Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Lukisan Koleksi Istana Memakan Korban
Pameran lukisan koleksi Istana di Galeri Nasional Jakarta (2-30 Agustus 2017) menampilkan 48 lukisan dari 41 pelukis. Salah satu lukisan yang dipajang adalah “Nyi Roro Kidul” karya Basoeki Abdullah (1915-2015). Sebelumnya, lukisan itu dipamerkan dalam peringatan seabad Basoeki Abdullah di Museum Nasional Jakarta pada 2015. Ada cerita di balik proses pembuatan lukisan Nyi Roro Kidul itu. “Saya melukis Nyi Roro Kidul karena saya memang merasa sering bertemu dengannya,” kata Basoeki seperti dikutip kritikus seni Agus Dermawan T. dalam biografi R. Basoeki Abdullah RA: Duta Seni Lukis Indonesia. Keterangan Basoeki itu, menurut Dermawan, agaknya berhubungan dengan peristiwa ketika dia bersemedi di Pantai Parangtritis, Yogyakarta. Dia mendengar suara di tepi pantai itu sehingga yakin bahwa “Nyi Roro Kidul itu ada. Di Parangtritis, di Pelabuhan Ratu atau pokoknya di sepanjang Laut Selatan, dia bisa dijumpai.” Di sebuah hotel di Pelabuhan Ratu, Basoeki pernah “dipanggil” dan “diajak bicara.” Di tempat lain, dia dibuat bergidik bulu romanya. Dan dilantuni suara-suara yang memanggil dan mengajaknya bercakap-cakap. “Keinginan melukis Nyi Roro Kidul lantas tak tertahankan lagi,” tulis Dermawan. Namun, bagaimana melukisnya? Kendati sering didatangi, Basoeki tak pernah menatap wajah Nyi Roro Kidul dengan jelas. Dia berpegangan pada keterangan legenda bahwa Nyai Roro Kidul adalah wanita sangat cantik. Dia kemudian mencari model yang menurutnya amat cantik. Terpilihlah Nyonya Harahap, istri seorang dokter. “Tante Harahap itu amat cantik sehingga menjadi model pelukis Basoeki Abdullah. Nyi Roro Kidul yang dibuat Basuki Abdullah wajahnya merupakan duplikat wajah Tante Harahap,” kata Soebronto Laras dalam otobiografinya, Meretas Dunia Otomotif Indonesia . Lukisan Nyi Roro Kidul dengan model Nyonya Harahap kemudian menjadi koleksi Presiden Sukarno dan disimpan di Istana Presiden Yogyakarta. Sayangnya, tak lama setelah dilukis, Nyonya Harahap menderita sakit keras. Kanker ganas menyerang tubuhnya dan tak lama kemudian meninggal dunia. Basoeki menganggap hal itu sebagai suatu kebetulan. Dia pun kembali melukis Nyi Roro Kidul. Setelah kejadian itu lebih dari tiga kali, dia pun waspada. “Semua model yang memerankan Nyi Roro Kidul menderita sakit parah. Bahkan sebagian tak tertolong jiwanya,” tulis Dermawan. Setelah kejadian itu, apabila Basoeki mendapat ilham untuk melukis Nyi Roro Kidul, dia tak memakai model. Dia menggunakan imajinasinya. Kanvasnya tak ingin memakan korban lagi. “Sampai sekarang ada enam lukisan Nyi Roro Kidul yang diciptakan Basoeki. Semua dalam versi yang berlainan. Dan versi bentuk serta pengadeganan itu ditentukan dari bagaimana Basoeki menangkap ‘petunjuk dari sana’,” tulis Dermawan.
- 48 Senandung Ibu Pertiwi
Menjelang peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia, Kementerian Sekretariat Negara kembali menghelat pameran akbar lukisan-lukisan koleksi Istana Kepresidenan pada 2-30 Agustus 2017. Semua lukisan tersebut dibawa dari Istana Negara dan Istana Merdeka Jakarta, Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Yogyakarta, hingga Istana Tampaksiring di Bali. Tema pameran lukisan yang digelar di Galeri Nasional Indonesia di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, tahun ini mengangkat tajuk “Senandung Ibu Pertiwi”. Dari sekian lukisan koleksi istana, dipilih 48 karya besar dari 41 pelukis yang sebelumnya diseleksi sesuai kebutuhan tema pameran. “Semua tentang kekayaan alam, kebudayaan serta manusianya yang beraneka ragam,” ujar kurator pameran Mikke Susanto kepada Historia . Yang dipamerkan juga bukan sembarang karya. Pasalnya ada banyak cerita menarik di balik karya-karya lukisannya. Seperti lukisan “Harimau Minum” karya Raden Saleh Syarif Bustaman, hingga lukisan “Nyai Roro Kidul” karya Basoeki Abdullah. “Juga yang menarik itu lukisan ‘Pantai Flores’ karya Basoeki Abdullah. Lukisan salinan dari goresan Bung Karno sebelumnya yang menggambarkan keindahan Flores saat diasingkan,” kata Mikke. Satu hal lagi, dari 48 lukisan yang dipamerkan, ada satu yang tidak bisa di- display langsung. Yakni lukisan karya Konstantin Egorovick Makovsky. Lukisan aslinya terlampau besar untuk bisa dibawa masuk yakni berukuran 295x450 cm. Disebutkan oleh Mike, lukisan itu sebelumnya merupakan hadiah dari pemimpin Uni Soviet, Nikita Khruschev dan sudah berusia sekira 120 tahun. “Itu karya Konstantin Makovsky yang bertajuk perkawinan adat Rusia. Lukisan tersebut asalnya dari Istana Bogor,” ujar Mikke.
