top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Persahabatan Suryadarma dan Perwira Belanda

    USAI berpamitan dengan istri dan kedua anaknya, KSAU Komodor Suryadarma selaku tawanan Belanda kembali mengikuti pasukan yang membawanya. Dia dibawa ke Lapangan Udara (Lanud) Maguwo. Di sana Suryadarma kembali bergabung dengan para petinggi pemerintahan Republik Indonesia lain yang juga ditawan, termasuk Presiden Sukarno dan Wapres Moh. Hatta. Tak lama setelah menginjakkan kaki di Maguwo pada 22 Desember 1948 itu, Suryadarma dikejutkan oleh kedatangan seorang perwira penerbang Belanda berbaret merah. Setelah memberi hormat, perwira itu langsung menjabat tangan Suryadarma. Campur-aduk perasaan Suryadarma ketika membalas jabatan tangan perwira Belanda itu. Suryadarma jelas tak lupa pada perwira Belanda itu. AL Cox, nama perwira Belanda tadi, merupakan komandan Skadron Air Reconnaissance ke-4 Militaire Luchvaart-Koninklijke Netherlandsch Indische Leger (ML-KNIL) yang berbasis di Semarang. Namun, bukan jabatan Cox yang membuat Suryadarma mengingatnya. Bisa jadi Suryadarma sama sekali tak tahu apa jabatan Cox ketika itu lantaran keduanya lama tak bertemu. Suryadarma ingat Cox karena keduanya bersahabat. Perkenalan keduanya dimulai saat Suryadarma dan Cox sama-sama menjadi taruna di Akademi Militer Breda. Suryadarma dan Cox berbagi kamar yang sama. Cox pula yang aktif mengajak Suryadarma berkeliling ke berbagai tempat, bahkan hingga ke Belgia atau Denmark. Suryadarma juga diperkenalkan kepada keluarga Cox dan teman-temannya. Hari-hari indah itu “terhenti” ketika Suryadarma kembali ke tanah air setelah lulus. Keduanya tak pernah lagi bersua. Cox bertugas di negerinya, sementara Letda Suryadarma menghabiskan hari-harinya di tempat tugasnya, Batalion I Infanteri Magelang. Tak dinyana, cita-cita menjadi penerbang yang diimpikan Suryadarma membawanya kembali bertemu dengan Cox. Saat dia berupaya mewujudkan mimpi itu dengan menjadi pelajar di Sekolah Penerbangan Militer Kalijati, Cox mendapat tugas menjadi instruktur penerbang di sekolah yang sama. Cox mengetahui Suryadarma amat terpukul oleh peraturan diskriminatif yang diterapkan komandan sekolah Kolonel Van Hasellen. Peraturan itu, mengizinkan hanya perwira kulit putih yang diperbolehkan menjadi penerbang, membuat Suryadarma gagal menggapai mimpinya dan hanya diterima sebagai navigator. Maka ketika sang kolonel cuti untuk pulang ke Belanda, Cox memanfaatkannya untuk memberi kesempatan pada Suryadarma belajar terbang. Sekitar 30 jam terbang diberikannya sebagai ekstra kepada Suryadarma, meliputi dual training maupun solo crosscountry . Bukan hanya itu bantuan yang diberikan Cox. Sekembalinya Kolonel Hasellen dari cuti, Cox menemuinya. Dia meminta Hasellen memberikan kesempatan pada Suryadarma melakukan flight check karena telah menjalankan ekstra flight training dan dinyatakan lulus. Alih-alih menerima saran bawahannya, sang kolonel malah naik pitam. Apa yang dilakukan Cox dianggapnya tanpa seizin dia. Setelah menemui Suryadarma, Cox langsung memeluk dan meminta maaf lalu menceritakan segalanya. “Di (Suryadi), saya sudah melakukan yang terbaik untuk kamu,” ujar Cox, dikutip Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma . Suryadarma hanya bisa pasrah. Keduanya kembali berpisah setelah Suryadarma lulus dan ditugaskan ke tempat lain. Pendudukan Jepang yang datang tak lama kemudian memberi konsekuensi berbeda pada kedua perwira ML-KNIL itu. Suryadarma memilih desersi dari ML-KNIL dan beralih menjadi polisi Jepang, sementara Cox tetap di militer Belanda sehingga –bersama pasukan Sekutu– berada dalam posisi berlawanan dengan Jepang. Suryadarma dan Cox tak pernah kontak dan bertemu lagi sejak itu. Suryadarma sibuk mempertahankan kemerdekaan sambil membangun AURI begitu Indonesia merdeka.  Sementara, Cox beberapa kali pindah tugas dan menjadi andalan Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Bersama Letnan MWC de Jonge dan Letnan Sisselaar, Cox berangkat ke Eropa pada 12 Maret 1946 untuk meneliti tentang pembentukan pasukan para dan meminta bantuan pasukan para Inggris untuk mendukung terlaksananya pelatihan para di bekas Hindia Belanda. Cox menyelesaikan tugasnya dengan baik. Bersama pasukan para itu, Cox ikut terjun ke Lanud Maguwo. “Secara sangat mendadak, pada tanggal 19 Desember mereka melakukan serangan udara dengan sasaran Lapangan Terbang Maguwo, kemudian menduduki Yogya, ibukota Republik. Pukul 07.59 pesawat Dakota C-47 terbang dalam formasi berbanjar di atas Lapangan Udara Maguwo. Sementara itu, angkasa di atas lapangan menjadi gelap karena sebagian tertutup payung udara yang berkembang, ratusan jumlahnya,” tulis Irna HN Soewito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Kedatangan Cox di Maguwo sesaat sebelum Suryadarma dibuang bersama petinggi republik lain, mengagetkan Suryadarma. Pertemuan itu juga memberi kesan mendalam pada diri Cox. “Kegembiraan kemenangan kita pada waktu itu menjadi kesedihan karena aku harus berhadapan dengan sahabatku Suryadi, yang karena perkembangan politik, kita sekarang harus berhadapan sebagai musuh,” kata Cox dalam memoarnya, dikutip Adityawarman. Pertemuan singkat itu sekaligus menjadi perpisahan kembali Suryadarma dan Cox. Suryadarma kemudian dibuang ke Bangka mengikuti Wapres Moh. Hatta dan beberapa menteri lain, Cox sibuk dengan tugasnya mengikuti militer Belanda yang berupaya kembali menguasai Indonesia. Usai perang, Suryadarma sibuk membangun Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI), sedangkan Cox pulang ke negerinya. Tanpa diduga keduanya, Suryadarma dan Cox kembali bertemu pada 1968. Usai menghadiri pameran International Post and Plihatelic di Paris, Suryadarma –saat itu menjabat sebagai presiden Philatelic South East Asia– napak tilas ke Breda dan berkunjung ke rumah J. Lukkien, pilot pesawat yang ditumpangi Suryadarma ketika menjalankan misi pemboman terhadap kapal-kapal perang Jepang. Cox ternyata ada di rumah Lukkien. Ketiganya pun bereuni. Suryadarma amat gembira. Segala hal di masa lalu yang mereka alami bersama jadi topik obrolan. Suryadarma juga menyampaikan bahwa penolakannya menerima Wing terbangnya dari pemerintah Belanda dimaksudkan untuk menunjukkan kepada AU Belanda bahwa dirinya sebagai navigator ( waarnemer ) pribumi lulusan Kalijati bukan hanya mampu jadi penerbang tapi juga membangun angkatan udara dari nol sampai menjadi yang terkuat di bumi belahan selatan. “Malam itu berakhir dengan mereka bertiga saling berpelukan dan saling berdoa Namun, ternyata malam itu merupakan malam perjumpaan terakhir mereka bertiga,” tulis Adityawarman.

