top of page

Hasil pencarian

9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kemerdekaan, Kado Ulang Tahun Hatta

    JENDERAL Terauchi, panglima angkatan perang Jepang di Asia Tenggara, bertemu dengan Sukarno, Mohammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat di Dalat, Vietnam, pada 12 Agustus 1945. Dia menyampaikan keputusan pemerintah Jepang untuk menyerahkan soal kemerdekaan Indonesia kepada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).  “Tuan-tuanlah melaksanakannya dan terserah kepada tuan-tuan sepenuhnya menentukan pelaksanaannya,” kata Terauchi. “Kalau seminggu lagi kami laksanakan apa bisa?” tanya Sukarno. “Terserah kepada tuan-tuan,” jawab Terauchi. Hatta gembira luar biasa. Sebab, tanggal 12 Agustus hari ulangtahunnya. “Dalam hati kecilku aku menganggap kemerdekaan Indonesia itu sebagai hadiah jasaku sekian tahun lamanya untuk kemerdekaan Indonesia,” kata Hatta dalam memoarnya, Untuk Negeriku Jilid 3 . Sekembalinya ke Indonesia, mereka mendapatkan ucapan selamat dari Gunseikan (kepala pemerintah militer) Jenderal Yamamoto dan pejabat tinggi Jepang lainnya. Setelah itu, Sutan Sjahrir, yang telah mengetahui kekalahan Jepang, meminta Sukarno mengumumkan kemerdekaan tanpa melalui badan bentukan Jepang, PPKI. Sukarno menolak karena dia tak mau mengambil kesempatan sendiri tanpa bersama-sama anggota PPKI. Begitu pula ketika Wikana mendesak agar proklamasi dinyatakan malam tanggal 15 Agustus dan menyatakan tidak mau proklamasi dilaksanakan PPKI karena bentukan Jepang.  Hatta menegaskan, kalau PPKI dianggap buatan Jepang serta Sukarno-Hatta dan pemimpin lain bekerjasama dengan Jepang, carilah orang lain yang belum pernah bekerjasama dengan Jepang untuk memproklamasikan kemerdekaan. “Dan kami akan berdiri di belakang mereka,” kata Hatta. “Tetapi pemuda-pemuda itu maunya Bung Karno juga.” Sukarno sebagai ketua PPKI dan Hatta sebagai wakilnya memerintahkan Ahmad Soebardjo untuk memanggil semua anggota PPKI yang menginap di Hotel Des Indes untuk rapat pada 16 Agustus 1945 pagi di Gedung Pejambon (sekarang Gedung Pancasila). Semua anggota PPKI pun hadir Gedung Pejambon, sementara Sukarno-Hatta tidak. “Jadi tidak benar, bahwa rapat itu dilarang oleh Jepang. Hanya waktu itu rapat tidak bisa berjalan karena kami berdua tidak hadir, karena pagi-pagi subuh hari itu kami dibawa ke Rengasdengklok. Dan kalaulah pagi itu kami tidak dibawa dan rapat terus berlangsung tentunya proklamasi itu telah terjadi hari itu (16 Agustus 1945),” kata Hatta dalam Bung Hatta Menjawab.  Somubuco (kepala departemen urusan umum) Mayor Jenderal Nishimura melarang rapat PPKI karena mulai pukul 13.00 tanggal 16 Agustus 1945, Jepang diperintahkan Sekutu untuk menjaga status quo . Sukarno-Hatta menyatakan dengan agak keras: “Tuan ‘kan orang samurai. Jenderal Terauchi di Dalat telah menyerahkan. Bagaimana dengan sumpah dan janji samurai tuan kepada kami.” “Ya,” kata Nishimura, “kita berada dalam keadaan yang lain sekarang.” Sukarno-Hatta bersikeras akan melaksanakan rapat PPKI. Hotel Des Indes tak memberi izin karena sesuai peraturan Jepang sejak awal pendudukan, rapat tidak boleh dilaksanakan lewat pukul 22.00. Akhirnya, Laksamana Maeda, kepala penghubung Angkatan Laut Jepang yang bersimpati pada perjuangan Indonesia, meminjamkan rumahnya di Jalan Myakodori (dulu Jalan Orange Nassau Boulevard). 21 anggota PPKI dan beberapa pemuda hadir di rumah tersebut. Sukarno, Hatta, dan Ahmad Subardjo merumuskan proklamasi di rumah yang kini menjadi Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Jalan Imam Bonjol No. 1 Menteng Jakarta. Keesokan harinya, tanggal 17 Agustus pukul 10.00, Sukarno membacakan proklamasi di halaman rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta.

  • Tiket Satu Arah ke Mars

    ROBOT penjelajah milik NASA, Curiosity, merayakan satu tahun pertamanya di planet Mars pada 24 Juni 2014. Setahun di Mars setara 687 hari menurut hitungan hari di Bumi. Curiosity merayakannya dengan bernarsis ria mengambil potret diri: selfie . Curiosity tiba di Mars pada Agustus 2012 untuk mendapatkan bukti apakah kondisi lingkungan Mars cocok untuk menunjang kehidupan mikroba. Dari penggalian dan pengambilan sampel tanah oleh Curiosity, para peneliti menyimpulkan bahwa air pernah ada di Mars, begitu pula sebuah bentuk kehidupan. “Kami menemukan tanda-tanda jejak interaksi yang kompleks antara air dan batuan di sana,” ujar David Blake, salah seorang peneliti seperti dilansir www.jpl.nasa.gov. Planet Mars mendapatkan namanya dari salah satu tokoh dewa Romawi. Ia kerap juga dikenal dengan nama planet merah, merujuk pada penampakan permukaannya yang kemerah-merahan. Di masa modern ini, ia kian menjadi primadona di antara para peneliti, ditandai dengan dikirimkannya berbagai robot penjelajah untuk mengungkap misteri kehidupan di Mars. Misi-misi penjelajahan Mars ini sempat meredakan ketegangan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat pada masa Perang Dingin. Sepanjang akhir 1980-an, The Planetary Society, lembaga nonprofit terdepan dalam eksplorasi luar angkasa untuk tujuan sains, mulai mempromosikan wacana agar Amerika dan Uni Soviet mau bekerja sama dalam mengeksplorasi Mars. “The Planetary Societ mengaitkan wacana Mars dengan internasionalisme. Mereka juga mensponsori pertemuan di Washington pada pertengahan 1985. NASA melihat hal tersebut sebagai sesuatu yang mungkin. Visi ‘Ke Mars… Bersama-sama’ mendapatkan momentumnya sebagai dasar pemikiran politis,” tulis W. Henry Lambright dalam Why Mars: NASA and the Politics of Space Exploration . Sayangnya, musibah meledaknya roket Challenger pada 1986 memaksa NASA mengevaluasi total rencana misi-misi eksplorasinya di masa depan. Tidak semua robot yang dikirm berhasil mendarat selamat. Amerika Serikat melalui NASA kali pertama mengirimkan dua robotnya, Viking 1 dan Viking 2, pada 1975. Robot penjelajah lainnya, Spirit dan Opportunity, diberangkatkan pada 2003. Dan yang terbaru adalah Curiosity pada 2011. Selain itu, setidaknya ada serangkaian misi lainnya yang gagal, seperti misi-misi Uni Soviet dari 1971-1973, misi NASA ke Mars pada 1999, dan misi Beagle milik Inggris pada 2003. Tidak seperti misi ulang-alik, robot-robot Mars tidak bisa kembali ke Bumi karena ongkosnya terlalu besar. Perjalanan ke Mars sejauh ini masih satu arah karena keterbatasan dana dan teknologi. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa pengiriman manusia ke Mars masih sulit dilakukan. Viking 1 dan 2 berhenti beroperasi pada 1982 dan 1980. Spirit sudah berhenti mengontak Bumi pada 2010. Kini tinggal Opportunity dan Curiosity yang masih beroperasi dan terus mengirimkan data-data ilmiah seperti foto dan cek sampel. Belajar dari data-data yang dikirimkan robot-robot penjelajahnya itulah, Doug McCuistion, direktur NASA untuk misi Curiosity, memproyeksikan manusia sudah bisa dikirim dan menetap di Mars pada 2030 atau 2040 sebagai langkah awal pembangunan koloni manusia pertama di luar Bumi. “Lalu mereka bisa menemukan Curiosity dan membawanya pulang. Saya yakin akan ada museum di sini yang berminat untuk menyimpannya,” ujarnya seperti dikutip dailymail.co.uk (24/8/2012).

