Hasil pencarian
9596 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Cenderawasih, Si Burung Surga dalam Bahaya
ALFRED Russel Wallace, naturalis kebangsaan Inggris takjub saat kali pertama menyaksikan burung cenderawasih ( Paradisaeidae ). Pada 1860, Wallace mengadakan ekspedisi ke pulau Waigiou (Waigeo, red ), Papua untuk meneliti keadaan alam di sana. Dalam amatannya, burung ini memiliki bulu yang indah bila dibandingkan dengan kelompok burung lainnya. Keindahan bulu cenderawasih, terutama warna kekuningan dari sayap yang menjuntai, tidak dapat disamai oleh burung lain, kecuali barangkali oleh burung-burung pekicau. “Tapi tetap tidak ada yang melampaui keindahan cenderawasih. Saya adalah satu-satunya orang Inggris yang telah melihat keindahan burung ini di hutan asalnya,” kata Wallace dalam mahakaryanya Kepulauan Nusantara yang berjudul asli The Malay Archipelago . Paling tidak, menurut Wallace , ada 50 spesies cenderawasih yang telah diketahui. Sebanyak 40 spesies terdapat di Papua. Di wilayah ini pula jenis-jenis cenderawasih yang berbulu indah tersebar. Di era kurun niaga, para pedagang Eropa yang menyinggahi Maluku untuk mencari cengkeh dan pala, kerap menerima hadiah dari penduduk lokal berupa cenderawasih yang telah diawetkan. Wallace mencatat, saudagar-saudagar Melayu menamainya “Manuk Dewata” atau burung dewa. Orang-orang Portugis, karena cenderung melihat cenderawasih yang diawetkan tanpa kaki dan sayap, serta tak mempelajarinya secara langsung, menamakannya passaros de sol atau burung matahari. Karena keindahannya, ada mitos yang kian menambah daya pikat cenderawasih. Konon, cenderawasih jarang menjejak kaki ke bumi. Ia lebih sering terbang di udara atau hinggap di dahan pohon hingga mati berkalang tanah. Inilah yang membuat cenderawasih berjuluk si burung surga ( bird of paradise ). Sementara bagi beberapa sub suku Papua, burung cenderawasih melambangkan sifat suci yang kerap dijadikan sesembahan dalam ritus adat. Tak pelak, hewan ini menjadi sumber daya alam yang begitu berharga di Papua sekaligus mangsa buruan. Wanita Eropa mengenakan bulu burung cenderawasih sebagai bagian dari mode. Foto: Muller, 2008 Sebagai komoditas dagang, perburuan cenderawasih mulai marak di abad 19. Di Sungai Digul, Merauke, Papua bagian selatan, pemerintah kolonial sengaja membuka lahan hutan untuk perburuan cenderawasih. Kebijakan yang digagas asisten residen L.M.P. Plate sebagai ikhtiar meningkatkan kas daerah melalui pemungutan pajak. Sebagaimana dicatat sejarawan Rosmaida Sinaga dalam Jejak Kebangsaan: Kaum Nasionalis di Manokwari dan Boven Digul , para pemburu cenderawasih diizinkan memasuki wilayah itu. “Para pemburu burung cenderawasih diwajibkan membayar pajak kepada pemerintah,” tulis Rosmaida dalam artikelnya “Tanah Merah, Boven Digul: Kota Pemerintahan dan Kamp Interniran pada Masa Kolonial.” Pemburu cenderawasih kebanyakan berasal dari kaum pendatang. Di Papua kawasan selatan, pemerintah kolonial kerap kali dipusingkan dengan aksi perburuan liar tukang-tukang pasang. Tukang pasang adalah istilah yang dipakai pemerintah kolonial untuk orang etnis Tionghoa yang berprofesi sebagai pemburu cenderawasih. Sedangkan di tepi pantai utara Papua, pemburuan cenderawasih dilakoni oleh pendatang asal Buton, Sangir, Ternate, dan Tidore. Des Alwi dalam Sejarah Maluku mencatat, bulu burung cendrawasih yang dijajakan di pasar-pasar kota di Maluku adalah hiasan yang teramat mahal. Tubuh burung itu juga dikeringkan sebagai hiasan pajangan. Secara ekonomi, perdagangan cenderawasih dianggap sangat menguntungkan kawasan timur pemerintah Hindia Belanda. Misalnya pada 1912, sebanyak 30.000 ekor cenderawasih senilai sejuta gulden telah diekspor dari Manokwari dengan pajak ekspor sebesar 100.000 gulden. Produk olahan cenderawasih terutama bulunya laku keras di pasar Eropa dan digunakan untuk kebutuhan mode busana. Eksploitasi besar-besaran terhadap cenderawasih ternyata membawa masalah baru. Kerusakan alam adalah efek yang ditimbulkan di samping menyusutnya populasi cenderawasih di ambang kepunahan. Pemburu cenderawasih yang dengan senjata apinya telah membuat hutan-hutan tak aman. Dalam buku Sang Pelopor: Peranan Dr. S.H. Kooders dalam Sejarah Perlindungan Alam di Indonesia karya Panji Yudhistira, selama periode 1898-1908 terjadi pertarungan ide antara keinginan untuk melindungi satwa burung di satu sisi, dengan keinginan mempertahankan perdagangannya di sisi lain. Pada 1922, pemerintah kolonial mengeluarkan keputusan yang melarang perburuan burung cenderawasih. Pun demikian dengan burung lainnya seperti kasuari, mambruk, dan merpati mahkota. Meski demikian, perburuan dan perdagangan liar tetap mengancam cenderawasih. Ia kadung kesohor sebagai burung surga. Menurut World Wildlife Fund (WWF) Papua, antara 1900-1930-an penjualan cenderawasih mencapai 10.000-30.000 ekor per tahun. Dari 1820 Hingga 1938, total penjualan burung cenderawasih ke seluruh Eropa ditaksir kurang dari 3 juta ekor. Pada 1990, pemerintah Indonesia melalui UU No. 5 tahun 1990 menetapkan cenderawasih sebagai satwa yang dilindungi. Sementara itu, data terbaru Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN) yang dikeluarkan tahun 2014, memasukan cenderawasih ke dalam daftar merah dengan kategori rentan yang berarti: menghadapi resiko punah di alam liar di waktu mendatang.
