top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Cerita Lucu Batalion Cibatu

    Suatu hari, Letnan Satu Soegih Arto dipanggil Letnan Kolonel Omon Abdurahman, Komandan Resimen 8 Divisi Siliwangi. Dia tak lagi jadi ajudan karena sang komandan menugaskannya untuk memimpin batalion di daerah Garut. Pada hari yang telah ditentukan, Soegih Arto dibawa oleh Kepala Staf Resimen 8 menghadap Letnan Kolonel Ponto, Komandan Resimen 10 di Garut. Dia menyambut dengan gembira kehadiran Soegih Arto untuk menggantikan komandan batalion yang lama, Djaja Iskandar. Setiba di markas batalion di Cibatu, sebuah bangunan bekas Kawedanaan, Soegih Arto diperkenalkan dengan seluruh anggota staf. “Wah, ini sih bukan batalion, tetapi paguyuban warga Cibatu dan Garut sekitarnya,” kata Soegih Arto dalam memoarnya, Sanul Daca . Mereka memang memakai seragam tentara, namun sikapnya masih seperti warga sipil. Kalau sudah menghormat, saluir, terus munjungan (menyalami sambil membungkuk seperti sungkem). Kalau menunjuk arah masih menggunakan ibu jari tangan kanan dengan ditopang tangan kiri. “Saya berpikir, apakah saya ini jadi wedana atau komandan batalion,” kata Soegih Arto. Soegih Arto pun bertekad mengubah paguyuban itu menjadi unit tentara yang siap maju ke medan perang. Dia dibantu seorang komandan kompi bekas tentara Peta (Pembela Tanah Air) zaman Jepang, menyusun pelatihan. Sehingga lambat laun paguyuban berubah menjadi unit tentara. Setelah menjalani latihan yang keras selama beberapa bulan, Batalion Cibatu dikirim ke garis depan di Bandung Selatan, di sektor Ciparay/Sapan. Pada hari-hari pertama, Soegih Arto telah kehilangan seorang komandan kompi yang tertembak kakinya oleh sniper Belanda. Pertolongan terlambat, kakinya infeksi tetanus sehingga harus diamputasi. Pemuda bernama Yusuf itu punya semangat hidup yang kuat. Setelah meninggalkan tentara, dia kemudian menjadi lurah di daerah Cirebon. Desa yang dipimpinnya maju dan berkali-kali menjadi juara desa se-Jawa Barat. Pertempuran di sektor Sapan jarang terjadi. Sekalinya menyerang, Belanda membabi buta: tembakan meriam dan mortir tak henti-hentinya, rentetan senapan tak ada habisnya. Soegih Arto pun menarik mundur pasukannya. Di lain waktu, Soegih Arto sedang patroli, beberapa mortir jatuh tak jauh dari mereka. Mereka lari tunggang langgang ke depan dan masuk ke kolong jembatan. Mereka terhindar dari ledakan, namun sial ketika menjatuhkan diri menimpa sarang semut. Semut-semut yang mendapatkan serangan itu keluar mengerubungi badan mereka. “Tidak ada yang terlewatkan sampai alat pengebor saya pun dikerubutinya,” kata Soegih Arto. Mereka tak dapat bertahan lebih lama dari serangan semut. Sehingga mereka keluar semua: memilih mati oleh mortir daripada oleh semut. “Akan sangat memalukan kalau dimuat di koran, seorang komandan batalion mati karena dikerubut semut,” kata Soegih Arto. Mereka buka baju lalu menceburkan diri ke sungai. Badannya babak belur, bentol-bentol. Soegih Arto dan pasukannya melanjutkan pertempuran melawan Belanda yang berlangsung nonstop selama 13 jam. Karena batalionnya dapat bertahan dari serangan Belanda yang bertubi-tubi, Panglima Siliwangi memberikan penghargaan. Ini adalah surat penghargaan pertama yang diberikan oleh Divisi Siliwangi. Batalion Cibatu yang dipimpin Soegih Arto mondar-mandir antara Cibatu dan Ciparay. Istirahat di Cibatu, kalau bertugas ke front, ke Ciparay lagi. Menurut Soegih Arto, keadaan di medan perang tidak selalu menegangkan dan mengerikan. Banyak juga yang menyenangkan, seperti menangkap ikan di Citarum, lalu dibakar, dimakan dengan nasi merah yang pulen dan sambal yang hitam pekat karena banyak terasinya. Hmmm... nikmatnya. Malam harinya diadakan hiburan pertunjukan pencak silat. Para perwira bermain kartu atau domino. Tak pakai judi karena memang tak punya uang. “Penghidupan yang seperti apa lagi yang diinginkan?” kata Soegih Arto. “Usia muda, beban keluarga tak ada, makan cukup, kurang makan tinggal minta, kalau bosan istirahat langsung berangkat menyerang Belanda. Suatu kehidupan yang penuh variasi." Karier Kapten Soegih Arto, Komandan Batalion Cibatu yang dikerubuti semut, terus naik. Dari komandan batalion sampai menjadi Jaksa Agung dan pensiun dengan pangkat letnan jenderal. Dia sempat menjabat duta besar di Burma (Myanmar) dan India.

  • Aksi Andjing NICA di Medan Laga

    KASIM masih berusia 16 tahun ketika 10 pemuda Maluku berseragam loreng mengepungnya di bilangan Matraman, Jakarta pada awal 1946. Tak ada jalan lagi untuk berlari, kecuali dia harus pasrah saja saat hantaman bogem mentah melayang ke tubuhnya. Sekujur tubuh Kasim lebam, pakaian menjadi compang-camping karena salah seorang dari prajurit KNIL itu merobek lencana merah putih di dadanya. “Dia lalu menyuruh saya menelan lencana yang terbuat dari kain itu,” kenang mantan pejuang kemerdekaan asal Jakarta tersebut. Sejarah mencatat, para prajurit KNIL yang mengeroyok Kasim adalah bagian dari Batalyon X. Itu terkonfirmasi dari keterangan Robert B. Cribb dalam Gangster and Revolutionaries, The Jakarta Peoples Militia and The Indonesian Revolution 1945-1949. “Mereka dengan gembira memukul atau membunuh setiap rakyat Indonesia yang menunjukan atribut Republik di tempat-tempat umum,”ungkap Cribb. Kebengisan Batalyon X menuai kebencian yang tak terhingga dari orang-orang Indonesia. Mereka kemudian menyebut para bekas kaum internir Jepang tersebut sebagai “andjing” NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) kreasi H.J. van Mook. Alih-alih merasa terasa terhina, ejekan itu justru dijadikan kebanggaan. “Dalam setiap pertempuran, para ekstrimis (kaum Republiken) meneriaki kami sebagai “andjing NICA”, yang kemudian secara resmi kami jadikan nama batalyon,” tulis S.A. Lapre dalam Het Andjing NICA Batalijon (KNIL) in Nederlands-Indie, 1945-1950. Batalyon X Andjing NICA kemudian dimasukan ke Brigade V Divisi B. Kendati masih menggunakan nama “Andjing NICA”, namun nomor batalyon berubah, dari X menjadi V. Selain orang-orang Maluku, Andjing NICA pun kemudian diperkuat oleh orang Manado, Sangir, Jawa, Sunda, Timor, Indo dan Belanda. Sebagai komandan batalyon ditunjuk seorang perwira KNIL eks penghuni kamp internir. Namanya Letnan Kolonel Adrianus van Zanten. Pertengahan 1946, Andjing NICA ditugaskan ke front Bandung. Begitu tiba di ibu kota Jawa Barat itu, pada Juli 1946 mereka langsung terlibat pertempuran hebat dengan pasukan lasykar Hizbullah.  Dalam bentrok yang terjadi di wilayah Buahbatu tersebut, Andjing NICA sukses membantai puluhan pejuang. “Persenjataan musuh jauh lebih lengkap dan modern. Sedangkan pihak Hizbullah hanya bermodalkan beberapa senapan, pistol, golok serta bambu runcing,” ujar Kolonel (Purn) R.J. Rusady W dalam otobiografinya, Tiada Berita dari Bandung Timur 1945-1947. Selanjutnya aksi mereka semakin menggila. Dalam pertempuran di Cipamokolan, mereka berhasil membunuh 21 prajurit dari Batalyon Kohar (TRI). Jumlah korban yang sama juga dialami oleh Pasukan Istimewa dan pasukan KRIS (Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi) saat berhadapan dengan Andjing NICA di Pangaritan dan Gedebage.   Karena strategi utama militer Belanda adalah merintis jalan ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, maka Andjing NICA yang dianggap lebih mengenal wilayah itu kemudian dikirimkan ke front Bandung Timur. Di sana mereka harus berhadapan dengan lawan yang sepadan: Batalyon Pelopor. Dikisahkan oleh S.A. Lapre, saat berbasis di wilayah Ujungberung (front Bandung Timur), Andjing NICA pada suatu malam diteror dengan tembakan mortier kaliber 8 dan granat. Pabrik beras yang menjadi pos mereka seolah diguncang gempa sekaligus diserang peluru musuh yang bagaikan ribuan tawon mengamuk. “Di dalam bangunan yang besar itu tidak pernah saya merasa begitu ketakutan seperti pada malam itu ketika granat-granat mortir berjatuhan di sekeliling kami,” kenang Letnan Satu H.R. Toorop, Komandan Kompi Staf Batalyon Infanteri V Andjing NICA. Horor pertempuran juga dikisahkan oleh anggota Andjing NICA yang lain bernama Kopral Butselaar. Ketika mereka sedang bergerak ke arah pegunungan di utara Ujungberung, mereka bertemu dengan pasukan musuh kurang lebih berjarak 100 meter. Alih-alih bersiaga, seorang sersan bernama Keereweer malah berlaku sombong dengan berteriak-teriak  menantang gerilyawan-gerilyawan TRI untuk menghadapinya. “Teriakan Sersan Keereweer malah disambut dengan semburan peluru-peluru senapan mesin Hotskis, yang membuat kami ketakutan hingga merasa ingin berak di celana,” kenang Butselaar. Karena tembakan senapan mesin musuh tak mau berhenti, lewat radio mereka lantas meminta bantuan tembakan mortir dari pasukan Belanda yang sedang berada di Gunung Bogkor. Entah karena salah menyebut titik koordinat atau pelayan mortir kurang ahli, alih-alih membungkam senapan mesin musuh, peluru-peluru mortir justru jatuh di wilayah pertahanan para prajurit Andjing NICA. “Bayangkan dari depan kami dihantam senapan mesin Hotskis sedang dari belakang kami dijatuhi peluru mortir dari kawan kami sendiri,” ujar Butselaar. Panik melanda peleton Andjing NICA itu. Komandan peleton berteriak-teriak histeris seperti orang gila, memerintahkan agar pelayan radio menyuruh sang penembak mortir di Gunung Bongkor menghentikan tembakannya. Suatu permintaan yang sia-sia, karena sang pelayan radio sudah tewas tertembus peluru, menyusul kemudian Sersan Keereweer. Pertempuran pun berakhir dengan nyaris habisnya seluruh anggota peleton tersebut. Bandung Timur memang mimpi buruk untuk Andjing NICA. Hampir setiap malam, mereka harus bertahan dalam ketakutan di pos-pos. Begitu gentarnya, hingga peluru cahaya hampir tiap 5 menit ditembakan ke udara. Kepanikan dan putus asa melanda. Moril pasukan kerap turun ke titk nadir. Puncaknya terjadi, saat markas pusat mendatangkan penyanyi Tom van Der Stap dan kelompok musik De Witte Raven ke markas mereka di Arjasari, seorang anggota Andjing NICA malah lebih memilih menghabisi nyawanya sendiri dengan satu tembakan ke kepala daripada menikmati hiburan Tom dan kawan-kawan.

