top of page

Hasil pencarian

9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Grace Natalie Ternyata Punya Gen Afghanistan

    Grace Natalie, mantan jurnalis dan pembaca berita di sejumlah stasiun televisi, mengenang hari pertamanya bekerja sebagai jurnalis. Dia memperoleh perlakuan rasis dari sesama jurnalis. Saat itu dia berada di Cikeas, menunggu Susilo Bambang Yudhoyono memberikan pernyataan kepada pers setelah terpilih menjadi Presiden Indonesia 2004—2009. Grace berwajah oriental. Kulitnya terang. Seorang jurnalis lelaki memperhatikan ini. Dia mendekati Grace dan berbincang sekadarnya. Lalu pernyataan mengganggu keluar dari jurnalis lelaki itu. “Ngapain Lojadi wartawan? Kenapa gakbuka toko aja?” kata jurnalis lelaki, sebagaimana cerita Grace kepada Historia . Ucapan jurnalis lelaki itu berbekas sangat dalam. “Teringat sampai sekarang,” kata Grace. Ucapan itu termasuk stereotip terhadap orang-orang keturunan Tionghoa. Stereotip berarti penilaian orang hanya berpijak pada keyakinan subjektifnya, yaitu pengalamannya semata. “Sebuah stereotip mengenai suku bangsa itu muncul dari pengalaman seseorang atau sejumlah orang yang menjadi anggota sebuah suku bangsa dalam berhubungan dengan para pelaku dari sesuatu suku bangsa tersebut,” terang Parsudi Suparlan, guru besar Antropologi Universitas Indonesia, dalam Hubungan Antar-Suku Bangsa . Stereotip meniadakan pengalaman orang lain terhadap suku bangsa tertentu. Sebaliknya, ia justru menggeneralisasi pengalaman seseorang terhadap suku bangsa tertentu. Ia bersifat sempit, terbatas, jauh dari kebenaran, dekat pada pembenaran atas ketidaktahuan, dan berujung pada rasisme. Masihkah kita percaya pada stereotip? Pekerja Tambang Timah Grace mengatakan dirinya berasal dari Bangka, Timur Sumatra. Tapi dia tak tahu pasti kampung halaman leluhurnya. “ Gak pernah detail, sih , ceritanya. Karena kita, kan , gak mencatat. Jadi paling cerita mama terbatas sampai neneknya,” kata Grace. Dari cerita ibu dan pengalaman bertemu dengan saudara, Grace mengetahui kakek buyut dari pihak ibu sudah lama tinggal di Bangka. Leluhurnya kemudian menikah silang dengan orang tempatan. “Maka saya tak tahu persis siapa saja nenek moyang saya. Sudah campur-campur,” ujar Grace. Grace memperoleh keterangan lain tentang asal-usul buyutnya dari sebuah foto di rumah keluarganya di Bangka. “ Dia tampak dari ker a jaan di China. Datang ke Indonesia. T opinya ber bulu,” lanjut Grace. Menurut sejarawan Myra Sidharta dalam acara “Jejak Langkah Kaum Peranakan Indonesia, Silang Budaya Negri China dan Nusantara”, orang-orang Tionghoa menapak di Bangka pada awal abad ke-18. Kala itu pertambangan timah mulai dibuka. Mereka umumnya tidak membawa istri sehingga menikah dengan orang-orang tempatan. Dari penelusuran literatur tersebut, leluhur Grace kemungkinan termasuk di antara pekerja tambang timah di Bangka. Kemungkinan ini secara tidak langsung telah menggugurkan stereotip si jurnalis lelaki bahwa orang Tionghoa pedagang toko. Untuk memperjelas asal-usul leluhurnya, Grace mengikuti tes DNA garapan historia.id dalam Proyek DNA Asal Usul Orang Indonesia. Hasilnya mengejutkan. Asal-usul leluhur Grace ternyata tak tunggal. Dalam dirinya bukan hanya mengalir darah Tionghoa, melainkan juga Asia Timur secara lebih luas, diaspora Asia (orang-orang Asia yang menyebar ke Amerika Utara), Asia Selatan, dan Afghanistan. Migrasi Afghanistan “GakNyangka. Yang penampakannya kayak saya begini ternyata dulu-dulunya banget ada leluhur Afghanistan,” kata Grace. Persentase kandungan Afghanistan dalam DNA Grace 0,01 persen. Sangat kecil dibandingkan dengan persentase kandungan Asia Timur sebesar 76,92 persen. Tapi kandungan DNA sekecil itu sudah cukup mengukuhkan bahwa asal-usul dan identitas tidak pernah terbentuk secara tunggal dan berdiri sendiri. Afghanistan adalah sebuah negeri dengan sejarah panjang pendudukan aneka bangsa. Mulai pasukan Iskandar Zulkarnain dari Makedonia (sekarang wilayah utara Yunani) pada 330 SM, gerombolan Jenghis Khan asal Mongol pada abad ke-13, tentara Inggris pada abad ke-19, serdadu Uni Soviet pada 1979, dan prajurit Koalisi pimpinan Amerika Serikat pada 2001. Pendudukan orang-orang dari luar Afghanistan itu kerapkali tak berlangsung lama. Suku-suku setempat menggelorakan perlawanan terhadap para penyerang. Beberapa dinasti sempat berdiri di Afghanistan dan mengukuhkan penyebaran agama Islam di wilayah ini sejak abad ke-8. Agama Islam menyebar ke Afghanistan melalui ekspansi orang-orang Arab ke antero negeri di sekitarnya. Suku-suku setempat memiliki tanggapan berbeda terhadap penetrasi Islam di wilayah ini. Sebagian besar menerima, lainnya tetap menolak. Penerimaan suku setempat terhadap kedatangan orang-orang Islam dari negeri Arab diikuti oleh pernikahan silang. Muncul generasi-generasi baru suku-suku setempat. Generasi yang memiliki darah campuran. Pada kesempatan berikutnya, generasi campuran ini keluar dari Afghanistan menuju Asia yang lebih luas, termasuk ke Nusantara, untuk menyebarkan Islam di bawah perintah dinasti setempat. Dan di tempat-tempat baru inilah mereka menikah silang dengan orang-orang tempatan. Arti DNA Migrasi orang-orang dari banyak tempat dan pernikahan silang pada masa lalu dalam rentang waktu yang lama menjelaskan mengapa seseorang memiliki DNA dari beragam ras dan wilayah. Ini pula yang terjadi pada leluhur Grace. Herawati Supolo-Sudoyo, ahli genetika yang meneliti DNA sejumlah orang Indonesia, mengatakan bahwa Grace memiliki DNA orang Brahmin dari India. “Brahmin itu sebenarnya satu suku yang menggunakan kasta ya. Saya kira kita tahu kasta Brahma.” Pengkastaan dalam masyarakat India berlangsung sejak peleburan kebudayaan bangsa Arya dan Dravida di lembah sungai Hindus dan Gangga 3000 tahun lalu. Ini berarti leluhur Grace bisa ditarik ke masa lebih jauh. Termasuk menghubungkannya dengan penyebaran agama Hindu ke Kepulauan Nusantara sejak abad ke-5 M. Melihat keseluruhan hasil tes DNA, Grace kian menyadari tentang keberagaman asal-usul orang Indonesia. Keberagaman itu menguatkan kebanggaannya menjadi bangsa Indonesia. Dia sadar bangsa ini tidak terbentuk atas ikatan darah atau keturunan. “Yang menyatukan kita adalah kesamaan nilai, kesamaan visi, kesamaan cita-cita,” kata Grace. Bersama itu pula, tes DNA menghantam telak stereotip seseorang terhadap suku bangsa tertentu. Jika DNA seseorang memiliki keberagaman asal-usul, bagaimana mungkin seseorang bisa dilabeli secara sederhana dengan identitas tunggal sebagai pedagang ataupun penjaga toko?

