Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Bastian Tito, Pendekar Cerita Silat
LARUT malam di rumah keluarga Bastian Tito. Anak-anak terlelap di kamarnya, sedangkan Bastian masih terjaga di depan mesin tik ruang kerjanya. Dia mengambil kertas dan memasukkannya ke mesin tik. Jarinya lincah menekan tuts huruf. “Suara ketikan beliau terdengar sampai ke kamar kami. Beliau mengetik kayak pakai 11 jari. Cepat sekali,” kata Vino Giovani Bastian, aktor sohor sekaligus anak bungsu Bastian Tito, bercerita tentang proses kreatif cerita silat (cersil) Wiro Sableng kepada Historia . Vino mengungkapkan dirinya saat itu masih berusia anak sekolah dasar. “Tahun 80-an ya, saya ingat Bapak saya itu menulis Wiro Sableng ketika anak-anaknya mulai tidur,” lanjut Vino. Bastian Tito lahir pada 23 Agustus 1945. Dia berdarah Minang dan merantau ke Jakarta sejak muda. Dia pindah untuk bersekolah dan mencari uang. Bakatnya berada di dunia aksara dan tumbuh sedari kelas 3 sekolah dasar. Bastian Tito menjajak pendidikan tinggi di Jakarta. Penampilannya setiap mau ke kampus atau tempat kerja selalu enak dilihat. Kemeja panjang, celana cutbray, dan sepatu bot mengilap lekat pada dirinya. Dia menyambi sebagai jurnalis di majalah hiburan Vista pada 1960-an untuk membiayai kuliah. Dan pada dekade yang sama pula, cersil pertamanya terbit. “ Wiro Sableng kali pertama terbit pada 1967,” kata Vino. Wiro Sableng bercerita tentang petualangan seorang lelaki muda bernama Wira Saksana untuk mencari makna hidup. Dia lihai bersilat, hasil tempaan bertahun-tahun dari Sinto Gendeng, gurunya. Sikapnya riang sehingga punya banyak teman, laki atau perempuan. Dia menggunakan kelihaiannya bersilat untuk menolong orang lemah dan menegakkan keadilan. Tapi di sebalik itu, Wira Saksana punya perilaku serampangan: asal bertindak dan sering bercanda dalam situasi genting, bahkan dengan musuh. Kadang dia labil, lain waktu malah kekanak-kanakan. Tingkahnya lebih mirip seorang tak waras atau sableng. “Karakter jenaka Wiro ini mirip Bapak. Kadang serius, kadang jenaka. Tapi ini bukan berarti bahwa Wiro itu Bapak saya,” kata Vino. Begitulah cara Bastian menampilkan jagoan utamanya. Seorang pahlawan dengan sifat-sifat urakan. Hati dan pikirannya berupaya condong pada kebenaran meski dengan cara tak lazim. Sebagai petualang, Wira Saksana menjelajah banyak negeri. Tidak hanya Jawa, melainkan juga Sumatera, Jepang, dan Tiongkok. Penggambaran Bastian terhadap tempat, budaya, dan masyarakat di tempat-tempat tersebut sangat detail. “Ya karena Bapak saya itu sebelum menulis, pasti riset. Tempat-tempatnya, sejarahnya, dan budayanya. Macam-macamlah. Mungkin ini terbentuk dari latar belakangnya yang seorang jurnalis,” ungkap Vino. Bastian tak secara khusus menyediakan waktu untuk riset lapangan. “Pokoknya setiap kali dia mengajak keluarga jalan-jalan, itulah juga waktu risetnya,” lanjut Vino. Selain riset lapangan, Bastian membaca buku tentang sejarah dan kebudayaan Jawa. “Bapak juga punya banyak kamus,” kata Vino. Ini menambah daya pikat cersil Wiro Sableng . Kelebihan lain Bastian ialah bahasa plastis dan kreatif. Misalnya Bastian mengambil nama-nama unik untuk tokohnya seperti Pangeran Matahari, Dewa Tuak, Bujang Gila Tapak Sakti, Tua Gila, dan Kakek Segala Tahu. Lebih menghibur lagi nama-nama jurus seperti Kunyuk Melempar Buah, Pukulan Matahari, dan Membuka Jendela Memanah Rembulan. Kekuatan cerita silat Semua ciri-ciri tadi mengingatkan orang pada cersil-cersil sebelum Wiro Sableng . Menurut sastrawan Ajip Rosidi cersil mempunyai sejumlah ciri antara lain ketegangan, realitas, dan bahasa yang hidup. Ketegangan terbentuk dari konflik fisik antar tokoh di cersil. Untuk membangkitkan ketegangan, detail perkelahian menjadi unsur penting. Penulis cersil harus mampu memainkan imajinasi pembaca pada seputar bunyi dan gerakan golok, tombak, dan pukulan. “Tapi tidak semua cerita silat itu hanya terdiri dari ketegangan melulu,” tulis Ajip dalam “Cersil yang Tegang, Plastis, dan Hidup Bahasanya Hendaknya Diperhatikan Ahli Sastra Indonesia”, termuat dalam Star Weekly , 8 Februari 1958. Hal menarik lainnya dari cersil terletak pada realitas cerita. “Semua kepandaian jago-jago adalah hasil latihan sekian puluh tahun dan bukan semata-mata keajaiban suatu ajimat,” lanjut Ajip. Segi realitas lainnya tergambar pula pada karakter para tokoh cersil. Pahlawan tak selalu sempurna. Ada juga yang kurang ajar. “Manusia-manusia dengan suka duka, percintaan, kekurangajaran, kepatriotan, tak ubahnya dengan suatu roman biasa,” catat Ajip. Segi menarik terakhir cersil berada pada kekuatan bahasa. Ajip menyebut satu nama beken: Oey Kim Tiang. Dia keturunan Tionghoa dan penyadur mumpuni cersil negeri Tiongkok. “Para sastrawan tertarik pada cerita-cerita silat buah tangannya, terutama karena bahasanya yang plastis,” tulis Ajip. Bisa dibilang bahasanya bukan bahasa sekolahan. Sederhana tanpa banyak bunga, tapi mampu menghidupkan dialog, deskripsi tokoh, dan pertempuran. Sementara itu, menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2 , cersil mempunyai kekuatan pada tema pencarian makna hidup para tokohnya. “Dengan menerima kehidupan sebagai pengembara dengan segala gangguan yang diakibatkannya (jangan bicara tentang berumah tangga tetap), manusia melepaskan dirinya dari beban ruang dan mendaki jaringan yang lebih tinggi itu yang memungkinkannya melakukan kebajikan, sampai akhirnya menemukan rahasianya,” tulis Lombard. Apa yang diungkap oleh Ajip Rosidi dan Denys Lombard termuat dalam karya Bastian Tito. Seperti karya-karya cersil sebelumnya yang memuat unsur-unsur terbaik cersil, Wiro Sableng cepat memperoleh tempat di banyak orang. Ia bertahan lama sekali di memori pembaca. B. Rahmanto, seorang pengajar Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, bahkan menyarankan Wiro Sableng agar masuk ke sekolah sebagai jembatan antara pengajaran dan pembelajaran sastra pada 1996. Menurutnya pengajaran berbeda dari pembelajaran. Pengajaran selalu berupa instruksi satu arah dari guru ke murid berdasarkan kurikulum, sedangkan pembelajaran turut melibatkan kreativitas siswa. Untuk menjembatani pengajaran dan pembelajaran itu, karya seperti WiroSableng perlu digunakan di sekolah. “Karya itu ada dan banyak diminati orang. Mengapa tidak digunakan untuk menjembataninya,” kata B. Rahmanto dalam Pertemuan Ilmiah Nasional VII Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HIKSI) pada September 1996, termuat di Kompas , 5 September 1996. Saat bersamaan, Wiro Sableng mengalami ekranisasi atau pemindahan cerita bacaan ke dalam bentuk film. Wiro Sableng mulai tampil di layar kaca setiap hari Minggu pada 1996. Ini sebenarnya bukan kali pertama. Wiro Sableng pernah pula hadir di layar bioskop pada 1988, tapi kurang berhasil. Sementara sinetronnya di layar kaca berhasil menawan perhatian penonton. Ratingnya, menurut Kompas , termasuk tiga besar dalam acara Minggu. Vino bilang ayahnya merasa terhormat dengan segala alih-media karyanya. “Bapak tidak pernah mengatur harus begini, harus begitu. Karya seni tak bisa dibatasi. Beliau memberi kebebasan pada setiap orang untuk menafsir karyanya sepanjang tidak meninggalkan karakter dan ceritanya,” kata Vino. Meski Bastian telah meninggal dunia pada 2006, para pembaca Wiro Sableng berupaya tetap hidup bersama dengan cerita Wiro Sableng . Dan pada 30 Agustus nanti, Wiro Sableng akan menyapa para pembacanya dalam bentuk film bioskop. Vino, sebagai aktor pemeran tokoh Wiro sekaligus anak mendiang Bastian Tito, berharap bapaknya bisa menyaksikan dari jauh di alam sana. “Saya berharap Bapak senang dan bangga ada anak-anak muda yang melestarikan kembali karyanya. Inilah wujud penghormatan kami. Terimakasih atas karya besarnya, terimakasih Bapak Bastian Tito,” tutup Vino.