  • Dari Wiragunan Ke Ragunan

    TAMAN margasatwa Ragunan di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, dipadati pengunjung yang mengisi liburan Lebaran. Kebun binatang itu, yang berdiri pada 19 September 1864, semula berlokasi di Cikini sebelum dipindahkan ke Ragunan pada 1966. Ragunan, menurut sejarawan Belanda F. de Haan, berasal dari kata wiragunan , merujuk pada gelar wiraguna, yang dianugerahkan kepada Henrik Lucaszoon Cardeel oleh Sultan Banten Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Namun, menurut Windoro Adi dalam Batavia 1740, gelar Pangeran Wiraguna diberikan oleh Sultan Abunasar Abdul Qahar atau Sultan Haji atas jasanya meminta bantuan Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) untuk melawan dan menyingkirkan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa. Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya: Batas-batas Pembaratan, gelar Pangeran Wiraguna diberikan karena jasa Cardeel memugar berbagai bangunan dan mendirikan bangunan kecil yang sampai sekarang masih berdiri di samping Masjid Agung Banten. Bangunan kecil tersebut berupa “rumah meliputi sebuah lantai dasar dan lantai satu yang indah, berjendela besar; sebuah museum kecil terdapat di dalamnya,” tulis Lombard. Laporan wakil VOC di Banten, Caeff, menyebut Cardeel untuk kali pertama pada Maret 1675. Sebagai tukang batu, dia menawarkan jasanya ketika kebakaran menimpa Keraton Surosowan atau istana Sultan Banten. Setelah diislamkan, dia mengabdi kepada Sultan. Cardeel, tulis Windoro Adi, bukan hanya membangun kembali keraton, namun juga membangun bendungan dan istana peristirahatan di hulu Ci Banten yang kemudian dikenal dengan sebutan Bendungan dan Istana Tirtayasa. Kendati mendapat bujukan dan tawaran yang baik dari VOC, Cardeel memilih tetap hidup di Banten dan mengabdi kepada raja yang baru, Sultan Haji. Dia bahkan mengawini salah satu mantan istri Sultan Ageng Tirtayasa dan tetap bertugas sebagai “penilik pekerjaan besar”. Setelah Sultan Haji wafat pada 1687, dia meninggalkan Banten dan berencana pulang ke Negeri Belanda. “Tidak diketahui apakah dia pernah kembali ke negerinya,” tulis Lombard, “tetapi pada 1695, dia diketahui menetap di Batavia sebagai penduduk biasa ( burger ) dan kembali menjadi Nasrani. Dia menjadi kepala wilayah ( wijkmeester Blok M ) dan mengusahakan sebuah hutan kecil (Ragunan, red ) miliknya di pinggiran kota.” Cardeel berkongsi dengan seorang juru bedah, Philip Gijger, untuk membangun kincir air dan penggergajian di dekat sungai besar, serta membuat peti untuk keperluan ekspor gula tebu. Pada 1699, pemerintah kotapraja menugasinya memperbaiki beberapa saluran air yang rusak karena gempa bumi dengan upah 150 ringgit. Sejak 1706, dia berhenti membuat peti dan beralih memproduksi arang untuk dijual ke pabrik senjata milik VOC untuk membuat mesiu. Karena istrinya tinggal di Banten, Cardeel menikah lagi dengan Anna Stratingh tanpa dikaruniai anak. Merasa ajalnya semakin dekat, dia mengangkat anak seorang pemuda Indo bernama Lucas, anak temannya, Hodenpijl, dan membebaskan ibunya, Magdalena, dari status budak. Menurut Lombard, dalam surat wasiatnya, Cardeel mewariskan kepada Lucas tiga perempat kekayaannya dan seperempatnya untuk saudara-saudara perempuannya di tempat kelahirannya di Steenwijk, Belanda. Cardeel meninggal dunia pada 1711.