  • Tes DNA Buktikan Keragaman Manusia Indonesia

    Pameran Asal Usul Orang Indonesia (ASOI) yang diselenggarakan oleh Historia bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, resmi dibuka oleh Dirjen Kebudayaan, Hilmar Farid, di Museum Nasional, 15 Oktober 2019. Pameran yang hendak memberikan perspektif baru tentang siapa leluhur orang Indonesia ini akan berlangsung hingga 10 November 2019. Pameran ini menampilkan hasil tes DNA sukarelawan seperti Najwa Shihab, Hasto Kristiyanto, Grace Natalie, Budiman Sudjatmiko, Mira Lesmana, Ayu Utami, Riri Riza, dan Ariel Noah, serta hasil tes DNA dari peserta umum terpilih yang mendaftar di microsite Historia yaitu Sultan Syahrir, Esthi Swastika, Irfan Nugraha, Farida Yuniar, Aryatama Nurhasyim, Solikhin, dan Zaenin Natib. Pameran ASOI ini, juga menampilkan peta penyebaran manusia di dunia dan Indonesia, serta sejarah manusia dari sudut pandang arkeologis dan antropologis. Gelombang Migrasi Homo Sapiens telah mengembara selama ratusan ribu tahun dari benua Afrika. Kemudian sekitar 50.000 tahun yang lalu, sampailah gelombang migrasi pertama di kepulauan Nusantara. “Jadi dari 150.000 tahun, 100.000 tahun berjalan mengembara melewati lingkungan yang berbeda. Ada hutan yang lebat sekali, orangnya pasti akan mengecil. Karena untuk mencegah penguapan. Rambut juga mungkin lebih keriting. Jadi semua itu yang menyebabkan kita menjadi berbeda dalam perjalanannya. Beragam, bukan berbeda,” ungkap Prof. Dr. Herawati Supolo Sudoyo, Deputi Penelitian Fundamental Eijkman Institute dalam pembukaan pameran ini. Kepulauan Nusantara menjadi menarik bagi para peneliti genetika karena keberagaman genetika. Lokasi Kepulauan Nusantara yang strategis mengalami empat gelombang migrasi manusia modern. Gelombang pertama yang datang ke Nusantara, berasal dari Afrika secara langsung melewati pantai selatan. “Dekat laut, dekat daratan juga. Jalan aja. Waktu mereka datang ke Nusantara, Kalimantan, Sumatera, dan Jawa masih jadi satu. Lautnya pendek,” kata Herawati. Menurut Herawati, sebagian manusia pada gelombang pertama itu pergi lagi ke satu daratan besar bernama Sahul. Sahul pada zaman itu, atau 50.000 tahun yang lalu, merupakan Papua dan Australia yang sekarang. Gelombang kedua, datang dari mereka yang sebelumnya telah sampai ke Asia daratan. “Ini biasanya pertanyaan. Oh kalau yang gelombang kedua itu mengahabiskan yang pertama ya? Karena perang, kompetisi lahan dan sebagainya. Jawabannya tidak. Karena kita melihat semua DNA yang kita periksa ada campurannya. Jadi itu berarti ada kawin-mawin,” kata Herawati. Gelombang ketiga datang dari Taiwan atau Pulau Formosa. Orang dari Taiwan ini awalnya juga datang dari Asia daratan. Mereka menyebar ke Filipina, Sulawesi, Kalimantan, membawa Bahasa Austronesia. Diaspora Austronesia ini juga sampai ke Madagaskar hingga Pulau Paskah. Sementara itu, gelombang keempat datang melalui jalur perdagangan dan pengenalan keagamaan sekitar tahun 700-1300. Orang-orang dari Eropa, India hingga Timur Tengah masuk melalui pelabuhan-pelabuhan di Nusantara. “Jadi kalau diperiksa itu, teman-teman yang lahir dan besar di Jepara, Rembang, Semarang, Tuban dan sebagainya, campur seperti gado-gado,” ujar Herawati. Gelombang-gelombang migrasi manusia ke Kepulauan Nusantara, kemudian menyebabkan terjadinya pencampuran gen orang Indonesia. Berangkat dari hal itu, menurut Herawati, toleransi bisa dibuktikan dari hasil penelitian genetika. Menolak Intoleransi Melalui tes DNA dalam proyek ini, yang hasilnya menunjukan keberagaman gen, dapat menjadi pengetahuan yang mencerahkan terkait permasalahan‘pribumi’ dan ‘non pribumi’maupun sentimen ras, etnis, serta agama yang belakangan muncul lagi. Perihal itu, Hamid Basyaib, dari Balai Pustaka, yang juga menjadi pembicara, menyebut bahwa etnisitas, yang seringkali memicu intoleransi hanyalah konstruksi sosial. “Etnisitas ini kan yang dipandang paling core . Itu konstruksi sosial. Maka konsekuensinya sikap rasisme misalnya, tidak punya dasar ilmiah sama sekali,” sebutnya. Menurutnya, sumber-sumber konflik terkait etnis merupakan politik belaka dan bahkan bukan agama. Ia mencontohkan sentimen anti-Semit yang semakin massif pasca didirikannya negara Israel. “Sebelum Israel berdiri itu tidak pernah jadi isu besar. Baru setelah Israel berdiri, baru kemudian dikait-kaitkan dengan hal-hal teologis yang lebih mendasar, yang lebih sakral dan sebagainya,” ungkapnya. Di Indonesia, yang menurutnya merupakan melting pot berbagai ras maupun etnis, sebenarnya telah memiliki sikap toleran sejak dulu. “Sekarang masalahnya, apakah benar bangsa ini juga seperti yang tercermin dipermukaan bahwa intoleran. Saya nggak yakin. Saya kira anda sangat terlalu terpengaruh oleh medsos, pada ujaran-ujaran kebencian pada orang yang kebetulan sangat menonjol,” sebutnya. Hamid menekankan agar masyarakat tidak membenarkan atau kesan-kesan intoleransi tersebut. “Kita nggak perlu memperteguh image bahwa terjadi atau muncul sikap intoleransi yang luar biasa akhir-akhir ini, 10 tahun terakhir, 5 tahun terakhir, atau terkait pilpres. Saya kira itu bukan gejala yang permanen,” katanya. Hasto Kristiyanto, Sekjen DPP PDI Perjuangan yang juga merupakan sukarelawan proyek DNA ini menyebut bahwa hasil penelitian DNA dapat membuktikan bahwa manusia Indonesia terbentuk dari pembauran multietnis dan tidak ada yang bisa mengklaim paling asli Indonesia. “Realitas uji coba DNA tersebut semakin mengukuhkan prinsip kebangsaan dan moto Bhinneka Tunggal Ika sebagai realitas yang hidup, menjadi nilai, dan kesadaran bahwa Indonesia adalah satu kesatuan bangsa yang berkesadaran dan berkehendak menyatukan diri dalam satu kesatuan wilayah Nusantara. Heterogenitas inilah yang menjadi alasan mengapa sila persatuan Indonesia begitu relevan,” sebutnya.

  • Membaca Ulang Abduh Aziz

    Pada 30 Juni 2019 lalu, dunia perfilman Indonesia kehilangan sosok Muhammad Abduh Aziz, Direktur Utama Perum Produksi Film Negara (PFN). Pria kelahiran Jakarta, 10 Oktober 1967 itu meninggal dunia karena serangan jantung, meninggalkan istri dan tiga anak. Bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-52, buku Film dan Kebudayaan: Esai-Esai M. Abduh Aziz diluncurkan 10 Oktober 2019, bersama rangkaian Pekan Kebudayaan Nasional 2019 di Istora Senayan, Jakarta. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Abduh, yang merekam gagasan dan pemikirannya terkait kebudayaan secara umum dan film secara khusus, yang mana masih relevan dengan dinamika kebudayaan hari ini. Dalam kumpulan ini, terlihat perhatian Abduh terhadap berbagai isu penting seputar kebudayaan, mulai dari RUU Kebudayaan, pers dan agenda kultural hingga persoalan film dokumenter dan film fiksi. Ia juga menyoroti masalah tata kelola pemerintahan di bidang kebudayaan, bayang-bayang Orde Baru dalam film Indonesia hari ini, serta persoalan industri film dan ekonomi. Abduh bukan hanya pemikir tapi juga praktisi yang aktif dalam produksi maupun kegiatan perfilman. Pada 1997, Abduh berkolaborasi dengan Garin Nugroho dalam pembuatan film Daun di Atas Bantal. Baik sebagai produser, penulis naskah, supervisor maupun sutradara, beberapa karyanya antara lain The Rainmaker /Impian Kemarau (2004), Pertaruhan /At Stake (2008), Working Girl (2009), Tjidurian 19 (2009), Atas Nama… (2010), K vs K / Kita Versus Korupsi (2011) dan Sebelum Pagi Terulang Kembali (2014). Abduh juga salah satu orang film yang memiliki perhatian besar terhadap sejarah. Baginya, salah satu hal penting dalam pemajuan kebudayaan ialah pendokumentasian. Dalam hal ini, menurutnya negara tidak memiliki visi yang jelas, terlihat dari kondisi Sinematek yang memprihatinkan. “Kita bisa melihat aliran dana untuk institusi penting ini sangat minim, sikap tidak acuh terhadap peningkatan keahlian pekerja arsip film apalagi mutu layanannya. Sikap terhadap kelalaian arsip film serta upaya konservasi materi sejarah film Indonesia menjadi bukti nyata yang tidak dapat dibantah,” sebut Abduh. Perhatian Abduh pada sejarah juga nampak ketika dia berkolaborasi dengan Lasja F. Susatyo membuat film Tjidurian 19  pada 2009. Film ini merekam testimoni pengalaman beberapa seniman Lekra, yaitu Putu Oka Sukanta, Amarzan Loebis, Amrus Natalsya, Martin Aleida, T. Iskandar AS, Hersri Setiawan, Oei Hay Djoen, S. Anantaguna, dan Jane Luyke.  Menurut Abduh, film ini tidak hendak membicarakan apakah Lekra adalah bagian PKI atau tidak. Bukan pula hendak menjelaskan tentang peristiwa G30S. “Karena menarik buat gue mengetahui pengalaman. Pengalaman person-person ini pada suatu masa dan pada suatu tempat. Dan ini gue pikir mudah-mudahan bisa membantu orang memahami masa itu dengan lebih jernih,” ungkap Abduh dalam wawancara dengan Jurnal Footage yang disertakan dalam buku ini. Sejak mahasiswa, Abduh telah menjadi koordinator periset penulisan sejarah bioskop di Indonesia (1990). Setelah lulus, ia memimpin rumah produksi Gemilang Enam Mitra (GEM), menjadi produser pelaksana film serial televisi Ali Topan Anak Jalanan , manager program SET Foundation & Komunitas TV Publik Indonesia (KTVPI) pada 2002-2003. Ia Menjadi Direktur Eksekutif Cangkir Kopi Mediavisual pada 2003 hingga 2019. Sejak 2016, ia menjadi Direktur Utama Perum PFN. Hilmar Farid, dalam pengantar buku ini, mengatakan bahwa tulisan-tulisan Abduh adalah cerminan kebudayaan yang begitu kompleks, penuh dinamika, dan ironi bagi mereka yang terlibat di dalamnya.  “Di sini Abduh sebagai pemikir dan praktisi adalah bagian dari gerakan sipil untuk memajukan kebudayaan,” sebutnya.