- Kerajaan Misterius di Pulau Sumatra
SRIWIJAYA tak lagi disebut dalam sumber luar negeri maupun prasasti lokal pada abad ke-14. Kerajaan itu telah bergeser ke pedalaman di hulu Sungai Batang Hari di mana raja Adityawarman meninggalkan arca dan prasasti dari tahun 1347. Setidaknya ada tiga kerajaan semenjak nama San-fo-tsi itu tak lagi kondang, yaitu Kerajaan Dharmaçraya, Palembang, dan Minangkabau. Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam , Kerajaan Minangkabau didirikan oleh Adityawarman setelah berangkat ke Sumatra pada 1339. Sebelumnya, sebagaimana disebut Prasasti Manjusri (1341 M) di Candi Jago, dia menaklukkan Bali bersama Gajah Mada. Sebenarnya, Adityawarman adalah putra Majapahit, keturunan Melayu. Dia keturunan Mahamantri Adwayawarman. Darah Melayu dari Dara Jingga, putri Kerajaan Dharmaçraya. Namun, Adityawarman tidak berhasil menjadi raja di Dharmaçraya, tempat kakeknya memerintah. Di sana sudah ada raja keturunan Tribuwanaraja Mauliwarmadewa. “Adityawarman lalu mendirikan kerajaan baru di Pagaruyung,” tulis Slamet. Dari prasasti yang banyak ditemukan di daerah Minangkabau, dapat diketahui pada pertengahan abad ke-14 ada raja yang memerintah di Kanakamedinindra (raja pulau emas). Namanya Adityawarman. Pada 1347, setelah meluaskan kekuasaannya sampai Pagaruyung, Minangkabau, Adityawarman mengangkat dirinya menjadi maharajadhiraja bergelar Udayadityawarman atau Adityawarmodaya Pratapaparakramarajendra Maulimaliwarmadewa. Sebelum Adityawarman datang, telah ada dua kerajaan yaitu Dharmaçraya dan Palembang sebagai pelanjut kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Keberadaan kerajaan itu diperkuat catatan dari Dinasti Ming. Kronik ini membedakan kerajaan Melayu dan San-fo-tsi. “Yang dimaksud dengan Kerajaan Melayu adalah kerajaan di daerah Jambi. Pusatnya di Dharmaçraya. San-fo-tsi ada di Palembang bekas Sriwijaya,” jelas Slamet. Sejarawan Anthony Reid dalam berpendapat, kemungkinan kerajaan Budha Raja Adityawarman memberi jalan bagi munculnya tradisi kekuasaan raja di Sumatra Barat bagian tengah. “Tradisi itu hidup berdampingan tetapi kurang harmonis dengan masyarakat Minangkabau yang matrilineal dan pluralistik,” tulis Reid. Sekira tiga abad setelah masa Adityawarman, raja-raja Minangkabau di Pagaruyung dikenal punya kharisma kuat bagi masyarakat pesisir, hampir di seluruh Pulau Sumatra. Sejak tahun 1660-an perwakilan Belanda di pantai barat Sumatra mulai berurusan dengan raja-raja itu, di sebuah tempat yang disebut “Negeri”. “Sementara Belanda yang menguasai Melaka untuk VOC setelah 1641 mengetahui, meski samar tentang penguasa Minangkabau di tempat yang mereka sebut Pagaruyung,” kata Reid. Thomas Diaz, salah satunya. Dia yang bekerja pada VOC, diutus Gubernur Belanda untuk Melaka, Cornelis van Quelbergh, pada 1683 pergi ke hulu Sungai Siak untuk menjalin hubungan dengan Raja Minangkabau. Peneliti masa kini, kata Reid, menyatakan kalau deskripsi Diaz tentang Pagaruyung tak sesuai dengan lokasi Pagaruyung modern di Sungai Selo, Tanah Datar. Sementara Pagaruyung yang dideskripsikan Diaz terletak jauh ke timur di Sungai Sinaman, antara Buo dan Kumanis. “Kemungkinan nama Pagaruyung dipindahkan ke lokasi sekarang, sekira akhir abad ke-17, sebagai persaingan kekuasaan yang dulu terjadi antara beberapa cabang kerajaan,” jelas Reid. Dalam perjalanannya itu, Diaz menempuh banyak bahaya. Menurut catatannya, dia harus melewati hutan belantara, gunung terjal, rawa-rawa, dan tumbuhan berduri untuk sampai di istana raja. Catatan Marco Polo Pada masa yang lebih tua, keberadaan kerajaan-kerajaan selain Sriwijaya dicatat pula oleh Marco Polo. Catatannya dia buat berdasarkan perjalanannya bersama ayah dan pamannya yang merupakan pedagang Venesia. Kata Reid, sebenarnya Marco Polo memberikan deskripsi yang relatif akurat kepada Eropa tentang pesisir utara Sumatra, meski banyak yang tak percaya pada kisahnya. Pulau Sumatra atau yang disebut Marco Polo dengan “Jawa Kecil” adalah daerah di Asia Tenggara yang dia tinggali cukup lama pada 1290-an. Kunjungan keluarga Marco Polo kala itu bertepatan dengan pembentukan negara pelabuhan Islam pertama di sepanjang pantai utara Pulau Sumatra. Di awal catatannya, dia menyebut ada delapan kerajaan di Pulau Sumatra yang memiliki bahasa masing-masing. Namun, dia hanya menjelaskan empat kerajaan. Pertama, Kerajaan Ferlec atau Perlak. Penduduknya menyembah berhala. Karena sering berhubungan dengan pedagang Saracen yang berlabuh di sana, para penduduk kota menganut ajaran Muhammad. Sementara penduduk desa masih hidup seperti binatang. Kedua, Kerajaan Basman atau Peusangan. Warga Peusangan mengaku setia pada Kubilai Khan. Namun, mereka tak mengirim upeti kepada kaisar Mongol itu. Lokasi mereka yang terpencil sulit terjangkau oleh utusan Mongol. Mereka hidup tanpa hukum dan menganut hukum binatang buas dan kejam. “Tak ada satu pun tempat di seluruh Hindia atau pun di wilayah lain yang lebih liar pernah ditemukan manusia yang begitu kecil sebagaimana yang ada di sini,” catat Marco Polo. Ketiga, Kerajaan Sumatra atau Samudera, yang kemudian dikenal sebagai Pasai. Marco Polo dan keluarganya lima bulan di sana, menunggu cuaca yang mendukung untuk melanjutkan perjalanan. Penduduk di sana memuja berhala dan orang-orangnya liar. Mereka punya raja yang kaya dan sangat berkuasa. Sang raja pun menyatakan dukungan pada Khan Yang Agung. Keempat, Kerajaan Dragoian atau Pidie. Kerajaan ini punya raja dan bahasa sendiri. Masyarakatnya juga menyatakan dukungan pada Khan Yang Agung. Mereka menyembah berhala. Keadaan Pulau Sumatra sudah berubah ketika Ibn Batuta sampai ke Kerajaan Samudera Pasai pada 1345. Kota yang dia catat dengan nama Sumutra itu, sudah diperintah seorang sultan. Mereka punya kadi dan ahli hukum. Sang sultan juga rajin sembahyang Jumat. “Sebuah kota yang besar dan indah, yang dikelilingi dinding dan menara-menara kayu,” ujar Batuta dalam catatannya yang disusun sepuluh tahun kemudian dalam perjalanan kembali ke Maroko.