- Mencegah Keluarga Brayut
Ki dan Nyi Brayut sepasang suami istri dalam cerita pewayangan yang memiliki banyak anak. Nyi Brayut menggendong anak-anaknya di belakang, sedangkan Ki Brayut memikul anak-anaknya. Wayang Brayut yang dipamerkan di Museum Wayang di Jalan Pintu Besar Utara No. 27 Jakarta Barat, digunakan untuk kampanye program Keluarga Berencana (KB) di Yogyakarta. “Ini (Ki dan Nyi Brayut, red.) menggambarkan adanya keluarga besar. Brayut dari kata brayat , berarti keturunan. Orang zaman dulu berpikir setiap anak sudah ada yang mengatur rezekinya masing-masing. Beda dengan sekarang, sudah takut duluan tidak bisa menghidupi,” terang Sumardi, kepala satuan pelayanan Museum Wayang, kepada Historia . R. Bima S. Rahardja, dosen Sastra Nusantara Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa penggunaan wayang brayut untuk kampanye program KB bertujuan memberikan gambaran pada masyarakat akan repotnya memiliki banyak anak. “Wayang Brayut digunakan untuk menggambarkan kerepotan memiliki banyak anak. Nah, kemungkinan ini yang ditangkap Pak Harto pada saat itu untuk sosialisasi program KB. Dulu Pak Harto senang sekali dengan wayang,” jelas Bima kepada Historia . Menurut Bima, pemilihan wayang sebagai media kampanye karena pada tahun 1970-an belum banyak hiburan yang dapat dinikmati rakyat. Wayang merupakan hiburan yang paling digemari banyak orang. “Akses hiburan belum begitu banyak kecuali seni tradisional, salah satunya wayang. Wayang menjadi tontonan nomor satu di Jawa pada saat itu sehingga menjadi alat yang efektif untuk mensugesti masyarakat,” terang Bima. Wayang Brayut sudah muncul jauh sebelum program KB dicanangkan. Mulanya, wayang ini muncul di Surakarta pada masa Pakubuwana IV yang memerintah sejak 1788 hingga 1820. “Wayang Brayut kemungkinan sampai ke Yogyakarta pada masa Hamengkubuwono V (memerintah sejak 1823-1826 dan 1828-1855, red.). Kalau dilihat dari busana wayangnya, mereka adalah rakyat biasa. Selain tokoh Ki dan Nyi Brayut, ada pula gambaran anak-anak mereka , ” kata Bima. Menurut Sumardi, Ki dan Nyi Brayut bukan tokoh baku dalam cerita pewayangan. Tokoh-tokoh ini muncul sebagai sisipan dalam pertunjukan wayang. Mendukung pernyataan Sumardi, Bima memberikan gambaran mengenai kemunculan tokoh Brayut dalam cerita pewayangan. Dalam salah satu adegan di cerita Mahabharata, ketika pasukan kerajaan sedang berjalan, mereka melihat anak-anak Ki dan Nyi Brayut. Salah seorang anggota pasukan yang melihat kemudian merasa keheranan dengan jumlah anak yang sangat banyak. Dengan digunakannya wayang Brayut sebagai media kampanye, kemudian muncul cerita-cerita yang khusus untuk tujuan sosialisasi KB. “Wayang Brayut merupakan wayang suluh, yakni wayang sebagai media penerangan kepada masyarakat. Wayang itu media dakwah yang sangat luwes. Sehingga digunakan sebagai sarana penyuluhan tentang KB di era Soeharto,” tutup Sumardi.