- Mencari Museum yang Mendidik
IRAMA lagu dangdut mengalun di sisi barat Museum Kereta Api Ambarawa, Kabupaten Semarang. Rupanya, pengelola museum membuat panggung kecil untuk memberi hiburan kepada para pengunjung selama dua hari ini, 14-15 Oktober 2017, dalam rangka menyemarakkan Hari Museum setiap 12 Oktober. Sebagian besar pengunjung tampak berkerumun, menikmati suguhan lagu, sembari menunggu giliran naik kereta api wisata dari stasiun Ambarawa ke stasiun Tuntang. Di sisi yang lain, sesela lokomotif-lokomotif tua, beberapa anak muda usia SMP berseragam kaos kuning, nampak bergerombol. Mereka menikmati paparan sejarah dari seorang ahli perkeretaapian Indonesia, Tjahjono Rahardjo. Lokasi museum Kereta Api Ambarawa merupakan titik pertemuan antara jalur dengan lebar kereta 1.435 mm ke arah Kedungjati dengan jalur lebar kereta 1.067 mm ke arah Yogyakarta via Magelang. Museum ini berdiri pada 6 Oktober 1976 untuk menyimpan lokomotif uap, ketika jalur rel 1.435 mm ditutup. “Dari kunjungan ini ada hal baru yang saya ketahui, seperti masih adanya kereta uap yang sampai sekarang masih beroperasi. Dari Ambarawa ke Jambu. Dan ada pula kereta wisata yang hanya melayani dari Ambarawa ke Tuntang. Dan gerbongnya lucu. Tua gitu,” ujar Hosea Adi Prasetyo, siswa kelas 7 SMP Masehi PSAK Ungaran. Hosea tak sendiri. Ia bersama sekira 30-an siswa dari beberapa SMP di Kabupaten Semarang sedang mengikuti Lomba Detektif Sejarah yang dihelat Paguyuban Citra Bawana Lestari, museum Kereta Api Ambarawa. “Membuat event seperti Lomba Detektif Sejarah ini bagus. Artinya ada animo kuat dari masyarakat untuk mengetahui museum-museum yang ada di sekitarnya. Nah sekarang tugas saya dan teman-teman di museum kereta api khususnya, untuk bisa memberikan yang lebih menarik, tidak membuat bosan,” ujar Tjahjono Rahardjo. Jika Hosea yang baru berkunjung ke museum kereta api baru pertama kalinya, hal berbeda diungkapkan pengunjung museum KA yang sudah beberapa kali kesana. “Ya membosankan. Gak ada hal baru. Ini karena mengajak anak saja kesini yang selalu pengen naik kereta wisata,” ujar Ratih Hapsari, pengunjung dari Semarang. Ujaran Ratih itu seperti diaminkan oleh Tjahjono Rahardjo. Ia melihat banyak musum kurang atraktif, sehingga sepi pengunjung. “Dalam suasana sekarang ini, yang biasa dengan gawai dan internet, agak susah jika mengajak atau meminta mereka datang ke museum. Apa sih museum itu, barang-barang tua, dengan sedikit teks keterangan. Ini tidak menarik. Tidak hidup,” ujar Tjahjono Rahardjo, pengajar di Universitas Katholik Soegijapranata kepada Historia . Menurutnya, pengelola museum sekarang harus dituntut kreatif, jika ingin menjaring pengunjung dari kalangan muda. “Ada satu pengalaman saya saat ke museum kereta api terbesar di dunia, di York, Inggris. Disana terdapat atraksi di salah satu koleksi museum itu. Jadi di depan satu koleksi, ada seorang dengan busana yang ada sejaman dengan koleksi tersebut. Nah dia mendongeng. Tidak kaku, tapi dengan bahasa populer. Bukan hanya anak muda yang tertarik, tapi saya pun yang sudah berumur ini, juga tertarik,” ujar anggota Indonesian Railway Preservation Society sejak 2006 ini. Tjahjono memberi apresiasi besar terhadap animo masyarakat untuk berkunjung ke museum. Namun ia menyayangkan, pihak museum seperti belum siap. “Di sini banyak koleksi yang bagus ya, namun seperti bisu. Jadi ya pengunjung yang datang hanya mendapatkan hiburan atau rekreasi semata, belum pada taraf edukatif,” pungkas Tjahjono.
- Mengapa Baret Marinir Berwarna Ungu?
