top of page

Hasil pencarian

9593 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Empat Tipe Perempuan Jawa Kuno

    KEN Angrok terperangah ketika tanpa sengaja melihat betis Ken Dedes. Terlihatlah bagian rahasianya yang bersinar. “Jika ada perempuan yang demikian anakku, perempuan itu namanya nariswari. Dia adalah perempuan yang paling utama, anakku,” jawab Dang Hyang Lohgawe ketika ditanya Ken Angrok dalam naskah Pararaton. Perempuan Jawa Kuno memiliki tipe-tipe tertentu, dari paling utama sampai paling buruk. Setidaknya ada empat tipe perempuan yang dibagi bukan hanya dari segi fisik, tapi juga perangainya. Menurut Sejarawan Suwardono kriteria menempatkan perempuan dalam tipe tertentu awalnya bersumber dari India. “Naskah mengenai kriteria perempuan itu tidak ditemukan, namun pada masa itu ketentuan untuk menempatkan sosok perempuan pada tipe tertentu secara umum telah dikenal,” tulis Suwardono dalam Tafsir Baru Ken Angrok. Empat tipe perempuan antara lain padmini, citrini, sankini, dan hastini. Tipe pertama, padmini memiliki ciri fisik: matanya seperti mata kijang dengan ujung-ujung kemerahan; hidungnya kecil dan bentuknya bagus; wajahnya bagaikan bulan purnama yang keemasan seperti bunga cempaka; lehernya halus dan luwes; buah dada yang penuh dan tinggi; pusarnya dikelilingi tiga garis lipatan; kulitnya halus seperti kelopak bunga sirsa ; suaranya manis mengalun; kalau jalan seperti angsa; wataknya pemalu, menyenangkan, pemurah, setia, memiliki rasa keagamaan, dan bertingkah terhormat. Tipe kedua, citrini memiliki tinggi badan sedang, ramping, dengan pinggul besar; rambutnya hitam lebat; matanya lincah dengan bibir yang penuh seperti buah bimba ; lehernya membulat seperti siput dan luwes; dadanya besar dan berat dengan badan yang lentur; suaranya seperti suara merak; jalannya seperti gajah. Tipe ini tidak begitu tinggi sifat spiritualnya. Namun, ia mahir dan bercita rasa tinggi dalam kesenian. Ia suka mengenakan pakaian dan perhiasan yang bagus. Ia pandai bicara dan bebas mengutarakan pendapat. Pandai mengatur urusan rumah tangga. Pun senang dikagumi laki-laki. Tipe ketiga, sankini, memiliki ciri-ciri berbadan kurus, tinggi, kekar, berdarah hangat, dengan lengan dan tungkai yang panjang; pinggangnya besar dengan buah dada yang kecil; di bawah kulitnya yang sawo matang terlihat urat-urat nadi; wajahnya berbentuk lonjong dan mendongak; suaranya serak; kalau berjalan cepat seperti terburu-buru; ia cerdik juga sopan. Meski begitu, perempuan tipe ini selalu mencari kesempatan untuk menguntungkan dirinya sendiri; ia egois namun tetap pandai bersikap seolah pemurah; ia punya sifat keras kepala dan buruk hatinya, namun mampu menyembunyikannya. Ia banyak bicara dan banyak makan. Tipe terakhir, hastini, bertubuh pendek, gemuk, buruk rupa; mulutnya besar dengan bibir yang tebal; matanya kecil dan merah; wajahnya pucat, tidak bersinar; lehernya pendek atau kalau panjang bentuknya bengkok; kalau berjalan pelan dan tidak enak dilihat; sifatnya kejam dan tak punya malu. Menurut Titi Surti Nastiti, arkeolog Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, keempat tipe perempuan mungkin saja mewakili empat kasta dalam Hindu: Brahmana, Ksatrya, Waisya, dan Sudra. Putri yang digambarkan dalam teks sastra dan relief candi masuk ke dalam tipe citrini. Sementara para pengiring putri dan putra raja atau para emban dimasukkan dalam kriteria hastini. Hal itu dicontohkan dengan perkawinan antara Semar dan Nini Towok dalam teks Sudamala. Keduanya digambarkan sangat bernafsu dalam seks. Nini Towok digambarkan jalannya pelan dan perutnya gombyor. Dalam relief kisah Arjunawiwaha diGua Selomangleng, Tulungagung misalnya, tokoh Panakawan, baik perempuan maupun laki-laki digambarkan berbadan serba gemuk dengan mulut lebar dan bibir tebal. Contoh perempuan tipe padmini terdapat dalam teks Sri Tanjung . Ia merupakan perempuan yang tinggal di sebuah wanasrama. Ini mengacu pada kasta Brahmana. Ia digambarkan pula sebagai perempuan berkulit halus, cantik, tenang, dan jalannya seperti angsa. Meski begitu, ada perbedaan penggambaran putri raja dalam teks tadi dengan prasasti. Jika dalam teks sastra yang sesuai dengan teks India mereka masuk ke dalam tipe citrini, sedangkan dalam prasasti mereka dimasukkan dalam tipe padmini. Itu seperti deskripsi dalam Prasasti Kayumwunan (824 M) yang menyebut Pramodyawarddhani, permaisuri Rakai Pikatan, raja keenam Kerajaan Medang (Mataram Kuno) cara berjalannya seperti angsa, suaranya bagaikan tekukur, matanya bagaikan menjangan. Ciri ini lebih mirip dengan tipe padmini . Hal yang sama juga diungkapkan dalam Prasasti Pucanan (1037 M). Prasasti ini melukiskan Sri Isanatunggawijaya bagaikan seekor angsa yang mempesona karena tinggal di telaga Manasa yang suci. “Mungkin karena Pramodhawarddhani maupun Isanatunggawijaya adalah putri raja yang sangat taat pada agama sehingga lebih pantas dimasukkan ke dalam tipe padmini atau mereka tipe perempuan paling baik yang di dalam bahasa Jawa disebut dengan padmanagara,” tulis Titi dalam Perempuan Jawa .*

