top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Dansa-dansi di Harmonie

    Seorang pengusaha Belanda, Justus van Maurik, kaget ketika menerima undangan untuk menghadiri pesta dansa dari Gubernur Jenderal van der Wijck. Pesta dansa tersebut akan digelar Minggu, 2 Agustus 1898 pukul 21:00 di Societeit Harmonie. Harmonie merupakan salah satu perkumpulan ( societeit ) elite di Batavia. Pada akhir abad ke-19, soos – akronim dari societeit–  didirikan di kota-kota besar di Hindia Belanda. " Soos  Batavia yang paling bergengsi dan menjadi model bagi seluruh soos  di Hindia,” tulis Rudolf Mrazek dalam Engineers of Happy Land .

  • Mooi Indie Diserang Lalu Disayang

    TAKJUB oleh keindahan alam Hindia Belanda, para perupa Belanda melukiskannya di atas kanvas. Sejumlah perupa bumiputera juga menganut gaya romantisme ini antara lain Abdullah Surio Subroto, Mas Pirngadi, Wakidi, dan Basuki Abdullah. Kritikan datang dari S. Sudjojono, yang menyebutnya sebagai lukisan mooi indie . Lewat tulisan-tulisannya, Sudjojono mengkritik lukisan mooi indie  yang serbamolek melenakan masyarakat bumiputera dari keadaan sesungguhnya: terjajah. Dia menganggap lukisan mooi indie  tak lebih hanya untuk “menghibur” orang-orang asing.

  • Walisongo Berantas Uang Siluman

    TAK mudah menghapus pungli. Sejak lama ia sudah mengemuka tapi tak bisa diberantas. Pada 1970-an, Menteri Perhubungan dan Transportasi Frans Seda pun kewalahan mengatasi merebaknya pungutan uang siluman di pelabuhan-pelabuhan utama seperti Medan, Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Uang siluman merupakan pungutan-pungutan di luar ketentuan untuk memperlancar barang ke luar dari pelabuhan. Menurut Zahri Achmad, kala itu ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), biaya siluman yang harus dikeluarkan setiap importir untuk kalangan Tanjung Priok (pegawai Bea Cukai, Kesatuan Pelaksana Pengamanan Pelabuhan, dan lain-lain) sebesar Rp 20.000 per penyelesaian dokumen. Ini belum termasuk “uang jalan” pos-pos polisi di luar pelabuhan di mana truk-truk lewat, polisi lalu-lintas, hansip, dan sebagainya.

  • Habis Gelap Terbitlah Sekolah

    DALAM surat-suratnya, RA Kartini meratapi buta huruf di kalangan perempuan karena tidak tersedianya peluang pendidikan bagi mereka. “Kami, gadis-gadis Jawa, tidak boleh memiliki cita-cita, karena kami hanya boleh mempunyai satu impian, dan itu adalah dipaksa menikah hari ini atau esok dengan pria yang dianggap patut oleh orangtua kami,” tulis Kartini dengan getir kepada Rosa Manuela Abendanon-Mandri, 8/9 Agustus 1901. Setelah Kartini meninggal pada 1904, perjuangannya untuk menyediakan pendidikan bagi perempuan dilanjutkan teman-teman Belandanya.

  • Maois Tetap Eksis

    LANTARAN diserang, polisi India terlibat adu tembak dengan gerilyawan Maois di distrik Sukma, selatan negara bagian Chhattisgarh, India. “Mereka menembak mati sedikitnya sembilan gerilyawan Maois,” demikian diberitakan bbc.co.uk  (16/4/2013). Konflik bersenjata bukan kali ini saja terjadi. Pada April 2010, gerilyawan Maois menyergap patroli tentara di sebuah hutan di Chhattisgarh, menewaskan 76 tentara. Ini dianggap serangan terburuk Maois terhadap pasukan keamanan India.

  • Jala Polisi Susila

    Jika Aceh memiliki polisi syariah yang bertugas mengawasi pelaksanaan syariat Islam dan moral masyarakat, pemerintah kolonial Belanda punya polisi susila (zedenpolitie). Pemerintah Hindia Belanda menganggap mengadabkan dan mengontrol masyarakat, tidak terkecuali masalah moral, merupakan tanggung jawab pemerintah. Untuk itu, pemerintah Hindia Belanda mendirikan polisi susila untuk mengawasi kesusilaan umum dan menegakkan moral masyarakat. Tujuannya menjaga rust en orde  (ketentraman dan ketertiban).