- Kisah Adjie dan Prajuritnya
Di kalangan prajurit-prajurit Siliwangi, nama Mayor Jenderal TNI Ibrahim Adjie adalah legenda. Selain sosoknya yang kharismatik, eks panglima Komando Daerah Militer III Siliwangi (1960-1966) itu juga dikenal sebagai seorang jenderal yang egaliter dan dekat dengan para anak buahnya. Begitu dekatnya, hingga Adjie tak segan-segan turun langsung ke lapangan bahkan ke palagan sekalipun. “Waktu Operasi Pagar Betis pada awal 1960-an, ayah saya tak jarang menyertai langsung para prajurit yang tengah menghadapi gerilyawan Darul Islam pimpinan Kartosoewirjo di hutan-hutan Jawa Barat,” ujar Kiki Adjie kepada Historia . Menurut salah satu putra dari Ibrahim Adjie tersebut, kendati seorang panglima, Ibrahim tak pernah berlaku sok berwibawa. Alih-alih jaim , ia justru sangat berbaur dan berusaha “tak berjarak” dengan para prajuritnya. Adjie sadar, para prajurit adalah garda terdepan saat menghadapi musuh-musuh negara. Karena itu apresiasi dan penghargaan seorang komandan mutlak harus dijalankan kepada mereka. Ada sebuah kisah yang mencerminkan kedekatan Adjie dengan para anak buahnya. Ceritanya, pada 1961, Adjie mengundang semua atase militer asing di Jakarta untuk melihat Jawa Barat. Kegiatan itu dilakukan sebagai upaya pembuktian kepada perwakilan negara-negara di dunia bahwa wilayah Jawa Barat sudah aman dari gangguan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Rute perjalanan rombongan panglima dan para atase militer asing itu dimulai dari Bandung lalu sampai ke Pangandaran. Karena jalan yang masih jelek berbatu, hampir sebagian besar anggota rombongan menjadi kelelahan. Karena itu, sampai di Kalipucang, Ibrahim memerintahkan rombongan untuk beristirahat sejenak. Nasi berbungkus daun pisang lantas dibagikan kepada pengawal dan anggota rombongan termasuk panglima Divisi Siliwangi yang juga mendapat sebungkus. Acara makan dilakukan secara bersama-sama. Tak ada batas antara perwira, bintara dan tamtama, semuanya menyatu. Saat acara makan baru dimulai, Ibrahim menengok bungkus nasi salah seorang prajurit pengawal yang sedang asyik menyantap jatah nasi bungkusnya. “ Geuningan sangu maneh mah euweuh dagingan (Kok nasi bungkus milik kamu tidak ada dagingnya?)," kata panglima. Menyaksikan hal tersebut, Adjie kemudian menyodorkan jatah nasi bungkusnya kepada prajurit itu: “Ini saja makan sama kamu,” katanya. Ditawari secara tiba-tiba oleh panglimanya, prajurit itu sigap berdiri menerima nasi bungkus sambil berseru: “Siappp!” lalu ia terbatuk-batuk dan mulutnya menghamburkan nasi yang sedang dikunyah. “ Euh, maneh mah (Halah, kamu ini),” kata Adjie sambil menyodorkan air minum. Ajudan panglima yang bernama Kapten Ramdhani setengah memaki berkata kepada prajurit itu: “ Maneh mah, ari samutut tong ngajawab! (Kamu ini, kalau mulut lagi penuh makanan ya jangan jawab!). Semua anggota rombongan kontan tertawa menyaksikan kejadian itu.
- Razia Celana Jengki Pakai Botol Bir
Pada suatu hari di Jakarta tahun 1960-an, terlihat keramaian di depan gedung bioskop. Rupanya, polisi sedang melakukan razia celana jengki. Polisi hanya bermodal gunting dan botol bir. Satu per satu anak muda bercelana jengki diperiksa. Kaki diangkat, leher botol dimasukkan pada ujung celana di pergelangan kaki. Bila leher botol bir gagal masuk, siap-siap saja berhadapan dengan gunting. “Celana jengki yang terbukti tidak bisa dimasuki botol langsung digunting melintang di lutut atau paha," kata Achmad Sunjayadi, sejarawan Universitas Indonesia. Korban razia tentu saja hanya bisa pasrah dan pulang menanggung malu. Celana jengki kesayangan sudah berubah serupa kolor. Menurut Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an, razia tidak hanya dilakukan di bioskop, tetapi juga di jalanan. Guru-guru di sekolah pun turut melakukan penertiban. Razia di Jakarta dinamai Operasi Hapus dan dilakukan oleh Angkatan Kepolisian VII/Jaya dan Corps Polisi Militer (CPM). Selain di Jakarta, razia juga dilakukan di kota-kota lain. Tidak hanya celana jengki, blue jeans pun dirazia. Bahkan tidak perlu mengukur dengan botol, langsung digunting. Celana jengki merupakan celana ketat yang populer di era 1960-an. Jengki berasal dari kata yankee yang berarti “orang Amerika.” Kepopuleran celana jengki dibawa oleh grup musik The Beatles. Grup musik asal Inggris ini digandrungi oleh anak-anak muda di berbagai kota di Indonesia. Maka, tak heran bila mereka meniru gaya berpakaian The Beatles. Achmad menjelaskan bahwa pelarangan celana jengki berbarengan dengan pelarangan musik rock and roll , gaya rambut ala The Beatles, dan dansa-dansi. “Ini berkaitan dengan kebijakan Sukarno. Pada pidatonya tentang Manipol-Usdek tanggal 17 Agustus 1959, Sukarno mengecam musik rock and roll , dansa-dansi, dan musik ngak ngik ngok,” kata Achmad. Manipol-Usdek merupakan singkatan dari Manifestasi Politik, UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia. Dalam tulisannya, “Ngak Ngik Ngok” di Jurnalisme Sastrawi, Budi Setiyono mencatat bahwa pemerintah kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden No. 11/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi. Peraturan ini digunakan untuk melarang musik ngak ngik ngok beserta gaya berpakaiannya. Populernya The Beatles ditentang pemerintah karena di saat yang bersamaan pemerintah sedang berupaya memajukan kebudayaan nasional. Upaya tersebut didukung oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Pada sidang pleno Lekra tanggal 23-26 Februari 1964 dibahas mengenai upaya menangkis “kebudayaan imperialisme Amerika Serikat” juga usaha untuk membangun kebudayaan nasional.