  • Ary Sudarsono si Peluit Emas

    SESEKALI ia ambil jeda untuk menyalakan rokok, Ary Sudarsono bercerita banyak tentang kariernya sebagai pemain bola basket. Sambil diselingi menghembuskan asap dari mulutnya, ia juga mengisahkan olahraga tersebut sempat membawanya ke negeri tetangga sebelah utara Sulawesi: Filipina. Bola Basket sudah mendarah daging buatnya. Olahraga inilah yang dipilihnya sebagai jalan hidup sejak kecil. Meski tak selaras dengan cita-cita, ia enggan lempar handuk. Gagal sebagai pemain, ia cari jalan lain dengan meretas reputasi sebagai pengadil lapangan. Kisah perantauannya ke Filipina bermula dari pertemuannya dengan timnas Filipina di sela jadwal cabang basket putra di SEA Games 1979, Jakarta. “Filipina menjelang semifinal mau latihan enggak ada lapangan. Saya dipanggil sama Perbasi untuk bantu cari lapangan dan mendampingi mereka. Kebetulan saya lagi ngajar juga di Kanisius. Jadilah mereka latihan di Kanisius. Saya juga ikutan latihan bermain,” kata Ary kepada Historia. Melihat cara bermain Ary yang ciamik dan beda dari rata-rata pemain timnas basket Indonesia, pihak San Miguel yang jadi sponsor Filipina saat itu terpesona. Saat itu Ary masih aktif sebagai pemain meski sejak 1978 sudah tak lagi di timnas. Pihak San Miguel langsung menawari Ary untuk bermain di Negeri Pinoy itu. Alih-alih langsung menerima, Ary mendiskusikan tawaran itu dengan sang ayah, Sudarsono Brotomidjojo, terlebih dulu. “Saya bilang, kayaknya saya mau ke luar negeri. Papa enggak sanggup karena enggak punya uang. Tapi saya bilang, ada yang ongkosin. Ya sudah, Bismillah saja. Seminggu setelah penutupan SEA Games, ada telefon dari Kedutaan Filipina bahwa saya juga ditawarkan kuliah di sana,” sambungnya. Ary berangkat merantau ke Filipina pada Januari 1980. Ia diberi kesempatan masuk tim Masagana 99, tim semi-pro yang namanya selaras dengan Program Swadaya Beras Presiden Ferdinand Marcos sejak 1962. Sebagaimana dijanjikan San Miguel, Ary juga diongkosi kuliah di jurusan komunikasi massa University of Santo Tomas. Alhasil, sampai sekarang Ary masih fasih berbicara bahasa Tagalog. “Kalau ketemu orang Filipina, ya gue masih bisa bahasa Tagalog. Belajarnya biar cepat ya pacaran sama cewek Filipina. Mereka kan juga sebenarnya bahasanya ‘Taglish’, Tagalog-English, campur-campur,” ujarnya. Di tim Masagana 99, Ary lebih dulu diberi program latihan khusus sendiri selama tiga bulan. Maklum, masih pemain baru berstatus titipan sponsor. Namun setelah menjalani “orientasi” tiga bulan itu, Ary tak jua diberi kesempatan tampil oleh pelatihnya, Boy Afable. “Ini sudah enam bulan kompetisi, saya enggak pernah main. Saya hanya jadi pemain cadangan ke-12. Saya tanya pelatih bahwa saya mau main. Dikasihlah kesempatan jadi cadangan kesembilan di tim kedua. Tapi dikasih latihan tambahan untuk dilakukan di rumah,” tutur Ary. Ary Sudarsono, bercerita panjang lebar tentang kiprahnya di dunia bola basket Indonesia. (Foto : Fernando Randy/Historia) Sial buat Ary. Ia justru dihantam cedera akibat ulahnya sendiri. Berambisi untuk bisa dimainkan, Ary melakoni program latihan yang diberikan lebih dari porsinya. “Dasar saya geblek. Latihan beban saya hanya boleh 20kg sebenarnya. Saya nyolong-nyolong masuk gym latihan angkat beban 60kg dengan harapan kaki kuat dan makin bisa pegang ring lah. Cederalah saya. Apes banget. Kena penyempitan saraf,” ujarnya sambil menunjuk bagian punggungnya. Di rumahsakit, Ary kena omel sang pelatih. Beruntung biaya pemulihan di- cover  San Miguel. Butuh tiga bulan buat Ary memulihkan kondisi fisik. Tetapi setelah pulih, pihak sponsor melihat “bakat” lain Ary di basket selain jadi pemain, yakni jadi wasit. “Dipanggil sama pihak sponsor. Dibilang, ‘Elu kan punya cita-cita angkat (nama) Indonesia. Kalau jadi pemain sampai tua enggak bakal tim Indonesia juara. Masuk tiga besar Asia aja susah. Elo jadi pelatih juga dihadapkan kenyataan beratnya pembinaan. Satu-satunya jalan kalau mau lihat dunia mengangkat nama Indonesia, belajar jadi wasit’, katanya,” sambung Ary. Beralih jadi Pengadil Lapangan Ary akhirnya melepas asanya jadi pemain top di tahun 1982. Di tahun itu dia memilih ikut kursus wasit di Filipina, hingga mendapat sertifikat internasional (FIBA) atas nama Filipina. Mulai 1983, ia mulai melanglang-buana mewasiti laga-laga basket. Tahun 1985 ia baru pulang ke Tanah Air. “Semenjak itu karier saya bagus di perwasitan. Saya sempat pimpin 12 pertandingan final internasional kurun 1983-1985. Sampai sekarang belum pernah dipecahin (wasit Indonesia lainnya). Ada (final) Willam Jones Cup, ada Pesta Sukan, ada Kejuaraan Asia Putri, ada pra olimpiade,” katanya. Moncernya karier Ary utamanya sejak menerima anugerah “Golden Whistle” dari FIBA Asia pada November 1983, tak lama setelah Kejuaraan Asia di Hong Kong. Dari situlah ia mulai dijuluki “Si Peluit Emas” alias The Golden Whistle. “Akhir 1983 setelah Kejuaraan Asia saya dipanggil Sekjen Asia yang dari Korea (Presiden FIBA Asia Lee Byung-hee, red. ). Dia umumkan penerima ‘The Golden Whistle Award’ tahun ini, dipanggillah nama saya, Mr. Sudarsono Ary from Indonesia. Nangis gue di situ. ‘Indonesia Raya’ berkumandang. Kebayang tampang bapak gue yang setahun sebelumnya meninggal. Dalam hati, bapak saya mesti lihat nih, akhirnya dapat juga (penghargaan internasional),” kenang Ary. Ary Sudarsono, mengenang masa - masa dimana dirinya menjalani peran sebagai wasit basket. (Foto : Fernando Randy/Historia) Ary diakui sebagai wasit yang keputusannya tak pernah bisa ditentang pemain. Itu berlaku baik di Indonesia maupun di mancanegara. “Sampai pernah koran Bangkok Post menulis, ‘Peluit yang muncul dari wasit ini tak pernah diprotes. Punya ilmu apa?’ Saya enggak punya ilmu apa-apa. Hanya saya menyadari bahwa saya wasit top, harus kasih lihat pemain, siapa gue. Dan gue harus tiup tapi dengan senyum. Jadi setiap foul gue tiup tapi dibarengi senyum, jadi pemain enggak protes,” lanjutnya lagi. Dari profesinya itu, Ary mengingat gaji wasit di laga-laga internasional yang paling bikin kantongnya gendut. “Di Indonesia zaman saya kejuaraan resmi Perbasi, per game sekitar Rp100 ribu. Di internasional saya bisa terima USD250 dengan kurs masa itu (1984) Rp3000 per satu dolar. Paling tinggi di William Jones Cup. Saya per game USD400,” papar Ary. Namun, karier sebagai wasit dilakoninya hanya sampai 1985. Pasalnya, Ary pilih menerima awaran beasiswa dari Alabama Sport Academy, Amerika Serikat. Di Negeri Paman Sam itu ia mendalami studi olahraga terkait perwasitan, kepelatihan, dan promosi olahraga hingga 1986. “Kebetulan kontrak saya juga sudah habis sama San Miguel Beer itu akhir Desember 1986. Sempat ditawarkan jadi warga negara Filipina saja. Tapi setelah papa meninggal, rupanya kehidupan ibu harus didampingi karena saya anak tertua,” terangnya. Beruntung beberapa waktu sebelum pulang ke Tanah Air, ia bertemu pengusaha Aburizal Bakrie di sebuah hotel tempat Ary bekerja sambilan sebagai GLO (Guest Liaison Officer) di Manila. Ia ditawarkan pekerjaan hingga sepulangnya ke Indonesia ia tak menganggur. “Seminggu sebelum pulang, saya ketemu tamu-tamu dari Indonesia, termasuk Aburizal Bakrie. Dari obrolan, saya dikasih kartu nama. Sama dia, gue dikasih kerjaan di divisi pipa. Waduh, gue enggak ada background pipa, bingung. Biasa lihat bola, ini disuruh lihat pipa lagi,” cetus Ary. Ary lalu memutuskan untuk menjajal pekerjaan baru itu. Sebelum meninggalkan Filipina, Ary mendapat surprise dari para petinggi Gintong Alay, badan olahraga yang menggenjot program prestasi Filipina. “Waktu saya di Filipina ikut gabung sama yang namanya Gintong Alay. Macam Program Indonesia Emas gitu lah. Yang mimpin anaknya (Ferdinand) Marcos. Waktu saya mau pulang, dipestakan. Farewell party -nya dibikin sama Imee Marcos. Luar biasalah Filipina, punya kenangan banyak di sana,” kata Ary.