  • Dari Analog sampai 4G

    TAK peduli sekitar, orang-orang asik menatap layar ponsel pintar masing-masing. Di kereta, dalam bus, atau di jalan sambil memantau peta online. Berselancar di dumay kala naik kendaraan berkecepatan tinggi dimungkinkan lantaran teknologi komunikasi generasi keempat (4G). Pemandangan itu jelas tak mungkin ditemukan di zaman dulu. Jangankan internet, komunikasi jarak jauh hanya bisa dilakukan melalui telepon, itu pun masih analog. Prinsip kerja telepon generasi pertama, sering disebut telepon engkol, yakni mengirimkan gelombang suara yang sudah diubah menjadi sinyal listrik ke transmitter. Begitu sampai di receiver yang terhubung ke speaker, sinyal listrik kembali diubah menjadi gelombang suara. Pengguna telepon engkol harus memutar tuas telepon untuk menyambungkan dengan sentral telepon. Bel kemudian berbunyi di sentral telepon. “Kalau ada yang mau menelepon, nanti terdengar ceklok, ceklok kayak ayam berkokok. Kalau sedang banyak yang pakai, suaranya ramai sekali. Kami dulu suka tertawa dengar suaranya karena lucu. Itu juga tanda kami akan dapat uang,” kata Koesmarihati, mantan pegawai di Sentral Telepon Telkom ketika masih era analog. Operator di sentral telepon lalu menghubungkan sinyal masuk tadi dengan telepon tujuan secara manual dengan mencolokkan kabel-kabel sambungan ke papan hubung telepon. Operator di sentral telepon bekerja di depan papan hubung. Sumber: Sunshine Coast Daily Sistem itu ditinggalkan ketika teknologi telepon otomat muncul. Sambungan telepon tak lagi dikerjakan manual dan telepon engkol masuk museum. Pada 1992, ketika Cacuk Sudarijanto menjadi Direktur Utama Telkom, jumlah sentral telepon otomat ditambah dalam jumlah besar. Banyaknya sentral telepon otomat ini menyuburkan pemasangan telepon rumah dan memungkinkan pengadaan telepon umum ( public payphone ). Bersamaan dengan itu, ponsel generasi pertama (1G) mulai hadir di tengah masyarakat pada 1986. Ukurannya masih sebesar koper dan teknologinya menggunakan Nordic Mobile Technology (NMT). Ponsel lebih modern, menggunakan teknologi Advanced Mobile Phone System (AMPS), muncul pada 1991. Meski ukurannya lebih kecil, tetap saja belum cukup masuk saku. Usaha pemutakhiran ponsel kembali dilakukan Telkom pada 1993 lewat proyek percontohan untuk Global System for Mobile (GSM). Teknologi yang dikembangkan di Eropa dan Amerika Serikat pada 1980 dan diluncurkan 1990-an ini disebut juga dengan 2G sama seperti CDMA dan TDMA. Sistem yang digunakan sudah digital, tidak analog seperti NMT dan AMPS. “Pertama membangun menara dulu di Batam. Ada 3 yang dibangun, selesai tahun 1994,” kata Garuda Sugardo yang menjadi Kepala Pilot Project Telkom. PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) menjadi operator GSM pertama di Indonesia dengan kepemilikan saham oleh Telkom, Indosat, dan Bimagraha Telekomindo. Dua perusahaan pertama merupakan BUMN sementara yang disebut terakhir ialah perusahaan milik Bambang Triharmodjo. Anak k-3 Soeharto ini menguasai 45% saham Satelindo. Telkomsel beroperasi setahun kemudian, 26 Mei 1995. Teknologi 2G berbasis kartu ini memungkinkan orang berganti perangkat (gawai) tanpa kehilangan nomor lama. Fungsi yang ditawarkan pun tak sebatas komunikasi via suara dengan kecepatan 64 kbps (kilo bit per second), tetapi juga pesan digital (SMS). “Awalnya SMS itu cuma bisa ke sesama operator, kemudian berkembang bisa ke beda operator. Berkembang lagi bisa transmisi data meskipun masih terbatas, namanya teknologi 2.5G,” kata Koesmarihati yang pada 1995-1998 menjadi Direktur Utama Telkomsel. Teknologi 2.5G memungkinkan pengiriman data dengan teknologi Global Pocket Radio Service (GPRS). Indosat menjadi pelopor layanan GPRS dan MMS (pesan gambar) lewat IM3 yang dikeluarkan pada 2001. Kasmad Ariansyah dalam “Proyeksi Jumlah Pelanggan Telepon Bergerak Seluler di Indonesia” menulis, Telkomsel mengeluarkan teknologi GPRS dengan kecepatan 144 kbps setahun kemudian. Hingga pertengahaan 2000-an, para operator seluler menawarkan alternatif teknologi 2G, yakni CDMA meskipun beberapa merek redup di pasaran. Di lain pihak, operator yang sejak semula mengusung teknologi GSM menawarkan komunikasi berbasis data cepat yang populer disebut 3G. Teknologi ini dibangun pertamakali oleh perusahan telekomunikasi Jepang NTT Docomo. Pada Mei 2001, jarngan 3G nonkomersilnya pertama kali mengudara. Jaringan komersilnya baru mengudara pada 1 oktober di tahun yang sama. Kecepatan yang ditawarkan mencapai 2 Mbps. Telkomsel mulai menguji coba 3G pada Mei 2005. Seteleah melalui proses tender, pada Februari 2006 tiga operator ditetapkan sebagai pemegang lisensi layanan 3G: Telkomsel, XL, dan Indosat. Beberapa tahun terakhir, teknologi 4G umum dipakai. Generasi keempat ini pertama dipasarkan di Norwegia dan Swedia pada 2009. Fungsi yang ditawarkan hampir sama dengan 3G namun kecepatannya jauh lebih tinggi, yakni 100 Mbps. Ini memungkinkan pengguna untuk menonton video berdimensi tinggi dan mengakses data meski sedang bergerak dalam kecepatan tinggi, semisal di kereta atau mobil. Telkomsel menjadi operator pertama di Indonesia yang menawarkan teknologi 4G pada 2014. Diprediksi, pada 2020 teknologi yang akan muncul ialah 5G. Kecepatannya mencapai 1 Gpbs. Barangkali akan bikin orang makin menempel dengan ponselnya.