  • Dari Riset Sampai Kebijakan Pangan

    PADA 1899, Koloniaal Museum, Haarlem menginisiasi sebuah riset bahan makanan di Hindia Belanda. Sama seperti riset-riset pangan abad ke-19, riset yang digawangi Asisten laboratorium Koloniaal Museum Dr. J Sack dan farmasis JJ van Eck itu berupaya mengelompokkan bahan makanan dalam beberapa kategori. Namun, riset kali ini lebih dalam karena meneliti persentase nutrisi yang terkandung dalam tiap bahan. Sack dan Van Eck meneliti nilai nutrisi sekira 200 bahan makanan yang lazim dikonsumsi di Hindia. Sebelum menentukan nilai nutrisinya, yang diukur melalui kemerataan komposisi tujuh unsur dalam masing-masing bahan, terlebih dulu mereka meneliti kandungan protein, karbohidrat, lemak, nitrogen, serat, hidrat arang, dan air pada tiap bahan makanan. Hasil riset itu antara lain menunjukkan bahwa jagung memiliki nilai nutrisi lebih baik dibanding makanan pokok lain seperti beras, sagu, atau mie. Selain itu, riset itu juga menginformasikan kandungan protein berbagai hewan air dapat mencukupi kebutuhan nutrisi harian penduduk Hindia. Riset Sack dan Van Eck berperan penting melepaskan masyarakat dari jebakan persepsi dalam memilih bahan makanan. Riset itu hanyalah satu dari riset-riset soal pangan dan nutrisi di Hindia Belanda yang kian intens memasuki abad 20. Tumbuh-subur dan meluasnya fokus riset itu berangkat dari kemajuan sains dan teknologi di tanah jajahan. Meski upaya inventarisasi bahan makanan dan kandungan gizinya masih tetap berjalan, mengingat luas dan kayanya tanah Hindia, uji kandungan nutrisi dan kimiawi bahan makanan dikerjakan lebih terperinci lagi. “Penyelidikan secara ilmiah memang lebih eksak menilai bahan makanan mana yang memiliki kandungan nutrisi lebih baik dibandingkan dengan penilaian lawas yang cenderung menilai kualitas berdasarkan gengsi semata –seperti bagaimana sebelumnya daging sapi dinilai lebih baik daripada kerbau,” tulis sejarawan Fadly Rahman dalam Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia . Hasil riset Sack dan Van Eck mendorong dokter Cornelis Leendert van der Burg untuk mendalami. Dokter yang sejak akhir abad ke-19 menekuni persoalan kesehatan dan higienitas di Hindia Belanda ini menerbitkan dua buku berkepala De Voedings in Nederlandsch-Indie dan Atlas met Graphische Voorstellingen van de Chemiche Samenstelling van 267 Voedingsmiddelen in Nederlansch-Indie pada 1904. Van der Burg berupaya memberikan penjelasan kualitatif terhadap hasil uji kimiawi Sack dan Van Eck. Salah satu poin terpentingnya, upaya untuk memanfaatkan pengetahuan pangan bumiputra dan memadukannya dengan pengetahuan modern. Dia melambari perspektif kimiawi yang eksak dengan penjelasan antropologis dan memperhatikan bagaimana aturan-aturan agama yang dianut penduduk Hindia Belanda dalam memilih dan mengolah bahan makanan. Menurut Fadly, praktik riil dari pendapat tersebut dapat dilihat jejaknya dalam pemaduan bahan makanan. “Contohnya bisa kita lihat pada selat Solo. Itu semacam salad ala Eropa yang di sini bahannya mengalami penyesuaian. Kalau orang Eropa menggunakan daging untuk asupan protein hewaninya, di Jawa diganti dengan telur. Ciri Eropa juga masuk lewat bahan kentang dan wortel dan buncis,” kata Fadly kepada Historia. Van der Burg juga menyajikan perbandingan kebutuhan protein, lemak, dan karbohidrat antara orang Eropa dan bumiputra. Dari kalkulasinya diketahui bahwa orang Eropa nisbi berimbang asupan protein, lemak, dan karbohidratnya, sementara bumiputra cenderung dominan asupan karbohidratnya dibanding lemak dan protein. Riset yang lebih masif lagi dilakukan oleh JE Quintus Bosz dan Karel Heyne, kepala Konservatorium Museum voor Technische en Handelsbotanie (Museum Teknik dan Urusan Botani) Buitenzorg. Pada 1911, Bosz menerbitkan laporan risetnya yang menghasilkan analisis kandungan nutrisi 550 bahan makanan. Riset Bosz lebih detil, dengan memisahkan antara nilai kandungan nutrisi bahan makanan mentah dengan bahan-bahan yang telah diolah atau dimasak. Tapi riset Karel Heyne mungkin merupakan riset dengan skala terbesar. Secara bertahap, antara 1913 hingga 1917, dia menerbitkan serial ensiklopedia bertajuk De nuttige planten van Nederlandsch-Indie (Tanaman Bermanfaat dari Hindia Belanda). Dalam empat jilid ensiklopedianya, Heyne menghimpun sekira 3.000 jenis tanaman berikut data terperinci dari segi etnobotani, sifat-sifat, pembudidayaan, hingga sisi ekonomis dan historisnya. Ensiklopedia Heyne segera menjadi rujukan penting di kalangan botanis. Kebijakan Riset-riset pangan itu menyediakan keberlimpahan data untuk perbaikan kualitas hidup dan kesehatan fisik penduduk Hindia meski belum ada manfaat nyata bagi bumiputra. Keterbacaannya nisbi hanya di kalangan orang Eropa yang tinggal di Hindia. Namun, mengemukanya Politik Etis pada awal abad 20 yang membawa pergeseran motif pemerintahan kolonial, perlahan ikut mengubah nasib pribumi. “Mereka terbelah dalam kubu humanis dan kubu pragmatis. Kaum humanis menganggap ini memang tugas mereka untuk menyejahterakan masyarakat. Sementara kubu pragmatis melihat bahwa pemulihan kondisi kesehatan dan peningkatan kualitas kesejahteraan itu untuk mendukung program-program ekonomi dan politik kolonial,” kata Fadli. Seiring dengan riset-riset itu, pemerintah menginisiasi beberapa program dan upaya sosialisasi terkait pengetahuan gizi kepada masyarakat bumiputra. Salah satunya, dengan membentuk Voedingsmiddelen Commissie (Komisi Bahan Makanan). Komisi yang dibentuk pada 1914 itu bertugas meneliti kesehatan, ambang batas kandungan kimia dalam makanan dan obat, kelayakan konsumsi, serta memberi penerangan kepada industri makanan dan masyarakat umum. Upaya itu juga merupakan respon pemerintah terhadap berkembangnya fabrikasi makanan pada awal abad 20. Komisi makanan antara lain mengeluarkan beberapa peraturan soal makanan fabrikasi yang diedarkan, seperti aturan kadar asam asetat dan pengasinan makanan, aturan pengemasan margarin, terigu, dan mentega. “Kehadiran komisi ini turut memengaruhi kebiasaan makan di Hindia yang cukup gemar menggunakan bahan-bahan makanan dalam kemasan seperti mentega, margarin, dan terigu,” ujar Fadli. Sementara, upaya sosialisasi pola hidup dan makanan sehat dilakukan melalui terbitan-terbitan Balai Pustaka . Botanis JJ Ochse, yang punya perhatian khusus pada persoalan pangan rakyat, merupakan salah satu ilmuwan yang gencar menerbitkan penelitiannya untuk masyarakat umum dan terus berupaya mengedukasi bumiputra tentang tanaman bermanfaat sebagai makanan dan cara pembudidayaannya. Ochse menilai rakyat bumiputra umumnya tak acuh dan rendah pengetahuannya soal pengolahan bahan makanan. Realitas itu mendorongnya menyusun dan menerbitkan Tropische Groenten (1925) dan Indische Vructen (1927). Buku-buku itu menyajikan pengetahuan tentang sayuran dan buah yang kaya nutrisi disertai gambar untuk tiap lemanya. “Ochse dibantu Kepala Kantoor voor de Volkslectuur ( Balai Pustaka ), Mr. T. Lekkerkerker dalam hal penerbitan sekaligus penjualan bukunya. Buku itu dijual murah sehingga terjangkau harganya oleh banyak kalangan dan terdistribusikan secara luas ke seluruh wilayah Hindia, sesuai keinginan Ochse,” tulis Fadly. Bersamaan dengan itu, pemerintah juga membuka sekolah-sekolah pertanian di desa-desa, tempat pengetahuan budidaya tanaman dan pengembangan varietas tanaman baru disebarkan. Buku-buku Ochse juga didistribusikan melalui sekolah-sekolah ini. Usaha-usaha tersebut perlahan memperbaiki kesejahteraan penduduk. “Sampai tahun 1930-an ada penurunan statistik kelaparan massal. Pengetahuan gizi masyarakat juga meningkat. Dari pernyataan dokter-dokter di lingkungan masyarakat Jawa terlihat bagaimana masyarakat pribumi mulai sadar akan pengetahuan seputar gizi,” ujar Fadly.

