top of page

Hasil pencarian

9602 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Cerita di Balik Biografi Sukarno Karya Sejarawan Jerman

    BERNHARD Dahm mengenal Indonesia dari ibunya, Margarete Beisenherz, putri seorang misionaris, Daniel Beisenherz, yang lahir pada 1906 di Pancur Napitu, Tarutung, Sumatra Utara. Margarete meninggal pada 1942 ketika Bernhard berusia sepuluh tahun. Bernhard kemudian tinggal dengan bibi ibunya, Auguste Beisenherz, seorang biarawati di tanah Batak dan terakhir memimpin rumah sakit di Pearaja, Tarutung. Darinya, dia mendapat cerita banyak tentang Batak dan Indonesia. Setelah Perang Dunia II berakhir, dia terus mendengar berita tentang Indonesia. Dia pun ingin mempelajari lebih jauh tentang Indonesia. “Berbeda dengan teman-teman sebaya di Jerman, saya sudah tahu dengan tepat, di bagian bumi mana negara baru itu terletak. Dan saya mengikuti dengan penuh perhatian peristiwa-peristiwa dalam revolusi Indonesia sampai akhir tahun 1949,” kata Bernhard dalam Amatan Para Ahli Jerman tentang Indonesia. Namun, ketika Bernhard mulai kuliah di tahun 1950-an, di Jerman belum ada kemungkinan untuk belajar sejarah dan politik Indonesia. Dia pun masuk pendidikan guru jurusan Kesusastraan Jerman dan Sejarah Modern di Universitas Marburg (1953-1955) dan Universitas Kiel (1956-1959). Guru besar Sejarah Modern Prof. Dr. Karl Dietrich Erdmann di Universitas Keil mengetahui minat Bernhard terhadap Indonesia. Dia mengusulkan agar Bernhard membuat skripsi untuk ujian negara pada 1960 sebuah tema yang berhubungan dengan Indonesia, yaitu “Arti Konferensi Bandung untuk sistem negara-negara modern di dunia.” Ketika mengerjakan tema tersebut, Bernhard untuk kali pertama membaca pidato Sukarno dan tergugah untuk mengetahui lebih jauh tentang sosoknya. “Saya berusaha untuk memperoleh biografi atau karya-karya mengenai Sukarno. Ternyata tidaklah mudah. Baik dalam bahasa Jerman maupun Prancis ataupun Inggris sampai saat itu masih belum terdapat karya-karya yang informatif mengenai Sukarno,” kata Bernhard. Yang ada hanyalah brosur-brosur resmi yang dikeluarkan oleh Kedutaan Besar Indonesia tetapi tidak memberikan gambaran tentang perkembangan dan pemikiran Sukarno. “Oleh karena itu saya memutuskan setelah menyelesaikan studi dan penulisan skripsi tentang Konferensi Bandung, saya akan menulis sendiri buku mengenai perjalanan hidup dan gagasan presiden pertama Indonesia itu,” kata Bernhard. Pada 1961, Bernhard yang baru menikah dengan Elke Vieth, meninggalkan istrinya untuk pergi ke Belanda. Di sana, dia mempelajari arsip-arsip tentang nasionalisme Indonesia. Hasilnya, pada 1964, dia berhasil membuat disertasi berjudul Sukarnos Kampf in Indonesiens Unabhangigkeit. Disertasi ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Inggris. Dalam Bahasa Indonesia berjudul Sukarno dan Perjuangan Kemerdekaan (1987). “Buku Dahm mengenai pemikiran Sukarno adalah buku pertama yang menganalisis secara lengkap Sukarno sampai tahun 1945,” tulis sejarawan Onghokham dalam Sukarno: Orang Kiri, Revolusi & G30S 1965. Menurut Ong, tesis utama Dahm mengenai pemikiran Sukarno adalah betapa berakarnya dia dalam kebudayaan Jawa tradisional dan ideologi anti-Barat, yang pada waktu itu merupakan penjajah dan musuh utama nasionalisme Asia pada umumnya dan dan Indonesia khususnya. “Karya ini menekankan pengaruh tradisi kebudayaan Jawa terhadap tindakan serta jalan pikiran Sukarno,” kata Bernhard. Penampilannya yang berkobar-kobar dalam perjuangan kemerdekaan serta keahliannya menguasai bahasa pewayangan, membuat banyak orang melihat Ratu Adil dalam diri Sukarno yang dapat memimpin Indonesia memasuki zaman keemasan. Namun, yang jauh lebih penting lagi ialah upaya Sukarno yang berkesinambungan dalam perjuangan kemerdekaan untuk mempertahankan front kesatuan supaya masing-masing kelompok tidak saling melemahkan. “Dia yakin akan tradisi sinkretisme Jawa bahwa persatuan antara kelompok yang beraneka ragam pun, seperti Islam, Marxis, dan Nasionalis dapat terlaksana,” kata Bernhard. Pada 26 Oktober 1966, Bernhard bertemu dengan Sukarno. Dia menyetujui beberapa hal dalam buku itu, misalnya mengenai penekanan perbedaan pribadinya dengan Hatta, Sjahrir, dan M. Natsir. Tetapi, dia tidak setuju disebut seorang Marxis melainkan sinkretis kebudayaan Jawa yang mencakup istilah Marhaen ciptaannya serta proyek Nasakomnya. “Dalam pembicaraan kami, Sukarno tetap yakin bahwa seseorang dapat menjadi Marxis dan seorang muslim yang taat sekaligus,” kata Bernhard yang diangkat menjadi profesor sejarah Asia di Universitas Kiel, Jerman pada 1973. Dia kemudian memimpin Institut Studi Kawasan Asia Tenggara di Universitas Passau pada 1984. Sejarawan Peter Kasenda dalam Bung Karno Panglima Revolusi , menyebut karya Bernhard berhasil menunjukan kepada pembaca betapa pentingnya pengaruh kebudayaan Jawa dalam proses sosialisasi dan pekembangan intelektual Sukarno. “Karya tersebut bukan tanpa kesalahan,” tulis Peter. “Misalnya, ada kritik yang ditujukan kepada Bernhard Dahm bahwa sarjana berkebangsaan Jerman itu terlalu memaksakan diri melihat Sukarno sebagai pemikir tanpa melihat tingkah laku politik Sukarno sendiri. Kendati demikian, buku ini tetap saja memberi sumbangan yang berarti bagi penulisan sejarah Indonesia.”*