- Operasi Jayawijaya, Kisah Invasi yang Tak Terjadi
Mayor Jenderal Soeharto menjadi rombongan terakhir pasukan ABRI yang bergerak dari Ambon menuju Teluk Peling, tempat pertemuan satuan amfibi. Dia menumpang kapal patroli Angkatan Kepolisian diiringi kapal penyapu ranjau dan kapal anti kapal selam milik ALRI. Di gugusan pulau lepas pantai Sulawesi Tengah itu, Soeharto tiba pada 5 Agustus 1962. Reputasi sang jenderal selaku Panglima Komando Mandala dalam pertaruhan. Rakyat Indonesia akan memperingati hari kemerdekaan, sementara Irian Barat masih dikuasai Belanda. “Sesuai dengan tugas yang telah ditentukan, selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 1962 bendera Merah Putih harus sudah berkibar di Irian,” kata Soeharto kepada Ramadhan K.H dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Di Teluk Peling, semua unit armada laut yang tergabung dalam Angkatan Tugas Amfibi (ATA) 17 sudah siap siaga. Penyerbuan tinggal menunggu perintah Panglima Tertinggi. Soeharto harap-harap cemas. Jakarta masih belum memberikan keputusan. Perang terbuka di depan mata sementara jaminan menang belum pasti. “Kita ini hanya mampu menyusun satu kali kekuatan pukul yang terdiri atas darat, laut, dan udara. Lebih dari itu tidak bisa. Kita tidak punya cadangan” kata Soeharto kepada seluruh pasukannya. “Ibarat pertandingan tinju: sekali pukul dengan semua tenaga yang ada dan musuh harus KO.” Sandi Operasi: Jayawijaya Memasuki tahun 1962, pemerintah Belanda menolak berunding soal Irian Barat dengan Indonesia. Untuk memukul Belanda, sebuah operasi militer gabungan skala besar dipersiapkan. Operasi ini direncanakan di Markas Komando Caduad (kini Kostrad) di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat pada Februari 1962. Di Markas Caduad terjadi perdebatan. Sebagian menghendaki kota industri minyak Sorong sebagai target penyerbuan. Sebagian lagi mengehendaki pulau Biak. Alasannya, Biak merupakan jantung pertahanan Belanda di Irian Barat. Pemilihan Biak memang sangat riskan. Di sana, militer Belanda memusatkan kekuatan Angkatan Laut sekaligus basis Angkatan Udara-nya. Menurut Julius Pour dalam Konspirasi Di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul , markas operasional pasukan Belanda sengaja ditempatkan di Biak, berhadapan langsung dengan wilayah Republik Indonesia. Untuk menentukan target operasi diadakan rembug bersama Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI), Mayor Jenderal Ahmad Yani. KOTI memutuskan Biak sebagai sasaran operasi besar-besaran (B-1). Sedangkan hari-H operasi ditetapkan bulan Agustus 1962. Kode operasi diberi sandi: Jayawijaya. Menurut Amir Machmud, Kepala Staf Gabungan II (bidang operasi) Komando Mandala, Soeharto sendiri yang menamai sandi Jayawijaya merujuk puncak tertinggi di Irian Barat. Selanjutnya, diadakan pembagian tugas masing-masing pimpinan komponen Mandala. Komodor (AL) Soedomo memimpin operasi amfibi; Brigadir Jenderal (AD) Rukman memimpin operasi pendaratan; Kolonel (AU) Leo Wattimena memimpin serangan udara. Sementara Panglima Mandala Mayjen Soeharto akan memimpin langsung operasi penerjunan ( airborne ). Skema Operasi Jayawijaya. Pulau Biak menjadi target invasi. Foto: Pusat Sejarah TNI Dalam buku SejarahOperasi-operasi Pembebasan Irian Barat karya M. Cholil, Operasi Jayawijaya akan diawali dengan serangan sporadis dari satuan lintas udara. AU Mandala mengincar basis militer vital di Biak lewat serangkaian pemboman dan penembakan. Selanjutnya, pasukan-pasukan komando melakukan penyerbuan serta pemburuan bebas oleh AL Mandala. Setelah Biak dikuasai, maka pusat pemerintahan di Kotabaru (Jayapura) harus direbut. Menurut rencana, hari-H jatuh pada tanggal 12 Agustus 1962. Namun karena perhitungan cuaca, mundur menjadi 14 Agustus. “Pokoknya sebelum Hari ulang tahun ke-17 Proklamasi Kemerdekaan, Irian Barat sudah harus di tangan Republik Indonesia,” ujar Amir Machmud dalam Otobiografi H. Amir Machmud: Prajurit Pejuang. Operasi Jayawijaya mengerahkan hampir seluruh kekuatan inti TNI. Dari AD, sebanyak dua puluh ribu pasukan dari berbagai divisi diturunkan. AL menyumbang 126 kapal meliputi: buru torpedo, kapal selam, kapal fregat, buru selam, kapal cepat torpedo, penyapu ranjau, tangker, kapal rumah sakit, termasuk 33 kapal pengangkut, dan tiga batalion (sepuluh ribu) pasukan elite marinir Korps Komando. Sedangkan AU mempersiapkan pesawat tempur tercanggih yang dibeli dari Uni Soviet antara lain: 38 unit bomber TU-16, 18 unit MIG-17, 6 unit P-51/Mustang, 1 Skuadron Gannet, dan 6 unit Albatros. “Operasi ini melibatkan personil pasukan sebanyak 70.000 orang,” tulis Saleh Djamhari dan tim pusat sejarah ABRI dalam Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat. Batal Seketika Di saat Soeharto hendak melaksanakan misinya, tetiba keluar perintah untuk menunda operasi. Di belahan bumi yang lain para negosiator Indonesia beraksi. Atas tekanan Amerika Serikat (AS), Belanda bersedia berunding dengan Indonesia. Pada hari-H Operasi Jayawijaya, 14 Agustus yang jatuhnya sama dengan 15 Agustus waktu New York, berita menyerahnya Belanda di meja diplomasi terdengar di Ujungpandang, Markas Komando Mandala. Perundingan yang dimediasi pemerintah AS dan PBB itu berbuah Perjanjian New York yang mengakhiri sengketa Irian Barat. Hasilnya, wilayah Irian Barat akan berada di bawah pemerintah Indonesia sedangkan Belanda harus angkat kaki. Pemerintahan transisi berlaku hingga pertengahan 1963. Kendati urung dieksekusi, persiapan Operasi Jayawijaya turut menentukan posisi tawar Indonesia. Menteri Luar Negeri Soebandrio, delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York setidaknya mengakui hal ini. Dalam Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat , Soebandrio menuturkan, pesawat U-17 milik AS melintas dua kali ketika aktivitas militer TNI kian meningkat di Irian Barat. Pengintaian itu sengaja dilakukan. Potret dari udara memberikan gambaran betapa perang siap pecah. “Hasil pemotretan itu yang benar-benar memperlihatkan bagaimana Irian Barat sudah dikepung oleh armada Angkatan Laut Indonesia yang siap menyerang,” kata Soebandrio. Kesepakatan damai antara Indonesia dan Belanda ditindaklanjuti dengan genjatan senjata. Presiden Sukarno memerintahkan pengehentian permusuhan yang berlaku sejak 18 Agustus pukul 19.31 waktu Irian Barat. Seminggu kemudian, Mayor Jenderal Soeharto secara resmi membatalkan Operasi Jayawijaya.
- Peran Ulama dalam Kerajaan Islam di Nusantara
PADA masa jaya kerajaan-kerajaan Islam, peran ulama menonjol sebagai bagian dari pejabat elite. Fungsinya memperkokoh kedudukan pemimpin yang duduk di singgasana. Di Asia Tenggara, apalagi Nusantara, hubungan erat raja dan ulama bukan hal yang aneh. Contohnya di Kerajaan Samudera Pasai. Ayang Utriza Yakin dalam Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX M menulis, di Samudera Pasai, pemerintah Islam menunjuk ulama yang punya kemampuan mumpuni sebagai mufti resmi. Itu berdasarkan keterangan Ibnu Batutah yang pernah tinggal selama 15 hari di Samudera Pasai pada 1345. Dalam catatannya, al-Rihlat, Batutah menyebut fungsi mufti sangat penting dalam kesultanan. Sang mufti biasanya duduk dalam ruang pertemuan bersama dengan sekretaris, para pemimpin tentara, komandan, dan pembesar kerajaan. Sistem itu, kata Ayang, agaknya dibawa dari kebiasaan di Kesultanan Perlak (Peureulak). Kerajaan Islam di Aceh itu punya majelis fatwa yang dipimpin seorang mufti. Ia menangani persoalan hukum agama. Jabatannya itu di atas kementerian kehakiman. “Sistem itu berlanjut hingga ke masa pembentukan Kesultanan Samudera Pasai,” kata dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu. Gambaran jelas keberadaan ulama di tengah politik kerajaan muncul pada abad 16. Salah satunya Hamzah Fansuri, ulama Melayu Nusantara yang peninggalannya relatif lengkap mencakup biografi dan karya keislaman. Selain itu, ulama terkemuka yang meninggalkan karya monumental antara lain Shamsuddin al-Sumaterani (1693), Nuruddin ar-Raniri (1658), Abdul Rau’f al-Sinkili (1693), dan Yusuf al-Makassari. Pada abad 18 muncul Abd. Samad al-Falimbani dan Syekh Daud al-Fatani. Dosen sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jajat Burhanudin menjelaskan, kehadiran ulama Melayu Nusantara sebagai bagian dari elite kerajaan lebih memperlihatkan gejala kota. “Mereka menjadi satu kelompok sosial yang termasuk elite kota dengan sejumlah keistimewaan karena pengetahuannya di bidang ilmu keislaman,” kata Jajat. Dalam bukunya, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, Jajat menulis, para ulama senantiasa di samping raja untuk memberi nasihat spiritual sekaligus memberi legitimasi politik di tengah rakyatnya yang beralih menjadi muslim. Kadi Dalam bidang hukum, ulama memegang peran sentral dalam membuat regulasi dan menentukan kehidupan keagamaan umat Islam. Mereka sebagai kadi atau penghulu di Jawa. Lembaga Kadi makin mapan pada abad 17 di Kerajaan Aceh. Tak hanya memberi legitimasi dan nasihat kepada raja seperti di Kerajaan Malaka, para kadi juga menjalankan hukum Islam di kerajaan. Kadi di Aceh mulai berdiri pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kerajaan Aceh juga memiliki lembaga Syaikhul Islam yang berada langsung di bawah raja. Lembaga ini mempengaruhi kebijakan raja dalam masalah sosial dan politik. “Orang-orang yang bertanggung jawab di lembaga ini adalah ulama Aceh terkemuka,” kata Jajat. Informasi soal lembaga itu, salah satunya, didapatkan lewat catatan perjalanan perwakilan khusus Inggris ke Aceh pada 1602. Sir James Lancaster, menggambarkan Hamzah Fansuri, Syaikhul Islam waktu itu, sebagai uskup agung. Dia diangkat raja untuk memimpin perundingan damai dan persahabatan antara Aceh dan Inggris. Jajat mencatat, Nuruddin ar-Raniri sempat pula mengepalai Syaikhul Islam. Dia pernah menengahi protes keras Belanda atas regulasi perdagangan kerajaan yang menguntungkan pedagang Gujarat. Dengan otoritasnya itu, dia berhasil meyakinkan raja, Safiyyatuddin (1641-1675), untuk menarik regulasi itu. “Aceh merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki lembaga resmi ulama. Raja-rajanya memberi ulama kesempatan untuk terlibat dalam wilayah yang melampaui urusan keagamaan,” tulis Jajat. Di Jawa, lembaga itu bisa ditemui di Kerajaan Demak. Dalam menjalankan pemerintahannya, sultan-sultan Demak dibantu para ulama. Mereka bertindak sebagai ahlulhalli walaqdi. Lembaga itu menjadi wadah permusyawaratan kerajaan yang punya hak ikut memutuskan masalah agama, kenegaraan, dan segala urusan kaum muslimin. Sunan Giri pernah menduduki ahlulhalli walaqdi. Di ia berwenang mengesahkan dan memberi gelar sultan pada penguasa kerajaan Islam di Jawa. Dia juga menentukan garis besar politik pemerintahan dan bertanggung jawab di bidang keamanan muslim dan kerajaan Islam. Dia juga berhak mencabut kedudukan sultan bila menyimpang dari kebijakan para wali. Legitimasi Kekuasaan Tak hanya sebagai penasihat raja, para ulama juga menjadi penerjemah Islam ke dalam sistem budaya Indonesia. “Dalam tugas itu, ulama berkontribusi dalam memberi legitimasi pada budaya politik Melayu berorientasi kerajaan,” jelas Jajat. Karya intelektual para ulama menjadi sumber legitimasi bagi kerajaan. Salah satunya Ar-Raniri yang memiliki pandangan lebih rinci tentang hubungan ulama-raja. Lewat karyanya, Bustan us-Salatin yang ditulis sekira 1630-an dan didedikasikan kepada Iskandar Thani, dia menjabarkan cara seorang ulama neo-sufi berhadapan dengan isu politik kerajaan. Ar-Raniri menekankan untuk mematuhi raja sebagai sebuah kewajiban agama. Kepatuhan pada raja sama saja dengan mengikuti perintah Tuhan. “Dengan cara ini, para raja diberikan otoritas politik yang sah, yang harus diakui oleh umat Islam,” tulis Jajat. Karenanya, kata jajat, Islam telah memberi sumbangan bagi pembentukan kerajaan absolut di dunia Melayu-Indonesia prakolonial. Semakin mapan ulama dalam elite kerajaan, makin mantap Islam sebagai ideologi politik kerajaan. Pada periode itu, tercatat raja-raja absolut seperti Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Thani di Aceh, Sultan Agung di Mataram, dan Sultan Hasanuddin di Makassar. “Bisa diasumsikan sejumlah ulama juga tampil mendukung politik kerajaan absolut,” tegas Jajat.
