Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Siapa Sebenarnya Kakek Gajah Mada?
“Pada saka 1213/1291 M, Bulan Jyesta, pada waktu itu saat wafatnya Paduka Bhatara yang dimakamkan di Siwabudha…Rakryan Mapatih Mpu Mada, yang seolah-olah sebagai yoni bagi Bhatara Sapta Prabhu, dengan yang terutama di antaranya ialah Sri Tribhuwanottunggadewi Maharajasa Jayawisnuwarddhani, cucu-cucu putra dan putri paduka Bhatara Sri Krtanagarajnaneuwarabraja Namabhiseka pada waktu itu saat Rakryan Mapatih Jirnnodhara membuat caitya bagi para brahmana tertinggi Siwa dan Buddha yang mengikuti wafatnya paduka Bhatara dan sang Mahawrddhamantri (Mpu Raganatha) yang gugur di kaki Bhatara.” Demikian bunyi Prasasti Gajah Mada yang bertarikh 1273 saka atau tahun 1351. Sebagai mahamantri terkemuka, Gajah Mada dapat mengeluarkan prasastinya sendiri dan berhak memberi titah membangun bangunan suci ( caitya ) untuk tokoh yang sudah meninggal. Prasasti itu memberitakan pembangunan caitya bagi Kertanagara. Raja terakhir Singhasari itu gugur di istananya bersama patihnya, Mpu Raganatha dan para brahmana Siva dan Buddha, akibat serangan tentara Jayakatwang dari Kadiri. Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar, agaknya Gajah Mada memiliki alasan khusus mengapa memilih membangunkan caitya bagi Kertanagara daripada tokoh-tokoh pendahulu lainnya. Padahal, selama era Majapahit yang dipandang penting tentunya Raden Wijaya sebagai pendiri Kerajaan Majapahit. Dalam Gajah Mada, Biografi Politik, Agus menulis bahwa kemungkinan besar bangunan suci yang didirikan atas perintah Gajah Mada adalah Candi Singhasari di Malang. Pasalnya, Prasasti Gajah Mada ditemukan di halaman Candi Singhasari. Bangunan candi lain yang dihubungkan dengan Kertanagara, yaitu Candi Jawi di Pasuruan. Candi ini sangat mungkin didirikan tidak lama setelah tewasnya Kertanagara di Kedaton Singhasari. Menurut Agus, berdasarkan data prasasti, karya sastra, dan tinggalan arkeologis, ada dua alasan mengapa Gajah Mada memuliakan Kertanagara hingga mendirikan candi baginya. Pertama, Gajah Mada mencari legitimasi untuk membuktikan Sumpah Palapa. Dia berupaya keras agar wilayah Nusantara mengakui kejayaan Majapahit. Kertanagara adalah raja yang memiliki wawasan politik luas. Dengan wawasan Dwipantara Mandala, dia memperhatikan daerah-daerah lain di luar Pulau Jawa. “Dengan demikian Gajah Mada seakan ngalap berkah (minta restu), kepada Raja Kertanagara yang telah menjadi bhattara ( hyang ) bersatu dengan dewa. Gajah Mada meneruskan politik pengembangan mandala hingga seluruh Dwipantara (Nusantara) yang awalnya telah dirintis oleh Kertanagara,” papar Agus. Kedua , dalam masa Jawa Kuno, candi atau caitya pen- dharma -an tokoh selalu dibangun oleh kerabat atau keturunan langsung tokoh itu, seperti Candi Sumberjati bagi Raden Wijaya dibangun tahun 1321 pada masa pemerintahan Jayanegara; dan Candi Bhayalango bagi Rajapatmi Gayatri dibangun oleh cucunya, Hayam Wuruk sekira tahun 1362. Atas alasan itulah, Agus menafsirkan bahwa Gajah Mada masih keturunan dari Raja Kertanagara. Setidaknya Gajah Mada masih mempunyai hubungan darah dengan Kertanagara. Tidak mengherankan bila Gajah Mada mempunyai perhatian khusus kepada raja itu, yang memang leluhurnya. Gajah Mada bukan orang asing dalam lingkungan istana; dia masih kerabat dan akrab dengan lingkungan istana. Ayah Gajah Mada mungkin sekali bernama Gajah Pagon yang mengiringi Raden Wijaya ketika berperang melawan pengikut Jayakatwang dari Kediri. “Intepretasi selanjutnya, Gajah Pagon sangat mungkin anak dari salah satu selir Kertanagara,” lanjut Agus. Pasalnya, menurut Agus, Gajah Pagon tidak mungkin orang biasa. Dalam kitab Pararaton , nama Gajah Pagon disebut secara khusus. Ketika itu, Raden Wijaya begitu mengkhawatirkan Gajah Pagon yang terluka dan dititipkan kepada seorang kepala desa. “Kepala desa Pandakan saya titip seseorang, Gajah Pagon tidak dapat berjalan, lindungilah olehmu,” kata Raden Wijaya dalam Pararaton . Artinya, penulis Pararton begitu mengistimewakan tokoh Gajah Pagon. “Jika bukan siapa-siapa tidak mungkin Raden Wijaya menitipkan dengan sungguh-sungguh Gajah Pagon yang terluka kepada kepala desa Pandakan,” tegas Agus. Menurut Agus, sangat mungkin Gajah Pagon selamat kemudian menikah dengan putri kepala desa Pandakan dan akhirnya memiliki anak, yaitu Gajah Mada yang mengabdi pada Majapahit. “Jadi, Gajah Mada mungkin memiliki eyang yang sama dengan Tribhuwana Tungga Dewi. Bedanya Gajah Mada cucu dari istri selir, sedangkan Tribhuwana adalah cucu dari istri resmi Kertanagara,” jelas Agus. Dengan demikian, dapat dipahami mengapa Gajah Mada sangat menghormati Kertanagara. Raja itu adalah eyangnya sendiri. Hanya keturunannya saja yang dengan senang hati membangun caitya bagi sang raja. Konsepsi Dwipantra Mandala Kertanagara mungkin menginspirasi dan mendorong Gajah Mada dalam mencetuskan Sumpah Palapa. “Demi untuk mengenang kebesaran leluhurnya itu, lalu didirikanlah caitya atau Candi Singhasari,” ungkap Agus.*
