top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Elegi Cinta Pierre Tendean dan Rukmini

    DARI balik pintu kamar, si kecil Ade Irma dan Yanti (kakaknya) mengintip. Sementara di dalam kamar yang remang temaram, seorang lelaki tampan tengah tekun membaca sepucuk surat. Ade dan Yanti merasa geli menyaksikan betapa seriusnya lelaki muda tersebut. Tetiba muncul ide mereka untuk menggodanya. Yanti  lalu menghidupkan lampu kamar.   “Kok Oom Pierre bisa baca surat dalam gelap?” ujar Yanti Ade menyahut, “Oom Pierre berdoa,yah?” “Enggak, Oom Pierre lagi baca surat,” jawab Pierre “Dari Medan, pasti,” celetuk Yanti. Pierre sadar sedang diusili oleh anak bosnya itu. Hubungan mereka memang akrab, laiknya paman dan keponakan. “Sekarang tutup mulut dulu ya, sampai Oom selesai baca surat,” bujuk Pierre. Kakak beradik itu pun baru mau pergi seraya tertawa girang setelah masing-masing diberi coklat oleh Pierre. Kisah diatas tersua dalam film Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara Arifin. C. Noer (1984). Ade dan Yanti merupakan putri dari Jenderal Abdul Haris Nasution, Kepala Staf Angkatan Bersenjata. Sementara Letnan Satu Pierre Tendean adalah ajudan Nasution. Lewat adegan membaca surat dari sang kekasih itulah sosok Pierre diperkenalkan dalam film. Dalam iringan suara biola Idris Sardi, adegan itu seolah menabalkan citra diri Pierre Tendean sebagai pria romantis yang tengah dilanda rindu. Piere Jatuh Hati Seturut dengan kehidupan nyata. Sewaktu berdinas mengajudani Nasution, Pierre memang sedang menjalin asmara dengan seorang wanita asal Medan keturunan Jawa. Nurindah Rukmini Chamim, demikian nama lengkap si gadis pujaan hati. Mimin adalah panggilan sayang Pierre kepada Rukmini. Sementara Rukmini memanggil Pierre dengan sebutan “Mas Pierre”.      Menurut biografi resmi Pierre Tendean Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi , Pierre dan Rukmini bertemu di Medan pada 1963. Saat itu, Pierre baru menamatkan pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad) dan bertugas dalam satuan Batalion Zeni Tempur 1 Daerah Militer II/Bukit Barisan di Medan. Sementara Rukmini, masih duduk di bangku SMA. Mereka terpaut beda usia lumayan jauh.  Pierre lebih tua delapan tahun dari Rukmini. Perkenalan keduanya hasil comblangan dua sejawat Pierre, Satrijo Wibowo dan Setijono Hadi. Rukmini merupakan putri sulung dari Raden Chamim Rijo Siswopranoto, seorang pengusaha terkemuka di Sumatra Utara. Parasnya ayu, umumnya gadis-gadis Yogyakarta. Keluarganya penganut Islam yang taat. Keluarga besar Rukmini termasuk dalam Barisan Muhammadiyah Kota Medan dan Yogyakarta. Semula Pierre sempat menolak dicomblangi dengan alasan ingin fokus di batalion. Namun, melihat sosok Rukmini yang sederhana nan lembut, hati Pierre langsung jatuh. Pierre lantas menjajaki hubungan tersebut. Lokasi asrama Pierre terletak di Sei Sikambing yang menjadi markas Kodam Bukit Barisan. Sementara kediaman Rukmini di Jalan Sekip 4B, tidak jauh dari asrama Kodam. Walhasil, Pierre jadi rajin bertandang ke rumah Rukmini. Singkat cerita, cinta pun bersemi.   Pierre tidak lama berdinas di Medan. Pertengahan 1963, Pierre pindah ke Bogor karena harus mengikuti pendidikan intelijen yang dipersiapkan dalam Operasi Dwikora. Namun, hubungan cinta dengan Rukimini terus berlanjut. Mereka pun menjalin pacaran jarak jauh dengan saling berkirim surat. Tahun demi tahun berlalu. Pierre menjalani bermacam penugasan. Mulai dari misi intelijen sebagai mata-mata ke Malaya hingga akhirnya menjadi ajudan Jenderal Nasution pada 1965. Masa cuti dinas selalu dipakai Pierre untuk berkunjung ke Medan. Apalagi maksud hati kalau bukan untuk menemui Rukmini. Kendati berbeda keyakinan, Pierre mantap membawa hubungannya dengan Rukmini ke jenjang yang lebih serius. Pada 31 Juli 1965, Pierre mendampingi Nasution dalam tugas peninjauan di Medan. Kesempatan itu dimanfaatkan Pierre bertemu dengan Rukmini di sela-sela waktu. Pertemuan itu sekaligus digunakan membicarakan rencana pernikahan mereka yang sedianya akan dilangsungkan pada bulan Desember. Nahas, itu menjadi pertemuan terakhir kedua sejoli itu. Pada subuh 1 Oktober 1965, Pierre diciduk oleh sepasukan Tjakrabirawa yang hendak meringkus Jenderal Nasution. Pasukan penculik  kemudian membawa Pierre ke kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Di sana dia disiksa lalu dibunuh.  Kepergian Piere tentu saja membuat sedih hati Rukmini. Butuh waktu bertahun-tahun bagi Rukmini untuk memulihkan perasaannya. Baru pada 1972, Rukmini menemukan jodohnya kembali. Bukan tentara, melainkan seorang karyawan bank. “Mereka dikaruniai 3 anak serta 5 cucu dan hidup berbahagia sampai akhir hayat sang suami di tahun 2014,” tulis tim penulis buku Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi suntingan Abie Besman Tersimpan dalam Kenangan Rukmini sendiri enggan membahas lebih dalam soal kisah hubungan cintanya dengan Pierre. Menurut Noviriny Drivina, salah satu tim penulis biografi resmi Pierre Tendean, Rukmini tertutup bila ditanya soal Pierre. Pada 2018, tim penulis menyambangi Rukmini yang tentu saja sudah sepuh dan tinggal bersama tiga cucunya di Bekasi. “Dia sama sekali tidak mau cerita,” ujar Novi kepada Historia mengenang perjumpaannya dengan Rukmini,      Rukmini hanya berkenan mengonfirmasi apa yang didapat oleh tim penulis. “Itu privasi saya dan Mas Pierre,” kata Rukmini ditirukan Novi. Mengenai sifat Pierre yang berkesan maupun pertemuan dengan Pierre, Rukmini enggan menjawab. Hingga meninggalnya pada 27 Juli 2019, Rukmini tetap menyimpan rapat kenangan terhadap sosok Pierre Tendean.

