menurut Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia, para penutur Austronesia muncul 7.000-6.000 tahun yang lalu di Taiwan. Pada 5.000 tahun yang lalu mereka kemudian menyebar ke berbagai bagian dunia. Mereka membawa budaya khas neolitik, yang cirinya hidup menetap, bertani, dan beternak. Di Indonesia, penutur Austronesia hadir sejak 4.000 tahun yang lalu. Secara genetik, menurut Hera, penutur Austronesia datang pada gelombang ketiga dari empat gelombang migrasi yang masuk ke Nusantara. Mereka adalah sekelompok orang yang berkelana dari Cina Selatan (Yunan) menyebar ke Taiwan, Filipina, sampai Sulawesi dan Kalimantan. “Ini yang teori Out of Taiwan, termasuk dari Cina Daratan masuk Formosa lewat Filipina turun ke Kalimantan, yang ke barat menyebar sampai ke Madagaskar, yang ke timur menyebar ke Papua sampai ke Polinesia,” kata Hera. Migrasi Austroasiatik Namun, ada jejak lain jika melihat hasil tes yang menyebut Vietnam sebagai asal usul gen Asia Timur Sabri. “Vietnam itu biasanya masuknya lewat Asia Tenggara daratan ketika Paparan Sunda masih jadi satu. Itu dari migrasi gelombang kedua,” kata Hera. Migrasi ini, kata Hera, terjadi lebih dulu dibanding migrasi Austronesia. Dari asalnya di Yunan, mereka tak pergi ke Taiwan tapi langsung ke selatan menuju Asia Tenggara Daratan, seperti Vetnam dan Kamboja, menyusuri Semenanjung Malaya hingga ke Sumatra, Jawa, dan Kalimantan . “Jadi ini (leluhur Asia Timur Sabri, red . ) kalau bukan mereka yang berbahasa Austronesia, juga bisa Austroasiatik,” kata Hera. Jalur migrasi penutur Austroasiatik dan Austronesia ke Nusantara. Austroasiatik adalah rumpun bahasa yang berbeda. Namun diduga bahasa itu berasal dari satu rumpun yang sama dengan Austronesia. Truman Simanjuntak, arkeolog senior di Pus at Pene lit ian Arke ologi Nas ional dalam “The Western Route Migration: a Second Probable Neolithic Diffusion to Indonesia” termuat di New Perspectives in Southeast Asian and Pacific Prehistory , menjelaskan baik bahasa Austronesia maupun Austroasiatik, keduanya berasal dari bahasa Austrik yang dipakai di Yunan. Bahasa itu kemudian terpecah dan berkembang masing-masing. Bahasa Austroasiatik digunakan di sekitar Asia Tenggara Daratan. Sedangkan Bahasa Austronesia digunakan di sekitar wilayah kepulauan, seperti Taiwan, Filipina, Pasifik, Madagaskar, hingga Pulau Paskah, sesuai persebarannya. Kedua bahasa itu disebarkan oleh ras Mongoloid. Secara arkeologis, kelompok penutur Austroasiatik, yang kemungkinan menjadi leluhur Sabri itu, berpindah lebih dulu ke Nusantara. Mereka mulai migrasi ke Nusantara sekira 4.300–4.100 tahun lalu. Mereka diperkirakan sebagai pembawa budaya Neolitik ke Nusantara.Salah satu hasil budayanyaadalah tembikar berhias tali. “Sementara Austronesia bisa ditandai dengan hasil budaya gerabah berslip merah,” catat Truman. Rupanya, penutur Austronesia lebih bisa mempengaruhi penutur Austroasiatik yang sudah lebih dulu di Nusantara. Seluruh masyarakat pun akhirnya berbahasa Austronesia. Kemampuan mengadaptasikan diri terhadap lingkungan kepulauan memungkinkannya terus berkembang hingga menurunkan keragaman etnis bangsa Indonesia sekarang. “Kita adalah mereka yang berbahasa Austronesia,” kata Hera. DNA Menjawab Bagi Hera, hasil tes yang diterima Sabri tak mengherankan. Sebelumnya, ia pernah pula