  • Menyuarakan Nasib Nelayan Melalui Lukisan

    Lukisan berjudul “Lelang Ikan” salah satu ikon lukisan koleksi Istana yang dipamerkan di Galeri Nasional Jakarta, 2-30 Agustus 2017. Lukisan terbaik Itji Tarmizi ini menjadi gambar utama di katalog pameran. Lukisan berukuran 140x195 cm itu menggambarkan seorang tengkulak yang dikelilingi nelayan, seorang ibu berkutang dengan bawahan kain dan anaknya tanpa pakaian kemungkinan istri salah satu nelayan, kuli panggul, hingga nelayan lain di belakang si tengkulak menatap tajam sambil memegang parang. Para nelayan itu seakan pasrah ikan-ikannya dibeli sang tengkulak dengan harga yang tidak diharapkan. Itji menggambarkan tengkulak itu ditemani anak atau cucunya yang mengenakan pakaian bagus lengkap dengan kalung mutiara. Dia mengenakan peci hitam, berkulit terang, berpakaian ala penguasa tapi juga mengenakan bawahan kain, lengkap dengan ikat pinggang besar. “Kalau melihat ikat pinggang besarnya yang dipakai orang itu, dan detail lain macam perahu-perahu nelayan di belakangnya, sepertinya Itji Tarmizi mengambil gambar lokasinya di pesisir timur Pulau Jawa (Jawa Timur atau Pulau Madura),” ujar Mikke Susanto, kurator pameran, kepada Historia . Lukisan tahun 1963 itu, kata Mikke, konsepnya dinamis, tidak statis seperti lukisan pemandangan. Lukisan itu menjadi manifestasi ketimpangan sosial. Itji menghadirkan drama ketegangan dan dinamika pelelangan ikan. Karya itu tidak lepas dari pengaruh Sanggar Pelukis Rakyat, semasa Itji studi di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. “Dalam kelompok itu, Itji mendapatkan pengajaran tentang konsep lukisan yang cenderung menampilkan keadaan sosial. Dalam membuat karya-karyanya, dia turun ke lapangan atau observasi. Termasuk karya ini (Lelang Ikan),” kata Mikke. Dalam biografi Amrus Natalsya dan Bumi Tarung, Misbach Tamrin menyebut Itji sebagai anggota Sanggar Pelukis Rakyat, sering sendiri turba (turun ke bawah) ke tengah kehidupan nelayan di pantai utara Jawa. Dalam turbanya selama beberapa hari itu, dia hidup bersama kaum nelayan untuk menyelami kehidupan mereka yang penuh tantangan alam sosial. Karena Indonesia negeri maritim, pilihan obyek turba pelukis Itji ini cukup tepat. Keindahan pantai dan laut dengan pulau-pulau cukup eksotik, kehidupan nelayan dengan segala pertarungannya menghadapi alam dan manusia, amat menarik untuk digarap sebagai karya seni rupa. “Dari sinilah muncul karya lukisnya yang terbaik, ‘Tengkulak Ikan,’ yang kemudian dikoleksi Presiden Sukarno,” tulis Misbach. Kritikus seni Jim Supangkat mengatakan karya-karya Itji yang menggambarkan kehidupan rakyat sempat dituding politis dan kekiri-kirian. Ini mesti diluruskan. “Pernah ada diskusi tentang karya-karya Itji Tarmizi yang dituduh kekiri-kirian. Ini yang harus diluruskan. Memang karya-karyanya mempertunjukkan keadaan masyarakat dan sosial di permukaan. Tentang nasib nelayan yang berkaitan dengan ketidakadilan, tapi karyanya ini punya benang merah dalam perkembangan seni rupa dari awal abad 20,” kata Jim kepada Historia . Jim melanjutkan, karya-karya yang menggambarkan keadaan sosial dan humanisme seperti itu sudah ada sejak era Raden Saleh pada 1930-an. Walau memang pada masa Itji membuat lukisannya di era 1960-an, Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) sedang vokal menyuarakan penderitaan rakyat lewat karya seni. “Karya-karyanya yang detail dianggap sangat politis yang kekiri-kirian. Padahal Itji membuat karya yang detail itu sebagai ungkapan pribadinya yang universal. Tarmizi sebagai seniman yang punya idealisme dan humanisme, ditafsirkan memiliki kandungan ideologi komunisme,” kata Jim. Oleh karena itu, Itji “dihilangkan” rezim Orde Baru. “Setelah sempat direhab penguasa Orba (Orde Baru), dia masih beberapa kali mengeluarkan karya-karya lainnya yang juga bagus. Tapi saya rasa, andai dia tidak dihilangkan, dia akan bisa menghasilkan banyak karya yang tidak hanya bagus, tapi juga luar biasa,” kata Jim. Itji, seniman tunarungu dan tunawicara kelahiran Tanah Datar, Sumatra Barat 21 Juli 1939, tutup usia pada 27 November 2001 di usia 62 tahun di Jakarta.