  • Perburuan dalam Sepekan

    ­­ Bunyi gamelan yang penghabisan telah lenyap di udara senja hari. Sepagi anak lurah Kaliwangan telah disunati. Tamu-tamu telah habis pulang. Senja rembang datang. Begitulah Pram memulai ceritanya, Perburuan . Sejak senja rembang 16 Agustus 1945 itulah Hardo untuk pertama kalinya menampakkan diri. Setelah setengah tahun bersembunyi dari buruan Nippon, ia muncul di depan rumah Ningsih, tunangannya. Hari itu adalahhari sunatan Ramli, adik Ningsih. Namun Den Hardo, bukan lagi pemuda yang orang-orang Kaliwangan kenal. Saat itu telah menjadi seorang kere. Kere dengan rambut gondrong dan lengket. Wajah kotor dan dipenuhi brewok. Tidak berbaju dan telanjang kaki. Hardo telah menjadi buruan sejak pertama kali memutuskan untuk memberontak. Menjadi pelarian di bukit batu padas dan bersembunyi di dalam gua yang pekat. Meninggalkan sanak keluarga bahkan tunangannya. Lalu sampai kapan Hardo akan bertahan? “Sampai Nippon kalah,” kata Hardo. Semangat Anti Jepang Hardo adalah mantan sodhanco . Ia memberontak bersama dua sodhanco lainnya, Dipo dan Karmin, serta para shodan . Namun sayang, pemberontakan kepada balatentara Dai Nippon itu gagal karena Karmin berkhianat. Para pemberontakanpunharus mundur ke perbukitan dan hutan-hutan. Kengerian masa penjajahan Jepang yang kemudian melahirkan semangat anti-Jepang nampaknya mengilhami lahirnya novel Perburuan. Bagaimana tidak, hal itu dirasakan bahkan sejak baru beberapa hari Jepang memasuki kota kelahirannya, Blora. “Jepang mulai memperkosai wanita. Dua serdadu Jepang yang dihukum mati di alun-alun karena perkosaan tidak meredakan keresahan. Para wanita dari remaja sampai nenek pada berbedak jelaga,” ungkap Pram dalam buku Proses Kreatif Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang. Dua bulan Jepang berkuasa, ibu dan adik bungsu Pram meninggal dunia. Pram, yang kala itu masih berusia 17 tahun pergi ke Batavia. Di Batavia, kengerian penjajahan semakin jelas di mata Pram. Mulai dari penyiksaan terhadap penduduk hingga pembunuhan karena kejahatan kecil. Selain itu, ada satu kejadian sepele namun meninggalkan sakit hati bagi Pram. Suatu hari ketika Pram sedang mengayuh sepedanya di jalanan berlubang, tiba-tiba sebuah truk militer membunyikan klakson dari belakang. “Truk itu mengerem. Dari kabin truk meledak petir: Nan da kurah ! Dan mata melotot,” ingat Pram. Ban sepeda Pram lepas dan tergencet porok (garpu sepeda). Ketika seorang serdadu melompat turun, Pram memikul sepedanya dan melemparkannya ke pinggir jalan lalu lari. “Dari belakangku, meraung-raung dia: Bagero mae ! Genjumin ! Hanya rangkaian caci-maki. Sakit hati itu ternyata tak pernah lenyap,” kenang Pram. Sementara itu, Pram memang bekerja di kantor berita Domei milik Jepang. Ia harus memberitakan kemenangan, kebenaran dan kebajikan Jepang. “Keadaan di luar dan di dalam diri sudah tidak tertahankan, Domei kutinggalkan,” ungkapnya. Pram kabur ke Kediri, Jawa Timur. Di desa terpencil dan miskin bernama Tunjung, ia menumpang di rumah bekas kepala desa, seorang paman. Pada 23 Agustus 1945, Pram baru mendapat kabar seputar proklamasi. Lewat Surabaya, Pram pulang ke Blora. Di kota kelahirannya, saat itu sedang diadakan pertunjukan sandiwara “Indonesia Merdeka”. Namun Pram hanya menonton selama seperempat jam. “Pada waktu itu timbul tantangan dalam hati aku akan tulis berita yang jauh lebih baik dari ‘Indonesia Merdeka’ Blora ini, sebuah cerita yang bersemangat anti-Jepang, patriotik, ditutup dengan proklamasi kemerdekaan,” tegas Pram. Pram dan novel Perburuan Kebebasan dan Revolusi Keinginan untuk menulis cerita yang lebih baik dari sandiwara ‘Indonesia Merdeka’ itu terlaksana pada 1949. Namun, kala itu Pram sedang dipenjara di Bukit Duri oleh Belanda. Kerja paksa di luar penjara dengan upah 7,5 sen perhari dan kenyataan bahwa perang melawan Belanda belum kelihatan ujungnya membuat Pram putus asa. “Kubuka pesangon dari ibuku sebelum pergi ke alam baka: patiraga, yang hanya boleh dipergunakan di waktu krisis jiwa melanda tanpa dapat diatasi,” ungkap Pram. A Teeuw dalam tulisannya Revolusi Indonesia dalam Imajinasi Pramoedya Ananta Toer­ mengatakan bahwa pengalaman mistik Pram dalam hubungan dengan penciptaan perburuan, datang sebagai semacam pencerahan dan pembebasan ketika Pram mengalami krisis kejiwaan yang sangat parah. Pengalaman yang disebut Pram sebagai mistikum itu, lahirlah proses kreatif. Perburuan kemudian mulai ia tulis di dalam penjara, di bawah tekanan serdadu Belanda. “Ya, dilakukan pada waktu tidak terkena kerja paksa, duduk berjongkok di atas kaleng margarin dengan alas sepotong kecil papan, bermeja tulis ambin beton tempat tidur,” kata Pram. Jika dari dalam kamar terdengar langkah sepatu bot serdadu KNIL yang sedang meronda, Pram segera mengemas peralatan menulisnya. Lalu di malam hari, Pram hanya bisa menulis di bawah ambin beton sambil tengkurap dengan menggunakan lampu minyak. Karena jika tidak sembunyi, Pram bisa ketahuan karena pintu sel memiliki jendela sorong tempat para serdadu mengintip. “Minyak tanah dibeli dari teman-teman yang bekerja di dapur. Kertas di dapat dari sang pacar,” ungkap Pram. Meskipun dalam kondisi menulis yang sulit, Pram tetap berhasil menyelesaikan naskah itu. Pram merampungkan Perburuan hanya dalam waktu satu minggu. “Saya mengerjakan roman itu persis selama satu minggu. Waktu itu saya masih memiliki kekuatan alamiah saya,” kata Pram dalam wawancaranya dengan Kees Snoek yang terbit dalam Saya Ingin Lihat Semua Ini Berakhir. Naskah itu kemudian diselundupkan oleh Dr. Mr. G.J. Resink yang sering berkunjung ke penjara untuk menemui para mahasiswanya yang ditahan. “Resink menyerahkan naskah Perburuan kepada H.B. Jassin yang waktu itu sebagai redaktur Balai Pustaka,” tulis sastrawan Ajip Rosidi dalam Mengenang Orang Lain: Sebuah Obituari. Oleh Jassin, naskah Perburuan diikutkan sayembara tanpa sepengetahuan Pram. Novel itu menang dan kemudian diterbitkan Balai Pustaka pada 1950. A Teeuw mengatakan bahwa Pram adalah sastrawan yang mencuat tinggi dalam mencitrakan revolusi Indonesia baik dari jumlah karya maupun mutunya. “Segala aspek perjuangan rakyat Indonesia, di garis depan, di medan perang, di gerilya kota Jakarta, dalam penjara penjajah, di masa pasca revolusi, segala bentuk penderitaan dan pengorbanan rakyat, segala grandeur et misere (keagungan dan kemelaratan) rakyat dicitrakannya, dan berkat penguasaan bahasanya, kekuatan gayanya, keaslian imajinasinya, ia berkali-kali berhasil mentransformasikan kenyataan hulu revolusi dan perjuangan bangsa Indonesia yang sebagian besar dihayatinya dalam hidupnya sendiri menjadi epos, wiracerita,” tulis A Teeuw. Mengutip A Teeuw, novel Perburuan ditutup Pram dengan sebuah goro-goro . Ketika kabar Nippon kalah telah terdengar, tiba saatnya Hardo kembali. Namun, terjadi kekacauan di Kawilangan. Dada Ningsih, tunanganya, telah ditembus oleh peluru parabellum Jepang. Terbaring di hadapan Hardo yang gugup, Ningsih mengembuskan napas terakhirnya. Begitulah Pram mengakhiri ceritanya. Siang hari lewat jam dua, 17 Agustus 1945. Ketika hawa kota Blora sampailah pada puncak panasnya… panas yang mengganggang seluruh kota.