- Halt Order dari Hitler Mencegah Sekutu Musnah di Dunkirk
Sejak 22 Mei 1940, Jenderal Heinz Guderian, komandan Divisi Panser ke-10 Angkatan Darat (AD) Nazi-Jerman, gencar menguber ratusan ribu tentara Sekutu sampai ke Dunkirk di utara Prancis. Namun, Adolf Hitler mengeluarkan “Halt Order” alias perintah menahan serangan. Hitler melarang mesin-mesin perangnya terus menerobos ke pesisir Dunkirk untuk menghabisi sekira 300 ribu tentara Sekutu. Menurut PK Ojong dalam Perang Eropa: Jilid I , keputusan Hitler itu bersifat politis. Hitler memerintahkan menahan serangan ke Dunkirk dan membiarkan Sekutu mengevakuasi ratusan ribu serdadunya ke Inggris, demi bisa berdamai dengan Inggris. “Hitler menganggap bangsa Inggris sebangsa (sesama ras Germanic ). Ini berarti Hitler merasa lebih dekat dengan Inggris daripada dengan Rusia, bangsa Slavonic yang dipandang rendah. Hitler membiarkan Inggris lolos di Dunkirk supaya Inggris tak kehilangan muka dan lebih bersedia damai dengan Hitler,” tulis Ojong. Namun, sejumlah sejarawan dan literatur di Eropa dan Amerika Serikat, tak sedikit yang meragukan adanya “Halt Order” dari Hitler. Ada yang menyebut perintah itu keluar dari Jenderal Karl Rudolf Gerd von Rundstedt, panglima Grup A AD Jerman, setelah Hitler menginspeksi markas Von Rundstedt di Charlesville pada 24 Mei 1940. “Kebanyakan para jenderal (AD Jerman) menyatakan itu perintah Hitler. Versi lainnya adalah Jenderal Gerd von Rundstedt, komandan di area itu (Dunkirk), memerintahkan penghentian serangan selama sehari yang kemudian diperpanjang Hitler tiga hari,” tulis George Victor dan John Laffin dalam Hitler: The Pathology of Evil. Selain itu, ada pula versi yang menyebut “Halt Order” dirilis atas permintaan Jenderal Ewald von Kleist, komandan Grup Panser Kleist yang membawahi Korps Panser XIX dan XLI. Von Kleist mengusulkan penghentian ofensif kepada Jenderal Gunther von Kluge, komandan Divisi ke-4 AD Jerman. “Von Kleist komplain bahwa divisi pansernya takkan cukup kuat untuk terus melakukan ofensif jika tidak lebih dulu mengatasi serangan balik Sekutu di Arras. Sepertinya dia membujuk Von Kluge untuk mengatakan hal itu kepada Von Rundstedt pada petang 23 Mei (1940),” tulis Hugh Sebag-Montefiore dalam Dunkirk: Fight to the Last Man . Hitler menyetujui usulan Von Rundstedt untuk tidak meneruskan ofensif di darat dengan berbagai pertimbangan. Mulai dari memberi rehat singkat untuk panser-pansernya dan para serdadunya dari Blitzkrieg yang melelahkan, hingga munculnya bujukan Reichsmarschall Hermann Goring. Panglima Angkatan Udara ( Luftwaffe ) Nazi-Jerman yang juga merangkap sejumlah jabatan menteri itu, ingin Angkatan Udara (AU) punya peran besar dalam invasi ke Prancis. “Goring muncul dan memastikan kepada Fuhrer (Hitler) bahwa AU-nya mampu menuntaskan pengepungan dengan menutup jalur udara di tepi pantai dan kantung-kantung pertahanan (Dunkirk) lewat udara,” tulis Liddell Hart dalam A History of the Second World War . Tidak sedikit para jenderal Jerman yang kemudian menyesali keputusan “Halt Order”. Bahkan Hitler sendiri. Pasalnya, niat Hitler untuk berdamai dengan Inggris ditolak Perdana Menteri Inggris Winston Churchill. Akibatnya, Hitler merancang percobaan invasi ke Britania Raya dengan mencanangkan Unternehmen Seelowe. Operasi Singa Laut itu urung dilakoni gara-gara Luftwaffe gagal total menghancurkan Royal Air Force (RAF, AU Inggris). Inggris kemudian jadi “basis” jutaan serdadu Sekutu yang lantas menginvasi Normandia pada 1944. “Churchill kurang bisa menghargai semangat ‘sportif’ yang saya tunjukkan dengan menahan diri dari ofensif. Kami benar-benar menahan diri dari keinginan memusnahkan mereka di Dunkirk,” ungkap Hitler sebagaimana dikutip Oscar Pinkus dalam The War Aims and Strategies of Adolf Hitler. Christopher Nolan melupakan “Halt Order” dalam film terbarunya, Dunkirk . Dia lebih fokus pada survival para serdadu Inggris dan kebijakan Churchill dalam menjemput sekira 300 ribu tentara Sekutu dari tepi pantai Dunkirk lewat berbagai cara.
