Hasil pencarian
9573 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mengenang yang Tewas di Musim Gugur
SAYA tiba ke negeri ini ketika daun-daun mulai menguning dan berguguran. Cuaca mulai dingin dan awan mendung mulai bergelayut di langit, seperti menahan berkantung-kantung air yang siap tumpah membasahi bumi. Belanda memasuki musim gugur. Tak ada yang lebih syahdu dari musim gugur; ketika matahari mulai meredup di siang hari, tak seperti musim panas yang telah berlalu. Pada Jumat 2 Oktober pekan lalu, sebuah simposium mengenai peristiwa 1965-1966 diselenggarakan di International Institute voor Social Geschiedenis atau Institut Internasional untuk Sejarah Sosial di Amsterdam. Sehari sebelumnya, di Ketelhuis, Amsterdam, diselenggarakan pemutaran film Living of Years Dangerously yang dibintangi oleh Mel Gibson, sebuah film yang berlatarbelakang kejadian politik menjelang kejatuhan Sukarno. Yang menarik adalah diputarnya film dokumenter dari seorang jurnalis Belanda yang bekunjung ke Indonesia pada 1969. Jurnalis TV tersebut mewawancarai Menteri Penerangan Budiardjo dan wartawan Nono Anwar Makarim. Reportase itu, saya duga, dilakukan karena sebelumnya telah ada berita mengenai pembunuhan massal anggota dan simpatisan PKI di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah yang diungkap oleh Poncke Princen. Poncke datang ke Purwodadi pada pertengahan Februari 1969 disertai dua wartawan Belanda Henk Kolb dan Cees van Caspel dari harian De Haagsche. Setelah mendapat keterangan mengenai pembunuhan massal di Purwodadi dari seorang pastor setempat, berita menyebar kemana-mana. Namun kisah tersebut tak jadi ekslusif milik De Haagsche karena Poncke keburu membocorkan kejadian itu pada Harian KAMI, yang dipimpin oleh Nono Anwar Makarim, narasumber dalam dokumenter tersebut. Dengan menggunakan bahasa Inggris yang “flawless,” demikian istilah yang digunakan Aboeprijadi Santoso, wartawan senior yang bermukim di Amsterdam, Nono menceritakan dialah wartawan pertama yang berhasil pergi ke Purwodadi untuk melihat situasi. Paling tidak demikian versinya. Kendati sebelum dia, jelas Poncke, Henk Colb dan Cees van Caspel adalah rombongan wartawan pertama yang tiba ke ibukota Kabupaten Grobogan tersebut sebelum Nono datang. Simposium mengenai peristiwa 1965 pun tak kalah menariknya. Menampilkan lebih dari sepuluh sejarawan ahli Indonesia, yang datang dari berbagai negeri. Mereka mengungkapkan apa yang selama ini tidak pernah diketahui oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Atau kalau pun tahu, menyimpan hal itu sebagai rahasia. Pada 1 Oktober yang lalu berbagai media di Belanda menurunkan tulisan tentang peristiwa tersebut. Mulai Volkskrant sampai NRC Handelsblad bahkan NPO, salah satu stasiun televisi Belanda pun menyiarkan film Senyap karya Joshua Oppenheimer dan sebelumnya menyiarkan pula tentang peran Pater Beek di era awal berdirinya Orde Baru. Beek dikenal sebagai pastor katolik anti-komunis berdarah Belanda yang banyak memberikan pelatihan kepada para mahasiswa dan pemuda Katolik untuk menghadapi kekuatan PKI. Beek pernah mengirim surat terbuka kepada Presiden Sukarno, menyatakan keberatan terhadap kebijakan Sukarno memberi PKI ruang terlalu luas dalam panggung politik nasional. Pada musim dedaunan mulai meranggas ini, 50 tahun peristiwa 1965 diperingati secara utuh. Tak hanya mengenang sepuluh pahlawan revolusi yang tewas pada 1 Oktober 1965 (terdiri dari enam jenderal AD, dua perwira menengah di Yogyakarta, satu perwira pertama di Jakarta dan Ade Irma Suryani) tapi juga mengenang ratusan ribu nyawa lainnya yang tewas sepanjang tahun 1965-1966. Karena sejarah adalah guru kehidupan maka kepadanyalah kita belajar tentang hari ini dan masa depan. Semoga peristiwa yang kelam itu tak pernah lagi terulang.
- Pengabdi VOC dari Ternate
ABAD 17 merupakan era dominasi Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) di wilayah Ternate. Situasi tersebut terselenggara berkat dukungan militer dan finansial VOC kepada kesultanan itu sehingga mereka merasa percaya diri untuk berhadapan dengan pesaingnya, Kesultanan Tidore. Adalah Sultan Mandar (1675-1690) yang dapat berkuasa berkat intervensi VOC. Kendati dia dinilai bukan pemimpin yang populer dan memiliki karakter yang buruk, namun “pengabdiannya” kepada majikan Belanda-nya dikenal sangat maksimal. “Untuk membuktikan pengabdiannya, Sultan Mandar memberi kedua puteranya sesuai nama kota di Belanda: Amsterdam dan Rotterdam…” tulis M.C.Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 . Menurut sejarawan Leonard Y. Andaya, keputusan Sultan Mandar memberi nama dua puteranya dengan nama Belanda merupakan sebuah pengakuan terhadap keunggulan mutlak VOC. Saat beranjak dewasa dan telah diangkat menjadi sultan, hal itu malah ditegaskan oleh Amsterdam sendiri. “ Jika ayah saya adalah setengah Belanda, saya pastinya adalah orang Belanda sepenuhnya.” Begitu didapuk sebagai Sultan Ternate, Amsterdam telah memutuskan bahwa dia akan mengandalkan hubungan istimewanya dengan orang-orang Belanda. Selain sebagai upaya meningkatkan prestisenya, dia pun melakukan itu sebagai penegas kehendaknya kepada para pengikutnya yang mulai membandel. Merasa belum lengkap dengan “kebelandaannya”, dia meminta kepada VOC untuk memberi beberapa pengawal dari kalangan serdadu Belanda totok. “VOC lantas memberi Sultan Amsterdam seorang sersan, seorang kopral dan sepuluh prajurit sebagai kelompok pengawalnya,” tulis Andaya dalam Dunia Maluku, Indonesia Timurpada Zaman Modern Awal . Rupanya reputasi serdadu VOC yang baru saja mengalahkan Kerajaan Goa (sebuah kerajaan yang pernah dianggap begitu kuat di kawasan Indonesia Timur) kala itu menyebabkan Sultan Amsterdam berhasrat memiliki pengawal dari kalangan militer VOC. Itu dilakukannya lagi-lagi untuk meningkatkan reputasinya di mata rakyat Maluku. Penegasan Ternate sebagai “anak” dari VOC semakin kuat, saat Sultan Amsterdam menamai dua cucunya ( hasil pernikahan antara putrinya dengan putera Sultan Toloko) dengan nama “Batavia” dan “Outhoorn” (nama Gubernur Jenderal Belanda di Batavia kala itu). Bahkan untuk yang terakhir, kelahirannya dirayakan secara besar-besaran dan diingat orang-orang Ternate sebagai “yang paling mewah dalam kenangan hidup.” Amsterdam bukannya tidak pernah patah arang dengan “pujaannya” itu. Saat Belanda melindungi Pangeran Kaicili Alam dari Jailolo (yang merupakan musuhnya) di Benteng Oranye, memunculkan kemarahan Sultan Amsterdam. “Sebagai bentuk ketidakpuasan, dia mengirimkan kembali tongkat rotan (yang melambangkan kekuasaan) dan payung kerajaan yang pernah dihadiahkan kepadanya oleh VOC saat pelantikan Amsterdam sebagai Sultan Ternate,” ujar Andaya. Untunglah VOC cepat tanggap dengan mengirim Kaicili Alam ke luar negeri dan ikut berpartisipasinya pasukan mereka dalam berbagai operasi penumpasan musuh-musuh Sultan Amsterdam. Mereka adalah para pemberontak dari Pulau Sula, Banggai dan Gapi.