STEVEN masih ingat kejadian pagi itu. Kala rusuh melanda Jakarta pada 14 Mei 1998, ia terjebak di tengah massa yang sedang beringas di kawasan Jalan Hayam Wuruk. Saat lelaki Tionghoa itu dilanda kebingungan, tetiba sekelompok orang mengepungnya lalu melontarinya dengan berbagai pukulan. “Untunglah dalam kondisi kritis itu, dua tentara berbaret ungu menembakan senjatanya ke udara hingga membuat massa kabur. Mereka lalu mengamankan saya,” kenang pedagang berusia 45 tahun tersebut. Dua tentara berbaret ungu itu tak lain adalah anggota Korps Marinir, salah satu kesatuan elite TNI AL. Lahir dari rahim revolusi Indonesia pada 15 November 1945, Korps Marinir dalam perkembangannya selalu terlibat dalam berbagai operasi tempur dan operasi kemanusiaan yang diadakan oleh TNI AL. “Seperti kesatuan elite lain, sejarah kami adalah suatu sejarah tentang pengabdian tanpa batas untuk negara ini…” ujar Krisna Rubowo, pensiunan marinir berpangkat kolonel. Namun tahukah anda, mengapa salah satu kesatuan elite tertua di Indonesia itu memilih ungu sebagai warna baretnya? Menurut buku Korps Komando AL dari Tahun ke Tahun , dipilihnya warna ungu karena dua hal. Pertama, ungu adalah salah satu warna selendang Nyai Roro Kidul, yang dalam mitologi Jawa merupakan penguasa samudera Indonesia. Selendang ungu milik Sang Ratu Pantai Selatan itu dipercaya sangat ampuh dalam memberikan perlindungan dan pengamanan. Kedua, ungu baret Korps Marinir juga diilhami dari warna bunga Bougenville yang telah gugur sebelum layu. “Ini juga melambangkan pengabdian seorang prajurit Korps Marinir dalam mempertahankan dan memelihara keutuhan negara,” tulis karya yang dibuat oleh Bagian Sejarah KKO-AL (nama lama Korps Marinir) itu. Sejarah juga mencatat, warna ungu dipakai kali pertama oleh Korps Marinir (saat masih bernama KKO AL) berupa pita sebagai kode pengaman pada 1958. Ketika itu pasukan Korps Marinir terlibat dalam Operasi 17 Agustus, suatu aksi militer menumpas pembangkangan PRRI (Pemerintah Revolusiener Republik Indonesia) di Sumatera Barat. Baru pada 1961, Korps Marinir mengabadikan warna ungu bagi baretnya, tepat saat Batalyon I KKO AL terlibat dalam Operasi Alugoro di Aceh.
- Selalu Dikira Tentara Belanda
Kalapa Nunggal, Cianjur 1947. Hari menjelang siang, ketika seorang penduduk secara tergopoh-gopoh datang ke pos TNI setempat.Kepada Prajurit Satibi, ia lantas melaporkan bahwa di ujung desa dua serdadu Belanda tengah menuju ke arah mereka. Dilapori demikian, tentu Satibi panik. Ia lantas memberitahukan kawan-kawan satu seksinya untuk bersiap di titik-titik strategis. “Kami tidak menyangka tentara Belanda bisa menemukan posisi kami yang ada di pelosok terpencil,” kenang Satibi (90) kepada Historia . Setengah jam telah berlalu, namun dua tentara Belanda itu tak juga menampakan batang hidung mereka. Namun baru saja pasukan kecil itu akan beranjak, tiba-tiba di persimpangan jalan muncul dua lelaki berpakaian khaki. Mereka lantas kembali ke posisi semula dan siap akan menembak, jika lelaki itu tak segera berteriak:“Heh kalian itu kenapa? Di sini saya Kawilarang, komandan TNI!” ujarnya. Ternyata, orang yang dikira serdadu Belanda itu tak lain adalah Letnan Kolonel Alex Evert Kawilarang, komandan Batalyon Suryakencana Divisi Siliwangi, yang sekilas memang mirip orang Belanda karena memiliki kulit putih dan perawakan tinggi tegap. Kawilarang berperan dalam menggagas pasukan komando yang kemudian menjadi Kopassus. Soal disangka sebagai tentara Belanda ini memang kerap dialami lelaki Minahasa itu. Dalam biografinya yang ditulis oleh Ramadhan K.H., Untuk Sang Merah Putih , Kawilarang berkisah bagaimana saat ditugaskan ke Sumatra Utara, penduduk setempat tak jarang langsung ketakutan saat melihat sosoknya. Bahkan dikisahkan, dia pernah ditembaki kawan sendiri saat berpatroli di suatu kawasan hutan. Di Garut pada 1947, Letnan Muda Soedarja pernah melakukan aksi tutup mulut terhadap Kawilarang. Ceritanya, saat berjaga di suatu kawasan desa, ia dipergoki oleh seorang “tentara Belanda” dan ajudannya. “Dia menanyakan kepada saya: di mana Nasution? Saya mau bertemu dengannya?” kenang lelaki kelahiran Sumedang 91 tahun lalu itu. Sebagai perwira intelijen yang mengawal Jenderal Mayor A.H. Nasution (Panglima Divisi I Siliwangi), Soedarja tentu saja waswas dengan pertanyaan itu. Alih-alih terus terang, dia malah memilih diam seribu bahasa. Di tengah situasi menegangkan itu, tiba-tiba muncul seorang kapten yang mengenal wajah Kawilarang. “Letnan kenapa tidak cepat langsung mengantarkan Overste Kawilarang kepada panglima?!” ujar kapten itu dalam nada marah. Namun sebelum Soedarja menjawab, Kawilarang cepat mafhum bahwa dirinya dikira tentara musuh. Dia lantas meredakan amarah sang kapten. “Bukan salah dia Kep, saya tahu dia hanya mau melindungi panglimanya,” ujar Kawilarang. Sebelum meninggalkannya untuk bertemu Nasution, Soedarja masih ingat, Kawilarang menepuk-nepuk bahunya sambil berkata: “Bagus kamu!”