- 350 Tahun Pertukaran Pulau Run dengan Manhattan
HARI ini, 31 Juli 2017, tepat 350 tahun Treaty of Breda, yaitu perjanjian antara Inggris dan Belanda di Kastil Breda pasca Perang Anglo Dutch II (Perang Inggris-Belanda II) pada 1665-1667. Dalam perjanjian damai ini, Inggris menukarkan Pulau Run di Kepulauan Banda yang kaya akan pala dan cengkeh dengan Pulau Nieuw Amsterdam, kelak dikenal dengan Pulau Manhattan, yang diduduki Belanda. Pusatnya sekarang menjadi New York City, pusat keuangan dan perdagangan dunia dan dijuluki The Big Apple. “Kekalahan Inggris dalam perang itu menghadirkan tekanan tersendiri dalam negosiasi di Breda. Mereka sebelumnya ingin lebih menukar perkebunan gula di Suriname. Namun pada akhirnya, Pulau Run yang ditukar dengan Manhattan (Nieuw Nederland) beserta Nieuw Amsterdam-nya (kini Kota New York),” ujar sejarawan Wim Manuhuttu dalam seminar “Banda : Heritage of Indonesia” di Erasmus Huis, Jakarta Selatan, Senin (31/7/2017). Peringatan 3,5 abad Treaty of Breda tidak hanya di Tanah Air, tapi juga di New York. Konsulat Jenderal Republik Indonesia New York menggelar acara pameran untuk promosi film, kopi, hingga pariwisata Banda dengan tajuk “Indonesia sebagai Kepulauan Penghasil Rempah-Rempah Dunia” yang rangkaian acaranya dimulai dari April hingga Agustus 2017. Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan bahwa bicara Banda berarti juga bicara kolonialisme. “Kita tidak mengenang kolonialisme. Tapi lebih kepada adanya Treaty of Breda yang punya kaitan lebih global dalam hal kolonialisme,” ujar Bonnie. Dalam sejarah Indonesia, Kepulauan Banda punya arti tersendiri sebagai tempat pembuangan para tokoh bangsa oleh pemerintah kolonial Belanda. “Banda dalam sejarah Indonesia jadi tempat pembuangan para bapak negara. Seperti Hatta, Sjahrir, Iwa Kusuma dll. Sementara Run tak bisa dibandingkan dengan Manhattan kecuali kita punya imaginative connection. Setiap kali kita hubungkan, seperti kita membayangkan perjalanan dengan economy class dan first class ,” kata penulis Ayu Utami. Pendapat berbeda dikemukakan Tanya Alwi, aktivis konservasi bahari asal Banda. Menurutnya, meski sekarang Manhattan dengan New York-nya jadi pusat finansial dunia, bukan berarti Kepulauan Banda tak memiliki apapun selain komoditas pala. “Mungkin sekarang New York boleh jadi sentra finansial dunia. Tapi sekarang Banda adalah centre of marine biodiversity (sentra keanekaragaman hayati laut). Sebenarnya momen ini momen yang spesial. Banda punya heritage (warisan) yang indah, punya keanekaragaman hayati yang indah dan aset ini yang harus kita jaga agar tetap utuh,” kata Tanya Alwi. Sepakat dengan Tanya Alwi, Wim Manuhuttu berharap segenap elemen bangsa juga bisa mengambil manfaat dari momentum 350 tahun Treaty of Breda dan kaitannya dengan Banda. Momentum agar tidak hanya mempromosikan wisata bahari, tapi juga warisan-warisan sejarahnya. “Sekarang masih banyak tempat-tempat bersejarah yang jadi warisan penting di Run. Begitu juga di Banda. Di Banda saja, masih ada sekitar 15 benteng sisa-sisa masa kolonial yang menujukkan betapa pentingnya Banda. Penting untuk menopang ketertarikan dunia pada Banda karena keunikan sejarahnya ini, agar bisa dinikmati para wisatawan. Tidak hanya wisata bahari, tapi juga heritage -nya,” tandas Wim.
- Enam Perintis TNI AU yang Meninggal Tragis
Setiap tanggal 29 Juli diperingati Hari Bhakti TNI AU. Selain memperingati serangan udara pertama TNI AU ke Ambarawa dan Salatiga pada 29 Juli 1947, juga untuk mengenang meninggalnya tiga perwira perintis TNI AU. Hari Bhakti TNI AU tahun ini diperingati dengan napak tilas hingga ziarah KSAU Marsekal Hadi Tjahjanto di Monumen Ngoto, Bantul, Yogyakarta, serta upacara militer di Lapangan Dirgantara Akademi Angkatan Udara. Dalam catatan sejarah, TNI AU dibangun oleh KSAU pertama Komodor Udara Suryadi Suryadharma. Dia merekrut sejumlah perwira alumnus ML KNIL (Militaire Luchtvaart Koninklijke Nederlandsch Indisch Leger atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda Angkatan Udara). Sayangnya, beberapa dari mereka tutup usia. Berikut ini enam printis TNI AU yang meninggal secara tragis. Husein Sastranegara Opsir Udara I Husein Sastranegara lahir di Cianjur, 20 Januari 1919. Dia mengikuti pendidikan ML KNIL dan lulus dengan ijazah Kleine Militair Brevet atau Brevet Penerbang Tingkat Pertama dalam pendidikan Aspirant Officier Kortverband Leerling Vlieger. Husein salah satu penerbang terbaik pada awal perkembangan TNI AU di masa