  • Cerita di Balik Rekor MURI untuk Historia

    PIAGAM penghargaan yang diserahkan oleh Ketua Umum MURI, Jaya Suprana diterima oleh Pemimpin Redaksi majalah Historia , Bonnie Triyana di museum MURI, Kelapa Gading, Jakarta Utara, 8 Agustus 2014. “Ini merupakan apresiasi terhadap upaya kami menghadirkan kisah sejarah seberimbang mungkin. Selama ini sejarah di Indonesia banyak direkayasa demi kepentingan kekuasaan. Kami berupaya mengembalikan hal itu menjadi milik publik kembali,” kata Bonnie. Acara tersebut memang tak khusus untuk Historia , kendati saat itu cuma Historia yang menerima penghargaan. Dalam acara itu hadir perwakilan dari kedutaaan besar Georgia, Ukraina, Polandia, dan Amerika Serikat. Georgia sedang merayakan hari kemerdekaannya. Setelah menyaksikan beberapa pentas kesenian, penghargaan diberikan di pengujung acara. Ada beberapa tokoh pers hadir, antara lain Ninok Leksono dari Kompas dan Paul Himawan dari Sinar Harapan . Usai menyerahkan piagam penghargaan, Jaya Suprana menceritakan kisah pertemuannya dengan majalah Historia dan kenapa majalah ini patut mendapat penghargaan rekor MURI. Suatu hari dirinya melihat majalah Historia dipajang di toko buku. Tapi dia hanya berlalu. Hirau tak hirau. “Saya pikir itu hanya fatamorgana,” katanya. Dalam kesempatan berikutnya, Jaya kembali melihat majalah Historia saat bertandang ke kantor redaksi Sinar Harapan . “Saya kaget, ternyata Indonesia punya majalah sejarah. Saya baca dong, jangan-jangan isinya ngawur . Ternyata bagus sekali. Saya senang sekali. Saya banyak belajar.” Jaya mengaku lebih kaget lagi ketika mengetahui ternyata majalah itu dikelola anak-anak muda. “Saya betul-betul kaget. Saya nggak habis pikir ada sekelompok anak muda yang melawan arus. Makanya saya anggap ini perlu dihargai. Dan saya undang seluruh awak redaksinya untuk menerima penghargaan ini,” ungkapnya. Kepada awak redaksi Historia yang hadir malam itu, Jaya menyatakan, “Kalian semua orang gila,” seraya memberi isyarat tanda kutip dengan jarinya. “Kalian tahu kenapa penghargaan ini saya berikan di hadapan perwakilan duta-duta besar negara sahabat. Itu ada yang dari Amerika, Georgia dan lain sebagainya. Biar mereka tahu bahwa kita punya sejarah. Bahwa kita adalah bangsa yang menghargai sejarah.” Menurut Jaya, tanpa memahami sejarah kita tidak tahu siapa diri kita. “Nanti majalah Historia akan masuk dalam galeri. Sudah lihat galeri itu?” ujarnya sembari menunjuk ke ruang galeri MURI. “Itu adalah prestasi superlatif bangsa Indonesia. Saya mengajak bangsa ini untuk bangga terhadap hasil karya anak bangsanya.” Museum Rekor-Dunia Indonesia atau MURI didirikan Jaya Suprana dan PT Jamu Jago pada 27 Januari 1990 di Semarang, Jawa Tengah. Lembaga yang mencatat data prestasi superlatif bangsa Indonesia ini mulanya bernama Museum Rekor Indonesia, berganti jadi Museum Rekor Dunia-Indonesia pada 14 Agustus 2005 saat peresmian galeri MURI di kawasan wisata Candi Borobudur. Kami, seluruh awak redaksi majalah Historia , dengan segala kerendahan hati berterima kasih atas apresiasi dan segala puja-puji yang dihatur Pak Jaya. Masih banyak yang perlu kami pelajari dan perbaiki agar Historia lebih baik lagi. Kepada seluruh pembaca, terima kasih atas dukungannya selama ini.

  • Setengah Mitos Bambu Runcing

    DALAM suatu wawancara, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution ditanya: apakah bambu runcing pernah benar-benar menjadi senjata ampuh perjuangan, atau itu hanya mitos? “Adalah setengah mitos,” jawab Nasution dalam Bisikan Nurani Seorang Jenderal , “di minggu-minggu pertama merdeka maka rakyat dengan bambu runcing seakan-akan pagar betis menjadi kekuatan untuk memaksa pejabat di kantor, lingkungan, pabrik, dan lain-lain agar taat kepada RI. Tapi, pada pertempuran real, bambu runcing itu lebih banyak jadi senjata semangat.” Di beberapa daerah, terdapat monumen bambu runcing. Ini melengkapi glorifikasi sejarah nasional yang dibangun Orde Baru bahwa merebut dan mempertahankan kemerdekaan seolah hanya melalui perjuangan bersenjata. Padahal perjuangan politik dan diplomasi juga memainkan peran penting. Menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali! , bambu runcing mulai dikembangkan semasa pendudukan Jepang, yang terkenal dengan sebutan takeyari . Senjata ini digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjunkan dari udara. Tentara Jepang juga melatih laki-laki dan perempuan cara menggunakan takeyari , yang kalau digunakan biasanya dibarengi teriakan keras dan pekik kemarahan. “Seperti layaknya seorang prajurit dengan senapan yang bersangkur,” tulis Saleh. Latihan bahaya udara digiatkan terutama ketika Jepang kian terdesak Sekutu. Rakyat dilatih perang-perangan. Sawah-sawah dipasangi bambu runcing untuk merintangi penerjunan tentara musuh. Namun, bambu runcing pula yang digunakan pejuang Republik untuk menghadapi Jepang. Tak hanya para pejuang dari kelaskaran yang menggunakan bambu runcing. Sebagian besar anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) juga menggunakan bambu runcing. Maklum, setiap kesatuan BKR –menjadi Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945– hanya memiliki senjata api tidak lebih dari satu persen, terutama dipegang para komandan. “Dengan senjata bambu runcing itu, mereka mencari bedil,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2 . Ini antara lain dilakukan Hizbullah di Magelang ketika menyerbu butai Jepang yang menjadi gudang senjata. Dari sinilah mereka mendapatkan senjata. “Menyerbu dengan bambu runcing di tangan?” tanya KH Saifuddin Zuhri, dalam otobiografinya Guruku Orang-orang dari Pesantren . “Ya, dengan bambu runcing!” jawab Kiai Mu’awwam. “Bambu runcing di tangan orang pemberani lebih ampuh daripada mitraliur di tangan orang yang gemetar ketakutan. Jepang dalam keadaan ketakutan menghadapi pemuda-pemuda yang tengah berang dengan tekad ‘mati syahid’.” Sewan Susanto menjelaskan, karena bambu runcing bermanfaat dan mudah didapat, ia menjadi simbol senjata perang kemerdekaan Indonesia. “Senjata bambu runcing tidak untuk melawan Belanda secara langsung melainkan merupakan senjata untuk menjaga keamanan oleh rakyat dan untuk latihan bela diri bagi para pemuda di daerah-daerah,” tulis Sewan Susanto dalam Perjuangan Tentara Pelajar dalam Kemerdekaan Indonesia .