  • Pindah Ibu Kota Sudah Biasa

    Wacana pemindahan ibu kota dari Jakarta kembali ramai dibicarakan usai Presiden Joko Widodo menggelar rapat tertutup di Kantor Presiden, Jakarta, akhir bulan lalu. Salah satu alasannya, wilayah Jakarta sudah penuh disesaki 30 juta penduduk atau lebih dari 10 persen populasi Indonesia. “DKI Jakarta kini memikul dua beban sekaligus: sebagai pusat pemerintahan dan layanan publik, juga pusat bisnis. Banyak negara memindahkan ibu kotanya, sementara kita hanya menjadikannya gagasan di setiap era Presiden. Menurut Anda, di mana sebaiknya ibu kota negara Indonesia?” tulis Jokowi di akun Twitter -nya, Senin (29/4). Ini bukan pertama kalinya presiden Indonesia mempertimbangkan untuk memindahkan ibu kota. Proposal untuk pemindahan ibu kota ke Palangkaraya muncul awal 1950-an, di era Soekarno. Pun pemerintahan Jokowi sudah mempelajari kelayakan pemindahan ibu kota ke Palangkaraya sejak 2017. Jauh sebelum masa itu, memindahkan ibu kota negara sebenarnya merupakan hal yang biasa terjadi, khususnya dalam sejarah Jawa. Namun pada masa lalu, keputusan itu sering kali disebabkan karena adanya invasi musuh. Epigraf Boechari dalam tulisannya, “Shift of Mataram’s Centre of Government”, menyebut hal itu masuk akal. Sebab, orang Jawa mempercayai keraton yang telah diserang musuh sudah tak suci lagi dan harus dipindah. Ada pula kepercayaan terhadap siklus yuga. Dalam ajaran Hindu ada empat jenjang masa dalam siklus yuga, yaitu Dwaparayuga, Tretayuga, Satyayuga, dan Kaliyuga. Zaman Kaliyuga disebut pula zaman kegelapan. Berdasarkan itu, penguasa yang berada di generasi keempat diharuskan untuk memindahkan kerajaannya ke tempat lain agar terhindar dari kekacauan. Hal itu terlihat ketika Sultan Agung memindahkan ibu kota ke Karta. Dia mewakili penguasa ke-4 dari Ki Ageng Pamanahan, sang pendiri dinasti. Amangkurat I juga memindahkan ibu kota dari Karta ke Plered. Dia merepresentasikan generasi ke-4 dari Panembahan Senopati, penguasa pertama Mataram Islam. Sebelum Mataram Islam, beberapa kerajaan kuno pernah memindahkan ibu kota kerajaannya, di antaranya sebagai berikut: Mataram Kuno Ibu kota Mataram Kuno atau Medang misalnya, paling tidak pernah pindah dua kali pada periode Jawa Tengah. Buktinya dalam Prasasti Siwagraha (778 Saka/856 M) dan Prasasti Mantyasih I (829 Saka/907 M) disebutkan Mamratipura dan Poh Pitu sebagai ibu kota. Dalam Prasasti Siwagraha disebutkan Dyah Lokapala ditahbiskan pada 778 Saka di Keraton Medang di Mamaratipura. Sementara Prasasti Mantyasih I mengisahkan seorang raja pada masa lalu yang tinggal di Keraton Medang di Poh Pitu. Boechari menjelaskan ada beberapa desa bernama Medang tersebar antara Purwodadi-Grobogan dan Blora di bagian utara Jawa Tengah sekarang. Namun apakah dulunya desa-desa itu bagian dari pusat Kerajaan Mataram Kuno pada masa lalu, itu belum bisa dibuktikan. Pada era Mpu Sindok atau Sri Isyana Vikramadhammatunggadeva sekira 929 M, kerajaan ini dipindahkan ke Jawa bagian timur. Banyak pendapat soal alasan kepindahannya. Kahuripan Airlangga pendiri Kerajaan Kahuripan, pernah memindahkan kerajaannya dua kali. Ibu kota pertama dibangun ketika dia ditahbiskan menjadi raja setelah hancurnya pemerintahan Dharmawangsa Tguh. Lokasinya di Wwatan Mas, sebagaimana disebutkan dalam Prasasti Cane (943 Saka/1021 M). Dalam Prasasti Kamalagyan (959 Saka/1037 M), Kahuripan disebutkan sebagai lokasi keraton Airlangga. Boechari berpendapat, perpindahan ini disebabkan adanya invasi musuh. Pendapatnya didasarkan pada Prasasti Terep dari 954 Saka (1032 M). Ada kemungkinan juga kerajaan ini kembali dipindahkan ke Dahana(pura). Itu ditunjukkan dengan kemunculan kata “dahana” yang diukir dalam aksara kuadrat besar pada Prasasti Pamwatan (964 Saka/1042 M). Namun tak ada bukti soal alasan kepindahan ibu kota yang kedua ini. Majapahit Kerajaan Majapahit kemungkinan juga telah berpindah-pindah ibu kota beberapa kali. Penguasa pertamanya, Wijaya, membangun kerajaan di Tarik atau Trik yang ada di delta Sungai Brantas, sebelah timur Kota Mojokerto saat ini. Pendirian itu dikisahkan dalam naskah Pararaton, Nagakartagama, Kidung Ranggalawe, Kidung Harsawijaya , serta diabadikan dalam Prasasti Kudadu (1294 M) dan Prasasti Sukamrta (1296 M). Sedikit sekali dari ibu kota pertama Majapahit ini yang tersisa sampai sekarang. Namun, belum lama ini, warga mendapati bekas bangunan bata, fosil kayu, dan hewan di areal persawahan dan makam di Dusun Kedungklinter, Desa Kedungbocok, Kecamatan Tarik, Sidoarjo. Diduga situs ini merupakan cikal-bakal Kerajaan Majapahit. Berbeda dengan ibu kota pertamanya itu, lebih banyak bukti arkeologis ditemukan di Trowulan, Mojokerto. Hal ini yang menambah kemungkinan untuk menunjuk wilayah itu sebagai ibu kota Majapahit berikutnya. Mataram Islam Babad Tanah Jawi memberi bukti adanya perpindahan ibu kota pada masa Kerajaan Mataram Islam. Ki Ageng Pamanahan membangun sebuah permukiman di Kuta Gede, di mana Kota Gede, Yogyakarta kini berada. Kemudian anaknya, Panembahan Senapati, penguasa pertama Mataram, membangun tembok di sekelilingnya. Cucu Panembahan Senapati, Sultan Agung, membangun keraton baru di Karta. Sementara anak dan pewaris takhta berikutnya memindahkan lokasi keraton ke Plered. Pada 1677, ibu kota baru itu diserang pasukan Trunajaya yang memaksa Amangkurat melarikan diri ke barat dan tewas di Tegalarum. Setelah serangan itu, ibu kota baru dibangun di Wanakarta yang kemudian diberi nama baru Kartasura. Pada 1724, Kartasura digempur oleh Cakraningrat IV dari Madura. Kemudian setelah takhta dikuasai Susuhunan Pakubuwono II, sebuah tempat baru dibangun di Surakarta pada 1744.

  • Anthem Liverpool, Lagu Teater Musikal yang Mengglobal

    LANTUNAN lirik lagu itu bergema di segenap pelosok Stadion Anfield. Nada dan maknanya begitu kuat hingga membuat bulu kuduk merinding. Sebuah anthem legendaris bertajuk “You’ll Never Walk Alone” mengiringi perjuangan dahsyat Jordan Henderson dkk. ketika menghadapi tim bertabur bintang Barcelona di partai leg kedua semifinal Liga Champions, Selasa (7/5/2019) malam atau Rabu (8/5/2019) dini hari WIB. Liverpool bikin geger. Setelah digilas 0-3 pada leg sebelumnya di Camp Nou, markas Barcelona, “The Reds” membalik keadaan Anfield kendati tampil tanpa trio “Firmansah” alias Firmino, Mané, Salah. “Gempa lokal” terjadi beberapakali setelah Divock Origi dan Giorginio Wijnaldum, masing-masing mencetak dua gol, bergantian menjebol gawang Marc-André ter Stegen. Alhasil, laga berakhir 4-0, “The Reds” membalikkan agregat jadi 4-3 dan melaju ke final. Penampilan itu jadi salah satu comeback terhebat Liverpool dalam sejarah Liga Champions setelah yang dilakukannya pada 2005 ketika membalik skor AC Milan di final. Klopp dan anak-anak asuhnya lantas tenggelam dalam selebrasi dan bersama saling menyanyikan anthem mereka. “ Walk on, walk on. With hope in your heart. And you’ll never walk alone…You’ll never walk alone.” ’ Lagu Teater Musikal Lagu yang populer disingkat YNWA itu aslinya merupakan salah satu lagu pengiring teater musikal Broadway bertajuk Carousel! . Diciptakan duet Richard Rodgers dan Oscar Hammerstein II pada April 1945, YNWA mengisahkan kehidupan seorang janda yang ditinggal mati suaminya akibat perang. Masa itu Perang Dunia II memasuki babak akhir. “’You’ll Never Walk Alone’ merupakan pelipur lara bagi para janda perang yang hidup sendiri untuk melanjutkan hidup bersama anak-anaknya berbekal uang pensiun mendiang suaminya,” ungkap Tim Carter dalam Rodgers and Hammerstein’s Carousel. Tembang karya Rodgers-Hammerstein itu lantas direkam Frank Sinatra di tahun yang sama. Banyak musisi lantas latah meng- cover YNWA. “Semenjak saat itu lagunya turut di- cover Elvis Presley, Ray Charles, Johnny Cash, Bob Dylan, Paul McCartney, dan Aretha Franklin. Baru pada 1960-an ketika Gerry Marsden yang tergabung di band asal Liverpool, Gerry and the Pacemakers, turut merekam lagu itu hingga menjadi lagu sepakbola ayng dikenal dunia,” tulis Daniel J. Svyantek dalam Sports and Understanding Organizations . Gerry and the Pacemakers mengaransemen ulang You"ll Never Walk Alone pada 1963 (Foto: Wikipedia/Metropolitan Photo Service) Gerry and the Pacemakers mengaransemen ulang YNWA jadi lebih nge-pop dan bernuansa Merseybeat. Hasil recording pada 2 Juli 1963 itu dirilis tiga bulan kemudian dan berhasil masuk top 10 lagu terpopuler Inggris. Saat itu, hanya Stadion Anfield yang punya disc jockey (DJ) yang acap memutar 10 lagu terpopuler lewat pengeras suara sebelum kick-off. YNWA pertamakali diperdengarkan di Anfield pada 19 Oktober 1963, jelang “ The Reds ” menjamu West Bromwich Albion. Sepuluh hari kemudian lagu itu melesat ke puncak tangga lagu. “Mereka (DJ stadion) memainkan lagu top 10 (biasanya) dari 10 ke urutan satu. Jadi ketika (You’ll Never) Walk Alone naik ke urutan nomor satu, dimainkan sebelum kick off,” ujar Marsden, dikutip Independent , 25 Oktober 2013. Pada 29 Oktober 1963, YNWA diputar persis jelang laga. Mulai saat itulah ia masuk ke relung hati para Liverpudlian. “Empat pekan lagu itu jadi yang teratas dan ketika tak lagi masuk top 10, lagu itu mulai dipinta the Kop (julukan suporter Liverpool): ‘Mana lagu kami? Mana lagu kami?’,” sambung Marsden. Hingga akhir musim di mana Liverpool juara, lagu itu “otomatis” jadi anthem klub yang sekota dengan band legendaris The Beatles itu. Lagu YNWA lantas “resmi diberikan” Gerry and the Pacemakers untuk Liverpool saat keduanya tampil bersamaan di program The Ed Sullivan Show milik CBS pada musim panas 1964. “Saya yang meminta Ed (host acara) untuk turut mendatangkan tim ke acara itu. Saat bertemu di acara itu, Bill Shankly (pelatih Liverpool) berkata: Gerry, saya telah memberi Anda sebuah tim untuk dibanggakan dan Anda telah memberi kami lagu untuk dibanggakan’,” ujarnya menirukan Shankly. Kendati YNWA lantas juga dijadikan “anthem” beberapa klub lain, seperti Glasgow Celtic (Skotlandia) atau Borussia Dortmund (Jerman), publik global lebih mengenal YNWA lekat kepada Liverpool.