- Korea Merajut Persatuan Lewat Olahraga
STADION Utama Gelora Bung Karno menjadi saksi bisu momen bersejarah Sabtu, 18 Agustus 2018, lalu. Bukan hanya soal upacara pembukaan Asian Games XVIII nan mengagumkan, namun juga momen bersatunya dua bangsa Korea –Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut). Dalam defile kontingen, para atlet kedua negara berjalan bersama sambil menyapa puluhan ribu hadirin. Mereka mengenakan busana santai bercorak putih-biru plus bendera unifikasi berwarna dasar putih bermotif Semenanjung Korea berwarna biru. Saat kontingen istimewa itu berlalu di tengah arena, seketika Wakil Perdana Menteri (PM) Korut Ri Yong-nam dan PM Korsel Lee Nak-yeon bangun dari kursi lantas bergandengan tangan sambil melambaikan tangan ke arah kontingen. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi ikut berdiri turut memberi hormat. Tak ketinggalan Presiden Joko Widodo ikut memberi tepuk tangan dan lambaian tangan. PM Korut Ri Yong-nam dan PM Korsel Lee Nak-yeon Bergandengan Tangan Menyapa Kontingen Unifikasi Korea “Ya seperti kita tahu, Indonesia sendiri turut mendukung unifikasi Korea,” tutur Rostineu, dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, kepada Historia. Presiden Olympic Council of Asia (OCA) atau Dewan Olimpiade Asia Sheikh Ahmad al-Fahad al-Sabah, mengapresiasi persatuan Korea di di Asian Games 2018. “Kita membuat sejarah hari ini…karena Korea Selatan dan Korea Utara bersatu dalam satu tim untuk bertanding di Asian Games 2018,” ujarnya dalam pidato di upacara pembukaan. Menyambung Tali Persaudaraan di Arena Dalam ranah politik, unifikasi lahir sejak 1969 dengan berdirinya Badan Unifikasi (kini Kementerian Unifikasi). Namun, upaya untuk bersatu yang lebih riil datang lebih dulu lewat olahraga. Momen itu terjadi saat perwakilan Korut dan Korsel bertemu di Hong Kong, 17 Mei 1963. Brian Bridges dalam Playing the Game? Sport and the Two Koreas memaparkan, kedua delegasi mencanangkan pembentukan sebuah tim bersama untuk tampil di Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo. Sayang, rencana itu tak mendapat lampu hijau dari Komite Olimpiade Internasional (IOC). Korea Bersatu Turunkan Tim di Cabang Basket Putri Asian Games 2018 (Foto: INASGOC) Titik masalahnya ada pada Korut. Enam atlet cabang atletik Korut masih dalam sanksi larangan ikut olimpiade gara-gara berpartisipasi di GANEFO (Games of the New Emerging Forces) I, event olahraga multicabang yang dibuat Presiden Indonesia Sukarno untuk melawan IOC, pada 10-22 November 1963. Dalam beberapa episode olimpiade maupun beberapa ajang lain, usulan serupa datang lagi. Hasilnya, setali tiga uang alias gagal di tengah jalan. Sedikit kemajuan baru datang di Asian Games XI Beijing 1990. Walau kembali gagal menurunkan tim bersama, persatuan Korea hadir dengan eksisnya bendera unifikasi. “Setelah di Asian Games (1990) itu, barulah ada tim bersama. Dimulai dari tenis meja tahun 1991 (World Table Tennis Championships 1991 di Jepang). Lalu ada sepakbola di Portugal (Piala Dunia Yunior 1991). Karena kalau bicara unifikasi, lebih mudah dengan olahraga ketimbang politik,” ujar Bae Dong-sun, penulis dan peneliti sejarah modern Korean Cultural Center, kepada Historia. Selain Basket dan Perahu Naga, Kontingen Korea Bersatu juga Menurunkan Timnya di Cabang Dayung (Foto: INASGOC) Di Kejuaraan Dunia Tenis Meja 1991, tim Korea Bersatu menghasilkan tiga medali: sekeping perak yang diraih Ri Pun-hui (tunggal putri) dan dua perunggu yang dikantongi Kim Taek-soo (tunggal putra) dan Kim Song-hui/Ri Pun-hui (ganda campuran). Sedangkan di Piala Dunia Yunior 1991, tim Korea menembus perempatfinal meski akhirnya dihentikan Brasil 1-5. Kendati sempat lama berhenti akibat ketegangan politik, momen persatuan kembali muncul di Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang 2018. Tim Korea Bersatu hadir lagi di cabang hoki putri. Kini, di Asian Games, tim Korea Bersatu turun di cabang basket putri, dayung dan perahu naga putra dan putri.
- Menjebak Antek Belanda via Asmara
UNTUK mempertahankan kemerdekaan yang dirongrong Belanda-NICA, para pejuang menempuh segala cara, termasuk dengan merekrut kembang desa untuk dijadikan penarik mangsa. Peran itu antara lain dimainkan oleh Marsilah, kembang desa berumur 16 tahun yang tinggal di Klitren Kidul, Gondokusuman, Yogyakarta. Paras ayu Marsilah membuat para pemuda desa, baik yang pro-Belanda ataupun pro-republik, berebut ingin jadi kekasihnya. Ikhsan, polisi pro-Belanda, salah satunya. Ikhsan, menurut Galuh Ambar Sasi dalam Gelora di Tanah Kraton, merupakan inspektur polisi yang terkenal kejam. Dia suka menyiksa bahkan membunuh pejuang yang ditangkap. Ia juga suka mempermainkan perempuan, punya banyak kekasih, dan tak segan memperkosa mereka. “Ikhsan selain pro-Belanda juga bukan lelaki baik. Ia sering memperkosa perempuan-perempuan.” kata Galuh pada Historia.id. Ketika Ikhsan mengajak Marsilah kencan, si gadis menurutinya. Namun sebelum kencan berjalan, Marsilah yang was-was dan tak ingin bernasib seperti para perempuan korban Ikhsan, menceritakan ajakan kencan tersebut pada gerilyawan bernama Kasbun. “Kebetulan, Kasbun yang pro-republik juga terpesona dengan Marsilah,” sambung Galuh. Kasbun terpaksa menekan perasaan cintanya dengan membujuk Marsilah untuk ikut mengiyakan ajakan Ikhsan. Dia membujuk Marsilah ikut dalam operasi bersandi Mapag Penganten, operasi yang dirancang Kasbun dan teman-temannya untuk menjebak Ikhsan. Mereka sudah lama gerah pada sepak terjang Ikhsan yang membunuh rekan-rekan seperjuangan mereka. Pada 15 Maret 1949, operasi dilaksanakan. Sambil berkencan, Marsilah mengarahkan target operasi ke tempat penjebakan. Mula-mula mereka berjalan-jalan di sekitar Toko Perak Tjokrosoeharto, Jeron Beteng. Kasbun beserta rekan-rekannya terus membuntuti kencan mereka dengan menyamar sebagai pegawai toko. Ikhsan yang sedang dimabuk asmara tak menaruh curiga pada Marsilah. Ketika Marsilah berhasil menggiring Ikhsan sampai ke Kampung Taman (daerah Taman Sari), dia langsung ditangkap Kasbun dan kawan-kawan. Kampung Taman terkenal sebagai markas pejuang di masa revolusi. Setiap orang pro-Belanda yang masuk ke daerah Taman Sari, dipastikan pulang hanya tinggal nama. Hal yang sama terjadi pada Ikhsan. “Ia diseret ke tengah Kampung Taman. Orang-orang mengulik informasi tentang pihak Belanda, lantas membunuhnya,” kata Galuh. Kabar kematian Ikhsan akhirnya sampai ke para pribumi pro-Belanda. Keesokan harinya, Marsilah beserta ayah-ibunya, juga Kasbun ditangkap lantaran menjadi dalang pembunuhan Ikhsan. Selama dipenjara, Marsilah mengalami penyiksaaan dengan disetrum dan mendapat pelecehan seksual. Marsilah baru dibebaskan pada 19 Maret 1949 ketika Bambang Sungkono, pemimpin kelompok Kasbun, menyerahkan diri. Sejak itu, “Kembang Klitren” memperoleh kembali kebebasannya. Namun, kisah tentangnya tertimbun dalam narasi besar sejarah.