  • Nazar Cukur Gundul dalam Sejarah

    Setelah Joko Widodo dan Jusuf Kalla dinyatakan sebagai presiden dan wakil presiden terpilih periode 2014-2019 oleh Komisi Pemilihan Umum, para pendukungnya seperti Nusron Wahid, ketua Gerakan Pemuda Ansor, dan sejumlah anggotanya menunaikan nazar menggunduli kepala. Di masa lalu, menurut Anthony Reid, laki-laki dan perempuan Asia Tenggara menghargai rambutnya seperti mencintai kepalanya. Rambut merupakan suatu lambang dan petunjuk diri yang menentukan. Tak heran jika hingga kurun niaga (abad ke-17), laki-laki dan perempuan didorong untuk menumbuhkan rambut sepanjang dan selebat mungkin. “Oleh karena itu, memotong rambut lebih merupakan pengorbanan,” tulis Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680. Misalnya, pemotongan rambut kawula, terutama perempuan istana, setelah mangkatnya seorang raja sebagaimana dilaporkan di Aceh, Patani, Siam, dan Johor pada abad ke-17. Pemotongan rambut ini, “secara simbolis mewakili pengorbanan yang di zaman pra-Islam mungkin harus menyita jiwa manusia.” Begitu pula dengan sang raja. Upacara pemotongan rambut panjang Aru Palakka pada 1672 setelah kemenangannya atas Makassar dan rambut Susuhunan Pakubuwono I pada 1715 “mungkin bisa diterangkan dalam hubungannya dengan sumpah berkorban setelah beroleh rahmat tuhan.” Aru Palakka adalah raja Bone yang meloloskan diri ketika kerajaan Makassar menyerang kerajaan Bone untuk menguasai pelayaran di Indonesia Timur dan produksi beras Sulawesi Selatan. Aru Palakka, bersekutu dengan Kompeni, menghancurkan kerajaan Makassar. Aru Palakka mencukur rambutnya di atas Gunung Cempalagi, Bone, Pulau Selebes (Sulawesi). Menurut Muhammad Yamin dalam Sedjarah Peperangan Dipanegara: Pahlawan Kemerdekaan Indonesia , mencukur rambut seusai mendapat kemenangan adalah adat bagi pahlawan peperangan yang bernazar. Selain Aru Palakka, Pangeran Diponegoro pernah bernazar akan menggunduli kepalanya jika meraih kemenangan dalam peperangan. “Sebelum berjuang di kaki Gunung Merapi, Dipanegara berjanji di Rejasa akan mencukur rambutnya menjadi gundul, jikalau mendapat kemenangan dalam perjuangan,” tulis Yamin . “Setelah sembahyang Jumat," Yamin melanjutkan, "maka Dipanegara serta diturut oleh segala pahlawan, Senapati dan Rakyat yang setia menggundulkan kepalanya, sebagai memenuhi nazar yang telah dibuatnya. Semenjak itu maka balatentera Dipanegara memakai rambut pendek.” Pada masa perang kemerdekaan, Sutomo alias Bung Tomo, pengobar Pertempuran Surabaya 10 November 1945, juga pernah bernazar tidak akan mencukur rambutnya yang gondrong sebelum Indonesia benar-benar merdeka. Dan Bung Tomo menunaikan nazarnya. “Ini sangat menggerakkan semangat pemuda untuk mencurahkan seluruh jiwa raganya kepada perjuangan kemerdekaan,” tulis S. Sulistyo Atmojo dalam Mengenang Almarhum Panglima Besar Jenderal Soedirman, Pahlawan Besar Vol. 1 .

  • Olahraga Simbol Kedaulatan

    SAAT meresmikan pemugaran Stadion Sriwedari, Solo, pada 9 September 1983, Presiden Soeharto menetapkan tanggal 9 September sebagai Hari Olahraga Nasional. Tanggal itu dipilih karena pada 9 September 1948 Pekan Olahraga Nasional (PON) pertama dibuka Presiden Sukarno di stadion tersebut. PON I diikuti 600 atlet dari 13 daerah: Yogyakarta, Solo, Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, Semarang, Pati, Kedu, Magelang, Banyumas, Bandung, dan Jakarta. Sembilan cabang olahraga dipertandingkan: atletik, bola keranjang ( korfball ), bulutangkis, tenis, renang, panahan, sepakbola, bolabasket, dan pencak. Maulwi Saelan, komandan Tentara Pelajar Seberang, berpartisipasi dalam cabang sepakbola. “Saya sebagai orang luar Jawa dimasukkan dalam kontingen Jakarta,” kata Maulwi.“ PON I penting sekali artinya karena diselenggarakan di tengah-tengah perjuangan mempertahankan kemerdekaan.”  PON I diselenggarakan oleh Persatuan Olahraga Republik Indonesia (PORI) dan Komite Olimpiade Republik Indonesia (KORI) yang terbentuk pada Januari 1946 dan berkedudukan di Yogyakarta. PON I merupakan hasil keputusan kongres pertama PORI di Solo pada 2-3 Mei 1948. Selain itu, kongres juga berjuang menembus blokade dengan berusaha ambil bagian dalam Olimpiade yang akan diselenggarakan di London pada 1948. Permintaan ikut Olimpiade diajukan ke London. Namun, jawaban itu jatuh ke tangan Belanda di Jakarta dan tidak diteruskan kepada KORI. Dalam jawaban disebutkan bahwa Republik Indonesia untuk sementara belum bisa diterima menjadi anggota penuh organisasi Olimpiade karena belum menjadi anggota PBB. Meski demikian, Indonesia diundang sebagai observer (peninjau). Mengetahui adanya undangan itu, KORI dan PORI membentuk delegasi yang akan dikirim ke London, terdiri dari Sultan Hamengkubuwono IX (ketua umum KORI), Letkol Azis Saleh (wakil ketua bagian atletik PORI), dan Mayor Maladi (ketua bagian sepakbola PORI). Namun, delegasi tak jadi berangkat karena harus menggunakan paspor Belanda. “Keharusan menggunakan paspor Belanda direkayasa oleh Belanda untuk menunjukkan kepada dunia bahwa yang berdaulat di Indonesia adalah Belanda,” kata Maulwi.  PON I diselenggarakan untuk menjawab blokade Belanda sekaligus menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara yang sudah berdaulat. “PON ini juga membuktikan bahwa olahraga kita mampu berbicara, bersikap, patriotik, dan ikut menjalankan peran strategis dalam revolusi kemerdekaan,” kata Maulwi. PON I, yang berlangsung sampai 12 September 1948, berjalan lancar. Solo keluar sebagai juara umum dengan 16 medali emas, 10 perak, dan 10 perunggu.*