  • Hikayat Lukisan Gatotkaca

    Bung Karno (nama populis presiden pertama Republik Indonesia) dikenal sangat mencintai seni lukis dan dunia pewayangan. Tidak aneh, jika suatu hari di tahun 1950-an, dia pernah meminta Basoeki Abdullah (satu dari sekian pelukis kesayangannya) untuk membuatkan suatu karya lukisan bertemakan pewayangan. “Mengapa tidak melukis legenda keluarga Bima, prajurit besar dari keluarga Pandawa?” ujarnya kepada Basoeki Abdullah, seperti dikutip Agus Dermawan T. dalam Bukit-Bukit Perhatian: Dari Seniman Politik, Lukisan Palsu Sampai Kosmologi Seni Bung Karno. “Itu gampang, kapan-kapan,” demikian jawaban Basoeki. “Mengapa tidak melukis Gatotkaca dengan dua isteri kembarnya, Pergiwa dan Pergiwati?” kata Bung Karno lagi. Paham maksud Si Bung, Basoeki pun menggoreskan kuasnya di atas selembar kanvas yang ukurannya tidak biasa: 150x100 cm. Lukisan itu selesai dalam waktu beberapa hari. Setelah rampung, Basoeki lantas memberi lukisan bergaya realis-naturalisnya itu dengan tajuk “Gatutkaca dan Anak-Anak Arjuna Pergiwa-Pergiwati.” Menurut Mikke Susanto, lukisan tersebut menggambarkan Gatotkaca (salah satu ksatria sebangsa Werkudara putra dari Bima) tengah terbang layaknya Superman. Mata sang ksatria menatap tajam penuh asmara, sementara si kembar cantik Pergiwa-Pergiwati yang digambarkan cukup molek, saling berbeda pandang terhadap keberadaan Gatotkaca. “Basoeki Abdullah melukiskannya di atas kanvas dengan ukuran yang aneh. Sepertinya memang permintaan khusus untuk ditempatkan di satu bidang dinding yang kosong di Istana Merdeka. Dia pesan tiga. Dua lukisan tentang Jaka Tarub, satu lagi lukisan yang Gatotkaca itu,” ujar kurator pameran lukisan koleksi Istana Kepresidenan di Galeri Nasional tersebut. Mengapa Gatotkaca? Itu karena karakter pewayangan yang disukai Si Bung ketika menonton pertunjukan wayang adalah Gatotkaca, sosok ksatria gagah perkasa yang dianggap mirip dirinya sendiri. “Gatotkaca kan ksatria Pringgondani yang sakti. Dari segi visualnya sudah nampak personifikasi. Pembawaannya yang gagah, punya tatapan tajam dan berwibawa. Nah, Gatotkaca dianggap presentasi dari Bung Karno sendiri,” kata Mikke kepada Historia. Sebagaimana lukisan Basoeki Abdullah yang menggambarkan Nyai Roro Kidul, lukisan si kembar cantik Pergiwa-Pergiwati pun butuh model. Sayangnya, sampai sekarang, Mikke belum bisa menemukan siapa perempuan cantik yang menjadi model dalam lukisan itu. “Lukisan-lukisan Basoeki Abdullah kebanyakan butuh model untuk mengukur atau memperkirakan posisi wajah. Untuk lukisan Gatotkaca tersebut, memang belum diketahui siapa modelnya. Kemungkinan besar model itu satu orang, namun dibuat berbeda angle, ” ujar Mikke.