- Korea Bersatu di Arena
LANGIT di atas Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) cerah Sabtu (18 Agustus 2018) malam itu, seolah tersenyum mengiringi gempita upacara pembukaan Asian Games XVIII. Banyak orang, termasuk media asing, mengagumi upacara pembukaan itu yang oleh beberapa pihak dianggap melebihi pembukaan Piala Dunia 2018, Olimpiade Musim Panas 2016 Rio de Janeiro, dan Olimpiade Musim Dingin 2018 Pyeongchang. Hal yang juga patut jadi perhatian lebih dalam adalah defile kontingen. Meski ada 45 negara yang terdaftar ikut, hanya 44 kontingen yang menyapa puluhan ribu penonton di stadion. Yang menarik, kontingen Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut) melebur jadi satu rombongan dengan satu bendera: bendera Unifikasi Korea atau Korea Bersatu yang berwarna dasar putih dengan motif Semenanjung Korea berwarna biru di tengahnya. Bendera itu diusung pebasket putri Korsel Lim Yung-hui dan pesepakbola Korut Ju Kyong-chol. Ketika rombongan mereka melintas di tengah arena, Perdana Menteri (PM) Korut Ri Ryong-nam dan PM Korsel Lee Nak-yong langsung berdiri, bergandengan tangan serta melambaikan tangan kepada kontingen. Selain kontingen tuan rumah, kontingen Korea yang mendapat sambutan paling ramai. Itu kali pertama kedua negara ber- defile sebagai satu kesatuan dan kali kedua bendera unifikasi muncul di pentas Asian Games. Bendera itu juga eksis di Asian Games 1990 di Beijing walau tak menaungi atlet manapun. Asian Games 2018 juga jadi kali kedua atlet-atlet dari kedua Korea tampil di bawah tim unifikasi setelah di Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang, 9-25 Februari 2018. Di Pyeongchang, tim Unifikasi Korea tampil hanya di cabang hoki putri. Di Asian Games 2018, tim Unifikasi Korea turun di cabang basket putri, perahu naga putra dan putri, serta dayung putra dan putri. Perang dan Rekonsiliasi Warga kedua Korea pernah saling bunuh dalam Perang Korea (1950-1953). Akibat perang itu, menurut data Kementerian Pertahanan Korsel tanggal 20 Januari 2013, sekitar 178 ribu serdadu Korsel, 750 ribu tentara Korut, dan 2,5 juta warga sipil di utara dan selatan tewas. Serdadu Korut dalam Perang Korea (Foto: Korean Central News Agency) Perang yang hanya dihentikan sementara lewat gencatan senjata itu juga mengakibatkan banyak keluarga hidup terpisah, seperti yang dialami keluarga Bae Dong-sun, penulis dan peneliti sejarah modern dari Korean Cultural Centre. “Mama saya aslinya dari (Korea) Utara. Waktu zaman perang, dia kabur ke (Korea) Selatan. Sampai sekarang, dia hidup terpisah dari orangtua dan keluarganya yang lain,” ujarnya kepada Historia. Di tataran akar rumput, banyak masyarakat Korea menginginkan reunifikasi. Keinginan itu mulai berhembus tahun 1969, kala Badan National Unifikasi (kini Kementerian Unifikasi) didirikan di masa kepresidenan Park Chung-hee. “Tentu ada pro dan kontranya. Soal ini sangat anti dibahas di zaman presiden sebelumnya, Rhee Syngman,” Rostineu, dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menimpali. Upaya unifikasi baru benar-benar diimplementasikan pada 1998, semasa Korsel diperintah Presiden Kim Dae-jung. Kim mengeluarkan Kebijakan Sinar Matahari yang bertujuan untuk mengambil hati pihak Korut dengan mendorong interaksi langsung terkait bantuan ekonomi. “Terus upaya unifikasinya dilanjutkan di era kepresidenan Roh Moo-hyun yang waktu itu meninggalnya bunuh diri. Presiden Roh juga sempat diterpa tekanan dari kubu oposisi yang menentang hubungan dengan Korut,” lanjut Rostineu. Isu tentang hubungan dengan Korut, kata Bae, masih sensitif di Korsel. “Di Korea Selatan, masyarakatnya sudah banyak yang ingin bersatu kembali. Kalau di pemerintahnya, tergantung siapa yang sedang berkuasa. Kalau pemerintah di Korut, saya tidak tahu persis bagaimana perhatian terhadap isu ini,” ujar Bae. Bae Dong-sun dari Korean Cultural Center (Foto: Randy Wirayudha) Di mata elit pemerintahan, olahraga tampaknya jadi sarana paling pas untuk rekonsiliasi. “Ketimbang politik atau ekonomi, olahraga paling mudah untuk memulai upaya persatuan lagi. Itu cara paling baik daripada konflik untuk bisa bersatu, terutama dengan keluarga yang terpisah di utara,” imbuhnya. Belakangan, hubungan kedua negara mulai erat. Terlebih setelah pemimpin Korut Kim Jong-un dengan Presiden Korsel Moon Jae-in menandatangani Deklarasi Panmunjom pada 27 April 2018. Deklarasi itu jadi tonggak sejarah baru upaya mengakhiri Perang Korea secara permanen.
- Karakter Pemimpin Muslim Ideal
RAJA yang memerintah rakyat dengan adil sama dengan orang yang pergi haji ke Makkah sebanyak enam puluh kali. Raja yang adil juga akan beroleh ganjaran dari Tuhan sebesar orang yang salat seribu kali. Begitulah Kitab Taj us-Salatin mengiming-imingi para sultan di masa lalu agar menjadi pemimpin yang baik. Dari 24 bab, sembilan bab berisi pedoman menjadi raja. Sejarawan Danys Lombard menjelaskan Taj us-Salatin berarti Mahkota Raja-Raja. Penulisnya menyebut diri Bokhari ul-Jauhari. Namanya bisa diterjemahkan menjadi "Bokhari si pandai emas" atau "Bokhari yang berasal dari Johor." “Dibuat pada 1012 H (1603/4 M), Taj al-Salatin merupakan sebuah persembahan bagi raja Sultan Alaudin Riayat Syah,” tulis Lombard dalam Kerajaan Aceh. Kitab itu memandang kekuasaan politik merupakan bagian tak terlepasakan dari agama. Terutama berkaitan dengan tugas pemimpin sebagai pengatur masyarakat. Bahkan disejajarkan dengan tugas kenabian, yaitu membimbing manusia ke jalan yang benar. Syaratnya sungguh tak mudah. "Kedua tugas ini harus ada dalam wewenang politik raja. Keduanya digambarkan sebagai 'dua permata dalam satu cincin'," kata Jajat Burhanudin, dosen sejarah UIN Syarif Hidayatullah. Dalam bukunya, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, Jajat menerangkan bahwa Taj us-Salatin memuat kriteria para raja. Mereka harus memiliki kualifikasi untuk menjalankan tugas-tugas politik maupun tugas kenabian. Adil dan Ihsan Yang termasuk dalam kualifikasi itu kalau sang raja mampu bersikap adil. Dijelaskan dalam kitab itu, adil berasal dari bahasa Arab, adl yang bermakna jujur. Ini merujuk pada kondisi moral dan kesempurnaan agama, di mana kebenaran muncul, baik dalam ucapan maupun tindakan raja. Sifat itu kemudian harus datang bersama ihsan (kebaikan). “ Adil didefinisikan sebagai hal terbaik bagi para raja, sehingga raja yang tidak memiliki kedua kondisi ini ( adil dan ihsan ) tidak dapat diakui sebagai raja yang sejati,” jelas Jajat. Taj us-Salatin kemudian juga mengklasifikasi konsep adil ke dalam beberapa kualitas yang harus dimiliki raja. Raja adil, kata teks itu, adalah yang selalu ingin menuntut ilmu pada ulama. Ia juga harus memperhatikan kondisi sosial rakyatnya. Pun senantiasa menganjurkan kebaikan dan melarang keburukan. Raja adil juga harus melindungi rakyatnya dari setiap kejahatan. Ia pun dituntut untuk mirip seperti para nabi dan wali dalam tugasnya. “Raja juga harus mengetahui rakyatnya berdasarkan rasio ( akal budi ), sehingga mampu membedakan antara baik dan buruk, antara kebahagiaan dan bahaya, dan antara adil dan yang tidak adil ," lanjutnya. Ditekankan pula dalam karya itu, raja setidaknya mengetahui ilmu kirafat dan firasat. Dengan ilmu itu, raja akan mampu memahami secara tepat karakter dasar manusia. Khususnya bagi orang-orang yang bakal diangkat sebagai pejabat resmi istana. Menurut Jajat begitu pentingnya konsep adiltidak hanya menjadi rumusan raja ideal. Konsep adil juga menunjukkan keberadaan kerajaan dan sumber stabilitas sosial kerajaan. “ Adil diletakkan dalam arah yang berlawanan dengan zalim atau situasi tirani,” jelasnya. Maksudnya, jika konsep adil dijadikan sebagai kriteria raja yang ideal, zalim merupakan kriteria bagi raja yang tak adil. Adapun konsep adil merupakan jaminan bagi keberadaan kerajaan yang stabil. Sementara zalim menjadi faktor utama bagi kekacauan dan kehancuran. Witjaksana Meski dikaitkan dengan istilah Arab, kata Jajat, konsep ini sesuai dengan budaya politik Nusantara. Meski dengan istilah berbeda, spirit adil dapat ditemukan dalam tradisi Jawa: witjaksana atau kawitjaksanaan. “Seperti adil , pengertian witjaksana juga menunjukkan kesempurnaan dalam diri seorang raja yang memerintah kerajaan,” katanya. Konsep witjaksana telah mapan di Nusantara pada abad ke-17 dan 18. Ia didefiniskan sebagai suatu kapasitas yang sangat dihormati dan langka. Itu tak hanya menganugerahi pemiliknya dengan tingkat pengetahuan yang sangat luas. Namun, juga kesadaran yang mendalam terhadap realitas dan kepekaan terhadap keadilan. Seperti juga adil,witjaksana adalah konsep politik Jawa untuk menunjukkan raja ideal yang memiliki kemampuan menimbang untung-rugi dalam suatu keputusan yang rumit. Bukan cuma itu, konsep ini juga berarti kepekaan yang tajam dalam membuat keputusan untuk mengendalikan situasi, khususnya dalam menjaga tata-kosmik. Taj us-Salatin juga menjadikan ajaran sufi untuk merumuskan nasihat moral bagi para raja. Teks itu meminta raja dan para pejabatnya agar selalu mengingat kiamat kehidupan di mana martabat dan kemakmuran yang mereka miliki akan lenyap. Lombard menduga karya itu kemungkinan besar sangat terkenal di Nusantara. Naskahnya ditemukan dalam jumlah besar. Apalagi pada abad 19 adaptasi naskahnya dibaca pula di Keraton Yogyakarta dan Surakarta. Tak hanya itu, pada masa Thomas Stamford Raffles menduduki Singapura, sultan di sana memerintah dengan mengacu pada Taj us-Salatin. Sekretaris Raffles, Abdullah Munsyi, juga menggunakannya ketika akan mengetahui watak sang letnan gubernur Inggris itu. Munsyi melakukannya dengan berpanduan pada asas ilmu firasat yang ditemukannya di Taj us-Salatin. " Taj us-Salatin adalah suatu teks tentang cermin bagi para raja di Nusantara. Rumusan nasihat moral bagi sikap politik raja menjadi substansi utama teks itu,” ujar Jajat.