  • Kerajaan Kuno di Barat Kalimantan

    Rajanya bernama Maha Mosa. Ia sombong dan tak tahu sopan santun. Suatu hari ketika seorang utusan Tiongkok datang, dia ditegur. Raja pun turun dari singgasana, membungkuk, dan menerima perintah kekaisaran. Ia disuruh kaisar mengirim upeti. Namun, ia beralasan baru saja dijarah Kerajaan Sulu sehingga mereka sedang lemah dan miskin. Tak mampu mereka memberi persembahan kepada kaisar di Tiongkok. Apalagi ketika itu kerajaannya adalah bagian dari Jawa. Penduduk Jawa mencegahnya mengirim upeti. Maha Mosa pun bimbang. “Sejak lama Jawa sudah mengakui dirinya sebagai bawahan dan membawa upeti. Mengapa engkau takut pada Jawa tetapi tidak pada Takhta Langit?” seru utusan itu akhirnya kepada sang raja. Maka, Maha Mosa pun menunjuk utusan untuk membawa sepucuk surat dan upeti. Isinya, mahkota bangau, penyu hidup, merak, kapur barus berbentuk butiran kecil, kamper bubuk, kain dari barat, dan berbagai barang lainnya. Maha Mosa bertakhta di Kerajaan Bu-ni yang tercatat dalam sumber Tiongkok sejak masa Dinasti Song (960-1279). Menurut W. P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, letaknya di pantai barat Kalimantan. Sedangkan Sejarah Dinasti Song mendeskripsikan kerajaan itu terletak di laut barat daya. Jarak berlayarnya dari Jawa 45 hari, dari San-bo-zhai (Palembang) 40 hari, dan dari Campa 30 hari. Itu pun kalau anginnya mendukung. Raja Pertama Pada masa Dinasti Song, Maha Mosa belum lahir. Raja pertama Bu-Ni atau Pu-Ni yang dicatat bernama Hiang-ta. Pada 977, sang raja mengutus tiga orang untuk membawa upeti kepada kaisar. Isinya satu kati kamper dalam potongan besar, delapan kati kamper kelas dua, sebelas kati kamper kelas tiga, 20 kati kamper butiran kecil, dan 20 kati kamper kualitas terendah. Satu kati kira-kira sama beratnya dengan 0,8 kg sekarang. Mereka juga membawa lima batang kayu kamper, 100 tempurung penyu, tiga nampan kayu cendana, dan enam gading gajah. “Semoga kaisar hidup 10.000 tahun dan Sri Baginda tak menolak keramahan sederhana negara kami yang kecil ini,” kata utusan itu ketika mempersembahkan upeti kepada kaisar. Itulah  adalah kali pertama mereka datang ke Tiongkok. Dulunya belum ada utusan dari Pu-Ni yang dikirim ke sana. “Karenanya tidak pernah disebutkan dalam sejarah,” tulis catatan itu. Sejarah Dinasti Song merekam Pu-Ni sebagai sebuah kota yang dikelilingi dinding dari papan. Penduduknya sudah lebih dari 10.000 jiwa. Rajanya menguasai 14 tempat lainnya. Ia tinggal di bangunan beratap daun palem. Sementara rumah penduduknya beratap rumput. Raja dibantu para menteri. Singgasananya berupa dipan yang dibuat dari anyaman tali. Jika bepergian, raja diangkut oleh beberapa orang dengan selembar kain lebar mirip hammock zaman sekarang. Seabad kemudian, Pu-Ni kembali terekam mengirim upeti ke istana kaisar. Utusan itu disuruh oleh raja yang namanya ditulis Sri Ma-ja atau mungkin maksudnya Sri Maharaja. Setelah itu, catatan mengenai Pu-Ni tak lagi muncul. Baru ada lagi dalam rekaman Sejarah Dinasti Ming (1368-1643). Maha Mosa yang memulai kembali hubungan itu.  Tiga puluh lima tahun setelah utusan Maha Mosa dikirim, raja di Pu-Ni sudah ganti. Tersebut Raja Maraja Ka-la memberangkatkan utusannya. Kala itu kelihatannya hubungan Pu-Ni dan Tiongkok sangat baik. Maraja Ka-la sampai datang ke istana kaisar. Ia membawa serta permaisurinya, adik laki-laki, dan adik perempuannya, putra, dan putrinya, juga sejumlah pejabat. Rupanya, sang raja merasa setelah diberi pengukuhan dan gelar dari kaisar kehidupan di kerajaannya kian berjaya. “Orang-orang tua di negara hamba semuanya mengatakan ini disebabkan oleh perlindungan Kaisar yang suci,” kata sang raja di hadapan kaisar. Setelah raja wafat, putranya, Xia-wang namanya kalau dalam lafal Tiongkok, naik takhta. Raja yang baru ini sempat minta bantuan kepada kaisar. Mereka ingin bebas dari kewajiban membayar upeti sebanyak 40 kati kapur barus kepada Jawa. Upeti itu untuk selanjutnya akan dikirim ke istana kaisar. Sepertinya permohonan itu dikabulkan. Kaisar memerintahkan Jawa agar tak lagi meminta upeti kepada Pu-Ni. Letak Kerajaan Hingga tahun 1425 utusan negara ini terus datang ke Tiongkok. Seabad kemudian semakin jarang.   “Kedatangan orang Frank (Portugis, red. ) pada Tarikh Zhengde (1506-1521) dan pengaruh buruk yang mereka sebarkan melalui kekerasan membuat pengiriman upeti berhenti,” catat Sejarah Dinasti Ming. Ditambah lagi kemudian raja Pu-Ni mangkat tanpa penerus. Keluarganya pun berperang hebat. Mereka berebut singgasana. Semua yang bertikai lalu terbunuh. Tinggalah sang putri raja yang kemudian diangkat jadi ratu. Sejak itu, tak ada lagi utusan ke Tiongkok. Kendati begitu, hubungan dagang kedua negara terus berlanjut. Meski menyamakan Pu-Ni dengan wilayah di barat Kalimantan, Groeneveldt mengakui kalau posisi pasti Pu-Ni tak begitu jelas. “Deskripsi negara ini tidak jelas dan tak bisa digunakan untuk menentukan lokasi sebenarnya,” katanya. Sementara itu, Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama,  lebih menghubungkan daerah ini dengan Brunei. “Pu-ni biasa disamakan dengan Brunei, di bagian barat Kalimantan,” tulisnya. Sebagaimana yang disebutkan Nagarakrtagama , Brunai atau Barune masuk ke dalam Pulau Tanjungpura yang telah terpengaruh Majapahit. Selain yang dicatat Prapanca, Tanjungpura berulangkali juga disebut dalam sumber-sumber tertulis Jawa lainnya. Dalam Masa Akhir Majapahit, arkeolog Hasan Djafar menyebut letak Tanjungpura sebenarnya belum bisa dipastikan. “Namun demikian, oleh para sarjana dihubungkan dengan daerah di Kalimantan,” kata dia.