  • Menggali Ilmu Perbintangan dari Nenek Moyang

    Pengetahuan astronomi hampir dimiliki semua etnis di Nusantara, baik masyarakat maritim maupun agraris. Kendati dibalut mitologi, nenek moyang Nusantara telah merekam dan menjelaskan dengan baik fenomena alam yang diamatinya termasuk astronomi.  Contohnya, di Jawa Kuno dan Bali Kuno dikenal jabatan wariga. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, menjelaskan tugas wariga adalah menentukan waktu dan tempat yang baik untuk memulai suatu pekerjaan. Caranya dengan membaca kejadian alam yang berulang atau gerakan benda-benda di langit. Di Bali, wariga adalah istilah untuk menyebut primbonnya. “Naskah lontar kemudian juga ada yang disebut wariga , karena memuat pengetahuan astronomi dan penanggalan rumit juga,” kata Daud dalam seminar “Menghidupkan Lagi Pengetahuan Astronomi Tradisional” di Pekan Kebudayaan Nasional, Istora Senayan, Jakarta. Beberapa prasasti menyebut profesi wariga . Misalnya, prasasti-prasasti dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (856-883) dan Rakai Watukura (901-910). Di sana disebut beragam jabatan di desa. Menurut ahli epigrafi, Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti , jika dijumlahkan semuanya kira-kira lebih dari 30 jabatan. Namun, hanya sepuluh nama yang sering disebut antara lain  wariga,  gusti, kalang ( tuha kalang ), winkas, tuha banua, parujar, huluair, tuhālas, tuha wәrәh, dan hulu wras. Seorang wariga Jawa Kuno biasanya mengamati konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet ketika perintah raja dituangkan dalam sebuah prasasti. Misalnya dalam Prasasti Tuhannaru. Selain berisi penetapan desa perdikan, prasasti ini dibuka dengan informasi pertanggalan lengkap ketika prasasti itu diturunkan. Termasuk konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet di langit Mojokerto ketika itu, yaitu 1245 Saka, Masa (bulan dalam tarikh Saka) Margasira yang merujuk pada November hingga Desember. Menurut Trigangga, kurator Epigrafi Museum Nasional dalam artikel “Posisi Bulan dan Matahari Berdasarkan Unsur-unsur Penanggalan Prasasti” yang terbit di Pentas Ilmu di Ranah Kebudayaan, jika dikonversikan ke tarikh Masehi, prasasti tembaga itu dikeluarkan pada sekira pukul 06.56 pagi, hari Selasa Legi, tanggal 13 Desember 1323, lengkap dengan konfigurasi bintang-bintang dan planet-planet. Posisi benda langit juga penting ketika orang kuno akan membangun bangunan suci. Hal pertama yang mereka lakukan ketika akan mendirikan candi adalah menanam tiang gnomon untuk melihat bayangan matahari. Mereka mencari titik pusat yang sakral atau brahmasthana sebagai pusat candi. Di sinilah kekuatan yang melindungi bangunan suci itu dianggap ada. Ilmu astronomi juga banyak dianggap menjadi dasar pembangunan Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Sejumlah penelitian memberikan beberapa kemungkinan tentang fungsi astronomisnya. Daud menjelaskan, ada penelitian yang menduga kalau stupa induk di Borobudur adalah sebuah gnomonnya dan stupa di sekelilingnya adalah penanda waktu. Cara kerjanya mirip seperti jam matahari. Ada juga yang menyebutnya sebagai kalender tahunan. Pun ada pula yang menghubungkan pada arah bintang-bintang tertentu. “Pendapat ini masih beragam. Ada yang mengaitkan dengan gerakan matahari karena Buddha disimbolkan dengan matahari juga, jadi ada yang mengkaitkannya dengan itu,” jelas dia. Di sisi lain, oritentasi Candi Borobudur juga mengarah ke Gunung Merapi. Menurut Daud, ini bisa dikaitkan dengan upaya memadukan unsur agama Buddha dan sebagai landmark untuk tetenger . Pasalnya, keduanya sering dikaitkan dengan matahari dan gunung. “Jadi Candi Borobudur sendiri juga diduga merupakan perpaduan antara ajaran Buddha dan mengingat nenek moyang,” kata Daud. Konsep itu rupanya juga terlihat di Situs Liyangan di kaki Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah. Situs ini terungkap beberapa tahun lalu. Daud mencoba menganalisis sepuluh bangunan candi yang ada di sana. Ketika diukur, candi-candi yang berusia relatif tua mengarah ke gunung api, yang waktu itu dikenal juga sebagai mandala agni. Sementara candi-candi yang lebih muda ternyata mengarah ke Candi Prambanan. “Nah Candi Prambanan itu adalah tetenger dari nenek moyang mereka. Jadi barangkali ada kaitannya astronomi dengan konteks pemikiran mereka yang berhubungan dengan nenek moyang. Ini butuh dikaji lebih jauh lagi,” jelas Daud. Daud mengatakan sistem kosmologi yang dimiliki orang Jawa ini juga ditemukan di Pasifik. Ia menduga ini merupakan pengetahuan yang dibawa oleh para penutur Austronesia yang berkelana ke kepulauan Nusantara. “Ini bukan Hindu Buddha. Saya curiga sebagai Austronesia karena mereka yang berkelana lalu dimantapkan pada masa Hindu Buddha,” katanya. Namun, budaya India juga punya andil terhadap ilmu perbintangan Jawa Kuno. Khususnya, menurut Trigangga, kalender Jawa Kuno banyak dipengaruhi kalender Hindu (India) sebagaimana terlihat dari unsur-unsur penanggalan yang tercantum dalam prasasti. Sementara kalau melihat unsur-unsur penanggalan yang tercantum dalam prasasti, tidak semuanya merujuk kepada pergerakan benda-benda angkasa. Contohnya unsur penanggalan dewata, menunjukkan bahwa setiap kelompok benda angkasa itu ada penguasanya (dewa). “Dewa-dewa dianggap memiliki teritorial dan menguasai benda-benda angkasa tertentu dan mempengaruhi kehidupan manusia yang lahir di bawah tanda itu,” kata Trigangga. Soal era atau tarikh, Jawa Kuno memakai kalender Tarikh saka. Sistem kalender ini awalnya tersebar dari India Selatan ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, khususnya Jawa dan Bali. Dalam Masehi, persisnya tarikh ini dihitung mulai dari 2 Maret 78. Namun, astrologi Jawa Kuno tak sepenuhnya mengikuti kaidah astrologi India. Ini tertutama dalam soal penamaan. Soal unsur penanggalan, bisa jadi masyarakat Jawa Kuno menciptakan lebih banyak daripada orang India. Contohnya, dalam penggunaan unsur penanggalan wuku dan wara. Di India hanya mengenal saptawara, di Jawa dan Bali selain saptawara, diciptakan juga tri, catur, panca, sad, asta, sanga, dan dasawara. “Itu yang membuat kalender Jawa Kuno begitu rumit, tapi di balik kerumitan itu, tersirat kemudahan untuk merekonstruksi unsur-unsur penanggalan prasasti yang rusak atau hilang,” kata Trigangga. Menurut Trigangga, dibandingkan kalender India, unsur-unsur penanggalan pada kalender Jawa Kuno sangat lengkap, terdiri atas warşa (tahun), māşa (bulan lunar), samkrānti (bulan solar), tithī dan pakşa (satuan waktu yang lebih kecil dari bulan lunar), nāma tithī (siklus lima harian dalam bulan lunar), karaņa (setengah harilunar), wāra (hari solar), wuku (unsur penanggalan asli Jawa), nakşatra dan dewatā (sekelompok bintang), yoga (pergerakan bulan dan matahari secara bersamaan dalam mengelilingi bumi), grahacāra (lintasan planet), maņdala (wilayah pengelompokan bintang), parwweśa   (simpul), rāśī (zodiak), dan muhūrta (satuan waktu terkecil dalam sistem penanggalan Jawa kuno). Sementara masyarakat Jawa sekarang yang mewarisi pengetahuan ilmu perbintangan dari leluhurnya masih berpedoman kepada pranata mangsa. Ini adalah penanggalan yang berkaitan dengan musim, khususnya dari kalangan petani dan nelayan. Lalu ada primbon , pengetahuan tentang horoskop Jawa, watak atau kepribadian manusia berdasarkan tanggal lahir, atau berdasarkan hari lahir ( weton ), makna mimpi, tanda-tanda di tubuh, ramalan jodoh. Adapun petungan, adalah penentuan hari baik dan hari buruk untuk melakukan pekerjaan, membangun rumah, penentuan jodoh dan waktu pernikahan. “Dari sejarah perkembangannya," kata Trigangga, "astrologi India yang juga mendapat pengaruh budaya Yunani telah memperkaya ilmu perbintangan yang sudah dimiliki masyarakat Jawa Kuno.”

  • Partai Komunis Cina Hendak Membungkam Islam?

    SEJAK mukadimahnya, artikel panjang yang ditayangkan tempo.co  pada 24 September 2018 langsung menulis bahwa pemerintah Cina, khususnya di wilayah barat laut ( xibei ) yang menjadi mastautin utama 10 etnis minoritas penganut Islam di negara yang sejak 1949 dipimpin Partai Komunis Cina (PKC) itu, telah “dengan sistematis ... mengekang muslim untuk beribadah, mulai dari pembongkaran kubah masjid sampai melarang praktik Islam.”