  • Debat Pendiri Bangsa Soal Papua

    PAPUA, wilayah di ujung timur negeri ini kerap memantik silang pendapat sejak dulu hingga sekarang. Ketika para pendiri bangsa merancang luas wilayah Indonesia, debat alot bergaung saat membahas Papua. Rekaman perbincangan ini tercatat dalam dalam rapat BPUPKI pada 10—11 Juli 1945. Suara yang menyetujui masuknya Papua ke dalam wilayah Indonesia didahului oleh Kahar Muzakkar, wakil dari Sulawesi Selatan. Pendapat Kahar Muzakkar dilandasi pertimbangan pragmatis. Namun, dia tetap menghargai rakyat Papua apabila ingin bergabung, bergabunglah secara sukarela. “Biarlah yang tinggal di Papua (yang) agak lebih hitam-hitaman sedikit daripada kita, akan tetapi tanah Papua itu pula menjadi sumber kekayaan kita. Janganlah sumber kekayaan yang diwariskan nenek moyang kita hilang dengan sia-sia belaka,” kata Kahar tercatat dalam Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 29 Mei 1945—19 Agustus 1945. Mohammad Yamin, salah satu anggota yang lain, menguraikan pendapatnya yang cukup panjang. Dia merumuskan konsep Indonesia Raya yang terbentang meliputi wilayah bekas Hindia Belanda, Borneo Utara (Sabah dan Sarawak), Malaya, Timor Portugis (kini Timor Leste), hingga Papua. Menurut Yamin, secara historis, politik, dan geopolitik, wilayah-wilayah tadi merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Soal Papua pun demikian. “Papua adalah wilayah Indonesia,” kata Yamin. Menurut Yamin, posisi Papua sebagai pintu gerbang kawasan Pasifik sangat menentukan secara geopolitik. “Sehingga untuk menyempurnakan daerah yang berarti kuat dan abadi, perlulah pulau Papua seluruhnya dimasukan ke dalam Republik Indonesia,” ujar Yamin. Yamin yang seorang ahli hukum dan pakar sejarah itu juga mengikat Papua dengan gagasan historisnya. Bahwa di masa lalu, Papua merupakan vassal (daerah penaklukkan) kerajaan Tidore di Maluku. “Sebahagian dari pulau Papua adalah masuk lingkungan dan adat kerajaan Tidore, sehingga dengan sendirinya daerah itu benar-benar daerah Indonesia,” kata Yamin. Dengan dalil itu, maka jelas sudah alasan untuk memasukan Papua ke dalam kekuasaan negara Indonesia. Keesokan harinya, sidang masih berlanjut dengan agenda pembahasan yang sama. Mohammad Hatta memajukan usulan yang berlainan dengan konsep Yamin. Gagasan “ilmiah” Yamin agak kurang masuk akal bagi Hatta. Khusus untuk Papua, Hatta tidak sepakat memasukan wilayah ini ke dalam Republik Indonesia. Menilik kesamaan etnis yang serumpun Melayu, Hatta lebih memilih Malaya dan Borneo Utara bersama dengan bekas wilayah Hindia Belanda sebagai keseluruhan Indonesia. “Sekiranya bagian Papua itu ditukar dengan Borneo Utara, saya tidak berkeberatan, malah bersyukur,” kata Hatta. “Karena, seperti saya katakan dahulu, saya tidak minta lebih dari pada tanah air Indonesia yang dulu dijajah oleh Belanda.” Mengenai Papua, Hatta mengatakan bahwa orang Papua berasal dari bangsa Melanesia, berbeda dengan Indonesia yang Melayu. Menurut perhitungannya, pemerintah Indonesia kelak masih belum cukup mapan mendidik rakyat Papua menjadi bangsa yang merdeka. Sehingga bagi Hatta, adalah lebih baik menyerahkan masa depan Papua kepada rakyat Papua sendiri atau biar ditangani saja oleh Jepang. Sukarno lalu datang menyampaikan suara yang senada dengan gagasan Yamin. Menurut Sukarno, wilayah Indonesia yang terbentang dari Sumatera hingga Papua adalah karunia Tuhan. Mengutip kitab Negarakertagama (yang dibuat cendekiawan Kerajaan Majapahit, Mpu Prapanca pada 1365), Sukarno menyatakan bahwa sejatinya kekuasaan Kerajaan Majapahit melebar hingga ke pulau Papua.    Gagasan Yamin dan Sukarno tampaknya mendapat banyak dukungan dari kebanyakan anggota. Silang gagasan pun tidak terhindarkan. Tokoh senior, Agus Salim, dari kalangan Islam dan Soetardjo yang mantan anggota Volksraad prihatin menyaksikan perdebatan. Mereka mengingatkan agar persoalan Papua jangan sampai jadi bahan pertikaian pendapat. “Pada hari yang lain kita boleh membicarakan soal Papua, tetapi untuk sekarang, untuk sementara waktu, hendaknya kita tunda saja soal Papua. Tuan Ketua, satu kali terlepas dari tangan kita, nanti Papua itu menjadi benda pertikaian menjadi benda perselisihan antara saudara-saudara,” kata Soetardjo. Pun demikian dengan Alexander Maramis, anggota dari Manado, yang menganjurkan agar menunggu sikap penduduk Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua untuk bergabung dengan Indonesia. Untuk memecahkan kebuntuan, Ketua BPUPKI, Radjiman Wedyodiningrat mengadakan pemungutan suara. Ada tiga opsi untuk dipilih sebagai wilayah negara Indonesia: (1) seluruh Hindia Belanda; (2) Hindia Belanda ditambah Malaya, Borneo Utara, Timor, dan Papua; (3) Hindia Belanda ditambah Malaya dan Borneo Utara minus Papua. Hasilnya, dari 66 peserta sidang, opsi nomor 1 memperoleh 19 suara, opsi nomor 2 memperoleh 39 suara, opsi nomor 3 memperoleh 6 suara, blangko 1 suara, dan lain-lain 1 suara. Pada akhirnya, gagasan kesatuan Yamin dan Sukarno memperoleh suara terbanyak. Konsep ini lah yang kemudian diterima sebagai wilayah Indonesia Raya, dari Sabang sampai Merauke. Sementara usulan Hatta dimentahkan dalam forum karena mendapat suara paling sedikit.   Menurut sejarawan Belanda Pieter Drooglever, penentuan masa depan Papua yang dirembug dalam forum BPUPKI bukanlah wadah yang representatif. Pasalnya, tiada seorang pun wakil dari Papua yang menyampaikan suaranya di sana. Dilibatkan pun tidak. Wakil Papua baru tampil sebagai delegasi setahun kemudian dalam Konferensi Malino- perundingan yang diselenggarakan pihak Belanda.    Mayoritas para anggota BPUPKI berasal dari Sumatera dan Jawa. Satu-satunya wakil dari kawasan paling timur adalah Johanes Latuharhary yang berasal dari Ambon. Kepentingan kaum Republikan sangat mendominasi. Hatta merupakan satu-satunya tokoh yang bersikap rasional soal Papua. “Semua ini merupakan pilihan-pilihan yang interesan, yang di dalam dasawarsa mendatang tetap akan membuat gejolak dalam percaturan politik di Asia Tenggara. Akan tetapi, untuk sementara hasilnya sedikit saja,” tulis Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri . Mufakat pendiri bangsa dalam BPUPKI itu nyatanya tetap menyisakan debat di kemudian hari. Ketika Indonesia merdeka, Latuharhary ditunjuk sebagai Gubernur Maluku, yang wilayah ampunya sampai ke Papua. Namun Latuharhary tidak pernah berada di Papua menjalankan pemerintahan. Belanda keburu datang untuk berkuasa kembali. Belanda tetap bercokol di Papua bahkan setelah pengakuan kedaulatan pada 1949. Sengketa panjang Belanda dengan Republik Indonesia pun dimulai.