  • Orang Indonesia yang Berperang untuk Negara Lain

    PERANG yang berkecamuk di berbagai belahan dunia menyeret sejumlah pemuda Indonesia. Mereka ambil bagian sebagai tentara, pilot tempur dan tenaga medis, mulai dari Perang Sipil di Spanyol hingga Perang Pasifik. Alasan mereka terjebak di tengah-tengah berkecamuknya perang karena tak bisa pulang ke Indonesia atau kesukarelaan. Berikut kisah-kisah para pemuda itu: Henry Hoo Lahir di Surabaya pada 1912, putra Hoo Bo Liang yang memiliki nama lahir Hoo Chi Sui ini tercatat sebagai pilot pesawat tempur International Volunteer Brigade. Legiun sukarelawan asing itu memihak kaum republik melawan kaum fasis dalam Guerra Civil atau Perang Saudara Spanyol (1936-1938). Henry Hoo merantau ke Eropa pada 1935. Ketika pecah Perang Saudara di Spanyol, dia salah satu dari sekian orang Tionghoa asal Hindia Belanda yang mendaftar sebagai sukarelawan kontrak. Kisahnya pernah dimuat dalam surat kabar Sin Po pada 1938. Dia mengawaki pesawat Uni Soviet pernah menjatuhkan pesawat terbang Jerman, pendukung utama kaum fasis Spanyol pimpinan Francisco Franco. Setelah selesai kontraknya, Henry beralih ke Zhonghua Minguo Kongjun (Angkatan Udara Republik Cina) untuk melawan Jepang pada 1937. Selain Henry, ada beberapa pilot kelahiran Hindia Belanda, seperti Nio Thiam Seng (Bandung), Tan Tin Ho (Batavia) dan Tan Gie Gan (Surakarta). Tio Oen Bik Tionghoa asal Hindia Belanda yang terlibat dalam Perang Sipil Spanyol juga ada yang berperan sebagai tenaga medis, yaitu dr. Tio Oen Bik. Pemuda kelahiran 1906 itu sebelumnya menimba ilmu kedokteran di Nederlansdsch Indische Artsen School atau sekolah kedokteran pribumi di Surabaya medio 1920-an. Pada 1929, dia melanjutkan studinya di Amsterdam, Belanda, di mana dia mendirikan Sarekat Peranakan Tionghoa Indonesia. Dalam Chinese Migrants and Internationalism: Forgotten Histories 1917-1945 , Gregor Benton mencatat bahwa Tio enggan ikut kawan-kawannya pulang ke Hindia Belanda di masa pergerakan. Dia memilih pergi ke Spanyol untuk bergabung dengan pihak republik melawan fasis. Di sana, dia menangani para korban sipil maupun militer. Menurut Iwan Santosa dalam Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran , tidak hanya Tio yang pernah punya andil di negeri asing. Dalam perang Sino-Jepang, organisasi Hoo Hap asal Cianjur juga berangkat ke Cina untuk melawan Jepang. Beberapa dokter dan staf medis Rumah Sakit Jang Seng Ie (kini Rumah Sakit Husada Jakarta Pusat) juga dikirim ke Cina dengan biaya sumbangan para tokoh anti-Jepang. Abdul Halim Perdanakusuma Lahir di Sampang, Madura pada 18 November 1922, karier kemiliteran Halim dirintis di Koninklijke Marine atau Angkatan Laut Belanda di Modderlust, Surabaya. Halim pun ikut serta dalam perang Pasifik melawan Jepang sebagai operator torpedo. Halim nyaris tewas ketika kapal perang Belanda yang turut diawakinya ditenggelamkan Jepang dekat pantai Cilacap. Selamat dari maut, Halim ikut rombongan serdadu Belanda yang mengungsi ke India. Pertemuannya dengan Panglima Komando Armada Asia Tenggara Lord Louis Mountbatten yang terkesan dengan karya lukisan Halim, membuatnya masuk pendidikan RCAF (Angkatan Udara Kanada) dan dilanjutkan RAF (Angkatan Udara Inggris) sampai lulus sebagai navigator bomber (pesawat pembom) dengan pangkat letnan. Di lingkungan RAF, Halim dijuluki The Black Mascot oleh rekan-rekannya. Pengalaman tempurnya termasuk lumayan: ia pernah melakukan 42 misi pemboman ke wilayah Prancis (yang sedang dikuasai Jerman) dan ke wilayah Jerman sendiri. Halim pun tercatat sebagai navigator pada pesawat pembom Avro Lancaster atau B-24 Liberator sampai akhir Perang Dunia II. Dari Sedjarah Pertumbuhan AURI diketahui, Halim lantas direkrut Komodor Suryadi Suryadharma sebagai salah satu pionir TNI AU sebagai perwira operasi. Saat itu, dia satu-satunya pilot TNI AU dengan wing penerbang RCAF dan memiliki pengalaman tempur di palagan Eropa. Tragisnya, Halim bersama Iswahyudi gugur dalam tugas kala pesawat Avro Anson yang mereka naiki, jatuh di Malaya (kini Malaysia) pada 14 Desember 1947 . Hingga kini penyebab kecelakaan itu masih menjadi misteri. Irawan Soejono Irawan Soejono, putra bangsawan yang sejak muda mengenyam pendidikan di Belanda pada 1934. Ketika Jerman menginvasi Belanda, ayahnya tercatat sebagai pejabat menteri tanpa portofolio dalam kabinet Belanda di London, Inggris. Namun Irawan tetap memilih berada di negeri Tulip bersama para pelajar Indonesia lainnya guna menjadi partisan melawan Jerman. Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah mencatat bahwa Irawan ikut terlibat dalam gerakan perlawanan bawah tanah dengan menjadi salah satu direksi surat kabar bawah tanah, De Bevrijding , bersama para pelajar Perhimpunan Indonesia seperti Pamuntjak, Alex Ticoalu, Suripno, IA Mochtar, Rozai Kusumasubrata dan FKN Harahap. Surat kabar itu mendapat simpati dan bantuan dari kelompok bawah tanah lainnya. Dalam suatu insiden, Irawan tewas ditembak serdadu Jerman pada 13 Januari 1945. Perannya melawan Jerman diakui Kerajaan Belanda lewat pemerintah Kota Amsterdam. Namanya diabadikan jadi nama jalan, Irawan Soejonostraat. Tidak hanya Irawan, para pemuda dalam Perhimpunan Indonesia juga ikut terpanggil melawan Jerman. Soebadio Sastrosatomo dalam Perjuangan Revolusi menyebut beberapa di antara mereka tidak hanya bergerak di bawah tanah lewat tulisan, tapi juga angkat senjata. Mereka antara lain Anak Agung Made Djelantik, LN Palar, Sumitro, Zairin Zain, Jusuf Muda Dalam, Suripno, hingga Kusna Puradiredja. Mereka membentuk Barisan Mahasiswa Indonesia dan aktif melakukan sabotase, sampai menyelamatkan orang-orang Yahudi yang hendak dimusnahkan anak buah Hitler. Andi Abdul Azis Putra Bugis kelahiran 19 September 1924 ini sudah pergi ke Belanda sejak pertengahan 1930-an. Tamat dari Leger School pada 1938, Andi Azis bergabung dengan gerakan bawah tanah melawan Jerman. Berbeda dengan para pemuda dari Perhimpunan Indonesia, statusnya sebagai anggota Koninklijke Leger atau Tentara Kerajaan. Perlawanan militer Belanda hanya lima hari. Mereka menyerah setelah diserang Jerman dari arah Belgia dan Luksemburg pada 10 Mei 1940. Andi dan serdadu Belanda yang tak menyerah kabur ke Inggris. Dari Inggris ia bergerak ke India untuk mengikuti pelatihan komando dan lulus dengan pangkat sersan. Pada 19 Januari 1946, Andi pulang ke Indonesia dan memilih masuk KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) dengan pangkat letnan. Andi kemudian menjadi ajudan Presiden Negara Indonesia Timur, Sukowati. Setelah penyerahan kedaulatan 27 Desember 1949, ia meleburkan diri ke Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat. Dalam sejarah Indonesia, Andi tercatat sebagai pemberontak lewat insiden pada 5 April 1950 di Makassar. Pemberontakan itu dipadamkan TNI dan Andi dibui 14 tahun penjara. Atas kebijakan pemerintah, masa tahanannya dipotong menjadi delapan tahun. Selain Andi, masih ada pemuda-pemuda Indonesia yang tergabung dalam tentara Kerajaan Belanda saat melawan Jerman. Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah mencatat tiga nama: Eduard Latuperisa, Mas Sumitro dan Victor Makatita. Victor tewas diterjang timah panas Polisi Vichy (negeri Prancis yang pro-Jerman) kala berusaha kabur ke Swiss pada 9 April 1942. Nasib tragis juga dialami Eduard Latuperisa. Eks KNIL yang ikut Orde Dienst itu dijatuhi hukuman mati pada 29 Juli 1943 di Leusderheide. Sementara Serma Mas Sumitro meninggal pada 26 Januari 1944 karena jatuh dari trem. Adolf Gustaaf Lembong Karier militer Adolf Gustaaf Lembong sangat unik. Berbeda dengan pemuda-pemuda Indonesia lainnya, Lembong pernah angkat senjata bukan hanya untuk Belanda dan Indonesia tapi juga negara tetangga: Filipina. Lahir di Ongkaw, Minahasa, 19 Oktober 1910, Lembong masuk KNIL. Masuknya Jepang ke Indonesia membuat Lembong dan serdadu KNIL di Manado dibawa ke kamp interniran di Filipina. Menurut Robert Lapham dan Bernard Norling dalam Lapham’s Raiders, Lembong dan beberapa kompatriotnya seperti Alex Rawung, Jan Pelle, Marcus Taroreh, Marthin Sulu, Alexander Kewas, Albert Mondong, Hendrik Terok, Andries Pacasi dan William Tantang, berhasil kabur dari kamp tahanan di Pulau Luzon, Filipina. Mereka bergabung dengan Luzon Guerilla Armed Forces (LGAF). Memimpin Skadron 202, Lembong sukses menjarah gudang logistik Jepang pada 6 Januari 1945. Sehari setelahnya, dia melakukan penyergapan yang menewaskan 27 tentara Jepang. Dia dan kawan-kawan kembali ke Sulawesi Utara pada 22 Januari 1945. Awalnya Lembong kembali bergabung dengan militer Belanda. Karena Belanda melancarkan Agresi Militer I pada 27 Juli 1947, Lembong membelot ke pihak republik. Lembong tewas oleh gerombolan Angkatan Perang Ratu Adil yang menyerang Markas Staf Kwartier Divisi Siliwangi (kini Museum Mandala Wangsit) di Bandung pada 23 Januari 1950. R. Sudirmo Bunder Tidak hanya Lembong atau kawan-kawannya eks-KNIL yang “terjebak” di tengah-tengah berkecamuknya Perang Pasifik. R. Sudirmo Bunder, mahasiswa kedokteran di California, Amerika Serikat (AS), juga salah satu veteran US Army (Angkatan Darat AS) yang disegani dan dihormati. Sebagaimana dituturkannya kepada penulis Hana Rambe dalam Terhempas Prahara ke Pasifik , Sudirmo mengungkapkan, dirinya yang tengah belajar kedokteran di St. Anthony College, California terkena program wajib militer pasca AS menyatakan perang terhadap Jepang akibat serangan di Pearl Harbor. Setelah menjalani beberapa bulan pelatihan militer, lelaki Jawa kelahiran 12 Februari 1920 itu, ditempatkan di Rainbow Division untuk dikirim ke front Pasifik. Sudirmo terlibat dalam pertempuran melawan tentara Jepang. Mulai dari Rabaul di Papua Nugini, Biak, Hollandia (kini Jayapura), Morotai, Saipan, Iwo Jima, Okinawa, hingga menjejakkan kaki di Tokyo, setelah Jepang menyerah pada Sekutu. Setelah perang usai, Sudirmo dinyatakan AS sebagai warga Belanda lantaran lahir di sebuah negeri koloni Hindia Belanda. Makanya, ketika pecah Perang Korea, Sudirmo eksis sebagai tentara Belanda di bawah panji pasukan perdamaian PBB. Usai perang Korea, Sudirmo pulang ke Indonesia dan bergabung dengan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD).*