  • Anak Raja Sunda Mencari Islam

    SELAMA lebih dari 500 tahun, Pakuan Pajajaran berhasil menjaga ajaran Hindu tetap hidup di tatar Sunda. Puncaknya, di bawah kuasa Prabu Siliwangi –bernama asli Raden Pamanah Rasa atau Pangeran Jaya Dewata– Pajajaran menjadi Kerajaan Hindu-Budha terbesar di barat pulau Jawa. Namun besarnya pengaruh Prabu Siliwangi di tatar Sunda tidak menjadi jaminan ajaran Hindu akan tetap bertahan di sana. Itu terbukti para leluhur Sunda gagal mewariskan keyakinan yang dianutnya itu kepada generasi setelahnya. Antara Hindu dan Islam Dikisahkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, pada 1422, Prabu Siliwangi mempersunting putri Ki Gedheng Tapa, Nyai Subang Larang. Peneliti Atje, dalam Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari, menyebut Ki Gedheng Tapa sendiri adalah seorang penguasa tanah dan syahbandar Muara Jati yang tinggal di daerah kekuasaan Kerajaan Sunda Galuh. Sebelum memperistri Subang Larang, Prabu Siliwangi harus memenuhi beberapa syarat yang diberikan oleh guru sang calon istri, yakni Syaikh Hasanuddin dari Pondok Quro Pura Dalem Karawang. Pertama, Subang Larang harus menjadi permaisuri saat Prabu Siliwangi menduduki takhta raja. Kedua, ia diperbolehkan tetap menganut agama Islam sebagai kepercayaannya karena Subang Larang merupakan penganut Islam yang taat dan murid kesayangan Syaikh Hasanuddin. “Pangeran Jaya Dewata berjanji akan memenuhi persyaratan tersebut, dan janjinya ini dibuktikannya setelah ia dinobatkan menjadi raja,” kata Eman Suryaman dalam Jalan Hidup Sunan Gunung Jati: Sejarah Faktual dan Filosofi Kepemimpinan Seorang Pandhita-Raja . Dari pernikahan Prabu Siliwangi dengan Subang Larang itu lahirlah tiga anak, yaitu Raden Walasungsang, Nyai Rara Santang, dan Raden Sangara (Kiansantang). Ketiganya dibesarkan dalam kemewahan istana dan dua agama berbeda. Sang ibu dengan Islamnya dan sang ayah dengan Hindunya. Meski Islam telah diperkenalkan di kerajaannya, Prabu Siliwangi tetap menjadi penganut Hindu yang taat. Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari tidak dijelaskan dengan jelas agama apa yang ditekuni oleh ketiga anak Prabu Siliwangi selama di istana. Namun setelah kematiam ibunya, Prabu Walasungsang yang telah ditetapkan sebagai putra mahkota memutuskan untuk meninggalkan istana. Ia pergi dalam sebuah pengembaraan mendalami agama Islam. Kepergian Walasungsang itu membuat seisi negeri gempar. Bagaimana tidak, putra tertua yang telah ditunjuk meneruskan Pajajaran memilih untuk keluar istana. Rara Santang yang dekat dengan kakaknya itu juga merasa sangat kehilangan. Tidak lama ia pun akhirnya memutuskan pergi untuk mencari Walasungsang. Melepaskan seluruh kemewahan istana yang selama ini didapatkan. Mulanya Rara Santang pergi ke sekitar Gunung Tangkuban Perahu. Di sana ia bertemu dengan Nyai Indang Saketi. Olehnya, Rara Santang disarankan menemui Ki Ajar Saketi di Argaliwung –naskah Carita Purwaka Caruban Nagari tidak menjelaskan di mana letaknya tetapi para ahli menyebut lokasinya ada di sekitar Ciamis. Setelah bertemu, Ki Ajar Saketi menyuruh Rara Santang pergi ke Gunung Mara Api (Marapi) di Ciamis. “Di tempat ini berakhirlah pengembaraan Nyari Rara Santang dalam mencari sang kakak, Walasungsang, dan akhirnya mereka pun bertemu,” tulis Eman. Dalam Islamisasi di Jawa: Walisongo, Penyebar Islam di Jawa Menurut Penuturan Babad , Ridwan Sofwan dkk menceritakan bahwa di tempat pertemuan itu, Walasungsang telah lebih dahulu bertemu seorang pendeta Budha bernama Ki Gedheng Danuwarsih. Keduanya pun tinggal di rumah sang pendeta untuk waktu yang cukup lama. Walasungsang diceritakan jatuh hati kepada putri Ki Gedheng Danuwarsih bernama Nyai Indah Geulis. Setelah menikah, Rara Santang bersama Walasungsang serta kakak iparnya, melanjutkan perjalanan menuju Amparan Jati, Cirebon. Tiba di Amparan Jati, mereka disambut langsung oleh penguasa di sana, yakni Ki Gedheng Tapa, yang tidak lain adalah kakek Rara Santang dan Walasungsang sendiri. Amparan Jati saat itu telah menjadi wilayah persebaran Islam pertama di tatar Sunda. Di sana, adik-kakak itu diperkenalkan kepada Syaikh Datuk Kahfi, penyebar Islam pertama di Sunda. Keduanya pun diangkat menjadi murid sang ulama dan mempelajari lebih dalam tentang agama Islam. Syaikh Datuk Kahfi lalu memberi Walasungsang gelar Ki Somadullah, dan Nyai Rara Santang gelar Syarifah Mudaim. Dirasa mampu, Ki Somadullah oleh gurunya diberi tugas membangun perkampungan di Kebon Pesisir sambil menyebarkan Islam. Babad Cirebon yang disunting oleh ahli bahasa dan penyusunan kamus berkebangsaan Belanda J.L.A. Brandes menjelaskan bahwa daerah Kebon Pasisir yang menjadi pusat penyebaran ajaran Islam oleh Ki Somadullah berada di sebelah timur Pasambangan, di sebuah wilayah yang dikenal sebagai Tegal Alang-Alang. Sekarang daerah itu disebut Lemah Wungkuk, masuk di dalam administrasi Cirebon. Menurunkan Ajaran Islam Setelah berhasil membangun Kebon Pasisir menjadi salah satu pusat dakwah dan dagang di Cirebon, Ki Somadullah dan Syarifah Mudaim disarankan oleh Syaikh Datuk Kahfi pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Mereka pun mengikuti saran gurunya tersebut. Di Tanah Suci, keduanya menetap di rumah Syaikh Bayanullah, adik Syaikh Datuk Kahfi. Ketika sedang melangsungkan ibadah di Makkah ini, Syarifah Mudaim bertemu dengan suaminya. Sejarawan Edi S. Ekadjati di dalam penelitiannya mengkaji Babad Cirebon Edisi Brandes , dimuat Sunan Gunung Jati: Penyebar dan Penegak Islam di Tatar Sunda, menyebut kalau suami Syarifah Mudaim adalah Molana Huda, seorang sultan di Mesir yang menguasai jazirah Arab. Ia bertemu dengan Molana Huda saat berkunjung ke Beta’lmuqdas. “Kiranya yang dimaksud dengan Beta’lmuqdas itu adalah Masjidil Aqsa yang terletak di kota Yerusalem yang kini di bawah kuasa Israel, walaupun masuk ke dalam wilayah Palestina,” kata Edi. Molana Huda yang saat itu sedang dirundung duka setelah orang yang sangat dicintainya wafat, memerintahkan salah seorang pejabat istana, Qadi Jamaluddin, mencari seorang perempuan yang memiliki wajah mirip istrinya. Setelah cukup lama mencari, sang utusan menemukan Nyari Rara Santang sedang beribadah di Beta’lmuqdas. Ia menilai perempuan asing ini sesuai dengan kriteria yang diminta sultan. Bersama kakaknya, Ki Somadullah,  dibawalah Syarifah Mudaim  menghadap Molana Huda. Sultan langsung jatuh hati, dan segera meminang sang gadis. “Syarifah Mudaim menerima lamaran itu, tetapi dengan syarat bahwa dari pernikahannya akan menurunkan anak lelaki yang akan menjadi penyebar agama dan penegak kekuasaan Islam di tanah Sunda,” kata Edi. Setelah pernikahannya, Syarifah Mudaim ikut Molana Huda ke Mesir. Sementara Ki Somadullah kembali ke Amparan Jati untuk melanjutkan dakwahnya. Seperti diketahui dari pernikahannya itu Syarifah Mudaim dikaruniai dua orang putra, yakni Syarif Hidayatullah, dan Syarif Nurullah. Sesuai kesepakatan, setelah menginjak usia yang cukup Syarif Hidayatullah meninggalkan Mesir untuk menyebarkan Islam di Tatar Sunda. Kemudian hari, ia dikenal sebagai Sunan Gunung Jati, wali penyebar Islam terbesar di Jawa Barat.