  • Pangeran Diponegoro Suka Main Catur

    USTAZ Abdul Somad (UAS) menjadi viral di media sosial karena media daring memberitakan tausiahnya yang mengharamkan permainan domino dan catur. Berita itu turun setelah dia memberi tausiah di Komisi Pemberantasan Korupsi pada Rabu, 20 November 2019. Tausiah itu diunggah di channel  Youtube Teman Ngaji pada 26 Juli 2017. Dalam tausiahnya itu, UAS membacakan pertanyaan dari jemaah tentang hukum main domino. “Maaf Pak Ustaz, boleh tidak main domino untuk mengisi luang, biasanya 17 Agustus?” UAS menjawab bahwa mazhab Hanafi mengharamkan dadu dan catur. Alasannya karena main catur bisa membuat orang melalaikan salat dan lupa waktu. Dia juga tak setuju jika catur dijadikan olahraga. “Lari oke, lempar lembing oke, renang oke, tapi merenung sampai tiga jam…nah itu, bahwa ketua persatuan catur marah sama saya, terserahlah. Tapi saya tak setuju. Mengabiskan waktu itu. Banyak lagi yang perlu kita pikirkan. Memikirkan bagaimana politik, memikirkan anak. Ini yang dipikirkan, cemana pion-pion bisa selamat,” kata UAS disambut tawa jemaah. Warganet pun mengomentari pendapat UAS soal main catur haram itu. Di antaranya banyak yang membagikan tautan berita "Saudi Menjadi Tuan Rumah Turnamen Catur Dunia" di voaindonesia.com  (26 Desember 2017). Memang pada 2016, seorang ulama Arab Saudi, Abdulaziz al-Sheikh, dalam sebuah acara televisi, mengharamkan catur karena buang-buang waktu dan membuka peluang menghambur-hamburkan uang yang dapat menyebabkan permusuhan dan kebencian. Menanggapi fatwa haram itu, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Tengku Zulkarnaen, mengatakan bahwa catur hukumnya hanya makruh dan tidak perlu difatwakan haram. “Dalam mazhab Imam Syafi’i catur itu makruh karena membuang-buang waktu, manfaatnya enggak  ada. Tapi kalau main caturnya pakai taruhan baru haram. Catur tidak akan difatwakan haram di Indonesia. Namun hukum makruhnya juga tidak dapat dihilangkan karena sifat permainannya yang sangat membuang-buang waktu,” kata Tengku dikutip tempo.co   Diponegoro Main Catur Catur dimainkan oleh berbagai kalangan dan dipertandingkan mulai dari tingkat RT hingga dunia. Salah satu tokoh sejarah yang suka main catur adalah Pangeran Diponegoro. Sejarawan Peter Carey dalam biografi Pangeran Diponegoro, Kuasa Ramalan , mengungkapkan kesukaan Diponegoro yaitu berkebun, memelihara burung, dan main catur. Di tempat semadinya di Selarejo dan Selarong, Diponegoro membangun kebunnya dengan menanam bunga, sayuran, buah-buahan, dan pepohonan. Dia membanggakan tanah Jawa yang subur. Dalam otobiografinya, Babad Dipanegara , dia menyebut berbagai jenis binatang yang menemaninya selama masa semadinya yang sunyi: ikan di Selarejo; kura-kura, burung tekukur, buaya, dan harimau selama semadi rimbanya di sepanjang Perang Jawa; dan burung-burung perkutut dan kakatua kesayangannya ketika diasingkan di Manado dan Makassar. "Di tempat pengasingan pun dia menghabiskan banyak waktu dengan kakatuanya," tulis Peter Carey. Dalam pandangan Jawa, kedekatan dengan alam dan binatang semacam itu merupakan pantulan kepekaan dan keutuhan rohani seorang manusia. Inilah gambaran keadaan yang tepat disebut sebagai kesatria pengembara ( satrio lelono ) dalam kesusastraan wayang Jawa. “Dia juga suka sekali main catur,” tulis Peter Carey. Peter Carey menyebut seorang perempuan yang sangat dihargai oleh Diponegoro, yaitu Raden Ayu Danukusumo, putri Sultan Hamengkubuwono I dan ibunda Patih Danurejo II (menjabat 1799-1811). “Perempuan itu disebutnya dalam babad karyanya sebagai teman bermain catur, suatu permainan yang sangat disukai Diponegoro,” tulis Peter Carey. Bagi Diponegoro, Raden Ayu Danukusumo tak sekadar teman main catur. Perempuan ini terkenal karena pengetahuannya tentang bacaan Islam-Jawa dan penguasaannya terhadap aksara pegon, dua macam kemahiran yang dikagumi Diponegoro, yang juga menulis dalam huruf pegon. Termasuk di antara naskah koleksi Raden Ayu Danukusumo adalah karya Nuruddin ar-Raniri dalam bahasa Melayu, Bustan as-Salatin  (Taman Raja-raja), dan karya Muhammad ibn Fadl Allah al-Burhanpuri, al-Tuhfa al-mursala ila ruh an-Nabi  (Kiriman Cenderamata kepada Roh Nabi). “Rupanya keduanya adalah jenis naskah yang konon telah dipelajari oleh Diponegoro di masa mudanya,” tulis Peter Carey.*

  • Affandi dan Pengakuan Karya Zainal Beta

    KERTAS A4 itu segera berwarna kecoklatan setelah “berselimut” adonan tanah liat dan air. Dengan sebilah potongan bambu, tangan Zainal Beta beberapakali mengoleskan adonan itu. Setelah hampir semua bidang kertas itu dilumuri “adonan”, Beta mengganti “senjatanya” dengan potongan bambu lebih kecil. Sret…sret…sret! Tiga menit kemudian, kertas putih bersih itu telah menjadi sebuah lukisan tanah liat. “Ini yang saya buat, lukisan bergambar Bastion Bone,” ujarnya kepada Historia  yang menghitung waktu pengerjaan sembari merekam dengan kamera ponsel, 15 Oktober 2019. Seni lukis tanah liat itu merupakan metode melukis baru yang ditemukan Beta pada 1980. Bastion Bone hanya satu dari sekian koleksi Beta di “kantornya”, sebuah ruang eks penjara bawah tanah di salah satu sudut benteng Fort Rotterdam, Makassar. Ruang itu diberinya sebutan “Fort Rotterdam Art Gallery”. Di sanalah ia mengais rezeki lewat membuka kursus seni lukis maupun menjajakan karya-karyanya kepada turis manapun yang tengah berkunjung ke benteng.  Beta mengaku bukan termasuk seniman yang gemar jual mahal. Karya-karyanya dibanderol mulai harga Rp150 ribu sampai Rp10 juta, tergantung permintaan dan besar-kecilnya dimensi lukisannya. “Kepuasan saya bukan karena lakunya berapa, tetapi apa yang kita inginkan bisa kita tuangkan dalam karya. Ah, di situ saya punya kepuasan waktu kadang tidak ada duit. Paling mahal ada kolektor dari Jerman, dia tebus lukisan bergambar sebuah gubuk dan tukang becak seharga Rp10 juta di 2004. Yang paling banyak peminat biasanya ada pengunjung minta dilukiskan lukisan potret orang,” imbuhnya. Lukisan "Bastion Bone" dari tanah liat yang dibuat Zainal Beta dalam tempo tiga menit (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Melukis potret menurut Beta sebetulnya bukan “bidangnya”. Jika lukisan lain bisa dibuatnya dalam 30 menit sampai 1-2 jam, lukisan potret butuh waktu minimal empat hari. Namun demi sesuap nasi, Beta coba beradaptasi pada tipe lukisan yang bukan keahliannya itu. “Alhamdulillah dengan ini saja (mengajar, menjual lukisan), dengan perjuangan saya cukup. Kadang juga ada workshop yang saya diundang. Memang saya membuat karya kecil-kecil ini menyesuaikan kemampuan orang. Kan banyak teman pelukis kasih harga tinggi. Nah, saya tidak. Kadang kan banyak tamu cari cenderamata. Makanya kita tidak hanya harus kreatif melukis tapi juga kreatif memasarkan juga,” lanjut Beta. Meski dunia senirupa mengakui Beta sebagai penemu aliran baru seni lukis, Beta tetap sosok yang “membumi”. Ia juga bukan sosok yang banyak menuntut penghargaan. Penghargaan dunia internasional justru yang menghampirinya seiring lahirnya karya-karya Beta. Selain Philip Morris Award untuk kompetisi seni lukis se-ASEAN 1986, di mana Beta masuk dalam 60 besar, ada juara ketiga lomba poster pemberdayaan perempuan di Beijing, atau delapan besar karya terbaik Lomba Karikatur Anti-Apartheid pada 2003.  Meski begitu, pengakuan dari mancanegara itu tak serta-merta membuat Beta dihormati seniman tanah air. Masa-masa awal Beta melukis dengan “tanah-air”, cibiran, pandangan sebelah mata, hingga sebutan gila sering menghampirinya. Mengubah Cibiran Jadi Sanjungan Foto itu sudah kusam. Warnanya pun pudar. Beta memeliharanya dengan  melapisinya menggunakan plastik transparan. Beta memajangnya di sebidang sempit sekat tripleks yang membagi dua setengah ruang “galerinya”.  Potret yang paling dibanggakan Beta itu merupakan foto “ candid ” yang memotret dirinya tengah berbincang dengan maestro Affandi. Menurut Beta, pertemuannya dengan Affandi pada 1986 itulah yang membuka pintu pengakuan terhadapnya dari para seniman tanah air.  Itu terjadi di pameran “Nuansa Indonesia” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Oktober 1986. “Di pameran itu saya yang diutus ke ibukota bersama (wartawan harian Fajar Sinansari) Ecip, dari pembicaraan kawan-kawan setelah Temu Sastra Nusantara VI di Makassar. Saya juga ikut tata-tata dekorasi. Nah, di situ saya ketemu Affandi. Orang yang saya kagumi dari kecil,” kata Beta mengenang. Koleksi potret Zainal Beta bersama Affandi saat bersua di Jakarta (Foto: Repro Koleksi Zainal Beta) Saat pembukaan, Affandi berbicara di atas podium. Di hadapan para tamu undangan itulah Zainal Beta disanjung sang maestro. Beta pun heran ternyata Affandi sebelumnya sudah insyaf akan karya “tanah-air” Beta. “Dia bilang, ‘Berbanggalah Indonesia. Dari pelosok daerah kecil muncul di tengah kota dengan membawa segenggam penemuan. Inilah satu fakta bahwa Indonesia melahirkan penemu di abad ke-20. Adalah Zainal Beta’,” kata Beta. Pujian Affandi tentu membuat Beta kaget, bangga sekaligus nervous . Terlebih ketika Beta dipanggil ke podium bersanding dengan Affandi. “Saya disebut hebat. Penemu. Saya bilang enggak, Pak. Bapak (Affandi) yang hebat. Orang yang saya kagumi di Indonesia adalah bapak. Tapi dia bilang kemudian yang dia kagumi malah saya. Metode lukis sudah saya rombak dan dunia (seni) sekarang terbuka. Kelak generasi baru akan muncul lagi dengan media-media baru,” sambungnya. Zainal Beta alias Arifin, pelukis tanah liat pertama dunia asal Makassar (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Momen itu pun beredar hingga ke Makassar lewat berbagai suratkabar. Keluarga besar Beta yang tadinya menganggapnya gila, perlahan insyaf dan mau “menerima” Beta yang memilih seni sebagai jalan hidupnya.  “Bayangkan, baru ada pengakuan dari yang lain 1986 berkat Affandi, sejak saya memulainya tahun 1980. Keluarga juga heboh lihat berita itu. Saat saya pulang, saya berpesan, kalau ada dari keluarga yang mencari sesuatu dalam perjuangannya, tolong dukung. Saya sudah buktikan dengan usaha sendiri. Kalau kita cintai bakat itu, kejar (dukung) dia,” tutur Beta. Sejak itu, nama Beta dihormati kalangan seniman se-Indonesia. Pada 1990, Beta bahkan ditawari kursi Ketua Pakarti Indonesia Timur oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Namun, Beta enggan menerimanya. “Saya bilang, berat ini (jabatan ketua). Saya belum siap. Tapi setidaknya perjuangan saya 10 tahun dihargai dengan dikasih kartuanggota Pakarti,” ujar Beta menutup perbincangan.