- Perdana Menteri Israel: Pemimpin Muslim Palestina Ada di Balik Holocaust, Bukan Hitler
PERDANA Menteri Israel Benyamin Netanyahu membuat pernyataan kontroversial. Dalam pidatonya di hadapan peserta kongres zionisme sedunia di Yerusalem, Selasa, 20 Oktober 2015 dia mengatakan Adolf Hitler bukan orang yang memerintahkan pembunuhan massal warga Yahudi di Eropa. “Hitler hanya ingin mengusir warga Yahudi dari Jerman,” kata Netanyahu dalam pidatonya. Rencana Hitler itu disampaikan kepada Husseini saat mereka bertemu pada 25 November 1941, di Berlin, Jerman. Namun ide tersebut, demikian kata Netanyahu, ditentang oleh Mufti Agung Palestina Mohammad Amin al-Husseini, pemimpin tertinggi muslim di Palestina pada 1921-1948. “Kalau mereka (warga Yahudi, red. ) diusir, mereka semua akan datang ke Palestina,” kata Netanyahu mengutip Husseini. Mendengar pernyataan tersebut, Hitler balik bertanya apa yang harus dilakukannya jika tak diperkenankan mengusir Yahudi dari Jerman dan seantero Eropa. “Bakar mereka,” kata Netanyahu meniru ucapan Husseini. Kontan pernyataan Netanyahu tersebut menimbulkan berbagai reaksi. Sejarawan ahli Holocaust terkemuka dari Israel, Tom Segev, menyanggah pernyataan Netanyahu. Dia menuduh perdana menteri Israel itu ngawur dan tidak berdasar. “Husseini boleh dibilang hanya penjahat perang, tapi kita tak bisa mengatakan Hitler membutuhkan nasihatnya (untuk membunuh Yahudi),” kata sejarawan yang orangtuanya berhasil lolos dari kekejian Nazi di Jerman pada 1933. Seperti dikutip dari timeofisrael.com , Segev berpendapat bahwa pembasmian warga Yahudi di Jerman justru sudah dimulai sebelum pertemuan Hitler dan Husseini terjadi. “Jadi mufti menyuruh Hitler membunuh Yahudi dan Hitler begitu saja tunduk dan melakukannya? Oh… sungguh ide yang bagus,” ujar Segev menyindir Netanyahu. Netanyahu bukanlah pemimpin Israel pertama yang menuding mufti Palestina dalang Holocaust. Teori tentang keterlibatan mufti dalam merencanakan pembasmian Yahudi di Eropa itu sendiri pertama kali dilontarkan oleh beberapa sejarawan, di antaranya David Dalin dan John Rothmann. Namun pendapat dua sejarawan itu mendapatkan sanggahan dari mayoritas ahli sejarah Holocaust. Sementara itu pemimpin oposisi Israel Isaac Herzog mengatakan pernyataan Netanyahu itu telah memutarbalikan fakta sejarah dan bakal menyeret para penyangkal Holocaust ( holocaust deniers ) ikut terlibat di dalam konflik Palestina–Israel. “Netanyahu lupa bahwa dia bukan saja perdana menteri Israel, tapi dia juga perdana menteri warga Yahudi. Jangan ajari saya bagaimana untuk jadi pembenci mufti. Dialah (mufti, r ed. ) yang memerintahkan pembunuhan kakek saya Rabi Yitzhak HaLevi Herzog,” kata Herzog kemarin, seperti dikutip dari timeofisrael.com .
- Dokumen Saham Tertua VOC Ditemukan
KANTOR Arsip Amstedam menemukan andil ( andeel , saham) unik VOC ( Vereenigde Oost-Indische Compagnie , Kumpeni) bertanggal 6 Oktober 1606. Inilah salah satu dari dua andil tertua VOC yang dikeluarkan di Amsterdam, demikian menurut peneliti Harmen Snel kepada harian Belanda de Volkskrant . Surat saham senilai 600 gulden ini dibeli pada tanggal 6 Oktober 1606 oleh Theunis Jansz, seorang penjual rempah-rempah yang kemudian menjual ikan haring dan menetap di Vrouwensteeg (gang kecil antara Damrak dan Nieuwendijk, Amsterdam pusat). Pada tahun-tahun pertama, dia memperoleh bunga sebesar 10 persen, demikian Harmen Snel. Sekarang saham itu akan berharga 10 ribu euro, sekitar Rp. 160 juta. Pada 1602 VOC memperoleh izin untuk melakukan perdagangan ke Hindia Timur, tapi Kumpeni masih butuh banyak dana sebelum benar-benar bisa melakukan pelayaran itu. Mulai 1 Agustus 1602 kalangan partikelir bisa membeli saham VOC. Pembelinya mencapai 1143 orang, antara lain Theunis Jansz tersebut. Dana investasi yang masuk ditulis pada daftar pemilik saham dan para pembeli menerima bukti pembayaran yang disebut recipisse . Dokumen yang baru ditemukan inilah yang disebut recipisse . Karena keikutsertaan partikelir dalam VOC bisa dipindahtangankan bahkan bisa dijual, maka orang menganggapnya sebagai bentuk awal sebuah andil. Dan memang saham Theunis Jansz ini kemudian sempat dimiliki oleh beberapa orang. Sebagai warisan, dokumen ini diserahterimakan pada empat generasi sampai akhirnya dimiliki oleh Agnietje Nagel, seorang gadis yatim piatu dan karena itu diurus oleh rumah yatim piatu yang disebut Weeskamer (arti harafiahnya kamar yatim piatu). Weeskamer adalah dinas kota Amsterdam yang mengurus harta warisan yang diterima oleh anak-anak yatim piatu sampai mereka dewasa dan bisa mengurus sendiri harta kekayaan itu. Agnietje juga memiliki rumah di wilayah elit Herengracht yang butuh biaya perawatan besar. Untuk itu, pada 1739 saham VOC tersebut dijual. Sebelumnya, di Arsip Amsterdam, sudah terlebih dahulu ditemukan surat saham tertua VOC. Tapi, setelah diumumkan pada 1979, lembar surat saham itu lenyap dari arsip dan beredar sebagai barang dagangan. Pada 2010 di Westfries Archief, kota Hoorn, ditemukan sebuah saham VOC. Dengan demikian lembar surat saham yang minggu lalu ditemukan di Amsterdam ini merupakan saham VOC tertua kedua yang sekarang ada di Belanda. Surat saham yang baru ditemukan ini akan dipamerkan di Arsip Amsterdam mulai tanggal 6 sampai 18 Oktober 2015.