- Riuhnya Gagasan Milisi Negara
PENGAJUAN Rancangan Undang-Undang (RUU) Komponen Cadangan Pertahanan Negara untuk dibahas di DPR RI membuat publik bertanya-tanya: benarkah akan digelar wajib militer? Masyarakat terbelah dalam memberikan tanggapan. Ada yang setuju, banyak yang tidak. Mereka yang setuju melihat wajib militer berguna jika sewaktu-waktu negara terancam. Sementara yang menolak berpendapat tidak ada keadaan apapun yang mendesak penerapan wajib militer. Bisa-bisa malah menguras anggaran.
- Menjaga Hak Atas Laut
TAK semua pihak senang dengan kebijakan Indonesia menenggelamkan kapal nelayan asing di wilayah perairan Indonesia. Harian Bangkok Post, 5 Januari 2015, menyebut penenggelaman kapal sebagai “tindakan agresif yang merusak, tidak disukai, tidak diplomatis, dan tidak bersahabat terhadap negara-negara tetangga ASEAN.” Mengenai kerugian tahunan Indonesia akibat pencurian ikan, Bangkok Post menilai itu kesalahan Indonesia sendiri sebab tidak mampu menjaga aset lautnya.
- Penjualan Tanah Terbesar
PRANCIS menguasai Louisiana ( Vente de la Louisiane ) sejak 1682, kemudian menyerahkan kepada sekutunya, Spanyol pada 1762. Pada 1800, Prancis di bawah Napoleon Bonaparte mengambil kembali Louisiana ditukar dengan Tuscany sebagai upaya membangun kembali kerajaan kolonial Prancis di Amerika Utara. Namun, karena terlilit utang akibat perang dan kegagalan menekan pemberontakan di Saint-Domingue (kini Haiti), ditambah kemungkinan terjadinya peperangan baru dengan Inggris, mendorong Napoleon untuk menjual Louisiana kepada Amerika Serikat. Akuisisi Louisiana merupakan tujuan jangka panjang Presiden Amerika Serikat Thomas Jefferson, yang sangat ingin menguasai pelabuhan penting di Sungai Mississippi di New Orleans. Jefferson menugaskan James Monroe dan Robert R. Livingston untuk membeli New Orleans. Ternyata Prancis menawarkan seluruh wilayah Louisiana. Tentu saja Amerika Serikat langsung setuju. Kesepakatan penjualan ditandatangani oleh James Monroe dan Robert R. Livingston dengan Menteri Keuangan Prancis François Barbé-Marbois. Pada 30 April 1803, Prancis menjual wilayah Louisiana seluas 2.140.000 km2 kepada Amerika Serikat sebesar US$15 juta setara dengan sekitar US$371 juta pada 2023. Dengan mengakuisisi Louisiana, luas wilayah Amerika Serikat menjadi hampir dua kali lipat. Conrad H. Lanza dalam Napoleon dan Strategi Perang Modern menyebut penjualan tanah Louisiana itu mungkin merupakan jual beli tanah secara damai yang terbesar dalam sejarah sekaligus mengubah Amerika Serikat menjadi suatu negara berukuran benua. Saat ini, Louisiana meliputi 15 negara bagian: Arkansas, Missouri, Iowa, Oklahoma, Kansas, Nebraska, Mississipi, Minnesota, Dakota Utara, Dakota Selatan, New Mexico, Texas, Montana, Wyoming, dan Colorado.*
- Nasib Serdadu Hitam Paman Sam
Amerika Serikat merayakan 100 tahun keterlibatannya dalam Perang Dunia I. Perayaan berlangsung meriah. Militer beberapa negara sekutu Amerika Serikat ikut meramaikan. Jet-jet tempur Prancis melakukan airshow di atas Pelabuhan New York. Perang Dunia I merupakan ajang pertama keterlibatan Amerika Serikat dalam kancah politik internasional. Perang Dunia I juga mengubah tatanan sosial, politik, dan ekonomi global yang menguntungkan Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya sebagai pemenang. Dalam perang itu, Amerika Serikat mengerahkan hampir lima juta warganya. Dari jumlah itu, sekira 350 ribu merupakan orang-orang Afro-Amerika yang kala itu masih mendapatkan perlakuan diskriminatif. Meski awalnya banyak kalangan menolak keterlibatan Afro-Amerika, termasuk sebagian kecil Afro-Amerika sendiri, militer Amerika Serikat berhasil menggunakan warga Afro-Amerika berdasarkan Espionage Act tahun 1917 dan Sedition Act tahun 1918. Bagi banyak Afro-Amerika, masuk dinas militer dan terjun ke medan tempur merupakan sebentuk tanggung jawab kepada negara seperti yang ditunjukkan oleh Charles