  • Tak Payah Dirundung Fitnah

    DEMI mendapatkan tulisan nama masing-masing di telapak tangan, anak-anak perempuan di Simpang Tonang Tolu rela berkumpul di rumah Sitti Rohana (Kudus). Mereka rela mengantri. Mereka amat gembira begitu Rohana selesai menuliskan nama mereka. Telapak tangan terus mereka pandangi begitu sudah tertera nama diri sendiri. Mereka hafalkan tiap goresan. “M-A-L-A, Mala,” kata Rohana mengajari teman sebayanya. Kesenangan itu ternyata memantik dengki sebagian orang. Ada saja yang mencibir aktivitas Rohana dan kawan-kawannya dengan bilang “banyak lagak” atau menyamakan Rohana dengan anak lelaki. Rohana diam saja. Ia tak ambil pusing. Ketika kembali ke Koto Gadang di usia 17 tahun, Rohana langsung terpikir untuk mengajari teman-teman sebayanya membaca, menulis, menjahit, dan keterampilan lain. Rumah neneknya pun ia jadikan tempat untuk mengajar kecil-kecilan. Usaha dari nol itu berbuah manis. Muridnya terus bertambah dan makin beragam latar belakang. Namun, tetap saja usaha Rohana mengajar tak mulus. Pemikiran kolot beberapa anggota masyarakat yang kadung memfosil sulit dikikis. Ada saja tetua di kampungnya yang berpikir pendidikan yang diberikan hanya membuat anak-anak peremuan menjadi berani melawan adat karena merasa pintar. Ada pula yang khawatir kalau anak perempuan Koto Gadang menjadi pandai membaca, mereka akan berkirim surat dengan lelaki Belanda dan menikah dengan orang luar Koto Gadang. Rohana tak marah atau tersinggung dengan sikap mereka. Ia paham, maksud baik tak selamanya disukai orang. “Saya sama sekali tak berniat buruk apalagi sampai merusak budi pekerti anak gadis di Koto Gadang. Semua yang saya lakukan ini seamta-mata demi kemajuan kaum perempuan agar mendapat pendidikan yang layak,” kata Rohana seperti dikutip Fitriyanti dalam Wartawan Perempuan Pertama Indonesia: Rohana Kudus . Sayangnya, lambat-laun penolakan makin kencang. Terlebih setelah tahun 1908 Rohana menikah dengan Abdul Kudus yang aktivis pergerakan. Sebagian orang tua murid takut anak-anak mereka ditangkap Belanda karena ikut dalam gerakan politik ketika belajar tulis-menulis di rumah Rohana. Puncak dari ketakutan itu, mereka minta sekolah Rohana ditutup dengan alasan tak ada gunanya dan meresahkan. Banyaknya gunjingan dan tekanan membuat Rohana dan Abdul memilih pindah ke Kampung Maninjau. Mereka menetap di sana selama dua tahun, kemudian pindah ke Padang Panjang selama setahun. Selama di tanah rantau, Rohana tetap berkirim surat pada mantan murid-muridnya di Koto Gadang. Dia ingin sekali kembali mengajar di Koto Gadang. Keresahaannya itu ia sampaikan pada Abdul. “Barangkali selama ini saya berjalan sendiri memajukan pendidikan kaum perempuan di kampung.  Mereka merasa dilangkahi dan mengaggap saya telah melanggar adat-istiadat,” kata Rohana, sedih. “Apakah itu yang menurut Adik membuat mereka tersinggung?” kata Abdul menenangkan istrinya. “Memang tidak selamanya tujuan baik kita diterima dengan hati terbuka.”   Selama berada di tanah rantau, Rohana merasa kesepian karena tak punya kegiatan selain mendampingi Abdul. “Apalagi kita belum dikaruniai anak,” Rohana mengeluh. Setelah diskusi itu, keduanya sepakat untuk kembali ke Koto Gadang. Rohana sudah menyusun rencana agar usahanya membuka sekolah tak mendapat penolakan lagi. Begitu tiba di Koto Gadang, Rohana meminta bantuan Ratna Puti, istri seorang jaksa yang posisinya cukup dihormati. Lewat bantuan Ratna Puti, sekira 60 perempuan yang terdiri dari istri para pemuka adat, agama, dan pejabat daerah (para Bundo   Kanduang ) berhasil diundang dalam pertemuan perempuan. Dalam pertemuan itu, Rohana mengutarakan pentingnya membuka sekolah bagi anak perempuan di Koto Gadang untuk menyiapkan mereka menjadi orang yang mandiri. “Mari bersama-sama kita berniat mengatasi masalah pendidikan untuk kaum perempuan di Koto Gadang. Kita memerlukan sebuah sekolah resmi bagi kaum perempuan, yang tentu saja atas izin pemerintah daerah,” kata Rohana. Rohana Kudus bersama murid-muridnya. (Repro Wartawan Perempuan Pertama Indonesia: Rohana Kudus ). Pesan Rohana menyentuh hati para Bundo   Kanduang . Mereka pun mendukung pembentukan perkumpulan perempuan yang dinamai Kerajinan Amai Setia (KAS) pada 11 Februari 1911. Lewat perkumpulan ini, didirikanlah sekolah kepandaian putri yang mengajarkan baca-tulis, menjahit, dan menyulam. Rohana duduk sebagai presiden KAS dan sebagai direktris perguruan itu. Pada awal berdirinya, seluruh kegiatan sekolah KAS dilakukan di rumah nenek Rohana, seperti sekolah yang dulu ditentang. Makin hari muridnya makin banyak. Rumah nenek Rohana pun tak cukup menampung. Lebih lagi, lembaga rintisan Rohana sudah resmi berdiri, maka timbullah keinginan untuk membangun gedung sekolah dan sekretariat perkumpulan KAS. Namun, seperti diceritakan Tamar Djaja dalam Rohana Kudus, Srikandi Indonesia, kala itu Rohana tak punya uang. Rekannya yang orang Belanda, Tuan Groenevel, kemudian mengusulkan agar Rohana mengadakan lotere untuk menggalang dana. Rohana pun bergegas mengurus izin penyelenggaraan lotere ke pemerintah setempat. Setelah izin penyelenggaraan lotere berhasil didapatkannya, gunjingan tetangga kembali menerpa. Sebagian tokoh adat, agama, dan Bundo Kanduang  tak setuju dengan penyelenggaraan lotere karena dinilai haram. Sementara menurut Rohana, penyelenggaraan lotere ini didasari niat baik untuk pembangunan fasilitas pendidikan. Berhasil menampik satu rintangan, datang lainnya. Rohana dituduh mengkorupsi uang lotere yang berhasil digalang. Tuduhan itu diperparah dengan mengaitkan pekerjaan Abdul yang lebih banyak dikerjakan di rumah. Mereka menuding Abdul tak punya penghasilan hingga membuat Rohana harus memenuhi kebutuhan hidup dan mengutip uang pembangunan sekolah. Tudingan kejam itu membuat Rohana menangis. Ia menolak segala tudingan itu, membela kehormatan Abdul, dan membuktikan kalau ia tidak bersalah di pengadilan Bukittinggi. Pada 21 September 1914, Rohana menyerahkan catatan keuangan KAS pada pejabat negara W Frijling BB di Batavia untuk diperiksa. Pada 6 November 1914, Rohana juga menyerahkan buku catatan keuangan KAS ke pejabat lain, Van Ronkel. Kedua pejabat Hindia-Belanda itu tak menemukan ada kejanggalan. Pemeriksaan keuangan itu selesai pada 1916. Rohana tidak terbukti bersalah. Selama proses persidangan, posisi Rohana digantikan pengurus lain. Namun, ketika kasusnya selesai, alih-alih dikembalikan ke posisinya, Rohana malah disisihkan. Salah seorang murid Rohana yang ia bebaskan dari buta huruf hingga bisa berbahasa Belanda, menjegalnya. Rohana tak diperbolehkan menjabat direktris dan kepala perkumpulan lagi. Rohana juga difitnah berselingkuh dengan lelaki Belanda. Fitnah warga Koto Gadang itu berangkat dari fakta di masa itu hanya Rohana yang berani keluar-masuk kantor pemerintahan dan berkawan dengan lelaki Belanda. Fitnah itu diperparah dengan komentar miring, Rohana belum kunjung hamil padahal sudah menikah sembilan tahun. Namun saat fitnah belum punya anak sedang kuat menerpanya, Rohana hamil. Rohana girang bukan kepalang. Ketika kehamilannya sampai ke telinga banyak orang, tetap saja ada yang memfitnahnya dengan mengatakan kehamilan Rohana merupakan hasil hubungan gelap dengan petinggi Belanda. Sontak saja Rohana marah. “Kita buktikan saja nanti. Biarlah anak ini lahir berkulit hitam dan berhidung pesek!” kata Rohana. Hujaman fitnah itu membuat Abdul khawatir pada istrinya yang tengah hamil. Abdul percaya betul pada istrinya. Tak mungkin Rohana mengutip uang atau main serong dengan lelaki lain. Rohana dan Abdul akhirnya pindah ke Bukittinggi lantaran kondisi Koto Gadang sudah tidak nyaman. Di sanalah anak pertama mereka, Djasma Juni, lahir pada 1917. Rohana pun tak pusing memikirkan Amai Setia yang sudah diambil alih muridnya. Ia lebih memilih membangun sekolah baru di Bukittinggi, Rohana School.*