  • Sepuluh Teori Konspirasi Amerika yang Terbukti Benar

    BANYAK orang menganggap teori konspirasi terlalu mustahil untuk dipercaya, atau jika memang benar, hal tersebut terlalu memalukan dan mengejutkan untuk dipahami. Meski kelihatannya mustahil, beberapa dari teori konspirasi itu berakhir sebagai kebenaran. Seperti dikutip dari lolwot.com , "10 Shocking Conspiracy Theories Which Were Actually True", inilah 10 teori konspirasi yang populer dalam sejarah Amerika, yang ternyata terbukti nyata. 1. CIA Membayar Kesaksian Persidangan Pada 1990, seorang Gadis Kuwait berusia 15 tahun Nayirah al-Sabah, atas nama pemerintah Amerika bersaksi telah menyaksikan tentara Irak melakukan kekejaman terhadap anak-anak di Kuwait. Kesaksiannya membantu meyakinkan publik Amerika bahwa aksi militer terhadap Irak dapat dibenarkan. CIA amat menginginkan kesaksian tersebut berhasil. Mereka bahkan membiayai Sabah untuk mengikuti kelas demi melancarkan kebohongannya. Kesaksian Sabah begitu berhasil, sampai-sampai Amerika meluncurkan ‘Operasi Desert Storm’ melawan Irak pada 1991. Setahun setelahnya, seorang jurnalis memiliki teori tentang kesaksian tersebut. Ia mengorek kebenaran dan menuduh CIA karena telah membayar untuk sebuah kesaksian, yang ternyata memang benar. 2. Skandal Watergate Saat orang-orang Partai Republik dituduh memata-matai kantor pusat Partai Demokrat tahun 1972, publik enggan mempercayainya. Nyatanya, itu semua benar. Pada tahun 1974 sebuah rekaman percakapan ditemukan yang membuktikan bahwa Presiden Nixon tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Orang-orang Republik memutuskan untuk menyadap kantor pusat Partai Demokrat dan mematai-matainya dari Hotel Watergate yang berada di dekatnya. Skandal ini mengejutkan dunia, yang berakhir dengan Presiden Nixon menjadi presiden pertama dalam sejarah Amerika yang mundur dari jabatannya. 3. CIA Menyeludupkan Kokain Saat Gary Webb, jurnalis pemenang Hadiah Pulitzer memublikasikan serial investigasinya, Dark Alliance , pada Agustus 1966, publik Amerika dibuat terkesiap. Laporannya menyebut keterlibatan CIA dalam penjualan obat-obatan terlarang dan menyeludupkannya kepada para pemberontak Contra di Nikaragua untuk mendapatkan keuntungan. Saat inspektur jendral CIA Frederick Hitz akhirnya mengakui bahwa Contra terlibat dalam perdagangan kokain, skandal Bill Clinton-Monica Lewinsky 1998 menutupi pemberitaan tersebut. Pada 2004, Gary Webb ditemukan tertembak dua kali di kepala, dan polisi menyimpulkannya sebagai aksi bunuh diri. Pada 2014, kisah Gary Webb diangkat ke layar lebar berjudul Kill the Messenger. 4.Penelitian Sifilis Tuskegee Pada 1997 Presiden Bill Clinton meminta maaf kepada korban Penelitian Sifilis Tuskegee, Amerika Serikat. Selama penelitian yang dimulai sejak 1932 tersebut, kehidupan 600 orang Afrika-Amerika dan keluarganya hancur. Saat itu ketua Jasa Kesehatan Publik Amerika (PHS) ingin melihat bagaimana efek dari sifilis terhadap orang-orang Afrika-Amerika. Saat orang-orang tersebut dites dan positif mengidap sifilis, pihak PHS menahan informasi tersebut dari mereka dan menolak memberikan pelayanan medis untuk pasien. Hasilnya, ratusan orang tewas akibat sifilis. Hal itu berlangsung sampai saat 250 orang dari mereka ikut dalam wajib militer Perang Dunia II dan melalui tes, mereka diberitahu telah terjangkit sifilis. Meski begitu, PHS tetap menolak menangani mereka. Sampai Clinton berbicara ke publik tentang penelitian tersebut. Persoalan itu terus saja dianggap sebagai teori konspirasi oleh publik Amerika. 5. Insiden Teluk Tonkin Presiden Lyndon Johnson mengumumkan kepada publik bahwapada 4 Agustus 1964 Vietnam Utara menyerang kapal-kapal Amerika dan publik Amerika langsung menunjukkan kegeramannya. Insiden Teluk Tonkin tersebut mendapat reaksi keras dari publik sehingga meningkatkan tensi perang Vietnam. Reaksi publik atas insiden tersebutsekaligus jalan mulus bagi kongres Amerika meloloskan resolusi yang mengizinkan pasukan Amerika menyerang Vietnam Utara. Saat Perang Vietnam berakhir pada 1973, lebih dari tiga juta orang kehilangan nyawanya. Pada 2005, Badan Keamanan Nasional (NSA) mengeluarkan dokumen rahasia yang menyatakan bahwa Johnson telah merancang Insiden Teluk Tonkin sebagai dalih untuk membenarkan serangannya ke Vietnam Utara. 6. Operasi Northwoods Operasi Northwoods disusun pada awal 1960-an oleh kepala staf gabungan militer Amerika yang bertujuan untuk menebar teror dan kekacauan terhadap publik Amerika, dan menyalahkan pemerintah Kuba untuk hal tersebut. Rencana tersebutdirancang untuk menarik dukungan publik Amerika dalam perang terhadap Kuba. Beruntungnya, Presiden John F. Kennedy menolak Operasi Northwoods pada 1962. Selama bertahun-tahun, rumor beredar soal eksistensi Operasi Northwoods, tapi secara umum hal itu dianggap hanya teori konspirasi. Lalu, pada tahun 1997, tim dari Tim Peninjau Dokumen Pembunuhan John F. Kennedy (ARRB) mengungkapkan lebih dari 1.500 halaman dokumen, yang salah satu isinya mencantumkan tentang catatan Operasi Northwoods, dan bukti bahwa hal tersebut bukanlah hanya teori konspirasi semata. 7. Operasi Paperclip Seiring dengan hari kemenangan terhadap Nazi di Jerman pada tahun 1945, Presiden Truman meneken apa yang dikenal dengan Operasi Paperclip. Operasi itu bertujuan untuk merekrut ilmuwan-ilmuwan Nazi Jerman untuk bekerja di Amerika. Satu syarat dari operasi itu, seperti yang dideklarasikan oleh Truman, mereka yang sebelumnya sudah menjadi anggota Nazi tidak dibolehkan untuk memasuki Amerika. Akan tetapi, pasukan Amerika begitu bersemangat untuk mendapatkan para ilmuwan handal tersebut, bahkan sampai menghapuskan riwayat hidup para ilmuwan. Keterlibatan mereka dalam Nazi dihapus dari catatan kerja mereka,dan tanpa diketahui oleh yang lain, anggota partai Nazi pun dibawa ke Amerika. 8. Operasi Fast and Furious Pada 2011 pemerintahan Obama menyeludupkan senjata ke para kartel narkoba Meksiko dengan tujuan untuk melacak senjata-senjata itu kembali ke tangan kriminal dan gembong narkoba Meksiko yang menetapdi Amerika.Peristiwa itu kemudian dikenal dengan ‘Operasi Fast and Furious’. Tak lama kemudian, di tahun yang sama, CBS News menemukan dokumentasi yang membuktikan bahwa agen-agen Biro Alkohol, Tembakau, Senjata Api, dan Bahan Peledak (ATF) tengah mendiskusikan bagaimana agar senjata-senjata tersebut dapat diserahkan kepada para gembong narkoba Meksiko di Amerika. Alasan di balik kenapa pemerintah melakukan itu adalah saat senjata-senjata tersebut digunakan untuk melakukan kejahatan, maka akan mempermudah pemerintah untuk meloloskan undang-undang kepemilikan senjata api yang lebih ketat di Amerika. Beberapa tahun belakangan ini pemerintah Amerika menghadapi persoalan kepemilikan senjata api yang disalahgunakan. Di antaranya karena maraknya penembakkan massal yang banyak menimbulkan korban tewas. Namun tak mudah buat pemerintah melakukan perubahan undang-undangnya. 9. Pembunuhan Martin Luther King Jr. Aktivis sosial Dr. Martin Luther King Jr. dibunuh pada 4 April 1968 di sebuah balkon hotel di Memphis, Tennessee. Dr. King terkenal karena upayanya untuk memberikan kesetaraan dan harmoni di kalangan warga Amerika Serikat. Nama ‘James Earl Ray’ familiar oleh banyak orang sebagai pelaku pembunuhan Dr. King, tapi yang tidak banyak orang tahu kalau pemerintah memainkan peran penting dalam pembunuhan tersebut. Pada 8 Desember 1999 keluarga King mengajukan tuntutan kepada pemerintah Amerika, dengan klaim bahwa pembunuhan King adalah hasil dari pembunuhan terencana oleh pemerintah. 12 juri dalam persidangan menyetujui bahwa kematian King adalah hasil persengkokolan pemerintah Amerika dan mafia, dan Ray sebenarnya adalah seorang pembunuh bayaran. 10. Pemerintah Amerika dan Pembunuhan Terencana Lainnya Setelah skandal Watergate, ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah Amerika berada pada titik puncaknya. Senat Amerika memutuskan membentuk komite investigasi terhadap FBI dan CIA untuk mencari aktivitas terlarang mereka, dan berharap untuk memperoleh kembali kepercayaan publik Amerika. Dalam penyidikannya, komite tersebut menemukan fakta horor yang menyatakan bahwa kudeta terhadap Salvador Allende di Cili (1973) dan Mohammad Mosaddegh di Iran (1953) adalah hasil dari aksi-aksi terlarang yang dimaksudkan tersebut. Komite juga menemukan bukti pembunuhan terencana oleh FBI dan CIA lainnya terhadap para pemimpin di Amerika Tengah dan Selatan, yang sering dilakukan dengan cara-cara yang sulit dilacak. Investigasi mengungkapkan bahwa CIA menggunakan beberapa metode pembunuhan termasuk kecelakaan mobil, kanker, bunuh diri, serangan jantung, dan ditembak mati. Alih-alih meningkatkan kepercayaan publik pada pemerintahnya, temuan tersebut justru tak meredakan ketakutan publik.