  • Melacak Maestro Lukis Indonesia

    MUSEUM Basoeki Abdullah menggelar pameran dokumentasi sang maestro dari 7 November hingga 22 November 2017. Sejumlah arsip yang dipamerkan antara lain surat pribadi, surat tagihan, undangan/katalog pameran, laporan kekaryaan lukisan, informasi pribadi, pesan tertulis pelukis, catatan harian, fotografi, sampul majalah, kartu pos, poster, materi iklan produk, buku-buku dan kliping berita surat kabar. Menurut Mikke Susanto, kurator pameran, dibutuhkan tenaga, waktu yang memakan waktu beberapa tahun, dan kesabaran tinggi dalam melacak dokumentasi Basoeki Abdullah. Hal terindah dari proses pelacakan justru karena kepopulerannya. Selama hidupnya Basoeki Abdullah kerap menjadi berita media massa. Dari sejumlah mitra kerja pameran ini terkumpul lebih dari 200 judul kliping media massa. “Nah, itu yang mendorong saya selaku kurator untuk bisa memperlihatkan kepada publik bahwa ini ada seniman yang sadar masa depan. Dia melek media karena pergaulan internasional. Beliau mampu menjadikan media jadi bagian dari bisnisnya,” ujar Mikke. Menurut Hilmar Farid, direktur jenderal kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tindak tanduk Basoeki Abdullah sering menjadi konsumsi media dan ditunggu-tunggu masyarakat. Tak terhitung berapa judul berita dari dalam dan luar negeri yang menceritakan sosok Basoeki Abdullah, mulai dari prestasinya hingga berita-berita miring mengenai dirinya. Bahkan hingga akhir hidupnya, Basoeki Abdullah pun tak lepas dari kontroversi. “Seolah-olah sepanjang hidupnya Basoeki Abdullah ditakdirkan tak akan pernah lepas dari perhatian media,” kata Hilmar Farid dalam sambutannya. Mikke melacak dokumentasi Basoeki Abdullah dalam berbagai media majalah: Djawa Baroe, Varia , Selecta , Tempo, Popular , Jakarta-Jakarta, Tiara, Prospek, Tata Rias, dan harian Kompas. Sayangnya, dokumentasi pribadi kebanyakan sudah hilang atau berkualitas buruk. Semua dokumen yang berhasil dikumpulkan dibagi ke dalam empat bagian: Aku, Daya, Rupa, dan Masyhur. “Berbagai kisah tentang kehidupannya, baik kisah cinta, kedekatan dengan banyak wanita, isu negatif dan kesuksesannya tentunya membuat penasaran,” ujar Maeva Salmah, kepala Museum Basoeki Abdullah di Jalan Keuangan Raya Nomor 19, Cipete, Jakarta Selatan. Keempat bagian pameran tersebut memiliki hal-hal menarik yang ditampilkan. Seperti bagian “Aku” terdapat arsip berupa surat dari Gunseikanbu atau staf pemerintahan militer Jepang di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 36. Surat tersebut meminta Basoeki Abdullah untuk mengisi daftar riwayat hidup guna penyusunan Daftar Orang Indonesia yang Terkemoeka di Djawa pada 1943. “Basoeki Abdullah ini memang sudah terkenal. Di masa Jepang, yang mengunjungi pameran tunggalnya bisa lima ribu orang. Hari ini, mengumpulkan lima ribu orang itu gak gampang, padahal sudah ada media sosial,” ujar Mikke. Pada bagian “Daya” tergelar beberapa foto proses kreatif Basoeki Abdullah saat sedang melukis. Seperti saat dia melukis Wakil Presiden Mohammad Hatta pada 1950-an serta melukis Presiden Soeharto dan istrinya di Jalan Cendana tahun 1968. Yang menarik adalah saat dia, S. Sudjojono dan Affandi, melukis dalam satu kanvas pada Oktober 1985. Menurut Mikke, foto ini menandakan bahwa Basoeki Abdullah sudah diterima oleh Sudjojono dan Affandi. “Saat di Indonesia terjadi agresi militer, dia malah ke negeri Belanda. Dia pun dituduh anasionalis. Lalu ketika dia melukis Ratu Juliana, di sini justru sedang berkobar perang melawan Belanda. Problem hidupnya memang besar. Lalu dituduh gak ada orientasi idealisme terhadap seni rupa Indonesia, apalagi lukisan mooi indie -nya amat sangat membuat dia menjadi sendirian,” ujar Mikke. Selanjutnya bagian “Rupa” berisi dokumentasi karya-karya lukisan Basoeki Abdullah dalam beragam tema. Mulai dari sketsa potret Sukarno yang menjadi ilustrasi perangko tahun 1960, lukisan Jenderal Hitoshi Imamura, panglima Tentara ke-16 Angkatan Darat Jepang, yang menjadi sampul majalah Pandji Pustaka edisi September 1943. Pada bagian terakhir, “Masyhur,” berisi dokumentasi sepak terjangnya dalam beragam pameran dan keluasan hubungannya dengan orang-orang ternama seperti pameran di Hotel Des Indes tahun 1956, pameran tunggal di Thailand yang dihadiri Raja Bhumibol Adulyadej, hingga wajah Basoeki di iklan mobil Mitshubishi Lancer 1400 SL di harian Sinar Harapan, Oktober 1981. “Sekali waktu kami jalan-jalan nah melihat iklan mobil ini. Bapak bilang kok foto wajahnya lebih besar dari foto mobil yang diiklankan,” ujar Cicilia Sidhawati, putri Basoeki Abdullah dengan istri keempatnya asal Thailand, Nataya Narerat.