- Ketika Yani Akan Menangkap Nasution
KSAD Jenderal TNI Nasution mencalonkan Mayjen TNI Gatot Soebroto sebagai penggantinya, namun ditolak Presiden Sukarno. Nasution kemudian mengusulkan deputi operasinya, Mayjen TNI Ahmad Yani. Nasution menganggap Yani memiliki beberapa kelebihan. “Dia telah memperoleh reputasi yang baik ketika memimpin pasukan dan dengan mudah menupas pemberontakan PRRI tahun 1958, dan sebagai seorang antikomunis yang keras, mendapat kepercayaan Nasution dan korps perwira umumnya,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia . Kepemimpinan Yani dianggap dapat melanjutkan peran AD dalam membendung pengaruh PKI yang semakin besar memasuki dekade 1960-an. Dengan pembawaan diri yang luwes, Yani diyakini dapat mengambil hati Sukarno dan berangsur-angsur mempengaruhinya untuk mengerem laju komunis yang kian cepat. Sukarno sendiri mengenal Yani dengan baik. Selain berprestasi, Yani bekerjasama dengan Sukarno selama di KOTI (Komando Operasi Tertinggi). Menurut Crouch meskipun Yani menentang keras kebijakan Sukarno terhadap PKI, tetapi gayanya berbeda dengan Nasution. Sebagai seorang Jawa, dia cenderung memperlakukan Sukarno sebagai “bapak” yang bisa saja bertindak salah tetapi tidak boleh ditentang secara terbuka. Sehingga, dia lebih mudah menjadi bagian dari lingkungan Sukarno. Sukarno menerima usul Nasution. Yani resmi menjabat KSAD pada 23 Juni 1962. Sesuai harapan Nasution dan banyak perwira, Yani tetap dapat menjaga independensi politik AD sekaligus mengambil hati presiden. Bahkan, Yani menjadi kesayangan Sukarno. Namun, kedekatan Yani dan Sukarno membuat hubungannya dengan Nasution menjauh. Mereka semakin banyak pertentangan kecuali melawan PKI. Penggantian beberapa panglima kodam mengecewakan Kubu Nasution. Selain itu, Nasution dan para perwira menengah yang hidup sederhana prihatin dengan gaya hidup glamor Yani dan beberapa jenderal di sekelilingnya. Yani lebih cenderung masuk ke dalam Istana ketimbang AD. Menurut Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dalam Kesaksianku Tentang G-30-S , hal itu memang yang diinginkan Sukarno dari pengangkatan Yani. “Tugasnya, secara formal, jelas memimpin pasukan TNI AD, namun di balik itu Yani mendapat misi khusus dari presiden agar membatasi desakan kubu Nasution terhadap pemerintah,” kata Soebandrio. Namun, konflik Yani dan Nasution baru terjadi ketika Dwikora yang oleh Nasution dinilai sebagai momen penting untuk menunjukkan peran politik dan kesetiaan AD terhadap negara. Meski sudah tak punya wewenang komando, Nasution nekat mengorganisasi kegiatan anti-Malaysia di Kalimantan untuk menarik simpati rakyat kepada AD sekaligus mengungguli PKI dan BPI (Badan Pusat Intelijen) di bawah Soebandrio. Nasution bahkan memerintahkan Panglima Kalimantan Kolonel Hassan Basri mengirim pasukan ke Kalimantan Utara untuk operasi-operasi intelijen. Perbuatan Nasution jelas menyalahi aturan. “Yani sangat marah dengan tindakan Nasution yang melangkahi jalur komando itu, dan dia mulai menyabot kebijaksanaan Indonesia terhadap Malaysia,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI . Namun, sepulang dari Filipina, hubungan Yani dengan Nasution kembali pulih. Konflik Yani dengan Nasution semakin keras ketika lembaga pemberantasan korupsi yang dipimpin Nasution, Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) semakin dalam masuk ke dalam SUAD (Staf Umum AD). Namun, Yani tak frontal melawan karena presiden turun tangan bahkan membubarkan Paran dan menggantinya dengan Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi). Toh, AD tetap solid tapi hanya untuk melawan PKI. Dalam hal lain, AD tidak pernah benar-benar solid. Pada awal 1965, kentara ada dua kubu yang saling bersaing dalam AD: faksi Yani dan Na-To (Nasution-Soeharto). Keduanya berbeda sikap dalam menghadapi Sukarno, yang kala itu dekat dengan PKI. Na-To tak suka Yani dan jajarannya yang terlalu mengikuti tabuhan genderang presiden, sementara Yani tak suka kekakuan Nasution dalam berpolitik. Perbedaan itulah, menurut Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto , yang membawa konflik keduanya ke puncak. Pada akhir 1964, Yani menarik pasukan dari Mabad (Markas Besar AD) yang menjaga rumah Nasution. Mengetahui panglima pertama Siliwangi diperlakukan seperti itu, Pangdam Ibrahim Adjie –yang sama-sama antikorupsi dan pernah bekerjasama dengan Nasution dalam Operasi Budhi– langsung mengirimkan satu pleton pasukannya untuk mengawal rumah Nasution. Yani juga memarahi Letkol Muchlas Rowi, salah seorang komandan batalyon di Kodam Brawijaya karena kedapatan menjalankan perintah Nasution tanpa sepengetahuannya selaku panglima AD. “Padahal, waktu itu Jenderal Rowi sudah dimutasikan dari Mabes Angkatan Darat ke Kantor Menko Hankam/KSAB Nasution,” tulis Salim Said. Pada awal 1965, ketegangan semakin meningkat. Yani mengambil keputusan keras. “Pada suatu hari Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani memerintahkan Mayor Jenderal TNI Suprapto, salah seorang deputinya –kemudian lebih dikenal sebagai salah seorang Pahlawan Revolusi– menangkap Jenderal Nasution,” tulis Salim Said. Perintah itu dimaksudkan Yani untuk menunjukkan loyalitasnya kepada Sukarno. Meski tak menyebar ke khalayak, kabar perintah itu sampai ke kubu Nasution. Brigjen TNI Abdul Kadir Besar, salah seorang perwira di kubu Nasution, mengatakan bahwa kubunya telah menyiapkan senjata untuk menghadapi konflik fisik bila Nasution ditangkap. Pasukan Siliwangi yang dikirm Adjie untuk menjaga rumah Nasution pun siap siaga. Namun, kabar perintah penangkapan Nasution itu sampai ke telinga jenderal-jenderal senior. Basuki Rahmat, R. Soedirman, Sarbini, dan Soeharto, menentang rencana Yani itu. Yani langsung membatalkan perintahnya beberapa hari kemudian. “Bentrok antara pendukung masing-masing kubu yang nyaris terjadi, berhasil terhindarkan,” tulis Said.