  • Banten dalam Karya Sastra Eropa Klasik

    DI masa lalu, Kesultanan Banten atau Bantam merupakan bandar internasional dengan komoditas utama lada. Bangsa-bangsa Eropa berlabuh untuk berniaga. Banten pun masyhur di kalangan orang-orang Eropa. Sampai-sampai ketenaran Banten menjadi bahan cerita dalam karya-karya sastra dan drama Eropa klasik. Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Abad X-XVII , memuat lima karya sastra tersebut. Love for Love (1695) Drama Love for Love karya William Congreve (1670-1729) mengisahkan kehidupan pemuda, Valentin, dari keluarga terpandang. Ayahnya, Sir Sampson Legend, murka karena dia boros sehingga berhenti membiayainya. Meski hanya sesaat, drama ini menyebut nama Banten yang kala itu asosiasinya di Eropa masih sangat masyhur. Penyebutan itu terdapat di adegan kelima babak II. “Aku tahu panjang kaki Maharaja Cina; aku prenah mengecup selop Mogul Agung dan berburu di atas punggung gajah bersama Khan Tartaria; aku main gila dengan istri seorang raja dan Sri Baginda Bantam yang sekarang adalah darah-daging hasil perselingkuhan itu,” demikian dialog antara Legend dan Foresight, paman Angelique, gadis idaman Valentin.* “The Court of the King of Bantam” (1698) Cerpen ini karya Aphra Johnson Behn, yang terdapat dalam bunga rampai All the Histories and Novels Written by the Late Ingenious Mrs Behn, Intire in Two Volumes. Bunga rampai tersebut diterbitkan pertamakali oleh Charles Gildon pada 1698. “The Court of the King of Bantam” menceritakan seorang angkuh, Mr Would-be, yang gila hormat. Dalam sebuah Epifani (Perayaan Penampakan Tuhan) tahun 1683, dia menghambur-hamburkan uangnya demi sanjungan. Dia berhasil menjadi “raja” di perayaan itu. Orang-orang yang tak mengenalnya mengira dia pernah jadi raja di Hindia Timur. Setelah perayaan itu, teman-temannya memanggilnya Raja Bantam –dalam pandangan kebanyakan orang Eropa merupakan simbol kekayaan, raja di tanah yang menjadi sumber kekayaan– untuk memelorotinya. Pengetahuan Aphra, perempuan kelahiran Inggris pada 1640, tentang Banten bermula sejak pernikahannya dengan Behn, pedagang Belanda. Selain itu, dia tahu kedatangan beberapa utusan keluarga Banten ke London pada 1682. Utusan-utusan itu sempat bermukim sehingga membuat sensasi di kota tersebut, yang menganggap Bantam sebagai salah satu pusat kemakmuran negeri-negeri Timur. Aphra sendiri mulai menulis sepulangnya dari tugas sebagai mata-mata Inggris di Anvers (kini di Belgia) ketika Perang Inggris-Persekutuan Provinsi Belanda. Dialah perempuan Inggris pertama yang mencari nafkah lewat tulisan. “La Princesse de Java” (1739) Madeleine de Gomez, penulis cerpen ini, merupakan penulis produktif. Dia membuat banyak novel eksotis. Anak dramawan Paul Poisson ini, pada 1739 menerbitkan kumpulan cerpen sebanyak 30 buku yang diberi judul Les Cent Nouvelles Nouvelles . Cerpen “La Princesse de Java” merupakan cerpen ke-54 dan berada di buku ke-19. Ini berkesinambungan dengan dua cerpen sebelumnya, “Les Revers de la Fortune” dan “La Belle Hollandaise”. “La Princesse de Java” menceritakan kehidupan pemuda Spanyol, Diego, yang terdampar di Banten. Setelah diselamatkan penduduk, dia bergaul dengan penduduk sampai akrab dengan Daen, sultan muda Banten. Tanpa diduga, keduanya sama-sama mencintai Garcia, putri seorang perempuan Genoa, istri kedua sultan Banten sebelum Daen. Kisah-kisah selanjutnya penuh petualangan. Agon, Sulthan van Bantam (1769) Sandiwara lima babak ini merupakan karya sastrawan ternama Friesland, Belanda, Onno Zwier van Haren (1713-1779), yang kemudian diterjemahkan ke bahasa Prancis pada 1770 dan 1812. Untuk menyusun sandiwaranya, Haren kemungkinan besar merujuk pada buku Oud en Nieuw Oost-Indien karya F. Valentijn, di mana jilid keempatnya membahas Banten. Menariknya, Haren terang-terangan menentang penguasaan Banten oleh Belanda. Menurutnya, Banten sebagai bangsa patut dihormati laiknya Belanda atau bangsa-bangsa lain. Dia mengkritiknya, salah satunya, melalui karya ini. Agon, Sulthan van Bantam mengambil latar perebutan kekuasaan di Banten. Karena sudah tua, Sultan Agon hendak turun tahta dan membagi kerajaan kepada dua putranya: Abdul dan Hasan. Namun karena si sulung Abdul menginginkan warisan seluruhnya, diam-diam dia minta pertolongan Belanda di Batavia. Belanda menyambut gembira, dan perang saudara pun terjadi. De Page van de Sultane (1891) Novel ini merupakan jilid kelima dari 24 jilid serial De Nederlanders in Oost en West, te Water en te Land karya Johan Hendrik van Balen (1850-1920) yang dibuat tahun 1881-1893. Novelis mantan pemimpin redaksi beberapa majalah bergambar ini sangat produktif, dengan lebih dari 100 judul buku yang dibuat. Mayoritas bukunya berupa kisah petualangan untuk anak muda. Buku-buku itu kebanyakan terinspirasi oleh sejarah orang-orang Belanda di seberang. De Page van de Sultane mengisahkan petualangan pemuda Jawa, Atjong, yang hidup di masa perang Batavia-Banten. Dia satu-satunya orang selamat di keluarganya dari hukuman mati Sultan Ageng Tirtayasa. Lika-liku hidupnya membawanya menjadi abdi istri pertama Sultan Haji, anak Sultan Ageng Tirtayasa. Dia kemudian dipercaya menjalankan tugas berat yang membuatnya dua kali tertangkap dalam perjalanan ke Batavia. Pada penangkapan yang kedua, dia dijatuhi hukuman pancung karena dianggap membunuh seorang pemimpin Makassar, yang memihak Sultan Ageng Tirtayasa, dalam perang saudara Banten.