  • Proklamasi Kemerdekaan Rakyat Maluku

    PERINGATAN kemerdekaan Indonesia hanya tinggal menunggu hari. Berbagai persiapan pun telah dilakukan untuk menyambut peristiwa yang menegaskan posisi Indonesia sebagai bangsa merdeka yang anti penjajahan. Namun tak banyak orang Indonesia tahu,  lebih dari satu abad sebelumnya (1817), proklamasi kemerdekaan pernah digaungkan di Maluku. Adalah Thomas Mattulesi alias Kapitan Pattimura yang menjadi ujung tombak dari perlawanan rakyat terhadap Belanda hingga berhasil membuka jalan menuju penyusunan akta keberatan akan keberadaan Belanda di Maluku. Proses Mencapai Kemerdekaan Kabar rencana keberangkatan pasukan Belanda pimpinan Mayor Beetjes menuju basis kekuatan peralawanan rakyat Maluku di Pulau Saparua, Maluku Tengah cepat tersebar. Sebanyak 300 tentara, terdiri dari pasukan infanteri dan marinir, dijadwalkan berangkat pada siang 17 Mei 1817 dari Pulau Seram. Sumber lain menyebut tentara yang berangkat berjumlah 1073 orang. Sementara David Matulessy dalam bukunya, Pattimura-Pattimura Muda Bangkit Memenuhi Tuntutan Sejarah , menyebut perwira yang berangkat ada 500. Di dalam rombongan pasukan Belanda itu turut ikut raja Sirisori Serani. Ia dipercaya dapat meredakan perlawanan kelompok Thomas Mattulesi yang terus membuat pening pemerintah Belanda. Sehari sebelumnya, para pembesar Belanda di Ambon menerima kabar jika orang-orang Eropa di Saparua terancam oleh rakyat yang mulai melawan. M. Sapija dalam buku Sedjarah Perdjuangan Pattimura menyebut jika residen Ambon segera menanggapi kabar itu dengan rapat kilat bersama pemimpin militer Belanda. “Dengan susah payah komisaris Belanda harus membentuk ekspedisi ini untuk memadamkan pemberontakan yang sudah meletus.” Berita penyerangan itu akhirnya terdengar oleh Mattulesi dan pasukan perlawanan Maluku di Hulaliu. Pada 18 Mei, Mattulesi segera menggerakan seluruh rakyat untuk mengatur penyerangan dan pertahanan saat Beetjes tiba. Tak lupa ia juga menempatkan sejumlah mata-mata di Pelauw, sebelah utara Hulaliu, agar kedatangan pasukan Belanda dapat diketahui dengan cepat. Dalam buku Kapitan Pattimura , I.O. Nanulaitta menuturkan betapa pentingnya peran mata-mata pada pasukan Mattulesi. Berkat merekalah berita kedatangan pasukan Belanda tersebar dengan cepat ke khalayak. “Pada waktu arombai (perahu) mulai dikumpulkan di Pelau, pengamat-pengamat rakyat segera berlari menuju ke Hulaliu untuk memberitahukan hal itu kepada para kapitan di sana.” Tanggal 20 Mei, armada Beetjes telah sampai di Halaliu. Mattulesi kemudian mengarahkan sebagian besar pasukannya ke Saparua. Sementara yang lainnya berjaga di sekitar Halaliu. Ada sekitar 1.000 pasukan rakyat Maluku yang sudah siap menerima perintah Mattulesi di sepanjang pesisir Saparua. Genderang perang yang riuh semakin mempertinggi semangat rakyat untuk bertempur. Kapal-kapal Beetjes yang telah tiba berusaha mengecoh rakyat dengan berputar-putar di laut. Rakyat berlarian mengikuti arah kapal agar mereka tidak dapat berlabuh. Ombak yang besar pun semakin mempersulit Beetjes untuk mendaratkan pasukannya. Akhirnya para kompeni itu menemukan tempat merapatkan kapalnya, namun di tengah hutan bakau yang sangat menguntungkan pejuang Maluku. “Pasukan rakyat ini mempunyai tugas untuk menyerang pasukan Beetjes dari belakang, memotong jalan mereka kembali ke laut,” tulis Nanulaitta. Setelah Beetjes melihat kesunyian di pantai, yang sebenarnya telah direncakan oleh Mattulesi, pasukan Belanda didaratkan. Saat kaki mereka menginjak tanah, Matulessi memberikan aba-aba menembak dari balik pohon. Korban pun berjatuhan dari pihak Belanda. Beetjes berusaha terus maju dan memberi perintah menembak. Namun kondisi senjata yang basah membuat mesiu tidak mau terbakar. Posisi Belanda benar-benar tidak diuntungkan. Beetjes memutuskan menarik mundur tentaranya. Namun terlambat karena jalan menuju laut telah ditutup oleh ratusan pejuang. Pasukan Belanda pun menerobos sekuat tenaga berharap dapat mencapai laut dengan perahu mereka. Sedangkan Beetjes sendir tewas di tengah pertempuran. Laporan pemerintah Belanda di Ambon menyebut hanya ada empat perahu yang dapat kembali. Satu tiba tanggal 21 Mei, membawa kira-kira tiga belas orang. Beberapa hari kemudian tiba lagi satu perahu berisi dua puluh orang tentara. Sementara satu perahu berisi makanan, mesiu, dan senjata berhasil kembali, namun segera diamankan karena para penumpangnya dituduh melarikan diri tanpa sebelumnya turut bertempur. “Hanya 30 orang tentara berhasil menyelamatkan diri. Mereka melarikan diri ke Ambon dan membawa berita malapetaka ini kepada pembesar-pembesar mereka,” tulis David. Walau begitu, bukan berarti pihak Mattulesi mengalami kerugian yang kecil. Banyak pejuang yang terluka, dan meninggal. Meskipun jumlahnya tidak sebanyak Belanda. Detik-detik Proklamasi Kemenangan membawa kegembiraan di seluruh negeri. Rakyat bersuka ria menyambut para pahlawan mereka. Semalam suntuk rakyat menari dan bernyanyi merayakan keberhasilan menghalau penjajahan dari tanah Saparua. Mampu memimpin para pejuang melawan Belanda, tidak membuat Mattulesi larut di dalamnya. Ia segera mengumpulkan para pemimpin pejuang untuk membicarakan langkah setelahnya. Ada tiga rencana penting yang dibicarakan, dan dalam waktu singkat harus dijalankan. Pertama, tanggal 26 Mei, pemimpin rakyat dari seluruh negeri di Maluku akan dikumpulkan di Haria, salah satu daerah di Saparua. Hal itu dilakukan untuk mempertegas keberatan rakyat atas seluruh tindakan Belanda dan memberitahu alasan Mattulesi bersama pasukannya mengangkat senjata. Kedua, mengamankan pulau Haruku, yang digunakan oleh tentara Belanda saat penyerangan ke Saparua. Mattulesi ingin membersihkan pulau itu dari sisa-sisa pasukan Belanda sebelum mereka melakukan serangan balasan. Ketiga, membangun benteng pertahanan di seluruh area Saparua dengan membuat parit-parit yang berisi bambu runcing. “Minggu itu berjalan sangat sibuk, pasukan-pasukan dari segenap penjuru membajiri Halaliu. Di situ didirikan markas komando pertahanan rakyat,” terang Nanulaitta. Untuk menambah daya serang pasukan rakyat, Mattulesi mengangkat Lukas Selano sebagai komandan. Sementara dua tokoh lainnya, Lukas Lisapaly dan Pattisaba, bertugas membantu seluruh persiapan dalam pertahanan dan penyerangan. Sembari mempersiapkan kekuatan tempur, musyawarah tanggal 26 Mei tetap berjalan sesuai rencana. Para pemimpin berkumpul, didampingi tetua adatnya masing-masing. Mattulesi bersama stafnya turut hadir dalam acara besar itu. “Kita telah bersatu untuk tidak tunduk lagi kepada perintah-perintah residen, disebabkan oleh karena mereka menindas dan memaksa rakyat atas bermacam-macam cara, sedangkan rakyat tidak mendapat imbalan untuk segala pekerjaan yang dipaksakan kepada mereka,” ucap Mattulesi dikutip dalam buku karya Sapija. Setelah melalui dua hari proses panjang dalam suasana yang terkadang tegang dan panas, akhirnya seluruh pemimpin tiba pada satu pandangan yang sama. Kesimpulannya tertuang dalam 14 poin berisi keberatan atas keberadaan Belanda di Maluku, dan dibubuhi tanda tangan 21 orang pemimpin rakyat yang hadir. Tepat pada 29 Mei, Mereka mengumumkan hasil musyawarah besar itu, yang kemudian dikenal sebagai “Proklamasi Haria”. Poin-poin keberatan itu mencakup seluruh bidang kehidupan, mulai dari agama, ekonomi, politik, hingga keluarga. Misalnya dalam bidang agama, Belanda dianggap mengganggu tatanan kepercayaan rakyat Maluku yang waktu itu mayoritas menganut Kristen. Sementara kebijakan Belanda yang paling ditentang adalah kerja paksa dan pengiriman laki-laki Maluku ke Batavia. "Dengan kekerasan pemerintah itu hendak memisah semua laki-laki dari anak isterinya," tulis Nanulaitta. Selain itu, semua orang setuju mengangkat Thomas Mattulesi menjadi ‘panglima perang tertinggi Maluku’ yang memimpin Honimua, Nusalaut, Haruku, Ambon, Seram, dan seluruh negeri. Mattulesi pun kemudian menggunakan gelar ‘Kapitan Pattimura’, mewarisi gelar moyangnya terdahulu. Segera setelah persiapan selesai dilakukan, naskah Proklamasi Haria disalin dan disebarkan ke seluruh Maluku agar dapat dibaca oleh rakyat. Di tiap daerah kemudian diangkat seorang kapitan yang bertanggung jawab atas pertahanan di wilayahnya. Pattimura mencurahkan seluruh tenaganya untuk persiapan pertempuran yang lebih besar melawan Belanda. “Di atas pundak Kapitan Pattimura terletak sekarang seluruh tanggung jawab untuk memimpin rakyat dalam perang kemerdekaan ini,” kata Nanulaitta.*

  • Beda Cara PSI dan Masjumi

    MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) serupa tapi tidak sama. Keduanya adalah partai yang berada di belakang Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) melawan pemerintah pusat. Sama-sama menentang rezim Sukarno dan anti-PKI. Tetapi dalam menjalankan oposisinya, dua partai ini punya cara yang berbeda. Masyumi berjuang di dalam negeri yang pusatnya di Sumatera Barat sedangkan pentolan PSI bergerak di mancanegara. Sejak PRRI diproklamasikan 15 Februari 1958, PSI dan Masyumi getol melancarkan subversi. Namun menurut Ganis Harsono, saat itu menjabat juru bicara Departemen Luar Negeri, persekutuan PSI-Masjumi sarat keganjilan. Dalam gerakan perlawanannya, pembagian tanggung jawab duo partai tersebut berat sebelah. “Masyumi mempertaruhkan segala-galanya, dan telah kehilangan segala-galanya pula di tengah hutan-hutan Sumatera Barat. Sebaliknya, PSI tidak menampilkan seorang pun untuk dilibatkan dalam hutan Sumatera, ataupun dalam hutan Sulawesi Utara, akan tetapi membiarkan dalang-dalangnya tinggal di luar negeri tanpa memberi sokongan yang berarti bagi jalannya pemberontakan,” kata Ganis Harsono dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno. Soal ketimpangan itu, Ganis mendapat bocoran dari Abdullah Nazir, kawan masa kecilnya. Nazir tahu banyak soal Masjumi karena bekerja sebagai wartawan koran Masumi, harian Abadi . Dia menggambarkan ironi perjuangan yang dilakoni PSI dan Masyumi dengan kata “aneh dan menggelikan”. “Kalau pemimpin-pemimpin Masyumi seperti Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara tekun sembahyang lima waktu sehari semalam, mohon doa kepada Tuhan agar membantu perjuangan mereka di tengah-tengah hutan di sekitar Bukittinggi,” ujar Nazir. Sementara itu, “Pemimpin-pempin PSI enak-enak bersantai di meja judi di Jenewa, Roma, Monte Carlo, dan Beirut.” Salah seorang tokoh PSI yang wara-wiri di luar negeri adalah Sumitro Djojohadikusumo. Selama sepuluh tahun, Sumitro hidup berpindah dari satu negara ke negara lain. Dia bertualang mulai dari Singapura, Hongkong, Malaya, Swiss, Inggris, hingga Thailand. Meski terbilang sebagai buronan negara, Sumitro memiliki banyak pendukung yang sehaluan dengannya. Dalam biografinya, Sumitro disebutkan punya koneksi di berbagai negara. Dia rapat dengan kalangan intelijen Malaysia dan Inggris yang ikut memusuhi Sukarno. Di Jepang, Sumitro juga menjalin hubungan dengan aktivis mahasiswa Indonesia yang antikomunis. Kawan-kawan yang membantunya tersebar pula di Amerika, Belanda, Prancis, Polandia, hingga Polandia. Yang unik, mereka tidak pernah berkumpul lebih dari empat orang.      “Bagaimana Sumitro bisa memiliki jaringan begitu luas agak sukar dijelaskan prosesnya satu demi satu. Pada umumnya hanya dapat dikatakan bahwa hubungan bermula dari rasa simpati terhadap perjuangan Sumitro,” tulis Aristides Katoppo, dkk dalam Jejak Perlawanan Begawan Pejuang: Sumitro Djojohadikusumo. Selain Sumitro, orang PSI lainnya yang menonjol di luar negeri adalah Sutan Mohammad Rasjid. Berbeda dengan Sumitro yang banyak menghasilkan bantuan materi. Perjuangan Rasjid lebih banyak dalam bidang non-materi. Rasjid merupakan duta besar berkuasa penuh PRRI di kawasan Eropa. Secara gigih, dia menyebarluaskan dan memberikan pemahaman kepada dunia internasional tentang gerakan PRRI. Menurut Gusti Asnan, sejarawan Universitas Andalas, keberhasilan PRRI mendulang bantuan asing tidak lepas dari lobi-lobi Sumitro dan Rasjid.  Mereka berperan dalam menyukseskan pertemuan antara pihak PRRI dengan petinggi negara asing. Diantaranya seperti menteri luar negeri Belanda, beberapa duta besar negara Barat hingga anggota kongres dan senat Amerika Serikat. “Dalam hal ini, nama Sumitro Djojohadikusumo dan Sutan Mohammad Rasjid tidak bisa diabaikan,” tulis Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an . Kendati demikian, geliat orang PSI di luar negeri tidak mampu menyelamatkan PRRI. Pada 1961, Pasukan PRRI-Permesta menyerah kalah terhadap TNI yang dipimpin Jenderal A.H. Nasution. Riwayat Masjumi dan PSI pun tamat lantaran dibubarkan pemerintah.  Natsir dan Sjafruddin masuk penjara rezim Sukarno. Sementara Sumitro dan Rasjid tetap jadi pelarian di negeri orang sampai era Orde Baru terbit menjelang.