- Sepakbola Palestina Merentang Masa
TAMPIL di hadapan sekitar 28 ribu pendukung tuan rumah di Stadion Patriot Candrabaga, Kota Bekasi, Rabu (15/8/2018), tim Palestina U-23 tak nampak tertekan. Abdallatif al-Bahdari dkk. serasa bermain di rumah sendiri. Sejumlah bendera Palestina dipajang, dikibarkan, bahkan dikoreografikan suporter timnas Indonesia U-23. Memang beberapa kali terdengar sorakan sumbang saat para pemain Palestina memegang bola. Tapi anehnya, sekali-dua kali turut terdengar nyanyian dukungan, “ Palestina…Palestina! ” dari suporter Indonesia. Apa yang terjadi di laga penyisihan Grup A cabang sepakbola putra Asian Games 2018 itu jadi bukti solidaritas bangsa Indonesia dan Palestina sangat erat. Indonesia sejak masa Presiden Sukarno sudah pasang badan di barisan terdepan mendukung kemerdekaan Palestina. Dari waktu ke waktu, bantuan terus disalurkan ke Tepi Barat maupun Jalur Gaza, termasuk pendirian Rumahsakit Indonesia di Palestina. Sejumlah Bendera Palestina Dibentangkan Suporter Indonesia (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Mau tak mau, perkara politik masuk ke arena. Kendati berulang kali PSSI (induk sepakbola Indonesia) mendenda klub-klub Liga Indonesia gara-gara suporternya membentangkan bendera Palestina, bendera Palestina tetap saja jadi panji kedua yang diusung para suporter di Stadion Patriot. Di konferensi pers pasca-pertandingan, pelatih timnas Palestina Ayman Sandouqa menghaturkan terimakasihnya. “Terimakasih untuk para suporter Indonesia yang mendukung kami meskipun kami melawan tim tuan rumah,” ujar Sandouqa. Suporter Indonesia memang menundukkan kepala lantaran tim pujaannya kalah 1-2 dari Palestina. Namun, itu tak melunturkan solidaritas begitu saja. Dari pengamatan Historia, sejumlah suporter Indonesia yang berkerumun di luar stadion pasca-pertandingan, ikut menyorakkan chant “Palestina” kala bus tim Palestina perlahan meninggalkan stadion. Pemain dan Pelatih Palestina dalam Preskon Pascalaga Berterimakasih atas Dukungan Suporter Indonesia (Foto: Randy Wirayudha) Buat Tim Garuda, hasil yang diperoleh memang menyakitkan lantaran punya target mencapai semifinal. Terlebih, Indonesia sudah lama menikmati kemerdekaan namun tetap inferior dari tim Palestina yang sampai detik ini masih dirongrong tetangganya, Israel. Lembar Sejarah Sepakbola Palestina Titik nol permainan si kulit bundar di Palestina dan Indonesia sebenarnya tak berbeda jauh. Induk sepakbola mereka berdiri pada 1928, tahun yang sama dengan berdirinya Persija Jakarta. Tapi jauh sebelum itu, sepakbola sudah menular di Palestina setelah dimainkan para serdadu Inggris di masa Perang Dunia I. Virus bola itu lalu menular ke masyarakat. Namun, menurut Richard Henshaw dalam The Encyclopedia of World Soccer , perkembangan sepakbola di Palestina pasca-Perang Dunia I justru bergulir hanya di kalangan orang-orang Yahudi. Orang-orang Arab muslim saat itu masih dilarang main bola karena dianggap budaya orang Barat. Alhasil, saat kewenangan Palestina di tangan British Mandatory, klub-klub yang berkembang hanya milik orang-orang Yahudi. Selain Maccabi Haifa, ada Hapoel Tel Aviv atau klub milik orang Inggris, The Gaza Flyers. Baru setelah itu klub-klub orang Arab Palestina lahir, salah satunya Islamic Sports Club. Klub milik keluarga Nusseibeh itu satu-satunya klub Arab Palestina di antara 14 tim Yahudi yang ikut mendirikan induk sepakbola Palestina, Palestine Football Association (PFA), pada 14 Agustus 1928 di Yerusalem. “Pada 1929 sebenarnya PFA sudah diterima sebagai anggota FIFA dengan pengajuannya direkomendasikan Mesir. Mereka diterima setelah PFA menggulirkan kompetisi yang diikuti klub-klub dari semua golongan. Strukturnya ada Divisi Utama dengan 10 tim, Divisi Dua dengan 20 tim, dan Divisi Tiga dengan 39 tim,” ungkap J. A. Mangan dalam Europe, Sport, World: Shaping Global Societies. Timnas Palestina Tahun 1931 yang Mayoritas Berisikan Pemain Yahudi (Foto: Israel Football Association) Laga internasional perdana timnas Mandatory Palestine terjadi saat menjalani laga persahabatan kontra Mesir di Kairo, 16 Maret 1934. Mereka datang dengan bendera Inggris dan lagu kebangsaan “God Save the King”. Di laga itu, Palestina dikoyak 1-7. Namun, sepeninggal Inggris pada 1948 semuanya berubah. Benih-benih konflik timbul. PFA yang awalnya menaungi semua klub dan pemain multi-etnis, sempat vakum dan kemudian diambilalih Israel. Namanya berubah jadi Israel Football Association (IFA). Pihak Palestina baru bisa membangun sepakbolanya lagi dengan terbentuknya Arab National Football League dan PFA baru pada 1962. Sebagaimana banyak negara yang baru atau ingin merdeka, Palestina mengajukan keanggotaan ke FIFA. Namun, banyak syarat yang menggagalkan upaya itu. Satu yang terpenting, soal pemerintahan (legitimasi politik). Hingga 1994, belum ada otoritas pemerintahan yang benar-benar berdiri di Palestina. Kondisi itu baru berubah setelah berdirinya Palestinian National Authority (PNA) yang lahir dari kesepakatan Palestine Liberation Organization (PLO) dengan Israel via Oslo Accords pada 1993. Tonggak baru bagi kehidupan masyarakat Palestina itu ikut masuk ke persepakbolaan. Pada 1998, Palestina diterima sebagai anggota FIFA dan resmi jadi anggota Asian Football Confederation (AFC) pada 2001. “Kompetisi pertama yang diikuti timnas Palestina setelah masuk FIFA adalah Pan-Arab Games 1999 di Yordania. Di bawah pelatih asal Argentina Ricardo Carugati, mereka tampil hebat dengan finis di urutan tiga,” tulis John Nauright dan Charles Parrish dalam Sports Around the World: History, Culture and Practice Volume 2. Namun karena wilayah negerinya terpisah dua, demi pembinaan dan pengembangan sepakbolanya PFA mesti menaungi dua liga: Liga Jalur Gaza dan Liga Tepi Barat. Perkembangan sepakbola di Palestina pun tak bisa semulus negara lain. Terlebih sejak adanya blokade Israel di Gaza yang sempat melumpuhkan aktivitas sepakbola di sana. “Pada umumnya Tepi Barat-lah yang kemudian jadi pusat baru persepakbolaan Palestina,” imbuh Nauright dan Parrish. Hampir semua fasilitas olahraga hancur akibat konflik berkepanjangan Palestina-Israel. Untuk berlatih atau bertanding di beragam kompetisi regional maupun internasional, timnas Palestina mesti mengungsi ke Yordania, bahkan kadang sampai ke Qatar. Penderitaan itu membuat FIFA beberapakali menggulirkan program bantuan, mulai “Goal”, pengembangan sepakbola, hingga bantuan rekonstruksi stadion-stadion di Palestina. Salah satunya, Stadion Faisal al-Husseini di Ramallah. Stadion yang hancur itu dibangun kembali dan diresmikan 26 Oktober 2008 oleh Presiden FIFA Sepp Blatter. Lewat Nota Kesepahaman yang ditandatanganani pada September 2013, FIFA juga membentukTim Khusus (Timsus) Israel-Palestina yang berisi perwakilan FIFA, IFA, dan PFA. “Fakta bahwa pihak Israel dan Palestina sepakat untuk berpartisipasi dana timsus ini, sudah jadi pertanda niat baik di antara keduanya dalam hal perdamaian,” kata Blatter di laman FIFA, 3 September 2013. Timnas Palestina U-23 di Stadion Candrabaga, Bekasi (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Meski realitanya Palestina masih direcoki Israel yang berulangkali menimbulkan banjir darah, timnas Palestina mulai bisa unjuk gigi dalam prestasi. Pada 2014, Palestina juara AFC Challenge Cup. Setahun kemudian, mereka lolos untuk kali pertama ke Piala Asia 2015 di Australia meski hanya berakhir di fase grup. Tak salah bila suporter Indonesia di Stadion Patriot respek pada mereka. Meski perang terus merundung Palestina, mereka mampu melangkah setapak demi setapak namun pasti. “Kita akui, Palestina memang satu level di atas kita,” ucap kiper timnas Andritany Ardhiyasa usai laga melawan Palestina.
