top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Hari Raya Qurban di Kamp Plantungan

Meski hidup sebagai tapol dan penuh keterbatasan, mereka tetap bisa merayakan Idul Adha.

Oleh :
11 Agu 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ilustrasi penyembelihan hewan qurban. Foto: Fernando Randy/Historia.

DI Kamp Plantungan, para tahanan politik (tapol) bangun lebih dini. Hari itu merupakan hari raya Idul Adha ketiga sejak mereka menghuni kamp. Berbeda dari dua hari raya sebelumnya di mana para tapol sholat ied hanya dengan sesama tapol dan diimami rohaniawan Islam (rohis), Idul Adha kali ini mereka diizinkan sholat ied berbaur dengan masyarakat Desa Sangubanyu yang terletak di atas kamp.


Setelah selesai mempersiapkan diri, satu per satu tapol bergegas menuju lapangan berumput sekitar pohon raksasa yang konon telah ditanam ketika Ratu Yuliana lahir pada 1909. Di sanalah sholat ied biasa dihelat.


Selesai salat, mereka saling bersalaman kemudian siap-siap menyelenggarakan qurban.  Penyembelihan dilakukan dekat dapur, belakang kamar Blok C. Orang-orang berkerumun, berusaha membantu dan menyaksikan pesta daging setahun sekali itu.


Hewan qurban berasal dari empat orang rohis yang masing-masing memberi seekor kambing. Para tapol juga ikut memberi dua-tiga ekor hewan meski berada di tengah penderitaan dan keterbatasan. Kambing atau domba qurban itu berasal dari Unit Produksi Peternakan (UPP) kamp.


UPP punya setidaknya 50 ekor kambing atau domba. Hewan ternak lain yang dikembangbiakkan antara lain 200 ekor ayam petelur dan 100 bebek. Letak kandang-kandang ternak itu tak jauh dari dapur. Beberapa tapol ditempatkan pada unit ini dengan tugas membersihkan kandang, memberi makan, dan memandikan ternak.  


Menurut Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan, UPP dibentuk untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari para tapol. Telur-telur ayam biasanya dijual, uangnya digunakan untuk membeli keperluan seperti sabun. Sementara, telur bebek lebih sering digunakan untuk menambah lauk-pauk di kamp. Ayam petelur dan bebek tua kadang disembelih untuk menambah variasi lauk. Pada hari besar seperti Idul Adha, kambing hasil ternak itu disembelih.


Mia Bustam, istri pelukis Sudjojono, memilih menyingkir dari kamarnya di Blok C ke aula pada saat qurban dilaksanakan. “Tak tega aku mendengar suara penyembelihan itu,” kata Mia dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp. Ia bahkan tak mengambil porsi daging kambingnya dan memberikannya kepada siapapun yang mau.


Berbeda dari Mia yang menyingkir, Mbah Kung (kakek) tanpa rasa takut ikut menjadi jagal bersama para petugas kamp. Mbah Kung sebenarnya tapol perempuan bernama Sumarni, namun karena penampilannya yang wagu, ia sering disangka lelaki. Dadanya rata, bibirnya biru akibat sering merokok, dan suaranya parau rendah seperti lelaki. Orang-orang di kamp memanggilnya Mbah Kung.


Jauh sebelum masuk kamp, Mbah Kung menikah dengan orang muslim. Ia sendiri orang Kristen. Pernikahan mereka tidak direstui orang tua si lelaki yang muslim fanatik. Sakit hati dengan penolakan itu, Marni muda tak mau lagi berurusan dengan keluarga dan mantan suaminya. Ia memotong rambutnya jadi cepak lalu ikut pasukan gerilya.


Perawakannya yang wagu itu membuat Marni dengan mudah mengaku sebagai lelaki. Ketika ketahuan, Marni tetap diterima oleh pasukan. Saat perjuangan itulah Marni berkawan dengan Prayogo yang kemudian jadi komandan Kamp Plantungan. Lantaran teman seperjuangan dan tak punya rasa takut, Marni tak segan pada Prayogo bahkan berbicara dengan bahasa Jawa ngoko.


Rasa tak gentar itu pula yang Marni tunjukkan kala menyembelih hewan kurban. Ia melakukannya dengan cekatan, mulai dari menyembelih, menguliti, hingga memotong-motong daging. Hewan qurban yang sudah dipotong-potong itu kemudian dibagikan kepada warga desa sekitar kamp. Sementara, jatah daging para penghuni biasanya dimasak bersama-sama untuk lauk hari itu, menjadi gulai atau rendang.


Suatu kali, Idul Adha di kamp hampir bersamaan dengan Natal, hanya selisih dua hari. Salah seorang rohis, Machally, lalu menginisiasi agar dekorasi Natal juga diisi dengan ornamen Idul Adha. Maka, Mia pun membuat gambar Nabi Ibrahim naik bukit bersama putranya Ismail yang rela dikorbankan demi perintah Tuhan. Ketika hiasan itu dipajang, salah seorang tapol Protestan bertanya pada Mia.


“Bu Mia, bukankah yang dikorbankan itu Ishak?”


“Halah, biarlah tiap agama menganut kepercayaannya sendiri-sendiri,” kata Mia.


Machally pun senang melihatnya. Terlebih hiasan itu ditaruh pada panel di atas panggung sehingga terlihat sentral. Pada perayaan itu, baik tapol Kristen maupun Muslim bersuka-cita bersama.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page