- Bersatu dalam Melodi
MUSIK dikenal sejak kehadiran manusia modern. Maka, memainkan atau mendengarkan musik, yang memiliki suara berirama atau lagu, menjadi salah satu aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan akan keindahan. Tanpa musik, menurut filsuf Friedrich Nietzsche (1844-1900), hidup akan menjadi kesalahan. Tak semua orang bisa memainkan musik nan indah. Sebagian besar malah hanya ingin menikmatinya untuk mendukung aktivitas atau sekadar mengisi waktu luang. Maka, manusia pun berpikir bagaimana musik bisa didengarkan kapan saja dan di mana saja. Terciptalah alat perekam, penyimpan, penyalur, atau pemutar musik. Kotak Musik Seorang pembuat jam dari Swiss, Antoine Favre Salomon (1734-1820), menciptakan kotak musik pada 1796. Dia membuatnya dari barisan lempengan logam, pengganti lonceng, yang dapat disetel dalam skala nada yang lebih banyak dan ketepatan bunyi yang bagus. sejak 1815, model kotak musik rancangan Salomon mulai diproduksi massal. Di kota Sainte Croix, Switzerland, pengusaha bernama Jeremie Recordon merintis pembuatan massal kotak musik ini. Dia gagal. Pengusaha lain, Samuel Junod, mencoba membuka pabrik serupa. Phonograph Setelah telepon dan telegraf, pada 1877 Thomas Alva Edisson (1847-1931) merancang mesin yang bisa merekam suara pada telepon dan memutarnya kembali. Suara pertama yang terekam dan diputar kembali adalah ucapan Edisson sendiri: “Mary had a little lamb.” Alat ini bernama phonograph. Graphophone Alexander Graham Bell (1847-1922) dan Charles Sumner Tainter (1854-1940) mulanya bekerjasama untuk mengembangkan telepon-radio. Kerjasama berlanjut dengan pembuatan perangkat perekam sekaligus pemutar suara yang disebut graphophone. Setelah dipatenkan dan diproduksi, alat ini digunakan para etnolog di Amerika pada 1890-an untuk merekam suara dan musik bangsa Indian. Piringan Hitam Kualitas suara yang dihasilkan phonograph dan graphophone belum sempurna. Pada 1888, Emile Berliner (1851-1929) merancang alat baru dengan menggunakan media cakram atau piringan, selanjutnya disebut piringan hitam, untuk menyimpan rekaman suara. Untuk mendapatkan suara dari piringan, gramophone ini dilengkapi stylus. Eldridge Reeves Johnson (1867-1945) lalu menyempurnakannya sehingga kecepatan putar piringan menjadi lebih stabil. Pemancar Radio Setelah penemuan gelombang elektromagnetik, Guglielmo Marconi (1874-1937) dari Italia bereksperimen bahwa arus listrik sederhana dapat melintasi udara dari kawat ke kawat. Marconi pun mengembangkan teknologi pemancar dan antena untuk membuat pemancar radio lintas Atlantik, Inggris dan Newfoundland-Kanada. Reginald Aubrey Fessenden (1866-1932) lalu menambahkannya dengan Heterodin, alat untuk mengubah frekuensi radio sehingga frekuensi itu mudah diatur dan dapat diperkuat. Fassenden mengirim suara manusia dan musik dari stasiun radionya di Brant Rock-Masachusets, AS, ke kapal-kapal di lepas pantai Atlantik. Zaman emas radio pun dimulai pada 1920, dengan berdirinya stasiun radio komersial pertama, KDKA, di Pittsburg, AS. Kotak Radio David Sarnoff (1891-1971), yang populer memberitakan tenggelamnya kapal Titanic melalui radio, menyarankan agar radio dibuat secara massal. Menurutnya, radio akan menjadi perlengkapan rumah tangga. Baru tahun 1919, idenya terlaksana dengan berdirinya Radio Corporation of America (RCA), sebuah perusahaan elektronik Amerika. Magnetophone Teknologi perekam suara menjadi praktis dengan adanya Magnetophone model K1 bikinan Allgemeine Elektricitäts-Gesellschaft (AEG) dari Jerman yang dipamerkan pada acara Berlin Radio Show tahun 1935. Magnetophone didasari pada penemuan pita magnetik oleh Fritz Pfleumer (1881-1945). Namun suara yang dihasilkan masih bising. Dalam perkembangannya, magnetophone menghasilkan suara lebih baik dan dipakai secara luas untuk merekam konser, pertunjukan opera, hingga pidato. Selama Perang Dunia II dipakai dalam siaran radio. Dari alat inilah berkembang tape recorder . Walkman Koninklijke Philips N.V atau Phillips, berbasis di Eindhoven-Belanda, meluncurkan compact audio cassette atau kaset sebagai media penyimpan audio baru. Setahun berikutnya diperkenalkan di seantero Eropa dan Amerika. Pada akhir 1970-an, Sony dari Jepang mengembangkan alat pemutar kaset audio portabel dengan nama walkman. Kehadiran walkman mengubah kebiasaan orang mendengarkan musik, yang bisa didengarkan kapan saja dan di mana saja. Pemutar CD April 1982, Lou Ottens, direktur teknik bidang audio dari Phillips, memperkenalkan compact disc atau CD. Phillips dan Sony beradu argumen mengenai ukuran CD. Akhirnya disepakati CD berdiameter 115 milimeter dan memiliki kapasitas penyimpanan audio berdurasi 74 menit, diambil untuk dapat memuat Beethoven 9th Symphony. Sebagai pelengkap, mereka meluncurkan pemutar CD; Sony dengan Goronta dan Phillips dengan Magnavox. Prinsip kerja pemutar CD ini adalah adanya bagian optik sebagai sarana utama membaca kepingan CD. Sony, sekira 1984, juga meluncurkan tipe portabel dari pemutar CD, yang dinamakan D-50 alias discman. iPhone Oktober 2001, perusahaan Apple meluncurkan pemutar musik portabel mini yang disebut iPod. Menurut Steve Jobs, pemutar musik konvensional dengan ukuran besar sudah bukan zamannya. iPod diciptakan untuk mengatasi kebutuhan penyimpanan audio yang besar. Kapasitas iPod pun dibuat dalam ukuran mulai 2 sampai 160 gigabyte. Jenis audio yang diputar dalam iPod adalah mp3, yang dikembangkan Karlheinz Brandenburg, ahli audio dari Fraunhofer Institute-Jerman. Dia berksperimen membuat mp3 pada lagu “Tom’s Diner” yang dinyanyikan Suzanne Vega. Kemunculan mp3 memungkinkan kita mentransfer maupun memutar musik di beragam perangkat, dari telepon selular hingga komputer.