  • Dari Telinga Turun Ke Mata

    SIAPA tak kenal Brama Kumbara dengan ajian serat jiwanya? Atau Mantili dengan pedang setannya? Karakter utama dalam sandiwara radio Saur Sepuh  karya Niki Kosasih ini begitu ditunggu-tunggu para pendengarnya pada 1980-an. Sandiwara radio ini diproduksi Sanggar Prativi. “Setiap sore, saya membawa radio transistor rumah, saya kalungkan di leher sembari mencari gelombang radio yang menyiarkan sandiwara radio Saur Sepuh ,” ujar Devi, salah satu pengunjung acara nonton bareng dan diskusi film Saur Sepuh 3, yang digelar Komunitas Pecinta Film Indonesia Jadul di Pisa Kafe Jalan Mahakam, Jakarta (16/4).

  • Dari Kina Ke Artemisia

    BARU-BARU ini, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil penelitian unggulannya mengenai kandungan Artemisia annua , tumbuhan yang dapat menggantikan kina sebagai obat malaria. Menurut peneliti LIPI, Wiguna Rahman, kadar artemisinin , zat yang terdapat dalam tanaman Artemisia , terbukti lebih mujarab mengobati malaria ketimbang zat yang dihasilkan kina. Karenanya, Artemisia  sanggup menggantikan kina. “Apalagi menurut WHO (World Health Organization), banyak temuan plasmodium  (parasit penyebab malaria) mulai resisten terhadap kina,” ujar Wiguna.

  • Pertunjukan Propaganda untuk Anak-Anak

    Bagi pemerintah militer Jepang pemuda adalah aset yang dapat dimobilisasi untuk kepentingan perang Asia Timur Raya. Pemuda berusia 15-20 tahun digerakkan mengikuti pelatihan semimiliter Seinendan  (Barisan Pemuda). Bagaimana dengan anak-anak berusia 8-15 tahun? “Perlu sekali satu badan yang memperhatikan mereka bukan saja yang di kota dan anak-anak sekolah, tetapi terutama juga anak-anak yang tidak bersekolah dan anak-anak di desa,” tulis Sinar Baroe , 15 Juni 1945.

  • Siapa Menyimpan Perempuan Simpanan

    Elizabeth Abbott tahu soal perempuan simpanan dari olok-olok ibunya kepada kakeknya, seorang pembuat bir kaya dan politikus kota Detroit, Amerika Serikat. Sang kakek disebutnya memelihara “sarang cinta” yang dihuni perempuan-perempuan cantik. Abbott mengenal lebih jauh setelah berkenalan dan berteman dengan dua perempuan simpanan, Katerina dari Jerman Timur dan Ghislaine Jeudi dari Haiti –keduanya nama samaran untuk menghindari kemungkinan mempermalukan keduanya, tanpa mengurangi kebenaran kisah mereka. Dari situlah dia menulis buku ini. “Bahan yang begitu banyak, termasuk dalam suratkabar, menunjukkan bahwa wanita simpanan ada di mana saja,” tulis Elizabeth Abbott .

  • Mengawasi Kaum Pergerakan

    SELESAI berpidato, Sukarno bergegas. Seorang Belanda gemuk, agen Politiek Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelijen Politik, mengikutinya dengan sepeda. Sadar diikuti, Sukarno tetap tenang dan justru berpikir untuk mengerjainya. Dia sengaja melewati kubangan sawah sehingga agen itu harus menenteng sepedanya. Sukarno gembira melihat itu. ”Padahal PID, dinas intelijen yang didirikan pada Mei 1916, nama yang menakutkan bagi banyak kaum pergerakan,” kata Bondan Kanumoyoso, sejarawan Universitas Indonesia, dalam diskusi buku Memata-Matai Kaum Pergerakan, Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916-1934 karya wartawan majalah Historia  Allan Akbar, di Universitas Indonesia (11/4/13). Buku ini mengungkap aktivitas intelijen masa kolonial, termasuk keberhasilan dan kegagalannya.

  • Antara Sukarni dan Sukarno

    Sukarni Kartodiwirjo bersama Adam Malik, Chaerul Saleh, dan Wikana  “menculik” Sukarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok sehari sebelum proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 . Peran istrinya, Nursjiar Machmoed, tak bisa diabaikan begitu saja. “Di rumah ada dua anak. Bapak berani bilang saya begini, saya begitu itu karena di rumah ada mama. Kalau mama nggak ada, dengan anak dua, apa berani Bapak? Nggak berani,” kata Emalia Iragiliati Sukarni, putri Sukarni, dalam peluncuran bukunya, Sukarni dan Actie Rengasdengklok,  di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jakarta (20/4/2013).

bottom of page