membuktikannya melalui studi genetika. Dia melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 70 populasi etnik dari 12 pulau menggunakan penanda DNA. “ P ada orang Jawa dominan Autroasiatiknya, Khmer, orang-orang itu yang duluan masuk ke Jawa. Baru yang tadi (Austronesia, red . ) dari Formosa atau Taiwan turun . Dua gen itu yang berpengaruh,” kata Hera. Dugaan Sabri pun tak sepenuhnya salah. Asal usul hidung mancung kakeknya termaklumi dengan adanya jejak genetis leluhur dari Asia Selatan dan Kurdi. "Asia Selatannya dari Bangladesh, khususnya Suku Bengali,” kata Hera. “Sepengetahuan saya Suku Bengali memang ada yang pergi ke Indonesia untuk berdagang. Jadi wajar apalagi ibunya Semarangan. Itu pelabuhan besar sekali.” Pun terjawab sudah alasan bentuk matanya, yang bagi Sabri, tak belo’. Rupanya punya leluhur Jawa, lahir dan besar di Yogyakarta, berbicara dengan aksen medhok pun tak melepasnya dari jejak leluhur pendatang pada ribuan tahun silam. Akhirnya memang tak ada yang namanya DNA 100 persen murni Indonesia.

  • Asal Gen Yunani-Siprus dalam DNA Ariel

    NAZRIL Irham atau yang populer disapa Ariel Noah mengaku kerap menerima celetukan “rasis” dari teman-temannya. “Ah pelit lu, Padang!” Begitulah celetukan yang jamak diterima oleh musikus kelahiran 16 September 1981 itu. Namun alih-alih menanggapi, Ariel tak ambil pusing dengannya. Ia menganggapnya semata selorohan saja. “Nggak sampai bully , hanya ejekan ringan,” kata Ariel pada Historia sambil terkekeh. Lahir di Pangkalan Brandan, Langkat, Sumatera Utara, Ariel tumbuh sebagai remaja di lingkungan berbahasa Sunda di Bandung. Keluarganya berasal dari Sumatera. Ariel mengidentifikasi dirinya sebagai orang Padang. Garis leluhur dari pihak ibunya berasal dari Padang, sementara ayahnya campuran Padang-Batak. Kakek Ariel dari pihak ayah merupakan orang Padang dari Bonjol, sementara neneknya seorang Batak bermarga Siregar. “Di Padang, di tempat ibu ada satu silsilah besar tentang keluarga kami. Tapi kalau dibikin sampai ke atas, jangankan buku, tembok kayaknya juga nggak akan cukup,” sambungnya. Ariel menjadi salah satu tokoh publik yang mengikuti Proyek DNA Historia.id untuk mengetahui asal moyangnya. Dalam Deoxyribonucleic acid (DNA), terdapat susunan genetika yang membentuk identitas spesifik tiap orang. DNA tidak berubah sepanjang hidup. Tiap orang menerima setengah dari ibu dan setengah dari ayah yang memungkinkan pernyaluran genetik dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dengan begitu, DNA membawa cerita mengenai evolusi dan migrasi manusia. Gambaran migrasi tersebut menjadi rujukan asal-usul moyang orang Indonesia. “Kita satu negara bisa banyak sekali keberagamannya. Dan itu menarik. Berbekal dari pengetahuan masa lalu, bagus untuk masa depan. Terutama menghindari bully yang tak perlu tentang kesukuan,” kata Ariel. DNA Ariel Dari hasil tes DNA , Ariel memiliki 79.78% gen Asia Selatan, 15.14% Asia Timur, 5.02% Asian Dispersed, dan 0.05% Timur Tengah. Seperti responden lain, Ariel memiliki persentase DNA Asia Timur yang cukup tinggi, dideteksi berasal dari Guam, pulau kecil di Pasifik. Sementara, gen Asian Dispersed yang dimiliki Ariel menggambarkan migrasi orang-orang Asia Timur dan Selatan ke Amerika Utara. Moyang genetik Asian Dispersed sama seperti orang Indonesia namun umur