- Mahasiswa Indonesia dalam Proyek NASA
KEBOHONGAN Dwi Hartanto terbongkar. Sebelumnya, media menyebutnya “ The next B.J. Habibie” karena prestasinya yang luar biasa dalam teknologi antariksa dan roket. Padahal, dia hanya mahasiswa doktoral di Technische Universiteit Delft, Belanda. Terlepas dari kebohongan itu, sejak 1960-an Indonesia sebenarnya memiliki ilmuwan-ilmuwan hebat bahkan pernah bekerja dalam sebuah proyek NASA (National Aeronautics and Space Administration). Salah satunya Giri Suseno Hadihardjono (1941-2012). Setelah lulus dari jurusan teknik mesin Institut Teknologi Bandung (ITB), pada Juni 1964 Giri bersama 23 orang dari ITB dan IPB mendapat beasiswa S2 ke Amerika Serikat melalui program USAID (United States Agency for International Development). Giri dan beberapa orang ditempatkan di University of Kentucky di Lexington. Setahun kemudian, dia pindah ke University of Michigan di Ann Arbor. Sambil kuliah, dia bekerja dengan pembimbingnya, Prof. Charles Lipson. “Beliau sedang mengerjakan proyek dari Badan Luar Angkasa Amerika Serikat (NASA) untuk meneliti sifat-sifat kelelahan ( fatigue properties ) pada material,” kata Giri dalam biografinya, Bermula dari Nol, Banda Aceh sampai Los Palos. Giri bertugas melakukan analisis terhadap kemampuan material dalam menerima beban berulang seperti yang terjadi bila material itu menerima getaran hingga material itu patah. “Belakangan baru saya ketahui bahwa material itu digunakan dalam pesawat ruang angkasa Apollo Space Craft,” kata Giri. Giri membantu Lipson sampai lulus S2 dengan gelar MSME (Master of Science in Engineering-Mechanical Engineering) pada Juli 1966. Almamater memanggilnya pulang. Lipson berusaha menahannya dengan menawarkan dua tempat kerja: laboratorium University of Michigan yang dipimpinannya atau Stress Analytic Laboratory milik Ford Motor Company. Giri menolak meski ditawari gaji sangat besar, US$9.000 per tahun. Lipson tetap mendesak bahkan meminta tunangan Giri menyusul ke Amerika Serikat. Dia akan menanggung biaya perjalanannya. Dia juga menyarankan agar Giri menikah di Amerika Serikat. Namun, Giri tetap menolak. Ketika Lipson bertanya berapa gajinya, Giri menjawab sekitar US$70 per bulan. “Beliau sampai bilang bahwa saya sudah gila. Ditawari gaji yang jauh lebih besar tidak mau, malah mau hidup dengan gaji kecil. Profesor Lipson berkata, ‘ Either you are dumb or crazy’ (entah Anda bodoh atau gila),” kenang Giri. Kawan Giri yang bergelar master asal India dan bekerja di laboratorium University of Michigan mendengar pembicaraan mereka. Sambil bercanda dia mengatakan bahwa Giri keponakan Presiden Soeharto; Giri dipanggil pulang bukan karena panggilan almamater tapi akan membantu pamannya yang baru saja naik takhta menjadi presiden menggantikan Sukarno. “Saya tidak tahu dia mengarang cerita itu dari mana sumbernya, karena saya memang bukan keponakan Pak Harto. Karena itu, kami bertiga pun tertawa-tawa,” kata Giri. Sekembalinya di Indonesia, Giri menjadi dosen di ITB. Dia kemudian berkarier di direktorat perhubungan: direktur LLAJR, sekretaris sampai dirjen perhubungan darat, wakil B.J. Habibie di Badan Pengelola Industri Strategis (BPIS), dan menteri perhubungan merangkap menteri pariwisata, seni dan budaya (1998-1999).
- Kenapa Indonesia Miskin
BERMULA dari kunjungan Luiten van Zanden dan Daan Marks ke Arsip Nasional Republik Indonesia, terbersit keinginan untuk menggali sebuah misteri di balik perkembangan ekonomi Indonesia: bagaimana bisa sebuah negara seperti Indonesia, dengan segala sumber daya manusia dan alamnya yang melimpah, mengalami arah pertumbuhan yang tak menentu dan timpang?