  • Sriwijaya Genjot Pajak

    TANGGAL 5 paro terang bulan Asadha, 16 Juni 682, di sebuah tempat, Dapunta Hiyang mendirikan perkampungan, dan Sriwijaya menang. Begitulah akhir gemilang dari ekspedisi militer Dapunta Hiyang, saat mulai mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Sejak itu, Sriwijaya mulai bergerak, membangun diri menjadi sebuah imperium di wilayah Sumatra. “Sriwijaya menjadi imperium yang kuat tepatnya tidak diketahui. Boleh jadi sejak abad ke-8 karena pada abad ke-7 mulai membangun kekuasaan,” ujar arkeolog Bambang Budi Utomo, kepada Historia . Satu per satu bandar-bandar di sepanjang selat Malaka mulai jatuh ke pelukan Sriwijaya. Mulai dari bandar Lamuri –ujung pintu masuk Selat Malaka (sekarang Banda Aceh)–, Pulau Kampe (Kampai), Kota Cina di Sumatra Utara, hingga bandar Jambi di sisi tenggara selat Malaka. Sriwijaya pun masyhur sebagai kampiun di lautan sejak abad ke-8. “Pada abad ke-8 Sriwijaya dan saudaranya, Mataram, sudah berhubungan dengan Thailand dan India. Itu artinya sudah mempunyai kekuatan laut,” kata Bambang, penulis buku Pengaruh Kebudayaan India dalam Bentuk Arca di Sumatra . Dari penguasaan bandar-bandar ini, pundi-pundi keuangan Sriwijaya pun bertambah. Sumber pendapatan itu berasal dari kapal-kapal yang lewat dan bersandar. “Penguasa Sriwijaya meminta 20.000 dinar sebelum memberikan izin kepada kapal dagang Persia atau Arab untuk melanjutkan pelayaran ke Tiongkok. Demikian pula sebaliknya yang datang dari Tiongkok menuju India atau Persia,” demikian dikutip dalam Program Book Kedatuan Sriwijaya , menyitir pernyataan Buzurg bin Shahriyan al-Ramhurmuzi dalam jurnal pelayarannya, Aja’ib al-Hind . Selat Malaka merupakan jalur pelayaran utama yang menghubungkan Arab, Persia, dan India yang berada di sisi barat, dengan Tiongkok yang berada di sebelah timur. Kerajaan Sriwijaya akhirnya menjadi pusat penyaluran semua hasil bumi Nusantara. Situasi demikian, tentu saja menguntungkan bagi Sriwijaya. Pemasukan pajak perdagangan terus mengalir ke kas kerajaan. Selain itu, penghasilan Sriwijaya juga diperoleh dari barang-barang ekspor. Menurut Elizabeth T. Gurning dan Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Bumi Sriwijaya , tujuan ekspor Sriwijaya adalah Arab dan Cina. Ke Arab, Sriwijaya mengekspor kayu gaharu, kapur barus, cendana gading, timah, kayu ebony, kayu sapan, rempah-rempah dan kemenyan. Sementara ke Cina, komoditas ekspornya adalah gading, air mawar, kemenyan, buah-buahan, gula putih, cincin kristal, cula badak, kapur barus, bumbu masak dan obat-obatan. “Pendapatan kerajaan antara ekspor dan pajak relatif sama. Tapi presentasenya lebih ke pajak karen para saudagar asing yang datang ke bandar-bandar Sriwijaya untuk mengambil komoditas dari Nusantara. Sriwijaya berfungsi sebagai bandar pengepul ( entreport ),” kata Bambang. Namun, persoalan pajak pernah menimbulkan masalah. Penguasa Sriwijaya menerapkan pajak yang cukup tinggi kepada saudagar-saudagar dari Tamil. Padahal pedagang Tamil juga sudah membayar pajak kepada Kerajaan Chola di India selatan. Penguasa Chola tak terima atas perlakukan Sriwijaya terhadap pedagang Tamil. Mereka pun menyerang Sriwijaya pada 1017 dan 1025. Pada serangan kedua, raja Sriwijaya berhasil ditawan.*

  • Tendangan Kungfu yang Terulang

    MASIH ingat insiden tendangan kungfu Eric Cantona pada 1995? Kelakuan minus pesepakbola legendaris itu terulang lagi pada Jumat (3/11/2017) di Estadio D Afonso Henriques, Guimaraes, Portugal. Defenseur (bek) Olympique Marseille Patrice Evra, membuncahkan emosinya pada suporter dengan melayangkan tendangan kungfu dari pinggir lapangan. Insiden itu terjadi jelang pertandingan Europa League, di mana tim asal Prancis, Marseille, bertamu ke markas Vitoria de Guimaraes, wakil Portugal. Insiden itu terjadi pada sesi pemanasan, setelah sebelumnya terjadi keributan antara para pemain Marseille lainnya dengan para suporternya sendiri di tepi lapangan. Akhirnya, Patrice Evra, mantan pemain timnas Prancis dan Manchester United, tercatat dalam sejarah Europa League, sebagai pemain pertama yang dikartumerahkan sebelum kick off. Sebelumnya, perbuatan itu dilakukan pendahulu Evra, Eric Cantona, 22 tahun yang lalu. Maestro Manchester United itu kebetulan juga berpaspor Prancis dan pernah berseragam Marseille. Ketika itu, The Red Devils (julukan Manchester United) tengah melakoni matchday ke-26 Premier League musim 1994/1995, kontra Crystal Palace di Selhurst Park, 25 Januari 1995. Dalam sebuah momen, Cantona melanggar secara kasar pemain Palace, Richard Shaw. Wasit Alan Wilkie kemudian mengacungkan kartu merah. Saat berjalan lunglai keluar lapangan menuju lorong ganti, mulai terdengar gemuruh dan sorakan mengejek Cantona dari suporter Palace. Di antara suporter itu, terdapat Matthew Simmons. Suporter muda berusia 20 tahun itu disebutkan membuat mendidih emosi Cantona dengan sejumlah hinaan dan lemparan benda terhadap sang pemain. “Cantona tiba-tiba menerjang ke kerumunan suporter dengan kedua kaki setinggi dada orang dewasa. Dia juga melayangkan beberapa pukulan sebelum polisi, pihak keamanan stadion, ofisial tim dan pemain lainnya memisahkan mereka,” tulis harian The Guardian , 26 Januari 1995. Wasit Wilkie sendiri dalam pengakuannya, tak melihat kejadian itu. Saat Cantona menerjangkan tendangan kungfunya ke arah penonton, Wilkie sedang disibukkan dengan protes Andy Cole, terkait kartu merah untuk Cantona. “Setelah pertandingan, salah satu asisten saya mengatakan kejadian itu kepada saya. Namun saya baru benar-benar melihatnya jam 2 dini hari dari (siaran) CNN dan saya sangat terkejut,” ujar Wilkie. Insiden itu membuat malu klub dan mengundang tindakan dari FA (Asosiasi Sepakbola Inggris). Akhirnya, manajemen klub melayangkan denda. Suratkabar The Hour, 27 Januari 1995, menuliskan Manchester United menjatuhkan denda 20 ribu poundsterling, serta sanksi tak dimainkan sampai akhir musim 1994/1995. Sedangkan FA memvonis Cantona dengan larangan bermain di Liga Inggris selama delapan bulan (sampai 30 September 1995), serta denda 10 ribu pounds. Sedangkan FIFA, mengonfirmasi sanksi itu lebih luas, di mana sanksi takkan otomatis hilang jika status Cantona dijual atau dipinjamkan ke klub lain. Tak sampai di situ, entraineur (pelatih) timnas Prancis Aime Jacquet, ikut-ikutan menghukum Cantona dengan melucuti jabatan kapten tim Ayam Jantan. Cantona juga terpaksa menghadapi tuntutan kriminal. Pengadilan Croydon pada 23 Maret 1995, mengetuk palu untuk hukuman penjara selama dua pekan. Namun, Cantona dibebaskan dengan uang jaminan. Saat konferensi pers, Cantona melontarkan kata-kata tersohor dengan analogi ikan sardin, burung camar dan kapal nelayan. “Ketika burung-burung camar mengikuti kapal nelayan, itu karena mereka mengira ikan-ikan sardin akan dilemparkan ke laut. Terima kasih,” cetus Cantona. Tak sedikit yang heran dengan pernyataan aneh itu. Banyak pula yang menganggap ikan sardin adalah Cantona dan burung-burung camar adalah pendeskripsian dari media-media Inggris. “Itu kata-kata yang sengaja dikaburkan. Dia hanya tidak ingin berada di sini (konferensi pers) untuk menemui Anda semua dan menjawab banyak pertanyaan karena dia sudah melalui banyak hal. Saya pikir dia berada dalam tekanan yang luar biasa,” ungkap Direktur Hukum Manchester United Maurice Watkins, dilansir koran Independent , 31 Maret 1995. Hukuman untuk Cantona kemudian dialihkan menjadi hukuman 120 jam pelayanan masyarakat. Sebagian besar hukumannya itu dijalani dengan melatih sepakbola untuk anak-anak sampai akhir Mei 1995. “Selama masa pelayanan masyarakatnya, dia melatih 732 anak-anak dari lusinan sekolah dan klub-klub junior di kamp latihan Manchester,” tulis koran Lodi News-Sentinel , 31 Mei 1995. Apakah Cantona menyesal? Nampaknya tidak. Cantona begitu dendam dengan Matthews. “Seharusnya saya memukulnya dengan lebih keras. Saya bukan suri tauladan. Saya bukan guru besar yang menasihati kelakuan Anda,” ujar Cantona dalam wawancara dengan tabloid Four Four Two , 20 tahun berselang (2015).