  • Serba-serbi Penjaga Persilangan Kereta Api

    KERJA menjaga persilangan kereta dengan kendaraan bermotor sekilas terlihat mudah. Sudah ada sejumlah petunjuk teknis dan peralatan pembantu di dalam gardu jaga. Penjaga tinggal menerima sinyal otomatis tanda kereta akan lewat, menjawab panggilan telepon dari petugas stasiun, membunyikan alarm, dan menekan tombol palang penutup persilangan.

  • Daya Tarik Seksual Selir

    Beberapa raja di Jawa Tengah selatan pada abad ke-19 bangga mempunyai banyak perempuan di Keputren. Kebanggan itu terutama terkait kekuatan seksual sang raja. Raja Jawa Tengah selatan memiliki empat istri resmi atau  garwa padmi  dan sejumlah istri tak resmi, yaitu selir atau  garwa ampeyan.  Daya tarik seksual penting dipahami oleh para gadis di lingkungan keraton demi kelangsungan karier sebagai selir. Di antara istri itu terjadi persaingan. Khususnya persaingan di antara para permaisuri yang ingin keturunannya menjadi penerus raja. Karenanya ada kiat-kita jitu agar perempuan di Keputren menjadi terfavorit. Misalnya, terlihat dari pendidikan yang diberikan kepada anak gadis oleh ibunya di Keraton Surakarta.  “Pelajaran tentang menulis, membordir, dan menjahit tidak memiliki tempat, yang dianggap perlu untuk anak perempuan adalah melatih mereka bagaimana mengatur kecantikan,” tulis J.W. Winter sebagaimana dikutip Peter Carey dalam  Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-VIX . J.W. Winter, penerjemah resmi di Surakarta mengatakan, pengetahuan yang diberikan kepada perempuan muda hanya satu hal, yaitu bagaimana berparas cantik, berlagak sopan, dan bertingkah laku pantas. Juga bagaimana pergi dengan payudara yang hampir telanjang bulat. Mereka diajari bagaimana menghindari bicara ketika bergaul. Mereka harus berlatih berpura-pura berwajah merona malu-malu. Gadis-gadis muda itu dididik untuk tahu bagaimana caranya bersikap sembunyi-sembunyi hingga pada akhirnya dipilih sebagai perempuan, yang menurut istilah Winter sebagai piaraan Sunan, di Keputren. Mereka bisa memakai daya tarik seksualnya untuk memikat raja supaya lebih disukai dibanding semua selir yang lain. “Dari kecil, mereka diajar menepis semua rasa malu,” catatnya.   Di antara selir-selir Sultan Kedua Yogyakarta, disebutkan dua orang selir dari golongan kedua yang terkenal karena kecantikannya.  Pertama, Bendoro Mas Ajeng Rantamsari. Sebelum menjadi selir sultan, dia merupakan penyanyi dan penari ( teledek ). Suatu pekerjaan yang membutuhkan pesona dan daya tarik seksual luar biasa. Kedua, Mas Ayu Sumarsonowati. Dia terkenal karena warna kulitnya yang kuning-putih warisan darah peranakan Tionghoa dari pesisir utara. Kendati begitu, sebagaimana dicatat Ann Kumar dalam  Prajurit Perempuan Jawa , sebagai istri bangsawan, menjadi  prajurit éstri  masih lebih beruntung daripada menjadi selir raja. Selir raja tidak boleh menerima tawaran pernikahan selama raja masih hidup. Bahkan sering kali tetap tak boleh meski raja telah meninggal. Itu meski mereka tak jarang dihadiahkan kepada bangsawan untuk dijadikan istri.   Namun, Carey menilai kalau kriteria seksual sebagai kunci hubungan penguasa dan selir itu tak selamanya benar. Latar belakang keluarga perempuan jauh lebih penting. “Pernikahan diatur dengan tujuan pokok membentuk aliansi politik dengan keluarga lokal yang kuat atau berpotensi bermusuhan,” catatnya.

  • Asal Usul Setan Gundul

    Makhluk halus kembali muncul dalam politik terkini. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebut genderuwo untuk politisi yang suka menakut-nakuti. Kali ini, Wakil Sekjen Partai Demokrat Andi Arief, yang beberapa kali menjadi pemberitaan, menyebut setan gundul. “Dalam Koalisi Adil Makmur ada Gerindra, Demokrat, PKS, PAN, Berkarya, dan rakyat. Dalam perjalanannya, muncul elemen setan gundul yang tidak rasional, mendominasi, dan cilakanya Pak Prabowo mensubordinasikan dirinya. Setan gundul ini yang memasok kesesatan menang 62 persen,” kata Andi Arief dalam akun  Twitter -nya, Senin (6/5/2019). Dalam cuitan berikutnya, Andi Arief menyebut “Partai Demokrat hanya ingin melanjutkan koalisi dengan Gerindra, PAN, PKS, Berkarya dan Rakyat. Jika Pak Prabowo lebih memilih mensubordinasikan koalisi dengan kelompok setan gundul, Partai Demokrat akan memilih jalan sendiri yang tidak hianati rakyat.” Siapakah kelompok setan gundul itu? Andi Arief tidak menyebutnya dengan jelas. Namun, reaksi datang dari petinggi PKS. Wakil Ketua Majelis Syuro PKS Hidayat Nur Wahid merespons soal angka 62 persen. Menurutnya justru survey internal Partai Demokrat yang menyebut bahwa Prabowo menang dengan 62 persen. Andi Arief meluruskan bahwa yang benar adalah 62 persen kader Partai Demokrat mendukung pencalonan Pak Prabowo. Setan gundul itu tentu saja bukan makhluk halus yang sebenarnya. Sejarawan Peter Boomgard menemukan sumber dari tahun 1860yang menyebut setan gundul atau gundul . H.A. van Hien dalam De Javaansche Geestenwereld (1894) menggambarkan gundul seperti seorang bocah berumur empat atau lima tahun dengan kepala gundul seperti umumnya anak Jawa. Ia memberikan kekayaan kepada tuannya. “Jelas, ada persamaan antara gundul dan tuyul ,” kata Boomgard . “ Gundul kemudian hilang begitu saja pada 1930-an dan 1940-an. Dan inilah saatnya tuyul memulai kariernya.” Setan gundul yang dimaksud Andi Arief merupakan istilah politik yang pernah muncul pada masa akhir Orde Baru. Menurut Agus R. Sardjono, disebutnya setan gundul membuat prestise hantu menjadi naik. “Kata ini digunakan untuk pihak-pihak yang membakar atau menimbulkan huru-hara, baik dalam demonstrasi maupun kerusuhan biasa,” tulis Agus dalam Bahasa dan Bonafiditas Hantu. Istilah setan gundul pertama kali disampaikan oleh Presiden Soeharto. Menurut laporan Peristiwa 27 Juli yang diterbitkan Institut Studi Arus Informasi (1997), pada mulanya adalah pernyataan Presiden Soeharto ketika menerima pengurus DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dua hari menjelang Peristiwa 27 Juli 1996 (Kudatuli). Kepada Soerjadi, Ketua Umum DPP PDI dan kawan-kawannya,Soeharto mengatakan agar mewaspadai setan-setan gundul yang ikut bermain dalam kemelut PDI. Memang pernyataannya tidak menyebut secara eksplisit siapa yang dimaksud setan gundul itu. Namun, lewat Soerjadi, Soeharto agaknya menuding maksud setan gundul adalah kekuatan  antipemerintah yang bergabung dalam wadah Majelis Rakyat Indonesia (MARI). Terbentuknya MARI memang berkaitan dengan kemelut PDI. MARI merupakan koalisi 30 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan ormas-ormas yang mendukung Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI yang terpilih secara aklamasi dalam Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya tahun 1993. MARI didirikan pada 26 Juni 1996 di kantor YLBHI di Jalan Diponegoro 74 Jakarta. Pada pembentukannya hadir 60 orang wakil dari 30 organisasi , di antaranya Sukmawati Soekarnoputri, Djatikusumo, Mulyana W. Kusumah, Bambang Widjojanto, Muchtar Pakpahan, Budiman Sujatmiko, Ridwan Saidi, Yulius Usman , dan lain-lain. Dalam pertemuan itu, MARI mencetuskan empat tuntutan yang kemudian dikenal sebagai Catur Tura (empat tuntutan rakyat): (1) Turunkan harga, tingkatkan ekonomi rakyat; (2) Basmi sumber kolusi, korupsi, dan monopoli; (3) Pecat dan adili pengkhianat dan pemecah belah bangsa; (4) Cabut paket undang-undang politik. Menurut Muchtar Pakpahan, salah satu pencetusnya, MARI didirikan sebagai reaksi atas cara-cara pemerintah menangani konflik PDI. Pemerintah tidak mengakui Megawati sebagai Ketua Umum PDI. Dalam Kongres PDI di Medan pada 1996, pemerintah mendukung Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI. Mega mempertahankan posisinya sebagai Ketua Umum PDI. Kubu Soerjadi yang didukung pemerintah merebut paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro Jakarta pada 27 Juli 1996. Peristiwa Kudatuli itu menelan korban jiwa dan membuat beberapa aktivis mendekam di penjara. Menurut laporan Peristiwa 27 Juli , p ernyataan setan gundul dari Presiden Soeharto yang terkesan guyonan itu ternyata berdampak luas di kemudian hari. Setelah meletus peristiwa 27 Juli 1996 , aktivis-aktivis LSM –tergabung dalam MARI– yang distigma sebagai setan gundul itu diburu oleh aparat. Karena, seperti halnya PRD (Partai Rakyat Demokratik) , mereka bukan saja dianggap ikut bermain dalam kemelut PDI, melainkan juga dituduh sebagai penggerak terjadinya kerusuhan Sabtu kelabu itu.