revolusi. Nahas, dia meninggal saat berlatih bersama Sersan Mayor Rukidi. Pesawat Ki-55 Cukiu yang diterbangkannya jatuh di Gowongan Lor, Yogyakarta pada 26 September 1946, karena mesin pesawat macet. Buku Sedjarah Pertumbuhan AURI mencatat, sedianya setelah latihan, Husein dijadwalkan mengantar Perdana Menteri Sutan Sjahrir dari Pangkalan Udara Maguwo ke Malang, Jawa Timur. Sjahrir tetap terbang ke Malang dengan pilot pengganti, Kadet Wim Prayitno, menggunakan pesawat Yokosuka K5Y Cureng. Pada 1952, namanya diabadikan jadi Bandara Husein Sastranegara di Bandung menggantikan Pangkalan Udara Andir. Abdulrachman Saleh Komodor Muda Udara Abdulrachman Saleh satu dari tiga perintis TNI AU yang meninggal dalam kecelakaan pesawat Dakota VT-CLA di Desa Ngoto, Bantul, Yogyakarta pada 29 Juli 1947. Pesawat milik Kalinga Airlines itu mengangkut obat-obatan sumbangan dari Palang Merah Malaya. Pesawatnya pun memakai tanda Palang Merah. Pesawat itu bertolak dari India dan transit di Singapura. Ketika hendak mendarat di Maguwo, dua pesawat pemburu P-40 Kitty Hawk Belanda menembak jatuh pesawat itu. Dari sembilan awak dan penumpang, hanya seorang yang selamat, yaitu Abdul Gani Handonotjokro dari GKBI Tegal yang duduk di ekor pesawat. Pesawat P-40 Kitty Hawk juga melancarkan serangan balasan ke Lapangan Udara Maguwo, Yogyakarta, setelah dini hari sebelumnya tangsi-tangsi Belanda di Semarang, Ambarawa dan Salatiga dihantam serangan udara. Abdulrachman Saleh lahir pada 1 Juli 1909. Setelah mengenyam pendidikan Sekolah Tinggi Kedokteran Bumiputra (Stovia), dia mengalihkan ketertarikannya pada radio dengan memimpin perkumpulan pemuda radio (VORO). Pada 1946, setelah bergabung dengan Tentara Republik Indonesia Oedara (TRI Oedara, cikal-bakal TNI AU), Abdulrachman Saleh yang dijuluki Karbol diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara (Danlanud) Maospati, Madiun. Ketika tewas dalam tragedi Dakota VT-CLA, dia merangkap jabatan Danlanud Bugis Malang dan Deputi II KSAU. Jenazah Abdulrachman Saleh dimakamkan di pemakaman Kuncen. Pada 14 Juli 2000, dipindahkan ke Kompleks Monumen Perjuangan TNI AU di Ngoto, Bantul. Pangkatnya dinaikkan secara anumerta jadi marsekal muda dan diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 1974. Pendiri Sekolah Teknik Udara dan Radio Udara di Malang itu juga diabadikan jadi nama bandara di Malang menggantikan Lanud Bugis. Agustinus Adisucipto Bersama Abdulrahman Saleh, Komodor Muda Udara Agustinus Adisucipto turut jadi korban jatuhnya Dakota VT-CLA. Lahir di Salatiga, Jawa Tengah pada 3 Juli 1916, Adisucipto mengenyam pendidikan ML KNIL di Kalijati seperti Suryadi Suryadharma dan Husein Sastranegara. Biografi Suryadi Suryadharma, Bapak Angkatan Udara , menyebut bahwa Adisucipto lulus dengan ijazah Groet Militair Brevet atau Brevet Penerbang Tingkat Atas. Di masa revolusi, Adisucipto jadi salah satu figur kepercayaan Suryadi Suryadharma. Kala TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Djawatan Oedara diresmikan Presiden Sukarno pada 9 April 1946, Adisucipto diangkat jadi Wakil KSAU II dengan pangkat komodor muda udara. Dia mendirikan Sekolah Penerbang Darurat di Maguwo, Yogyakarta. Awalnya, jasad Adisucipto dimakamkan di Kuncen, kemudian dipindahkan ke Desa Ngoto, Bantul, Yogyakarta. Pangkatnya dinaikan menjadi marsekal muda udara serta diangkat jadi Pahlawan Nasional pada 1974. Namanya diabadikan jadi Bandara Internasional Adisucipto Yogyakarta menggantikan Bandara Maguwo. Adisumarmo Wiryokusumo Satu lagi tokoh perintis TNI AU yang meninggal dalam tragedi Dakota VT-CLA adalah Opsir Muda Udara II Adisumarmo Wiryokusumo. Disebutkan dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 , Adisumarmo diketahui sudah meninggal sebelum pesawat menghantam tanah. Hasil pemeriksaan jenazahnya mendapati sejumlah lubang bekas peluru senapan mesin di punggung dan perut. Adisumarmo merupakan perintis Sekolah Radio Telegrafis Udara. Dalam pesawat nahas Dakota VT-CLA, dia bertugas sebagai operator radio selama penerbangan dari Yogyakarta-India-Singapura-Yogyakarta. Lahir di Blora, Jawa Tengah pada 1921, Adisumarmo dikebumikan di Semaki. Selain diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 1974, namanya diabadikan sebagai Bandara Internasional Adisumarmo, Boyolali, menggantikan Bandara Panasan. Abdul Halim Perdanakusuma Komodor Halim Perdanakusuma bisa dibilang merupakan perintis TNI AU yang paling berpengalaman dalam kancah pertempuran. Keluarga besar TNI AU