  • Hamka dan Patung Nabi Muhammad

    SUATU hari Hamka benar-benar dibuat heran. Keberadaan patung Nabi Muhammad SAW di New York, di luar akal sehatnya. Dalam muhibahnya selama 4 bulan (25 Agustus–25 Desember 1952) di Amerika Serikat (AS) itu, Hamka banyak dibuat terkejut. Dan soal patung Nabi Muhammad SAW tersebut menjadi yang paling menohok baginya. Namun di lain pihak, hal itu membuatnya sadar bahwa pengetahuan tentang Islam di negeri Paman Sam saat itu masih sangat kecil. Ada rasa ironik dalam diri Hamka jika mengingat Sang Nabi yang berupaya menjauhkan umatnya dari patung-patung seperti itu sekarang malah dipatungkan. Di dalam memoarnya, 4 Bulan di Amerika , Hamka menelusuri keberadaan patung tersebut dan menghubungkannya dengan pemahaman tentang Islam di negara Barat, khususnya AS. Menurutnya kebudayaan manusia memberi wujud kepada para Nabi setelah agama Nasrani memasuki Roma. Sejak itu, banyak ahli-ahli seni yang berlomba memahat patung menyerupai Nabinya. Hamka sendiri meyakini bahwa Nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Isa, dan Muhammad sangat anti kepada patung. “Seluruh Nabi itu adalah mempunyai kesatuan maksud, yakni menghancurleburkan segala sesuatu yang dijadikan rintangan untuk menghadap langsung kepada Tuhan Yang Maha Esa,” kata Hamka. Maka ketika banyak seniman yang membuat patung menyerupai Nabi, itu merupakan sebuah kesalahan. “Kita tidak dapat bersikap masa bodoh, kalau Nabi Muhammad dipatungkan pula,” lanjut Hamka. Hasil penelusuran Hamka mendapati bahwa pembuat patung itu adalah pemahat Charles Albert Lopez. Dugaannya si pemahat itu berasal dari Amerika Selatan, yang masyarakatnya saat itu umum memeluk agama Katolik. Ia tidak tahu dari mana si pemahat mendapatkan gambaran tentang Nabi Muhammad, tetapi Nabi digambarkan gagah perkasa, kejam, pakai sorban, dan memegang pedang. Hamka semakin heran karena patung Nabi Muhammad itu ada di tengah usaha AS mendekati bangsa-bangsa Timur. Terlebih ketika di International Centre di Washington, Hamka dan sejumlah pemimpin agama yang hadir mendapat sebuah buku kecil berisi propaganda AS tentang usaha negara itu dalam mendamaikan dunia. Bagi Hamka buku itu cukup bagus. Tetapi di bagian akhir terdapat gambar tiga orang Nabi: Musa, Isa, dan Muhammad. Maksudnya sebagai lambang keberagaman tiga agama: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Namun bukankah tindakan-tindakan itu malah membuat usaha mendekati bangsa Timur, yang mayoritas Muslim, semakin jauh? Seorang pejabat Amerika lalu bertanya kepada Hamka mengenai kesannya tentang buku tersebut. Diterangkan oleh Hamka bahwa patung dan gambar Nabi Muhammad yang ada di dalam buku itu telah menghancurkan maksud baik mereka. Karena tidak ada seorang pun yang akan senang Nabinya dipatungkan. Bahkan di zaman keemasan seni Islam pun tidak ada satu seniman yang berani menggambarkan sosok Nabi Muhammad. Bukan hanya haram hukumnya, tetapi sebaik-baiknya pelukis dan pemahat tidak akan ada yang dapat membayangkan rupa Nabi Muhammad. “Syukurlah kami mengetahui bahwa maksud buku ini adalah baik, tetapi mereka tidak mengetahui bahwasanya seluruh dunia Islam tidaklah suka akan patung Nabi Muhammad. Dan sekali-kali tidak ada patung Nabi Muhammad,” kata Hamka. Hamka lalu menyarankan agar mengganti gambar Nabi Muhammad itu dengan gambar Ka’bah jika memang buku itu akan disebar. Mengenai hal itu, Hamka sempat membicarakannya dengan George Fadle Hourani, seorang profesor di Michigan University yang seorang Kristen Arab. Demi mendengar curhatan Hamka, sang profesor hanya menggelengkan kepala dan berkata: “Pengetahuan bangsa Amerika tentang kebudayaan Islam dan kebudayaan Arab masih sangat sedikit. Bagaimana Nabi Muhammad dapat dipatungkan, kami orang Arab yang berhak lebih dahulu.” “Melihat contoh kejadian ini, dan melihat dalil-dalil perbuatan bangsa Amerika disegi lain, nyatalah bahwa maksud menghina atau menyinggung perasaam muslimin tidak ada. Mereka sekarang ini sedang berusaha betul-betul hendak mendekati hati umat Islam. Tetapi karena pengetahuan mereka masih sedikit, kadang-kadang yang disangka menghormati, telah menimbulkan penghinaan,” terang Hamka.