Brodnax, petani asal Virginia. Menurutnya, dirinya merupakan milik pemerintah negerinya dan harus menjawab semua panggilan (untuk ikut perang, red .) dan mematuhi perintah guna mempertahankan demokrasi. Selain itu, terjun ke medan perang merupakan kesempatan untuk menunjukkan patriotisme dan kesetaraan hak mereka sebagai warga negara yang kala itu masih sebatas impian. Para pemimpin kulit hitam, seperti Richmond Planet, terus menghembuskan pandangan seperti itu. Dengan pengorbanan diri melalui perang, negara pada akhirnya tak punya pilihan selain menghormati mereka dengan memberi hak-hak sipil lebih besar. Dari sekitar satu juta Afro-Amerika yang mendaftarkan diri ke dinas militer, 350 ribu di antaranya berhasil diterima. Mereka lalu dilatih di kamp-kamp militer yang kebanyakan berada di kota-kota selatan, yang masih kental perbudakannya. Selama pelatihan pun para Afro-Amerika mendapatkan diskriminasi berupa segregasi seperti pemisahan latihan antara serdadu kulit putih dan kulit hitam. Orang kulit putih masih khawatir terhadap akan munculnya perlawanan rasial dari kulit hitam bila latihan disatukan. Kerusuhan rasial di St. Louis pada 2 Juli 1917 yang memakan korban lebih dari 100 Afro-Amerika menjadi ujian bagi tekad para Afro-Amerika, yang dalam Perang Dunia I ditempatkan dalam Divisi Tempur ke-92 dan Divisi Tempur ke-93. Diskriminasi itu tetap berlangsung hingga ketika mereka sudah di Prancis. Alih-alih mendapat kesempatan memanggul senapan, kebanyakan mereka mendapat tugas non tempur seperti menggali parit, mengangkut logistik, atau menguburkan mayat. Bahkan karena ketidakpercayaan, militer Amerika Serikat meminjamkan Divisi ke-93 ke militer Prancis –menjadi satu-satunya divisi Amerika Serikat yang langsung berada di bawah komando militer asing. Bagi Afro-Amerika di Divisi ke-93, peminjaman itu justru menjadi berkah. “Serdadu-serdadu kulit hitam menerima sambutan hangat dari warga Prancis, yang, tak seperti pasukan kulit putih Amerika Serikat, hanya sedikit menunjukkan perilaku rasis,” tulis Chad Williams dalam "African American and World War I", dimuat di exhibitions.nypl.org . Di militer Prancis, mereka juga lebih sering berinteraksi dengan serdadu kulit hitam, yang meningkatkan kesetiakawanan. Yang terpenting, kesetaraan dalam militer Prancis yang lebih besar dari militer Amerika Serikat memberi kesempatan mereka untuk terlibat dalam pertempuran –hal yang tak didapatkan para Afro-Amerika di Divisi ke-92; mereka kemudian menjadi sasaran fitnah para komandan kulit putih. Para prajurit Divisi ke-93 menunjukkan semangat juang mereka di berbagai pertempuran. Kopral Freddie Stowers dari Resimen Infantri ke-371 berhasil memimpin penyerangan terhadap pasukan Jerman di hutan Ardennes, September 1918. Thomas Davie dari Resimen Kaveleri ke-10 juga menunjukkan prestasi mengesankan dalam pertempuran di Meuse-Argonne. Perjuangan paling populer dilakukan Kopral Henry Johnson, serdadu Resimen Infantri ke-369, sekitar pertengahan 1918. Demi menyelamatkan rekannya yang terluka, Needham Roberts, dia nekat menyerang sekelompok kecil pasukan Jerman di Hutan Argonne dengan hanya bermodalkan pistol dan pisau komando. Kerjasama keduanya menewaskan empat serdadu Jerman dan melukai selusin lainnya. Meski Johnson kemudian juga terluka, keduanya selamat. Resimen 369, dikenal sebagai “Harlem Hellfighters”, jadi populer karena dedikasi patriotik mereka dalam pertempuran sengit yang mereka ikuti. Meski kehilangan 1500 prajuritnya, resimen itu tak pernah punya catatan anggotanya tertawan dan tidak satu pun wilayah yang mereka kuasai jatuh ke tangan lawan. Lebih dari 100 prajurit resimen itu mendapatkan penghargaan atas keberanian mereka. Henry Johnson dan Needham Roberts menjadi serdadu Amerika Serikat pertama yang memperoleh penghargaan French Croix de Guerre. Meski kalah cepat dari publik Prancis, publik Amerika kemudian memuji prestasi para prajurit Afro-Amerika itu. Lebih dari 70 tahun setelah itu, militer Amerika Serikat menganugerahi Medal of Honor kepada mendiang Henry Johnson dan Freddie Stowers, dan US Victory Medal kepada mendiang Thomas Davie. “Pahlawan Needham Roberts dan Henry Johnson dari Infanteri ke-369 berjasa sebagai pahlawan rasial historis dan simbol individu dari potensi kemampuan orang kulit hitam dalam memerangi dan mengalahkan serangan rasial kulit putih,” tulis Chad L. Williams dalam Torchbearers of Democracy: African American Soldiers in the World War I Era .