  • Khazanah Hantu Indonesia

    Majalah Penjebar Semangat didirikan dr. Sutomo pada 1933. Majalah berbahasa Jawa ini awalnya menurunkan berita politik. Namun, lama-kelamaan tidak begitu laku. Akhirnya, membuka rubrik cerita hantu, “Alaming Lelembut.” Majalah lain yang memiliki cerita hantu adalah Joko Lodang dengan “Jagating Lelembut” dan JoyoBoyo dengan “Cerita Misteri.” “Cerita hantu di PanjebarSemangat muncul tahun 80-an ketika oplah mulai turun. Lama-lama jadi menu utama dan yang paling favorit. Hipotesis saya, kalau tidak ada cerita hantu, majalah ini tidak akan bertahan sampai sekarang,” kata Sunu Wasono, pengajar sastra Indonesia di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, dalam bincang ilmiah “Tema Horor dalam Masyarakat” di FIB UI, Depok, Jawa Barat (3/10). Menurut Sunu, yang membuat disertasi tentang dongeng lelembut di Penyebar Semangat pada 2015, cerita hantu mencerminkan pandangan atau kepercayaan masyarakat karena bersinggungan dengan kehidupan dan kematian. Dalam konsep Jawa, secara garis besar ada dua jenis kematian. Kematian yang baik seperti mati karena sudah tua, mati di jalan Tuhan, mati saat melahirkan atau dilahirkan. Yang kedua adalah kematian karena sebab-sebab yang tidak lumrah, seperti mati bunuh diri atau kecelakaan. “Dalam majalah PanjebarSemangat yang mati bunuh diri nanti gentayangan, kesasar-sasar ikut genderuwo, dll.,” kata Sunu. Hal yang sama juga berlaku bagi orang-orang yang mati karena kecelakaan, menjadi korban pembunuhan atau pemerkosaan. Sering kali dalam cerita hantu ini, mereka bisa diselamatkan dengan doa oleh orang yang masih hidup, kehadiran kiai, ataupun dukun. Dari banyak jenis hantu yang muncul dalam cerita seram, genderuwo merupakan yang paling populer. Meski demikian, ada banyak jenis hantu di Indonesia, seperti wewe gombel, kuntilanak, cumplung, cerangkong, atau banaspati. “Khazanah hantu kita kaya. Kalau bisa menggali itu bisa dibuat film. Banaspati misalnya, suka menghisap darah orang. Itu vampire versi Indonesia,” kata Sunu. Javanolog H.A. Van Hien dalam penelitiannya, De Javaansche geestenwereld... (1896), menyebut 95 jenis makhluk halus di Jawa. Sementara itu, dari hasil penelitiannya di Mojokuto, Jawa Timur pada 1950-an, antropolog Clifford Geertz dalam Abangan, Santri, Priayi, Priayi dalam Masyarakat Jawa, membagi makhluk halus di Jawa menjadi lima golongan besar: memedi, lelembut, tuyul, demit, dan danyang. Suma Riella Rusdiarti, pengajar program studi Prancis FIB UI, mengatakan ada perubahan kecenderungan pemilihan hantu dalam sinema Indonesia. Film-film horor Indonesia tahun 80-an diisi dengan tokoh-tokoh mistis, seperti Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, atau tokoh hantu semacam kuntilanak. Tokoh-tokoh mistis atau hantu kebanyakan merupakan perempuan. Kuntilanak dalam film digambarkan sebagai perempuan korban kekerasan yang membalas dendam terhadap laki-laki. “Yang menyedihkan ketika sudah jadi hantu dan sakti mereka dikalahkan oleh laki-laki sebagai dukun atau agamawan,” kata Riella yang menulis disertasi tentang “Kaidah, Makna Das Unheimliche , dan Konstruksi Nilai Kajian Genre Atas Empat Film Horor Rumah Angker Indonesia” di UI pada 2015. Riella juga menjelaskan bahwa hantu-hantu perempuan dalam film Indonesia merupakan representasi perempuan yang sulit dikendalikan. Mereka menjadi hantu karena ketika hidup hadir sebagai makhluk inferior dan direpresi. “Film horor Indonesia paling banyak memunculkan kuntilanak dan pocong. Hantu khas Indonesia hari ini adalah pocong. Dua puluh tahun yang lalu, pocong belum menjadi pemeran utama dalam film Indonesia. Bila kuntilanak jenis kelaminnya bisa dideteksi dengan jelas, tidak halnya dengan pocong,” kata Riella. Perubahan juga ada dalam lokasi kemunculan hantu yang bergeser ke kota. Dulu hantu muncul di pohon beringin, telaga, atau tempat yang dianggap keramat. Akan tetapi, belakangan film hantu menggambarkan kemunculan hantu di tempat-tempat umum, seperti kantor, terowongan, atau rumah sakit. Cerita hantu, baik dalam film maupun tulisan, mengekploitasi kematian dengan menghadirkan sosok yang sudah mati. Mereka hadir untuk mewadahi pengalaman supranatural penontonnya. Meski demikian, cerita hantu tidak akan berhasil menakuti bila penontonnya tidak memahami konteksnya. “Untuk orang Indonesia, pocong itu menakutkan. Teman saya yang orang luar malah heran apa yang mengancam dari sosok yang diikat dan melompat-lompat. Buat mereka pocong malah lucu,” kata Riella.