  • Gunakan Adat Jawa, Pernikahan Bung Hatta Bikin Hadirin Tertawa

    SUATU hari tak lama setelah Indonesia merdeka, Hasjim Ning kedatangan pamannya, Bung Hatta. “Bung Hatta memberi tahu kepadaku bahwa ia akan menikah tanggal 18 November 1945 di Megamendung di daerah Cipayung. Dimintanya aku dan ayahku yang ketika itu menetap di Bogor agar ikut menghadiri perkawinannya,” kata Hasjim dalam otobiografi berjudul Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Kabar dari Bung Hatta itu membuat Hasjim senang. Sanak-famili Bung Hatta, termasuk Hasjim, telah lama menanti-nanti pernikahan Bung Hatta. Namun, mereka tak berani mengungkit soal itu lantaran Bung Hatta sudah berpendirian tak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. “Bung Hatta sadar apa yang sedang dia prioritaskan,” kata Halida Hatta, putri bungsu Bung Hatta. Maka ketika hari pernikahan Bung Hatta dan Rahmi Rachim –putri Abdul Rachim sahabat Bung Karno– tiba, mereka suka-cita menghadirinya. Tidak banyak memang yang hadir dalam resepsi pernikahan itu karena Bung Hatta ingin resepsi sederhana. “Tidak lebih dari 30 orang, kiraku. Selain dari keluarga kedua pengantin, tentu saja Bung Karno yang menjadi ‘mak comblang’ pernikahan itu ikut hadir bersama Bu Fatmawati,” sambung Hasjim. Bung Karno merupakan orang yang amat memperhatikan Hatta dalam urusan yang satu itu. “Waktu saya bertanya kepada Hatta, gadis mana yang dia pilih, jawabnya: ‘Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya,” kata Bung Karno kepada R. Soeharto, dikutip dalam Saksi Sejarah . Gadis pujaan Hatta itu ternyata Rahmi Rachim, anak kawannya sendiri. Maka, Bung Karno pun mengajak R. Soeharto ke rumah Abdul Rachim guna melamar Rahmi untuk Hatta. Entah karena jasa baik Bung Karno itu atau bukan, pernikahan Hatta digelar menggunakan adat Jawa. “Aku tidak tahu siapa yang punya gagasan agar diadakan upacara adat Jawa, yakni kedua pengantin melakukan upacara menginjak telur. Mungkin gagasan itu tumbuh karena kehadiran Bung Karno saja,” kata Hasjim. Lantaran menggunakan adat Jawa itulah Hasjim ketiban sial. Tanpa pemberitahuan apapun sebelumnya, Hasjim diminta mewakili Bung Hatta menemani Titi, adik Bu Rahmi, melakukan ritual injak telur. Permintaan itu jelas membuatnya kaget lantaran sebagai orang berdarah Minang-Palembang, dia tak tahu bagaimana cara melakukan ritual itu. Hasjim terpaksa menerimanya lantaran permintaan itu datang dari Bung Hatta. “Tidak seorang pun yang memberi petunjuk bagaimana mestinya melakukannya secara khidmat, maka aku menginjaknya tak ubahnya bagai tentara Jepang yang menginjak mangsanya meski aku sudah berusaha agar seindah orang menari payung. Dengan sendirinya, upacara adat Jawa yang halus itu menjadi sebuah lelucon yang menerbitkan air mata karena tertawa yang tak tertahankan dari para hadirin,” kenang Hasjim. Setelah resepsi pernikahan selesai, Hasjim berkesempatan ngobrol santai dengan Bung Karno. Di situlah dia mengorek bagaimana Bung Karno bisa “menaklukkan” Bung Hatta sehingga mau menikah padahal banyak sanak-familinya gagal untuk urusan satu itu. “Aku menagih janjinya, yang akan menikah bila Indonesia merdeka. Sekarang kita sudah merdeka, apa lagi. Kalau ia masih menolak, itu namanya tidak normal. Indonesia sulit dipimpin oleh orang yang tidak normal,” kata Sukarno menjawab pertanyaan Hasjim. “Kenapa dengan gadis yang berbeda jauh usianya?” Hasjim bertanya lebih jauh. “Jangan berlagak bodoh, Hasjim. Apa jij kira aku tidak sebanding dengan Fatma?” sahut Sukarno. “Kenapa presiden dan wakil presiden sama-sama memilih gadis muda?” “Supaya kelihatan vitalitasnya prima,” jawab Sukarno, membuat Hasjim tertawa.