  • Taktik Belanda Berantas Amok dan Perlawanan Pribumi

    SEORANG lelaki Tionghoa mengamuk pada malam 6 Juli 1938. Selain memecahkan cangkir dan piring, ia hampir membunuh anak perempuan dan pembantunya. Di tempat lain, di Losari, seorang lelaki Jawa keliling desa sambil membawa golok. Dengan seenaknya dia masuk ke rumah orang seraya mengancam akan menebas siapa saja yang menghalangi jalan. Warga desa dibuatnya lari tunggang langgang kendati tak ada korban jiwa dalam keributan ini. Kedua lelaki itu terserang amok. Si lelaki Tionghoa kemudian dikirim keluarganya ke rumahsakit jiwa (RSJ). Sementara, si lelaki Jawa mesti ditangkap petugas keamanan terlebih dulu sebelum dilarikan ke RSJ. Kala itu, pemerintah Hindia Belanda sudah mengizinkan rumahsakit menerima pasien pribumi. Beberapa pasien miskin yang dianggap mengganggu keamanan dirawat secara cuma-cuma. Kebijakan menerima pasien pribumi ini, menurut Sebastiaan Broere dalam tesisnya “In and Out of Magelang Asylum”, didasari keinginan untuk meniadakan anggapan kalau yang bisa terkena gangguan jiwa hanya orang Eropa. Dengan menerima pasien pribumi, pemerintah ingin membuktikan kalau pribumi pun bisa terkena gangguan jiwa. Kebijakan itu juga didasari adanya kekhawatiran warga Eropa kalau sewaktu-waktu diserang pribumi yang sedang terkena amok. Serangan mental ini sempat bikin mandor-mandor merasa takut pada budaknya sendiri. Budak yang terserang amok berani menyerang mandor atau majikannya, bahkan hingga membunuh. Amok merupakan gangguan mental terikat budaya. Penderitanya akan mengalami ledakan emosi yang seringnya diikuti kekerasan. Serangan amok biasanya terjadi setelah mengalami rasa malu atau tekanan psikis ekstrem. Orang yang terserang amok akan menyerang siapapun yang ada di depannya dengan cara mematikan. Satu kali serangan amok biasanya bertahan berjam-jam, diikuti pingsan, dan lupa ingatan. Karena efeknya yang membahayakan orang sekitar inilah kebanyakan penderita amok dimasukkan ke RSJ. Menurut dr. PKM Travaglino, psikiatris yang bertugas di RSJ Lawang, Malang, skizofrenia yang diderita orang Jawa mirip ciri amok. Penderita skizofrenia memiliki symptom ledakan ekspresi, berbicara tak karuan, berteriak, menyanyi, memaki, merobek baju, hingga bertindak agresif dan destruktif. Simptom skizofrenia juga mengakibatkan pasien kehilangan orientasi, kurang konsentrasi, mudah tersinggung, dan luapan ekspresi yang tinggi. Dalam “The Development of Psychiatry in Indonesia, From Colonial to Modern Times”, Hans Pols menyebut pasien skizofrenia juga menunjukkan kondisi mental yang di luar nalar. Meski demikian, pasien ini bisa sembuh dalam beberapa minggu. Sebelum mengambil kesimpulan bahwa amok merupakan symptom pasien skizofrenia, Travaglino bertemu Emile Kreapelin, ahli psikiatri biologis yang sempat mengunjungi RSJ Bogor. Travaglino menanyakan pengalaman Kreapelin mengahadapi pasien amok. Menurut Kreapelin, seperti ditulis Nathan Porath dalam “The Naturalization of Psychiatry in Indonesia and Its Interaction with Indigenous Therapeutics”, amok adalah bentuk dari epilepsi psikis. Namun ketika Travaglino menangani 80 pasien epilepsi, tak satu pun punya gejala seperti amok. Dalam laporannya tahun 1920, Travaglino menyanggah pendapat Kreapelin. Travaglino menyebut ia sempat sepakat dengan temuan Kreapelin, namun pernyataan Kreapelin tak terbukti. Pasien amok, tulis Travaglino, lebih mirip gejala skizofrenia. Pasien-pasien amok ini akan menjalani perawatan kejiwaan. Jika dianggap sudah membaik, mereka akan ditempatkan pada bagian pertanian milik rumahsakit. Mereka baru dibebaskan jika dianggap tidak membahayakan lingkungan, sesuai hukum tentang kejiwaan yang ditetapkan pada 1879. Namun, diksi “membahayakan” jadi amat luas . Menurut Broere, RSJ kadang jadi senjata pemerintah kolonial untuk mengurung orang-orang dengan alasan politik. D engan begitu kebijakan ini dijadikan alat represif pemerintah untuk menangkapi orang-orang yang membelot. Broere menemukan contoh, seorang lelaki Batak berusia 46 tahun yang dimasukkan ke RSJ Magelang meski perilakunya sama sekali tidak mengganggu kenyamanan lingkungan atau membutuhkan penanganan medis. Catatan psikiatris yang menanganinya menyatakan, perilaku si lelaki Batak bisa diterima dan berfungsi normal dalam masyarakat kolonial. Meski demikian, ia tetap dirawat di RSJ Magelang selama 12 tahun. Setelah itu ia dikirim ke daerah pertanian di Lenteng Agung. Broere menduga si lelaki Batak merupakan pejuang kemerdekaan yang fanatik. Dengan memasukkan tokoh-tokoh perjuangan ke RSJ, ada upaya pelabelan bahwa pembelot mengalami gangguan jiwa. Dalam hal ini merupakan upaya pemerintah Belanda mendelegitimasi protes atau pemberontakan yang dilakukan kaum pribumi.

  • Menggali Ilmu di Langit

    SETIAP hari seorang gadis cantik lewat di dekat gubuk untuk mengantar makanan ke sawah. Terpesona oleh kecantikan sang gadis konsentrasi pemuda-pemuda yang sedang membangun gubuk itu pun terganggu. Akibatnya ketika selesai gubuk menjadi miring. Kisah itu kemudian diabadikan orang Jawa sebagai nama rasi bintang, yaitu rasi gubug penceng  (miring) atau yang dikenal dengan rasi layang-layang. “ Rasi ini punya makna penting karena dipakai untuk menunjuk arah selatan,” ujar Premana Permadi, kepala Observatorium Bosscha, dalam seminar “Menghidupkan Lagi Pengetahuan Astronomi Tradisional” di Pekan Kebudyaan Nasional, Istora Senayan, Jakarta. Adapun sang gadis cantik dalam legenda itu pun diabadikan sebagai nama rasi bintang, Lintang Wulandjar Ngirim. Dalam astronomi modern, ia adalah rasi yang terdiri dari dua bintang paling terang di rasi Centaurus , yaitu Alpha Centauri dan Beta Centauri. Dalam pameran “Langit untuk Semua: Astronomi dalam Budaya Nusantara” di Pekan Kebudayaan Nasional dijelaskan, bersama lintang Gubug Penceng, Lintang Wulandjar Ngirim disebut dengan rasi bintang pari oleh beberapa suku di Nusantara. Dalam kalender pranata mangsa, Lintang Wulandjar Ngirim menempati posisi mangsa kawolu  (ke-8), yaitu saat padi masih menghijau, sekira 4 Februari sampai 28/29 Februari. Ada lagi Lintang Kartika, salah satu obyek langit yang banyak mendapat perhatian masyarakat kuno sebagai acuan navigasi dalam dunia pelayaran. Dalam dunia pertanian, rasi ini menunjukkan dimulainya musim kapitu  (ke-7) dalam pranata mangsa . Mangsa kapitu  dimulai dari 22 Desember hingga 2 Februari. Dalam pranata mangsa , rasi ini merupakan waktu untuk memindahkan bibit padi ke sawah. Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada menerangkan, kendati hidup di pedalaman sebagai masyarakat agraris, kemampuan astronomi tetap dibutuhkan. Seperti dalam hal menyusun pranata mangsa,  kalender pertanian yang dikenal di Jawa dan Bali. Kalender ini berguna untuk menentukan kapan waktu yang tepat untuk menyemai, menanam, dan memanen padi. “Bahkan kapan harus berburu, memotong bambu, karena ada musim tertentu yang kalau dipotong bambunya akan jelek,” lanjut Daud dalam seminar itu. “Ini adalah kekayaan etnosains yang luar biasa, yang belum kita gali.” Bukan cuma dibutuhkan oleh masyarakat agraris. Pengamatan astronomis sudah muncul dari kebiasaan masyarakat Nusantara sebagai penjelajah lautan. Sudah sejak lama orang Nusantara lahir sebagai bangsa yang selalu dalam lingkungan laut. Langit menjadi sesuatu yang terbuka di mana mereka menimba ilmu pengetahuan. “Tiga ribu tahun lalu kita sudah sampai ke India. Kita yang ke sana duluan,” ujar dia. “Tidak mengherankan hampir semua etnis di Nusantara ada keterampilan tentang astronomi. Berbeda dengan masyarkat tradisional, kini relasi manusia dengan langit semakin tipis. Utamanya karena memburuknya polusi cahaya. Orang pun menjadi lebih jarang menengadah ke langit untuk melihat fenomena astronomis. Daud bilang, orang kini lebih percaya dengan ilmu astronomi modern. Pasalnya yang tradisional lebih banyak dibalut dengan mitos yang dianggap irasional. “Padahal semua ini rasional, tapi karena bagiamana mereka menyampaikan, kalau disampaikan seperti ilmu pengetahuan sekarang saya kira pikiran mereka terlalu penuh. Tapi kalau dengan cerita, dongeng, jauh lebih mendalam mudah dipahami bahkan oleh anak kecil sekalipun,” jelas Daud. Filsuf dan astronom, Karlina Supelli menjelaskan sistem pengetahuan tradisional memang lebih banyak diturunkan secara oral dari generasi ke generasi. Ada sumber tertulis, tetapi umumnya hanya bisa diakses oleh satu kelompok masyarakat tertentu. “Misalnya oleh resi, pandita agama, sementara yang diwariskan lewat dongeng, cerita, mitos, biasanya yang sifatnya umum-umum saja,” katanya dalam seminar itu. Contohnya, kisah Dewi Sri yang dikenal masyarakat Sunda dengan nama Nyi Pohaci. Menurut Karlina, mitos ini adalah pelajaran bahwa dalam setangkai padi ada dinamika kehidupan. Ketika mitos ini diabaikan, masyarakat pun berisiko kehilangan kesadaran lingkungan. “Memupus kesadaran dinamika benih dari tanam sampai panen sebagai bagian dari kosmos. Memupus juga pemahaman sosial tentang keadilan,” kata Karina. “Tanah itu hajat hidup orang banyak.” Menurut Karlina ada caranya agar mitos-mitos tentang kearifan lokal ini bisa diterima di masa modern. Yaitu dengan keterbukaan dan kesediaan menerima apa yang di dalam masyarakat tradisional diterima dan dihayati sebagai realitas. Pun mengubah cara pandang memperlakukan mitos sebagai cerita khayal seakan dongeng. “Mitos punya logika naratif, pola pikir intuitif yang puitis. Pengalaman spiritual tak mungkin dituturkan memakai bahasa diskursif. Ada metafor-metafor,” kata Karlina. “Bagaimana apakah kita bersedia menerima banyak pengetahuan dari sumber pengetahuan dan mengurangi intoleransi?”*