  • Inilah Akta Kelahiran Sriwijaya

    TANGGAL 11 paro terang bulan Waisakha, bertepatan 23 April 682, Dapunta Hyang naik perahu dari pusat pemerintahannya, suatu tempat di tepi sungai, menuju sebuah kuil Buddha untuk merayakan Waisak. Dia berdoa untuk keberhasilan ekspedisi yang akan dilakoninya. Usai upacara, dia kembali ke pusat pemerintahannya untuk bersiap perang. Sebulan kemudian, tanggal 5 paro bulan terang Jyestha (19 Mei 682), Dapunta Hyang kembali naik perahu dari daerah Minanga. Kali ini, dia bersama 20 ribu-an tentara dengan membawa 200 peti perbekalan. Armada perang ini akan merebut daerah bernama Mukha --p- . “Boechari mulanya melokalisasikannya di daerah Batanghari, kemudian melokalisasikannya kembali di daerah Delta Upan sekarang. Di daerah itu ada sebuah kampung yang bernama Upang, letaknya 45 km sebelah timur Palembang,” tulis Bambang Budi Utomo dalam Pengaruh Kebudayaan India dalam Bentuk Arca di Sumatra . Ekspedisi militer Dapunta Hyang itu berhasil. Tanggal 5 paro terang bulan Asadha (16 Juni 682), di sebuah tempat, Dapunta Hyang mendirikan perkampungan. Sriwijaya menang. Kisah di atas merupakan bagian kecil dari isi terjemahan Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti tersebut berhubungan erat dengan Sriwijaya, sebuah kerajaan besar di Sumatra abad ke-7 hingga ke-11. Setelah abad ke-11, kisah Sriwijaya yang megah pun surut. Prasasti Kedukan Bukit yang terbuat dari batu sungai sepanjang 45 cm dan keliling 80 cm itu pun mulai tak dihiraukan orang. Ia berpindah tangan dari satu keluarga ke keluarga lain selama hampir 10 abad. Waktu terus berlalu hingga tiba di satu masa awal abad ke-20, ketika seorang Belanda bernama Batenburg tak sengaja “menghidupkan” kembali Prasasti Kedukan Bukit. Batenburg berkarib dengan sebuah keluarga Melayu di Desa Kedukan Bukit, terletak di tepi Sungai Tatang, anak Sungai Musi, di kaki Bukit Siguntang. Bukit itu berada di barat daya Palembang sekarang. Di keluarga Melayu inilah Batenburg menemukan sebuah prasasti batu. Dia lalu melaporkan hal itu kepada Residen Palembang L.C. Westenenk. Sang residen memberitahukan penemuan prasasti itu kepada ahli purbakala Frederik David van Bosch pada 30 November 1920. Bersamaan dengan penemuan Prasasti Talang Tuwo, penemuan Prasasti Kedukan Bukit lalu dimuat dalam laporan purbakala triwulan keempat tahun 1920. “Menurut Westenenk, batu ini sudah lama merupakan milik keluarga itu yang memperlakukannya sebagai jimat pada waktu lomba dayung,” tulis George Coedes dalam “Prasasti Berbahasa Melayu Kerajaan Sriwijaya”, termuat dalam Kedatuan Sriwijaya . Westenenk memang bukan ambtenaar biasa. Dia rajin menulis, khususnya temuan arkeologis di wilayahnya. Dalam karangan berjudul Uit het Land van Bittertong , terbit 1921, Westenenk menulis tentang Prasasti Talang Tuwo. Di karangan lain, Boekit Segoentang en Goenoeng Mahameroe uit de Sedjarah Melajoe , terbit 1923, dia menyebut dua penemuan prasasti lain di Palembang. Saat itu, Prasasti Kedukan Bukit belum banyak diketahui khalayak. Isi Prasasti Kedukan Bukit baru diketahui dari penerjemahan yang dilakukan Philippus Samuel van Ronkel tahun 1924. Ahli purbakala Nicolass Johannes Krom mengkaji Prasasti Kedukan Bukit dua tahun kemudian, lewat tulisan berjudul Hindoe-Javaansche Geschiedenis . “Prasasti itu dipahat pada 683 M di batu sungai yang ditemukan di kaki Bukit Siguntang, Gunung Keramat. Tak pelak lagi Prasasti Kedukan Bukit adalah sebuah dokumen amat penting bagi sejarah Sriwijaya, dan barangkali yang pertama yang pernah dipahat atas perintah salah seorang rajanya yang pertama,” ujar Coedes dalam artikelnya yang ditulis tahun 1930. Meski sudah berumur lebih dari satu milenium, Prasasti Kedukan Bukit masih terlihat baik, kecuali ketiga baris terakhir yang hilang karena pecah. Prasasti dengan nomor D.146 ini sekarang dapat dilihat secara jelas di eksebisi “Kedatuan Sriwijaya: The Great Maritime Empire”, yang berlangsung di Museum Nasional, 4-28 November 2017. Batu prasasti itu berada dalam kotak kaca di sisi kiri pintu masuk eksebisi. “Pameran sejarah seperti ini penting, karena kita harus kembali ke akar. Dan juga bagaimana sejarah ini bukan hanya menengok ke masa lalu, tapi menjadikannya ilham, inspirasi, untuk melangkah ke masa depan. Ini kan penting untuk membentuk rasa percaya diri bangsa ini,” ujar Christianto Wibisono, analis ekonomi gaek, yang mengunjungi hari pertama eksebisi tersebut, kepada Historia .