  • Musabab Ponsel Murah

    CUMA bos-bos dan orang kaya yang sanggup beli telepon selular (Ponsel) pada pertengahan 1980-an sampai 1990-an. Maklum, harganya selangit. Ketika muncul tahun 1986, ponsel generasi pertama di Indonesia dibanderol 15-20 juta rupiah dengan kurs 1 dollar Amerika sama dengan 1386 rupiah. Jika dibandingkan dengan kurs dollar saat ini, kisaran 14 ribu-an, harga ponsel generasi pertama itu setara 150-250 juta rupiah. Wow! Orang biasa apalagi kaum papa, jangan pernah mimpi punya ya! Ponsel jadi barang asing di masyarakat. Mayoritas orang jelas tak tahu model penjualan ponsel kala itu yang masih satu paket dengan operatornya. Artinya, ponsel yang dibeli sudah termasuk nomor di dalamnya. Pasar ponsel kala itu masih dimonopoli Telkom dan mitra swastanya, Rajasa Hazanah Perkasa (RHP) dan Elektrindo Nusantara (EN), yang dimiliki anak-anak Soeharto. Telkom bertindak selaku penyedia jaringan, mitra-mitranya sebagai penyedia perangkat ponsel. Ketiadaan kompetitor membuat pihak penyedia bisa mematok harga sesuka hati. “Yang menetapkan harga ponsel bukan negara atau Telkom, tapi swasta yang pegang perangkat,” kata Koesmarihati, direktur Telkomsel pertama (1995-1998), kepada Historia. Era “feodal” itu baru berakhir setelah Orde Baru jatuh. Ponsel murah mulai bermunculan setelah pemerintah meliberalisasi telekomunikasi pada awal tahun 2000. Kebijakan liberalisasi itu merupakan buah dari perjuangan panjang sejak Indonesia bergabung dengan World Trade Organization (WTO) pada 1 Januari 1995. Pasal XVI ayat 4 aturan WTO menyatakan hukum, peraturan, dan prosedur administratif di tiap negara anggota harus selaras dengan kawajiban dalam kesepakatan WTO. Dalam pertemuan WTO di Uruguay tahun 1997, dihasilkan Perjanjian Dasar Telekomunikasi. Salah satu aturan di dalamnya memerintahkan para anggota untuk menghapus segala bentuk monopoli dan meliberalisasi pasar jasa telekomunikasi dasar. Perjanjian ini berlaku mulai 1 Januari 1998. Sebagai tindak lanjutnya, pemerintahan BJ Habibie mengeluarkan UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi, yang mulai diberlakukan pada September 2000. Pasal 10 UU No. 36 menyatakan pelarangan segala bentuk monopoli dalam bisnis telekomunikasi. Sejalan dengannya, pemerintah membuat Cetak Biru Telekomunikasi yang di dalamnya memuat perubahan paradigma dalam penyelenggaraan telekomunikasi: dari pasar monopolistik ke kompetitif, dari yang didominasi BUMN ke swasta. Niyla Qomariastuti dalam tesisnya, “Pengaruh Rezim Internasional terhadap Liberalisasi Sektor Telekomunikasi Indonesia”, menyebut kedua dokumen itulah yang menjadi titik tolak liberalisasi pada sektor telekomunikasi. Pasar telepon dibuka lebih luas, tidak hanya bilateral tetapi multilateral. Perangkat ponsel mulai dijual terpisah dari kartu operator. “Telkomsel memperkenalkan liberalisasi perangkat. Kita tidak menjual ponsel, hanya menyediakan jasa telekomunikasi. Penjualan ponsel diserahkan ke dealer,” kata Koesmarihati. Variannya pun makin beragam, tak hanya satu jenis ponsel seperti di era awal kemunculannya. Pengguna ponsel bisa memilih segala varian dan memadukannya dengan operator apa pun. Banyaknya pilihan dan adanya kompetisi membuat harga ponsel menjadi murah. “Harganya jadi tidak jauh dari harga aslinya. Kalau dulu kan yang jual hanya satu sehingga harganya tinggi sekali,” sambungnya. Diberlakukannya aturan itu juga membuat perubahan komposisi saham pada perusahaan jasa telekomunikasi. Indonesia memberi izin bagi investor asing untuk menanamkan saham maksimal 35% dan aturan tentang penghapusan monopoli tetap berlaku. IMF lewat Letter of Intent and Memorandum of Economic and Financial Policies, 17 Mei 2000, juga menegaskan bahwa Indonesia diminta melakukan perubahan dalam sektor kompetisi menjadi fullcompetition . Silang kepemilikan saham dilarang, BUMN seperti Telkom dan Indosat diminta mengurangi jumlah sahamnya di perusahaan telekomunikasi selama tahun 2000. Sebagai dua BUMN, Telkom dan Indosat awalnya sama-sama punya saham di Satelindo dan Telkomsel. Di Telkomsel misalnya, kepemilihan saham terpecah antara Royal KPN NV Belanda dengan beberapa BUMN dan anak perusahaan seperti Telkom, Indosat, dan Telkomsel. Sementara Satelindo dimiliki Telkom, Indosat dan Bimagraha Telekomindo. Untuk mematuhi larangan silang kepemilikan, Indosat melepaskan sahamnya di Telkomsel kepada Telkom. Sementara Telkom melepaskan sahamnya di Satelindo untuk Indosat. Sejak itulah operator telekomunikasi makin tumbuh subur di Indonesia. “Telkomsel itu lakunya 2 billion US dollar, padahal spending- nya 66 miliar rupiah,” kata Koesmarihati. Murahnya harga ponsel plus banyaknya pilihan provider membuat orang berbondong-bondong membelinya. Ponsel laku bak kacang goreng tapi pelan-pelan mematikan model komunikasi sebelumnya, mulai telepon umum, wartel, sampai pager.