- Wangsit Sarwo Edhie Wibowo
SARWO Edhie Wibowo ikut mengantarkan Soeharto ke tampuk kekuasaan. Sebagai komandan RPKAD (kini Kopassus), sang kolonel memimpin penumpasan Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun, hubungan mereka tak bisa dibilang akur. Pangkal perseteruannya terjadi setelah peristiwa G30S. Usai memimpin pasukannya mengamankan lapangan terbang Halim Perdanakusumah, Sarwo hendak melapor kepada Soeharto. Namun, Laksamana Muda Udara Herlambang meyakinkan Sarwo bahwa Soeharto berada di Bogor memenuhi panggilan presiden. Sarwo pun ikut rombongan AURI ke Bogor menggunakan helikopter. Tiba di Istana Bogor, Soeharto masih dalam perjalanan menuju Bogor. Soeharto curiga melihat Sarwo melapor kepada Sukarno. “Soeharto bertanya-tanya dalam hati kenapa Sawo Edhie yang ada di sana bukan dirinya,” kata Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 . “Soeharto tak pernah percaya kepada Sarwo sejak itu.” Menurut pengamat militer Salim Said, Soeharto menganggap Sarwo melapor kepada Sukarno sebelum kepada Pangkostrad. Soeharto marah. Pertemuannya dengan Sukarno membuat Soeharto menganggapnya punya rencana sendiri yang berbeda dengan kebijakannya sebagai pimpinan sementara Angkatan Darat. “Kecurigaan dan kemarahan Soeharto kepada Sarwo berakibat fatal. Karier militer mantan komandan RPKAD itu dibunuh secara kejam meski perlahan-lahan,” tulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi Serangkaian Kesaksian. Setelah meninggalkan RPKAD, Sarwo ditempatkan di Medan sebagai panglima Kodam Bukit Barisan. Dari Medan, dilempar ke Papua sebagai panglima Kodam Cendrawasih. Usai membantu memenangkan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua, Sarwo menempati pos baru yang tak strategis di Magelang sebagai gubernur Akabri. Sarwo juga sempat “didubeskan” ke Korea Selatan pada 1973-1978. Pulang ke Jakarta, Sarwo disipilkan di Departemen Luar Negeri sebagai inspektur jenderal. Sempat akan didubeskan lagi di Brasil, dia akhirnya mengurusi kursus Pancasila sebagai kepala BP7, lembaga indoktrinasi ideologi pemerintah Orde Baru. Herawati Kristiani, putri Sarwo, menangkap kekecewan ayahnya sebagai kepala BP7. “Kepada kami anak-anaknya, Papi sempat mengutarakan rasa sedihnya. Ya, benar, dia sempat merasa kecewa dengan keputusan itu. Papi terlahir sebagai orang yang sangat mencintai dunia militer,” kenang Herawati dalam biografinya, Kepak Sayap Putri Prajurit karya Alberthiene Endah. Salim Said mengungkap alasan mistik mengapa Soeharto menghabisi karier Sarwo. Tatkala menjabat duta besar Indonesia di Praha, Ceko, Salim bertemu paranormal yang dekat dengan Soeharto. Menurut paranormal itu, Soeharto meyakini bahwa Sarwo mempunyai wangsit (wahyu) setelah dirinya. Oleh karena itu, semua jalan yang berpotensi menjadikan Sarwo Edhie “naik takhta” harus ditutup. “Itulah, katanya, penyebab dihabisinya karier militer Sarwo Edhie sedini mungkin,” ujar Salim. Kata paranormal itu lagi, “Soeharto lupa bahwa wangsit Sarwo tidak kembali ke langit ketika mantan komandan RPKAD itu wafat setelah koma selama sekitar setahun. Wangsit itu tetap padanya untuk akhirnya hinggap ke putrinya, Herawati Kristiani. Itulah penjelasan di balik terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (suami Herawati Kristiani, red ) menjadi Presiden Republik Indonesia.” Namun, istri Sarwo, Sunarti, tak percaya dengan paranormal itu. “Ah, itu cerita omong kosong. Pak Harto marah kepada Bapak karena ke Bogor itu. Bapak dicurigai sebagai orang ambisius oleh Soeharto,” kata Sunarti kepada Salim Said pada 29 Desember 2012.
- Kisah Perwira di Wilayah Sengketa
SEPUCUK surat untuk Letnan Satu Kiki Syahnakri datang di pengujung 1974. Isinya perintah pindah tugas ke Komando Distrik Militer (Kodim) Atambua. Dia tersentak. Semangat tugasnya di Komando Daerah Militer (Kodam) XVI/Udayana sebagai komandan peleton tempur sedang tinggi-tingginya. Apalagi cita-cita bertugas di satuan tempur telah tercapai. Tapi Kiki tak harus dan berangkat ke Atambua.
- Melacak Sejarah Sandal
SANDAL merupakan bentuk sederhana dari pelindung kaki. Ia bisa terbuat dari bahan kulit, plastik, tali, jerami, logam, atau ban bekas. Sandal cocok dipakai untuk keadaan panas, iklim kering, dan daerah berbatu. Ia juga dipakai untuk melindungi kaki dari serangga beracun, batu tajam, padang pasir nan panas, hingga dinginnya salju. Sejak lama sandal sudah digunakan. Masyarakat Anasazi, misalnya, suku kuno yang mendiami daratan barat daya Amerika, pada 8.000-10.000 tahun lalu diketahui sudah menggunakan sandal. Terbuat dari serat tanaman Yucca yang disusun menjadi anyaman, sandal ini diikatkan ke kaki dengan tali yang berbentuk V. Sandal terus berevolusi, dari bahan hingga modelnya, dan tetap menjadi pilihan dalam berbusana dan beraktivitas. Sandal Sumeria Perajin sandal di Sumeria, sekitar 6000 SM, mulai menggunakan kulit binatang untuk membuat sandal. Sandal Mesir Para arkeolog mengidentifikasi salah satu hieroglif tertua dari Mesir menampilkan kisah tentang pembuat sandal. Gambar-gambar ini, yang tertera dalam sejumlah makam, menunjukkan bahwa Raja Menes yang berkuasa pada 3100 SM selalu menyertakan pembuat sandal ke mana pun dia pergi. Sandal biasa dipakai para bangsawan. Umumnya terbuat dari kayu, kulit kambing, atau serat dari tanaman papirus atau palem. Chappli Jalur perdagangan kuno, yang disebut Jalur Sutra, memberi pengaruh terhadap persebaran pola dasar sandal. Sejak 3000 SM, daerah