  • Operasi Mengebom Kapal Jepang

    SEIRING meningkatnya penetrasi pasukan Jepang di Asia Tenggara, pada Januari 1942 Belanda memindahkan kesatuan pembom Group 7 ke Pangkalan Udara Manggar (Samarinda II). Grup 7 bertugas melindungi konvoi kapal Belanda dari kapal selam Jepang dan menyerang konvoi kapal Jepang dan pangkalan laut Jepang di Borneo bagian barat. Pada 13 Januari 1942, tiga grup masing-masing tiga pesawat pembom B-10 Glenn Martin menggelar misi penyerangan terhadap armada Jepang di Tarakan. Seorang Indonesia terlibat dalam misi itu: Letnan Suryadi Suryadarma. Sebelum di Group 7, dia menjadi instruktur di Sekolah Penerbang dan Pengintai Kalijati, Jawa Barat. Meski bukan sebagai pilot, impiannya sejak lama, pria kelahiran Banyuwangi itu bertugas sebagai Waarnemer yang berfungsi sekaligus sebagai navigator, observer, perwira pengeboman, dan air liason . Suryadarma, kemudian menjadi KSAP dan KSAU Indonesia pertama, ikut dalam pesawat ketiga bernomor registrasi M-588 yang dipiloti Letnan Penerbang JH Lukkien. Dalam grup itu, dua pesawat lain dipiloti Serma Troost dan Serma WCG Tinkelenberg. Sekira pukul delapan waktu setempat, M-588 mengudara hampir bersamaan dengan dua pesawat lain di grupnya. Cuaca pagi itu amat cerah. B-10 Glenn Martin riskan dimangsa musuh lantaran pesawat tua itu hanya mengandalkan cuaca untuk perlindungan diri. Standing operationprocedure memperbolehkan pilot membatalkan misi apabila cuaca cerah. Tapi Lukkien memutuskan tetap menyelesaikan tugas ketimbang pulang. Mendekati sasaran, para awak M-588 melihat sekira 50 kapal perang Jepang. Mereka mulai menyerang ketika M-588 berada di ketinggian 5000 kaki. M-588 bergerak zigzag untuk menghindari tembakan. Di tengah keadaan genting itu, Suryadarma terus konsentrasi dengan bomb sight -nya untuk mencari mangsa kapal Jepang. Begitu mantap, dia langsung memberi aba-aba yang diikuti terjunnya bom-bom dari ketiga lambung pesawat. Dua kapal perang Jepang tenggelam, salah satunya kapal penjelajah ( battle cruiser ship ). Namun, M-588 menghadapi bahaya baru yang lebih keras. “Lukkien melihat ada enam pesawat Zero yang menyerang mereka dari atas,” ujar Suryadarma dalam Bapak Angkatan udara: Suryadi Suryadarma karya Adityawarman Suryadarma. M-588 langsung melakukan diving untuk menghindari tembakan itu sekaligus terbang rendah. Tembakan itu tak semua meleset. Satu peluru menembus paha Lukkien. “Letnan JH Lukkien mengalami luka parah,” tulis buku terbitan Drukkerij G.C.T. van Dorp, Nederlands-Indië Contra Japan, Vol. 4. Suryadarma segera memberi pertolongan pertama untuk menghentikan pendarahan. Posisi Lukkien diambilalih kopilot Sersan Penerbang Vermey. Sementara itu, pesawat yang dipiloti Tinkelenberg kondisinya lebih parah. Pesawat berantakan oleh serangan pesawat Jepang. Tembakan juga mengenai Tinkelenberg yang tak merasakan sakit. Pesawat itu semakin parah saat serangan kedua mengenai engine throttles sekaligus tangan sang pilot. Akhirnya, pesawat terbakar oleh serangan ketiga. Tinkelenberg memerintahkan para awak untuk terjun. Dia terakhir terjun. Pesawat yang dipiloti Troost juga tertembak jatuh. M-588 satu-satunya pesawat yang masih terbang. Pesawat itu terbang dengan satu mesin karena mesin sebelah kiri tertembak dan mengalami kebocoran bahan bakar. Dalam keadaan pincang, M-588 tetap memberi perlawanan. Bahkan, penembak berhasil menembak jatuh satu Zero. Alih-alih terus memburu M-588, Zero-Zero Jepang balik ke pangkalan. “Karena mengira pesawat buruan mereka sebentar lagi pasti jatuh,” kata Suryadarma. M-588 berhasil mencapai Bandara Manggar. Sebelum pesawat mengurangi ketinggian, Lukkien mengambilalih kemudi karena kopilot belum pernah mendaratkan pesawat. Dengan kondisi lemah, Lukkien berhasil mendaratkan pesawat yang rusak berat itu dengan mulus. “Semua ground crew lari ke kokpit untuk mengeluarkan Lukkien secepat mungkin dan segera dibawa ke rumahsakit,” kata Suryadarma. Keberhasilan misi itu tak hanya membuat bangga para pelakunya, tapi juga warga Belanda. Melalui siaran radio, pemerintah menganugerahi Het Bronzen Kruis kepada awak M-588. Medali itu merupakan tanda jasa khusus militer untuk mereka yang menunjukkan keberanian luar biasa. “Namun, sampai 9 Maret 1942, ketika Belanda menyerah kepada Jepang, Suryadarma masih belum menerima medali tanda jasa tersebut. Baru kelak di kemudian hari pada 1968, setelah Suryadarma pensiun, medali Het Bronzen Kruis diserahkan oleh Kementerian Pertahanan Belanda kepada putra Suryadarma, yaitu Erlangga,” tulis Adityawarman.

  • Menukil Memori Sirkuit Sentul

    Sampai tahun depan, Indonesia masih akan jadi penonton MotoGP. Rencana untuk bisa menghelat salah satu seri perhelatan balap motor paling bergengsi itu tahun 2017 gagal. Operator MotoGP, Dorna Sports, pada Juli 2016 menilai, Sirkuit Sentul di Bogor masih belum layak menggelar MotoGP. “Sirkuitnya bagus, tapi aspal, area  run off , untuk MotoGP terlalu berisiko,” kata Marc Marquez, pembalap top tim Repsol Honda, dalam jumpa pers usai menjajal Sirkuit Sentul, 25 Oktober 2016. Rencana lain Indonesia menghelat MotoGP pada 2018 pun gagal. Thailand justru “menyalip” dengan mengantongi deal menggelar MotoGP di 2018. Nasib Sentul, yang pernah jadi sirkuit internasional satu-satunya yang bisa dibanggakan Indonesia, kian suram. Untuk jadi tuan rumah MotoGP Indonesia 2019, ia mesti bersaing dengan Sirkuit Jakabaring di Palembang, yang pembangunannya hampir rampung, dan Sirkuit Mandalika di Lombok. Padahal, sirkuit ini pernah mendapat kehormatan menggelar dua kali MotoGP Indonesia, pada 1996 dan 1997. Bukan pekerjaan mudah untuk bisa membawa Michael Doohan dkk balapan di Tanah Air saat itu. Sirkuit Sentul, dengan trek sepanjang 3,9 kilometer (kini 4,2 kilometer), awalnya dibangun atas visi putra bungsu Presiden Soeharto, Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto selaku Ketua Umum PB Ikatan Motor Indonesia (IMI) bersama Tinton Soeprapto dan Tunky Ariwibowo serta dukungan pemerintah. Meski peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan pada 1986, proyeknya baru berjalan pada 1990. Kesulitan sponsor menjadi penyebabnya. “(Alokasi dana,  red .) dari kita sendiri (IMI), dari BP Ancol, juga dari Gaikindo. Tenaga desain lay out -nya dari FIA dan FISA yang disesuaikan dengan lahan yang ada,” ungkap Tommy Soeharto di tabloid Otomotif edisi 27 tahun 1991. Menurut rencana awal, Sentul akan punya trek sepanjang sekira 4,2 kilometer. Tommy menjelaskan, Sentul dibangun untuk balap mobil Formula 1 sehingga menggunakan desainer-desainer dari FISA dan FIA (otoritas balap Formula One-F1). Dalam perjalanan, desain trek “disunat” 40 persen, menyisakan 3,9 kilometer. Fasilitas penunjang balapan yang dipunyai Sentul juga belum memuaskan pihak FIA. F1 Grand Prix Indonesia pun batal. Sirkuit yang rampung pada 1992 dan diresmikan Presiden Soeharto pada 22 Agustus 1993 itu justru kemudian mampu menjadi tuan rumah MotoGP Indonesia pada 7 April 1996. Tentu setelah Sentul mendapatkan beberapa pembenahan, yang dilakukan pada Januari sebelumnya. Menurut Kompas 7 April 1996, butuh dana 2 juta dolar Amerika untuk menggelar seri ke-15 MotoGP 1996 itu. Hajatan berjalan lancar. Sekira 100 ribu penggila balapan dunia menyesaki tribun-tribun penonton. Balapan yang terdiri dari tiga kelas itu dimenangi “Mick” Doohan (kelas 500cc), Tetsuya Harada (kelas 250cc) dan Haruchika Aoki (kelas 125cc). Presiden Soeharto turun langsung meyerahkan trofi untuk kelas teratas. Hal itu jadi panggung politik tersendiri buat pemerintahan Soeharto. Saat itu, pemerintahannya mendapat kecaman dan kritik masyarakat Australia terkait kasus-kasus pelanggaran HAM di Timor Timur. Kebetulan, Doohan yang memenangi MotoGP Indonesia 1996 itu merupakan racer asal Negeri Kanguru. “Kesediaan Presiden Soeharto menyerahkan penghargaan kepada Doohan merupakan bukti sikap bersahabat Indonesia terhadap Australia,” tulis Kompas , 8 April 1996. Dukungan pemerintah terhadap perhelatan MotoGP Indonesia juga tak lepas dari niat promosi Indonesia ke dunia internasional. “Ini merupakan promosi besar-besaran tentang Indonesia ketimbang kegiatan muhibah-muhibah ke luar negeri,” tutur Menpora Hayono Isman, dikutip Kompas . Tahun berikutnya, Indonesia masih mendapat kepercayaan menggelar MotoGP Indonesia. Tadayuki Okada, Max Biaggi, dan legenda hidup yang masih aktif balapan, Valentino Rossi,