  • Kisah Moses Kotane, Utusan Afrika Selatan di KAA 1955

    Eugene Gordon, wartawan Daily Worker, koran kiri terbitan Amerika yang datang ke Bandung meliput Konferensi Asia Afrika, 18–24 April 1955 terkesan pada sosok Moses Kotane sebagai orang yang tak punya tempat resmi di dalam pertemuan, namun sangat disegani di kalangan peserta. Moses, tulis Gordon, adalah “orang yang tak punya kursi di antara delegasi resmi KAA, namun kehadirannya sangat menonjol dan banyak orang yang menghormati serta menyambutnya secara hangat saat dia masuk ke ruang pertemuan.” Dia datang bersama kompatriotnya, Maulvi Chacalia dari Kongres India Afrika Selatan (SAIC) sebagai peninjau. Mereka berdua ditugasi khusus oleh ANC untuk datang ke Bandung, mencari dukungan bagi gerakan pembebasaan Afrika Selatan. Moses Kotane lahir di Pella, Provinsi Transvaal, Afrika Selatan pada 9 Agustus 1905. Dia tak pernah mengenyam pendidikan formal tapi terkenal sebagai kutu buku dan pembelajar yang tekun. Pada 1928 Moses sempat bergabung dengan Kongres Nasional Afrika (ANC) kemudian mengundurkan diri. Setahun setelah pengunduran dirinya dari ANC, Moses bergabung dengan Partai Komunis Afrika Selatan (SACP), dan terus berada di sana sampai jabatan puncaknya sebagai sekretaris jenderal.  Sejak 1963 – 1973 Moses menjabat bendahara umum ANC. Kendati datang dari partai komunis, Moses sangat dihormati di kalangan tokoh pembebasan Afrika Selatan non-komunis. Walter Sisulu, Sekjen ANC menyebut Moses sebagai “raksasa kaum perjuangan” yang dikenal karena pemikiran logis dan sikap non-dogmatisnya. Sementara itu bagi Nelson Mandela, Moses adalah kawan diskusi sekaligus lawan debat yang akrab. Dalam otobiografinya, Long Walk to Freedom , Mandela menulis jika Moses sering datang ke rumahnya pada malam hari dan berdebat sampai pagi.  Perdebatan itu menyoal konflik di dalam tubuh ANC. Kendati sama-sama tokoh ANC, Nelson tak “mengimani” komunisme, sementara Moses tokoh komunis. “Nelson,” kata Moses seperti dikutip Mandela, “Kenapa kamu harus melawan kami? Kita semua memerangi musuh yang sama. Kami tak bermaksud menguasai ANC; kami bekerja dalam konteks nasionalisme Afrika,” lanjut Mandela meniru kata-kata Moses. “Pada akhirnya, saya tak punya lagi argumen yang baik untuk menyanggahnya,” kenang Mandela. Menurut Verne Harris, direktur riset dan arsip pada Nelson Mandela Centre of Memory, Moses adalah guru bagi Mandela. “Kalau kamu sebutkan nama orang-orang yang pernah menjadi mentor Madiba, Kotane salah satunya,” ujar Verne seperti dikutip dari laman theguardian.com . Sebelum KAA dihelat, pada 16 April 1955, Moses dan Maulvi menyusun pernyataan ihwal tujuan kehadirannya dalam KAA. Dalam pernyataannya itu, mereka mengatakan ketegangan rasial di negerinya sudah mencapai titik yang sangat berbahaya karena penguasa kulit putih melakukan tindak diskriminasi. “Yang hebat benar di Afrika Selatan itu ialah kepada bangsa Afrika yang jumlahnya 67,5 persen dari seluruh penduduk hanya disediakan 13 persen tanah, sedangkan untuk bangsa kulit putih yang banyaknya hanya 20,9 persen dari penduduk disediakan 87 persen tanah pertanian yang subur,” kata Moses dalam pernyataan yang juga ditandatangani oleh Maulvi di Bandung. Usai KAA, Moses masih terus melanjutkan perjalanan keliling dunia selama 11 bulan untuk mencari dukungan internasional. Sejak 1956 sampai 1961, Moses jadi salah satu terdakwa dalam rangkaian persidangan Treason (The Treason Trial) bersama Nelson Mandela, Walter Sisulu, Joe Slovo, Albert Luthuli, Joe Modise serta 151 pemimpin ANC lainnya. Pada 1960 di bawah undang-undang darurat, Moses ditahan selama empat bulan dan ditempatkan pada sebuah rumah isolasi dengan pengawasan ketat selama 24 jam. Pada 1963 Moses meninggalkan Afrika Selatan menuju Tanzania, menjadi bendahara umum ANC di pengasingan. Sekira 1968, Moses mengalami serangan stroke dan mendapat perawatan di Moskow, Uni Soviet sampai meninggal di sana pada 1978. Sebulan yang lalu, 14 Maret 2015, 37 tahun sejak kematiannya, jenazah Moses  dibawa pulang dari Moskow ke Pella, Afrika Selatan untuk dimakamkan kembali. Selain Moses, jasad JB Marks, tokoh pembebasan Afrika Selatan lainnya, juga dibawa pulang dari Moskow. Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma dalam pidatonya mengatakan Moses Kotane telah menyumbangkan hidupnya untuk kebebasan rakyat Afrika Selatan. “Hari ini, akhirnya kamerad Kotane pulang ke tempat peristirahatannya yang abadi. Dia telah memberikan seluruh hidupnya untuk menegakkan kebebasan, keadilan dan kesetaraan,” ujar Zuma dalam pemakaman kembali Moses, seperti dikutip dari laman resmi pemerintah Afrika Selatan, gov.za . Dalam kesempatan yang sama Presiden Zuma menyampaikan rencananya untuk menghadiri peringatan 60 tahun KAA di Bandung, 19-24 April besok. Kenangan atas Moses Kotane menjadi salah satu alasan penting kenapa ia datang ke Indonesia kali ini.    “Afrika Selatan akan berpartisipasi pada perayaan peringatan KAA untuk mengenang kembali seorang patriot yang pernah menghadiri pertemuan bersejarah itu sebagai seorang peninjau, yang mencari dukungan bagi gerakan pembebasan dalam rangka meraih kemerdekaan seperti yang kita nikmati hari ini,” ujar Zuma.