  • Lukisan Koleksi Istana Memakan Korban

    Pameran lukisan koleksi Istana di Galeri Nasional Jakarta (2-30 Agustus 2017) menampilkan 48 lukisan dari 41 pelukis. Salah satu lukisan yang dipajang adalah “Nyi Roro Kidul” karya Basoeki Abdullah (1915-2015). Sebelumnya, lukisan itu dipamerkan dalam peringatan seabad Basoeki Abdullah di Museum Nasional Jakarta pada 2015. Ada cerita di balik proses pembuatan lukisan Nyi Roro Kidul itu. “Saya melukis Nyi Roro Kidul karena saya memang merasa sering bertemu dengannya,” kata Basoeki seperti dikutip kritikus seni Agus Dermawan T. dalam biografi R. Basoeki Abdullah RA: Duta Seni Lukis Indonesia. Keterangan Basoeki itu, menurut Dermawan, agaknya berhubungan dengan peristiwa ketika dia bersemedi di Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Dia mendengar suara di tepi pantai itu sehingga yakin bahwa “Nyi Roro Kidul itu ada. Di Parangtritis, di Pelabuhan Ratu atau pokoknya di sepanjang Laut Selatan, dia bisa dijumpai.” Di sebuah hotel di Pelabuhan Ratu, Basoeki pernah “dipanggil” dan “diajak bicara.” Di tempat lain, dia dibuat bergidik bulu romanya. Dan dilantuni suara-suara yang memanggil dan mengajaknya bercakap-cakap. “Keinginan melukis Nyi Roro Kidul lantas tak tertahankan lagi,” tulis Dermawan. Namun, bagaimana melukisnya? Kendati sering didatangi, Basoeki tak pernah menatap wajah Nyi Roro Kidul dengan jelas. Dia berpegangan pada keterangan legenda bahwa Nyai Roro Kidul adalah wanita sangat cantik. Dia kemudian mencari model yang menurutnya amat cantik. Terpilihlah Nyonya Harahap, istri seorang dokter. “Tante Harahap itu amat cantik sehingga menjadi model pelukis Basoeki Abdullah. Nyi Roro Kidul yang dibuat Basuki Abdullah wajahnya merupakan duplikat wajah Tante Harahap,” kata Soebronto Laras dalam otobiografinya, Meretas Dunia Otomotif Indonesia . Lukisan Nyi Roro Kidul dengan model Nyonya Harahap kemudian menjadi koleksi Presiden Sukarno dan disimpan di Istana Presiden Yogyakarta. Sayangnya, tak lama setelah dilukis, Nyonya Harahap menderita sakit keras. Kanker ganas menyerang tubuhnya dan tak lama kemudian meninggal dunia. Basoeki menganggap hal itu sebagai suatu kebetulan. Dia pun kembali melukis Nyi Roro Kidul. Setelah kejadian itu lebih dari tiga kali, dia pun waspada. “Semua model yang memerankan Nyi Roro Kidul menderita sakit parah. Bahkan sebagian tak tertolong jiwanya,” tulis Dermawan. Setelah kejadian itu, apabila Basoeki mendapat ilham untuk melukis Nyi Roro Kidul, dia tak memakai model. Dia menggunakan imajinasinya. Kanvasnya tak ingin memakan korban lagi. “Sampai sekarang ada enam lukisan Nyi Roro Kidul yang diciptakan Basoeki. Semua dalam versi yang berlainan. Dan versi bentuk serta pengadeganan itu ditentukan dari bagaimana Basoeki menangkap ‘petunjuk dari sana’,” tulis Dermawan.

  • 48 Senandung Ibu Pertiwi

    Menjelang peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Kementerian Sekretariat Negara kembali menghelat pameran akbar lukisan-lukisan koleksi Istana Kepresidenan pada 2-30 Agustus 2017. Semua lukisan tersebut dibawa dari Istana Negara dan Istana Merdeka Jakarta, Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Yogyakarta, hingga Istana Tampaksiring di Bali. Tema pameran lukisan yang digelar di Galeri Nasional Indonesia di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, tahun ini mengangkat tajuk “Senandung Ibu Pertiwi”. Dari sekian lukisan koleksi istana, dipilih 48 karya besar dari 41 pelukis yang sebelumnya diseleksi sesuai kebutuhan tema pameran. “Semua tentang kekayaan alam, kebudayaan serta manusianya yang beraneka ragam,” ujar kurator pameran Mikke Susanto kepada Historia . Yang dipamerkan juga bukan sembarang karya. Pasalnya ada banyak cerita menarik di balik karya-karya lukisannya. Seperti lukisan “Harimau Minum” karya Raden Saleh Syarif Bustaman, hingga lukisan “Nyai Roro Kidul” karya Basoeki Abdullah. “Juga yang menarik itu lukisan ‘Pantai Flores’ karya Basoeki Abdullah. Lukisan salinan dari goresan Bung Karno sebelumnya yang menggambarkan keindahan Flores saat diasingkan,” kata Mikke. Satu hal lagi, dari 48 lukisan yang dipamerkan, ada satu yang tidak bisa di- display langsung. Yakni lukisan karya Konstantin Egorovick Makovsky. Lukisan aslinya terlampau besar untuk bisa dibawa masuk yakni berukuran 295x450 cm. Disebutkan oleh Mike, lukisan itu sebelumnya merupakan hadiah dari pemimpin Uni Soviet, Nikita Khruschev dan sudah berusia sekira 120 tahun. “Itu karya Konstantin Makovsky yang bertajuk perkawinan adat Rusia. Lukisan tersebut asalnya dari Istana Bogor,” ujar Mikke.