- Diplomasi Capung Besi ala Kennedy
John F. Kennedy adalah satu-satunya presiden Amerika Serikat yang berkenan di hati Sukarno, presiden pertama RI. Secara personal, keduanya memiliki kemiripan: tampan dan flamboyan. Meski keduanya terpaut jauh dalam soal usia, namun Sukarno menaruh takzim terhadap Kennedy yang dilantik sebagai presiden termuda AS pada 1961. Kesan terhadap presiden AS ke-35 itu diakui Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Sukarno bukannya tidak beralasan memiliki sikap hormat kepada Presiden Kennedy. Ia menyebut selain memiliki kesamaan dengan dirinya, Kennedy pun dinilai tokoh proklamator itu sebagai negarawan yang selalu menjalankan pendekatan diplomasi secara manusiawi. “Kennedy sangat hangat dan ramah. Dia membawaku ke lantai dua, ke kamar tidur pribadinya dan disanalah kami berbincang-bincang,” kenang Sukarno sewaktu mengunjungi Kennedy di Washington, bulan April 1961. Pada hari terakhir kunjungan, Sukarno dan Kennedy berkeliling Washington dengan menaiki helikopter milik Angkatan Darat AS. Kennedy menuntun Sukarno menuju helikopter selayaknya orangtua sendiri. “Ia menggandengku dan kami menikmati pesiar singkat diatas pesawat helikopternya,” kata Sukarno kepada Cindy Adams. “Aku merasa begitu bahagia bahwa Presiden Amerika Serikat dan Presiden Republik Indonesia terbang berkeliling bersama-sama.” Di tengah pesiar, Kennedy menawarkan, apakah Sukarno ingin mempunyai capung besi itu. Memasuki tahun 1962, konflik Irian Barat antara Indonesia dan Belanda kian memanas. Ketika itulah, helikopter pemberian Kennedy jenis Sikorsky S-61 tiba di Indonesia. Dalam surat-menyurat kepada Kennedy yang tersimpan dalam perpustakaan kepresidenan JFK Library, Sukarno menyampaikan terimakasih atas helikopter yang dihadiahkan kepadanya. “(Helikopter) itu telah terbukti sangat membantu saya terutama dalam perjalanan menginspeksi daerah-daerah pedesaan,” tulis Sukarno dalam suratnya di bulan Februari 1962. Dalam pokok surat itu, Sukarno menjelaskan posisi Indonesia tak akan mundur dalam tuntutannya terhadap wilayah Irian Barat. Kendati demikian, jalan perundingan terhadap Belanda maupun mediasi pihak ketiga masih tetap terbuka. Sisipan terakhir surat itu menyatakan bahwa Allan Pope, pilot kebangsaan AS yang membantu pemberontakan Permesta batal di eksekusi dan akan dilepaskan pemerintah Indonesia. Pada 1965, saat Cindy Adams mewawancarainya untuk pembuatan buku otobiografi, Sukarno menyatakan, “…Kini pesawat itu masih ada padaku. Dan sampai sekarang gambar Kennedy beserta keluarganya masih ada di rumahku.” Sejak Orde Baru berkuasa, helikopter itu pun pensiun dari tugasnya. Secara resmi, kendaraan udara itu sekarang tersimpan di Museum Transportasi Angkut Batu, Malang.*
- Pelukis Belia di Medan Laga
MATAHARI baru muncul dari ufuk timur. Sebagian rakyat Yogyakarta belum beraktivitas. Maklum, hari Minggu. Tiba-tiba, suara pesawat merobek pagi yang tenang. 14 Desember 1948, Belanda menerjunkan tentaranya di lapangan udara Maguwo untuk menguasai Yogyakarta, ibukota republik Indonesia kala itu.