  • Ketika Kartini Menggugat Snouck Hurgronje

    DALAM salah satu suratnya untuk Rosa Abendanon, Kartini menitip pertanyaan buat Snouck Hurgronje. Pertanyaan itu seputar ukuran kedewasaan perempuan dalam hukum Islam terutama usia yang pantas untuk menikah. Snouck saat itu bekerja sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan Islam. “Apakah di kalangan Islam ada undang-undang tentang umur dewasa seseorang, sebagaimana di kalangan Anda? Saya ingin sekali mengetahui ala kadarnya tentang hak dan kewajiban, atau lebih tepat tentang undang-undang sekitar perempuan Islam dan anak perempuannya?” tulis Kartini dalam suratnya, 18 Februari 1902. Surat itu ditulis pada usia Kartini yang mulai matang dan ada semacam keharusan bagi seorang perempuan Jawa seperti dia untuk segera menikah. Tampaknya dia belum rela melepas masa lajangnya. Menurut Elisabeth Keesing dalam Betapa Besar Pun Sebuah Sangkar: Hidup, Suratan, dan Karya Kartini , pertanyaan Kartini tentang usia yang pantas bagi perempuan untuk menikah itu kerap didahului oleh “percakapan aneh dengan Sijthoff.” Kartini selalu menyelipkan pembahasan soal Sijthoff. Piet Sijthoff adalah residen Jepara kemudian Semarang, yang selalu mendorong Kartini dan dua saudara perempuannya, Roekmini dan Kardinah, untuk belajar. Kartini mengenalnya sejak kanak-kanak dan memanggilnya Oom Piet. “Dalam surat-surat Kartini yang sudah diterbitkan, nama Sijthoff baru muncul jika dalam percakapan dia mengatakan ‘kau harus kawin’,” tulis Elisabeth.  Sijthoff, 22 tahun di atas Kartini, belum menikah dan tinggal dengan ibu dan saudara perempuan serta keponakannya. Keluarga itu mula-mula ramah terhadap Kartini, namun kemudian berubah karena mengira kalau putri bupati itu menaksir Sijthoff sebagai calon suami. Menurut Elisabeth ada pendapat di kalangan orang Belanda di Hindia waktu itu kalau “pendidikan Belanda” yang baik bagi kaum perempuan pribumi adalah lewat pernikahan dengan seorang lelaki Belanda. Kartini pun menegaskan, “Jadi kami yang mendambakan ilmu dan pengetahuan ini mengincar seorang residen atau asisten residen? Ini sungguh lucu! Jadi mungkin kami ini menginginkan Tuan Sijthoff!!!” Elisabeth melihat sebaliknya dalam soal modus kalimat Sijthoff kepada Kartini yang sering menyatakan “kau harus kawin”. Menurutnya, anjuran itu malah “seakan Oom Piet sendiri pernah terpikir untuk kawin dengan salah seorang dari mereka.” Elisabeth yakin Kartini dan Roekmini tidak terpikir untuk memiliki suami lelaki Belanda. Mereka mencari hubungan perkawinan yang lebih layak untuk gadis Jawa.  Apalagi Kartini menjadi saksi tentang banyaknya pernikahan usia dini yang mendatangkan penderitaan bagi kaum perempuan. “Karena itu mereka mencari dukungan ahli agama Islam Snouck Hurgronje, yang pada tahun 1899 diangkat menjadi penasihat urusan pribumi dan Arab,” tulis Elisabeth. Namun, jawaban Snouck Hurgronje mengecewakan Kartini. Alih-alih menguatkan pendirian Kartini untuk tak buru-buru menikah, Snouck malah bilang “Gadis Islam tidak pernah dewasa. Jika dia ingin bebas, dia harus menikah dahulu. Setelah itu boleh cerai lagi.” “Jawaban itu tak dapat dijadikan pegangan. Tetapi yang lebih celaka ialah bahwa tokoh besar yang diharapkan pengertian serta dukungannya itu menentang cita-cita Kartini,” tulis Elisabeth. Maka wajar jika Kartini kemudian bertanya dengan nada meragukan pengetahuan Snouck, “Apakah Dr. S(nouck Hurgronje, red ) itu mengenal betul Jawa?” Kartini juga kecewa pada Snouck yang sama sekali tak pernah bersikap tegas dalam urusan poligami, malah terkesan seperti mendukung praktik permaduan itu. Kartini lantas menyindir Snouck yang pernah mengatakan padanya kalau “hidup perempuan Muslim di dalam perkawinan baik sekali.” Padahal dalam banyak suratnya, Kartini menguraikan kasus penderitaan perempuan di rumah yang penuh dengan anak dan istri dari seorang suami. Pernah pula Kartini mengungkapkan kisah seorang perempuan yang menjadi gila karena penderitaannya: dimadu oleh suami dan terpaksa hidup seatap dengan perempuan lain dalam kehidupan rumah tangganya. “Apakah dr. Snouck masih dengan darah dingin akan mengatakan, ‘hidup mereka baik sekali’, apabila beliau melihat segala yang telah kami saksikan, dan mengetahui apa yang kami ketahui?” kata Kartini menggugat Snouck. Setiap kali Kartini menguraikan kasus poligami yang tragis, menurut Elisabeth, “dengan nada mengejek dia mengutip kata-kata ‘hidup mereka baik sekali’.”

  • Dari Lisensi Benteng ke Main Sapi

    PENANGKAPAN Ahmad Fathanah di Hotel Meridien, Jakarta Pusat, yang kedapatan membawa uang suap kongkalikong kuota impor sapi pada 29 Januari 2013 membuat banyak orang kaget. Terlebih melibatkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq, yang selama ini mencitrakan diri sebagai partai Islami yang bersih dari tindak korupsi.

bottom of page