- Sejarah Bandit Sulawesi Selatan
ADA puluhan salinan berkas bertumpuk dan menyempil di salah satu sudut ruangan. Bersusun menggunakan map cokelat. Pada bagian atasnya tertulis kata: Bandit. “Dua tahun ini saya mengumpulkan referensi mengenai bandit di Makassar,” kata Taufik Ahmad, sejarawan Universitas Negeri Makassar sekaligus staf peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar. Salah satu nama yang menjadi legenda adalah I Tolok Daeng Magassing, yang bermarkas di wilayah Polongbangkeng –sekarang Kabupaten Takalar. Magassing adalah seorang kelahiran Gowa yang berasal dari daerah Limbung. Sebelum Gowa dikuasai Belanda, Daeng Magassing memiliki kedudukan sebagai salah seorang pemimpin pasukan kerajaan. Pada masa pemerintahan Gubernur A.J. Baron Quarles de Quarles (Mei 1908-Agustus 1910) dan Gubernur W.J. Coenen (Agustus 1910-Agustus 1913), Magassing bersama pasukannya melakukan aksi perampokan secara berkala dengan menggunakan senjata tajam. Aksi ini dianggap sebagai pembangkangan atas perintah Belanda. Maka dilakukanlah beberapa serangan menggunakan kekuatan militer. Magassing melancarkan aksinya di sekitaran wilayah pegunungan Lompobattang yang menjadi garis perbatasan Bagian Pemerintah Makassar dan Bontahain (sekarang Bantaeng). “Anda bayangkan, ketika pasukan I Tolok Daeng Magassing ini berhasil melakukan perampokan, beberapa kampung di wilayah Polongbangkeng menyambutnya bak pahlawan,” kata Taufik. Pada periode April hingga Agustus 1915, tercatat paling banyak aksi perampokan yang mencapai 150 tindakan dalam wilayah Afdeling Makassar. Kelompok Magassing melakukan perampokan terhadap kas distrik, bangsawan yang tidak mendukung gerakan, hingga perampokan pada sumber-sumber kas Belanda hasil pemungutan pajak rakyat. Dalam tradisi lisan masayarakat di Polongbangkeng, gerakan Magassing dikenal pula dengan istilah pagora patampoloa (kelompok perampok yang berjumlah 40 orang). Cerita dan kisah kepahlawanannya pun diabadikan dalam syair Sinrilik I Tolok Daeng Magassing yang melambangkan ketokohan bandit ini menjadi bagian penting dari nilai-nilai kepahlawanan masyarakat. Selain Sinrilik , sebuah nyanyin pengantar tidur untuk anak-anak di wilayah Polongbangkeng menyebutkan akan keberanian. Jari pabunduk pattuturang tau rewa (engkau adalah keturunan prajurit perang keturunan orang-orang berani). Meski demikian, kisah Magassing akhirnya ditumpas Belanda pada 17 November 1915, di daerah pedalaman Kampalak Polongbangkeng, dalam sebuah pengepungan. Namun, kekalahan Magassing rupanya tidak menyurutkan gerakan perlawanan rakyat pada Belanda. Gerakan-gerakan rakyat semakin subur, bahkan menjelang revolusi kemerdekaan. Perlawanan yang Dilupakan Polongbangkeng adalah wilayah Kerajaan Bajeng. Penamaan ini disematkan ketika dilaksanakan pertemuan dengan Kerajaan Gowa. Panji atau payung kebesaran dari Bajeng lebih tinggi dari Gowa. Maka disepakatilah untuk memotong tiang panji agar disejajarkan dengan Gowa. Polong artinya patah. Dan Bangkeng adalah kaki (tiang). Polongbangkeng juga berarti kaki (tiang) yang dipatahkan. Hingga abad ke-18, Polongbangkeng dikenal sebagai tempat para perampok dan para pemberani. Tahun 1856, seorang pemimpin perampok bernama Sumange Rukka bahkan memiliki anggota sebanyak 300 orang, yang diorganisir dengan begitu rapi. Edwar Poelinggomang dalam Perubahan Politik dan Hubungan Kekuasan Makassar 1906-1942 , menyatakan bila aksi perampokan di Polongbangkeng dianggap sebagai sebuah perlombaan dan uji ketangkasan. Tak jarang, peminangan seorang perempuan akan disepakati ataupun ditolak dari keberhasilan merampok kelompok lain. Tak heran generasi-generasi para pemberani ini muncul setiap waktu, dari era Sumange Rukka, I Tolok Daeng Magassing, hingga Ranggong Daeng Romo pada masa revolusi kemerdekaan. Pada September 1945, Ranggong Daeng Romo tampaknya memahami situasi, dalam perebutan kemerdekaan. Dia mengumpulkan mantan algojo dari kesatuan-kesatuan bandit, sebagai kekuatan garis depan. Kelompok ini kemudian melakukan perlawanan kepada Belanda, menandai mata-mata yang akan dibunuh. Sementara untuk kebutuhan logistik pasukan, dilakukan perampokan-perampokan bangsawan kaya. Jika seseorang memiliki 10 ekor sapi, maka dicuri sebanyak 5 ekor atau setengah dari harta. Kelompok ini kemudian menggabungkan diri dalam Laskar Lipan Bajeng, yang kelak kemudian hari beruah menjadi Lapris (Laskar Perjuangan Rakyat Indonesia Sulawesi). Tercatat pada Desember 1945 hingga Februari 1947, Lapris melakukan aksi melawan Belanda mencapai ratusan kali. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, soal baru muncul. Pada 1950, ketika TNI merasionalisasi angkatan perang, dimana beberapa milisi rakyat dijadikan tentara. Namun apes untuk sebagian besar anggota Lapris, yang tak memiliki sekolah formal dan stigma sebagai bandit tak dapat diakomodir. Milisi garis depan akhirnya terpecah, ada yang menjadi TNI, kepala kampung, gerilyawan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), masyarakat, dan kembali menjadi perampok. Pada 1960, tercatat jumlah perampokan di wilayah Gowa, Takalar, hingga Jeneponto, mencapai 12.000 ekor sapi dan kerbau. “Kelompok perampokan ini menggunakan kembali nama Kelompok 40. Jelas ini adalah upaya legitimasi gerakan I Tolok Daeng Magassing. Dan bentuk kekecewaan terhadap negara,” kata Taufik.