- Mencatat Gagasan Perlawanan
Grace Natalie, mantan pembaca berita yang kini memimpin Partai Solidaritas Indonesia, bertutur tentang kekagumannya pada pribadi Kartini, perempuan pembaharu dari Jepara, Jawa Tengah. Menurutnya, Kartini adalah sosok yang tekun mencatat serta berani menuliskan hal yang mengekang hak perempuan. Kartini (1879-1904) putri dari pasangan Sosroningrat, bupati Jepara, dengan Ngasirah, putri pemuka Islam di Teluk Awur. Sedari remaja, Kartini getol membaca. Dia terhitung mati muda, 25 tahun. Setelah dia wafat, surat-surat yang dikirimkannya ke kawan-kawan perempuannya di Eropa dibukukan dengan judul Door Duisternis tot Licht , Habis Gelap Terbitlah Terang. Grace berkisah tentang tokoh idolanya tersebut. Siapakah tokoh sejarah yang Anda kagumi? Kartini. Saya senang karena dia otentik sebagai simbol perlawanan, di tengah zaman yang memandang rendah perempuan. Kartini bukan hanya melawan dengan pena, tapi juga dengan pikiran dan tubuhnya. Meski dipaksa menikah dengan Adipati Ario tapi tubuh, hati, dan cita-citanya tak pernah benar-benar tunduk. Bukankah banyak tokoh perempuan selain Kartini? Memang banyak. Namun di sini saya harus setuju dengan Sukarno, karena Kartini menulis! Sekali lagi, menulis. Zaman itu jangan kita samakan dengan ngetwit di zaman ini. Menulis saat itu adalah perbuatan berbahaya. Jangankan menulis, berpikiran maju untuk perempuan saat itu adalah tindakan melawan kodrat. Tentang sosok Kartini, bagaimana Anda memandang? Sedari kecil, Kartini haus ilmu. Kartini percaya bahwa ilmu adalah kunci menuju kemajuan. Dan kemajuan tidak berguna jika perempuan ditinggalkan. Perempuan adalah pembawa peradaban demikian tulis Kartini kepada Stella Zechandelaar di Belanda. Jika hari ini tentu Kartini pakai sosial-media. Nah, dia itu kan posturnya kecil ya, tak heran jika kemudian dia sering dipanggil “Trinil” oleh ayahnya. Trinil ini kalo tidak salah nama burung yang lincah dan gesit. Apa pendapat Anda tentang tulisan-tulisan Kartini? Ya menulis di zaman itu bukan pekerjaan mudah loh. Bisa dituduh subversif. Apalagi jika kontennya tentang politik. Kartini cerdik karena mengemasnya dengan cara perempuan: berkirim surat kepada sahabat perempuannya. Di tengah kesulitan hidup, perempuan memang selalu bisa mendapatkan cara untuk survive . Itu menginspirasi saya. Seperti apa inspirasi itu? Berpikir maju, Kartini pasti tak suka dikenang sebagai masa lalu, zaman yang dilawannya! Kartini pasti lebih senang dikenang sebagai cahaya yang akan terbit setelah gelap. Perempuan yang berpikiran maju tentang masa depan, berani! Kedua, Kartini menentang diskriminasi gender yang tumbuh dari cara pandang feodal. Maka hari Kartini adalah hari antidiskriminasi gender! Ketiga, Kartini adalah perempuan yang menulis tentang bangsanya, tentang kaumnya. Sekali lagi, baginya, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Jangan sembunyi-sembunyi, apalagi takut. Selemah-lemahnya twit galau, itu juga tulisan, terekam abadi di linimasa.
- Bisnis Haram Kaum Republik
Tahun 1948, Letnan Muda Sho Bun Seng adalah anggota telik sandi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dari unit Singa Pasar Usang di Padang, Sumatera Barat. Selain memata-matai posisi musuh, Sho juga dikenal sebagai piawai dalam urusan penyelundupan, terutama menyelundupkan candu. “ Barang-barang haram itu kami jual dengan harga tinggi di Singapura lalu hasilnya dibelikan senjata dan amunisi…” kenangnya. Selama berlangsung Agresi Militer Belanda II di Sumatera Barat, Sho mengaku aktif ”berniaga” candu. Barang-barang itu didapat rata-rata dari rekan-rekannya sesama gerilyawan seperti Letnan Kolonel Abdul Halim melalui Kompi Bakapak dan Letnan Samik Ibrahim dari Kesatuan Hizbullah. “ Jumlahnya bisa mencapai puluhan kilogram setiap penjualan,” ujar lelaki yang menapaki masa tuanya di utara Jakarta tersebut. Pemanfaatan candu dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949) memang suatu keniscayaan. Menurut Robert B. Cribb dalam tulisannya berjudul Opium and the Indonesian Revolution, saat menghadapi milter Belanda, para pejuang republik sangat membutuhkan dana yang banyak. Sebagai jalan keluarnya, mereka lantas melelang habis stok candu, sisa-sisa peninggalan pemerintah Hindia Belanda. “ Itu ternyata sangat membantu pembiayaan