gennya lebih muda. Sementara, gen Asia Selatan yang dimiliki Ariel merujuk pada negara-negara seperti Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maladewa, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka. Dalam DNA Ariel terdapat beragam varian India, yakni India secara umum, Golla, Bangladesh, Gope, Tamil, Rajput, Nepal, dan Bhutia. “Sebagian besar DNA Ariel berasal dari Asia Selatan dengan beragam etnik atau suku yang ada di India. Tidak dijelaskan spesifik dari India mana, berarti yang ada di tubuh Ariel umum dimiliki oleh orang India,” kata Profesor Herawati Supolo Sudoyo, peneliti dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, pada Historia. Jika menilik ke belakang, hubungan antara orang Batak (nenek dari pihak ayah Ariel) dan Tamil sudah terjalin sejak abad ke-6. Pedagang-pedagang Tamil mendirikan kota dagang bernama Barus, terletak di pesisir barat Sumatra Utara. Mereka berdagang kapur barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Paul Munoz dalam Kerajaan-Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia menyebut, kelompok etnik utama di Barus pada waktu itu pastilah orang Tamil. Fakta bahwa Barus selamat dari Cola, dinasti Tamil di India Selatan, selama serangan 1025 M menunjukkan bahwa kota itu tidak dalam pengaruh Sriwijaya melainkan di bawah kendali serikat pedagang Tamil. Dari para pedagang Tamil inilah gen India berpindah ke Nusantara dalam gelombang migrasi yang paling modern. Lebih jauh lagi, semua migrasi bermula dari Afrika pada 50.000 tahun lalu. Manusia purba dari Afrika pergi ke Eropa lewat Timur Tengah. “Orang-orang yang tinggal di Nusantara tak lepas dari pengembaraan dunia karena posisi Indonesia berada di persilangan migrasi,” kata Hera. Gelombang pertama yang keluar dari Afrika ini masuk ke Indonesia melalui dua jalur. Pertama, menyusuri pinggir pantai, menyeberang ke arah timur lewat Nusa Tenggara. Kedua, melewati Kalimantan, Luwuk Banggai, Raja Ampat, dan Fakfak. Pada gelombang kedua, yakni 30.000 tahun lalu, migrasi masuk lewat Kalimantan, Sumatra, dan Jawa. Pada migrasi ketiga yang disebut Out of Taiwan , orang-orang dari Cina Daratan masuk ke Formosa, ke Filipina, lalu turun ke Kalimantan. Dari sini, jalur pecah jadi dua, yang satu berjalan hingga Madagaskar, sedangkan satu lainnya ke Papua, berlanjut hingga ke Polinesia. Keempat adalah masa sejarah antara tahun 700 sampai 1400 Masehi. Orang-orang Eropa, Tiongkok, India, dan Arab berdatangan ke Nusantara. “Semuanya mempengaruhi DNA orang Indonesia. Makin ke Timur makin banyak unsur genetika Melanesia,” kata Hera. Perjalanan Gen Yunani-Siprus DNA Ariel menunjukkan dirinya punya fragmen genetika dari Yunani-Siprus. Gen ini berasal dari Pulau Siprus di Laut Mediterania bagian timur. Pulau di selatan Turki, di barat Suriah, di utara Afrika, dan di timur Yunani itu sudah didiami sejak milenium ke-11 SM dengan ditemukannya desa pertanian Mediterania tertua di Siprus barat daya. Orang Yunani Kuno (terutama Akhaia) baru menetap di Siprus pada Zaman Perunggu Akhir. Hubungan inilah yang jadi cikal-bakal gen Yunani-Siprus dalam tubuh Ariel. Dalam artikel “Y-Chromosomal Analysis of Greek Cypriots Reveals A Primarily Common Pre-Ottoman Paternal Ancestry with Turkish Cypriots”, Profesor Epidemiologi di Universitas Nicosia Siprus Alexandros Heraclides