- Panglima Tentara Dipilih Lewat Rapat Koboy-Koboyan
SEBULAN usai pengumuman maklumat pemerintah tentang pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945 oleh Presiden Sukarno, TKR belum memiliki pemimpin tertinggi. Kendati presiden sudah menetapkan Soeprijadi sebagai Menteri Keamanan Rakyat, namun sampai batas yang ditentukan, pemimpin pemberontakan pasukan Peta (Pembela Tanah Air) di Blitar itu tak juga muncul. Soeprijadi diperkirakan dibunuh oleh balatentara Dai Nippon. Berdasarkan situasi tersebut, formatur Kepala Markas Besar Oemoem (MBO) TKR, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo berinsiatif mengadakan rapat antarperwira. Pertemuan itu diadakan di Yogyakarta pada 12 November 1945, dengan melibatkan para perwira yang paling rendah berpangkat letnan kolonel atau menjabat sebagai komandan resimen. Dalam film Jenderal Soedirman yang baru-baru ini diluncurkan, digambarkan suasana rapat sedikit hangat. Namun sejatinya, situasi rapat tersebut berlangsung kacau, tidak disiplin dan sangat panas. Menurut Mayor Jenderal Didi Kartasasmita, sejak awal pun sudah ada kesan rapat perwira itu tidak akan berjalan tertib. Laiknya para koboy, para peserta datang ke ruangan rapat dengan masing-masing menyandang pistol di pinggang. “Saya menyebutnya sebagai rapat koboy-koboyan,” ujar Didi dalam biografinya Pengabdian Bagi Kemerdekaan karya Tatang Sumarsono. Kesemrawutan semakin menjadi-jadi saat setiap orang yang tampil bicara di forum selalu diteriaki kata “jelek” lalu dipaksa turun dari mimbar. Tak terkecuali, Menteri Keamanan Rakyat ad interim , Suljodikusumo, bekas daidanco Peta, dipaksa turun dari mimbar walaupun dia belum selesai berpidato. “Pokoknya rapat itu jauh dari sikap kedisiplinan sebuah organisasi tentara,” kenang mantan Panglima Komandemen Jawa Barat tersebut. Begitu tiba pada sesi pemilihan panglima besar, suasana semakin riuh dan kacau. Setiap orang memaksakan diri untuk bicara di forum itu. Karena situasi ini, maka proses pemilihan pun dilakukan lewat pemungutan suara. Calon yang harus dipilih para peserta yakni Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dan Kolonel Soedirman, Komandan Divisi V TKR Banyumas. Hasilnya, ternyata Kolonel Soedirman unggul dengan 23 suara, sedangkan Oerip hanya mendapatkan 21 suara. Dengan demikian, Soedirman menjadi panglima besar TKR, sedangkan Oerip Soemohardjo menjadi kepala staf TKR. Kendati dihasilkan dari “rapat koboy-koboyan,” Oerip dengan besar hati menerima keputusan tersebut. Tanpa merasa dirinya senior, dia lantas memberi selamat kepada Soedirman dan menyatakan janji akan loyal pada semua keputusan yang akan dikeluarkan oleh atasan barunya tersebut. Sebaliknya, Soedirman sendiri yang menyadari “kejuniorannya”, meminta mantan perwira KNIL itu untuk bersedia membantu tugas-tugasnya sebagai panglima besar. Kelak sejarah mencatat, janji itu terus dipegang Oerip sampai meninggal pada 17 November 1948. Menurut Mayor Jenderal (Purn) Sukotjo Tjokroatmodjo, hubungan antara Oerip dan Soedirman lebih menyerupai relasi “abang dan adik”. “Itu diperlihatkan dalam suasana informal, Pak Oerip lebih suka memanggil Pak Dirman sebagai dimas dan sebaliknya Pak Dirman sendiri lebih senang memanggil Pak Oerip sebagai kangmas,” ujar wakil ketua Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI). Begitu loyalnya Oerip kepada Soedirman, hingga suatu hari, kala kawan baiknya menyitir soal Oerip yang lebih pantas menjadi panglima besar karena lebih senior dan berpengalaman, dengan santai Oerip menjawabnya, “Soedirman lebih cocok dibanding saya menjadi panglima karena sebagian besar prajurit kita adalah bekas anggota Peta,” ujar Oerip.
- Kakek Andi Noya Dibunuh Massa Anti-PKI
PASCA terbunuhnya enam perwira tinggi dan satu perwira pertama Angkatan Darat oleh gerakan militer yang menamakan dirinya Dewan Revolusi pada 1 Oktober 1965, banyak anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) ditahan, dibunuh, dan dihilangkan. Ironisnya, tidak semua orang-orang yang hilang atau terbunuh itu anggota PKI. Seperti yang terjadi pada Jopie Risakotta Klaarwater, kakek dari jurnalis senior dan host acara "Kick Andy": Andy F. Noya. Pada masa-masa menegangkan itu, Jopie menjabat sebagai kepala penjara di Watampone, Sulawesi Selatan. Selain itu, dia juga mengepalai lembaga pemasyarakatan di wilayah Kabupaten Enrekang dan Sengkang. Bahkan, menurut Andy dalam biografinya, Andy Noya Kisah Hidupku , kakeknya itu pernah diusulkan untuk menduduki jabatan sebagai direktur kepenjaraan Indonesia wilayah timur, namun tidak terwujud karena Jopie memiliki darah Belanda. Lantas mengapa Jopie bisa menjadi korban pembunuhan massa anti-PKI? Ceritanya, suatu hari Jopie mendapat titipan 40 tahanan PKI dari Corps Polisi Militer (CPM). Para petugas CPM itu berpesan bahwa para tahanan tersebut tak boleh dilepas atau diberikan kepada siapapun sebelum proses hukum dikenakan kepada mereka. Sebagai penanaggungjawab penjara Watampone, Jopie menerima tugas tersebut dengan patuh. Sementara itu, kabar penumpasan anasir-anasir PKI di Jawa telah sampai di Sulawesi. Sekelompok massa anti-PKI mendatangi penjara Watampone. Secara beringas, mereka meminta kepada Jopie agar 40 tahanan PKI itu dikeluarkan untuk dihakimi melalui “peradilan rakyat.” Sebagai orang yang bertanggungjawab atas keberadaan para tahanan, Jopie menolak permintaan massa anti-PKI tersebut. Alih-alih mengeluarkan mereka, secara keras dia melarang orang-orang itu untuk masuk ke wilayah penjara. Mendapat sambutan seperti itu, tentu saja massa semakin beringas. Mereka memaksa dan berteriak-teriak agar pintu penjara dibuka. “Tetapi, kakekku bergeming. Dia menolak membuka pintu penjara,” ujar Andy. Akibatnya massa menjadi buas dan kehilangan akal sehat. Entah siapa yang memulai, mereka langsung mendobrak pintu penjara dan menyerbulah puluhan orang ke dalam penjara. Jopie yang berusaha mencegah malah dibacok oleh salah seorang massa tersebut hingga tewas. Begitu pula wakil kepala penjara ikut menjadi korban bersama 40 tahanan PKI. “Menurut penuturan saksi dari penduduk setempat, tiga hari lamanya mayat kakekku tergeletak di halaman penjara tanpa ada yang berani memindahkannya. Bahkan, pihak keluarga yang datang dihalangi untuk menuju lokasi,” tutur Andy. Sebagai anak kesayangan Jopie, Mady, ibu Andy, sangat terpukul. Mady bermimpi Jopie pergi jauh sambil melambaikan tangan. Mendapat firasat buruk itu, Mady memohon sambil memeluk kaki Jopie agar tidak berangkat ke Watampone. Namun, Jopie bersikeras tetap berangkat menunaikan tugas. Mady masih juga mencoba berteriak memanggil-manggil Jopie sambil menangis ketika mobil dinas melaju meninggalkan rumah. Pada 1970, keluarga Andy mencoba melacak keberadaan kuburan kakeknya. Namun, masyarakat di Watampone tidak bisa menunjukkan secara persis dimana kuburannya. Menurut cerita yang berkembang di sana, Jopie dan wakilnya dikuburkan secara massal bersama 40 tahanan PKI yang dibantai. 42 jenazah itu dikuburkan dalam satu liang. “Sampai hari ini kerangka kakekku tidak pernah ditemukan, Kuburan massal itu masih menjadi misteri bagi keluarga kami. Lelaki kurus dan pendiam itu seakan lenyap ditelan bumi,” pungkas Andy.