revolusi mereka,” ungkap Cribb dalam tulisan yang dimuat oleh jurnal Modern Asia Studies edisi 22 (April 1988) . Kendati dijalankan tanpa gembar-gembor, bisnis candu di era Perang Kemerdekaan sejatinya direstui pemerintah Republik Indonesia (RI). Dalam Djogdja Documenten no.230 milik Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), ada beberapa surat resmi yang menyebutkan soal perniagaan barang haram itu. Salah satunya, surat Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis kepada Kepala Kepolisian Negara RI R.S. Soekanto Tjokrodiatmodjo yang meminta kepolisian membantu bisnis candu yang akan digunakan untuk membiayai delegasi Indonesia ke luar negeri, membiayai para pejabat Indonesia dan menggaji pegawai-pegawai RI. Untuk melancarkan pengelolaan dan transaksi candu, pemerintah mendirikan kantor-kantor regi candu di beberapa kota yang dianggap strategis. Sebut saja yang terbesar adalah Kantor Regi Candu dan Garam Kediri, Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta dan Kantor Depot Regi Canda serta Obat Yogyakarta. Namun dari sekian pihak yang menerima manfaat dari bisnis candu tersebut, pihak tentaralah yang mendapat porsi paling besar. Hampir setiap waktu, mereka mengajukan permintaan seperti yang dilakukan oleh Menteri Muda Pertahanan Aroedji Kartawinata pada 22 Januari 1948. Kepada Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta, Aroedji meminta pasokan candu untuk kepentingan para pejuang di Jawa Timur. “ Mayor Jenderal drg. Moestopo sebagai Komandan Teritorial Komando Jawa Timur diberi kewenangan penuh untuk mengambil sejumlah candu itu langsung di Surakarta,” tulis Julianto Ibrahim dalam Opium dan Revolusi; Perdagangan dan Penggunaan Candu di Surakarta Masa Revolusi (1945-1950). Divisi Siliwangi pun termasuk kesatuan yang mendapat jatah barang haram itu dari pemerintah republik. Tercatat mereka mendapat izin untuk menukarkan atau menyelundupkan candu sebanyak 15.000 cepuk/tube untuk dibelikan beberapa jenis bahan pakaian. “ Pihak yang bersedia menyediakan dan mengusahakan bahan pakaian itu adalah Bank Negara Indonesia (BNI), P.T. Margono dan beberapa pedagang lainnya,” ungkap Julianto. Tidak hanya TNI, kesatuan lasykar yang dekat dengan pemerintah juga bisa jadi kecipratan uang candu tersebut. Sebagai contoh, Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), pernah mengirim surat permohonan kepada Kantor Wakil Presiden agar mendapat izin memperoleh candu dari Kantor Besar Regi Candu dan Garam Surakarta sebanyak 3000 cepuk/tube.
- Memaknai Ulang Tari Jawa
BAGI masyarakat Jawa, terutama di kalangan bangsawan dan kerabat keraton, tari bukan hanya salah satu bentuk ekspresi kebudayaan, melainkan juga sebuah cara pewarisan pengetahuan dan nilai-nilai. Tari dengan segala aspeknya adalah pengejawantahan pengetahuan dan nilai-nilai yang berkembang sepanjang peradaban. Saat belajar tari, komunikasi antara penari yang sudah mahir dan yang pemula, antara yang status sosialnya tinggi maupun lebih rendah terjadi. Dalam interaksi itu, terjadi pewarisan nilai saling menghormati dan tenggang rasa. Bagaimana yang senior dan junior bisa saling belajar skill dan cara bersikap, itu ada dalam praktik menari di Jawa. “Tarian pun pada dasarnya juga mengandung makna tertentu yang mesti dipahami oleh seorang penari,” ujar Anastasia Melati, seniman tari Yogyakarta, dalam diskusi bertema “Membingkai Ulang Tari Jawa” di Griya Badan Pelestarian Pusaka Indonesia, Jakarta Pusat,18 April 2017. Dalam diskusi itu, Anastasia memaparkan bagaimana nilai-nilai kejawaan mengejawantah dalam seni tari. Dia juga menyoroti pergeseran nilai-nilai itu dalam perjalanan sejarah masyarakat Jawa. Pemaparan itu ia sarikan dari penelitiannya tentang beberapa tarian Jawa. Anastasia menerangkan, pengejawantahan nilai bisa dilihat misalnya dalam tari bed h aya yang berkembang di Yogyakarta. Meskipun berkembang semasa Islam telah mapan di Jawa, khususnya Mataram, tari bed h aya memiliki nilai sakral yang berakar dari tradisi Hindu. Itu terlihat misalnya dari jumlah penari yang harus sembilan orang. “Itu merupakan simbolisasi sembilan mata angin dan dewa-dewa Hindu yang menjaganya. Kesakralan juga terlihat dari penari yang harus dalam keadaan suci saat menari. Mereka tidak boleh berlatih atau menari dalam keadaan