  • Hari Raya Qurban di Kamp Plantungan

    DI Kamp Plantungan, para tahanan politik (tapol) bangun lebih dini. Hari itu merupakan hari raya Idul Adha ketiga sejak mereka menghuni kamp. Berbeda dari dua hari raya sebelumnya di mana para tapol sholat ied hanya dengan sesama tapol dan diimami rohaniawan Islam (rohis), Idul Adha kali ini mereka diizinkan sholat ied berbaur dengan masyarakat Desa Sangubanyu yang terletak di atas kamp. Setelah selesai mempersiapkan diri, satu per satu tapol bergegas menuju lapangan berumput sekitar pohon raksasa yang konon telah ditanam ketika Ratu Yuliana lahir pada 1909. Di sanalah sholat ied biasa dihelat. Selesai salat, mereka saling bersalaman kemudian siap-siap menyelenggarakan qurban.  Penyembelihan dilakukan dekat dapur, belakang kamar Blok C. Orang-orang berkerumun, berusaha membantu dan menyaksikan pesta daging setahun sekali itu. Hewan qurban berasal dari empat orang rohis yang masing-masing memberi seekor kambing. Para tapol juga ikut memberi dua-tiga ekor hewan meski berada di tengah penderitaan dan keterbatasan. Kambing atau domba qurban itu berasal dari Unit Produksi Peternakan (UPP) kamp. UPP punya setidaknya 50 ekor kambing atau domba. Hewan ternak lain yang dikembangbiakkan antara lain 200 ekor ayam petelur dan 100 bebek. Letak kandang-kandang ternak itu tak jauh dari dapur. Beberapa tapol ditempatkan pada unit ini dengan tugas membersihkan kandang, memberi makan, dan memandikan ternak.   Menurut Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, UPP dibentuk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para tapol. Telur-telur ayam biasanya dijual, uangnya digunakan untuk membeli keperluan seperti sabun. Sementara, telur bebek lebih sering digunakan untuk menambah lauk-pauk di kamp. Ayam petelur dan bebek tua kadang disembelih untuk menambah variasi lauk. Pada hari besar seperti Idul Adha, kambing hasil ternak itu disembelih. Mia Bustam, istri pelukis Sudjojono, memilih menyingkir dari kamarnya di Blok C ke aula pada saat qurban dilaksanakan. “Tak tega aku mendengar suara penyembelihan itu,” kata Mia dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp. Ia bahkan tak mengambil porsi daging kambingnya dan memberikannya kepada siapapun yang mau. Berbeda dari Mia yang menyingkir, Mbah Kung (kakek) tanpa rasa takut ikut menjadi jagal bersama para petugas kamp. Mbah Kung sebenarnya tapol perempuan bernama Sumarni, namun karena penampilannya yang wagu , ia sering disangka lelaki. Dadanya rata, bibirnya biru akibat sering merokok, dan suaranya parau rendah seperti lelaki. Orang-orang di kamp memanggilnya Mbah Kung. Jauh sebelum masuk kamp, Mbah Kung menikah dengan orang muslim. Ia sendiri orang Kristen. Pernikahan mereka tidak direstui orang tua si lelaki yang muslim fanatik. Sakit hati dengan penolakan itu, Marni muda tak mau lagi berurusan dengan keluarga dan mantan suaminya. Ia memotong rambutnya jadi cepak lalu ikut pasukan gerilya. Perawakannya yang wagu itu membuat Marni dengan mudah mengaku sebagai lelaki. Ketika ketahuan, Marni tetap diterima oleh pasukan. Saat perjuangan itulah Marni berkawan dengan Prayogo yang kemudian jadi komandan Kamp Plantungan. Lantaran teman seperjuangan dan tak punya rasa takut, Marni tak segan pada Prayogo bahkan berbicara dengan bahasa Jawa ngoko . Rasa tak gentar itu pula yang Marni tunjukkan kala menyembelih hewan kurban. Ia melakukannya dengan cekatan, mulai dari menyembelih, menguliti, hingga memotong-motong daging. Hewan qurban yang sudah dipotong-potong itu kemudian dibagikan kepada warga desa sekitar kamp. Sementara, jatah daging para penghuni biasanya dimasak bersama-sama untuk lauk hari itu, menjadi gulai atau rendang. Suatu kali, Idul Adha di kamp hampir bersamaan dengan Natal, hanya selisih dua hari. Salah seorang rohis, Machally, lalu menginisiasi agar dekorasi Natal juga diisi dengan ornamen Idul Adha. Maka, Mia pun membuat gambar Nabi Ibrahim naik bukit bersama putranya Ismail yang rela dikorbankan demi perintah Tuhan. Ketika hiasan itu dipajang, salah seorang tapol Protestan bertanya pada Mia. “Bu Mia, bukankah yang dikorbankan itu Ishak?” “Halah, biarlah tiap agama menganut kepercayaannya sendiri-sendiri,” kata Mia. Machally pun senang melihatnya. Terlebih hiasan itu ditaruh pada panel di atas panggung sehingga terlihat sentral. Pada perayaan itu, baik tapol Kristen maupun Muslim bersuka-cita bersama.

  • Jawa Mencengkeram Kalimantan

    Bakulapura, demikian nama daerah itu pada masa Singhasari. Kelak, pada masa Majapahit dan seterusnya, wilayah itu masih punya hubungan dengan Jawa. Namanya bukan lagi Bakulapura, melainkan Tanjungpura. “Bakulapura merupakan embrio dari Tanjungpura,” kata Dwi Cahyono, pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang. Di antara raja-raja Singhasari, Kertanagara yang pertama memiliki pandangan politik ke luar Jawa. Berdasarkan laporan Prapanca dalam Kakawin Negarakrtagama , Bakulapura menjadi salah satu nagari yang ditundukkan sang prabu . Pada era Majapahit, Mahapatih Gajah Mada mengungkit kembali keberadaan wilayah ini. Tanjungpura disebut sebagai bagian dari cita-cita dalam sumpahnya. “ Sesudah kalah Nusantara, saya menikmati istirahat, sesudah kalah daerah Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, waktu itulah saya istirahat,” serunya di hadapan pejabat keraton Majapahit. Arkeolog Hasan Djafar dalam Masa Akhir Majapahit menyebut letak Tanjungpura sebenarnya belum bisa dipastikan. Namun, para sarjana selalu dihubungkan dengan daerah di Kalimantan. Dalam Nagarakrtagama , Tanjungpura nampaknya digunakan untuk menyebut seluruh Pulau Kalimantan sekarang. Pulau itu dikatakan sebagai salah satu wilayah yang tunduk pada kekuasaan Majapahit. Prapanca menulis, negara-negara di Pulau Tanjungnegara: Kapuas-Katingan, Sampit, Kota Lingga. Kota Waringin, Sambas, Lawai ikut tersebut. Kandandangan, Landa Samadang, dan Tirem tak terlupakan Sedu, Barune, Kalka, Saludung, Solot, dan juga Pasir Barito, Sawaku, Tabalung, ikut juga Tanjung Kutei. Malano tetap yang terpenting di Pulau Tanjungpura. Hubungan Kalimantan dan Jawa mengalami pasang surut sejak pertama kali diincar Kertanagara. Dwi Cahyono mengatakan perpolitikan antara Singhasari dan Tanjungpura ikut bubar dengan berakhirnya Kerajaan Singhasari pada 1292. Karenanya, Wijaya yang menjadi peletak batu pertama Majapahit harus kembali menggandeng daerah itu. Ada sebuah prasasti dari masa cicitnya, Hayam Wuruk, yang mungkin menceritakan prosesnya. Disebutkan di sana kalau Sri Kretarajasa Jayawarddhana Anantawikrama Uttungga memiliki empat permaisuri.  “…empat permaisurinya setara dengan dewi-dewi, yang menjadi prakreti Pulau Bali, Melayu, Madhura, dan Tanjungpura…,” catat prasasti itu. Menurut Dwi, dari prasasti itu tersirat bahwa pada masa pemerintahan Sri Kretarajasa kekuasaan Majapahit meliputi Bali, Melayu, Madhura dan Tanjungpura. Untuk merangkul wilayah itu, menantu Kertanagara ini pun kemungkinan mengikat perkawinan politik dengan putri dari Tanjungpura. “Dengan demikian, semenjak awal Majapahit diperkirakan telah lahir generasi buah perkawinan antara penguasa Majapahit dan putri Tanjungpura,” kata Dwi. Itu bisa dimaklumi melihat nama Tanjungpura disebutkan pula dalam Prasasti Waringinpitu dari masa Dyah Krtawijaya tahun 1447. Tanjungpura adalah satu dari 14 nagari yang berada di bawah Majapahit. Hasan Djafar menjelaskan, 14 nagari yang disebutkan dalam prasasti itu berada di bawah kendali sejumlah penguasa. Secara hierarki, mereka ada di bawah raja Majapahit. Adapun yang berkuasa di sana adalah para kerabat raja yang punya jabatan Paduka Bhattara. “Mereka berkedudukan sebagai Paduka Bhattara. Majapahit dari struktur perwilayahannya merupakan kerajaan yang terdiri dari kesatuan negara daerah,” jelas Hasan. Menurut Hasan, berdasarkan Prasasti Waringinpitu, raja di daerah Tanjungpura adalah Dyah Suragharini. Sementara dalam Serat Pararaton dijelaskan bahwa Bhre Tanjungpura adalah anak Bhre Tumapel Dyah Krtawijaya. Tanjungpura dalam Sumber Tiongkok Wilayah yang berkaitan dengan Tanjungpura juga diberitakan dalam sumber Tiongkok, seperti  Sejarah Dinasti Ming. Wilayah itu disebut Bu-ni, yang diartikan oleh W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa , sebagai Pantai Barat Kalimantan. Dalam catatan resmi kekaisaran Tiongkok itu dikisahkan bahwa kaisar mengeluarkan pengumuman pengangkatan Hiawang sebagai Raja Pu-ni. Pengangkatan ini untuk menggantikan ayahnya. Konon dulu, kerajaannya setiap tahun mempersembahkan upeti sebanyak 40 kati kapur barus kepada raja Jawa. Mereka pun memohon agar kaisar bersedia mengeluarkan pengumuman tentang pembatalan upeti itu, agar upeti itu dapat dikirim ke istana kaisar. Keterangan itu mirip dengan pernyataan dalam  Kidung Harsawijaya bahwaTanjungpura ada di antara sebelas negeri yang tunduk di bawah Majapahit. “…Sangat luas, dan juga takluk, berbakti, terutama Bali, Tatar, Tumasik, Sampi, Koci, dan Gurun, Wandan, Tanjung-Pura, apalagi Dompo, Palembang, Makassar, datang bersama-sama dengan pesembahan segala isi negeri,” sebut naskah itu. Menurut Slamet Muljana pengertian daerah pada abad ke-14 berbeda dengan pengertian koloni pada masa modern. Persembahan upeti yang tak banyak nilainya dari daerah tertentu kepada Majapahit sudah dapat dianggap sebagai bukti pengakuan kekuasaan Majapahit. “Sudah dianggap bukti pengakuan kekuasaan Majapahit atas daerah yang bersangkutan dan karenanya daerah itu dianggap sebagai daerah bawahan,” jelas Muljana. Namun, menurut Hasan Djafar, sebagaimana disebutkan dalam Nagarakrtagama , hubungan yang terjalin dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara merupakan kerja sama regional yang saling menguntungkan. " Nagarakrtagama menyebut daerah di Nusantara itu merupakan daerah yang dilindungi oleh Sri Maharaja Majapahit,” tulis Hasan. Kendati begitu, pada masa yang lebih modern lewat catatan Tome Pires, Suma Oriental, diketahui bahwa Tanjungpura beberapa kali diserang oleh penguasa Jawa. Salah satunya adalah Pati Unus, yang dicatatnya sebagai penguasa Jawa dari Jepara.