- Jejak Karier Sarwo Edhie Sebelum Peristiwa G30S 1965
ADA dua peristiwa pada awal karier Sarwo Edhie Wibowo sebagai tentara yang sempat jadi kontroversi dan penghalang kenaikan jabatannya. Dua hal tersebut diungkapkan oleh sejarawan Peter Kasenda dalam bukunya, Sarwo Edhie dan Tragedi 1965 (Penerbit Buku Kompas, 2015) yang dibedah di Auditorium Universitas Bung Karno, Jakarta, 5 Oktober 2015. Kejadian pertama, saat terjadi Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948, sebagai komandan peleton, Sarwo pernah gagal mengkoordinasi pasukannya. Cerita tersebut muncul ketika pada saat itu, Kulonprogo yang merupakan daerah operasi Brigade IX pimpinan Ahmad Yani dibombardir militer Belanda. Untuk segera mencapai posisi komandan brigade-nya, Sarwo lantas memecah pasukannya ke dalam beberapa regu. Ternyata keputusan tersebut sangat fatal akibatnya. Alih-alih bisa bergerak secara sistematis, anak buah Sarwo yang kebanyakan masih sangat muda dan belum terlatih untuk melakukan perang gerilya malah menjadi kebingungan. “Banyak di antara mereka yang nangis-nangis dan minta pulang,” kata Peter. Kedua, menurut Peter, sebagai pimpinan pasukan komando, Sarwo dinilai banyak rekannya justru tak memenuhi kualifikasi sebagai seorang prajurit komando. Soal ini muncul pertamakali ke permukaan kala Menpangad Letjen Ahmad Yani mengangkatnya sebagai Kepala Staf RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Pengangkatan itu langsung ditolak oleh sebagian besar kalangan prajurit RPKAD terutama oleh Komandan Bataliyon II RPKAD Mayor Benny Murdani. Benny berkilah bahwa dibandingkan Letnan Kolonel (Inf) Widjojo Soedjono, calon kepala staf lain, Sarwo tidak ada apa-apanya. Penolakan itu berujung kepada mutasi Benny ke Kostrad hingga membuatnya patah arang dengan kesatuan baret merah itu dalam waktu yang cukup lama. Menurut Letnan Jenderal (Purn) Sintong Panjaitan, sejak itulah Benny seolah “haram” untuk mengenakan baret merah yang tadinya merupakan kebanggan dirinya. “Pak Benny baru mau lagi pakai baret merah pada tahun 1985, saat ada penganugerahan gelar Warga Kehormatan Baret Merah kepada Yang Dipertuan Agung Malaysia Sultan Iskandar,” ujar Sintong. Sepertinya saat itu Benny belum paham tentang hubungan dekat antara Sarwo dengan Yani sesungguhnya sudah berlangsung sejak zaman pendudukan Jepang. Dia juga tidak mengerti, saat bertugas di Wonosobo, Sarwo pernah kecewa karena pangkatnya diturunkan setingkat: dari kapten menjadi letnan karena suatu kesalahan. Makanya dalam sebuah kesempatan, Yani yang merasa tidak enak dengan kejadian itu, pernah berujar: “Saya sudah pernah membikin Sarwo kecewa, tetapi voortaan (selanjutnya) saya tidak akan melupakannya.” Keberuntungan Sarwo tiba saat dirinya ditugaskan menumpas orang-orang PKI di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali pada 1965-1966. Bukan hanya di mata para prajuritnya, dia pun mendapat tempat di kalangan organ-organ mahasiswa anti-Sukarno. Rupanya inilah yang membuat Soeharto was-was punya pesaing dan menjadikan karirnya meredup. “Soeharto tak mengenal konsep matahari kembar, dia percaya matahari harus satu yakni dirinya sendiri,” ungkap Peter.