  • Mencegah Keluarga Brayut

    Ki dan Nyi Brayut sepasang suami istri dalam cerita pewayangan yang memiliki banyak anak. Nyi Brayut menggendong anak-anaknya di belakang, sedangkan Ki Brayut memikul anak-anaknya. Wayang Brayut yang dipamerkan di Museum Wayang di Jalan Pintu Besar Utara No. 27 Jakarta Barat, digunakan untuk kampanye program Keluarga Berencana (KB) di Yogyakarta. “Ini (Ki dan Nyi Brayut, red.) menggambarkan adanya keluarga besar. Brayut dari kata brayat , berarti keturunan. Orang zaman dulu berpikir setiap anak sudah ada yang mengatur rezekinya masing-masing. Beda dengan sekarang, sudah takut duluan tidak bisa menghidupi,” terang Sumardi, kepala satuan pelayanan Museum Wayang, kepada Historia . R. Bima S. Rahardja, dosen Sastra Nusantara Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa penggunaan wayang brayut untuk kampanye program KB bertujuan memberikan gambaran pada masyarakat akan repotnya memiliki banyak anak. “Wayang Brayut digunakan untuk menggambarkan kerepotan memiliki banyak anak. Nah, kemungkinan ini yang ditangkap Pak Harto pada saat itu untuk sosialisasi program KB. Dulu Pak Harto senang sekali dengan wayang,” jelas Bima kepada Historia . Menurut Bima, pemilihan wayang sebagai media kampanye karena pada tahun 1970-an belum banyak hiburan yang dapat dinikmati rakyat. Wayang merupakan hiburan yang paling digemari banyak orang. “Akses hiburan belum begitu banyak kecuali seni tradisional, salah satunya wayang. Wayang menjadi tontonan nomor satu di Jawa pada saat itu sehingga menjadi alat yang efektif untuk mensugesti masyarakat,” terang Bima. Wayang Brayut sudah muncul jauh sebelum program KB dicanangkan. Mulanya, wayang ini muncul di Surakarta pada masa Pakubuwana IV yang memerintah sejak 1788 hingga 1820. “Wayang Brayut kemungkinan sampai ke Yogyakarta pada masa Hamengkubuwono V (memerintah sejak 1823-1826 dan 1828-1855, red.). Kalau dilihat dari busana wayangnya, mereka adalah rakyat biasa. Selain tokoh Ki dan Nyi Brayut, ada pula gambaran anak-anak mereka , ” kata Bima. Menurut Sumardi, Ki dan Nyi Brayut bukan tokoh baku dalam cerita pewayangan. Tokoh-tokoh ini muncul sebagai sisipan dalam pertunjukan wayang. Mendukung pernyataan Sumardi, Bima memberikan gambaran mengenai kemunculan tokoh Brayut dalam cerita pewayangan. Dalam salah satu adegan di cerita Mahabharata, ketika pasukan kerajaan sedang berjalan, mereka melihat anak-anak Ki dan Nyi Brayut. Salah seorang anggota pasukan yang melihat kemudian merasa keheranan dengan jumlah anak yang sangat banyak. Dengan digunakannya wayang Brayut sebagai media kampanye, kemudian muncul cerita-cerita yang khusus untuk tujuan sosialisasi KB. “Wayang Brayut merupakan wayang suluh, yakni wayang sebagai media penerangan kepada masyarakat. Wayang itu media dakwah yang sangat luwes. Sehingga digunakan sebagai sarana penyuluhan tentang KB di era Soeharto,” tutup Sumardi.

  • Kisah Adjie dan Prajuritnya

    Di kalangan prajurit-prajurit Siliwangi, nama Mayor Jenderal TNI Ibrahim Adjie adalah legenda. Selain sosoknya yang kharismatik, eks panglima Komando Daerah Militer III Siliwangi (1960-1966) itu juga dikenal sebagai seorang jenderal yang egaliter dan dekat dengan para anak buahnya. Begitu dekatnya, hingga Adjie tak segan-segan turun langsung ke lapangan bahkan ke palagan sekalipun. “Waktu Operasi Pagar Betis pada awal 1960-an, ayah saya tak jarang menyertai langsung para prajurit yang tengah menghadapi gerilyawan Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo di hutan-hutan Jawa Barat,” ujar Kiki Adjie kepada Historia . Menurut salah satu putra dari Ibrahim Adjie tersebut, kendati seorang panglima, Ibrahim tak pernah berlaku sok berwibawa. Alih-alih jaim , ia justru sangat berbaur dan berusaha “tak berjarak” dengan para prajuritnya. Adjie sadar, para prajurit adalah garda terdepan saat menghadapi musuh-musuh negara. Karena itu apresiasi dan penghargaan seorang komandan mutlak harus dijalankan kepada mereka. Ada sebuah kisah yang mencerminkan kedekatan Adjie dengan para anak buahnya. Ceritanya, pada 1961, Adjie mengundang semua atase militer asing di Jakarta untuk melihat Jawa Barat. Kegiatan itu dilakukan sebagai upaya pembuktian kepada perwakilan negara-negara di dunia bahwa wilayah Jawa Barat sudah aman dari gangguan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Rute perjalanan rombongan panglima dan para atase militer asing itu dimulai dari Bandung lalu sampai ke Pangandaran. Karena jalan yang masih jelek berbatu, hampir sebagian besar anggota rombongan menjadi kelelahan. Karena itu, sampai di Kalipucang, Ibrahim memerintahkan rombongan untuk beristirahat sejenak. Nasi berbungkus daun pisang lantas dibagikan kepada pengawal dan anggota rombongan termasuk panglima Divisi Siliwangi yang juga mendapat sebungkus. Acara makan dilakukan secara bersama-sama. Tak ada batas antara perwira, bintara dan tamtama, semuanya menyatu. Saat acara makan baru dimulai, Ibrahim menengok bungkus nasi salah seorang prajurit pengawal yang sedang asyik menyantap jatah nasi bungkusnya. “ Geuningan sangu maneh mah euweuh dagingan (Kok nasi bungkus milik kamu tidak ada dagingnya?)," kata panglima. Menyaksikan hal tersebut, Adjie kemudian menyodorkan jatah nasi bungkusnya kepada prajurit itu: “Ini saja makan sama kamu,” katanya. Ditawari secara tiba-tiba oleh panglimanya, prajurit itu sigap berdiri menerima nasi bungkus sambil berseru: “Siappp!” lalu ia terbatuk-batuk dan mulutnya menghamburkan nasi yang sedang dikunyah. “ Euh, maneh mah (Halah, kamu ini),” kata Adjie sambil menyodorkan air minum. Ajudan panglima yang bernama Kapten Ramdhani setengah memaki berkata kepada prajurit itu: “ Maneh mah, ari samutut tong ngajawab! (Kamu ini, kalau mulut lagi penuh makanan ya jangan jawab!). Semua anggota rombongan kontan tertawa menyaksikan kejadian itu.