  • Kemasan Anyar Nagabonar

    DALAM kelamnya malam yang diselingi sambaran petir, Nagabonar lahir ke dunia. Ia tumbuh tanpa ayah. Nagabonar kecil (diperankan Azka Dimas) tampil sebagai anak nakal tukang mencuri. Namun, ajaran keras emaknya (Rita Matumona) membuatnya insyaf. Maka ketika tumbuh dewasa (diperankan Gading Marten), Nagabonar tak lagi jadi pencopet. Ketika merantau ke Medan dari desanya di tepi Danau Toba pada 1937, Naga kaget melihat perilaku culas banyak orang, termasuk kawan lamanya Lukman (Rifky Alhabsyi), di kota besar itu. Dari Lukmanlah Naga mengenal mendapat kawan-kawan baru macam Mariam (Roby Tremonti), Bujang (Ence Bagus), Murad (Fermana Manaloe), hingga Sulung Panjaitan (Donny Damara) yang oleh kawanannya dijadikan figur paling dihormati. Mereka inilah yang lantas jadi pasukan Naga saat perang kemerdekaan. Dalam perjalanannya, Naga kepincut seorang gadis indo, Kirana (Citra Kirana). Gadis yang dianggap tercantik se-dunia itu jadi rebutan Naga, Mariam, Yoshida (Harry Ponto) si jenderal Jepang, dan Bastian (Delano Daniel) si kapten Belanda. Bagaimana kelanjutannya? Ah , lebih asyik Anda tengok sendiri di bioskop-bioskop tanah air. Nagabonar: Reborn  akan beredar mulai 21 November 2019. Para pemeran Nagabonar: Reborn dalam konferensi persnya, minus pemeran utama Gading Marten (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Di Bawah Bayang-Bayang Nagabonar Lawas Siapa tak kenal Nagabonar? Publik lintas generasi rasanya familiar dengan figur fiktif ciptaan Asrul Sani yang selegendaris Kabayan di cerita-cerita orang Sunda ini. Setiap penikmat filmnya punya kenangan masing-masing entah dari menonton langsung saat film pertamanya, Nagabonar (1987), ditayangkan bioskop maupun di televisi ketika film tersebut ditayangkan tiap 17 Agustus dan Hari Pahlawan 10 November di era 1990-an. Ibu saya berkisah, sehari setelah menontonnya di sebuah bioskop di Manggarai, Jakarta pada 3 Juli 1987, dia melahirkan saya yang lalu juga akrab dengan film yang diperankan Deddy Mizwar itu. Maka ketika Nagabonar: Reborn dirilis, teringat betul film Nagabonar- nya Asrul Sani itu yang tersedia di banyak situs streaming maupun YouTube . Jadi jangan heran bila banyak penonton masa kini bakal membandingkan Nagabonar milenial dengan versi lawasnya. Terutama, membandingkan Nagabonar versi Deddy Mizwar dengan versi Gading Marten. “Memang berat waktu kita punya ide mengangkat cerita Nagabonar. Karena kita tahu setiap film seperti itu (akan dibandingkan, red. ). Tapi kalau saya lihat ketika Gading memainkan peran ini total, satu menit-dua menit memang kita merasa begitu. Tetapi setelah itu hilang bayangan (Deddy Mizwar, red. ) itu. Yang kita lihat sosok Nagabonar Gading Marten,” ujar Gusti Randa, produser merangkap pemeran dokter Zulham, ayah Kirana, dalam konferensi pers screeningNagabonar: Reborn , Selasa (19/11/2019) di XXI Plaza Indonesia. Gusti Randa, produser film Nagabonar: Reborn (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Tim produksi mengklaim mereka mengangkat banyak konteks baru agar lebih dekat dengan kaum milenial sebagai sasaran. Oleh karena itu beberapa alur cerita dikembangkan lebih jauh untuk melahirkan sosok Nagabonar baru. Tim penulis skenario dan sutradara mengaku diberi kebebasan mengembangkan dasar cerita asli milik Asrul. “Ada tantangan Nagabonar harus dibungkus dan di- update supaya mendekati pada masyarakat kekinian. Juga tantangan isu-isu dan kontekstual yang relevan dengan realitas sekarang. Seperti saat dia merantau ke kota, dia menghadapi realitas majemuk hingga kemudian tumbuh menjadi seorang nasionalis sejati,” kata Fermana, anggota tim penulis skenario, menimpali. Setidaknya ada dua pesan yang ingin disampaikan sutradara dalam Nagabonar: Reborn . Pertama, soal jiwa nasionalisme seorang Nagabonar. Kedua, tentang Nagabonar sebagai seorang yang sangat menghormati perempuan, terutama sosok ibu. Jadilah Nagabonar versi anyar ini insyaf ketika masih kecil karena selalu teringat pesan ibunya. “Ada satu adegan saat perundingan garis demarkasi, di mana dia tak mau sejengkal tanah pun dikuasai Belanda. Saya mencoba menyampaikan pesan-pesan nasionalisme itu. Lalu dia sosok yang menghormati perempuan. Emaknya saat menasihati menanamkan budi baik, dia selalu berkata ‘jangan mencuri kalau kau tak mau masuk neraka.’ Mungkin bisa menjadi inspirasi bagi anak muda. Tentu ini baik untuk Indonesia maju,” ujar Dedi Setiadi sang sutradara. Dibungkus ala FTV, Apa Kata Dunia? Dari tontonan dua jam di layar bioskop, Nagabonar: Reborn menyisakan kesan sebuah suguhan FTV (film televisi). Itu tersua baik dari sisi sinematografi, music scoring , pemilihan angle , maupun alur cerita yang ke sana-sini. Celakanya, Nagabonar: Reborn tidak ditopang riset yang kuat. Properti dan wardrobe- nya sekadar mengulang kengawuran film-film bertema sejarah lain. Seragam serdadu, misalnya, tiada beda antara zaman kolonial, pendudukan Jepang, dan perang kemerdekaan. Ini didapati pada sosok Sulung Panjaitan, pengganti sosok Mayor Pohan, yang sudah berpakaian ala pejuang 1945, berkemeja dan mengenakan sidecap, meski di film tertera tulisan tahun 1937. Lebih ngaco lagi, tampak serdadu Jepang bersenjatakan Austen. Padahal, senapan otomatis asal Australia ini baru diproduksi pada 1942. Kalaupun sudah beredar, baru terbatas di lingkungan militer Australia yang baru masuk Indonesia pada 1946. Adegan tembak-menembak antara Kapten Bastian dengan Nagabonar secara historis terbalik logikanya. Bastian seorang perwira Belanda yang naik pangkat jadi mayor, namun menyandang pistol Nambu buatan Jepang. Sementara, Nagabonar menyandang dua pistol Vickers buatan Belanda. Tampilnya sejumlah tokoh tanpa kejelasan kaitan dengan kehidupan Nagabonar juga amat mengganggu. Itu terlihat misalnya di scene kemunculan eks Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani. Dedi mengungkapkan, dia menyampaikan pesan baru soal nasionalisme dalam adegan perundingan garis demarkasi dengan Belanda. Padahal, di Nagabonar (1987) racikan sineas M.T. Risyaf, soal ini dihadirkan lewat adegan Nagabonar enggan manut pada permintaan Belanda. Jiwa nasionalis dan patriotik yang dihadirkan Deddy Mizwar justru lebih “nendang” ketimbang Gading. Yang pasti, bumbu percintaan terlalu berlebihan ditonjolkan dalam film ini, mengalahkan tema kehidupan Nagabonarnya sendiri. Yang bikin ambyar adalah perangai Nagabonar terhadap Kirana, yang awalnya merupakan pacar kapten Belanda Bastian. Tiba-tiba, Naga menculiknya dan memaksanya jadi pacar. Hal itu bertolakbelakang dari sifat Nagabonar versi 1987, yang meski ceplas-ceplos dan konyol namun tetap tak sampai hati memaksa Kirana (diperankan Nurul Arifin) untuk menjatuhkan pilihan padanya. Tak ada adegan menculik Kirana di versi 1987, yang ada cinta itu datang dengan sendirinya tanpa paksaan. Kirana hadir di hati Naga untuk menggantikan kehilangan separuh jiwanya yang hilang, yakni si Bujang (Afrizal Anoda), sahabatnya yang gugur. Sayangnya di Nagabonar: Reborn sosok Bujang hanya jadi pelengkap. Padahal, dalam versi 1987 Bujang bukan figuran dalam hidup Naga. Suka-duka selalu dilalui bersama oleh keduanya. Ketika anak buah Naga yang lain berhamburan saat diserang Belanda, Bujang tetap di samping Naga dan tak pernah gentar menghadapi Belanda. Namun, produser punya alasan mengapa percintaan lebih ditonjolkan dalam Nagabonar: Reborn . “Karena kita tahu penonton kita adalah kaum milenial. Yang everlasting bagi kaum milenial adalah percintaan,” ujar Gusti Randa. Alasan itulah yang mungkin menjadi latar pemilihan Dedi Setiadi sebagai sutradara. Dedi malang-melintang di FTV maupun sinetron. Karena ini pula pesan-pesan nasionalisme yang disampaikannya sangat gamblang sehingga acapakali tak pas dengan suasana era 1930-an sampai era perang kemerdekaan yang jadi latar waktu film. Sekalipun begitu, Nagabonar: Reborn tetap pantas diapresiasi. Di tengah “invasi” film-film Hollywood di tanah air, ia berani muncul dengan pesan nasionalisme lewat tampilan baru. Penonton juga akan disuguhkan gambaran kehidupan dan budaya masyarakat Batak di pesisir Danau Toba yang jarang diangkat ke sebuah film. Sejumlah adegak kocak yang mengocok perut juga menjadi nilai plus tersendiri film ini.