  • Cara Panggabean Permalukan Gerombolan Pengacau Keamanan

    MENYUSUL dikeluarkannya pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda pada akhir 1949, upaya pemulihan keadaan pun dilakukan di berbagai tempat. Pada Februari 1959, Komandan Batalion 104 Waringin Brigade Tapanuli, TT I Bukit Barisan Mayor Maraden Panggabean mendapat perintah untuk memindahkan pasukannya. “Agar Batalion 104 berangsur-angsur dipindahkan ke Pematangsiantar, dengan tugas khusus mengambilalih tugas pengamanan daerah Simalungun dari eks Batalion Pengamanan NST, pimpinan Kapten Bisara Sinaga. Dalam tugas tersebut termasuk pembersihan jalan Pematangsiantar-Parapat dari gangguan dan perampokan gerombolan liar Simarmata, eks BHL (Barisan Harimau Liar, red .) yang diusir dari daerah perbatasan Riau-Tapanuli Selatan,” kata Maraden dalam otobiografinya, Berjuang dan Mengabdi . “Setiap batalion ditugaskan mengadakan patroli di wilayah masing-masing untuk memberantas kaum pengacau yang dimotori oleh sisa-sisa Barisan Harimau Liar itu,” tulis biografi istri Maraden yang ditulis Herry Gendut Janarto, Matiur M. Panggabean, Bunga Pansur dari Balige: Pengabdian dan Keteguhan . Tugas itu mulai dijalankan Maraden pada Maret. Setelah mencapai markas Batalion 104 di sebuah rumah di Jalan Kartini Pematangsiantar, Maraden segera mengoper tugas dari Kapten Bisara. “Serah-terima dengan Kapten Bisara Sinaga diadakan di lapangan di depan Hotel Siantar dan mendapat perhatian dari masyarkaat, yang menurut dugaan saya ingin melihat penampilan TNI yang baru keluar dari rimba,” sambung Maraden. Setelah serah-terima itu, Maraden segera mengatur penempatan pasukannya. Kepada bawahannya, dia perintahkan agar secepat mungkin mencari informasi tempat persembunyian gerombolan Simarmata. Kendati minim, informasi yang didapat kemudian memberitahu bahwa persembunyian gerombolan berada di hutan antara Tigadolok dan Aek Nauli. Perencanaan operasi penyergapan pun segera disusun. “Namun dengan tidak disangka sama sekali, pada suatu hari seorang anak laki-laki belasan tahun datang ke tempat kami dan mengatakan bahwa dia sanggup menunjukkan tempat persembunyian Simarmata. Dia juga membuktikan bahwa pada malam sebelumnya dia bermalam di sana,” kata Maraden. Dengan membawa satu peleton pasukan di bawah Letnan RF Soedirdjo, Maraden memimpin operasi rahasia tersebut. Mereka berangkat pada malam hari. Susah payah mereka melintasi hutan yang gelap-pekat dengan cara berjalan sambil saling berpegangan tangan. Sekira pukul 03 dini hari, mereka mencapai dekat suatu gubuk yang diperkirakan tempat persembunyian gerombolan. Setelah mengepung gubuk itu, Maraden memerintahkan anak buahnya menyerbu gerombolan di dalamnya. Sekira 12 anggota gerombolan pun tertawan. Simarmata tak ada dalam barisan tawanan itu lantaran berhasil menyelamatkan diri. Maraden menggiring para tawanan itu ke pinggir jalan raya antara Pematangsiantar dan Parapat. Setelah mengosongkan peluru senjata para tawanan, Maraden mengembalikan senjata-senjata itu kepada mereka dan memerintahkan mereka memberi hormat senjata kepada setiap kendaraan yang lewat. Selagi para tawanan memberi hormat senjata, Maraden dan pasukannya memberitahu para penumpang kendaraan yang melintas bahwa para prajurit yang memberi hormat senjata itu merupakan perampok kendaraan-kendaraan yang lewat. “Tidak berapa lama kemudian lewat satu kendaraan penumpang Pematangsiantar-Balige. Saya menyuruh kendaraan berhenti. Dengan sangat ketakutan perintah itu ditaati oleh sopirnya. Akan tetapi mulutnya terngaga ketika barisan yang berdiri di tepi jalan itu memberi hormat serta meminta maaf atas perbuatan mereka selama ini. Akhirnya, sopir dan para penumpang tertawa terbahak-bahak. Mereka mengerti dan mengucapkan banyak terima kasih kepada saya dan pasukan,” ujar Maraden.