  • Lukisan Kehidupan Soenarto Pr

    KEKAGUMAN terhadap sesosok patung di Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Ahmad Yani, Jakarta, membawa saya ke sebuah rumah di Kecamatan Kasihan, Bantul, Yogyakarta. Rumah sederhana itu rumah terakhir Soenarto Pr, seniman di balik berdirinya patung tadi. Sebuah lukisan potret Soenarto di dinding yang berimpitan dengan pintu depan rumah seolah mewakili sang tokoh menyambut kedatangan saya pada 28 Juli 2019 itu. Sudah lebih setahun, tepatnya 24 Juli 2018, Soenarto meninggal. Ia dimakamkan di Makam Seniman Girisapto, Imogiri, sesuai wasiatnya. Sejatinya, kekaguman pada Soenarto sudah timbul dua-tiga tahun lalu lewat perkenalan dengan Aditya Rochim alias Boim, salah satu menantu Soenarto, di Museum Benteng Vredeburg. Kala itu Soenarto masih ada kendati sudah sakit-sakitan.  Boim pula yang menemani saat saya sowan ke rumah Soenarto. Sambil menyuguhkan secangkir kopi liberica plus susu kental manis  dari warung “Kopi Bang Boim” miliknya, dia mendampingi istrinya Mirah Maharani, putri kedua Soenarto dari istri kedua, memberi informasi tentang Soenarto. “Sebenarnya dulu lebih lama tinggal di Jakarta. Baru pindah ke Yogya lagi 2007. Soalnya sejak 2006 bapak mulai sepuh ya. Bapak juga bilang punya cita-cita pingin dimakamkan di Makam Seniman Girisapto. Setelah ada acara di Solo, Januari 2007, bapak pulangnya milih ke Yogya. Akhirnya kita semua pindah dari Ragunan (Jakarta Selatan) ke Yogya untuk mengurus bapak,” ujar Mia, panggilan Mirah. Kombatan Pelajar Mendirikan Sanggar Soenarto lahir di Bobotsari, Purbalingga, 20 November 1931. Singkatan nama belakangnya diambil singkatan nama ayahnya, Moe’id Prawirohardjono. Kegetolannya pada seni sudah terlihat semasa kanak-kanak. “Bakat bapak (Soenarto Pr) dari kecil karena sering dikasih oleh-oleh kapur tulis sama ayahnya. Ayahnya kan guru. Mulanya sering menggambar di lantai rumah. Sering ditegur juga akhirnya. Di sekolah, SD Sampoerna Soeka Negara, bapak sudah pintar menggambar sampai disenangi bakatnya itu sama gurunya yang orang Belanda. Waktu SD juga bapak pernah menang lomba juara II tingkat pelajar di Purwokerto,” sambung Mia. Soenarto Pr (kanan bawah) kala angkat senjata di Tentara Pelajar (Foto: Repro Katalog Pameran Tunggal Soenarto Pr, 2010) Beringsut usia SMP, Perang Kemerdekaan bergejolak. Soenarto mesti meninggalkan hobi seninya untuk ikut angkat senjata. Ia menggabungkan diri ke Tentara Pelajar (TP) Peleton I Kompi Entjoeng A.S Detasemen II Purwokerto yang bergerilya di kisaran Tegal. Sempat terlibat dalam pertempuran, ia lantas dipercaya mengurusi surat-menyurat dan dokumen kompinya. “Komandan Peleton I Isnandar Muhadi mempercayakan dan menugaskan saya menangani kesekretariatan Kompi Entjoeng A.S Purwokerto beberapa bulan di akhir tahun 1949 menjelang masuk kota memperjuangkan pengakuan kedaulatan. Ngalor - ngidul , stempel kesatuan, arsip dan dokumentasi tak pernah lepas, harus aman dan rapi di tas,” kata mendiang Soenarto dalam Mengungkap Perjalanan Sanggar Bambu keluaran Kemenbudpar, 2003, yang disusun Soenarto bersama Nunus Supardi. Selepas Tentara Pelajar didemobilisasi pada 1950, Soenarto memilih kembali ke bangku sekolah ketimbang meneruskan karier di militer. Ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pertanian Menengah Atas di Malang. Setelah itu, ia melanjutkan ke jurusan Seni Lukis dan Patung di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. “Bapak ya hidupnya di Yogya prihatin. Sampai-sampai tinggalnya di ASRI. Tadinya nyolong-nyolong ketika kampus sudah tutup. Ada satu ruangan studio yang jendelanya selalu diganjal bapak. Jadi ketika kampus sudah tutup, dia bisa masuk. Sampai akhirnya ketahuan sama Pak R.J. Katamsi (direktur ASRI, red ). Tadinya bapak mau ngampar saja gitu di depan kampus. Tapi karena dianggap malu-maluin kampus nantinya, akhirnya bapak dikasih tempat tinggal satu ruangan di belakang sama Pak Katamsi,” sambung Mia. Lantaran Soenarto acap memberi “kuliah tambahan” pada para mahasiswa ASRI di sela-sela waktunya, muncul sebutan “ASRI Sore”. “Banyak mahasiswa yang ikut kegiatan bapak saat jadwal kampus sudah selesai,” imbuhnya. Soenarto merupakan sosok yang punya keinginan kuat belajar di manapun dan pada siapapun. Selain kepada Sudjojono, Trubus Soedarsono, dan Affandi di ASRI, pada 1958 ia pernah “berguru” pada Antonio Blanco di Bali selama enam bulan. “Kata bapak, sebagai seniman rasanya tidak lengkap hidupnya jika tidak ke Bali. Salah satu karya bapak di sana, lukisan ‘Gadis Bali’ dibeli Presiden Sukarno yang sekarang jadi koleksi Istana Negara,” tambahnya. Mirah Maharani, putri mendiang Soenarto Pr (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Pada 1 April 1959, Soenarto dan beberapa kawannya mendirikan Sanggar Bambu. Ia didapuk jadi ketuanya. Sanggar itu merupakan wadah atau komunitas seniman berbagai bidang yang lahir gara-gara Soenarto diledek rekan seniman. “Begitulah awal berdirinya Sanggar Bambu dengan saya yang benar-benar miskin pengalaman organisasi dipercaya rekan-rekan sebagai pimpinannya. Tetapi yang mendasari justru ledekan Kirjomulyo –penyair dan dramawan kelompok Teater Indonesia. ‘To, mau jadi pelukis kok tidak punya sanggar.’ Selanjutnya guyon parikeno Kirjomulyo tersebut jadi pembicaraan serius yang melibatkan teman-teman lain,” kata Soenarto. Markas Sanggar Bambu berupa galeri seni, mulanya bertempat di Jalan Gendingan No. 119. Kala itu markas mereka satu-satunya galeri seni di Yogya. “Itu juga tempatnya Pak Sutopo, teman bapak. Awalnya ditawari di sana tapi hanya untuk setahun karena itu masih rumah ibunya Pak Sutopo,” kata Mia menerangkan. Dalam perjalanannya, Sanggar Bambu jadi kawah candradimuka sejumlah seniman ternama yang lebih populer dari Soenarto. Arifin C. Noer, Putu Wijaya, Mien Brodjo, Emha Ainun Najib, Adi Kurdi, dan Ebiet G. Ade merupakan jebolan Sanggar Bambu. Filosofi Enam “Sa” Saat berjaya tak pernah jumawa. Kala nelangsa pun tak pernah berkeluh-kesah. Begitulah Soenarto. Meski namanya kian dikenal, Soenarto tetap membumi. Putu Wijaya menyebutnya “Pertapa di Tengah Kota”. Kesederhanaan hidupnya tak lepas dari filosofi “6 Sa” yang dipegangnya erat-erat. “Dulu sering berhutang sana-sini. Tapi di satu waktu malah pernah lukisannya dibeli dengan harga Rp10 ribu tapi sama yang beli dijual lagi ke orang lain Rp10 juta. Ya bapak lukisannya enggak pernah dijual mahal. Enggak terlalu mikir materi. Saking mengikuti falsafah Ki Ageng Suryometaram yang enam ‘Sa’ itu: Sabutuhe, Saperlune, Sacukupe, Sabenere, Samestine, Sakepenake ,” sambung Mia. Jika kondisi ekonominya sedang meprihatinkan, Soenarto pantang mundur. Ia tetap produktif meski harus mengganti cat minyak dan kanvas dengan pastel dan kertas biasa. Saking produktifnya, ia sampai dijuluki “Raja Pastel Indonesia” selain pelukis Wardoyo. Soenarto Pr kala tengah mengajar para pasien RSJ Grogol (Foto: Repro Tempo, 12 Desember 1981) Filosofi itu turut mengantarnya untuk berbagi pada sesama. Kala sudah hijrah ke Jakarta sejak 1961, Soenarto yang tetap membesut Sanggar Bambu menambah kesibukan dengan mengajar anak-anak TK hingga pasien Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grogol. “Mengajar anak-anak TK itu tahun 1977 saat sudah tinggal di Meruya. Kebetulan di depan rumah ada TK Bunga Bakti. Bapak termasuk sesepuh yang dituakan di daerah itu karena salah satu orang pertama yang tinggal di situ (Taman Meruya Ilir). Buat bapak, enggak dibayarpun enggak masalah. Bapak hanya senang menyebarkan seni ke anak-anak,” ujar Mia. Sementara, job di RSJ Grogol didapatkan Soenarto medio Desember 1981 dari Departemen P dan K (kini Kemendikbud). Ia diberi insentif bulanan Rp10 ribu namun hanya sekira setahun berjalan. Kegiatan itu berhenti seiring stopnya dana operasional dari pemerintah. “Ya yang diasuh pasien-pasien yang sudah dalam tahap pemulihan, bukan yang kondisinya masih parah. Buat bapak, seni itu bisa buat terapi. Saya sendiri pernah ikut. Lucu-lucu memang pasiennya. Ada yang mau ikut tapi minta dipasangi musik sambil dia joget-joget. Ada juga yang harus bapak beliin rokok atau permen untuk pasien lainnya,” papar Mia. Bulan ini, karyanya yang bertajuk “Pengamen” (1988) jadi koleksi Museum Seni Rupa dan Keramik, turut dipamerkan dalam Pameran “Lini Transisi” yang digelar Galeri Nasional, 1-31 Agustus 2019. Bersama “Pengamen”, turut pula ditampilkan “Potret Diri” (1957) di tempat yang sama. Lukisan Pengamen karya Soenarto Pr yang ditampilkan di Pameran Lini Transisi di Galeri Nasional, 1-31 Agustus 2019 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Sepanjang kiprahnya, Soenarto tak hanya produktif di dunia seni lukis. Ia juga dikenal sebagai maestro patung. Puluhan karyanya masih eksis, termasuk patung Jenderal Ahmad Yani di Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Ahmad Yani. Bila kiprahnya di masa perjuangan berganjar Lencana Karya Dharma dari Veteran RI, di bidang seni Soenarto dianugerahi Respect Award Biennale X oleh Kemenbudpar dan Anugerah Budaya Seniman dan Budayawan oleh Provinsi DIY. “Sebelum meninggal, bapak punya harapan tentang Sanggar Bambu. Bapak kepengin sanggarnya punya tempat, punya bangunan permanen. Alamatnya enggak pindah-pindah lagi,” kata Mia menjelaskan sanggar ayahnya yang acap berpindah tempat, di mana saat ini masih mengontrak di Tempuran, Taman Tirto, Bantul, tak jauh dari kediaman almarhum.