haid,” terang Anastasia. Nilai sakral itu tetap berlaku hingga kini. Namun, Anastasia juga mencatat adanya pergeseran dalam perkembangan tari bedhaya . Kini tari bedhaya tidak seeksklusif dulu, karena bisa dipelajari oleh orang-orang di luar kalangan kraton. “Sejak masa Hamengku Buwana VII, tari bedhaya mulai keluar dari kraton. Siapa pun yang mau, bisa mempelajarinya,” ujarnya. Keluarnya bedhaya dari keraton berangkat dari keinginan para tokoh seni tari dan karawitan yang menjadi abdi dalem keraton untuk memajukan seni tari dan karawitan. Setelah mendapat restu Hamengku Buwono VII, mereka mendirikan perkumpulan Krida Beksa Wirama (KBW) pada 17 Agustus 1918. Hamengku Buwono VIII lalu memberi bantuan moril maupun materiil. “Pada tahun 1922 itu pula KBW menerima sebagai murid putri dan putra Sri Paku Alam VII,” tulis Moeljono dalam RWY Larassumbogo, Karya dan Pengabdiannya . Bagi orang Jawa, tari juga merupakan wadah ekspresi kesetaraan gender. Itu terlihat dalam tarian yang berkembang di luar Mataram, seperti di Banyumas dengan tari ronggeng-nya dan Jawa Timur lewat tari remo-nya. Anastasia menyebut bahwa di Banyumas wanita penari ronggeng selalu menempati posisi istimewa dalam masyarakat. “Penari ronggeng adalah sakti atau pusaka bagi suatu desa. Penari ronggeng adalah orang terpilih. Bahkan, di Banyumas menari bersama ronggeng bisa menunjukkan prestis dan status sosial seseorang. Karena orang yang pertama kali diajak menari oleh penari ronggeng adalah orang terpandang,” ujar Anastasia. Nilai kesetaraan gender juga bisa dilihat dalam tari remo yang berkembang di Jawa Timur. Seperti halnya bedhaya dan ronggeng, remo juga ditarikan oleh perempuan. Bedanya, gerak tari remo sangat maskulin, sehingga meruntuhkan segala stereotipe atas perempuan. “Remo ini menggambarkan praktik perempuan mempertahankan kuasanya melalui tarian,” kata Anastasia. Kini, sebagian orang luput dalam memahami nilai-nilai dalam tarian Jawa. Hal itu, kata Anastasia, sudah terjadi sejak agama-agama Abrahamik masuk ke Indonesia. Ronggeng, misalnya, selalu diasosiasikan sebagai tarian yang mempertontonkan sensualitas. “Padahal ronggeng awalnya adalah sebuah ekspresi syukur kepada Tuhan atas panen yang melimpah. Ronggeng memang mengajak orang yang menontonnya gembira dan merasakan kenikmatan sebagai wujud syukur. Ketika agama-agama Abrahamik masuk, hal semacam itu bergeser menjadi negatif,” ujarnya. Meski kondisi seperti ini perlu disikapi, tari pada dasarnya selalu berkembang mengikuti zaman. Karena itu, nilai-nilai dan praktiknya bisa disesuaikan dengan perkembangan zaman.*
- Pungli Tak Pernah Pergi
PUNGUTAN liar atau pungli menjadi sorotan publik setelah tim gabungan Mabes Polri dan Polda Metro Jaya, yang dipimpin Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, melakukan operasi tangkap tangan di kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub), 11 Oktober 2016. Beberapa pegawai yang kedapatan melakukan pungli untuk pengurusan buku pelaut dan surat kapal ditangkap.
- Boyke Nainggolan, Tragedi Opsir Terbaik
MEDAN, 15 Maret 1958, aktivitas di ibu kota Sumatera Utara itu tak setenang biasanya. Sejak siang hari hingga malam, situasi Ksatrian Batalion 131 di Jalan Jakarta (kini Jalan Imam Bonjol) sudah nampak sibuk luar biasa. Pasukan dikumpulkan dan disiagakan. Semua perlengkapan, persenjataan dan amunisi, termasuk juga 25 kendaraan lapis baja, dipersiapkan. Dalam waktu singkat, sendi-sendi penting kota Medan dikuasai. Lapangan udara AURI Polonia direbut pasukan lapis baja. Kecuali satu yang berhasil lolos, semua pesawat terbang di landasan porak-poranda. Stasiun RRI turut diambilalih. Operasi bersandi “Sabang-Merauke” itu merupakan operasi militer pertama yang mendukung PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Gerakan tersebut dipimpin oleh Mayor Boyke Nainggolan, Wakil Kepala Staf Teritorium I Bukit Barisan. “Boyke Nainggolan seorang perwira Batak Toba dan dianggap sebagai salah seorang perwira tempur Angkatan Darat terbaik,” tulis Audrey Kahin dan George McTurnan Kahin dalam Subversi sebagai Politik Luar Negeri: Menyingkap Keterlibatan CIA di Indonesia . Sejatinya, Boyke adalah seorang perwira yang lurus. Sikap itu diperlihatkannya pada suatu hari dalam tahun 1950, saat mobil yang dikendalikannya menabrak seorang anak