berduka ketika mendengar kabar Halim dan Iswahyudi mengalami kecelakaan pesawat pada 14 Desember 1947. Halim yang sebelumnya menjabat Wakil KSAU II tewas setelah pesawat Avro Anson yang diawakinya bersama Iswahyudi jatuh di Perak, Malaya (kini Malaysia). Mereka tengah dalam perjalanan pulang dari Penang menuju Lanud Gadut, Bukittinggi via Singapura. Misteri penyebab kecelakaannya masih menimbulkan tanda tanya besar. Jasad Halim sempat dikuburkan di Perak, kemudian dibawa pulang ke Taman Makam Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan. Lahir di Sampang, Madura, Halim mengenyam sekolah pamong praja di Magelang, Jawa Tengah. Tidak lama kemudian, dia ikut wajib militer di Koninklijke Marine atau Angkatan Laut Hindia Belanda sebagai operator torpedo di kapal perang Belanda. Perang Dunia II di front Pasifik nyaris merenggut nyawanya. Dalam pertempuran laut dekat Cilacap, Halim selamat setelah terombang-ambing di lautan. Kariernya melejit setelah mengikuti pendidikan militer RCAF (AU Kanada), kemudian RAF (AU Inggris). Lulus dari pendidikan militer tersebut, Halim yang berpangkat kapten ikut puluhan misi RAF di Perang Dunia II front Eropa. Dia menjadi navigator di pesawat-pesawat pembom Sekutu seperti Avro Lancaster dan B-24 Liberator. Menurut Sedjarah Pertumbuhan AURI , selepas pulang ke Indonesia pasca Republik lahir, Halim diangkat Suryadi Suryadharma sebagai Perwira Operasi. Halim diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 1975. Namanya juga diabadikan menjadi Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, dan kapal perang kelas fregat yaitu KRI Abdul Halim Perdanakusuma. Iswahyudi Marsekal Muda (Anumerta) Iswahyudi lahir di Surabaya, Jawa Timur pada 15 Juli 1918. Jebolan ML KNIL itu lulus dari pendidikan Aspirant Onder Officier Kortverband Vlieger. Bersama Adisucipto, Abdulrachman Saleh, dan Husein Sastranegara merupakan perintis TNI AU. Pada 1947, dia diangkat menjadi komandan Lanud Maospati, Madiun, kemudian komandan Lanud Gadut, Bukittinggi. Iswahyudi dan Halim Perdanakusuma meninggal dalam kecelakaan pesawat Avro Anson di Perak, Malaya (kini Malaysia) pada 14 Desember 1947. Dalam misi membeli pesawat itu ke Thailand, dia bertindak sebagai pilot dan Halim sebagai navigator. Jenazah Iswahyudi tidak ditemukan. Iswahyudi diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 1975. Namanya diabadikan untuk bandara di Madiun menggantikan Lanud Maospati.
- Pesona Nasi Goreng
LOUISA Johanna Theodora Wieteke van Dort kena imbas hubungan Indonesia-Belanda yang memanas akibat konflik Irian Barat pada 1957. Perempuan kelahiran Surabaya itu terpaksa angkat kaki dari tanah kelahirannya dan pulang ke negeri leluhurnya, Belanda.
- Mereka yang Diburu Pasca Kudatuli
Pemerintah menuduh Partai Rakyat Demokratik (PRD) dalang kerusuhan 27 Juli 1996 (Kudatuli). Pada hari itu, kantor PDI di Jalan Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang dikuasai pendukung Megawati Sukarnoputri diserang oleh massa pendukung Soerjadi yang disokong tentara Orde Baru. Aparat pemerintah kemudian memburu aktivis PRD. Pada 2 Agustus 1996, aparat militer, kepolisian dan kejaksaan menyerbu rumah Garda Sembiring di Bogor. Mereka gagal menangkap ketua Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) cabang Jabodetabek itu. Setelah menyingkir ke belakang kampus IISIP di Lenteng Agung, Jakarta Selatan, dia dan teman-temannya kemudian menyebar. Dia memilih menginap di kos temannya seorang mahasiswa Fakultas Teknik UI di Kukusan Teknik, Depok, Jawa Barat. Pada 11 Agustus 1996 pukul dua dini hari, kamar kos itu dibuka paksa oleh orang berpakaian sipil yang membawa senajata api. Garda bersama temannya, Victor da Costa, Puthut Arintoko, dan Ignatius Pranowo, ditangkap. Dengan mata tertutup dan diborgol, mereka didorong masuk ke dalam mobil. Tubuh mereka diinjak. Dari radio para penawan ini, Garda mendengar bahwa operasi harus dipercepat. Perasaan Garda berkecamuk terlebih memikirkan nasib temannya yang masih muda. Putut misalnya, masih mahasiswa hukum semester satu di Universitas Jenderal Soedirman. “Kami merasa kalau kami akan jadi kambing hitam (peristiwa Kudatuli) dan akan diburu. Lalu kami melakukan evakuasi,” kata Garda yang saat itu berusia 26 tahun kepada Historia . Garda ditahan di Wisma Sudirman di kompleks Sat.Lid Badan Intelejen ABRI. “Saya tahu namanya setelah saya diinterogasi selama seminggu. Belakangan saya tahu saya ditahan di wilayah Ragunan,” kata Garda. Di sana, rupanya sudah ada