  • Razia Celana Jengki Pakai Botol Bir

    Pada suatu hari di Jakarta tahun 1960-an, terlihat keramaian di depan gedung bioskop. Rupanya, polisi sedang melakukan razia celana jengki. Polisi hanya bermodal gunting dan botol bir. Satu per satu anak muda bercelana jengki diperiksa. Kaki diangkat, leher botol dimasukkan pada ujung celana di pergelangan kaki. Bila leher botol bir gagal masuk, siap-siap saja berhadapan dengan gunting. “Celana jengki yang terbukti tidak bisa dimasuki botol langsung digunting melintang di lutut atau paha," kata Achmad Sunjayadi, sejarawan Universitas Indonesia. Korban razia tentu saja hanya bisa pasrah dan pulang menanggung malu. Celana jengki kesayangan sudah berubah serupa kolor. Menurut Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an, razia tidak hanya dilakukan di bioskop, tetapi juga di jalanan. Guru-guru di sekolah pun turut melakukan penertiban. Razia di Jakarta dinamai Operasi Hapus dan dilakukan oleh Angkatan Kepolisian VII/Jaya dan Corps Polisi Militer (CPM). Selain di Jakarta, razia juga dilakukan di kota-kota lain. Tidak hanya celana jengki, blue jeans pun dirazia. Bahkan tidak perlu mengukur dengan botol, langsung digunting. Celana jengki merupakan celana ketat yang populer di era 1960-an. Jengki berasal dari kata yankee yang berarti “orang Amerika.” Kepopuleran celana jengki dibawa oleh grup musik The Beatles. Grup musik asal Inggris ini digandrungi oleh anak-anak muda di berbagai kota di Indonesia. Maka, tak heran bila mereka meniru gaya berpakaian The Beatles. Achmad menjelaskan bahwa pelarangan celana jengki berbarengan dengan pelarangan musik rock and roll , gaya rambut ala The Beatles, dan dansa-dansi. “Ini berkaitan dengan kebijakan Sukarno. Pada pidatonya tentang Manipol-Usdek tanggal 17 Agustus 1959, Sukarno mengecam musik rock and roll , dansa-dansi, dan musik ngak ngik ngok,” kata Achmad. Manipol-Usdek merupakan singkatan dari Manifestasi Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Dalam tulisannya, “Ngak Ngik Ngok” di Jurnalisme Sastrawi, Budi Setiyono mencatat bahwa pemerintah kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Peraturan ini digunakan untuk melarang musik ngak ngik ngok beserta gaya berpakaiannya. Populernya The Beatles ditentang pemerintah karena di saat yang bersamaan pemerintah sedang berupaya memajukan kebudayaan nasional. Upaya tersebut didukung oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada sidang pleno Lekra tanggal 23-26 Februari 1964 dibahas mengenai upaya menangkis “kebudayaan imperialisme Amerika Serikat” juga usaha untuk membangun kebudayaan nasional.