- Merintis Jalan Keadilan
WAJAH-wajah sepuh yang semula tersenyum itu mendadak murung ketika Martin Aleida, wartawan-cum-sastrawan pernah bekerja untuk Harian Rakjat , mengisahkan pengalamannya selama berada di tahanan Operasi Kalong di Jakarta. Beberapa di antaranya tampak tercekat menahan haru, sebagian lain tak kuasa membendung air mata yang terlanjur meleleh di pipi. “Saya ditahan tak jauh dari ruangan tempat Tarni, istri kawan saya Nyoto, ditahan bersama lima anaknya. Yang paling kecil, si Butet, baru berumur dua bulan.Masih bayi merah. Dan anak-anak itu selalu terbangun di tengah malam, mendengar jeritan mereka yang disiksa di ruangan lain yang tak jauh dari ruangan mereka,” kata Martin dalam pertemuan di Diemen, Sabtu, 10 Oktober 2015, yang dihadiri puluhan warga Indonesia yang terhalang pulang semasa Orde Baru. Martin datang ke Belanda awal pekan lalu untuk memberikan kesaksiannya di International People Tribunal (IPT)1965 yang bakal diselenggarakan di Den Haag November mendatang. Ini bukan pengadilan rakyat yang bakal menyeret pelaku kejahatan kemanusiaan ke muka pengadilan sebagaimana mahkamah internasional di Den Haag. IPT adalah inisiatif masyarakat yang sadar pentingnya pengungkapan kebenaran masa lalu dalam peristiwa 1965 -1966 dan menuntut negara Indonesia lebih serius menangani kejahatan kemanusiaan di masa lalu. Inisiatif yang sama pernah dilakukan oleh Bertrand Russell dan Jean Paul-Sartre pada 1966 dalam kasus invasi Amerika Serikat ke Vietnam yang banyak menyebabkan tewasnya ribuan rakyat tak berdosa. Filsuf Inggris dan Prancis tersebut tergerak hatinya untuk menyelenggarakan sebuah tribunal, yang kelak disebut sebagai Russel-Sartre Tribunal, karena kepedulian mereka terhadap nasib manusia dan kemanusiaan. Tribunal juga diselenggarakan pada 2009-2012 untuk menggugat agresi Israel terhadap Palestina. Sementara itu keinginan untuk mengungkap kebenaran peristiwa 1965-1966 seraya menegakkan keadilan bagi para korban dan penyintas semakin menguat sejak kejatuhan Soeharto. Ikhtiar tersebut sesuai dengan semangat zaman demokrasi yang berlaku pada saat ini: bahwa martabat manusia dan nilai-nilai kemanusiaan harus ditegakkan tanpa memandang keyakinan dan ideologi. Pesan itu pula yang disampaikan oleh Leila Chudori pada saat peluncuran novelnya, Pulang yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, Naar Huis . Novel yang mengisahkan tentang mereka yang terhalang pulang pasca-peristiwa 1 Oktober 1965 itu ditujukan kepada generasi muda yang ingin mengetahui apa yang terjadi setengah abad yang lalu. “Novel ini saya tulis untuk anak-anak muda di Indonesia agar mereka belajar sejarah kelam bangsanya,” kata Leila dalam diskusi yang diselenggarakan di International Institute voor Sociaal Geschiedenis (IISG, Institut Internasional untuk Sejarah Sosial), Sabtu, 10 Oktober 2015. Leila berkeliling Eropa untuk menjadi pembicara dalam sejumlah diskusi mengenai novelnya. Tema tentang kejahatan kemanusiaan pada peristiwa 1965-1966 memang menjadi perhatian masyarakat internasional akhir-akhir ini. Selain tentu karena tahun ini bersamaan dengan peringatan 50 tahun peristiwa, juga karena selama puluhan tahun peristiwa tersebut tak pernah diketahui oleh banyak orang. Dan kini banyak inisiatif untuk melawan pelupaan dan juga menyebarkan pengetahuan ihwal lembaran kelam sejarah bangsa.
- Pasukan Penerjun Operasi Naga Kesasar di Hutan Papua
PADA 22 Juni 1962, pukul 14.00, Letnan Satu dr. Ben Mboi tiba-tiba dibangunkan dari tidur siang di baraknya. Komandan Datasemen Kesehatan Pasukan Khusus (Dandenkes Pasus) itu, menerima panggilan tugas bertempur di Irian Barat (sekarang Papua). Di markas RPKAD (Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat) Cijantung, Ben Mboi menghadap komandan yang akan memimpin operasi militernya, Kapten Benny Moerdani. “Operasi ini, Operasi Naga namanya. Kita akan diterjunkan di Irian Barat bagian selatan. Persisnya dimana, nanti akan dijelaskan,” demikian instruksi Benny dalam Ben Mboi: Memoar Sorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja . “Pergi menuju perang riil seperti Operasi Naga, seolah kita tidak tahu hendak pergi kemana meski pertempurannya pasti,” kenang Ben Mboi melukiskan perasaannya saat itu. “Kita tidak tahu apakah akan terluka atau tidak, akan hidup atau tidak, akan pulang atau tidak. Siapa yang tidak takut?” Sasaran Operasi Naga adalah menduduki kota Merauke untuk mengacaukan konsentrasi pasukan Belanda yang dipusatkan di Pulau Biak. Operasi ini diminta langsung oleh Kepala Staf KOTI (Komando Operasi Tertinggi), Mayor Jenderal Achmad Yani untuk menambah bobot di medan diplomasi. Rencananya, apabila Belanda tetap mempertahakan Irian Barat, Pulau Biak akan diinvasi oleh pasukan gabungan TNI dalam Operasi Jayawijaya yang dipimpin langsung oleh Panglima Mandala, Mayor Jenderal Soeharto. Benny memperkirakan, “kalau Merauke bisa diserbu, ada anak istri Belanda yang bisa kita sandera. Mereka pasti harus mengerahkan pasukannya secara besar-besaran untuk menyelamatkan. Berarti, pertahanan di bagian lain Irian akan terbuka lebar atau setidaknya pertahanannya akan kacau- balau,” tulis Julius Pour dalam Benny Murdani: Profil Prajurit Negarawan . Operasi Naga menjadi operasi penerjunan terbesar dari kampanye Trikora. Melibatkan 215 personel, terdiri dari 55 pasukan RPKAD dan 160 pasukan dari Batalyon 530/Brawijaya. Persiapan yang serba cepat membuat operasi ini tidak diperhitungkan dengan cermat. Penerjunan dilakukan pukul 00.00, 24 Juni 1962. Disinilah awal petaka bagi pasukan Operasi Naga. Cuaca yang gelap ditambah lebatnya hutan Papua, membuat titik pendaratan terlihat samar-samar oleh pilot dan navigator. Pasukan kesasar sejauh 30 km lebih ke utara dari rencana droping zone , Sungai Merauke. “Sungai yang disangka Sungai Merauke, ternyata Sungai Kumbai,” tulis Pour. Benny merencanakan, seminggu setelah menjejakan kaki di Papua, seluruh pasukan sudah bisa terkonsolidasi. Namun, pasukan terpencar lebih lama dari yang diduga. Musuh terbesar mereka bukan tentara Belanda, melainkan alam Papua. Para penerjun disambut pohon-pohon yang menjulang 20 hingga 30 meter. “Beberapa orang tewas seketika karena mendarat di atas rawa. Belum adanya pengalaman melakukan terjun malam, ditambah beban ransel seberat 30 kg, menyebabkan mereka yang mendarat langsung tenggelam,” tulis Pour. Selama sebulan, pasukan menyusuri sungai dan hutan belantara menuju Merauke. Ben Mboi menuturkan, mulai dari daun bluntas dan buah nipah, gabus sungai, hingga biawak jadi santapan mereka demi bertahan hidup. Kontak senjata dengan tentara Belanda terjadi pada 6 Juli 1962. Pasukan Benny yang sedang berisitirahat diserang mendadak dari satu peleton Marinir Belanda. Benny nyaris tewas karena kepalanya diterjang peluru oleh penembak jitu. Beruntung, peluru itu menyambar topi rimba Benny. Benny bersama pasukannya dibawa tentara Belanda ke markas Marinir di Merauke. Mereka dijamu makan dengan status tertawan. ”Karena kesal tidak pernah bisa meringkus Benny, jaket tempurnya ditempel di dinding markas, dijadikan sasaran latihan lempar pisau oleh tentara Belanda,” tulis Pour. “Beberapa pasukan bahkan tercecer hingga sampai ke Papua Nugini dan ditangkap tentara Australia,” tulis Ben Mboi. Mereka di antaranya Rumasukun, Ismail, dan Sutiyono, rekan Ben Mboi. “Setelah gencatan senjata, seorang pasukan Indonesia bernama Serma Teguh Sutamin tersesat masuk ke kampung Papua dan di bunuh oleh orang kampung situ,” lanjut Ben Mboi. Sumber-sumber Belanda yang diteliti P.J. Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas menyatakan bahwa upaya penyusupan ini belum menjadi bahaya bagi posisi Belanda. Kelemahan terbesar mereka adalah droping tidak baik, tidak mendapat bantuan penduduk, dan pemerintah pusat Indonesia tidak membekali mereka dengan cukup. Sedangkan menurut M. Cholil dalam Sedjarah Operasi-operasi Pembebasan Irian Barat yang diterbitkan Pusat Sejarah TNI, Operasi Naga mencapai hasil yang memuaskan. “Berkat kegiatan-kegiatan gerilya pasukan-pasukan ini, maka Belanda terpaksa memperbesar kekuatannya di Merauke yang semula hanya dua kompi menjadi dua batalion,” tulis Cholil. Pasukan Indonesia yang gugur dalam Operasi Naga berjumlah 36 orang dan 20 orang hilang. Sementara korban di pihak Belanda sebanyak 10 orang. Setelah kampanye Trikora usai, diketahui bahwa wilayah selatan Papua bukanlah medan penerjunan yang mudah ditaklukkan. “Bahkan tentara Jepang yang paling berani sekalipun tidak akan berani melakukan pendaratan di sana pada pagi buta seperti yang kalian lakukan,” kata seorang pilot Hercules Amerika kepada Ben Mboi. “Memang benar, itulah patriotisme. Patriotisme dapat mendorong kita ke bibir tebing ketololan dan kegilaan. Here I am !” kata Ben Mboi.
- Tak Ada Lauk untuk Tapol Moncongloe
SEPANJANG tahun 1971-1972 udara di kamp pengasingan Moncongloe Sulawesi Selatan begitu terik. Tanah-tanah seperti terbakar, sungai mengering, singkong begitu susah bertumbuh. Daun-daun liar yang dijadikan sayur semua mati. Kemarau panjang. A.M. Hustin, tapol (tahanan politik) dari Barru seorang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat, menceritakan kisah itu melalui cerita pendek, sepanjang sembilan halaman. Menulis dengan tangannya sendiri dengan tinta hitam. Judulnya Pesta Laron di Malam Natal. “Dan memang sesuai dengan keadaan dan keberadaan kami sebagai orang tahanan yang serba krisis dan tak berpunya untuk suatu pesta yang mewah. Sudah setahun lamanya kami tak mendapat sayur dan ikan dari dapur umum,” tulisnya. Hustin, menulis kisah ini pada 1972, usai melakukan perayaan Natal di gereja dalam kawasan kamp. Dia menggambarkan, kondisi para tahanan ketika kembali ke barak. Semua tak bisa tertidur. Tahanan-tahanan itu melamun, membuat kelompok-kelompok kecil dan mulai bercerita pengalaman masa lalu. Para tapol, mengingat gulai ayam, makanan yang lezat, serta kegembiraan malam Natal. Tapi, di kamp semua hanya hayalan. “Kami hanya mendapat beras satu belek susu untuk satu hari dan garam satu belek susu untuk satu bulan.” “Rumput yang biasa kami gunakan sebagai sayur dari hutan seperti sentrium dan lempuyang dan daun-daun ubi di kebun, seluruhnya belum bertunas akibat kemarau yang sangat panjang di tahun ini.” “Sayur yang dibawa oleh para kelontong dari kota, tak mampu kami beli, kami miskin melarat. Ya! Nasib tahanan.” Akhirnya dengan rasa lapar, para tahanan baik yang beragama Nasrani dan Muslim, menjadikan laron sebagai hiburan. Laron-laron yang mengerubungi lampu stromking dikumpulkan. “Semua alat-alat seperti rantang, ember, panci, digunakan dan demikianlah peristiwa ini kami lalui dengan gembira. Sehingga tanpa disadari lonceng dipukul oleh kawan-kawan petugas jaga malam berbunyi empat kali sebagai pertanda bahwa subuh sudah tiba,” tulis Hustin. Sementara pembentukan koperasi dalam kamp, untuk meningkatkan kesejahteraan para tapol ditukarkan dengan gula, sabun, ataupun pasta gigi. Namun, hasil penjualan bambu, kayu dan batu gunung diserahkan pada petugas kamp. Keberadaan koperasi ini digambar oleh Munir, salah seorang tapol, melalui surat-surat pribadinya ke orang tua. Taufik dalam Kamp Pengasingan Moncongloe mengutip isi surat tersebut, “Sedikit saya memberikan bayangan sebagai salah satu cara untuk meringankan saya ialah bahwa di sana (Moncongloe) kami ada mempunyai koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari tapol semua dari pelaksananya (pengurusnya) dari tapol juga tapi akan pengawasan pertugas (CPM). Dari berbagai sektor kegiatannya telah berlangsung kira-kira tiga tahun ini, antara lain menerima uang titipan (simpanan) dari anggota dengan punya imbalan jasa (bunga) 5 persen sebulan. Sangat menarik perhatian saya kehidupan sebagian teman-teman saya telah menempuh jalan ini, dimana mereka telah boleh mengatur hidupnya walaupun sederhana mungkin dengan uang hasil titipan mereka di koperasi.” “Dengan maksud inilah, mendorong saya mendatangi ayah bunda lewat surat ini kiranya restu dan sekaligus layanan cinta kasih dari ibu bapak untuk meringankan kesehatan dan fisik saya yang semakin hari semakin buruk. Kiranya hak itu termakan di hati ayah bunda dan tidak akan terlalu menyulitkan pengusahaannya maka anakda mengincar-incar kalau ada Rp20.000 (dua puluh ribu rupiah) berarti sudah mendapat imbalan Rp1000 (seribu rupiah) setiap bulan.” “Seribu tiap bulan ini akan menolong kehidupan saya dalam arti semuanya mungkin, tetapi yang pasti sebaiknya kontinyu (tidak terputus) daripada kiriman yang insidentil walapun mungkin dalam jumlah banyak, tetapi sulit diatur (direncanakan).” Pembangunan kamp Moncongloe untuk menempatkan tapol bagi masyarakat yang dianggap terlibat dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) ataupun organisasi di bawah naungan partai di tempatkan di salah satu kawasan terpencil bernama Mocongloe –yang saat ini masuk dalam kawasan Kabupaten Gowa. Kamp ini pertama kali dirintis tahun 1969. Pola pemanfaatannya dinyatakan sebagai program transmigrasi lokal. Pada Maret 1969, 11 orang tapol dari Makassar diberangkatkan ke Moncongloe, masing-masing tujuh orang laki-laki dan empat orang perempuan. Beberapa bulan kemudian tapol lain didatangkan sebanyak 44 orang. Dan pada akhir 1969, fasilitas kamp sudah selesai. Dimana terdapat barak laki-laki ukuran 6 x 20 meter sebanyak empat buah, barak wanita 1 buah, tempat piket, 1 buah poliklinik, masjid ukuran 7 x 10 meter, gereja ukuran 7 x 10 meter, aula 6 x 20 meter, koperasi, dan lapangan upacara. Dengan luas keseluruhan kamp adalah 150 meter persegi. Hingga akhir tahun 1971, jumlah tapol yang menghuni Kamp Mocongloe mencapai 911 orang, terdiri dari 52 perempuan dan 859 laki-laki. Rinciannya sebanyak 250 tapol dari penjara Makassar, dan selebihnya saat mejelang pemilihan umum tahun 1971 didatangkan dari Majene, Polewali Mamasa, Pinrang, Tana Toraja, Palopo, Pinrang, Pare-pare, Barru, Pangkep, Maros, Bone, Gowa, Takalar, Bantaeng, Bulukumba dan Selayar.