  • Kala Sarjana Eropa Ramai-Ramai Teliti Jamu

    BANYAKNYA ragam tanaman obat di Nusantara dan kabar kemanjurannya mendorong para sarjana Eropa di Hindia Timur meneliti mereka. Ketertarikan kuat para sarjana untuk meneliti juga didorong oleh keadaan akibat bahan obat yang dikirim dari Belanda kadaluwarsa lantaran terlalu lama di jalan. Bahan obat itu juga rusak akibat terpapar temperatur ekstrem di kapal. Penelitian tentang tanaman obat lokal sudah dilakukan para ahli bedah dan apoteker militer sejak VOC masih berjaya. Salah satunya oleh Jacobus Bontius, dokter yang merawat JP Coen. VOC sangat mendukung kegiatan penelitian lantaran bisa memangkas biaya pengiriman obat. Lewat Dewan XVII, VOC membiayai The Batavian Society of Arts and Sciences pada 1778 untuk mengurus kebun herbal dan mengadakan seminar tanaman obat (jamu). Semangat menemukan bahan obat di negeri jajahan terus berjalan ketika pemerintah Hindia Belanda menggantikan VOC. Pada 1817, pemerintah mendirikan Kebun Raya Bogor untuk tempat penelitian menemukan tanaman paling menguntungkan ekonomi Belanda sekaligus meneliti khasiat tanaman obat. Sejarawan Liesbeth Hesselink dalam Healers on the Colonial Market menjelaskan, studi tentang obat-obatan lokal menguntungkan Belanda baik secara praktis maupun keilmuan. Perintah kepada petugas kesehatan untuk meneliti terapi tradisional dan kemampuan para dukun pun dikeluarkan lewat pasal 52 Staatsblad Nomor 68 tahun 1827. Setiap unit daerah ditugaskan untuk melakukan obsevasi dan membuat laporan tentang praktik kesehatan penduduk pribumi. Salah satu dokter yang mempelopori penelitian jejamuan di era itu ialah Friedrich August Carl Waitz. Penelitian Waitz tentang khasiat jamu membuktikan daun sirih mengandung agen narkotika dan bermanfaat mengobati batuk menahun. Ia juga menguji keampuhan air rebusan kulit sintok untuk mengobati masalah pencernaan, khususnya usus. Temuan-teman macam itu menjawab keluhan Direktur Dinas Layanan Kesehatan Koloni Geerlof Wassink, yang mengatakan minimnya persediaan obat di negeri jajahan karena sepertiga bahan farmasi yang dikirim dari Belanda tidak berfungsi. Wassink yang juga editor Medical Journal of the Dutch East Indies, jurnal medis tertua di Hindia-Belanda, meneliti tanaman obat Nusantara yang ia terbitkan dalam tiga jilid. Dia rajin mengompori dokter dan ahli botani Belanda untuk meneliti tanaman obat di negeri jajahan. Ketika Wasink meninggal pada 1867, semangat meneliti tanaman obat lokal diteruskan penggantinya, CL Van der Burg. Dalam editorialnya, Van der Burg mengajak para sarjana untuk melakukan pengamatan teliti tentang kemanjuran tanaman obat tropis. Ia juga mengeluarkan karya tulis medis pada 1885, “Materia Indica”, yang jadi seri ketiga buku De Geneesheer in Nederlandsch-Indie (Ahli Kesehatan di Hindia-Belanda). Selain jamu, yang diteliti para sarjana Eropa ialah obat-obatan Tiongkok. Mereka sebetulnya agak kesulitan membedakan tanaman obat Nusantara dengan Tiongkok karena banyak kemiripan. Namun pada 1890, dokter AG Vorderman meneliti metode pengobatan difteri oleh seorang tabib Tiongkok. Tabib itu meniupkan bubuk merah ke tenggorokan pasien. Hasil yang sangat efektif mendorong beberapa dokter Eropa mengadopsi metode penyembuhan itu. Pemilik toko obat Tiongkok yang ditemui Willem Gerbrand Boorsma pada 1913. Sumber: European Physician and Botanists Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies Profesor Hans Pols dalam artikelnya “European Physicians and Botanists, Indigenous Herbal Medicine in the Dutch East Indies, and Colonial Networks of Mediation” menyebut, sarjana lain yang aktif meneliti pada akhir abad ke-19 ialah Willem Gerbrand Boorsma. Ketika Boorsma menjadi Direktur Laboratorium Farmakologi di Kebun Raya Bogor pada 1892, penelitian pada jamu giat dilakukan. Boorsma melakukan analisis kimia dan farmakologis untuk menemukan sifat obat yang efektif dari tanaman. Di laboratoriumnya, Boorsma bereksperimen dengan merebus daun, akar, dan rempah lalu mencampurnya dengan asam dan larutan kimia untuk mengidentifikasi kandungan aktif. Terkadang, Boorsma menjajal efek percobaannya pada kelinci atau anjing kecil. Untuk menghimpun informasi tentang penggunaan jamu di Hindia-Belanda, Boorsma membuka korespondensi dengan para pejabat, dokter, dan pemilik perkebunan. Suatu ketika, respondennya mengirim surat terbuka di koran bahwa jamu berkhasiat sedang dikirim ke laboratorium Boorsma untuk dianalisis. Orang-orang Belanda yang membaca koran itu langsung membanjiri Boorsma dengan surat berisi permintaan ramuan sejenis. Padahal, Boorsma belum menerima jamu itu apalagi menelitinya. Hal itu menjadi bukti tingginya animo orang-orang Eropa pada ramuan obat Nusantara.