  • Halt Order dari Hitler Mencegah Sekutu Musnah di Dunkirk

    Sejak 22 Mei 1940, Jenderal Heinz Guderian, komandan Divisi Panser ke-10 Angkatan Darat (AD) Nazi-Jerman, gencar menguber ratusan ribu tentara Sekutu sampai ke Dunkirk di utara Prancis. Namun, Adolf Hitler mengeluarkan “Halt Order” alias perintah menahan serangan. Hitler melarang mesin-mesin perangnya terus menerobos ke pesisir Dunkirk untuk menghabisi sekira 300 ribu tentara Sekutu. Menurut PK Ojong dalam Perang Eropa: Jilid I , keputusan Hitler itu bersifat politis. Hitler memerintahkan menahan serangan ke Dunkirk dan membiarkan Sekutu mengevakuasi ratusan ribu serdadunya ke Inggris, demi bisa berdamai dengan Inggris. “Hitler menganggap bangsa Inggris sebangsa (sesama ras Germanic ). Ini berarti Hitler merasa lebih dekat dengan Inggris daripada dengan Rusia, bangsa Slavonic yang dipandang rendah. Hitler membiarkan Inggris lolos di Dunkirk supaya Inggris tak kehilangan muka dan lebih bersedia damai dengan Hitler,” tulis Ojong. Namun, sejumlah sejarawan dan literatur di Eropa dan Amerika Serikat, tak sedikit yang meragukan adanya “Halt Order” dari Hitler. Ada yang menyebut perintah itu keluar dari Jenderal Karl Rudolf Gerd von Rundstedt, panglima Grup A AD Jerman, setelah Hitler menginspeksi markas Von Rundstedt di Charlesville pada 24 Mei 1940. “Kebanyakan para jenderal (AD Jerman) menyatakan itu perintah Hitler. Versi lainnya adalah Jenderal Gerd von Rundstedt, komandan di area itu (Dunkirk), memerintahkan penghentian serangan selama sehari yang kemudian diperpanjang Hitler tiga hari,” tulis George Victor dan John Laffin dalam Hitler: The Pathology of Evil. Selain itu, ada pula versi yang menyebut “Halt Order” dirilis atas permintaan Jenderal Ewald von Kleist, komandan Grup Panser Kleist yang membawahi Korps Panser XIX dan XLI. Von Kleist mengusulkan penghentian ofensif kepada Jenderal Gunther von Kluge, komandan Divisi ke-4 AD Jerman. “Von Kleist komplain bahwa divisi pansernya takkan cukup kuat untuk terus melakukan ofensif jika tidak lebih dulu mengatasi serangan balik Sekutu di Arras. Sepertinya dia membujuk Von Kluge untuk mengatakan hal itu kepada Von Rundstedt pada petang 23 Mei (1940),” tulis Hugh Sebag-Montefiore dalam Dunkirk: Fight to the Last Man . Hitler menyetujui usulan Von Rundstedt untuk tidak meneruskan ofensif di darat dengan berbagai pertimbangan. Mulai dari memberi rehat singkat untuk panser-pansernya dan para serdadunya dari Blitzkrieg yang melelahkan, hingga munculnya bujukan Reichsmarschall Hermann Goring. Panglima Angkatan Udara ( Luftwaffe ) Nazi-Jerman yang juga merangkap sejumlah jabatan menteri itu, ingin Angkatan Udara (AU) punya peran besar dalam invasi ke Prancis. “Goring muncul dan memastikan kepada Fuhrer (Hitler) bahwa AU-nya mampu menuntaskan pengepungan dengan menutup jalur udara di tepi pantai dan kantung-kantung pertahanan (Dunkirk) lewat udara,” tulis Liddell Hart dalam A History of the Second World War . Tidak sedikit para jenderal Jerman yang kemudian menyesali keputusan “Halt Order”. Bahkan Hitler sendiri. Pasalnya, niat Hitler untuk berdamai dengan Inggris ditolak Perdana Menteri Inggris Winston Churchill. Akibatnya, Hitler merancang percobaan invasi ke Britania Raya dengan mencanangkan Unternehmen Seelowe. Operasi Singa Laut itu urung dilakoni gara-gara Luftwaffe gagal total menghancurkan Royal Air Force (RAF, AU Inggris). Inggris kemudian jadi “basis” jutaan serdadu Sekutu yang lantas menginvasi Normandia pada 1944. “Churchill kurang bisa menghargai semangat ‘sportif’ yang saya tunjukkan dengan menahan diri dari ofensif. Kami benar-benar menahan diri dari keinginan memusnahkan mereka di Dunkirk,” ungkap Hitler sebagaimana dikutip Oscar Pinkus dalam The War Aims and Strategies of Adolf Hitler. Christopher Nolan melupakan “Halt Order” dalam film terbarunya, Dunkirk . Dia lebih fokus pada survival para serdadu Inggris dan kebijakan Churchill dalam menjemput sekira 300 ribu tentara Sekutu dari tepi pantai Dunkirk lewat berbagai cara.

  • 350 Tahun Pertukaran Pulau Run dengan Manhattan

    HARI ini, 31 Juli 2017, tepat 350 tahun Treaty of Breda, yaitu perjanjian antara Inggris dan Belanda di Kastil Breda pasca Perang Anglo Dutch II (Perang Inggris-Belanda II) pada 1665-1667. Dalam perjanjian damai ini, Inggris menukarkan Pulau Run di Kepulauan Banda yang kaya akan pala dan cengkeh dengan Pulau Nieuw Amsterdam, kelak dikenal dengan Pulau Manhattan, yang diduduki Belanda. Pusatnya sekarang menjadi New York City, pusat keuangan dan perdagangan dunia dan dijuluki The Big Apple. “Kekalahan Inggris dalam perang itu menghadirkan tekanan tersendiri dalam negosiasi di Breda. Mereka sebelumnya ingin lebih menukar perkebunan gula di Suriname. Namun pada akhirnya, Pulau Run yang ditukar dengan Manhattan (Nieuw Nederland) beserta Nieuw Amsterdam-nya (kini Kota New York),” ujar sejarawan Wim Manuhuttu dalam seminar “Banda : Heritage of Indonesia” di Erasmus Huis, Jakarta Selatan, Senin (31/7/2017). Peringatan 3,5 abad Treaty of Breda tidak hanya di Tanah Air, tapi juga di New York. Konsulat Jenderal Republik Indonesia New York menggelar acara pameran untuk promosi film, kopi, hingga pariwisata Banda dengan tajuk “Indonesia sebagai Kepulauan Penghasil Rempah-Rempah Dunia” yang rangkaian acaranya dimulai dari April hingga Agustus 2017. Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan bahwa bicara Banda berarti juga bicara kolonialisme. “Kita tidak mengenang kolonialisme. Tapi lebih kepada adanya Treaty of Breda yang punya kaitan lebih global dalam hal kolonialisme,” ujar Bonnie. Dalam sejarah Indonesia, Kepulauan Banda punya arti tersendiri sebagai tempat pembuangan para tokoh bangsa oleh pemerintah kolonial Belanda. “Banda dalam sejarah Indonesia jadi tempat pembuangan para bapak negara. Seperti Hatta, Sjahrir, Iwa Kusuma dll. Sementara Run tak bisa dibandingkan dengan Manhattan kecuali kita punya imaginative connection. Setiap kali kita hubungkan, seperti kita membayangkan perjalanan dengan economy class dan first class ,” kata penulis Ayu Utami. Pendapat berbeda dikemukakan Tanya Alwi, aktivis konservasi bahari asal Banda. Menurutnya, meski sekarang Manhattan dengan New York-nya jadi pusat finansial dunia, bukan berarti Kepulauan Banda tak memiliki apapun selain komoditas pala. “Mungkin sekarang New York boleh jadi sentra finansial dunia. Tapi sekarang Banda adalah centre of marine biodiversity (sentra keanekaragaman hayati laut). Sebenarnya momen ini momen yang spesial. Banda punya heritage (warisan) yang indah, punya keanekaragaman hayati yang indah dan aset ini yang harus kita jaga agar tetap utuh,” kata Tanya Alwi. Sepakat dengan Tanya Alwi, Wim Manuhuttu berharap segenap elemen bangsa juga bisa mengambil manfaat dari momentum 350 tahun Treaty of Breda dan kaitannya dengan Banda. Momentum agar tidak hanya mempromosikan wisata bahari, tapi juga warisan-warisan sejarahnya. “Sekarang masih banyak tempat-tempat bersejarah yang jadi warisan penting di Run. Begitu juga di Banda. Di Banda saja, masih ada sekitar 15 benteng sisa-sisa masa kolonial yang menujukkan betapa pentingnya Banda. Penting untuk menopang ketertarikan dunia pada Banda karena keunikan sejarahnya ini, agar bisa dinikmati para wisatawan. Tidak hanya wisata bahari, tapi juga heritage -nya,” tandas Wim.

bottom of page