Budiman Sujatmiko (ketua PRD) dan Petrus Haryanto (sekretaris jenderal PRD) yang ditempatkan pada sel yang terpisah. Dalam seminggu masa tahanan, Garda diinterogasi terus-menerus dan tidak diberi waktu istirahat yang cukup. Pada awal masa tahanan, seorang berseragam kejaksaan ditugaskan untuk menginterogasinya. Dia menjelaskan bahwa Garda dikenakan pasal subversi. “Jadi, yang mewawancarai cuma satu, orang kejaksaan. Cuma orang-orang yang di sampingnya dari berbagai angkatan yang berbuat sesukanya,” ungkap Garda. Belakangan, interogasi tidak dilakukan oleh petugas kejaksaan. Aparat melakukan interogasi dengan berbagai siksaan: pukulan, tempelengan, bahkan membenturkan kepala ke tembok. “Rasanya sudah nggak ada bedanya apakah dipukul atau dibenturkan ke tembok. Awalnya saya merasa sakit tapi lama-lama saya mati rasa,” kata Garda. Garda masih ingat pertanyaan yang dilontarkan selama interogasi. Kebanyakan pertanyaan seputar posisi teman-teman Garda yang juga jadi incaran aparat. Beberapa pertanyaan lebih bersifat mengonfirmasi karena aparat telah memiliki daftar nama yang harus mereka cari. Garda memilih diam, mengamankan temannya. Keteguhannya berbuah siksaan. “Setelah sekian hari saya dikunjungi oleh Yorrys Raweyai. Dia membujuk saya untuk kooperatif tapi saya tidak mau. Saya ditawari teh dan rokok, tapi saya menolak. Yang saya butuhkan ketika itu adalah pisau cukur,” kata Garda. Setelah seminggu ditahan dan disiksa, Garda akhirnya dipindahkan ke Kejaksaan Agung. Dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan) tertulis bahwa Garda ditempatkan di Kejaksaan Agung sejak awal. Dia menolak BAP itu karena tidak benar. “Ada beberapa nama yang saya ingat. Ada Kolonel Havel yang disebut bertanggung jawab atas nasib kami,” katanya. Nasib hampir sama juga dialami oleh Wahyu Susilo, adik dari penyair Wiji Thukul. Puisi-puisinya membuat gerah penguasa Orde Baru. Aparat keamanan memburun aktivis PRD itu. Kisah mengenai persembunyian Wiji Thukul memang banyak terdengar. Sang adik ditangkap karena dituduh menyembunyikan kakaknya. Pada 31 Agustus 1996, Wahyu ditangkap di Kantor Solidaritas Perempuan di Kawasan Otista, Jakarta Timur. Ada dua truk pengangkut polisi yang bertugas menggeledah Kantor Solidaritas Perempuan. Wahyu ditangkap dan dibawa ke daerah Kalibata, Jakarta Selatan, kemudian dipindahkan ke Pejaten, Jakarta Selatan. Dia menduga bahwa tempatnya ditahan dulu merupakan Kantor BIN sekarang. Senasib dengan Garda, Wahyu juga mengalami penyiksaan selama interogasi. Petugas menanyai keberadaan kakaknya, bila jawabannya tak memuaskan mereka, Wahyu dipukul bahkan disetrum. Nia Damayanti, mantan aktivis SMID Surabaya juga ditangkap. Nia tidak disiksa secara fisik seperti Garda dan Wahyu, tapi ditekan secara mental. Pada Malam 9 September 1996, Nia didatangi ketua RT dan Letnan Budi. Ayah Nia menolak menyerahkan anaknya dan mengantarnya ke tempat interogasi menggunakan mobil pribadi. Sedang Letnan Budi beserta anak buahnya mengendarai mobil yang berbeda. Dari tulisan yang tertera di kursi, Nia tahu bahwa tempat itu adalah Markas Komando Deninteldam V Brawijaya. Pada hari pertama interogasi, Nia bertemu dengan Erli, Wulan, dan Atok, temannya sesama aktivis. Interogasi intens dilakukan hingga pukul tujuh pagi. Ditanyai terus-menerus oleh petugas bersenjata membuat Nia merasa tertekan. “Saya ditunjukkan sel yang pernah dihuni Marsinah,” kata Nia. Interrogator itu berkata, “Ini sel dulu ditempati Marsinah. Kamu tahu Marsinah, kan?” Nia mengakui depresi selama masa interogasi. Dia tak bisa mengingat siang atau malam. Beberapa kali interogasi sempat dihentikan karena dia histeris. “Saya tidak mengalami siksaan fisik. Teman saya, Lisa Febrianti pernah dilempar asbak,” katanya. Menurut Lilik HS penangkapan aktivis PRD paling besar dilakukan di Surabaya. Ada 26 anggota PRD yang ditangkap. “Sebagian besar yang ditangkap adalah mahasiswa, beberapa ada pula yang buruh,” kata Lilik. Penangkapan dilakukan di indekos, rumah, kampus, bahkan lokasi KKN (Kuliah Kerja Nyata). “Mereka mengalami penyiksaan dan dilepas sekitar satu bulan kemudian. Saya ketika itu tidak ikut tertangkap,” kata Lilik. Kasus penangkapan aktivis di Surabaya kemudian dilimpahkan ke Polda Jawa Timur. Garda, Wahyu, dan Nia hanya sebagian kecil dari banyak aktivis yang ditangkap. Bahkan, masih banyak yang hilang hingga sekarang. “Hingga kini banyak orang hilang atau dihilangkan secara paksa tidak jelas statusnya,” tutup Garda.






