  • Ketika Cemburu Membakar Amangkurat I

    SETELAH berhasil mengatasi kesedihan akibat kehilangan Ratu Malang, Amangkurat I mencoba bangkit. Ia telah kembali duduk di takhtanya dan perlahan memperbaiki pemerintahan yang sempat ditinggalkan. Amangkurat I berusaha keluar dari derita yang hampir menghancurkan Mataram tersebut. Tidak ingin larut dalam kesendirian, raja kemudian menyuruh para pejabat negerinya agar dicarikan perempuan lain yang setara dengan sang pujaan hati. Namun perkara itu tidaklah mudah. Terlebih tidak banyak perempuan di dalam negeri kala itu yang kecantikannya bisa disetarakan dengan Ratu Malang. Dikisahkan J.J. Meinsma dalam Babad Tanah Jawi: Javaanse Rijkroniek , Amangkurat I mengutus dua orang dalam misi pencarian calon kekasihnya itu, yakni Nayatruna dan Yudakarti. Sebagai petunjuk, keduanya harus bisa menemukan seorang perempuan yang “berasal dari suatu daerah dengan air sumur yang baunya segar”. Dan pencarian itupun berakhir di wilayah tepi Kali Mas, Surabaya, Jawa Timur. Di sebuah daerah yang masuk dalam kuasa Pangeran Pekik, mertua Amangkurat I, tinggal seorang mantri bernama Ngabei Mangunjaya. Sang mantri memiliki seorang putri cantik jelita yang usianya kurang lebih 11 tahun. Oyi, begitulah Mangunjaya memanggilnya. “Memang para utusan terpesona melihat gadis cantik itu, dan anak tersebut mereka bawa,” tulis H.J. De Graaf dalam Runtuhnya Istana Mataram . Para utusan lalu membawa gadis cilik itu ke hadapan Amangkurat I. Memang benar sunan langsung jatuh hati padanya, tetapi ia menilai calon istrinya itu masih terlalu kecil untuk diperistri. Maka sunan memerintahkan kepala mantri kapedhak , Ngabei Wirareja, agar mengurus Oyi hingga usianya siap untuk menjadi bagian dari keluarga inti Raja Mataram. Di sisi lain, putra Amangkurat I, Pangeran Anom, juga sedang dipusingkan dengan pencarian calon istrinya. Ia berulang kali gagal dalam memutuskan gadis yang akan dipinang. Hampir sama seperti ayahnya, Pangeran Anom agak pemilih dalam menentukan gadis pujaannya. Terakhir kali dijodohkan dengan putri Cirebon, sang pangeran malah ketakutan dengan sifat keras gadis tersebut. “Ketika pangeran melihat gadis itu, ia memuji penampilannya yang cantik, tetapi agak sedikit pemarah. Pangeran mulai khawatir gadis itu akan bersikap kasar pada suaminya,” tulis Meinsma. Pada suatu waktu, setelah rencana perjodohannya gagal, Pangeran Anom secara kebetulan pergi ke kediaman Wirareja. Babad Tanah Jawi, maupun Serat Kandha tidak secara jelas menyebut apa tujuan pangeran memasuki kediaman sang kepala mantra. Namun di sana ia bertemu dengan Oyi yang sedang membatik bersama ibu angkatnya (istri Wirareja). “Sebagaimana layaknya, larilah gadis itu ketakutan, tetapi sempat ia menoleh sebentar dan merapikan rambutnya,” kata Graaf. Gadis misterius yang jelita itupun seketika merasuk jiwa Pangeran Anom. Oyi sangat sesuai dengan kriteria gadis yang sedang dicari-carinya. Segera ia bertanya kepada Wirareja siapa gerangan yang sedang membatik tersebut. Wirareja lalu menerangkan bahwa mutiara indah itu diperuntukkan bagi ayahnya. Ia hanya sekedar mengurusi hingga usia gadis itu matang. Namun pangeran terlanjur mabuk kepayang kepada gadis “kepunyaan” ayahnya itu. Sejak itu, pikirannya terus melayang membayangi sosok Oyi. Di dalam babad, pangeran diceritakan jatuh sakit karena cintanya itu. Bahkan sampai mengurung diri di kamar, tidak makan dan tidak tidur. Melihat cucu kesayangannya dirundung sendu seperti itu, Pangeran Purbaya berusaha menghibur. Ia memutuskan akan melakukan segalanya, apapun resiko yang akan terjadi. Bersama istrinya, Purbaya lalu pergi ke rumah Wirareja. Ia meminta agar Oyi diserahkan kepadanya. Wirareja tentu menolak karena takut akan kemurkaan Amangkurat I. Namun bujukan barang-barang mewah dari Purbaya akhirnya melemahkan Wirareja. Oyi kemudian dibawa menggunakan tandu menuju kediaman Purbaya. Segera cucunya dipanggil agar keluar dari dalam kamarnya. Betapa terkejut pangeran Anom ketika menemukan Oyi sudah ada di hadapannya. Ia tidak percaya gadis pujaan hatinya bisa sedekat itu. Sang putra mahkota pun terlihat seperti hidup kembali. Namun menurut Graaf: “Sang kakek memikul segala tanggung jawab demi kegembiraan dan kebahagiaan si cucu”. Mereka tidak tahu kekejaman apa yang menanti. Benar saja, tidak lama setelah, Amangkurat I mendengar kabar penjemputan Oyi dari kediaman Wirareja. Ia begitu marah kepada putranya, Purbaya, dan Wirareja. Amangkurat I lalu memerintahkan pasukannya untuk menghancurkan kediaman Purbaya. Dalam laporan Residen Mataram 5 Juli 1669, sunan sampai menghancurkan kediaman Pangeran Anom dan membakar rumah-rumah di sekitarnya. Laporan pemerintah Belanda tahun 1670 menyebut banyak kaki tangan Pangeran Anom yang dihukum berat. Bahkan Wirareja dan keluarganya diusir ke Ponorogo, dan tidak lama kemudian keluar perintah dari sang raja untuk menghukum mati mereka. Sementara itu, Pangeran Anom sendiri dihukum  dengan diusir dari keraton Mataram. Meski akhirnya diperbolehkan untuk kembali.