  • Evolusi Ritsleting

    Zipper dalam bahasa Inggris atau ritsleting, telah melewati beberapa tangan penemu untuk mengembangkan fungsinya. Namun, tak ada yang mampu meyakinkan masyarakat untuk menjadikannya bagian dari kehidupan sehari-hari. Majalah dan industri feysenlah yang membuat ritsleting menjadi populer seperti sekarang. Sebelum ritsleting ditemukan, masyarakat masih memakai kancing yang berderet-deret. Alih-alih untuk tas atau baju, pertama-tama ritsleting digunakan pada sepatu bot. Setelah di terima di dunia mode, pada 1939, sekira 300 juta ritsleting dijual. Perang Dunia II membuat penjualannya menurun terutama di Amerika. Namun kembali bangkit pada akhir 1940-an dengan penjualan melampaui satu miliar per tahun. Penutup Pakaian Otomatis Elias Howe dan rancangan ritsletingnya Elias Howe adalah penemu mesin jahit yang menerima paten pada 1851 untuk “Automatic, Continuous Clothing Closure” atau Penutup Pakaian Otomatis dan Berkelanjutan. Namun, cukup sampai di situ saja. Dia tak memasarkan penemuannya. Akibatnya, dia pun melewatkan kesempatan untuk mendapat julukan Bapak Ritsleting. Clasp Locker Judson dan rancangan ritsleting miliknya Penemu asal Chicago, Whitcomb Judson memasarkan ciptaannya, Clasp Locker, yang mirip dengan yang dipatenkan oleh Howe. Bersama pengusaha Kolonel Lewis Walker, Whitcomb meluncurkan Universal Fastener Company untuk memproduksi perangkat barunya itu. Clasp Locker pun memulai debutnya dalam Pameran Dunia Chicago 1893. Produknya suskses secara komersial. Ritsleting miliknya itu menjadi yang pertama kali dipasarkan. Karenanya Whitcomb Judson dipuji sebagai penemu ritsleting. Namun, patennya pada 1893 itu tak menggunakan kata Zipper . Pengait terpisah Sundback dan rancangan ritsletingnya Seorang insinyur listrik kelahiran Swedia, Gideon Sundback menjadikan bentuk ritsleting seperti yang dikenal kini. Awalnya, Sundback bekerja di Universal Fastener Company. Berkat keterampilannya dan pernikahannya dengan putri manajer pabrik, posisinya naik menjadi kepala desainer di perusahaan itu. Dia memperbarui sistem ritsleting yang sudah ada sebelumnya. Desainnya memiliki dua baris gigi yang menghadap satu sama lain, yang kemudian terdorong tertutup oleh sebuah penggeser. Patennya untuk pengait terpisah ini dikeluarkan pada 1917. Zipper Nama Zipper baru dikenal setelah B.F. Goodrich Company pada 1921 memutuskan untuk menggunakan pengait Gideon pada sepatu bot karet. Sepatu bot dan kantong tembakau adalah dua kegunaan utama risleting selama tahun-tahun awal penciptaannya. Butuh 20 tahun lagi meyakinkan indsutri mode untuk serius mempromosikan pengait bagi pakaian mereka. Ritsleting dan pakaian Iklan pakaian anak dengan ritsleting yang katanya membuat mereka bisa memakai pakaiannya sendiri. Ritsleting berhasil masuk ke industri pakaian lewat iklan. Ini mulai terjadi pada awal 1930-an oleh produsen ritsleting untuk pakaian anak-anak. Namun iklan ini hanya berumur pendek. Baru pada 1937 ritsleting berubah menjadi mode. Ritsleting dekoratif Poster koleksi terbaru Schiaperelli yang menampilkan ritsleting sebagai hiasan Adalah Elsa Schiaperelli memamerkan ritsleting dalam koleksi musim semi 1935. Schiaparelli adalah salah satu perancang mode pertama yang menjadikan ritsleting sebagai elemen gaya dalam desain fesyen. Dia menggunakan ritsleting berwarna cerah pada pakaian olahraga pada 1930, dan menjadikan ritsleting dekoratif berukuran besar dalam koleksi gaun malam pada 1935. Ritsleting akhirnya menjadi ikon desainnya. Sementara itu desainer lain menganggap ritsleting hanya sebagai pengait dan mencoba menyembunyikannya. Ritsleting samping Ilustrasi ritsleting samping Pada pertengahan abad ke-20, celana perempuan umumnya menampilkan ritsleting samping. Norma-norma sosial pada 1940-an dan 1950-an mempengaruhi mode ini. Ritsleting samping juga membuat garis yang lebih halus dalam bentuk celana panjang ketika itu. Sementara jeans dengan ritsleting depan membuat bentuknya lebih menonjol dan terasa tebal. Modern ritsleting Pencapaian besar berikutnya untuk ritsleting datang ketika muncul alat pembuka di kedua ujungnya, seperti pada jaket, sehingga bisa membuka di kedua sisi bagian. Hari ini ritsleting pun digunakan di mana-mana dan digunakan dalam pakaian, koper, barang-barang kulit dan benda-benda lainnya yang tak terhitung jumlahnya.