  • Wajah Joker dalam Lima Aktor

    SIAPA tak kenal Joker alias Arthur Fleck? Haters Batman atau DC Comics saja hampir pasti tahu nama itu dari dua lembar kartu remi. Dari masa ke masa, ia lawan ikonik Batman alias Bruce Wayne. Ia musuh abadi paling dikenal ketimbang penjahat lainnya macam Catwoman, Mr. Freeze, The Riddler, atau Penguin. Dalam film Joker garapan sineas Todd Phillips ( Starsky & Hutch , Borat ; trilogi The Hangover ), Joker nongol lagi sebagai “antidot” bagi penikmat film yang sebelumnya jenuh dengan demam superhero macam Avengers: Endgame , Spider-Man: Far From Home atau Gundala misalnya. Di bioskop-bioskop tanah air, film ini sudah tayang sejak 2 Oktober 2019. Adalah Joaquin Phoenix yang memerankan Joker. Ia jadi aktor kelima pemeran si badut psikopat sejak karakter ciptaan Bob Kane, Jerry Robinson, dan Bill Finger dari DC Comics ini muncul di layar perak pertamakali pada 1966. Banyak kritikus film menyanjung peran Phoenix. Akting Phoenix bahkan dianggap menyandingi atau bahkan lebih greget ketimbang dua pemeran Joker ikonik lain: Jack Nicholson dan Heath Ledger. “Filmnya disturbingly beautiful . Soal pemeran Ledger atau Phoenix? Hmm , dua-duanya keren, sih. Phoenix karakternya lebih ke toxic society . Kalau Ledger, dia kuat karena selain karakter Joker-nya keluar banget, storyline -nya (di film The Dark Knight ) kece banget,” tutur Ragina Oksavinata, penonton Joker asal Ciputat, Tangerang Selatan. Gina punya kesan tersendiri soal para aktor pemeran Joker lain macam Nicholson dan Leto. Pengecualian hanya Romero lantaran belum pernah lihat film lawasnya. Pun begitu dengan tawa khas Joker. “Kalau dibandingkan Leto, pastinya lebih bagus Nicholson. Leto munculnya cuma sedikit (di Suicide Squad ), terus storyline -nya aneh. Kalau disuruh milih yang terbaik urutannya pasti Ledger, baru Phoenix dan seterusnya Nicholson, baru Leto. Masih belum ada yang bisa ngalahin Ledger,” imbuhnya. Founder komunitas Gotham Citizen Club (GCC) Galih Aristo senada soal gregetnya akting Phoenix. “Dia bisa memerankan karakter Joker jadi sangat nyata dan terasa dekat dengan situasi sosial kita sehari-hari,” ujar Galih kepada Historia . Satu hal lain yang disukai Galih dari Joker versi film bikinan Todd Phillips adalah karakter Joker yang digarap menurut versi Phillips sendiri. Fresh direction , eksperimental, dan berbeda dari versi-versi komik. Maka, Galih merasa tak apple-to-apple jika membandingkannya dengan Joker lain di beragam film dengan diperankan aktor-aktor lain. “Kita bisa melihat Joker (yang diperankan) Ledger itu sebagai pribadi yang sudah matang. Supervillain /anti- hero yang sudah jelas tujuan hidupnya. Semua yang dia lakukan (Phoenix) lebih fokus ke kehidupannya sendiri, mencari jati diri, kepuasan diri, tapi dalam proses akhirnya dia malah bisa menginspirasi orang banyak,” lanjutnya. Galih membagi karakter Joker yang diperankan Romero sampai Phoenix dalam perbedaan era. “Era Romero, Nicholson itu era theatrical. Ledger, Leto, dan Phoenix itu era realistis. Buat saya bagus semua, kecuali Leto. Kurang kuat direction -nya. Sangat disayangkan, padahal Leto aktor yang bagus. Tapi favorit saya masih Ledger. Walau soal ketawa khasnya, Phoenix disturbing abis, tapi Ledger juga banyak signature pose yang keren,” tandas Galih. Terlepas dari perbedaan opini itu, berikut ini disajikan lima pemeran Joker dalam versi layar lebar sejak 1966: Cesar Romero (1966) Pertamakali Joker muncul di versi layar perak diperankan Cesar Romero pada 1966 (Foto: 20th Century Fox) Cesar Julio Romero Jr. merupakan figur paling senior pemerankan Joker. Debut Romero di serial televisi Batman yang disiarkan ABC adalah di episode 5 season 1 bertajuk “The Joker is Wild”, 26 Januari 1966. Ia pula yang menjadi Joker dalam versi spin-off filmnya, Batman: The Movie yang rilis 30 Juli 1966. Dalam memerangi Batman di film itu, Joker bergabung dalam United Underworld bersama Catwoman, Penguin, dan The Riddler. Romero, yang belum pernah bermain di genre superhero maupun action sepanjang kariernya sejak 1934, digaet langsung oleh sang produser William Dozier. Banyak figur lain yang juga kepincut peran Joker, semisal Frank Sinatra, pun gigit jari. Sampai Romero tiada pada 1994, ia tak pernah tahu mengapa dia yang dipercaya untuk peran itu. “Semua orang ingin menjadi peran penjahat dalam Batman. Saya sendiri menikmati peran menjadi Joker. Rasanya hebat bisa memainkan peran itu. Namun alasan kenapa dia (Dozier) menginginkan saya, saya takkan pernah tahu,” tuturnya dalam wawancara dengan Bruce V. Bigelow dari Associated Press , 23 Juni 1989. Satu hal yang unik dari Romero, diungkap penulis, musisi, dan fans Batman Mark S. Reinhart dalam Batman Filmography: Second Edition adalah, Romero menolak mencukur kumisnya. Keinginannya itu dipenuhi tim produksi dengan mengakalinya  menggunakan make up putih tebal untuk menutupi kumis tipisnya. “Romero memainkan peran Joker dengan luar biasa. Sosok berbalut jas ungu, wig hijau, dan lipstik merah darah, ia melantangkan tawa khas yang luar biasa sinis dan pas sesuai karakternya. Aktingnya tak kalah bagus dari bintang-bintang lain seperti (Burgess) Meredith yang memerankan Penguin,” tulis Reinhart. Jack Nicholson (1989) Aktor kawakan Jack Nicholson memerankan Joker di film "Batman" versi layar perak 1989 (Foto: warnerbros.com ) Aktor watak Jack Joseph Nicholson dianggap salah satu pemeran Joker paling ikonik dan legendaris. Ia memerankan penjahat badut gila itu pada film Batman yang rilis pada 19 Juni 1989. Ia dipilih langsung oleh salah satu produsernya, Peter Guber. Sang produser saat menentukan aktor-aktornya, tak ingin pemeran lain selain Nicholson gegara kepincut akting Nicholson dalam film Easy Rider (1969). Sejarawan film Patrick McGilligan dalam biografi Jack’s Life: A Biography of Jack Nicholson (Updated and Expanded) menyingkap, Guber sampai mengirim pesawat jet milik Warner Bros untuk antar-jemput sang aktor dari Amerika ke London, lokasi Pinewood Studios untuk produksi Batman. Guber ingin memberi tur pribadi demi meyakinkan Nicholson mau terlibat dalam film itu. “Jack bersedia terlibat dengan kontrak USD6 juta. Ia juga memilih sendiri kostum (setelan mewah Joker) yang dipakainya yang di masa itu bernilai USD30 ribu,” sebut McGilligan. Film itu lantas meledak. Guber tak salah memilih Nicholson. Film itu untung besar dan dia juga dibanjiri pujian. Pun begitu, kritik tetap terlontar. Salah satunya dari Carlos Romero, aktor pendahulu pemeran Joker. Ia kecewa Joker di film itu digambarkan sebagai karakter yang sadis. “Joker semestinya menjadi sosok flamboyan. Joker (diperankan Nicholson) terlalu jahat, terlalu memuakkan dan filmnya terlalu suram dan membingungkan,” cetus Romero kepada Associated Press , 23 Juni 1989. Heath Ledger (2008) Tidak sedikit yang menganggap Heath Ledger sebagai pemeran Joker terbaik di film "The Dark Knight" (Foto: warnerbros.com ) Joker dimunculkan sebagai musuh Batman lagi dalam film kedua dari trilogi garapan Christopher Nolan yang rilis 14 Juli 2008, The Dark Knight . Mulanya, Ledger diinginkan Nolan untuk jadi Batman di seri pertama triloginya, Batman Begins (2005) namun sang aktor tak berminat. Dari pihak produksi juga sudah punya opsi lain: Paul Bettany, Adrien Brody, dan Robin Williams. Namun Nolan keukeuh ingin Ledger. “Jadi saya menemui dia lagi untuk peran Joker pada 2006. Saat saya memberinya naskah dan dia membacanya, sesekali ia tertawa. Dia selalu memunculkan gestur-gestur kejutan. Suaranya mulai mengerikan dan saat itulah saya mendapat indikasi bahwa dia akan memerankannya,” ujar Nolan kepada CBR , 3 Desember 2012. Interpretasinya sendiri dipinjam dari karakter Joker di novel Batman: The Killing Joke dan Arkham Asylum: A Serious House on Serious Earth . Namun di layar lebar, Ledger membawa karakternya lebih terasa sebagai badut pengidap skizofrenia tanpa rasa empati, psikopat, dan pembunuh massal. Mulanya, Ledger diragukan banyak kritikus. Namun saat melihat hasil akhir filmnya, performanya menuai pujian. Ledger dianggap mampu membawakan karakter Joker yang lebih menakutkan ketimbang para pendahulunya. Betapa tidak, untuk menyelami karakter Joker, Ledger mengisolasi diri selama enam pekan di kamar hotel. Selama mengucilkan diri, ia terus melatih suara dan menyesuaikan tawa khas Joker. Selama beradegan dalam syuting, ia pun meminta Christian Bale (pemeran Bruce Wayne/Batman) untuk benar-benar memukulnya dengan keras. Raihan Academy Award dan Golden Globe untuk pemeran pembantu terbaik 2009 jadi bukti keberhasilan. Ironisnya, penghargaan-penghargaan itu tak bisa diterimanya langsung lantaran tutup usia pada 22 Januari 2008, enam bulan sebelum filmnya rilis, akibat overdosis.  Jared Leto (2016) Jared Leto (tengah) memerankan karakter Joker di film 'Suicide Squad" dengan versi lebih modern (Foto: warnerbros.com ) Habis Heath Ledger, terbitlah Jared Leto. Sejatinya selain vokalis dan gitaris band rock Thirty Seconds to Mars itu, ada nama Ryan Gossling sebagai kandidat lain pemeran Joker untuk produksi film Suicide Squad (2016) garapan David Ayer. Namun saat mengumumkan para pemeran resminya pada Desember 2014, Warner Bros memilih Leto atas keinginan sang sutradara. Warner Bros ingin sosok Joker berbeda dari yang pernah dibawakan mendiang Ledger. Selain itu, kemampuan akting Leto sudah terbukti dari raihan Academy Awards dan Golden Globe pada 2013 untuk pemeran pembantu terbaik di film Dallas Buyers Club . Joker yang diperankan Leto sebagai bos gangster nan culas tak lagi berambut gondrong sebagaimana Ledger, pun tampilannya lebih glamor dengan ciri fisik baru, yakni tato bertuliskan “ Damaged ” di keningnya. “Peran ini sudah banyak dimainkan aktor lain sebelum saya. Meski sangat berisiko, peran ini jadi tanggungjawab yang istimewa. Joker adalah karakter yang ekstrem dalam hal kekerasan dan manipulasi. Untuk riset saya menemui para pakar kejiwaan, psikiater, dan para pasien psikopat. Tato di kening (“ Damaged ”) ditambahkan Ayer agar memberi karakter gangster yang modern,” tandasnya kepada Entertainment Weekly , 15 April 2016. Joaquin Phoenix (2019) Joaquin Phoenix menjadi idola baru pemeran Joker di tahun ini (Foto: dccomics.com ) Joaquin Rafael Phoenix sebelumnya selalu mengutarakan tak pernah berminat tampil di film-film superhero nan membosankan. Ia pernah menolak Marvel Cinematic Universe yang menawarinya peran Bruce Banner/Hulk dan Stephen Strange/Dr. Strange. Namun bersama DC Comics justru ia tampil sebagai musuh abadi seorang superhero – Joker. Phoenix sudah jadi pilihan satu-satunya sang sutradara Joker , Todd Phillips sejak ia mengembangkan ceritanya sejak 2017. Phillips ingin aktor yang kerapkali studi karakter dan mampu menyelami seorang karakter dalam film dengan begitu dalamnya, seperti yang Phoenix lakukan di film You Were Never Really Here , I’m Still Here, Her, The Sisters Brothers hingga The Master. Butuh empat bulan bagi Phillips meyakinkan Phoenix agar mau terlibat. Phillips keukeuh ingin Phoenix meski pihak Warner Bros melirik Leonardo DiCaprio. Ada alasan tersendiri mengapa Phoenix butuh waktu tak sedikit untuk berpikir masak sampai rela diet ekstrem untuk menurunkan berat badan hingga 23kg guna peran Joker. Satu faktor utamanya, ia merasa harus bisa mencari karakter berbeda dari para pemeran Joker terdahulu. Phillips mengakui, ia mengembangkan lagi ceritanya agar lebih dark namun dekat dengan keadaan sosial yang berpusat dari pribadi Phoenix. Selain diet, studi karakter Phoenix juga meliputi riset soal narsisisme, kriminologi, hingga observasi para pengidap penyakit syaraf PBA ( Pseudobulfar affect ), di mana sang pengidap tak bisa mengendalikan tawanya sendiri. “Kami membuat karya namun tidak ingin menengok ke belakang, ke arah Jack Nicholson, Heath dan Jared Leto karena itu hanya akan membuat kami lumpuh dengan rasa takut untuk membuat karya baru. Kami hanya harus menganggap mereka tak pernah eksis demi memberi ruang buat karya kami,” cetus Phillips, dikutip The Wrap , 26 September 2019.

bottom of page