Chappal, India, terkenal sebagai pembuat sandal yang kemudian dikenal sebagai Chappli. Sandal ini terbuat dari kulit lembu, kambing, atau sapi. Masuknya Islam ke India pada abad ke -11 memberi perubahan terhadap model sandal di sana, mulai dikenal model selop. Kothurnus Aktor teater Yunani kuno, pada 1000-700 SM, biasa menggunakan sandal ini. Bentuknya dibuat tinggi beberapa sentimeter, dengan alas dibuat empuk seperti lapisan gabus. Tak hanya aktor, para pelacur kota Yunani pun memakainya; terbuat dari kulit yang telah dicelup larutan berwarna hijau atau kuning. Paduka Sandal dari Babylonia kuno sekira 600 SM ini terbuat dari kayu. Di antara ibu jari dan jari telunjuk kaki terdapat pembatas yang dijepit supaya sandal tidak terlepas. Sandal ini dihiasi dengan batu-batu yang disusun dengan indah. Para bangsawan memakainya untuk ke tempat pemandian atau mengunjungi para harem. Di Persia, selain digunakan para bangsawan, sandal juga dikenakan prajurit dan pemimpin agama. Khusus sandal prajurit biasanya masih ditambah dengan pelindung dari logam seperti kuningan. Sandalium Pada era Romawi, 100-50 SM, istilah “ sandalium ” menunjukkan sandal itu sendiri. Para petarung gladiator biasa memakai sandal yang terbuat dari kulit. Di era kekaisaran Romawi, persoalan warna sandal masih menjadi pembeda status. Julius Caesar, kaisar Roma, memilih sandal dengan warna merah dan ungu –begitu pula anaknya. Sementara Poppaea, istri Kaisar Nero, memilih sandal yang terbuat dari emas, dengan tatahan batu-batu berharga. Geta Sandal dari Jepang ini mulai berkembang di era Heian, 794-1194. Terbuat dari kayu, sandal ini memiliki semacam dua hak, yang disebut ha , setinggi 4-5 sentimeter. Fungsi dari hak setinggi ini adalah menghindarkan kain kimono , busana tradisional Jepang, dari kotoran ketika berjalan. Sandal bakiak seperti geta ini menjadi terkenal pada era Edo. Selain geta, ada pula waraji. Waraji adalah sandal anyaman jerami atau tali. Pada zaman feodal, abad ke-12 hingga 19, kaum samurai Jepang dan pasukan infanteri ( ashigaru ) biasa memakai sandal jenis ini. Espadrille Di wilayah Spanyol, sandal ini dikenal ringan karena terbuat dari anyaman jerami dan bahan linen buatan pabrik. Nama Espadrille sendiri diambil dari sebuah tanaman, esparto , yang menjadi bahan utama sandal ini. Sebelum dianyam menjadi sandal, esparto terlebih dulu dibakar supaya mendapat serat tanaman yang ulet. Pada abad ke-13, sandal ini biasa dipakai pasukan infantri Raja Aragon. Perkembangannya terbatas di daerah Prancis selatan, Spanyol, dan Portugal. Sandal espadrille yang terbuat dari ban bekas sempat populer pada 1930-an, terutama di kalangan kaum bohemian di Amerika. Sandal Modern Film bisu yang diproduksi Hollywood pada awal abad ke-20 kerap menampilkan kisah-kisah epik yang bersumber dari Alkitab, seperti film The Ten Commandments yang disutradarai Cecil B. De Mille. Aktor dan aktrisnya menggunakan sandal berbahan seperti kulit. Yang memproduksi ribuan sandal untuk film itu adalah Salvatore Ferragamo, imigran asal Italia yang jadi pembuat sepatu terkenal. Desain itu langsung jadi tren fesyen. Sandal Jepit Setelah Perang Dunia II, serdadu Amerika kembali ke negaranya dengan membawa zori (sandal jepit tradisional dari Jepang) sebagai souvenir. Sempat tren, sandal ini ditinggalkan karena berbahan karet murah yang bikin lecet. Tapi ia tak benar-benar tenggelam. Pada 1957, Morris Yock, pebisnis dari Selandia Baru, mematenkan produk sandal karetnya dengan nama Jandal , diambil dari kata “Japan” dan “Sandal”. Perkembangan industri plastik ikut andil dalam produksi sandal berharga murah secara massal. Jepang mempeloporinya. Kemudian pada 1950-an, teknik cetak baru yang menggabungkan karet dan plastik diperkenalkan di Taiwan. Hingga saat ini, sandal jepit paling banyak ditemui.
- Sendratari Kristiani
SEDARI kecil Bagong Kussudiardja (1928-2004) menekuni seni, yang didukung lingkungan dan orangtuanya. Memulainya sebagai penari klasik, dia mendapat beasiswa belajar ilmu tari modern dari penari legendaris Martha Graham di New York. Dia kemudian juga dikenal sebagai koreografer dan pelukis. Bagong tak henti memunculkan kreasi-kreasi baru, termasuk yang menyentuh keimanan dan karenanya mendapat medali dari Paus Paulus VI. Bagong menampilkan Yesus sebagai tokoh dalam wayang hingga orang Jawa berpakaian nelayan dalam lukisannya. Dia memberikan warna Jawa dalam menginterpretasi Kebangkitan dan Kelahiran Isa Almasih dalam kreasi sendratarinya, yang diciptakan pada 1978. “Dalam fragmen jalan salib, tokoh Yesus memakai stagen , jarik, lengkap dengan blangkon dan memakai jubah selutut,” kenang Sudjopo Sumarah Purbo, penari asal Batu, Jawa Timur, yang pernah belajar di Padepokan Tari Bagong Kussudiardja. Sudjopo pernah memerankan prajurit dalam sendratari Kebangkitan dan Kelahiran Isa Almasih. “Pada adegan bintang, tiga raja datang dengan naik kuda, lalu sosok Maria mengenakan jarik, kerudung dan sanggulan , serta diiiringi lagu Gloria Jawa.” Sendratari ini tak hanya dimainkan saat Natal, namun juga acara-acara gereja. “Sungguh adalah kemurahan Allah bahwa Ia telah memberi saya keterampilan seni menari dan seni melukis. … sehingga setiap kali saya menghasilkan karya seni, saya harus melakukannya demi kemajuan sesama dan di atas semuanya saya lakukan untuk Allah Maha Besar dan sangat saya kasihi,” ujar Bagong dikutip Douglas J. Elwood dalam Teologi Kristen Asia .






