yang tengah bersepeda di tengah kota Medan. Usai membawa anak itu ke rumah sakit, ia lantas mengontak kantor CPT (Corps Polisi Tentara) setempat dan meminta para petugas CPT datang untuk menangkapnya. “ Padahal anak itu cuma lecet-lecet biasa saja, “kenang almarhum Sukotjo Tjokroatmodjo, eks perwira CPT yang ditugaskan “menangkap” Boyke. Mengawali karir militer sebagai opsir PETA (Pembela Tanah Air), di masa revolusi, Boyke bergabung ke dalam tentara sukarela Korps Pasukan Kelima dengan pangkat letnan dua. Pasukan Kelima adalah cabang khusus lasykar Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) – yang kemudian memisahkan diri –terdiri dari sekumpulan orang-orang Batak. Ayah Boyke, dr. Nainggolan seorang dokter merangkap Wakil Komandan I Pasukan Kelima. “Ia seorang yang amat berdarah panas seperti sebuah bola api,” tulis Takao Fusayama dalam A Japanese Memoir of Sumatra, 1945--1946: Love and Hatred in the Liberation War . Sikap mudah naik darah itu, bisa jadi dipengaruhi oleh situasi psikologis yang melatarbelakangi kisah pribadi Boyke. Dikisahkan Fusayama, ibu dan adik perempuan Boyke telah menjadi korban revolusi sosial tahun 1946 di Brastagi karena dianggap menjadi bagian dari bangsawan feodal. Ironisnya, mereka berdua diperkirakan terbunuh oleh laskar Pesindo, kelompok bersenjata yang justru menjadi tempat awal karir militer Boyke di masa Indonesia merdeka. Selepas pengakuan kedaulatan, Boyke diangkat sebagai opsir TNI (Tentara Nasional Indonesia) berpangkat mayor. Komandan Teritorium I Bukit Barisan, Kolonel Maludin Simbolon mempercayakannya sebagai Komandan Batalyon Pengawal untuk kota Medan. Di jajaran TNI, Boyke dikenal sebagai perwira brilian. Itu dibuktikan dengan dipilihnya Boyke menjadi salah satu dari dua perwira yang direkomendasikan Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) mengikuti pendidikan General Staff and Command College, sekolah staf dan komando di Fort Leavenworth, Kansas, Amerika Serikat (AS) pada awal 1956. “Mayor Nainggolan merupakan perwira dari Sumatera Utara yang cerdas luar biasa! Kecerdasannya sudah diakui oleh banyak pimpinan AD,” ungkap Ventje Sumual dalam Memoar Ventje Sumual . Justru sekembali dari AS, Boyke yang “apolitis” terprovokasi sejumlah seniornya untuk membelot dan terlibat dalam gerakan PRRI. Ia lantas ditugaskan untuk memimpin Operasi Sabang Merauke, sebagai respon dari tindakan pemerintah pusat yang menyerang Dewan Banteng di Sumatera Barat dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara. “ Saya yakin, sebenarnya Boyke tak bermaksud untuk berontak kepada pemerintah…” ujar Sukotjo kepada Historia . Dan memang dalam buku Kolonel Maludin Simbolon: Liku-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa karya Payung Bangun, Maludin Simbolon yang terlebih dahulu bergabung dengan PRRI, sempat menjalin korespondensi dengan Boyke. Secara gamblang, ia menjelaskan perjuangan PRRI adalah untuk membangun daerah dan melawan pengaruh komunisme yang semakin melilit pemerintah pusat. Sejak pergolakan yang diawali di Padang pada 15 Februari 1958, pemerintah pusat di Jakarta memutuskan untuk menghadapi gerakan PRRI dengan aksi militer. Situasi tersebut menjadikan Boyke berstatus sebagai musuh pemerintah dan secara otomatis menjadi buruan TNI hingga ia menyingkir ke rimba pegunungan Tapanuli, Sumatera Utara. Karena kurangnya dukungan rakyat, pada 1961 PRRI menyerah total terhadap pemerintah. Sebagai bentuk kompromi, pimpinan militernya direhabilitasi oleh rezim Sukarno. Nainggolan termasuk salah satu perwira menengah – bersama Simbolon dan Mayor Sahala Hutabarat - yang dipertimbangkan untuk dimaafkan namun dengan syarat diberhentikan dari TNI. Mereka lantas dikaryakan ke beberapa perusahaan milik pemerintah. Boyke sendiri memilih untuk menetap di Medan. Ia diangkat menjadi Wakil Direktur Pertamina cabang Sumatera Timur. Nahas, Boyke gagal mengembangkan hubungan baik dengan direkturnya. Suatu hari, mayat Boyke ditemukan di bawah menara radio dekat perumahan dinas Pertamina. Kematiannya didesas-desuskan sebagai bunuh diri. Ayahnya dr. Nainggolan, mengusulkan untuk memeriksa jenazah Boyke tetapi tidak diizinkan pemerintah. Boyke Nainggolan lantas dimakamkan di Brastagi. Berakhirlah kisah hidup perwira lurus nan brilian tersebut





