  • Srikandi yang Tak Diakui

    BULUTANGKIS sudah jadi pilihan hidupnya sejak belia. Ivana Lie tidak salah memilihnya. Di dunia bulutangkis, dia meretas kelegendaannya. Lahir di Bandung pada 7 Maret 1960 dari pasangan Lie Tjung Sin dan Kiun Yun Moi, Lie Ing Hoa yang kemudian dikenal dengan nama Ivana Lie, hidup dalam keluarga yang ekonominya memprihatinkan. Bersama delapan saudaranya Ivana sering hanya bisa makan nasi tanpa lauk. Untuk bisa menghidupi anak-anaknya yang mayoritas masih kecil, ibunda Ivana yang single parent berkeliling menjual kue. “Saya ikutan jual. Saya jualan ke pasar, ke mana. Kalau musim layangan, kakak saya bikin layangan, saya ikutan (menjual, red .),” ujar Ivana kepada Historia . Namun, Ivana kecil enjoy menjalaninya. Terlebih, di lingkungan tempat tinggalnya kala itu sedang “demam” bulutangkis setelah Rudy Hartono menjuarai All England 1968. Ivana dan teman-temannya pun memainkannya. “Di kampung-kampung ramai, (saya, red .) ikut-ikutan. Pakai sandallah, pakai piringlah, pakai papan, dan lain sebagainya,” ujarnya kepada Historia . “Yang menyentuh adalah ketika Rudy Hartono dkk. juara All England atau Thomas Cup. Kalau pulang kan diarak seperti pahlawan dan itu yang membuat kita saat melihat di TV termotivasi kepengin seperti mereka,” ungkap Ivana kepada Historia. Bulutangkis pun makin sering dimainkan Ivana. Suatu hari, di sekolahnya ada pertandingan bulutangkis antar-SD se-Bandung. Ivana yang kala itu duduk di kelas 5 langsung mengikutinya. Tak dinyana, dia juara satu. “Terus saya diberikan reward , hadiah berupa keringanan biaya uang sekolah. Dari situ akhirnya muncul motivasi. Saya bilang, kalau saya jadi juara, saya bisa membantu orangtua saya,” sambung mantan staf ahli menteri Pemuda dan Olahraga itu. Semangat Ivana pula yang membuat klub Mutiara Bandung memberinya dispensasi pembayaran. “Pelatihnya kan tahu saya selalu semangat, mungkin punya bakat dia lihat. Sejak itu baru saya latihan rutin,” kata Ivana. Pesatnya perkembangan Ivana memancing perhatian Pelatnas PBSI hingga akhirnya terpilih masuk timnas pada 1976. Satu per satu titel tunggal putri bertaraf internasional pun dikoleksinya, mulai dari turnamen perorangan hingga beregu macam SEA Games (1979, 1983) atau Asian Games (1982). Matanya berbinar-binar saat mengingat lagi prestasi-prestasi tinggi itu. “Yang paling menyenangkan adalah kalau kita menang di (pertandingan) multi- event seperti SEA Games atau Asian Games. Kita menang, naik podium, ada ‘Indonesia Raya’ berkumandang, bendera Merah Putih naik. Itu sangat berkesan dan paling menyenangkan,” kata Ivana. Lima Tahun Stateless Namun, seketika suasana hatinya berubah. Kata-kata mulai berat untuk dikeluarkan dari mulutnya. Apa lagi penyebabnya kalau bukan topik pembicaraan mengenai status kewarganegaraan dan pengakuan. “Saya lahir dari orangtua yang statusnya masih asing lah ya, bukan kewarganegaraan Indonesia. Memang datang dari Tiongkok, tapi saya lahir di sini,” ujar Ivana dengan nada suara sendu. Di masa-masa perjuangannya membawa nama harum negeri, Ivana justru bukan pemain yang diakui kewarganegaraannya. Kendati dia lahir di Indonesia, kedua orangtuanya bukan termasuk etnis Tionghoa yang diakui berkewarganegaraan Indonesia “resmi” dengan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI). Kebijakan diskriminatif itu bermula dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1959 tentang larangan orang asing berdagang eceran di daerah tingkat kabupaten ke bawah selain ibukota provinsi dan wajib mengalihkan usaha mereka ke warga negara Indonesia (WNI). Dampaknya berujung pada eksodus besar-besaran etnis Tionghoa ke Tiongkok. Orangtua Ivana jadi sedikit yang tak ikut “pulang”. Akibatnya, pengurusan kewarganegaraan pun dipersulit. Kalaupun bisa tembus birokrasi, tetap harus merogoh kocek yang dalam. “Mereka tidak mengurus ini karena keterbatasan dana dan karena sulit sekali. Karena orangtua asing, otomatis anak-anaknya walau lahir di Indonesia tetap asing. Begitu peraturannya. Kita hidup juga waktu itu susah, enggak bisa urus itu. Jadi saya masuk pelatnas pun tetap warga negara asing,” sambungnya. Sekira lima tahun Ivana state-less alias tanpa kewarganegaraan. PBSI hanya membantu sebisanya dengan mengurus dokumen kewarganegaraan sementara laiknya surat jalan, yang menyatakan dia sebagai warga negara Indonesia (WNI). Surat jalan itu dipakai saat Ivana berlaga di luar negeri dan dicabut kembali oleh keimigrasian sepulangnya dari bertanding. Sebelumnya pada 1976, perkara status ini pernah membuatnya batal tampil di India untuk sebuah turnamen yunior. Gara-garanya, Ivana tidak punya paspor. Meski dibantu KONI dan PBSI, Ivana butuh lima tahun untuk bisa diakui. Ivana Lie berkisah bagaimana lima tahun statusnya stateless (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Sedih ya… Merasa bahwa walaupun saya lahir di sini, saya berbudaya, berbahasa, semuanya, merasa sebagai bangsa Indonesia dan sudah membuktikan juga dengan saya bertanding membawa nama Indonesia, tapi sampai lima tahun keluar masuk begitu… Susah sekali mendapat kewarganegaraan itu. Sebenarnya lebih kepada, kita secara manusia perlu pengakuan ya. Dan yang membuat saya merasa sedih ya karena tidak ada pengakuan pada saat itu,” tuturnya dengan mata berkaca-kaca. Pun begitu, sang srikandi akhirnya mendapat pengakuan juga. Menukil Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia oleh Sam Setyautama, status Ivana Lie tak lagi state-less sejak 29 November 1982 saat memperoleh status kewarganegaraan Indonesia lewat SBKRI. Itupun setelah Ivana bisa bersua Presiden Soeharto saat tim Uber Cup 1981 diterima di Istana Negara. Dalam dialog dengan Presiden Soeharto, Ivana menyampaikan bahwa saat itu statusnya masih warga negara asing. “’Enggak punya KTP, Pak’, saya bilang begitu. “ Lho, kok enggak punya KTP?” tanya presiden sambil tertawa, sebagaimana ditirukan Ivana. “Iya Pak, karena KTP-nya enggak bisa keluar karena saya enggak punya warga negara.” “Nanti coba diini (diurus, red. ),” kata presiden memerintahnya. Ivana menurutinya. “Karena saya ngomongnya sama presiden, kira-kira enam bulan kemudian saya terima (SBKRI) tahun 1982,” ujar Ivana. Delapan tahun sejak menerima SBKRI, Ivana gantung raket dan alih profesi jadi pelatih hingga berbisnis pakaian sport merek Elvana. Pada 2000-an, Ivana dipercaya Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan Roy Suryo jadi staf khususnya. Kini, Ivana aktif di PT Djarum.

  • Balada Seorang Instruktur Tua

    INGAT anak panah berdetonator milik John Rambo (eks prajurit Baret Hijau US-Army yang kerap menjadi pahlawan di film-film Hollywood)? Ternyata senjata tradisional berujung peluru itu pernah nyaris akan digunakan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) dalam melawan militer Belanda. Ceritanya, suatu hari di tahun 1949, seorang instruktur senior di MA (Militer Akademi) bernama Letnan Kolonel Sahirdjan berhasil membuat sejenis “senjata mutakhir”: panah berpeluru. Dalam ideal pemikiran Sahirdjan, selain mudah dan efektif digunakan dalam perang gerilya, keunggulan senjata ini pelurunya bisa ditembakan tanpa suara dan bila ujung panah berdetonatornya mengenai sasaran vital maka akan berakibat kematian sang musuh. Maka sebelum diluncurkan, dicobalah senjata tersebut. Sebagai sasaran tembak adalah seekor kambing jantan. Di hadapan ratusan rakyat Yogyakarta dan para kadet, Sahirdjan kemudian merentangkan busur. Semua penonton menahan napas, saat anak panah melesat dari busur dan menghantam sang kambing…Dor! Kambing pun terkulai. Para penonton bersorak sorai seraya memberi tepuk tangan tiada henti. Sahirdjan tersenyum, para kadet tertawa bangga. Namun baru saja tepuk tangan riuh itu berhenti, tiba-tiba “kambing mampus” itu bangun kembali dan mengembik, siuman dari pingsannya. Spontan penonton kembali bertepuk tangan. Kali ini diiringi tawa lepas seolah tak henti. Sahirdjan sendiri sambil tersenyum menggaruk-garuk kepalanya walau tak gatal. “Maka gagallah 'senjata mutakhir' itu digunakan untuk memerangi tentara Belanda, karena tidak mematikan dan hanya membuat pingsan,” ungkap sejarawan militer Moehkardi kepada Historia.id . Sosok nyentrik nan sederhana Sahirdjan ternyata tidak pernah hilang hingga menjelang dirinya berpangkat briagadir jenderal dan memangku status sebagai guru besar di Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) Magelang. Kendati merupakan pejabat senior, Sahirdjan dalam kehidupan sehari-hari tetap jauh dari kemewahan dan memelihara sikap rendah hati. Dikisahkan dalam buku karya Moehkardi, Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1949 , “pakaian kebesaran” Sahidrdjan jika tidak sedang bertugas, adalah celana pendek dan kaos oblong lusuh. Pokoknya jika kebetulan melihatnya berpenampilan seperti itu, orang yang belum kenal pasti menyangka Sahirdjan bukan seorang jenderal guru besar AKABRI. Karena penampilan khasnya ini, Sahirdjan sempat membuat cerita heboh di kalangan taruna AKABRI pada era 1970-an. Ceritanya, suatu hari seorang taruna AKABRI tingkat awal baru pulang dari cutinya dengan membawa oleh-oleh dan beberapa koper. Turun dari becak, sang taruna bingung harus mengangkat sendiri bawaannya yang begitu banyak tersebut. Dalam situasi demikian, tiba-tiba muncul seorang lelaki tua kurus berpakaian celana pendek dan kaos oblong lusuh tak jauh dari tempat sang taruna turun dari becak. Pucuk dicinta ulam tiba, taruna tersebut langsung berseru: “Eh Pak…Pak! Tolong ini angkatkan koper saya!” perintahnya. Lelaki kurus dan berpenampilan lusuh yang dipanggil tersebut cepat-cepat mendekat dan dengan sigap membantu mengangkat kopor hingga ruangan sang taruna. Begitu selesai, sang taruna berinsiatif memberi persen, namun dengan halus dan penuh hormat lelaki tersebut menolaknya. Baru saja beberapa menit “sang jongos” itu pergi, tetiba beberapa taruna senior dalam wajah garang berhamburan mendekati juniornya yang baru pulang cuti itu. Salah seorang menghardik: “Lu tahu siapa orang yang lu suruh membawa koper itu?!” “Siap! Tidak tahu!” “Tahu lu, dia adalah Pak Sahirdjan, brigadir jenderal dan guru besar kita!” Mendengar itu, sang prajurit taruna tersebut hanya bisa bengong. Begitu sadar bahwa dirinya telah melakukan “kesalahan”, dia pun menunduk dalam perasaan penuh penyesalan.

bottom of page