bersama Profesor Eva Fernandez-Dominguez, arkelog dari Universitas Durham, Inggris dan rekan-rekan lainnya menduga gen Yunani-Siprus mulai ada di pulau itu pada awal Zaman Besi (sekitar 1000 SM). Posisi istimewa Siprus, yang terletak di persimpangan tiga benua, menghasilkan sejarah  penuh gejolak yang didominasi banyak kerajaan besar. Di pulau itu, orang Fenisia (Phoenician) hidup bersama orang Yunani yang seiring waktu menjadi Hellenik. Siprus juga pernah dikuasai Asyur, Persia, Macedonia semasa Alexander Agung dan penggantinya dari dinasti Ptolemeus di Mesir. Semasa penguasaan Romawi, ia dimasukkan menjadi bagian dari Kekaisaran Bizantium. Penaklukan Pulau Siprus berlanjut semasa Perang Salib, oleh Richard the Lionhearted of England. Setelah itu, penguasaan atas Siprus dilakukan oleh pemerintahan keluarga Frankish Lusignan, diikuti oleh pemerintahan Venesia, penguasaan selama tiga abad oleh Ottoman (1571 ± 1878), dan terakhir oleh Inggris hingga Siprus merdeka pada 1960. Singgungan yang beragam dengan bangsa lain ini membuat fragmen genetika Yunani-Siprus bisa terbawa hingga ke Asia Selatan, lalu berlanjut hingga ke Nusantara. Daerah itu juga berada di jalur migrasi Mediterania dan India. Di sana terdapat pertemuan antara Asia Barat dan Mesir (Afrika Utara) yang sebagian besar terdiri dari Arab, Turki, Persia, dan Kurdi. Menurut Hera, dalam kelompok migrasi itu juga terdapat populasi kecil dari Bengal, Pakistani, dan Yunani-Siprus. “Mediterania Timur memang sangat berpengaruh dalam migrasi. Itu menarik tempatnya karena berbatasan dengan Turki, Siria, Lebanon, Israel, Palestina, Yunani, dan Mesir. Yang tinggal di situ kebanyakan Armenian dan Turki. Jadi dari sanalah bagian (DNA) Timur Tengah-nya,” kata Hera.

  • Terpaksa Ganti Uang Negara yang Dipakai Foya-Foya

    BAGI petualang seperti Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang kemudian menjadi pengusaha berjuluk “Raja Mobil Indonesia” dan sahabat Bung Karno, menjadi ajudan presiden atau birokrat di sekretariat wakil presiden sama-sama menyiksanya. Keduanya amat monoton dan membunuh dinamika kehidupannya. Itulah yang dirasakan Hasjim di ibukota Yogyakarta pada awal 1946. “Aku sudah jemu di kota itu. Aktivitasku mandek. Dengan Ford Cabriolette-ku aku hanya mondar-mandir tanpa arti, selain mengantarkan pejabat negara sampai menteri yang mau bepergian ke luar kota,” kata Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Maka begitu KSAL Laksamana M. Nazir mengajaknya ikut menginspeksi pangkalan AL di Tegal dan Cirebon, Hasjim langsung mengiyakannya. “Setidak-tidaknya aku akan meninggalkan Kota Yogya yang menjemukan itu untuk beberapa hari,” sambungnya. Menggunakan mobil pribadi Hasjim, mereka mengunjungi Tegal selama dua hari dan Cirebon juga dua hari. Darwis Djamin, panglima AL Tegal, ikut menemani ke Cirebon.  