- Topi Tangerang Masyhur di Negeri Orang
TERPILIHNYA KH Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden sedikit-banyak ikut memperbaiki citra Tangerang yang belakangan sering jadi pemberitaan miring akibat banyaknya kejahatan. Sejarah membuktikan, kejahatan di Tangerang memang banyak sudah sejak ketika wilayah itu masih bagian dari Ommelanden di masa kolonial. “Hasil perampokan individu di Ommelanden sering cukup besar,” tulis Margreet van Till dalam Banditry in West Java: 1869-1942. Kejahatan itu muncul sebagai ekses dari ramainya perniagaan di sana. Selain sebagai produsen beras, Tangerang merupakan wilayah industri kerajinan seperti genteng dan tembikar. “Yang terpenting, ada beberapa gubuk industri, terutama memproduksi tekstil dan topi,” lanjut Margreet. Topi anyaman Tangerang, baik yang berbahan bambu maupun pandan, amat populer di dunia internasional sebagai bagian dari jenis topi Panama. Saking populernya, topi Tangerang sampai dijadikan lambang kabupaten. “Topi Tangerang adalah barang ekspor yang cukup signifikan,” ujar Margreet. “Produksi topi di Hindia Belanda terpusat di dua wilayah Jawa. Distrik utama berada di sekitar Tangerang. Ketika harga menguntungkan dan tanaman padi sedang tak butuh perhatian, 200 ribu hingga 300 ribu lelaki, perempuan, dan anak-anak terlibat dalam mendapatkan dan menyiapkan serat pandan dan bambu dan merajutnya menjadi topi,” tulis konsulat perdagangan di Biro Perdagangan Luar Negeri dan Domestik dalam laporannya tanggal 31 Maret 1931, termuat dalam Commerce Reports Vol. 1. Industri topi di Tangerang berawal dari abad ke-19. “Seni pembuatan topi dari bambu diperkenalkan ke Jawa oleh seorang Cina. (Dia, red .) Datang dari Manila sekitar setengah abad lalu,” tulis Arnold Wright dalam laporan pandangan mata berjudul Twentieth Century Impressions of Netherlands India: Its History, People, Commerce, Industries, and Resources . Menurut laporan yang terbit pada 1909 itu, produksi topi berlangsung di rumah-rumah penduduk dan melibatkan seluruh anggota keluarga. “Beberapa anak kecil, hanya berusia lima tahun, mengambil pekerjaan tersebut.” Butuh waktu lama untuk membuat sebuah topi. “Seorang perempuan bisa menyelesaikan sebuah topi dengan kualitas layak, yang di pasaran bernilai 12 hingga 15 sen, dalam dua hari. Banyak topi memerlukan seminggu upaya pengerjaan tetap sebelum diselesaikan, sementara topi kualitas lebih baik terkadang perlu waktu dua hingga tiga bulan untuk menyelesaikannya,” tulis Wright. “Metode yang digunakan di Tangerang sangat berbeda dari yang digunakan di Eropa. Metode Tangerang dimulai dengan pembuatan mahkota (bagian atas, red .) yang pembuatannya sangat sulit dan membutuhkan keterampilan dan kesabaran tinggi, biasanya dipercayakan kepada penenun tertua dan paling berpengalaman,” tulis buku The Netherlands Indies Vol. 3. Proses produksi itu dipertunjukkan dan mendapat sambutan hangat di Exposition Universelle, Paris tahun 1889 dan Brussels International Exhebition tahun 1910. Di Paris, kontingen Hindia Belanda menampilkan “Kampung Jawa”, terdiri dari tiga gubuk Jawa berikut kehidupan keseharian di sekitar rumah-rumah itu. “Gubuk pertama ditempati oleh penganyam topi dan keluarganya. Tak jauh dari sana, tukang topi lainya membuat topi lain yang anyamannya tak kalah bagus, dengan jerami yang dipotong pipih memanjang. Seperti topi terkenal 'Panama' yang dianyam dengan kulit kaya Quillaja Peru, topi jerami dari Jawa yang mutu serta orisinalitasnya sama banyak digemari nyonya-nyonya Eropa,” tulis buku yang dieditori Bernard Dorleans, Orang Indonesia dan Orang Prancis Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX Populer Banyaknya topi berkualitas dengan harga miring di Tangerang menjadi surga bagi para pelancong Eropa, terutama asal Prancis, yang berkunjung ke Batavia. “Para perwira dan awak kapal uap Prancis membelinya dalam jumlah besar untuk dijual kembali dengan harga dua kali lipat. Banyak topi itu dibeli seharga dua gulden 50 sen di Batavia dan dijual seharga 12 franc di Marseilles, dijual kembali di Bordeaux seharga 30 franc, dan sekali lagi di Paris untuk harga 80 franc,” tulis Wright. Hal seperti itu pula yang dilakukan Petit Jan, pelancong-pebisnis asal Prancis. “Para pembeli besar ini pada gilirannya memberikan pinjaman kepada orang-orang yang berkeliling desa untuk membeli langsung kepada penduduk,” tulis The Netherlands Indies , Vol. 3. Saking besarnya jumlah topi yang diperdagangkan Jan, orang-orang sampai menamakan topi Tangerang dengan Topi Petit Jan. “Jan tidak tahu pasti setiap tahun berapa juta topi dikirim ke Paris. Langsung dilempar ke pasaran. Mungkin saja topi ‘Panama’ yang dibeli orang Belanda sebenarnya berasal dari Tangerang,” tulis HCC Clockener Brousson dalam Batavia Awal Abad 20 . Besarnya laba dari bisnis topi Tangerang membuat banyak perusahaan Eropa memilih terjun langsung ke Hindia ketimbang melulu membeli di Prancis. Olivier, Muller & Co., berkantor pusat di Paris, sampai membuka kantor cabang di Batavia dan Tangerang pada 1901. Dari Prancis, topi-topi Tangerang menyebar ke berbagai tempat lain di Eropa hingga Amerika. Di Inggris, menurut John G. Dony dalam A History of the Straw Hat Industry, “Topi-topi Jawa yang datang melalui Prancis sudah ditenun dan perlu dipetikan dan dirawat setelah mereka tiba.” Amerika menjadi pemain penting yang meningkatkan popularitas topi Tangerang. Di Saint Louis, topi-topi itu dipercantik sehingga ikut menentukan jalannya industri fesyen. “Bentuk topi-topi buatan tangan diimpor dalam bentuk setengah jadi dari Meksiko, Jawa, dan Jepang,” tulis Majalah Hearings , Vol. 5. Setelah selesai, topi-topi itu dijual dengan harga tinggi. Para aktor dan aktris yang memakainya ikut mendongkrak popularitas topi tersebut. “Di banyak negara lain, Roy Rogers muda dan Dale Evans sekarang mengenakan topi buatan tangan orang Jawa atau Indian Mesksiko yang dibentuk ulang, dilukis, serta dipotong di St. Louis.” Pemerintah Hindia Belanda tak menyia-nyiakan kesempatan mendulang laba dari bisnis topi. Promosi topi Tangerang digalakkan mulai 1910. “Topi anyaman pandan dan bambu merupakan industri rumahtangga penting di Hindia Belanda. Ekspor topi meningkat dari 23.538.000 di tahun 1928 menjadi 25.613.000 di tahun 1929,” tulis Commerce Reports Vol. 1. Namun, penyertaan anak-anak dalam proses produksi menjadi noda di balik bisnis topi Tangerang. Beberapa moralis Belanda menyorotinya. Thomas B Pleyte, Menteri Urusan Jajahan dari 1913-1916, menganggap industri tak lebih dari upaya pemiskinan pekerja. "Di rumah tangga yang tak memiliki sumber penghasilan lain selain menenun topi, semua dipaksa untuk membantu, termasuk anak-anak yang sangat kecil, dan satu temuan bahkan menunjukkan anak-anak paling kecil, yang masih tergantung pada perawatan ibu, sudah terpaksa jadi rekan-budak dalam perjuangan untuk makan sehari-hari," tulisnya sebagaimana dalam buku suntingan Becky Elmhirst dan Ratna Saptari. Dari segi ekonomi pun topi Tangerang dijual tanpa merk sehingga kesejahteraan para produsen tak pernah beranjak naik. “Padahal topi-topi dari bambu itu sangat ringan dan dianyam dengan rapi. Kalau saja diperkenalkan sebagai ‘Topi Jawa’ tentu tak akan semahal topi Panama. Jika sudah begitu, topi dari Tangerang akan merajai Paris,” tulis Brousson. Kisah topi Tangerang akhirnya memasuki masa senja ketika Depresi Ekonomi menghantam dunia pada 1930-an. Meski sempat kembali menggeliat usai Depresi, topi Tangerang berhenti menyusul masuk dan berkuasanya Jepang. Setelah Indonesia merdeka, produksi Tangerang kembali berjalan namun tak lagi semasif masa pra-perang. Kisah topi Tangerang yang masyhur di negeri orang tinggal kenangan.