  • Arsip Angkasa Pura Mengudara

    FUNGSI bandar udara ( airport ) amat penting bagi industri penerbangan. Dalam sejarahnya, pembangunan bandar udara (bandara) di Indonesia tidak dapat terlepas dari peran PT Angkasa Pura. Itu nama badan usaha milik negara pelopor pengusahaan kebandarudaraan secara komersial di Indonesia. “Diinisiasi oleh Presiden Sukarno yang punya keinginan membangun pelabuhan udara nasional dan internasional di Indonesia,” ujar Gede Eka Sandi, Corporate Secretary PT Angkasa Pura I dalam acara “Ekspose Inventaris Arsip PT Angkasa Pura I (Persero): 1960—2011” yang diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada 19 November 2019.   Embrio Angkasa Pura bermula pada 1962. Saat itu, Presiden Sukarno baru kembali dari Amerika Serikat dan menyaksikan betapa modernnya bandara disana. Sukarno menegaskan keinginannya kepada Menteri Perhubungan dan Menteri Pekerjaan Umum agar lapangan terbang di Indonesia setara dengan bandara negara maju. Ekspose Inventaris Arsip PT Angkasa Pura I (Persero): 1960—2011” yang diselenggarakan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) pada 19 November 2019. Foto: Dok. Direktorat Pengolahan ANRI. Pada 15 November 1962, dibentuklah Perusahaan Negara (PN) Angkasa Pura Kemayoran yang bertugas membangun dan mengelola Bandara Kemayoran di Jakarta. Bandara Kemayoran ini sekaligus menjadi pelabuhan udara Indonesia pertama yang dibuka untuk rute penerbangan internasional. Pada 20 Februari 1964, PN Angkasa Pura Kemayoran mengambil alih aset dan operasional Bandara Kemayoran. Tanggal itu sekaligus diperingati sebagai hari jadi perusahaan.   PN Angkasa Pura Kemayoran kemudian berganti nama menjadi PN Angkasa Pura. Pergantian ini sehubungan dengan pembangunan bandara di kawasan Indonesia yang lain. Setelah Kemayoran, Angkasa Pura membangun Bandara I Gusti Ngurah Rai (Denpasar), Halim Perdanakusumah (Jakarta), Polonia (Medan), Juanda (Surabaya), Sepinggan (Balikpapan), dan Sultan Hasanuddin (Ujung Pandang). Pada 1974 status badan usaha Angkasa Pura diubah menjadi perusahaan umum (perum). Seiring waktu wilayah operasional Angkasa Pura kian meluas. Pada 1986, Angkasa Pura diubah menjadi Perusahaan Umum Angkasa Pura I. Hal ini sejalan dengan dibentuknya Perum Angkasa Pura II - sebelumnya bernama Perum Pelabuhan Udara Cengkareng – yang secara khusus bertugas mengelola Bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Pada 1992, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 5, Perum diubah menjadi Perseroan Terbatas (PT) yang sahamnya dimiliki penuh oleh negara. Sesuai peraturan ini, Angkasa Pura berganti nama menjadi PT. Angkasa Pura I. PT Angkasa Pura I mengelola bandara di regional Indonesia tengah dan timur. Sementara itu, PT Angkasa Pura II mengelola bandara di Indonesia kawasan barat Hingga kini, PT Angkasa Pura I mengelola 15 bandara sedangkan PT Angkasa Pura II mengelola 16 bandara. Di luar sektor penerbangan, Angkasa Pura juga meluaskan sayap usahanya. Anak usaha Angkasa Pura meliputi bidang logistik, properti, perhotelan, dan retail. Pada 2014 dan 2018 PT. Angkasa Pura I menyerahkan arsipnya ke pihak ANRI. Menurut Sarip Hidayat, Direktur Pengolahan ANRI arsip yang diserahkan terdiri dari 83 boks arsip tekstual, 2890 arsip foto 2890 lembar, 4000 frame arsip foto negatif, dan 293 slide arsip fotoslide . Selain itu, terdapat pula arsip-arsip visual berupa dokumentasi video. Arsip-arsip tersebut mengurai perjalanan Angkasa Pura sepanjang setengah abad mulai dari berdiri sampai 2011.   Kepada Historia, arsiparis ANRI, Jajang Nurjaman yang mengelola arsip Angkasa Pura mengatakan arsip tersebut dapat segera diakses publik. Menurutnya arsip ini punya nilai penting dalam merekam sejarah penerbangan maupun industri kedirgantaraan di Indonesia. Diperkirakan, arsip Angkasa Pura telah masuk layanan ANRI pada awal tahun depan. “Harapannya supaya banyak peneliti atau masyarakat umum yang mengakses arsip terkait kedirgantaraan Indonesia, dan sebagai gerbang masuk arsip statis lain yang masih disimpan oleh perusahaan atau individu yang terkait dengan sejarah penerbangan Indonesia,” kata Jajang.

  • Membaca Karya-Karya Sontoloyo

    Pada 1975, diadakan pameran lukisan dalam rangka pembukaan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang baru berdiri. Gubernur Ali Sadikin yang meninjau kesiapan pameran, tiba-tiba berhenti di depan sebuah lukisan karya Srihadi Soedarsono. Lukisan Srihadi menampilkan sebuah air mancur yang dikelilingi gedung-gedung pencakar langit. Gedung-gedung itu juga dipenuhi tulisan Hitachi, Toshiba, Banzai, Toyota, Sony, Dai Nippon, hingga Bakero. Lukisan yang diberi judul “Air Mancar” dan dibuat pada tahun 1973 itu menampilkan wajah ibu kota yang semrawut. Nampaknya Ali Sadikin geram melihat Jakarta dilukiskan penuh reklame perusahaan Jepang. Ia pun lantas mencoret-coret lukisan itu dengan tulisan, “Sontoloyo!!! Apa ini reklame barang2 Jepang.” Ia kemudian juga membubuhkan tanda tangannya. Lukisan itu akhirnya tidak jadi dipamerkan untuk menghindari kemarahan Presiden Soeharto yang akan membuka acara. Pengunjung menikmati karya-karya dalam pameran "Sontoloyo". (Fernando Randy/Historia). Kejadian itulah yang kemudian menginspirasi pameran Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bertajuk "Sontoloyo" di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki (TIM). Pameran ini menampilkan sepilihan koleksi DKJ dari pelukis seperti Basuki Resobowo, Dede Eri Supria, Djojo Gozali, Hardi, Ipe Ma’aroef, Ipung Gozali, Mardian, Muryoto Hartoyo, Nashar, Oesman Effendi, Rudi Isbandi, Wahyu Widjaja, dan Zaini. Pameran yang berlangsung mulai 15 hingga 30 November 2019 dikuratori oleh Bambang Bujono dan Lisistrata Lusandiana. Kedua kurator memilih karya-karya yang berkaitan dengan permasalahan urbanitas yang dibuat pada masa Orde Baru terutama pada dekade 1970-an hingga 1980-an. Pembacaan ulang atas karya-karya mereka ternyata memperlihatkan relasi antara seniman, kota, dan penguasa. Beberapa karya sketsa tahun-tahun itu tidak menunjukan gambaran kota yang realistis. Sementara itu garis-garis dan coretan abstrak nampaknya lebih menonjol. Pameran ini hendak membaca ulang perkembangan seni rupa masa Orde Baru. (Fernando Randy/Historia). “Semacam ada sesuatu yang mereka hindari. Yang dari bentuk, itu adalah menghindari bentuk yang realistis. Tentu saja ada pengaruh perkembangan seni rupa itu sendiri. Tetapi sebaliknya perkembangan seni rupa itu juga dipengaruhi oleh suasana lain-lain. Suasana politik, ekonomi dan sebagainya. Mengapa mereka menjadi asbtrak,” kata Bambang Bujono. Menurut Bambang, para perupa masa itu tidak ingin karyanya dihubung-hubungkan dengan sesuatu yang bisa diverbalkan. Hal ini berkaitan erat dengan peristiwa 1965. Bambang Bujono dan Lisistrata Lusandiana kedua kurator pameran Sontoloyo yang di gelar di TIM Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Pada masa sebelum tahun 1965, kebudayaan Indonesia termasuk senirupa didominasi oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Lekra dengan "politik sebagai panglima"-nya memiliki pengaruh kuat dalam perkembangan seni rupa kala itu. Pasca tragedi 1965, Lekra dilarang bersama PKI dan semua yang dianggap berkaitan dengan komunis. Masa-masa itu kemudian membawa "kebebasan" bagi para seniman yang kala itu merasa tidak bebas karena setiap karya harus politis. Pameran ini juga mempertanyakan ulang bagaimana urbanitas dibicarakan. (Fernando Randy/Historia). “Kebebasan kreatif itu dirayakan luar biasa, tetapi di bawah sadar sebetulnya ada satu ketidakbebasan, yang waktu itu belum terasa. Yaitu ketidakbebasan untuk, misalnya, mengkritik pemerintah. Kebebasan untuk berbicara seperti ketika tahun 65,” ujar Bambang. Bambang menambahkan, hal itu membuat para sketcher masa itu memiliki kecenderungan untuk mengingkari bentuk yang ada di depan mata. “Ada semacam escape , pelarian. Maka (karya) Pak Zaini misalnya, menjadi seperti abstrak,” ungkapnya. Sementara itu, karya-karya "sontoloyo" seperti milik Srihadi seringkali mendapat represi secara langsung. Salah satu contohnya adalah karya cetak saring seniman Hardi, eksponen Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) berjudul Suhardi Presiden R.I Th. 2001 (1979). Ketika dipamerkan dalam pameran pelukis muda se-Indonesia, karya itu diminta diturunkan oleh pihak keamanan dan menyebabkan Hardi ditahan dua hari di Laksusda Jakarta. Dalam pameran ini, karya-karya "sontoloyo" itu disandingkan dengan karya-karya pensketsa urban masa kini sebagai upaya melihat kembali perkembangan seni rupa Indonesia beserta segala masalah kreativitasnya. Lisistrata Lusandiana menambahkan, pemilihan karya kali ini juga didasari pada ajakan untuk mempertanyakan ulang bagaimana urbanitas dibicarakan serta apakah prosesnya telah berjalan demokratis atau belum.

bottom of page