  • Belanda Sembunyikan Sejarah Perbudakan di Indonesia

    BELANDA semakin merenungi perbudakan. Beberapa tahun terakhir perbudakan yang dilakukannya di masa lampau ini juga sudah masuk dalam buku pelajaran sejarah, baik pendidikan dasar maupun menengah. Dan kalau pada peringatan tahunan berakhirnya perbudakan pada setiap tanggal 1 Juli juga kita perhatikan berita, sambil melihat para politisi yang berdatangan menghadiri peringatan itu, maka timbul kesan seolah-olah Belanda sudah punya kesadaran historis tinggi terhadap masa lampau perbudakannya.

  • Penguat Rasa Itu

    KULINER Indonesia kaya akan rasa karena melimpahnya bumbu dan rempah-rempah. Tapi, demi memperkuat rasa, monosodium glutamat (MSG) atau lebih dikenal dengan sebutan vetsin pun dipakai. MSG bermula dari penemuan Karl Heinrich Ritthausen, ahli kimia Jerman, ketika mengisolasi asam glutamat pada 1866. Kemudian, ahli kimia lain mengubah asam itu menjadi garam natrium, monosodium glutamate . Dalam penelitian itu tak seorang pun tertarik pada soal rasa.

  • Regulasi Membatasi Prostitusi

    GUBERNUR DKI Jakarta Anies Baswedan tidak memperpanjang izin usaha Hotel dan Griya Pijat Alexis. Banyak pihak menengarai usaha spa dan pijat itu hanya kedok dari praktik prostitusi. Penanggulangan prostitusi telah dilakukan sejak zaman kolonial Belanda. Pada 15 Juli 1852, Gubernur Jenderal Albertus Jacobus Duymaer van Twist mengeluarkan surat keputusan mengenai peraturan penanggulangan prostitusi. Surat keputusan ini memuat tiga hal penting. “Pertama, anggaran tahunan dari direktur jenderal keuangan sebesar f20.000 untuk menanggulangi penyakit sifilis; kedua, memerinci aturan prostitusi untuk menangkal aspek berbahayanya; dan ketiga, peraturan ini hanya berlaku di beberapa daerah tertentu,” seperti dikutip dalam Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial terbitan Arsip Nasional Republik Indonesia. Mulanya, aturan itu hanya berlaku di Batavia, Semarang dan Surabaya. Dua tahun kemudian, peraturan itu diterapkan di Cianjur dan empat kota lain. Dalam perkembangannya, pemerintah kolonial memperluas jangkauan penerapan peraturan penanggulangan penyebaran prostitusi. Sejak 1857, peraturan tersebut diberlakukan di Banten, Banyumas, Madiun, Bagelen, Probolinggo, Besuki, Cirebon, Jepara, Pasuruan, Buitenzorg, Karawang, Yogyakarta, Magelang, Bandung dan Kudus. Disusul Tegal, Madura, Sumedang, Tulungagung pada 1861. Lalu Purwodadi dan Pekalongan pada 1863; Banyuwangi pada 1866; serta Gresik dan Cirebon pada 1869. Meski sudah banyak kota menerapkan pembatasan pelacuran, jumlah rumah bordil dan pelacur tak berkurang. Pemerintah pun memperbarui aturan dan semakin memperketatnya. Pada 21 Januari 1874, gubernur jenderal Hindia Belanda mengeluarkan besluit No. 14 tanggal 21 Januari 1874 yang memuat 23 pasal untuk menanggulangi masalah prostitusi. Pengendalian pelacur dilakukan dengan cara pemberian kartu. “Masing-masing pelacur yang didaftar akan diperiksa kesehatannya oleh tim kesehatan untuk mengetahui apakah dia terinfeksi atau tidak. Dan jika mereka sehat, akan diberi kartu yang berisi nomor urut pendaftaran, nama dan tempat tinggal dan tanggal penyerahan nama serta kualitas,” seperti dikutip dalam Pasal 8 dan 9, termuat dalam Pemberantasan Prostitusi di Indonesia Masa Kolonial . Diterangkan pula, jika seorang wanita sudah terdaftar sebagai “wanita-publik”, maka dia sulit lepas dari statusnya tersebut, kecuali tiga hal yaitu: mati, permintaan menikah, dan permintaan keluar sebagai “wanita-publik” dengan rujukan polisi. Kartu tersebut menjelaskan nomor pendataan, nama dan alamat yang bersangkutan, serta tanggal pemeriksaan dan nama orang yang memeriksa beserta jabatannya. Berdasarkan peraturan baru tersebut, seorang pelacur pun harus tinggal tidak lebih dari 6 pals atau sekira 1,51 hingga 1,81 kilometer dari rumah sakit tempat dokter sipil berpraktik. “Di tataran implementasi, peraturan tersebut hanya mengatur para pelacur. Dalam beberapa pasal memang disebut pengawasan terhadap para pengelola rumah pelacuran. Hanya saja, sebetulnya, para pelacurlah yang menjadi subjek di dalamnya. Bisa dikatakan peraturan tersebut lebih ditujukan untuk menjinakkan para pelacur,” tulis Gani Ahmad Jaelani dalam disertasinya yang dibukukan berjudul Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942 . Mengapa pemerintah sangat keras mengatur pelacuran di Hindia Belanda? Sebab, ini terkait dengan penyakit kelamin yang menjangkiti masyarakat, terutama kalangan tentara. “Sebagai ujung tombak kolonialisme, serdadu harus dalam kondisi bugar. Namun, di sisi lain, mereka butuh memenuhi kebutuhan seksualnya. Inilah titik lemah serdadu. Nah, salah satu penyalurannya ya dengan mengunjungi rumah bordil yang tersebar di sekitar tangsi,” ujar Agus Setyawan, sejarawan Universitas Indonesia, kepada Historia . Pemerintah kolonial meningkatkan anggaran untuk menanggulangi penyakit sifilis. Semula f20.000 pada 1857, naik 130% menjadi f46.000 pada 1866.*

bottom of page