Pada malam terakhir, Hasjim diajak Nazir berunding dengan Darwis. Hasjim diminta menyelundupan persenjataan, obat-obatan, spare part kendaraan, dan kain untuk kebutuhan AL di Tegal. Sejak Jakarta dinyatakan sebagai kota tertutup, AL Tegal kesulitan mendapatkan barang-barang itu. Kedua perwira AL itu sepakat melakukan penyelundupan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sebagaimana dilakukan pejuang lain di berbagai tempat untuk menyiasati blokade yang diterapkan Belanda. Di AL, Laksamana John Lie merupakan nama penyelundup paling populer. Aksi John Lie bahkan sampai masuk Majalah Life . “John Lie disebut sebagai The Great Smuggler with the Bible ,” tulis Julius Por dalam Laksamana Sudomo, Mengatasi Gelombang Kehidupan . Kendati sempat ragu, Hasjim akhirnya menerima tugas itu. Banyaknya kenalan yang dimilikinya, besarnya akses ke petinggi republik, dan keinginannya meninggalkan Jogja menjadi alasan penerimaan tugas itu. Berbekal surat Muhammad Said, kepala bagian logistik markas AL Tegal, kepada seorang Cina di Perusahaan Lip Seng & Co di Glodok yang biasa memasok kebutuhan AL Tegal, Hasjim memulai petualangannya ke Jakarta dengan menumpang keretaapi isitmewa yang membawa rombongan PM Sjahrir. Segera setelah tiba di Jakarta, Hasjim ke Glodok. Dari orang Cina itu Hasjim menerima setumpuk uang Jepang yang kemudian ditolak Hasjim karena AL Tegal lebih memerlukan uang NICA yang kala itu disebut Uang Merah. Uang itu berlaku di semua tempat yang diduduki Belanda. Namun karena tidak mudah menyediakan Uang Merah, Hasjim baru memperolehnya seminggu kemudian sejumlah  f 10 ribu alias jauh dari yang dibutuhkan pangkalan AL Tegal. Namun, petualangan paling menantang Hasjim sesungguhnya adalah ketika menyelundupkan senjata ke Tegal. “Mendapat barang-barang kebutuhan angkatan laut sebagaimana ia dipesankan tidak begitu sulit di Jakarta. Membawanya keluar dari Jakarta cukup sulit. Karena setiap jalan ke luar kota dijaga dengan berlapis-lapis. Penjagaan militer Inggris tidaklah masalah. Akan tetapi cegatan-cegatan serdadu NICA yang suka berpatroli sangat berbahaya,” kata Hasjim. Hasjim pantang menyerah menghadapi rintangan. Dengan putar otak dan bantuan kenalan-kenalannya di berbagai tempat, Hasjim akhirnya sukses melakoni perannya. Mulai peluru, revolver, hingga granat menjadi suplai rutinnya ke Tegal. Terlebih ketika dia sudah diberi jalan oleh sahabatnya, pengusaha Agus Dasaad. Namun, tetap saja Hasjim pernah gagal. Mayoritas disebabkan oleh ulah “orang-orang sendiri” yang tak amanah atau tak kuat godaan. Salah satu kegagalan itu terjadi saat Hasjim menitipkan beberapa ribu Uang Merah kepada seorang kawannya untuk diserahkan kepada Mayor Tumbelaka, petinggi AL di Jakarta. Uang itu ternyata tak sampai tujuan. Lantaran tak ingin nama baiknya tercoreng, Hasjim langsung mencari kawan itu. Di Karawang, Hasjim hanya mendapat informasi kawan itu sudah dua hari berangkat ke Jogja. Lewat bantuan Syamsudin rekannya, Hasjim akhirnya menemui kawan itu di sebuah tempat di Jogja. Sambil marah-marah, Hasjim menanyakan kenapa uang itu tidak disampaikannya kepada Mayor Tumbelaka. “Telah habis, Sjim. Ketika kami bersama-sama ke Solo dan Malang,” jawab kawan itu sambil ketakutan. Hasjim pun makin naik pitam. “Bukan peluru dan granat yang aku suruh bawa padamu. Tapi uang. Kau hambur-hamburkan uang negara itu pada cabo-cabo. Dengan apa akan kau ganti? Atau aku yang harus mengganti uang yang kau foya-foyakan itu?” Semua orang di ruangan pun terdiam ketakutan. Namun, kemarahan itu tak membuat Hasjim terlepas dari nahas. Kendati tak sedikit pun merasakan nikmat uang itu, dia tetap mesti bertanggung jawab mengganti uang negara yang ludes itu. “Untuk mengganti uang itu, aku terpaksa melepaskan sedan Vauxhall-ku pada Mayor Tumbelaka.”

bottom of page