  • 7 Pejuang Asing dalam Perang Kemerdekaan di Indonesia

    PERANG Kemerdekaan di Indonesia (1945-1949), ternyata tidak melibatkan para pejuang bumiputera semata. Sejarah mencatat beberapa nama orang asing yang aktif berjuang sebagai kombatan, demi Indonesia merdeka. Awalnya mereka sebagian besar tergabung dalam pasukan musuh. Namun karena bisikan hati nurani mereka menjadi ragu terhadap apa yang mereka sedang lakukan: memerangi bangsa yang ingin merdeka. Ketika rasa berdosa itu semakin kuat, pada akhirnya mereka justru menjadi pembelot dan bergabung dengan gerakan pembebasan tanah air di Indonesia. Siapa saja mereka? Berikut 7 serdadu asing dari Belanda, Jepang, India, Nepal, Jerman, Korea dan Inggris yang kemudian menjadi gerilyawan Republik Indonesia. J.C. Princen Semula dia adalah seorang kopral wajib militer dari Divisi 7 Desember. Adalah Johannes Cornelis Princen yang sejak semula sudah merasa tak sreg dengan pengiriman tentara Belanda ke Indonesia. “Rasanya ironis saja, kita yang baru saja bebas dari Jerman lalu menjadi penjajah bagi bangsa lain yang ingin merdeka,”ungkapnya. Namun karena terancam hukuman mati, Princen tetap dipaksa untuk ikut dalam rombongan tentara yang berangkat ke tanah Jawa. Singkat cerita awal 1947, dia tiba di Pelabuhan Tanjung Priok dan kemudian ditempatkan di Purwakarta, Jakarta dan Bogor. Saat di Jakarta dan Bogor inilah dia melihat prilaku para serdadu yang membuatnya semakin muak dengan penindasan yang dilakukan bangsanya. “Mereka memperlakukan orang-orang pribumi laiknya anjing kudisan. Di Bogor mereka bahkan menembak Asmuna, seorang perempuan setempat yang menolak untuk dilecehkan oleh para serdadu,” kenangnya. Sekira Agustus 1948, Poncke (nama panggilan akrab Princen) melarikan diri dari kesatuannya. Dia kemudian ditangkap oleh Tentara Merah (pasukan pro FDR PKI) dan dipenjarakan di Pati. Sebulan kemudian, Batalyon Kala Hitam dari Divisi Siliwangi membebaskannya dan memberikan kebebasan untuk kembali kepada pasukannya. Namun dia kukuh memilih untuk ikut Siliwangi long march ke Jawa Barat. Selanjutnya lelaki kelahiran Den Haag pada 21 November 1925 itu tercatat aktif sebagai gerilyawan Republik yang berjuang di wilayah Cianjur-Sukabumi pada 1949. Akibatnya, seperti dituliskan dalam otobiografinya: Kemerdekaan Memilih , militer Belanda terus memburunya dan coba menghilangkan nyawanya. Namun selalu gagal, termasuk suatu operasi khusus yang dilakukan oleh KST (Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Belanda) pada 10 Agustus 1949 di Cilutung Girang, Cianjur. Shigeru Ono Nampaknya Shigeru Ono (95), adalah pejuang Indonesia asal Jepang terakhir yang masih ada sampai beberapa tahun lalu. Tepat pada 25 Agustus 2014, Shigeru meninggal akibat penyakit tifus dan pembengkakan pembuluh darah. Semasa menjadi pejuang, selain ikut bergerilya di kaki Gunung Semeru, Jawa Timur, Shigeru juga tercatat ikut terlibat dalam pembuatan buku petunjuk khusus taktik perang gerilya bersama "Bapak Intel Indonesia" almarhum Kolonel Zulkifli Lubis. Banyak alasan yang membuat Shigeru enggan bertekul lutut kepada pihak Sekutu. Selain kata "menyerah" tak ada dalam kamusnya, rata-rata mereka melihat jasa orang-orang Indonesia kepada mereka kala memerangi pihak Sekutu.   “Indonesia sudah banyak membantu Jepang. Kami ingin memberikan yang tidak bisa dilakukan oleh negara kami,” ujar Shigeru Ono dalam  Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik  karya Eiichi Hayashi. Demi membela tanah air barunya itu, Shigeru harus kehilangan tangan kanannya akibat ledakan mortir. Dan selama berjuang di wilayah Jawa Timur, dia menjadi buronan militer Belanda karena dinilai banyak merugikan mereka dengan segala aksi penyerangan pasukan yang dipimpinnya. Abdullah Sattar Tak jelas benar, bagaimana awalnya lelaki asal India (bagian tersebut sekarang menjadi Pakistan) itu bergabung dengan kekuatan pasukan Republik di Medan. Namun menurut jurnalis sejarah Muhammad TWH, Sattar membelot dari BIA (British India Army) dengan membawa puluhan anak buahnya dan persenjataan lengkap. Oleh para petinggi tentara Republik di Medan, pasukan pembelot ini kemudian dibuat kompi tersendiri dalam Batalyon I. “Sattar sendiri selain menjadi komandan kompi juga dijadikan komandan Batalyon I Resimen III Divisi X dengan pangkat mayor,”ungkap Muhammad TWH. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka banyak dilibatkan dalam berbagai operasi tempur di wilayah Medan dan sekitarnya. Bahkan, sebagai tenaga bantuan latih sekaligus petempur, Sattar pernah mengirimkan 17 anggotanya ke palagan Aceh. Diantaranya adalah prajurit yang bernama John Edward (lebih dikenal sebagai Abdullah Inggris), dan Chandra, yang karena kelihaian dalam beretorika lalu didapuk menjadi penyiar Radio Perjuangan Rimba Raya masing-masing untuk program  bahasa Inggris dan bahasa Urdhu (India). Saat Muhammad Hatta melakukan muhibah ke Sumatera pada awal 1948, pasukan Sattar didapuk untuk mengawal Wakil Presiden pertama RI itu saat berkunjung ke Pematang Siantar. Beberapa saat usai Hatta meninggalkan kota tersebut, militer Belanda kemudian datang menyerang. Terjadilah pertempuran hebat hingga para prajurit dari selatan Asia itu kehabisan amunisi. Kendati sudah terkepung, mereka tidak lantas menyerah, malah justru mencabut bayonet dan memutuskan untuk berduel satu lawan satu melawan prajurit-prajurit Belanda. Pada akhirnya, sebagian besar dari mereka tewas diberondong senjata militer Belanda. “Jasad mereka lantas dimakamkan di Pematang Siantar, namun beberapa waktu lalu kerangka-kerangka itu dipindahkan ke Makam Pahlawan Medan,”kata Muhammad TWH. Mayor Sattar sendiri selamat dari insiden tersebut. Setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Sattar memutuskan untuk berhenti menjadi tentara dan berwiraswasta. Namu usahanya bangkrut  hingga menjadikannya sebagai gelandangan di kota Medan. Menurut TWH, terakhir Sattar menjadi seorang petinju profesional. Orang-orang Medan tahun 1950-an mengenalnya dalam nama populer: Young Sattar. Warner dan Losche Orang-orang Jerman juga pernah terlibat dalam kecamuk Perang Kemerdekaan di Indonesia.  Menurut sejarawan Jerman Herwig Zahorka, mereka yang pada awalnya memang ditugaskan di Indonesia pada era militer Jepang berkuasa (1942-1945) pada saat Perang Dunia II berakhir, diwajibkan untuk menyerahkan diri kepada pihak Sekutu. Tersebutlah Warner dan Losche. Mereka berdua adalah anggota Angkatan Laut Jerman (Kriegsmarine) yang pada 1945 ditawan tentara Inggris di Jakarta lalu “dibuang” ke Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Selanjutnya militer Belanda menangani mereka sebelum diberangkatkan ke Eropa. Di Onrust, para tawanan perang ini mendapat perlakuan yang sangat buruk dari Belanda. Begitu buruknya, sehingga banyak orang-orang Jerman yang mati dimakan penyakit demam berdarah, malaria dan kelaparan. Sebagian yang masih hidup, bertahan dalam penderitaan. Banyak dari mereka yang coba melarikan diri dari "neraka" di Kepulauan Seribu itu. Ada yang berhasil dan ada pula yang gagal dan ditembak mati seperti seorang prajurit AL Jerman bernama Freitag. Menurut Zahorka, Werner dan Losche yang merupakan eks awak Kapal Selam U-219, berhasil lolos dari neraka Onrust. Begitu sampai di daratan Jakarta, mereka bergabung dengan para gerilyawan Indonesia dan menurut Ken Conboy dalam Intel , Warner dan Losche kemudian oleh Kolonel Zulkifli Lubis ditempatkan di Ambarawa selaku instruktur militer untuk pelatihan intelijen Republik Indonesia. “Salah seorang dari mereka yakni Losche bahkan gugur akibat kecelakaan saat merakit sejenis alat pelontar api,” ungkap Zahorka. Besin Baru-baru ini, saya juga mendapatkan informasi menarik dari arsip-arsip sejarah lokal dan para saksi sejarah Perang Kemerdekaan di wilayah Ciranjang, Cianjur. Dalam pertempuran brutal di sekitar Jembatan Cisokan Lama pada Maret 1946, 4 prajurit Gurkha tertawan pasukan Republik. Salah satunya bernama Besin dari Batalyon Gurkha Rifles 3/3. “Ia berhasil kami tangkap dan langsung kami tahan sebagai tawanan perang,” ungkap R.Makmur, veteran pejuang yang terlibat dalam pertempuran di Cisokan. Saat dilakukan tukar menukar tawanan, Besin menolak dikembalikan ke pasukannya. Dia lebih memilih untuk bergabung dengan pihak Republik sebagai ajudan wedana Ciranjang. Terakhir menurut Makmur, Besin menikahi perempuan setempat dan menghabiskan masa senjanya berkeliling menjajakan bilik (bahan untuk dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu). “Sebelum meninggal pada 1970-an, Besin berprofesi sebagai penjaga sebuah sekolah dasar di Ciranjang,” ujar Makmur. John Edward John adalah seorang letnan berkebangsaan Inggris dari Batalyon 6 South Wales Border Brigade 4 pimpinan Brigjen TED Kelly. Dia membelot ke pihak Republik pada 1946 dan bergabung dengan Batalyon B pimpinan Kapten Nip Xarim. Dia lantas dibawa ke Aceh dan menjadi penyiar bahasa Inggris  Radio Rimba Raya.  Kadang-kadang dia menjadi ajudan Komandan Divisi X Kolonel Husein Yusuf. Beberapa waktu kemudian, pangkatnya dinaikan menjadi kapten. Di kalangan gerilyawan Indonesia kawasan Sumatera, John Edward lebih dikenal sebagai Kapten Abdullah Inggris. “Setelah memperistri perempuan Pematang Siantar, dia masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdullah Siregar. John Edward meninggal di Pematang Siantar pada tahun 1956 sebagai orang biasa yang hidupnya sangat sederhana,” ujar Muhammad TWH, jurnalis sepuh Medan yang pernah mendalami kehidupan Edward. Yang Chil Sung Yang Chil Sung dikenal oleh masayarakat Wanaraja di Garut dengan nama Komaruddin. Sebagai pemuda Korea yang ikut tentara Jepang ke Indonesia, Chil Sung bersama pasukannya pada Maret 1946 terlibat dalam pertempuran dengan Pasukan Pangeran Papak (PPP). Mereka kemudian tertawan dan menyatakan bergabung dengan kekuatan lasykar asal Garut tersebut. Menurut Utsumi Aiko dalam  Sekidoka no Chosenjin hanran (Pemberontakan Orang Korea Di Bawah Garis Khatulistiwa),   selama bergabung dengan PPP, Chil Sung menjadi insiator berbagai penyerangan terhadap basis-basis militer Belanda di Garut selama 1946-1948. Salah satu aksinya yang paling dikenal adalah ketika dia berhasil menghancurkan Jembatan Cinunuk sehingga militer Belanda gagal menguasai Wanaraja. Pada 25 Oktober 1948, bersama enam anggota PPP lainnya, Chil Sung berhasil diciduk militer Belanda di Parentas (perbatasan Garut-Tasikmalaya). Tujuh bulan kemudian, bersama koleganya dari Jepang yang tergabung dalam PPP (Katsuo Hasegawa dan Masharo Aiko), Chil Sung ditembak mati di Kerkof, Garut. Makamnya sekarang ada di Taman Makam Pahlawan Tenjolaya Garut.

bottom of page