- Manis Getir Perjuangan Putri dalam Revolusi
GEMA revolusi menarik minat muda-mudi di berbagai tempat untuk ikut terlibat. Masyitoh, salahsatunya. Remaja asal Cianjur itu menjadi mata-mata dengan menyamar sebagai pekerja binatu. Pekerjaannya membuat dia berhasil menyusup ke markas Belanda tanpa dicurigai. Dia bertugas mencuci gesper, pakaian, dan menyiapkan makanan untuk tentara Belanda. Berada di markas musuh dimanfaatkan Masyitoh dengan meng- gembol makanan seperti roti dan keju untuk rekan-rekan pejuang yang kelaparan di hutan. Sebagai mata-mata, dia mencuri dengar beberapa informasi dari orang Indonesia yang berpihak pada Belanda tentang situasi markas, rencana serangan, dan ukuran kekuatan musuh. Dari informasi yang dijaring olehnya, Letnan Siradz, pemimpin kesatuan TNI di Tegaldatar, Cibeber, berhasil menghancurkan pos Belanda di Sukanagara dan merampas persediaan senjata mereka. “Keberhasilan ini membuat nama Masyitoh selalu dikenang anggota pasukannya,” tulis Hendi Jo dalam bukunya, Orang-Orang di Garis Depan. Masyitoh tidak sendiri. Ada banyak perempuan yang jadi pengumpul informasi untuk pasukan republik, seperti perempuan-perempuan Yogyakarta. Di Yogyakarta, hal itu terutama muncul setelah adanya blokade dari Belanda padahal gelombang pengungsian sangat besar. Blokade memunculkan banyak penjual dadakan yang membuat Yogya jadi sesak bak pasar. Para perempuan itu menukar semua barang berharga seperti gamelan, wayang, dan perhiasan dengan apapun yang bisa dimakan. Tingginya permintaan makanan mengakibatkan bermunculannya warung dadakan. Di antara warung-warung dan tempat nongkrong itu, ada beberapa pemilik atau pelayan pro-republik. Sambil berdagang, tulis Galuh Ambar Sasi dalam Pluralisme dan Identitas, mereka menjadi mata-mata. Mereka mencuri dengar informasi dari serdadu Belanda yang mampir ke warungnya. Merry Roeslani, istri Kapolri Jenderal Hoegeng Imam Santoso, salahsatu perempuan yang melakoni peran ganda itu. Sebagai pekerja di Restoran Pinokio di Jetis, Yogyakarta, Merry kerap bertemu dengan orang Belanda. Restoran Pinokio cukup terkenal di zamannya dan sering didatangi orang Belanda maupun Indonesia untuk makan soto ataupun sate. Berbekal bahasa Belanda yang baik, Merry mencuri dengar informasi dari para tentara Belanda yang berkunjung. “Bu Merry dapat uang, Pak Hoegeng dapat informasi yang diteruskan ke rekan-rekan pejuang,” kata Galuh pada Historia . Selebaran yang berisi peringatan untuk tidak nongkrong di warung. Sumber: Arsip Galuh Ambar Sasi. Banyaknya mata-mata republik yang menyamar sebagai penjaga warung sempat membuat pihak Belanda ketakutan. Pimpinan tentara sampai mengeluarkan selebaran yang memperingatkan serdadu Belanda untuk tidak nongkrong di warung-warung pribumi. Menurut selebaran itu, berleha-leha di warung bisa bikin serdadu lengah. Pembicaraan dicuri dengar, senjata dicuri diam-diam, dan minuman mereka bisa dicampur warangan (sejenis arsenik yang kini jadi bahan racun tikus. Dulu racun arsenik dibubuhkan di keris supaya lebih mematikan). Curi dengar informasi juga dilakukan dengan memanfaatkan urusan asmara, seperti yang dilakukan Marsilah, kembang desa berusia 16 tahun asal Klitren, Gondokusuman. Dia berhasil menjebak mata-mata Belanda dengan baik meski kemudian tertangkap dan harus menanggung siksa tak terkira. Selain menggunakan asmara, para pejuang juga menggunakan pekerja seks untuk menjaring informasi. Bersama para perampok dan pencopet, para pekerjas seks masuk ke dalam Barisan P yang dipimpin Kotot Sukardi. Wilayah operasi mereka meliputi Malioboro, Kuncen, Kepatihan, alun-alun, Bong Suwung, dan sekitar Stasiun Tugu juga Lempuyangan. Para pekerja seks amat lihai bermain watak. Sambil melayani tentara pro-Belanda yang jadi pembeli jasanya, di atas ranjang mereka terus menggali informasi mulai dari jalan tikus ke markas Belanda hingga rute pelarian. Tak hanya mengumpulkan informasi, mereka juga ikut membantu menyabotase musuh. “Mereka juga ikut kursus drama, diajari jadi mata-mata. Setelah perang selesai malah jadi bintang film yang disutradarai Kotot Sukardi, judulnya Si Pincang (1951),” kata Galuh. Perjuangan juga menumbuhkan bibit-bibit asmara di antara sesama anggota Barisan P. Banyak dari mereka yang menjadi pekerja seks kemudian meninggalkan dunia itu setelah menikah. Jasa-jasa mereka selama revolusi diakui dan mereka pun dihormati. Geliat revolusi yang riuh-ramai itu mambawa nasib para perempuan ke hilir yang berbeda. Ada yang jasanya selalu dikenang seperti Masyitoh, munggah bale seperti perempuan barisan P, ada pula yang nahas dan dilupakan seperti Marsilah, yang disiksa dan dilecehkan.
- Kala Sukarno Berlindung di Rumah Purbodiningrat
PUKUL 06.00 pagi, pesawat Belanda berputar-putar di atas Gedung Kepresidenan Yogyakarta (kini Gedung Agung Yogyakarta). Mengetahui hal itu, Sukarno beserta keluarga langsung naik mobil pergi mengungsi. Dia khawatir Belanda nekat mengebom Gedung Kepresidenan. Sukarno memutuskan untuk mengungsi ke kediaman salah satu rekannya ketika kuliah di Technische Hoogeschool (THS, sekarang ITB, red. ), Prof. Ir. BKRT Saluku Purbodiningrat. “Waktu clash pertama itu Maguwoharjo (kini Lanud Adisutjipto, red .) dibom oleh Belanda. Jadi, Sukarno mengungsi ke beberapa teman dekatnya, di antaranya rumah ayah saya, supaya nggak ketahuan oleh mata-mata Belanda,” kata Raden Mas Lumiadji, putra pertama Purbodiningrat, kepada Historia.ID. Purbodiningrat merupakan adik kelas Sukarno. Dia masuk tahun 1924 dan lulus pada 1929, sementara Soekarno masuk tahun 1921. “Bung Karno lulus 1 tahun lebih dulu dibanding ayah saya. Bung karno tamat tahun 1928. Waktu di ITB sudah saling kenal. Bung karno banyak bergerak di politik, ayah saya banyak di bidang pendidikan,” kata Lumiadji. Meski namanya tak populer dalam sejarah, Purbodiningrat punya banyak jasa. Dia merupakan pendiri Mavro (cikal bakal RRI Yogyakarta), perancang tata ruang Yogyakarta yang dikenal dengan Purbodiningrat’s Plan, dan anggota Dewan Konstituante. Kediaman Purbodiningrat terletak di Jalan Patangpuluhan No. 22, sekira tiga kilometer barat-daya Gedung Kepresidenan Yogyakarta. Ketika menginap di rumah Purbodiningrat, Sukarno menempati kamar di timur ruang tengah dan menggunakan tempat tidur istri Purbodiningrat, Siti Aminah. Lumiadji yang kala itu masih duduk di kelas 1 SMA diminta pindah kamar. Dia tidur bersama para pengawal presiden dan adiknya, RM Djunaedi. Semasa mengungsi itu, rapat-rapat darurat bersama beberapa pemimpin politik lain diadakan di rumah Purbodiningrat meski pihak keraton sudah menyiapkan gedung-gedung kementerian. “Ayah saya tiap malam itu sampai nggak bisa tidur. Kalau malam selalu rapat. Saya pernah lihat Sutan Sjahrir waktu itu,” kata Ismusilah, anak Purbodiningrat yang kini menempati rumah itu. Para menteri yang menghadap presiden datang secara sembunyi-sembunyi. Penjagaan dari pengawal presiden pun sangat ketat karna banyak mata-mata Belanda. Ketika Lanud Adisutjipto kembali diserang Belanda, suara ledakan terdengar hingga ke rumah Purbodiningrat. Orang-orang panik lantaran beberapa hari sebelumnya pesawat Belanda sering terbang di atas rumah itu. “Kalau ada bunyi sirine atau pesawat yang terbang di atas, kami langsung bersembunyi di bawah apa saja,” kata Lumiadji. Fatmawati, seperti yang dia ceritakan dalam autobiografinya yang berjudul Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno, bersembunyi dengan tiarap sambil menggendong Guntur di bawah wastafel. Mereka takut rumah tersebut dijatuhi bom karena tepat di atas mereka pesawat Belanda terbang berputar-putar. “Ayah saya sudah berpikir kalau kami semua pasti mati. Tapi kok ternyata endak,” kata Ismusilah yang ketika diwawancara didampingi keponakannya, Anggrita Sallestyani. Setelah seminggu menginap di rumah Purbodiningrat, Sukarno pindah. Dia khawatir mata-mata Belanda mencium keberadaannya. Dia lalu menginap di rumah Raden Sigit Prawiro, salah satu petinggi Asuransi Bumiputera. Dari satu rumah teman ke rumah teman lain, Sukarno berhasil sembunyi. Dia baru kena sial, ditangkap Belanda, pada Agresi Militer II, Desember 1948, lalu diasingkan ke Berastagi dan Parapat.*






