- Dari OSVIA Sampai IPDN, Riwayat Sekolah Para Birokrat
GUBERNUR DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, beberapa waktu lalu mengusulkan pembubaran IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri). Ahok mengkritik mekanisme perekrutan mahasiswa dan gaya militer di IPDN. Menurut Ahok, IPDN hanya memberikan pembekalan kesatuan korps. Menilik sejarah, pendidikan untuk kaum birokrat dimulai pada mula abad ke-20. Penyelenggaraan pendidikan untuk bumiputera tak lepas dari perkembangan ekonomi Hindia Belanda. Setelah penerapan liberalisme ekonomi pada 1870, ekonomi Hindia Belanda berkembang pesat. Pabrik dan perkebunan berdiri. Kebutuhan terhadap tenaga kerja pun meningkat. Pemodal menginginkan tenaga kerja terampil, tapi murah. Pemerintah kolonial menyediakan jalan untuk kepentingan pemodal. Mereka membuka pendidikan untuk bumiputera. “Singkatnya, tujuan pendidikan ialah untuk memperoleh tenaga kerja murah,” tulis Sumarsono dalam Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman. Memasuki abad ke-20, pemerintah kolonial mengubah tujuan penyelenggaraan pendidikan untuk bumiputera. Menurut Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918 , desentralisasi dan ekspansi birokrasi kolonial ke dalam lapangan-lapangan baru menuntut pemerintah kolonial mempekerjakan sejumlah besar orang Jawa terpelajar. “Hanya orang-orang Jawa dari kalangan pembesar yang benar-benar bisa menjalankan pekerjaan birokrasi,” tulis Akira. Kepentingan ini kemudian sejalan dengan kebijakan politik etis Belanda pada awal abad 20. Pendidikan menjadi sarana penting bagi pemerintah Belanda untuk membayar utang budinya kepada negeri koloni. Maka pada 1900, pemerintah kolonial mendirikan OSVIA (Opleiding Schoolen voor Indlansche Ambtenaren atau Sekolah Pendidikan Pegawai Bumiputera) –setingkat perguruan tinggi– di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. OSVIA menerapkan pendidikan bergaya Eropa dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Bumiputera boleh melanjutkan pendidikan ke OSVIA asalkan sudah mengecap pendidikan dasar di sekolah-sekolah rendah Eropa (Europeesche Lagere Schoolen). Ini berarti OSVIA hanya boleh dimasuki anak-anak kaum bangsawan. Sebab kebanyakan siswa ELS berasal dari kalangan bangsawan. Pemerintah kolonial sengaja menerapkan pendekatan elitis dalam proses perekrutan birokrat. Gagasan ini berasal dari direktur pendidikan etis yang pertama, J.H. Abendanon. Menurut M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 , pemerintah kolonial ingin menciptakan elite bumiputera yang dipengaruhi Barat dan membentuk elite bumiputera yang mampu mengambilalih pekerjaan pegawai pemerintah Belanda. “Sehingga tercipta elite baru yang tahu berterimakasih dan bersedia bekerja sama, memperkecil anggaran pemerintah, mengendalikan fanatisme ‘Islam’, dan akhirnya menjadi teladan yang akan dijiwai masyarakat pribumi golongan bawah,” tulis Ricklefs. OSVIA kemudian berubah jadi MOSVIA (Middelbaar Opleiden Schoolen voor Indische Ambtenaren) pada 1927. MOSVIA menerima lulusan bumiputera dari sekolah lanjutan khusus Bumiputera, MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) –setingkat sekolah menengah pertama–untuk menghimpun lebih banyak calon birokrat bumiputera. Setelah menjalani masa pendidikan, lulusan sekolah pemerintahan bentukan Belanda ini diangkat sebagai birokrat pemerintah dan ditempatkan ke berbagai kedinasan. Menurut Akira Nagazumi kalangan priayi rendah sangat berambisi mencapai posisi birokrat. Bagi priayi, status sosial sebagai pejabat pemerintah akan memberikan kedudukan terhormat sekaligus memutus penghambaan mereka kepada pembesar pribumi (raja dan bupati). Singkatnya, “sekolah hanya dipandang perlu bagi mereka yang ingin menjadi pejabat,” tulis Akira mengutip Mas Ngabehi Dwidjosewojo yang menggambarkan pendidikan priayi di zaman kolonial. Meski telah berhasil menjadi birokrat, bumiputera tak dapat menembus statifikasi rasial yang yang diciptakan dan dipertahankan oleh pemerintah Hindia Belanda. Bumiputera tetaplah bumiputera. Biasanya bumiputera lulusan sekolah pegawai pemerintah menjabat sebagai juru tulis ataupun mantri. Ini jabatan terendah dalam hierarki pemerintahan kolonial. Menurut R.Z Leirissa dalam Sejarah Masyarakat Indonesia 1900-1950 , sistem pendidikan kolonial menghasilkan dua kelompok bumiputera. Pertama, kaum birokrat. Mereka penjaga kelangsungan sistem pemerintahan kolonial dan cenderung menjauh dari rakyat kebanyakan. Kedua, kaum pergerakan. Disebut juga sebagai anak haram politik etis karena menentang sistem kolonial. Contohnya Tjokroaminoto dan R. Goenawan. “Mereka menyebut diri dengan istilah kaum muda. Membentuk kesadaran nasional, berbagi gagasan dan pengalaman hingga menjadi sebuah embrio bangsa,” tulis Takashi Siraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme di Jawa 1912-1926 .





















